Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA
DISPERSI KOLOIDAL DAN SIFAT-SIFATNYA

Disusun oleh :
Kelompok 2B
1. Azizah Salma Hayyu (22010319130056)
2. Rahmatissa Rizkyagsyana Aidhaadzany (22010319130057)
3. Alga Diva Logarisma (22010319130058)
4. Lintang Avi Mehira Nahid (22010319130060)
5. Raden Roro Gusmaya Faizatunnisa (22010319130061)
6. Raphael Jovanca Sulistyo Utomo (22010319130063)
7. Sesilia Ivanna Hapsari (22010319130064)
8. Lisa Nur Afifah (22010319130065)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Semarang, 13 September 2019

Praktikan, Praktikan, Praktikan,

(Azizah Salma H.) (Rahmatissa R. A) (Alga Diva Logarisma)

NIM: 22010319130056 NIM: 22010319130057 NIM: 22010319130058

Praktikan, Praktikan,
Praktikan,

(Raden Roro Gusmaya F.) (Raphael Jovanca S. U.)


(Lintang Avi M. N.)
NIM: 22010319130061 NIM: 22010319130063
NIM: 22010319130060

Praktikan, Praktikan,

(Sesilia Ivanna H.) (Lisa Nur Afifah)

NIM: 22010319130064 NIM: 22010319130065

Mengetahui,
Asisten

Aprilia Ekasanti
NIM: 22010318130026
PERCOBAAN II
DISPERSI KOLOIDAL DAN SIFAT-SIFATNYA

I. TUJUAN

1.1. Memahami prinsip dasar sistem dispersi koloid dan aplikasinya


dalam bidang farmasetis.

1.2. Dapat Menjelaskan definisi, klasifikasi, dan perbedaan koloid.

1.3. Mampu membedakan sifat-sifat koloid liofilik dan liofobik.

II. DASAR TEORI

2.1. Sistem Dispersi

Sistem dispersi mempunyai pengertian penyebaran yang merata dari


suatu zat ke dalam zat lain jika dicampurkan. Contoh dalam kehidupan
sehari - hari adalah tepung kanji dimasukkan ke dalam air panas
membentuk sistem dispersi dengan air panas sebagai medium pendispersi
dan tepung kanji sebagai zat erdispersi. Berdasarkan ukuran partikelnya,
sistem disersi dapat dibedakan menjadi tiga yatu larutan, koloid, dan
suspensi (Sudarmo, 2016).

Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat dari ketiga kelompok


sistem dispersi sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut.

Perbedaan Suspensi Koloid Larutan

Ukuran partikel >100nm 1-100nm <100nm

Penampilan fisik keruh, partikel keruh-bening, bening, partikel


terdispersi dapat partikel terdispersi tidak
diamati langsung terdispersi hanya dapat diamati
dengan mata dapat diamati dengan
dengan
mikroskop ultra mikroskop ultra

Kestabilan (jika Mudah terpisah Sukar terpisah Tidak terpisah


didiamkan) (mengendap) (relatif stabil) (sangat stabil)

Cara pemisahan Filtrasi Tidak dapat Tidak dapat


(penyaringan) disaring disaring

(Sudarmo, 2016)

2.2. Sistem Koloid

Koloid adalah dispersi partikel kecil dari satu bahan di lain yang
tidak menetap di bawah gravitasi. Dalam konteks ini, “kecil” berarti
dimensi yang setidaknya lebih kecil dari 500 nm (sekitar panjang
gelombang cahaya tampak). Banyak koloid yang merupakan suspensi
nano partikel (partikel berdiameter ke atas sekitar 100 nm). Secara umum,
partikel koloid terlalu kecil untuk dilihat dengan mikroskop optik biasa.
Mereka melewati sebagian besar kertas saring, tetapi bisa saja terdetelisi
oleh hamburan cahaya sedimentasi (Artkins, 2016).

Pada beberapa koloid dapat dilihat dengan jelas, namun ada juga
yang tidak. Koloid yang dapat dilihat dengan jelas adalah santan, susu,
dan lem. Sedangkan yang tidak dapat dilihat dengan jelas adalah koloid
belerang dalam air dan santan (Sudarmo, 2016).

2.3. Klasifikasi Koloid berdasarkan fase terdispersi dan medium pendispersi

Sistem dispersi koloid dapat terbentuk dari dispersi zat padat, cair
atau gas ke dalam medium pendispersi dalam fase padat, cair, dan gas.
Gas yang terdispersi dalam gas tidak akan menghasilkan koloid. Sistem
koloid diberi nama berdasarkan fase terdispersi dan medium pendispersi
sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut

Medium
Fase terdispersi Jenis koloid Contoh
pendispersi
Padat Sol padat Mutiara, kaca warna

Cair Emulisi padat Keju, mentega


Padat
Gas Buih padat Batu apung, kerupuk

Padat Sol Pati dalam air, cat, tinta

Cair Emulsi Susu, mayonaise, santan


Cair
Gas Buih Krim, pasta

Padat Aerosol padat Debu, asap


Gas
Cair Aerosol cair Awan, kabut

(Sudarmo, 2016)

2.4. Tipe Sistem Koloid

2.4.1. Koloid Liofilik

Sistem yang mengandung partikel koloid banyak


berinteraksi dengan medium dispersi dikenal sebagai koloid liofilik
(suka pelarut). Karena afinitasnya terhadap medium pendispersi,
bahan - bahan tersebut membentuk dispersi koloid atau sol dengan
relatif mudah. Jadi, sol koloidal liofilik biasanya diperoleh hanya
dengan melarutkan bahan dalam pelarut yang digunakan (Martin,
2008).

2.4.2. Koloid Liofobik

Golongan kedua dari sistem koloid ini tersusun dari bahan


yang jika ada mempunyai tarik-menarik kecil terhadap medium
terdispersi. Golongan ini disebut liofobik (benci-pelarut) dan dapat
diramalkan sifatnya berbeda dengan koloidal liofilik. Hal yang
membedakan adalah tidak adanya selimut pelarut di sekeliling
partikell. Koloidal liofobik umumnya tersusun dari partikel -
partikel anorganik yang terdspersi dalam air (Martin, 2008).

2.4.3. Koloid Gabungan (Amfifilik)


Koloid gabungan atau koloid amfifilik merupakan golongan
ke tiga dari penggolongan koloid. Molekul - molekul atau ion - ion
tertentu disebut amfifil atau zat aktif yang melawan afinitas larutan
dalam molekul atau ion sama. Jika ada dalam suatu konsentrasi
rendah. Jika konsentrasi ditingkatkan, terjadi agregasi pada suatu
jangkauan konsentrasi yang lebih sempit (Martin, 2008).

2.5. Sifat Sifat Koloidal

2.5.1. Gerak Brown


Gerak brown adalah gerak partikel koloid yang senantiasa
bergerak lurus tapi tak menentu. Semakin kecil ukuran partikel
koloid, semakin cepat juga gerak brownnya, begitu pula
sebaliknya. Gerak brown terjadi akibat adanya tumbukan partikel
terdispersinya dengan pendispersi. Dengan adanya gerak brown
mengakibatkan koloid relative stabil ( Wulandari et al, 2018)
2.5.2. Efek Tyndall
Efek tyndall adalah peristiwa penghamburan cahaya oleh
partikel koloid. Contoh efek tyndall yang dapat dilihat pada
kehidupan sehari - hari adalah warna biru pada langit, sorot lampu
mobil di udara yang berkabut, dan sinar matahari di celah - celah
dedaunan pada waktu pagi berkabut, dll. (Wulandari et al, 2018)
2.5.3. Adsorbsi
Adsorbs adalah penyerapan ion - ion yang bermuatan di
permukaan partikel koloid. Jika partikel koloid menyerap ion
bermuatan, kemudian ion - ion tersebut menempel pada
permukaannya, partikel koloid tersebut menjadi bermuatan.
Sedangkan jika proses penyerapannya sampai ke dalam atau di
bawah permukaan disebut adsorbs. (Sutresna, 2007)
2.5.4. Elektroforensis
Elektroforensis adalah suatu teknik yang mengukur laju
perpindahan atau pergerakan partikel - partikel bermuatan dalam
suatu medan listrik. Prinsip kerja dari elektroforensis berdasarkan
pergerakkan partikel - partikel bermuatan negative (anion), dalam
hal tersebut DNA-yang bergerak menuju kutub positif (anode).
Sedangkan partikel – partikel bermuatan positif (kation) bergerak
menuju partikel bermuatan positif (katode). (Klug & Cummings,
1994)
Elektroforensis merupakan proses migrasi molekul
bermatan dalam medium yang dialiri listrik. (Holme dan Hazel,
1998). Prinsip dasar elektroforensis adalah molekul dan partikel
bermuatan akan bergerak ke arah electrode yang memiliki muatan
berlawan di bawah pengaruh medan listrik. (Westermeier, 2005).
Laju migrasi molekul bermuatan disebut elektromobilitas.
Elektromobilitas suatu molekul dipengaruhi pleh beberapa faktor,
semakin besar muatan molekul maka semakin besar
elektromoboilitasnya. Nilai elektromobilitas berbanding terbalik
dengan besar ukuran molekul sehingga molekul yang berukuran
lebih besar memiliki elektromobilitas lebih kecil dari pada yang
berukuran kecil. (Switzer,1999)
2.5.5. Koagulasi
Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel - partikel
koloid. Proses koloid terjadi karena tidak stabilnya system koloid.
Sistem koloid disebut stabil (koloid stabil) jika sistem koagulasi
bemuatan negatif dan positif. Jika sistem koloid dinetralkan
muatannya maka sistem koloid tidak terogulasi sehingga
terkoagulasi. Dengan terjadinya koagulasi, berarti zat terdispersi
tidak lagi membentuk koloid. Koagulasi dapat terjadi secara fisik,
seperti pemanasan, pendinginan, dan pengadukan. Selain itu,
koagulasi dapat terjadi secara kimia, seperti penambahan
elektrolit, percampuran koloid yang berbeda muatan. (Kurniastuti,
1999)
2.6. Pembuatan Koloid
2.6.1. Cara Dispersi
Dengan cara dispersi partikel kasar dipecah menjadi partikel
koloid. Cara dispersi dapat dilakukan secara mekanik, peptisasi
atau loncatan bunga listrik (cara busur bredig).
a. Cara mekanik
Menurut cara ini, butir - butir kasar digerus dengan
lumping atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat
kehalusan tertentu. Kemudian diaduk dengan medium
dispersi. Contohnya sol belerang dapat dibuat dengan
menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan suatu zat
inert (seperti gula pasir), kemudian mencampur serbuk halus
itu dengan air.
b. Cara peptisasi
Cara peptisasi adalah pembuatan koloid dari butir -
butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat
pemeptasi (pemecah). Zat pemeptasi memecahkan butir -
butir kasar menjadi butir - butir koloid. Contohnya agar - agar
dipeptaasi oleh air, nitroselulosa oleh aseton, karet oleh
bensin, dan lain lain.
c. Cara busur bredig
Pembuatan koloid dengan cara busur bredig sering
disebut juga dengan elektrodispersi. Cara ini dilakukan untuk
membuat partikel - partikel fase terdispersi dengan
menggunakan loncatan bunga api listrik. Cara ini banyak
digunakan untuk membuat sol logam. Logam yang akan
didispersikan dipasang sebagai electrode - elektrode yang
dihubungkan dengan sumber arus listrik bertegangan tinggi.
(Keenan et al, 1986)
2.6.2. Cara Kondensasi
Cara kondensasi adalah cara pembuatan partikel kolid dari
partikel larutan sejati, dengan kata lain pembentukan agregat
berukuran koloid dari partikel kecil seukuran kolekul atau ion.
Cara ini umumnya dilakukan melalui reaksi kimia. Ada 3 jenis
reaksi yang dapat menghasilkan koloid yaitu reaksi hidrolisis,
reaksi redoks, dan reaksi metatesis. (Mose, Yumike, 2014)
a. Reaksi hidrolisis
Reaksi hidrolisis adalah istilah untuk reaksi yang
melibtakan rekasi penguraian molekul air. Membentuk ion H+
dan OH-. Contoh pembentukan sol Fe(OH)3 dari hidrolisis
FeCl3. (Mose, Yumike, 2014)
b. Rekasi Redoks
Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai perubahan
bilangan oksidasi. Contoh pembentukan sol emas melalui
proses reduksi emas (III) klorida dengan formalin. (Mose,
Yumike, 2014)
c. Reaksi Metatesis
Reaksi metatesis adalah reaksi pertukaran muatan antar
ion - ion. Contohnya ke dalam natrium trisulfat ditambahkan
larutan asam klorida akan terbentuk partikel berukuran
koloid. (Mose, Yumike, 2014)
2.7. Teknik Pemisahan Koloid
2.7.1. Dialisis
Dialisis merupakan pemisahan koloid dari ion - ion dengan
cara difusi melalui membran semipermiabel. Membran ini dapat
melewatkan molekul air dan ion - ion. Metode ini umumnya
digunakan untuk memurnikan sol koloidal. Salah satu aplikasi
yang penting dari dialisis dalam bidang medis adalah pembuatan
ginjal artifisial untuk pasien yang gagal ginjal. (Foliatini, 2009)
2.7.2. Elektroforesis
Elektroforesis adalah pergerakan partikel koloid karena
pengaruh medan listrik. Elektroforesis digunakan untuk
menentukan muatan koloid. Pemakaian prinsip elektroforesis
antara lain pembersihan asap cerobong pabrik sehingga partikel -
partikel berbahaya tidak mencemari udara dengan alat pengendap
kotrel. (Winarwan J, Sarosa, 2010)
2.7.3. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi adalah proses membran yang menghilangkan
terlarut - terlarut non-ionik, bahan organik biasanya dinilai oleh
cut off berat molekul (MWCO), maksimal berat molekul dari
senyawa yang akan melewati membran pori - pori ke dalam aliran
permeat. Ultrafiltrasi ukuran pori biasanya lebih kecil dari 0,01
mikron dalam ukuran. Atas poses (mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi)
kontaminan terpisah atas dasar sebuah proses “pengayak”, yaitu
setiap kontaminan terlalu bessar untuk melewati pori - pori ditolak
dan keluar dalam aliran konsentrat. (Foliatini, 2009)
2.8. Manfaat koloid dalam dunia farmasetis
Dalam dunia framasetis, koloid memiliki berbagai macam manfaat,
yaitu diantaranya :
2.8.1. Sebagai bahan kosmetik
Bahan bahan kosmetika sangat banyak jenisnya, akan tetapi pada
prinsipnya hamper sama 90% dari bahan itu dibuat dari koloid.
Hal itu disebabkan sifat koloid yang mudah menyerap pewangi,
pewarna, lembut, mudah dibersihkan, tidak merusak kulit,
sekaligus mengandung dua macam bahan yang tidak dapat saling
larut.

2.8.2. Dalam industri


Dalam industri, koloid berfungsi sebagai bahan dalam
pembuatan minyak ikan, penisilin untuk suntikan, dll.
2.8.3. Dalam bidang kesehatan
Dalam bidang kesehatan, koloid dimanfaatkan dalam proses
dialisi yaitu cuci darah bagi pasien yang menderita gagal ginjal.
2.9. Analisa Bahan
2.9.1. Analisa Air

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Berat molekulnya yaitu 18,015 1. Terdiri dari 2 atom hydrogen dan
gram/mol satu atom oksigen
2. Tanpa rasa, tanpa bau 2. Mengandung muatan (+) pada
3. Kepadatan air 1000 kg/m3 fase hydrogen dan (-) pada oksigen
liquid, 917 kg/m3 fase solid 3. Struktur geometrinya tetrahedral
4. Titik leleh dan titik beku pada 0̊ C 4. Pelarut yang baik
5. Titik didih pada 100 ̊ C 5. Bersifat polar
6. Kalor jenis 4186 J 6. PH normal yaitu 7
7. Konduktivitas panas 0,6 W/mK 7. Struktur molekulnya berbentuk V
8. Berwujud padat, cair, dan gas

(Manahan, 2000) (Manahan, 2000)

2.9.2. Analisa gelatin

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Berwujud lembaran tipis/granul 1. Amfoter
2. Berwarna kuning terang hingga 2. Titik isoelektrik tipe A pada PH 7-9
kuning pucat dan tipe B pada PH 4,7-5,4
3. Tidak berbau dan tidak berasa 3. Dalam suhu dan tekanan tertentu,
4. Tidak larut dalam aseton, gelatin menunjukkan viskositas
kloroform, etanol (95%), eter, naik secara reversible
namun larut dalam gliserol, propilen 4. Dalam larutan, membentuk heliks
glikol asam, basa lemah 5. Bukan protein lengkap kerena tidak
5. Dalam air panas akan membentuk mengandung asam amino triptofan
gel dan hanya sedikit mengandung
6. Akan mengendap jika ditambah asam amino, isoleusin, treonin,
asam dan basa kuat metiosin, sistein, dan sistin.
7. Berat molekul tinggi yaitu kurang
lebih 20.000-250.000 gram/mol (J, Irwandi, 2009)

(Chaudhari, 2012)

2.9.3. Analisa FeCl3

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Berat molekulnya 162,22 gram/mol 1. dapat membentuk FeCl3 dari besi
2. Densitasnya 2.898 gram/cm3 murni
3. Titik didih 315 ̊ C 2. dapat membentuk FeCl2 dengan
mereaksikan besi murni dengan
4. Titik lebur 282 ̊ C larutan FeCl3
5. kelarutannya 74,4 pada 0 ̊C 3. bereaksi dengan air menghasilkan
6. berbentuk solid panas yang tergolong reaksi
eksoterm
4. dapat membentuk FeOCl dari FeCl3
(Perry et al, 1999) dan Fe2O3

(Patnaik, 2003)

2.9.4. Analisa SLS

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Pasta kental berwarna putih atau 1. Hampir tidak larut dalam air
kuning cerah 2. Praktis larut dalam aseton
2. Berat jenisnya 1,03 (20 ̊C) 3. Berat molekulnya 328,38 gram/mol
3. Titik didih 100 ̊ C, 212 ̊F 4. PH antara 7,5-8,5 pada 10% dalam
air
4. Titik lebur 0 ̊C, 32 F
5. Mudah mengental dengan garam
5. Tidak berbau

(Sujianti, 2010)
(Sujianti, 2010)

2.9.5. Analisa NaCl

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Berbentuk padatan (bubuk Kristal 1. Berat molekulnya 58,44 gram/mol
padatan) 2. PH netral yaitu 7
2. Memiliki bau sedikit 3. Titik didihnya 1413 ̊C
3. Rasanya asin 4. Titik leburnya 801 ̊C
4. Berwarna putih 5. Mudah larut dalam air dingin dan
panas, larut dalam gliserol dan
ammonia. Sangat sedikit larut
dalam alcohol serta tidak larut
dengan HCl
(Coulson, Richardson, 1983) (Coulson, Richardson, 1983)

2.9.6. Analisa Alkohol

Sifat Fisika Sifat Kimia


1. Berbentuk cairan batal 1. Berat molekulnya 43,0414
2. Tidak memiliki warna gram/mol
3. Berbau ringan dan memabukkan 2. Titih didihnya 78̊ C
4. Tidak berasa 3. Titik lebur 114,1 ̊C
4. Tekanan uapnya 59,3 mmHg
5. Larut dalam air
6. Kepadatan uapnya 1,59

(Coulson, Richardson, 1983) (Coulson, Richardson, 1983)

III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Alat dan Bahan
1.1. Alat
a. Beaker glass e. Pengaduk i. Timbangan
b. Gelas ukur j. Buret
f. Waterbath
c. Pipet Ukur k. Statis klem
d. Stopwatch g. Cawan porslen l. Labu takar
h. Pipet tetes m. Erlenmeyer
1.2. Bahan

a. Akuades e. Gelatin
b. Air mendidih f. NaCl
c. FeCl3 g. Alkohol 96%
d. Na lauril sulfat

3.2. Skema Kerja


III.2.1 Pembuatan Larutan Koloidal
a. Pembuatan Larutan Koloidal FeCl3

FeCl₃ 100 mg

Labu Takar

Ditimbang 100 mg FeCl3.

Dilarutkan dalam air yang mendidih


sampai 100 ml.
FeCl₃ 50 mg

Labu Takar

Ditimbang 50 mg FeCl3.

Dilarutkan dalam air yang mendidih


sampai 100 ml.

Hasil

b. Pembuatan Larutan Koloidal dari Natrium Lauril Sulfat

Na Lauril Sulfat 1 gr
gram Labu Takar

Ditambahkan air mendidih sampai 100 ml.

Hasil
Na Lauril Sulfat 500 mg
Labu Takar

Ditambahkan air mendidih sampai 100 ml

Hasil
c. Pembuatan Larutan Koloid dari Gelatin

Gelatin 10 gr
Labu Takar

Ditambahkan air mendidih sampai 100 ml

Hasil

Gelatin 5 gr
Labu Takar

Ditambahkan air mendidih sampai 100 ml

Hasil

III.2.2 Viskositas Koloid

a. Viskositas Koloid dari FeCl3

FeCl3 0,1% FeCl3 0,05%

Beaker Glass Beaker Glass

Dibandingkan larutan tersebut masing


- masing menurut konsentrasi yang
berbeda.
Diambil 10 ml larutan dengan pipet
ukur lalu dibiarkan mengalir.

Diukur waktunya dengan stopwatch.

Hasil

b. Viskositas Koloid dari Natrium Lauril Sulfat

Na Lauril Sulfat 0,5% Na Lauril Sulfat 1%

Beaker Glass Beaker Glass

Dibandingkan larutan tersebut masing


- masing menurut konsentrasi yang
berbeda.
Diambil 10 ml larutan dengan pipet
ukur lalu dibiarkan mengalir.

Diukur waktunya dengan stopwatch.

Hasil

c. Viskositas Koloid dari Gelatin

Gelatin 10% Gelatin 5%

Beaker Glass Beaker Glass

Dibandingkan larutan tersebut masing


- masing menurut konsentrasi yang
berbeda.
Diambil 10 ml larutan dengan pipet
ukur lalu dibiarkan mengalir.

Diukur waktunya dengan stopwatch.

Hasil

III.2.3 Pengaruh Elektrolit Terhadap Koloid


a. Pengaruh Elektrolit Terhadap Koloid

FeCl 0.05% FeCl 0.1 %

Beaker Glass Beaker Glass


Ditambahkan 2 ml NaCl 10% secara
bertahap sampai terbentuk endapan.

Dicatat banyak NaCl yang


dibutuhkan.

Hasil

Na Lauril Sulfat 0.5% Na Lauril Sulfat 1%

Beaker Glass Beaker Glass

Ditambahkan 2 ml NaCl 10% secara


bertahap sampai terbentuk endapan.

Dicatat banyak NaCl yang


dibutuhkan.

Hasil Hasil

Gelatin 5% Gelatin 10%

Beaker Glass Beaker Glass

Ditambahkan 2 ml NaCl 10% secara


bertahap sampai terbentuk endapan.

Dicatat banyak NaCl yang


dibutuhkan.
Hasil

3.2.4 Pengaruh Alkohol Terhadap Koloid

Gelatin 5% Gelatin 10%

Beaker Glass Beaker Glass

Ditambahkan 96% alkohol 2 ml


secara bertahap hingga mengendap.

Dicatat larutan alkohol yang


dibutuhkan.

Hasil Hasil

3.2.5 Reversibilitas Koloid

FeCl3 0.05% FeCl3 0.1%

Cawan Porselen Cawan Porselen

Diuapkan hingga kering dalam


waterbath.
Ditambahkan air dingin 10ml.

Diamati perubahan yang terjadi.

Hasil

Na Lauril Sulfat 0.5% Na Lauril Sulfat 1%

Cawan Porselen Cawan Porselen

Diuapkan hingga kering dalam


waterbath.

Ditambahkan air dingin 10ml.

Diamati perubahan yang terjadi.

Hasil

Gelatin 5%
Gelatin 10%
Cawan Porselen
Cawan Porselen

Diuapkan hingga kering dalam


waterbath.

Ditambahkan air dingin 10ml.

Diamati perubahan yang terjadi.

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN

4.1. Pengaruh Viskositas Koloid

Waktu
Nama Zat
1 2 3 4 5
Larutan
FeCl3  13,19 s 13,22 s 13,22 s 14,62 s 14,72 s
0,05%
Larutan
 15,32 s 14,15 s 14,15 s 14,21 s 14,81 s
FeCl3 0,1%
Larutan SLS
 19,06 s 13,00 s 13,00 s 13,53 s 13,44 s
0,5%
Larutan SLS
 15,26 s 13,94 s 13,94 s 13,31 s 13,50 s
1%
Larutan
 14,59 s 15,19 s 15,19 s 14,96 s 17,12 s
Gelatin 5%
Larutan
 17,37 s 18,15 s 18,15 s 18,21 s 17,87 s
Gelatin 10%

4.2. Pengaruh Elektrolisis terhadap Koloid

V NaCl
Nama Zat
1 2 3 4 5

Larutan FeCl3 0,05%  12 ml 10 ml >25 ml 11 ml 2,7 ml

Larutan FeCl3 0,1%  4 ml 19 ml >25 ml 5,25 ml 2,5 ml

Larutan SLS 0,5%  2 ml 1,25 ml 1,25 ml 2 ml 3 ml

Larutan SLS 1%  1 ml 2 ml 2 ml 0,75 ml 2 ml

Larutan Gelatin 5%  14 ml 7,5 ml >25 ml 25 ml 3,5 ml


Larutan Gelatin 10%  12 ml 18 ml >25 ml 11,25 ml 3 ml

4.3. Pengaruh Alkohol terhadap Koloid

Volume Alkohol
Nama Zat
1 2 3 4 5
Larutan
Gelatin 4 ml  4,5 ml 0,6 ml 3 ml 2,75 ml
5%
Larutan
Gelatin  1,5 ml 3,5 ml 0,1 ml 5,4 ml 2 ml
10%

4.4. Sifat Reversibel dan Irreversibel

Kelompok 1,2,3,5

Reversibel Irreversibel
SLS (0,5% dan 1%) FeCl3 (0,05% dan (0,1%)
Gelatin (5% dan 10%)

Kelompok 4

Reversibel Irreversibel
SLS (0,5% dan 1%) FeCl3 (0,05% dan (0,1%)
Gelatin (5% dan 10%)

V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, berjudul Dispersi Koloidal dan Sifat - Sifatnya.
Praktikum dilaksanakan pada Jumat 13 September 2019 di Laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Dalam praktikum ini dilakukan
pembuatan larutan koloidal dan beberapa percobaan untuk mengetahui sifat -
sifat koloid.

5.1 Pembuatan Larutan Koloidal

5.1.1 Pembuatan FeCl3 0,05 % dan 0,1 %

Larutan FeCl3 0,05 % dan 0,1 % dibuat dengan cara,


pertama dilakukan perhitungan FeCl3. Berdasarkan perhitungan
didapatkan bobot FeCl3 50 mg dan 100 mg. Kemudian di masukkan
ke dalam gelas beker dan ditambah sedikit demi sedikit air
mendidih aduk hingga larut. Kemudian masukkan larutan FeCl 3 ke
dalam labu takar dan tambahkan air panas hingga batas 100 ml.

Menurut Nia (2013) sifat kelarutan padatan dalam cairan


yang akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu. Hal itu
juga berlaku sebaliknya, kepadatan akan semakin mudah larut
dalam cairan yang memiliki suhu tinggi. Selain karena efek
kelarutan itu, temperatur yang tinggi berfungsi sebagai pemasok
energi pelarut digunakan agar padatan larut dalam air.

Reaksi yang terjadi, yaitu

FeCl3 (aq) + 3 H2O (l)  Fe(OH)3 + 3 HCl (aq)

(Kurniawati, 2014)

5.1.2 Pembuatan Na Lauril Sulfat 0,5 % dan 1 %

Larutan Na Lauril Sulfat 0,5 % dan 1 % dibuat dengan


cara, pertama dilakukan perhitungan Na Lauril Sulfat. Berdasarkan
perhitungan didapatkan bobot Na Lauril Sulfat 500 mg dan 1000
mg. Kemudian di masukkan ke dalam gelas beker dan ditambah
sedikit demi sedikit air mendidih aduk hingga larut. Kemudian
masukkan larutan Na Lauril Sulfat ke dalam labu takar dan
tambahkan air panas hingga batas 100 ml.

Menurut Nia (2013) sifat kelarutan padatan dalam cairan


yang akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu. Hal itu
juga berlaku sebaliknya, kepadatan akan semakin mudah larut
dalam cairan yang memiliki suhu tinggi. Selain karena efek
kelarutan itu, temperatur yang tinggi berfungsi sebagai pemasok
energi pelarut digunakan agar padatan larut dalam air

Reaksi yang terjadi, yaitu

NaC12H25SO4 (aq) + 3 H2O (l)  NaC12H25O + 3 H2SO4 (aq)

(Kurniawati, 2014)

5.1.3 Pembuatan Gelatin 5 % dan 10 %

Larutan Gelatin 5 % dan 10 % dibuat dengan cara,


pertama dilakukan perhitungan gelatin. Berdasarkan perhitungan
didapatkan bobot gelatin 5000 mg dan 10000 mg. Kemudian di
masukkan ke dalam gelas beker dan ditambah sedikit demi sedikit
air mendidih aduk hingga larut. Kemudian masukkan larutan
gelatin ke dalam labu takar dan tambahkan air panas hingga batas
100 ml.

Menurut Nia (2013) sifat kelarutan padatan dalam cairan


yang akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu. Hal itu
juga berlaku sebaliknya, kepadatan akan semakin mudah larut
dalam cairan yang memiliki suhu tinggi. Selain karena efek
kelarutan itu, temperatur yang tinggi berfungsi sebagai pemasok
energi pelarut digunakan agar padatan larut dalam air

Reaksi yang terjadi, yaitu

C102H151N31 (aq) + 3 H2O (l)  C55H87N17O18 + C47H70N14O18

(Kurniawati, 2014)

5.1.4. Pembuatan NaCl 20%

Larutan NaCl 20% dibuat dengan cara, pertama dilakukan


perhitungan NaCl yang dibutuhkan. Berdasarkan perhitungan
didapatkan bobot NaCl sebesar 20 gr. Kemudian di masukkan ke
dalam gelas beker dan di tambahkan sedikit demi sedikit air
mendidih aduk hingga larut. Kemudian masukkan larutan natrium
klorida ke dalam labu takar dan tambahkan air panas hingga batas
100 ml.

Menurut Nelson (2012), air adalah pelarut polar sehingga


dapat melarutkan hampir semua biomolekul baik yang polar
maupun bermuatan (ion) seperti NaCl. Air melarutkan NaCl
dengan cara menghidrasi dan menstabilisasi ion - ionnya (Na⁺ dan
Clˉ), melemahkan interaksi elektrostatik antara ion - ionnya
sehingga mencegah terbentuknya ikatan ionik untuk membentuk
kristal NaCl. Lalu penggunaan air panas ditujukan untuk
mempercepat kelarutan dari natrium klorida atau NaCl.

Reaksi yang terjadi yaitu,

NaCl + 3H₂O → NaClO₃ + 3H₂

(Kurniawati, 2014)

5.2 Viskositas Koloid


Menurut Sukardjo (2005), viskositas adalah ukuran yang menyatakan
kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang
berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada
yang dapat mengalir cepat sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Jadi
viskositas tidak lain untuk menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan.

Koloid dibagi menjadi tiga yaitu koloid liofilik, koloid liofobik, dan
juga koloid amfilik. Liofilik berarti suka pelarut sedangkan liofobik tidak
menyukai pelarut. Hasil percobaan yang telah kami lakukan yaitu larutan
FeCl3 0,5 % membutuhkan waktu sebanyak 13,22 s, FeCl3 0,1 %
membutuhkan waktu sebanyak 14,15 s, SLS 0,5% membutuhkan waktu 13.00
s, dan SLS 1% membutuhkan waktu 13,94 s. Sedangkan gelatin 5%
membuthkan waktu 15,19% dan gelatin 10% membutuhkan waktu 18,15 s
sehingga didapati kesimpulan bahwa semakin besar konsentrasi larutan maka
viskositasnya akan semakin besar.

Menurut Martin (2008), viskositas koloid juga bisa digunakan untuk


menentukan jenisnya yaitu koloid liofilik dan liofobik akan memiliki
viskositas lebih tinggi dibandingkan koloid liofobik. Dari hasil percobaan
didapati viskositas gelatin merupakan yang tertinggi sehingga gelatin
merupakan moloid liofilik, larutan FeCl3 memiliki viskositas di bawah gelatin
sehingga larutan FeCl3 merupakan koloid liofobik. Namun SLS memiliki
viskositas yang rendah. Hal ini karena SLS merupakan koloid amfifilik,
sehingga dalam SLS dapat memiliki gugus liofilik yang akan tertarik ke
pelarut polar tetapi juga memiliki gugus liofobik yang menjauh dari pelarut
polar.

5.3 Pengaruh Elektrolit Terhadap Koloid

Menurut Kitti (2010), partikel koloid bersifat stabil karena dikelilingi


oleh ion – ion senama. Bila ion - ion yang mengelilingi hilang, maka partikel
– partikel koloid saling bergabung satu sama lain membentuk gumpalan –
gumpalan yang disebut koagulan atau flokulan. Koagulan ini dapat terbentuk
dengan menghilangkan muatan listrik pada partikel koloid.

Menurut Kitti (2010), salah satu caranya adalah dengan penambahan


elektrolit. Penambahan elektrolit ke dalam koloid akan menetralkan muatan
koloid. Partikel – partikel yang bermuatan positif akan menarik muatan
negatif dari elektrolit dan sebaliknya. Muatan yang berlawanan ini akan
saling menetralkan, sehingga terjadilah koagulasi.
Menurut Kitti (2010), adapun koloid liofilik merupakan koloid yang
cukup stabil kareana adanya afinitas antara fase terdispersi dan medium
pendispersi sehingga koloid liofilik tidak mudah digumpalkan. Ketika tidak
ada afinitas antara fase terdispersi dan medium pendispersi, maka sol tidak
dapat dibuat dengan mencampurkan bahan secara sederhna, melainkan
dengan cara khusus sehingga sifatnya tidak stabil dan mudah digumpalkan.
Koloid yang demikian digolongkan sebagai koloid liofobik.

Menurut Martin (1983), selain kolid liofilik dan liofobik terdapat pula
koloid amfifilik. Koloid amfifik merupakan kolid gabungan liofilik dan
liofobik. Molekul - molekul atau ion - ion tertentu disebut amfifil atau zat
aktif yang melawan afinitas larutan dalam molekul atau ion sama. Jika ada
dalam suatu konsentrasi rendah. Jika konsentrasi ditingkatkan, terjadi
agregasi pada suatu jangkauan konsentrasi yang lebih sempit. Salah satu
contohnya adalah surfaktan.

Jadi gelatin merupakan koloid liofilik, FeCl3 koloid liofobik, dan SLS
merupakan koloid amfifilik. SLS koloid amfifilik dikarenakan SLS
merupakan salah satu surfaktan. Dimana pada surfaktan memiliki dua gugus
liofilik dan liofobik.

Dalam percobaan ini, pengaruh elektrolit (NaCl 20%) terhadap terhadap


sol Fe(OH)3 0,05% maupun 0,1 % yaitu negatif karena tidak terbentuk
endapan dalam penambahan NaCl 20%. Penambahan 2 ml NaCl 20%
menyebabakan terbentuknya endapan pada SLS 0,5% dan penambahan 1,2 ml
NaCl 20% menyebabkan terbentuknya endapan pada SLS 1%. Sedangkan
penambahan elektrolit pada gelatin 5% maupun 10% tidak terbentuk endapan.
Untuk gelatin yang merupakan koloid liofilik membutuhkan lebih banyak
elektrolit untuk membentuk endapan. Namun, untuk FeCl3 dan SLS tidak
sesuai dengan literatur. FeCl3 yang merupakan koloid liofobik seharusnya
terbentuk endapan dan SLS yang merupakan koloid amfifilik seharusnya
lebih sulit terbentuk endapan ketika ditambahkan elektrolit. Hal ini dapat
terjadi karena kemungkinan terjadi kesalahan dalam prosedur penambahan
NaCl 20% ke dalam larutan koloid dengan cara titrasi.

5.4 Pengaruh Alkohol Terhadap koloid

Cara untuk mengetahui pengaruh alkohol terhadap koloid yaitu dengan


mencatat berapa mL alkohol 95% yang dibutuhkan untuk mengendapkan 10
mL larutan 5% dan 10% dari gelatin. Dari percobaan tersebut alkohol 95%
yang diperlukan untuk mengendapkan 5% gelatin adalah 4,5 mL sedangkan
untuk gelatin 10% dibutuhkan 3,5 mL. Alkohol 95% dapat berfungsi untuk
menurunkan stabilitas koloid dengan memperkecil lapisan pelindung. Maka
akan dihasilkan suatu endapan.

Menurut vogel (1979), koloid liofobik memiliki konsentrasi rendah


yang akan mengakibatkan gumpalan (flokulasi). Liofilk memiliki konsentarsi
tinggi yang akan berpengaruh pada pengendapan. Semakin tinggi kadar
koloid liofilik, maka kebutuhan alkohol untuk merusak kestabilan koloid akan
semakin sedikit karena semakin tinggi kadar zat dalam larutan maka semakin
sedikit kadar air dalam larutan tersebut sehingga air lebih mudah tertaik oleh
alkohol.

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa semakin kecil


konsentrasi larutan makan volume alkohol yang dibutuhkan semakin banyak
karena semakin kecil konsentrasi larutan maka kandungan air di dalamnya
semakin banyak sehingg alkohol lebih banyak mengikat air.

5.5 Reversibilitas Koloid

Menurut Martin (2008), cara untuk mengetahui reversibilitas koloid


yaitu dengan menguapkan 10 mL masing – masing larutan hingga kering
kemudian ditambahkan air dingin pada masing – masing larutan. Apabila
setelah penambahan air dingin larutan bercampur kembali maka larutan
tersebut termasuk dalam reversible, tetapi ketika larutan tidak bercampur
kembali setelah penambahan air dingin, maka larutan tersebut termasuk
irreversible.

Dari percobaan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa FeCl 3 pada


semua konsentrasi termasuk dalam golongan irreversible karena tidak dapat
kembali ke bentuk semula. Sedangkan SLS dan gelatin termasuk ke dalam
golongan reversibel karena dapat kembali ke bentuk semula.

Menurut Martin (2008), adapun koloid liofilik cukup stabil bersifat


reversibel karena afinitasnya terhadap medium dispersi, bahan – bahan
tersebut memebentuk dispersi koloid atas sol dengan relatif mudah.
Sedangkan kolid liofobik tidak stabil bersifat irreversible karena tidak adanya
selimut pelarut di sekeliling partikel.

Dari informasi yang diperoleh di literatur dan berdasarkan hasil


percobaan, dapat disimpulkan bahwa FeCl3 merupakan koloid liofobik, SLS
merupakan koloid amfifilik dan gelatin merupakan koloid liofilik.

VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan

6.1.1 Sistem dispersi secara sederhana dapat diartikan sebagai larutan


atau campuran dua zat yang terdiri atas zat yang terlarut dan zat
pelarut. Dalam bidang Farmasetis, sistem koloid banyak digunakan
dalam pembuatan kosmetika maupun obat dalam bentuk salep atau
krim, pembuatan penisilin untuk suntikan dan minyak ikan, serta
serbuk karbon dalam sediaan untuk obat sakit perut.

6.1.2 Koloid adalah suatu bentuk campuran yang berdasar ukuran


molekulnya terletak antara larutan dan suspensi. Berdasarkan
interaksi dari fase terdispers dengan medium pendispersinya,
koloid dibagi menjadi 3 golongan yaitu koloid liofilik yang banyak
berinteraksi dengan medium pendispersinya, koloid liofobik yang
kemampuan tarik-menarik dengan medium pendispersinya kecil,
dan koloid gabungan atau amfilik.

6.1.3 Perbedaan sifat-sifat koloid liofilik dan liofobik

Koloid liofilik Koloid


liofobik
1. Mengadsorpsi mediumnya 1. Tidak mengadsorpsi
mediumnya
2. Memiliki viskositas tinggi 2. Memiliki viskositas rendah
3. Membutuhkan banyak 3. Membutuhkan sedikit
elektrolit untuk membentuk elektrolit untuk membentuk
endapan endapan
4. Bersifat reversible 4. Bersifat irreversible

6.2. Saran

Pada praktikum ini, sebaiknya menggunakan air yang lebih panas


terutama saat melarutkan gelatin supaya lebih cepat larut. Sebaliknya,
percobaan reversibilitas koloid dilakukan terlebih dahulu di awal karena
membutuhkan banyak waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Artkins, Peter. 2006. Artkins Physical Chemistry Eight Edition. New York : W.H.
Freeman and Company

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2013. Farmakope


Indonesia Edisi V. Jakarta : Kemenkes RI

Hame, D.I., and P. Hazel. 1998. E-book : Analytical Biochemistry Third Edition.
England : Pearson Education

Foliatini. 2009. Buku Pintar Kimia SMA. Jakarta : Wahyu Media

Keenan et all. 1986. Ilmu Kimia untuk Universitas Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Klug, W.S., Cumming,M.R. 1994. Concepts of Genetics. Englewoods Cliff :


Prentice-Hall Inc

Kurniastuti, Zety. 1999. Penghambatan Koagulasi Susu pada Pemanasan dengan


Pati Hasil Modifikasi.Yogyakarta : UGM-Wordpress
Martin, A. 1993. Farmasi Fisika Bagian Larutan dan Sistem Dispersi.
Yogyakarta : UGM-Press

Martin, A., Swarbrick, J. dan Cammarata, A. 2014. Farmasi Fisik Edisi Ketiga.
Jakarta : UI-Press

Mose, Yumike. 2014. Materi Koloid untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir


Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa. Bandung : Sekolah
Pascasarja di UPI

Nelson, D.L., Cox, M.M. 2012. Lehninger, Principle of Biochemistry (6th ed.).
Freeman, W.H. & Company

Nia, Kumaladewi. 2013. Fakta Sains Tersuper di Dunia. Jakarta : PT Grasindo

Sudarmo, Unggul. 2016. Kimia Untuk SMA/MA Kelas XI. Surakarta : Erlangga

Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta

Sutresna, Nana. 2007. Cerdas Belajar Kimia untuk Kelas XI. Bandung : Penerbit
Grafindo

Switzer. 1999. Experimental Biochemistry. Oxford : Blackwell Scientific Pub.

Vogel. 1994. Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik. Jakarta : EGC

Westermeier, R. 2005. Electrophoresis in Practice, Fourth Edition. WILEY-VCH


Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim

Wirawan J., Sarosa. 2010. Super Kimia. Jakarta : Wahyu Media

Wulandari, Erna Tri et all. 2018. Detik-Detik Ujian Nasional Kimia. Yogyakarta :
PT Intan Pariwara
LAMPIRAN

Gambar alat timbangan digital

(Dokumen Pribadi, 2019)


Gambar alat water bath (Dokumen Pribadi, 2019)

(Dokumen Pribadi, 2019)

Gambar pembuatan koloid FeCl3

(Dokumen Pribadi, 2019)

Gambar alat yang digunakan untuk


percobaan dispersi koloidal dan
sifat-sifatnya

(Dokumen Pribadi, 2019)

Gambar bahan gelatin

(Dokumen Pribadi, 2019)

Gambar bahan larutan FeCl3 tidak


kembali seperti semula
Gambar bahan FeCl3

(Dokumen Pribadi, 2019)

Data Perhitungan
1. FeCl3 0,05%
0,05
Massa = x 100 mL
100
= 0,05 gram
= 50 mg

2. FeCl3 0,1%
0,1
Massa = x 100 mL
100
= 0,1 gram
= 100 mg

3. Na Lauryl Sulfat 0,5%


0,5
Massa = x 100 mL
100
= 0,5 gram
= 500 mg

4. Na Lauryl Sulfat 1%
1
Massa = x 100 mL
100
= 1 gram
= 1000 mg

5. Gelatin 5%
5
Massa = x 100 mL
100
= 5 gram
= 5000 mg

6. Gelatin 10%
10
Maasa = x 100 mL
100
= 10 gram
= 10.000 mg

7. NaCl 20%
20
Massa = x 100 mL
100
= 20 gram
= 20.000 mg

Anda mungkin juga menyukai