1
M.L Soelaiman, Suatu Telaah tentang Manusia, Religi, Pendidikan. (Jakarta : Depdikbud,
Proyek Pengembangan LPTK, 1988), hal. 33-35
2
Dalam Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Teoretis; Apakah Pendidikan Masih
Diperlukan?, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hal. 22
27
28
3
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1998), hal. 3
4
Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyyah Islamiyyah wa Madrasah Hasan Al-Banna, (Kairo:
Maktabawah, 1979), hal. 23
5
Ali Abdul Halim Mahmud, Wasailut Tarbiyyah ‘inda Ikhwanul Muslimin, (Kairo: Darul
Wafa’ lit Tiba’ah wan Nasr wat Tauzi’, 1991), hal. 25
29
6
Muhammad Quthb, Sistem Penddikan Islam, terj. Salman Harun, cet. III, (Bandung: al-
Ma’arif, 1993), hal. 27
7
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-psinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1989), hal. 49
30
8
Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyyah, hal. 45-47.
9
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi (Jakarta: Raja
Grafiindo Persada, 1999),III: 130-131
10
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 HAL.), hal. 411.
31
11
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1980), hal. 196-200
12
Hasbi Ash Shidieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
hal. 25
13
Abdurrahman al-Nahlawi, op.cit., hal. 47
32
Banna sirah Rasul, the life of Muhammad tidak hanya dibaca sebagai
sejarah, tetapi lebih dari itu ia merupakan model yang harus diikuti secara
dinamis.
3. Kata-kata Sahabat
Sumber ketiga pendidikan Islam adalah kata-kata sahabat. Hal ini
disebabkan bahwa para sahabat bergaul dekat dengan Nabi, akhirnya banyak
mengetahui Sunnah Nabi yang menjadi sumber kedua pendidikan Islam.
Karenanya sudah tentu kata-kata dan perbuatan sahabat pun dapat
dimasukkan sebagai sumber pendidikan Islam.
4. Nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan
Sumber pendidikan Islam yang keempat adalah nilai-nilai sosial
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an
dan Sunnah Nabi atas prinsip mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Dengan sumber ini, maka pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam
kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan
sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.
5. Warisan Pemikiran-pemikiran dalam Islam
Sumber kelima pendidikan islam adalah warisan pemikiran-
pemikiran dalam islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama, filosof,
cendekiawan muslim, khususnya dalam bidang pendidikan dapat menjadi
referensi (sumber) pengembangan pendidikan islam.
Demikianlah beberapa sumber pendidikan islam menurut al-banna
yang menjadi referensi dan pegangan dalam pengembangan pendidikan
islam. Dari sumber-sumber pendidikan islam itulah kemudian
dikembangkan suatu sistem pendidikan islam yang mempunyai karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Oleh karena itu,
uraian berikut akan membahas beberapa karakteristik pendidikan Islam
menurut al-Banna.
33
14
Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),hal.399.
15
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal.7-8.
16
Ibid,hal.34.
34
ن
ِ ﺲ ِإﻟﱠﺎ ِﻟ َﻴ ْﻌ ُﺒﺪُو
َ ﻦ وَا ْﻟِﺈ ْﻧ
ﺠﱠ
ِ ﺖ ا ْﻟ
ُ ﺧَﻠ ْﻘ
َ َوﻣَﺎ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (Q.S. al-Dzariat: 56).
ﻦ
َ ب ا ْﻟﻌَﺎَﻟﻤِﻴ
ي َو َﻣﻤَﺎﺗِﻲ ِﻟﱠﻠ ِﻪ َر ﱢ
َ ﺤﻴَﺎ
ْ ﺴﻜِﻲ َو َﻣ
ُ ﺻﻠَﺎﺗِﻲ َو ُﻧ
َ ن
ﻞ ِإ ﱠ
ْ ُﻗ
Katakanlah sesungguhnya shalatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku
hanya untuk Allah, rabb semesta alam(Q.S.al-An’am:162)
17
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghozali tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998), hal. 57
18
Muhammad Quthb, op.cit., hal. 21
19
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an op.cit., hal. 847.
35
adalah terwujudnya sosok manusia yang baik dan paripurna, yakni manusia
yang ‘abid dan takwa. Dengan terbentuknya manusia atau pribadi yang
bertakwa melalui pendidikan Islam, maka dengan sendirinya pula
kedewasaan jasmani dan rohani akan tampak direfleksikan melalui tindakan
keseharian yang senantiasa menjunjung nilai-nilai moral Islam serta
sanggup pula menjaga dirinya dari tindakan-tindakan kajahatan.
Dalam konteks gerakan al-Ikhwan al-Muslimun tujuan permanen
dari pendidikan Islam menurut al-Banna dapat dirinci sebagai berikut :
a. Menginginkan terbentuknya sosok muslim dalam pemikiran, keyakinan,
akhlak dan emosinya. Inilah pembentukan individu muslim.
b. Mengingikan rumah tangga muslim dalam pemikiran, keyakinan, akhlak
dan emosinya, perbuatan dan tingkah lakunya. Inilah pembentukan
keluarga Muslim. Dalam hal ini, perhatian terhadap anak-anak
perempuan yang diberikan seperti perhatian yaang diberikan kepada anak
laki-laki, kepada anak-anak sama dengan perhatian yang diberikan
kepada kaum remaja.
c. Setelah itu, menginginkan terbentuknya masyarakat Muslim dalam aspek
diatas. Oleh karena itu, hrus berusaha agar pendidikan islam dapat
menembus seluruh dinding kelurga, di berbagai penjuru, tersebar dii
mana-mana,di kampung, di kota, di berbgai pusat kegiatan dan di
manapun. Untuk itu butuh usaha yang maksimal dalam mewujudkan cita-
cita tersebut.
d. Selanjutnya, menginginkan lahirnya pemerintahan muslim yang
mengantarkan rakyat pergi ke masjid, yang menuntun mereka kepada
petunjuk Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Abu
Bakar, Umar dan generasi-generasi sepeninggal Rasulullah Saw20.
Abdul Muta’al al-Jabari dalam sebuah tulisannya yang berjudul
pendidikan Ikhwanul Muslimin dalam Pandangan para Ahli Pendidikan,
mengatakan bahwa, al-Imam Syahid Hasan al-Banna, sebagai layaknya
20
Hasan al-Banna, Wa al-Syabab, (Kuwait : Maktabah al-Manar al-Islamiyyah, 1371),
Lihat juga Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal.32
36
21
Abdul Muta’al al-Jabari, “Pendidikan al-Ikhwan al-Muslimun dalam Pandangan Para
Ahli Pendidikan”, dalam, Pembunuhan Hasan al-Banna, terj. Afif Muhammad (Bandung :
Pustaka, 1986), hal. 52
22
Hasan al-Banna, Majmu’ah al-Rasail al-Imam Syahid Hasan al-Banna, (Iskandariah : Dar
al-Da’wah, 1988), hal. 59
23
Bagaimana mengimplementasikan tujuannya untuk lebih rincinya baca Ali Abdul Halim
Mahmud, Manhaj Tarbiyyah ‘inda Ikhwanul muslimin, Juz II, (Kairo : Darul Wafa’ lit Tiba’a wan
Nashr wat Tauzi’, 1991),hal. 677-692.
37
24
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., h, 31
38
3) Sosialisme
4) Diktatorisme
c. Arus politik dan ekonomi, meliputi :
1) Zionisme
2) Kolonialisme
3) Perang pemikiran dan peradaban
4) Ekonomi dan arus pemikira tentangnya yang merasuki dunia Islam
d. Sarana-sarana, pola-pola dan tradisi-tradisi kehidupan, meliputi :
1) Westernisasi
2) Persoalan wanita
3) Persoalan pendidikan dan pengajaran
4) Persoalan dekadensi oral
5) Persoalan misionaris25
Semua hal di atas menjadi perhatian al-Banna dalam melakukan
tarbiyyah terhadap para jamaah al-Ikhwan al-Muslimun, bahkan dalam
memberikan bimbingan kepada masyarakat pada umumnya untuk
menghadapi dinamika nilai yang terus berlangsung ditengah masyarakat.
Menurut analisis penulis, bila ditelaah lebih jauh, sasaran-sasaran
yang ingin dicapai pada tujuan antara (kontekstual) di atas, pada prinsipnya
merupakan operasionalisasi dari tujuan akhir (permanen). Dalam
operasionalisasinya tujuan kontekstual memperhatikan setting sosial yang
mengitari masyarakat, nilai-nilai apa yang sedang berkembang ditengah
masyarakat, apakah nilai-nilai itu berakses positif atau destruktif. Kemudian
setelah itu dilakukan langkah-langkah inovatif dan konstruktif untuk dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang berkembang ditengah
masyarakat itu berdasarkan nilai-nilai Islam. Kemampuan mencari
penyelesaian-penyelesaian dari persoalan-persoalan berdasarkan nilai-nilai
itulah barangkali yang menjadi target tujuan kontekstual dari pendidikan
Islam. Al-Banna meyakini bahwa sarana yang efektif sebagai penawar arus
25
Lebih rinci tentang penjelasan berbagai arus nilai yang tersebut di atas baca, Ali Abdul
Halim Mahmud, op.cit., hal. 42-105
39
26
Yusuf Al-Qardhawi, op.cit., hal.9
27
Ibid, hal. 23-65.
28
Ibid, hal. 23.
40
menyeluruh, tetapi juga terletak pada wataknya yang positif dan konstruktif.
Hal ini di manifestasikannya dengan menyerahkan tenaga dan pikirannya
untuk menciptakan manusia-manusia yang mempunyai sikap hidup positif
dan membangun.29
4. Keseimbangan dan Keserasian
Karakteristik pendidikan Islam selanjutnya adalah keseimbangan
dan keserasian. Menurut al-Banna salah satu yang membedakan pendidikan
Islam dengan yang lainnya adalah karena karakteristiknya yang seimbang
(tawazun). Hal ini dapat dipahami karena menurutnya umat Islam
merupakan umat pertengahan dan umat Islam selalu berusaha dalam
hidupnya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu lebih
lanjut ia menjelaskan pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan
materi dan rohani, akal dan perasaan, antara teori dan praktik, antara
individu dan masyarakat, antara kemufakatan dan kepatuhan, antara hak dan
kewajiban dan antara yang lama dan baru.30
5. Persaudaraan dan Kebersamaan
Karakteristik pendidikan Islam yang terakhir adalah persaudaraan
dan kebersamaan. Menurut al-Banna persaudaraan dan kebersamaan
merupakan ciri dari pendidikan Islam. Ia menafsirkan persaudaraan ini
dalam kata-katanya “ukhuwwah” ialah keterikatan hati dan jiwa satu sama
lain dengan ikatan akidah. Akidah merupakan pengikat yang paling kokoh
dan paling tinggi nilainya. Persaudaraan adalah saudara kembarnya iman,
sedangkan perpecahan adalah saudara kandungnya kekufuran. Yang
dinamakan kuat haruslah minimum kekuatan persatuan, yang tentunya tidak
dapat terwujud tanpa saling cinta-mencintai. Cinta yang minimum adalah
bersihnya jiwa dan maksimumnya ialah mengutamakan orang lain.31
Menurut al-Banna pendidikan Islam menyingkirkan segala
penghalang dan menghilangkan segala perbedaan yang memisahkan antara
29
Ibid, hal. 67-76.
30
Ibid, hal. 77-91.
31
Ibid, hal. 93-97
41
manusia, baik suku bangsa, tanah air, bahasa, warna kulit, dan status sosial.
Karakteristik persaudaraan dan kebersamaan ini selalu ditekankannya dalam
mendidik kader-kader al-Ikhwan al-Muslimun sehingga salah seorang
bernama Qadi Walidani mengatakan “telah terjalin hubungan yang sangat
kuat dan mengikat sebagian anggota al-Ikhwan al-Muslimun dengan
sebagian lainnya.
Karakteristik-karakteristik pendidikan Islam diatas seperti bisa
dilihat, membedakannya dengan pendidikan lain. Dengan karakteristik itu
menurut al-Banna, eksistensi pendidikan Islam di tengah pendidikan lain
dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas. Karena, pendidikan Islam
mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang
mengatur seluruh aspek manusia.
32
Hasan al-Bana, Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam, Terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta:
Media Dakwah, 1987), hal. 211.
33
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal. 25.
42
keseimbangan potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran tanpa adanya sikap
berlebih-lebihan di satu sisi dan pengabaian di sisi lain. Yaitu keseimbangan
yang mengantarkan kepada sikap adil, adil dalam segala hal. Sebagaimana
firman Allah:
ل
ُ ن اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ
َ س َو َﻳﻜُﻮ
ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ
َ ﺷ َﻬﺪَا َء
ُ ﺳﻄًﺎ ِﻟ َﺘﻜُﻮ ُﻧﻮا
َ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُآ ْﻢ ُأ ﱠﻣ ًﺔ َو
َ ﻚَ َو َآ َﺬِﻟ
ﺷﻬِﻴﺪًا َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ
َ
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah:
143) 34
ﻦ
ْﺴِﺣ
ْ ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َوَأ
َ ﻚ ِﻣ
َ ﺲ َﻧﺼِﻴ َﺒ
َ ﺧ َﺮ َة َوﻟَﺎ َﺗ ْﻨ
ِ ك اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺪﱠا َر اﻟْﺂ
َ وَا ْﺑ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ءَاﺗَﺎ
ﺤﺐﱡ
ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻟَﺎ ُﻳ ض ِإ ﱠ
ِ ﻚ َوﻟَﺎ َﺗ ْﺒ ِﻎ ا ْﻟ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْرَ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِإَﻟ ْﻴ
َﺴَﺣْ َآﻤَﺎ َأ
.ﻦ
َ ﺴﺪِﻳِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan. (Al-Qasas: 77).35
34
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hal. 36.
35
Ibid, hal. 623.
36
Yusuf al-Qardhawi, op. cit, hal. 7.
43
1. Pendidikan aqidah
2. Pendidikan intelektual
3. Pendidikan moral
4. Pendidikan sosial
5. Pendidikan fisik
Aspek-aspek tersebut sesuai dengan yang mereka laksanakan dalam
realita, sesuai dengan pandangan mereka tentang manusia sebagai suatu
kesatuan yang memiliki multidimensi, sesuai pula dengan dasar-dasar
pendidikan dan teori mereka tentang perubahan sosial. Dalam makalah ini
kami akan membahas satu persatu dari pada aspek-aspek tersebut.
1. Pendidikan Aqidah
Urgensi Pendidikan Aqidah Menurut Ikhwan al-Muslimin seperti
yang dikemukakan Hasan al-Bana adalah salah satu elemen utama pribadi
muslim adalah aqidah yang bersih (saliman aqidah). Ia juga mewajibkan
kepada setiap anggota jama’ahnya untuk mempelajari satu risalah tentang
dasar-dasar aqidah. Sejak awal dakwanya, al-Banna berusaha untuk
menanamkan aqidah yang sahih dalam setiap majlis yang
37
diselenggarakannya.
Titik tolak dalam pendidikan pribadi muslim yang menciptakan
perubahan yang diharapkan adalah dengan menghidupkan elemen-elemen
pokok aqidah dalam akal pikiran dan hati nurani individu dan komunitas,
serta mengembalikan bangunannya dalam jiwa, agar mereka berusaha
bergerak dengan bimbingan pengetahuan, untuk mewujudkan kandungan di
alam realitas. Dengan demikian, tidak mungkin memulai suatu kehidupan
yang Islami tanpa mendidik masyarakat dengan prinsip aqidah Islam dengan
maknanya yang hakiki.
Aqidah bukan masalah sekunder, sehingga dapat kita tangguhkan
pada waktu tertentu, sehingga manfaat Islam secara praktis dapat dinikmati
masyarakat luas. Masalahnya aqidah itu bersemi di dalam hati, yang itu
37
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 86.
44
justru sesuai dengan citra kemanusiaan, yang tunduk pada fitrahnya. Dengan
fitrah itulah ia harus menghadap kepada Tuhan.38
Metode pengajaran Aqidah menurut al-Banna bahwa dalam
pengajaran aqidah didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits sahih secara
langsung, atau dari orang yang telah mendapatkan pengajaran al-Qur’an dan
hadits itu. Di kalangan mereka, metode pembinaan aqidah tersimpul dalam
pengajran langsung al-Qur’an dan kajian beberapa risalah aqidah Islamiyah.
Menurut aqidah Ikhwan, setiap individu berjanji kepada dirinya
sendiri untuk memutuskan hubungan dengan semua koran, buletin, buku,
lembaga, kelompok, dan klub-klub, yang berseberangan dengan ajaran-
ajaran Islam. Al-Banna menjadikan sikap loyal dan permusuhan, harus
semata-mata atas pertimbangan iman kepada Allah atau tidak. Beliau
mewajibkan kepada setiap anggotanya untuk melepaskan hubungannya
dengan suatu lembaga atau jama’ah, yang hubungan itu tidak memberi
kemaslahatan bagi fitranya, di waktu yang sama, ia harus menunaikan hak-
hak akh (panggilan untuk anggota Ikhwan yang artinya “saudara”) yang lain
secara penuh, beruapa rasa cinta dan itsar (mementingkan kepentingan
orang lain dari diri sendiri), juga membangun jalinan aqidah dengan
mereka.39
Tujuan pendidikan aqidah yang ingin dicapai oleh al-Banna antara
lain yaitu :
a. Agar setiap individu beriman kepada Allah, dengan segala sifat dan
perbuatan-Nya, sebagaimana yang dipahami oleh Ahlus Sunnah dari
salafinas shahih, sesuai dengan manhaj mereka.
b. Agar yakin dengan kayakinan yang shahih kepada kitab-kitab langit
(samawi), para nabi, wahyu, mukjizat, malaikat, yang ghaib, qadha dan
qadar, hari akhir, dengan segala yang terjadi di dalamnya.
c. Berkayinan terhadap eksistensi manusia, alam, kehidupan, dan nilai-nilai.
38
Muhammad Qutub, M. Mutawwali Asy-Sya’rawi, Kepribadian dalam Kancah
Modernisasi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1991), hal. 59.
39
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 282.
45
2. Pendidikan Intelektual
Pendidikan intelektual atau pengembangan wawasan adalah sesuatu
yang ingin dicapai Ihkwan. Ini memempati posisi yang penting. Perhatian
mereka pada aspek ini berangkat dari keyakinan bahwa ia adalah sikap
Islam itu sendiri. Mereka melihat bahwa Islam tidak membekukan pikiran
atau memasung akal.41
Perhatian pada aspek pemikiran, ilmu pengetahuan dan tsaqafah
“wawasan keilmuan” ini merupakan aspek penting dengan syarat ia
memiliki kesesuaian dan saling melengkapi dengan aspek-aspek yang lain,
dak tidak boleh menyimpang.42
Oleh karena itu al-Banna menjadikan “paham” sebagai rukun bai’at
yang pertama dan didahulukannya atas ikhlas, amal, jihad, persaudaraan dan
sebagainya yang merupakan prinsip-prinsip dakwah. Karena pemahaman
mendahului semua itu dan seorang manusia tidak akan ikhlas terhadap
kebenaran, mengamalkan dan memperjuangkannya kecuali setelah ia
mengenalnya dan memahaminya.43
40
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 138.
41
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 445.
42
Fathi Yakan, Prinsip-Prinsip Gerakan Islam, terj. Farid Dhofir dan Muhil Dhofir,
(Jakarta: Al-I’tisham, 2001), hal. 21.
43
Yusuf Qardhawi, op. cit, hal. 41.
46
وﻟﻴﻌﻠﻢ اﻟﺬﻳﻦ أوﺗﻮا اﻟﻌﻠﻢ أﻧﻪ اﻟﺤﻖ ﻣﻦ رﺑﻚ ﻓﻴﺆﻣﻨﻮا ﺑﻪ ﻓﺘﺨﺒﺖ ﻟﻪ
ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ
“Supaya orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini, bahwasannya al-
Qur’an itulah yang hak (yang diturunkan) dari Tuhanmu, lalu mereka
beriman kepadanya dan tunduklah kepadanya hati mereka.” (QS. Al-Hajj:
54).44
Al-Banna menyeru kepada Ikhwan agar memiliki pemahaman yang
benar dan cermat, yang itu dapat menjadikannya mampu menempatkan
sesuatu pada tampatnya tanpa berlebih-lebihan dan tanpa meremehkan,
yaitu pemahaman yang jernih, murni, integral, dan universal.45
Adapun tujuan pendidikan intelektual mencakup:
a. Membentuk intelektual muslim yang memiliki kemampuan mempersepsi
yang benar dan yang salah secara benar.
b. Membentuk intelektual yang memahami Islam dengan pemahaman yang
baik dan menjadikannya (Islam) sebagai kerangka berfikir.
c. Membentuk intelektual yang independen dan kritis.
d. Membentuk intelektual yang memahami masyarakatnya dan mampu
menganalisis masalah serta memberi solusi.46
Atas dasar tujuan tersebut, al-Banna merumuskan beberapa hal
terkait guna pencapaian tujuan tersebut diantaranya adalah menentukan
sumber-sumber ilmu dan bidang kerja akal secara hati-hati, menentukan
paradigma berpikir yang benar dan membebaskan dari yang tidak sesuai
dengan Islam, menentukan sikap intelektual muslim kontemporer terhadap
warisan kekayaan intelektual dan terhadap Barat, menentukan karakteristik
44
Departemen Agama RI, op. cit, hal. 520.
45
Muhammad Abdullah al Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran
Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), hal. 23.
46
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 148.
47
3. Pendidikan Moral
Rasa moral adalah pembawaan manusia sejak lahir, dan selama masa
berabad-abad ia telah menjadi ukuran tingkah laku moral manusia biasa,
yang membenarkan sifat-sifat tertentu dan mencela sifat-sifat lainnya.
Sementara kesanggupan instinktif ini dapat berbeda-beda dari manusia ke
manusia; kesadaran batin manusia telah memberikan suatu putusan yang
lebih kurang seragam sifatnya dalam membenarkan tingkah laku sebagai
buruk atau jahat.48
Moral/akhlak tidak dapat digambarkan sebagai kumpulan ikatan,
belenggu, dan kaidah-kaidah yang hampa, tetapi di dalamnya terkandung
suatu potensi yang membangun, suatu energi untuk memantapkan dirinya
dalam gerakannya; akan tetapi ia suci dan bersih.49
Al-Banna memberikan perhatian yang besar kepada aktivitas
pendidikan moral setiap anggota, dan siapa saja yang menjadi obyek
dakwahnya. Itu didasarkan keapda prinsip bahwa moralitas adalah salah satu
pilar perubahan yang selalau mereka kumandangkan.
Adapun tujuan pendidikan moral di akangan Ikhwan dilaksanakan
dalam rangka mencapai suatu tujuan, yaitu kontrol internal, rasa estetika,
dan kedisiplinan memegang teguh akhlak yang baik.
Usaha pembekalan individu dengan aspek di atas disandarkan pada
beberapa prinsip,50 yaitu :
a. Adanya kesiapan moral untuk berubah.
b. Pengetahuan tentang moral tidak menjamin aplikasinya.
47
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, terj. Jasiman dkk,
(Solo: Era Intermedia, 2000), hal.. 530.
48
Abu A’la Al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, terj. Osman Raliby,
(Jakarta: Media Dakwah, 1996), cet. 7, hal. 31.
49
Sayyid Qutub, Inilah Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), hal. 30.
50
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, op. cit, hal. 503.
48
51
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 428.
49
Ini sangat penting dalam memberikan pendidikan moral, baik dalam Jamaah
ikhwan maupun di sekolah.
4. Pendidikan Sosial
Yang pertama kali dilakukan dalam langkah perubahan sosial adalah
melakukan sesuatu yang bisa mengubah seseorang, dari statusnya sebagai
“individu” menjadi sebuah “pribadi”. Ini dilakukan dengan mengubah sifat-
sifat asal yang mengaitkan dirinya dengan “jenis” (spesies) untuk
mengaitkannya dengan masyarakat.
Membentuk individu menjadi berkarakter sosial pada hakekatnya
adalah proses “pembebasan”. Yaitu pembebasan individu dari berbagai
refleksi yang bertentangan dengan kecenderungan sosial, sekaligus usaha
mendapatkan lebih banyak refleksi yang juga lebih banyak kesesuaiannya
dengan kehidupan sosial. Itulah sebenarnya proses pendidikan sosial.
Adapun tujuan pendidikan sosial mencakup:
a. Mengokohkan solidaritas sosial.
b. Menekankan tradisi Islami di tengah masyarakat.
c. Pemberdayaan sosial.
5. Pendidikan Jasmani
Ikhwan memberikan perhatian kepada pendidikan jasamani, itu
dimaksudkan agar setiap individu siap memikul beban-beban jihad. Artinya,
pendidikan jasmani menurut mereka bukan sekedar kegiatan untuk
mendapatkan kekuatan dan kebugaran tubuh, namun juga berkaitan erat
dengan tujuan-tujuan ideologis yang berhubungan dengan jihad fi sabilillah,
juga untuk melaksanakan tugas dan beban kewajiban kemanusiaan sebaik-
baiknya.52
Untuk membangun dan membina manusia yang kuat, sehat dan
mampu melaksanakan tugasnya, bukanlah sekedar untuk menumbuhkan
otot dan kekuatan tubuh. Akan tetapi untuk mempersiapkan tubuh secara
baik, lewat olaraga dan lainnya, dan itu haruslah bertujuan dalam rangkah
52
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 118.
50
53
Edward Mortimer, op. cit, hal. 238.
54
Ibid., hal. 552.
51
kata dasar itu juga terbentuk kata “kitab” yang berarti “buku” dan kitabah
yang berarti tulisan.
Kitabah menurut jama’ah memiliki pengertian yang bersifat gerakan
karena dengan katibah tersebut anggota-anggota jama’ah berlatih hidup
bersama antara sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain dalam
waktu yang tidak sebentar bahkan tidak sebagaimana biasanya, karena ia
dilakukan pada wkatu malam ketika kebanyakan orang terlelap tidur dalam
istirahatnya. Semua itu agar anggota Ikhwan dapat melihat hakekat dirinya
sendiri, apakah mereka memilih bersantai-santai ataukah memilih berpayah-
payah dan berjihad di jalan Allah dan di jalan dakwah menuju Allah.55
Katibah sebagai salah satu sarana tarbiyah siyasah dimaksudkan
untuk menciptakan keharmonisan bangunan kepribadian Islam yang utuh
pada seseorang, yakni dengan menanamkan karakter pandai mendekatkan
diri kepada Allah dalam bentuk taat kepadanya dan mencintai jihad yang
dimulai dengan jihad terhadap jiwa, hawa nafsu dan menjauhi hidup santai.
Semua itu dilakukan agar ia memiliki kecakapan untuk memikul beban
dakwah kepada Allah dan aktivitas Islam di tengah himpitan situasi politik,
ekonomi, budaya dan sosial yang represif terhadap Islam dan bernafsu
memadamkan cahayanya, yang memusuhi Islam dan ingin melenyapkan
para pemeluknya yang setia.56 Sebagaimana firman Allah :
وﻟﻘﺪ ارﺳﻠﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻚ رﺳﻼ إﻟﻰ ﻗﻮﻣﻬﻢ ﻓﺠﺎؤوهﻢ ﺑﺎﻟﺒﻴﻨﺎت ﻓﺎﻧﺘﻘﻤﻨﺎ ﻣﻦ
.اﻟﺬﻳﻦ اﺟﺮﻣﻮا وآﺎن ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻧﺼﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ
Dan sesunguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa Rasul
kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-
keterangan, lalu kami melakukan pembalasan-pembalasan terhadap orang-
55
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal. 250.
56
Ibid, hal. 269.
52
2. Usrah
Usrah sebagai sistem pendidikan Ikhwan, dimulai karena dua sebab.
Pertama, kelemahan yang ada dalam sistem kitabah. Kedua, tekanan
eksternal terhadap jamaah Ikhwan yang memaksa untuk mengembangkan
sistem pendidikan yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk tekanan yang
berbahaya.
Secara bahasa usrah memiliki beberapa makna yaitu baju perisai
yang melindungi, istri dan keluarga seseorang dan jamaah yang diikat oleh
kepentingan yang sama. Dalam sosiologi diartikan usrah seseorang terdiri
dari kerabat dan isteri. Ikatan usrah menyebabkan ahirnya hak dan
kewajiban, baik yang bersifat materi maupun selain materi.60
Dari definisi di atas, baik secara bahasa ataupun sosiologi dapat
dikatakan bahwa dalam sejarah pendiriannya, Ikhwan menjadikan
perkumpulan ini sebagai wadah yang didalamnya terkandung semua makna
yang telah disebutkan di atas, ia dapat dikatakan sebagai perisai
perlindungan yang kokoh bagi setiap anggotanya, yang dapat dijadikan
57
Dengan kedatangan rasul-rasul yang cukup membawa keterangan-keterangan kepada
kaumnya itu, maka sebagian mereka mempercayainya dan sebagian lagi mendustakannya bahkan
sampai ada yang menyakitinya, maka terhadap orang yang berdosa seperti itu Allah menyiksa
mereka.
58
Soenarjo, Op.cit, hal. 648.
59
Koentowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 205.
60
Ali Abdul Halim Mahmud, Op.cit. hal. 126.;
53
وﻣﻦ ﻳﺒﺘﻎ ﻏﻴﺮ اﻹﺳﻼم دﻳﻨﺎ ﻓﻠﻦ ﻳﻘﺒﻞ ﻣﻨﻪ وهﻮ ﻓﻲ اﻷﺧﺮة ﻣﻦ
.اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ
61
Ibid., hal. 129.
54
62
Usman Abdul Muiz Ruslan, Op.cit, hal. 572.
55
4. Daurah
Dinamakan daurah disebabkan karena merupakan aktivitas berkala
yakni dilaksanakan pada setiap waktu tertentu secara rutin. Ia adalah
aktivitas mengumpulkan sejumlah Ikhwan yang relatif banyak di suatu
tempat untuk mendengarkan ceramah, kajian, penelitian dan pelatihan
tentang suatu masalah dengan mengangkat tema tertentu yang dirasa penting
bagi keberlangsungan awal islami. Ia juga merupakan salah satu perangkat
pendidikan politik yang sering digunakan jama’ah dengan maksud
meningkatkan kadar wawasan dan pelatihan pada diri anggota Ikhwan baik
63
Ibid, hal. 585. Adapun mu’tamar yang pernah diselenggarakan oleh Ikhwan secara
periodik antara lain; mu’tamar pada bulan Mei 1933 dihadiri oleh seribu anggota, mu’tamar ketiga
pada bulan Maret 1937 dihadiri oleh dua puluh ribu anggota, mu’tamar kelima pada tahun 1938,
mu’tamar keenam bulan Desember 1941 dihadiri oleh enam puluh ribu anggota, mu’tamar ketujuh
bulan Desember 1943 dihadiri kurang lebih dua ratus ribu anggota, mu’tamar kedelapan pada
bulan September 1945 dihadiri oleh sekitar lima ratus ribu anggota.
56
64
Ali Abdul halim Mahmud, Op.cit, hal. 323.
57
65
Ibid. hal. 326.