Anda di halaman 1dari 31

BAB III

PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF


IKHWAN AL-MUSLIMIN

A. Definisi Pendidikan Islam


Pendidikan dalam pengertian yang umum dapat diartikan sebagai
proses pemberian bantuan orang dewasa kepada yang belum dewasa, melalui
pergaulan, dalam bentuk pemberian pengaruh, dengan tujuan agar yang
dipengaruhi kelak dapat melaksanakan hidup dan tugas hidupnya sebagai
manusia secara mandiri dan bertanggung jawab1. Menurut M.J. Langeveld,
pendidikan atau pedagogi adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju
pada kedewasaan dan kemandirian2.
Pendidikan–yang kata itu juga dilekatkan kepada islam – telah
didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan sesuai
dengan pendapatnya masing-masing. Akan tetapi, semua pendapat itu bertemu
dalam pandangan bahwa “pendidikan adalah suatu proses, yakni suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien”.
Pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran karena dalam
kenyataannya, pendidikan adalah suatu proses, yaitu suatu bangsa atau negara
membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.
Dalam kesadaran tersebut, suatu bangsa atau negara dapat mewariskan
kekayaan budaya atau pemiikiran kepada generasi berikutnya, sehingga
menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek kehidupan.
Oleh karena itu, menurut Azyumardi Azra, pendidikan benar-benar
merupakan latihan fisik dan moral bagi individu-individu, supaya mereka

1
M.L Soelaiman, Suatu Telaah tentang Manusia, Religi, Pendidikan. (Jakarta : Depdikbud,
Proyek Pengembangan LPTK, 1988), hal. 33-35
2
Dalam Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Teoretis; Apakah Pendidikan Masih
Diperlukan?, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hal. 22

27
28

menjadi manusia yang berbudaya. Sehingga, ia mampu memenuhi tugasnya


sebagai manusia dan menjadi warga negara yang berarti bagi suatu negara3.
Dari pandangan ahli pendidikan, sebagaimana dikutip di atas jelaslah
bahwa pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-
individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita
masyarakat. Pendidikan merupakan proses yang komprehensif mencakup
seluruh aspek kehidupan untuk mempersiapkan mereka agar mampu mengatasi
segala tantangan.
Menurut Hasan al-Banna, sebagaimana diungkapkan Yusuf al-
Qardhawi dalam buku Tarbiyah Islamiyyah wa Madrasah Hasan Al-Banna,
bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan
hatinya, ruhani dan jasmaninya, akhlak dann ketrampilannya. Oleh karena itu
pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai
dan perang; dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala
kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya4.
Pada kesempatan lain dikemukakan oleh Ali Abdul Halim Mahmud
dalam buku Wasailut Tarbiyyah ‘inda Ikhwanul Muslimin, bahwa pendidikan
Islam menurut al-Banna adalah pendidikan manusia secara holistik, yang
menyentuh seluruh aspek kehidupannya yang meliputi: ruhani, jasmani, dan
akal pikiran. Demikian juga dengan kehidupan duniawinya, dengan segenap
aspek hubungan dan kemaslahatan yang mengikatnya, dan kehidupan
akhiratnya, dengan segala amalan yang dihisabnya, yang membuat Allah ridha
atau murka. Oleh karena itu, ia bersifat integral dan komprehensif, dan itulah
yang membedakan antara pendidikan Islam dengan sistem pendidikan yang
lain5.

3
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1998), hal. 3
4
Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyyah Islamiyyah wa Madrasah Hasan Al-Banna, (Kairo:
Maktabawah, 1979), hal. 23
5
Ali Abdul Halim Mahmud, Wasailut Tarbiyyah ‘inda Ikhwanul Muslimin, (Kairo: Darul
Wafa’ lit Tiba’ah wan Nasr wat Tauzi’, 1991), hal. 25
29

Sejalan dengan pendapat al-Banna di atas, Muhammad Quthb


menyebutkan, pendidikan Islam adalah pendidikan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun
baik segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun
kehidupannya secara mental, dan segala kegiatannya di bumi ini6.
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pengertian pendidikan Islam
adalah “Pengembangan pemikiran manusia dan penataan tingkah laku serta
emosinya berdasarkan ajaran Islam dengan merealisasikan tujuan ajaran Islam
di dalam kehidupan individu dan masyarakat pada semua lapangan kehidupan7.
Pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh al-Banna dan beberapa
pakar atau ilmuwan pendidikan Islam di atas memperlihatkan bahwa
pendidikan Islam berusaha mengembangkan manusia seutuhnya, bukan hanya
serpihan-serpihan dari potensi yang diberikan Tuhan kepadaNya, seperti
berlaku pada pendidikan Spartha dan Athena atau sistem pendidikan lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan yang signifikan
antara pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya. Perbedaan utama
yang paling menonjol adalah, bahwa pendidikan Islam bukan hanya
mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga
untuk kebahagiaan akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha
membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga pribadi-
pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.

B. Dasar Pendidikan Islam


Menurut al-Banna sumber-sumber pendidikan Islam inheren dalam
sumber-sumber ajaran Islam itu sendiri. Hal ini dapat dipahami karena
mengacu pada pemahamannya bahwa Islam adalah ajaran yang menyeluruh
dan terpadu. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam urusan-

6
Muhammad Quthb, Sistem Penddikan Islam, terj. Salman Harun, cet. III, (Bandung: al-
Ma’arif, 1993), hal. 27
7
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-psinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1989), hal. 49
30

urusan keduniaan maupun hal-hal yang menyangkut keakhiratan. Pendidikan


adalah bagian terpadu dari aspek-aspek ajaran Islam.
Secara singkat sumber-sumber pendidikan Islam, mennrut al-Banna
dapat diformulasikan sebagai berikut8:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad menjadi sumber pendidikan Islam pertama dan utama. Dalam
keyakinan al-Banna bahwasanya al-Qur’an mesti menjadi dasar moralitas
individu, dan menekankan penerapan syari’ah dalam seluruh permasalahan
termasuk permasalahan pendidikan9. Al-Qur’an menduduki tempat paling
depan dalam pengambilan sumber-sumber pendidikan lainnya. Segala
kegiatan dan proses pendidikan Islam haruslah senantiasa berorientasi
kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah
untuk menunjuki manusia ke arah yang lebih baik. Karenanya wajar bila
segala kegiatan dan proses pendidikan Islam senantiasa berorientasi kepada
prinsip-prinsip al-Qur’an.
Dalam kaitan al-Qur’an diturunkan untuk menunjuki manusia ke
arah yang lebih baik, Allah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya :

‫ﺧ َﺘَﻠﻔُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ َو ُهﺪًى‬


ْ ‫ﻦ َﻟ ُﻬ ُﻢ اﱠﻟﺬِي ا‬
َ ‫ب ِإﻟﱠﺎ ِﻟ ُﺘ َﺒﱢﻴ‬
َ ‫ﻚ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫َوﻣَﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ‬
‫ن‬
َ ‫ﺣ َﻤ ًﺔ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
ْ ‫َو َر‬
Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan
agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.
(QS. An-Nahl : 64).10

Masih berhubungan dengan persoalan di atas, Hasan Langgulung


dalam karyanya Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,

8
Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyyah, hal. 45-47.
9
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi (Jakarta: Raja
Grafiindo Persada, 1999),III: 130-131
10
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 HAL.), hal. 411.
31

mengemukakan, bahwa al-Qur’an memberikan prinsip yang sangat penting


bagi pendidikan, yaitu penghormatan kepada akal manusia, bimbingan
ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, serta memelihara kebutuhan
sosial11.
2. Al-Sunnah
Sumber pendidikan Islam kedua adalah Sunnah Nabi. Menurut al-
Banna sunnah Nabi merupakan cerminan prinsip, manifestasi wahyu dalam
segala perbuatan, perkataan dan taqrir Nabi. Sebagaimana al-Qur’an,
Sunnah Nabi mesti menjadi dasar moralitas individu dan menjadi tuntunan
yang harus diikuti. Dalam sunnah Nabi terkandung unsur-unsur pendidikan
yang sangat berarti.
Sehubungan dengan persoalan di atas, Hasbi Ash Shiddieqy
mengatakan, bahwa Sunnah menurut istilah muhaaditsin, ialah segala yang
dinukilkan dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa
taqrir, pengajaran sifat, kelakuan perjalanan hidup, baik yang demikian itu
sebelum Nabi Saw, diangkat menjadi rasul, maupun sesudahnya12.
Dalam kaitannya dengan lapangan pendidikan, menurut an-Nahlawi,
Sunnah Nabi mempunyai dua faedah yang sangat besar yaitu :
a. Menjalankan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan
menerangkan hal-hal kecil yang terdapat di dalamnya.
b. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw,
bersama para sahabatnya, perlakuannya terhadap anak-anak dan
penanaman keimanan ke dalam jiwa yang dilakukannya13.
Dari uraian di atas dapat diambil relevansinya dengan atau sebagai
dasar pendidikan Islam, bahwa segala perbuatan Rasul dalam menjalankan
pendidikan menjadi contoh dalam pendidikan Islam baik sistemnya,
metodenya, maupun cara memberikan kasih dan sayangnya. Menurut al-

11
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1980), hal. 196-200
12
Hasbi Ash Shidieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
hal. 25
13
Abdurrahman al-Nahlawi, op.cit., hal. 47
32

Banna sirah Rasul, the life of Muhammad tidak hanya dibaca sebagai
sejarah, tetapi lebih dari itu ia merupakan model yang harus diikuti secara
dinamis.
3. Kata-kata Sahabat
Sumber ketiga pendidikan Islam adalah kata-kata sahabat. Hal ini
disebabkan bahwa para sahabat bergaul dekat dengan Nabi, akhirnya banyak
mengetahui Sunnah Nabi yang menjadi sumber kedua pendidikan Islam.
Karenanya sudah tentu kata-kata dan perbuatan sahabat pun dapat
dimasukkan sebagai sumber pendidikan Islam.
4. Nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan
Sumber pendidikan Islam yang keempat adalah nilai-nilai sosial
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an
dan Sunnah Nabi atas prinsip mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Dengan sumber ini, maka pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam
kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan
sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.
5. Warisan Pemikiran-pemikiran dalam Islam
Sumber kelima pendidikan islam adalah warisan pemikiran-
pemikiran dalam islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama, filosof,
cendekiawan muslim, khususnya dalam bidang pendidikan dapat menjadi
referensi (sumber) pengembangan pendidikan islam.
Demikianlah beberapa sumber pendidikan islam menurut al-banna
yang menjadi referensi dan pegangan dalam pengembangan pendidikan
islam. Dari sumber-sumber pendidikan islam itulah kemudian
dikembangkan suatu sistem pendidikan islam yang mempunyai karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Oleh karena itu,
uraian berikut akan membahas beberapa karakteristik pendidikan Islam
menurut al-Banna.
33

C. Tujuan Pendidikan Islam


Dalam pengertian pendidikan Islam menurut Hasan al-Banna
sebagaimana yang telah dikutip terdahulu, terkandung tujuan-tujuan yang
hendak dicapai. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas pemikiran al-
Banna yang berkaitan dengan tujuan pendidikan islam.
Dalam pengertian umum, tujuan pendidikan adalah perubahan yang
diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk
mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya
atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar14.
Berkait dengan tujuan pendidikan Islam menurut al-Banna, maka mau
tidak mau persoalan ini amat berkait erat dengan tujuan dari organisasi yang
didirikannya yaitu al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam perspektif al-Banna, antara
pendidikan Islam dan al-Ikhwaan al-Muslimun mempunyai hubungan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana diketahui bahwa semua
kegiatan jamaah al-Ikhwan al-Muslimun tidak akan lepas dari aktifitas
Tarbiyyah Islamiyyah; sebuah upaya terus-menerus dalam pendidikan dan
pembinaan keislaman terhadap setiap indifidu muslim15.
Menurut al-Banna, secara garis besar tujuan pendidikan Islam dibagi
menjadi dua bagian, yakni : tujuan akhir (permanen) dan tujuan antara
(kontekstual).
1. Tujuan akhir (permanen)
Tujuan permanen dari tujuan pendidikan Islam ialah
memberdayakan manusia untuk dapat mengabdi kepada sesembahan yang
haq, yaitu Allah swt. yang tiada sekutu bagi-Nya16.
Tujuan tersebut selaras dengan tujuan penciptaan manusia yang
harus mengabdi dan berserah diri kepada Allah, sebagaimana firman Allah
S.W.T.

14
Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),hal.399.
15
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal.7-8.
16
Ibid,hal.34.
34

‫ن‬
ِ ‫ﺲ ِإﻟﱠﺎ ِﻟ َﻴ ْﻌ ُﺒﺪُو‬
َ ‫ﻦ وَا ْﻟِﺈ ْﻧ‬
‫ﺠﱠ‬
ِ ‫ﺖ ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺧَﻠ ْﻘ‬
َ ‫َوﻣَﺎ‬
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (Q.S. al-Dzariat: 56).

‫ﻦ‬
َ ‫ب ا ْﻟﻌَﺎَﻟﻤِﻴ‬
‫ي َو َﻣﻤَﺎﺗِﻲ ِﻟﱠﻠ ِﻪ َر ﱢ‬
َ ‫ﺤﻴَﺎ‬
ْ ‫ﺴﻜِﻲ َو َﻣ‬
ُ ‫ﺻﻠَﺎﺗِﻲ َو ُﻧ‬
َ ‫ن‬
‫ﻞ ِإ ﱠ‬
ْ ‫ُﻗ‬
Katakanlah sesungguhnya shalatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku
hanya untuk Allah, rabb semesta alam(Q.S.al-An’am:162)

Tujuan penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan ayat-ayat al-


Qur’an di atas, juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam, yakni
menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan yang selalu bertaqwa dan
mengabdi kepada-Nya. Sebagai hamba Allah yang bertaqwa, maka segala
sesuatu yang diperoleh dalam proses pendidikan Islam itu tidak lain
termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian kepada Allah swt.
Menurut al-Ghazali, pendidikan Islam dalam prosesnya haruslah
melakukan pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani,
mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia
dan akhirat17.
Muhammad Quthb menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan
Islam adalah “terwujudnya manusia yang taqwa18”. Pendapat ini disarikan
dari pemahamannya terhadap ayat tiga belas surat al-Hujarat dalam al-
Qur’an yang berbunyi :

‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َأ ْﺗﻘَﺎ ُآ ْﻢ‬


ِ ‫ن َأ ْآ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ‬
‫ِإ ﱠ‬
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian menurut pandangan Allah
ialah yang paling tinggi tingkat ketaqwaannya”. (Q.S. al-Hujarat: 13).19

Memperhatikan berbagai ungkapan di atas, maka secara esensial


sesungguhnya dapat dipahami bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam itu

17
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghozali tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998), hal. 57
18
Muhammad Quthb, op.cit., hal. 21
19
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an op.cit., hal. 847.
35

adalah terwujudnya sosok manusia yang baik dan paripurna, yakni manusia
yang ‘abid dan takwa. Dengan terbentuknya manusia atau pribadi yang
bertakwa melalui pendidikan Islam, maka dengan sendirinya pula
kedewasaan jasmani dan rohani akan tampak direfleksikan melalui tindakan
keseharian yang senantiasa menjunjung nilai-nilai moral Islam serta
sanggup pula menjaga dirinya dari tindakan-tindakan kajahatan.
Dalam konteks gerakan al-Ikhwan al-Muslimun tujuan permanen
dari pendidikan Islam menurut al-Banna dapat dirinci sebagai berikut :
a. Menginginkan terbentuknya sosok muslim dalam pemikiran, keyakinan,
akhlak dan emosinya. Inilah pembentukan individu muslim.
b. Mengingikan rumah tangga muslim dalam pemikiran, keyakinan, akhlak
dan emosinya, perbuatan dan tingkah lakunya. Inilah pembentukan
keluarga Muslim. Dalam hal ini, perhatian terhadap anak-anak
perempuan yang diberikan seperti perhatian yaang diberikan kepada anak
laki-laki, kepada anak-anak sama dengan perhatian yang diberikan
kepada kaum remaja.
c. Setelah itu, menginginkan terbentuknya masyarakat Muslim dalam aspek
diatas. Oleh karena itu, hrus berusaha agar pendidikan islam dapat
menembus seluruh dinding kelurga, di berbagai penjuru, tersebar dii
mana-mana,di kampung, di kota, di berbgai pusat kegiatan dan di
manapun. Untuk itu butuh usaha yang maksimal dalam mewujudkan cita-
cita tersebut.
d. Selanjutnya, menginginkan lahirnya pemerintahan muslim yang
mengantarkan rakyat pergi ke masjid, yang menuntun mereka kepada
petunjuk Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Abu
Bakar, Umar dan generasi-generasi sepeninggal Rasulullah Saw20.
Abdul Muta’al al-Jabari dalam sebuah tulisannya yang berjudul
pendidikan Ikhwanul Muslimin dalam Pandangan para Ahli Pendidikan,
mengatakan bahwa, al-Imam Syahid Hasan al-Banna, sebagai layaknya

20
Hasan al-Banna, Wa al-Syabab, (Kuwait : Maktabah al-Manar al-Islamiyyah, 1371),
Lihat juga Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal.32
36

seorang ahli dalam bidang pendidikan telah menggariskan tujuan-tujuan


pendidikan al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam salah satu risalahnya yang
ditulis tahun 1937, al-Banna antara lain mengemukakan: al-Ikhwan al-
Muslimun adalah bertujuan mengajak umat untuk berpartisipasi secara aktif
dalam kebaikan disemua aspek kehidupan, dan lebih dari itu ia bertujuan
menciptakan masyarakat Islam yang diikat oleh berpikir yang Islami.
Ikhwan berupaya semaksimalnya yang dia bisa, menjunjung tinggi kalimat
Islam dan membentuk kehidupan sosial dan kebudayaan pada bangsa-
bangsa Islam di atas azas hukum dan prinsip Islam21.
Dalam kesempatan lain al-Banna pernah mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam yang ingin dicapai melalui proses pendidikan Islam adalah
terbentuknya kepribadian Islam, baik penguasa mmaupun rakyat,
pemerintah maupun bangsa agar membangun proses kebangkitannya
berdasarkan nilai-nilai dan ukuran Islam22.sosial dan bermasyarakat
berdasarkan hukum-hukum agama Islam. Dengan kata lain sosok muslim
yang menerapkan amalan-amalan ritus (ibadah) baik yang wajib maupun
yang sunah, juga sekaligus menekankan kesalehan pada aspek-aspek sosial
yang merupakan bentuk aplikasi ajaran Islam dengan mendasarkan pada
responsif aktif terhadap masyarakat sesamanya serta berorientasi untuk
merefleksikan Islam sebagai tatanan sosial yang harus diaktualisasikan
dalam kehidupan23.
Mencermati ungkapan al-Banna yang membahas tujuan pendidikan
Islam dalam perspektif gerakan al-Ikhwan al-Muslimun diatas, menurut
penulis tujuan tersebut lebih bernuansa ideologis-politis. Artinya, al-Banna
dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut sangat dipengaruhi oleh

21
Abdul Muta’al al-Jabari, “Pendidikan al-Ikhwan al-Muslimun dalam Pandangan Para
Ahli Pendidikan”, dalam, Pembunuhan Hasan al-Banna, terj. Afif Muhammad (Bandung :
Pustaka, 1986), hal. 52
22
Hasan al-Banna, Majmu’ah al-Rasail al-Imam Syahid Hasan al-Banna, (Iskandariah : Dar
al-Da’wah, 1988), hal. 59
23
Bagaimana mengimplementasikan tujuannya untuk lebih rincinya baca Ali Abdul Halim
Mahmud, Manhaj Tarbiyyah ‘inda Ikhwanul muslimin, Juz II, (Kairo : Darul Wafa’ lit Tiba’a wan
Nashr wat Tauzi’, 1991),hal. 677-692.
37

kepentingan-kepentingan ideologis politis gerakannya. Ia berusaha melalui


proses pendidikan Islam membangun suatu pemerintahan atau kekhalifahan
Islam yang menjalankan seluruh aktivitas pemerintahannya berdasarkan
hukum-hukum Allah. Di samping bernuansa politis dan ideologis, tujuan
tersebut juga lebih bersifat normatif, maksudnya menjadikan norma agama
yang ada dalam syari’ah sebagai akar dan fundamen pendidikan.
Menurutnya, Islam adalah tatanan Ilahi yang lengkap dan universal yang
mengatur segala dimensi kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk
melaksanakan Islam secara kaffah baik urusan pribadi, urusan
kemasyarakatan maupun urusan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita
tersebut dapat dilakukan lewat Tarbiyyah Islamiyyah. Oleh karenanya,
pendidikan Islam harus diorientasikan pada terlaksananya syari’at Islam.

2. Tujuan Antara (Kontekstual)


Menurut al-Banna tujuan antara (kontekstual) dari pendidikan Islam
dalam perspektif jamaah al-Ikhwan al-Muslimun ialah terbentuknya pribadi-
pribadi muslim yang mampu mengatasi berbagai persoalan dan problema
yang terjadi dilingkungan masyarakat yang kemudian dapat mencari solusi
untuk menyelesaikannya dalam perspektif syari’at Islam24.
Dalam pembahasan tujuan kontekstual ini, disertai dengan
pemaparan berbagai arus nilai yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat, yang terdiri dari :
a. Arus pemikiran dan budaya, meliputi :
1) Khurafat
2) Ateisme dan materialisme
3) Nasionalisme
4) Filsafat yang destruktif
b. Arus sistem nilai sosial dan politik, meliputi :
1) Dmokrasi
2) Komunisme

24
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., h, 31
38

3) Sosialisme
4) Diktatorisme
c. Arus politik dan ekonomi, meliputi :
1) Zionisme
2) Kolonialisme
3) Perang pemikiran dan peradaban
4) Ekonomi dan arus pemikira tentangnya yang merasuki dunia Islam
d. Sarana-sarana, pola-pola dan tradisi-tradisi kehidupan, meliputi :
1) Westernisasi
2) Persoalan wanita
3) Persoalan pendidikan dan pengajaran
4) Persoalan dekadensi oral
5) Persoalan misionaris25
Semua hal di atas menjadi perhatian al-Banna dalam melakukan
tarbiyyah terhadap para jamaah al-Ikhwan al-Muslimun, bahkan dalam
memberikan bimbingan kepada masyarakat pada umumnya untuk
menghadapi dinamika nilai yang terus berlangsung ditengah masyarakat.
Menurut analisis penulis, bila ditelaah lebih jauh, sasaran-sasaran
yang ingin dicapai pada tujuan antara (kontekstual) di atas, pada prinsipnya
merupakan operasionalisasi dari tujuan akhir (permanen). Dalam
operasionalisasinya tujuan kontekstual memperhatikan setting sosial yang
mengitari masyarakat, nilai-nilai apa yang sedang berkembang ditengah
masyarakat, apakah nilai-nilai itu berakses positif atau destruktif. Kemudian
setelah itu dilakukan langkah-langkah inovatif dan konstruktif untuk dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang berkembang ditengah
masyarakat itu berdasarkan nilai-nilai Islam. Kemampuan mencari
penyelesaian-penyelesaian dari persoalan-persoalan berdasarkan nilai-nilai
itulah barangkali yang menjadi target tujuan kontekstual dari pendidikan
Islam. Al-Banna meyakini bahwa sarana yang efektif sebagai penawar arus

25
Lebih rinci tentang penjelasan berbagai arus nilai yang tersebut di atas baca, Ali Abdul
Halim Mahmud, op.cit., hal. 42-105
39

nilai yang destruktif yang berkembang ditengah masyarakat adalah melalui


pendidikan Islam.

D. Karakteristik Pendidikan Islam


Pendidikan Islam menurut al-Banna mempunyai beberapa karakteristik
yang menonjol. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Rabbaniyyah
Karakteristik pertama pendidikan Islam adalah penekanan pada segi
ketuhanan. Segi ketuhanan ini seperti dipahami oleh al-Banna adalah segi
yang paling penting dan paling mendalam pengaruhnya. Yang demikian itu
karena tujuan pertama dari pendidikan Islam adalah terciptanya manusia-
manusia mukmin.26
2. Lengkap dan Universal
Karakteristik kedua adalah lengkap dan universal. Menurut al-Banna
pendidikan Islam mepunyai ciri khas dari pendidikan lainnya. Pendidikan
Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang meliputi aspek akal, aspek
akhlak, aspek jasmani, aspek jihad, aspek kemasyarakatan dan aspek
politik.27 Ia tidak mengkhususkan perhatiannya hanya pada satu aspek
rohani saja seperti yang dipentingkan orang-orang sufi dan tidak pula
membatasi usahanya pada pembinaan akal dan pikiran seperti yang
dipentingkan oleh para filosof dan para rasionalis.Begitu pula tidak
menjadikan cita-citanya yang utama dibidang kemiliteran seperti yang
diinginkan oleh ahli-ahli militer dan kegiatannya tidak pula terbatas pada
pendidikan kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh para reformer.28
3. Positif dan Konstruktif
Karakteristik pendidikan ketiga adalah positif dan konstruktif.
Dalam pandangan al-Banna, karateristik pendidikan Islam itu tidak hanya
terletak pada berdirinya diatas sendi ketuhanan, saling melengkapi dan

26
Yusuf Al-Qardhawi, op.cit., hal.9
27
Ibid, hal. 23-65.
28
Ibid, hal. 23.
40

menyeluruh, tetapi juga terletak pada wataknya yang positif dan konstruktif.
Hal ini di manifestasikannya dengan menyerahkan tenaga dan pikirannya
untuk menciptakan manusia-manusia yang mempunyai sikap hidup positif
dan membangun.29
4. Keseimbangan dan Keserasian
Karakteristik pendidikan Islam selanjutnya adalah keseimbangan
dan keserasian. Menurut al-Banna salah satu yang membedakan pendidikan
Islam dengan yang lainnya adalah karena karakteristiknya yang seimbang
(tawazun). Hal ini dapat dipahami karena menurutnya umat Islam
merupakan umat pertengahan dan umat Islam selalu berusaha dalam
hidupnya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu lebih
lanjut ia menjelaskan pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan
materi dan rohani, akal dan perasaan, antara teori dan praktik, antara
individu dan masyarakat, antara kemufakatan dan kepatuhan, antara hak dan
kewajiban dan antara yang lama dan baru.30
5. Persaudaraan dan Kebersamaan
Karakteristik pendidikan Islam yang terakhir adalah persaudaraan
dan kebersamaan. Menurut al-Banna persaudaraan dan kebersamaan
merupakan ciri dari pendidikan Islam. Ia menafsirkan persaudaraan ini
dalam kata-katanya “ukhuwwah” ialah keterikatan hati dan jiwa satu sama
lain dengan ikatan akidah. Akidah merupakan pengikat yang paling kokoh
dan paling tinggi nilainya. Persaudaraan adalah saudara kembarnya iman,
sedangkan perpecahan adalah saudara kandungnya kekufuran. Yang
dinamakan kuat haruslah minimum kekuatan persatuan, yang tentunya tidak
dapat terwujud tanpa saling cinta-mencintai. Cinta yang minimum adalah
bersihnya jiwa dan maksimumnya ialah mengutamakan orang lain.31
Menurut al-Banna pendidikan Islam menyingkirkan segala
penghalang dan menghilangkan segala perbedaan yang memisahkan antara

29
Ibid, hal. 67-76.
30
Ibid, hal. 77-91.
31
Ibid, hal. 93-97
41

manusia, baik suku bangsa, tanah air, bahasa, warna kulit, dan status sosial.
Karakteristik persaudaraan dan kebersamaan ini selalu ditekankannya dalam
mendidik kader-kader al-Ikhwan al-Muslimun sehingga salah seorang
bernama Qadi Walidani mengatakan “telah terjalin hubungan yang sangat
kuat dan mengikat sebagian anggota al-Ikhwan al-Muslimun dengan
sebagian lainnya.
Karakteristik-karakteristik pendidikan Islam diatas seperti bisa
dilihat, membedakannya dengan pendidikan lain. Dengan karakteristik itu
menurut al-Banna, eksistensi pendidikan Islam di tengah pendidikan lain
dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas. Karena, pendidikan Islam
mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang
mengatur seluruh aspek manusia.

E. Aspek-Aspek Pendidikan Islam Ihwal Al-Muslimin


Al-Bana menetapkan tujuan organisasinya yaitu Ikhwanul Muslimin,
yang pertama adalah pendidikan yang benar (tarbiyah shahihah), untuk
mencetak jiwa bangsa. Ia adalah sarana mereka dalam membentuk generasi
baru yang beriman kepada ajaran-ajaran Islam yang shahih, berusaha mewarnai
bangsa Mesir dengan warna Islam dalam berbagai penampilan kehidupannya.32
Anggaran dasar Ikhwan menetapkan sarana ini dalam materi ketiga sebagai
berikut: “Untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, Ikwanul Muslimin
mengandalkan dua sarana: dakwah dan tarbiyah”.
Hasan al-Banna mendefenisikan terbiyah dengan proses penyiapan
manusia yang shahih, yakni agar tercipta keseimbangan dalam potensi, tujuan,
ucapan dan tindakannya secara keseluruhan”.33
Keseimbangan potensi yang dimaksud adalah jangan sampai
kemunculan suatu potensi menyebabkan lenyapnya potensi yang lain atau
suatu potensi sengaja dimandulkan agar muncul potensi yang lain. Juga

32
Hasan al-Bana, Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam, Terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta:
Media Dakwah, 1987), hal. 211.
33
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal. 25.
42

keseimbangan potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran tanpa adanya sikap
berlebih-lebihan di satu sisi dan pengabaian di sisi lain. Yaitu keseimbangan
yang mengantarkan kepada sikap adil, adil dalam segala hal. Sebagaimana
firman Allah:

‫ل‬
ُ ‫ن اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬
َ ‫س َو َﻳﻜُﻮ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﺷ َﻬﺪَا َء‬
ُ ‫ﺳﻄًﺎ ِﻟ َﺘﻜُﻮ ُﻧﻮا‬
َ ‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُآ ْﻢ ُأ ﱠﻣ ًﺔ َو‬
َ ‫ﻚ‬َ ‫َو َآ َﺬِﻟ‬
‫ﺷﻬِﻴﺪًا‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
َ
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah:
143) 34

Juga dalam firman Allah yang lain:

‫ﻦ‬
ْ‫ﺴ‬ِ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َوَأ‬
َ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫ﺲ َﻧﺼِﻴ َﺒ‬
َ ‫ﺧ َﺮ َة َوﻟَﺎ َﺗ ْﻨ‬
ِ ‫ك اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺪﱠا َر اﻟْﺂ‬
َ ‫وَا ْﺑ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ءَاﺗَﺎ‬
‫ﺤﺐﱡ‬
ِ ‫ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻟَﺎ ُﻳ‬ ‫ض ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﻚ َوﻟَﺎ َﺗ ْﺒ ِﻎ ا ْﻟ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬َ ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِإَﻟ ْﻴ‬
َ‫ﺴ‬َ‫ﺣ‬ْ ‫َآﻤَﺎ َأ‬
.‫ﻦ‬
َ ‫ﺴﺪِﻳ‬ِ ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ‬
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan. (Al-Qasas: 77).35

Tujuan-tujuan ideologis, sosial, ekonomi, dan politik Ikwan hanya akan


terwujud setelah dicapainya “kematangan ruhani, akal pikiran, dan fisik para
pendukung dakwah”, melalui pendidikan insan muslim yang hendak bekerja
untuk mengubah dan membangun kehidupan yang Islami.36
Dari itu, jelaslah bahwa al-Banna dalam mendidik kadernya, Jama’ah
Ikhwan bekerja melalui aspek-aspek berikut:

34
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hal. 36.
35
Ibid, hal. 623.
36
Yusuf al-Qardhawi, op. cit, hal. 7.
43

1. Pendidikan aqidah
2. Pendidikan intelektual
3. Pendidikan moral
4. Pendidikan sosial
5. Pendidikan fisik
Aspek-aspek tersebut sesuai dengan yang mereka laksanakan dalam
realita, sesuai dengan pandangan mereka tentang manusia sebagai suatu
kesatuan yang memiliki multidimensi, sesuai pula dengan dasar-dasar
pendidikan dan teori mereka tentang perubahan sosial. Dalam makalah ini
kami akan membahas satu persatu dari pada aspek-aspek tersebut.
1. Pendidikan Aqidah
Urgensi Pendidikan Aqidah Menurut Ikhwan al-Muslimin seperti
yang dikemukakan Hasan al-Bana adalah salah satu elemen utama pribadi
muslim adalah aqidah yang bersih (saliman aqidah). Ia juga mewajibkan
kepada setiap anggota jama’ahnya untuk mempelajari satu risalah tentang
dasar-dasar aqidah. Sejak awal dakwanya, al-Banna berusaha untuk
menanamkan aqidah yang sahih dalam setiap majlis yang
37
diselenggarakannya.
Titik tolak dalam pendidikan pribadi muslim yang menciptakan
perubahan yang diharapkan adalah dengan menghidupkan elemen-elemen
pokok aqidah dalam akal pikiran dan hati nurani individu dan komunitas,
serta mengembalikan bangunannya dalam jiwa, agar mereka berusaha
bergerak dengan bimbingan pengetahuan, untuk mewujudkan kandungan di
alam realitas. Dengan demikian, tidak mungkin memulai suatu kehidupan
yang Islami tanpa mendidik masyarakat dengan prinsip aqidah Islam dengan
maknanya yang hakiki.
Aqidah bukan masalah sekunder, sehingga dapat kita tangguhkan
pada waktu tertentu, sehingga manfaat Islam secara praktis dapat dinikmati
masyarakat luas. Masalahnya aqidah itu bersemi di dalam hati, yang itu

37
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 86.
44

justru sesuai dengan citra kemanusiaan, yang tunduk pada fitrahnya. Dengan
fitrah itulah ia harus menghadap kepada Tuhan.38
Metode pengajaran Aqidah menurut al-Banna bahwa dalam
pengajaran aqidah didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits sahih secara
langsung, atau dari orang yang telah mendapatkan pengajaran al-Qur’an dan
hadits itu. Di kalangan mereka, metode pembinaan aqidah tersimpul dalam
pengajran langsung al-Qur’an dan kajian beberapa risalah aqidah Islamiyah.
Menurut aqidah Ikhwan, setiap individu berjanji kepada dirinya
sendiri untuk memutuskan hubungan dengan semua koran, buletin, buku,
lembaga, kelompok, dan klub-klub, yang berseberangan dengan ajaran-
ajaran Islam. Al-Banna menjadikan sikap loyal dan permusuhan, harus
semata-mata atas pertimbangan iman kepada Allah atau tidak. Beliau
mewajibkan kepada setiap anggotanya untuk melepaskan hubungannya
dengan suatu lembaga atau jama’ah, yang hubungan itu tidak memberi
kemaslahatan bagi fitranya, di waktu yang sama, ia harus menunaikan hak-
hak akh (panggilan untuk anggota Ikhwan yang artinya “saudara”) yang lain
secara penuh, beruapa rasa cinta dan itsar (mementingkan kepentingan
orang lain dari diri sendiri), juga membangun jalinan aqidah dengan
mereka.39
Tujuan pendidikan aqidah yang ingin dicapai oleh al-Banna antara
lain yaitu :
a. Agar setiap individu beriman kepada Allah, dengan segala sifat dan
perbuatan-Nya, sebagaimana yang dipahami oleh Ahlus Sunnah dari
salafinas shahih, sesuai dengan manhaj mereka.
b. Agar yakin dengan kayakinan yang shahih kepada kitab-kitab langit
(samawi), para nabi, wahyu, mukjizat, malaikat, yang ghaib, qadha dan
qadar, hari akhir, dengan segala yang terjadi di dalamnya.
c. Berkayinan terhadap eksistensi manusia, alam, kehidupan, dan nilai-nilai.

38
Muhammad Qutub, M. Mutawwali Asy-Sya’rawi, Kepribadian dalam Kancah
Modernisasi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1991), hal. 59.
39
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 282.
45

d. Yakin bahwa pengajaran nilai, peraturan, dan perundang-undangan


masyarakat harus didasarkan kepada sumber Ilahiyah saja.
e. Membebaskan diri secara total dari segala bentuk peribadatan dan
ketaatan kepada selain Allah.
f. Membebaskan loyalitasnya agar hanya untuk Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman.
g. Bersemangat mempelajari aqidahnya, bekerja keras untuk merealisasikan
dan mensosialisasikan dengan penuh kesabaran, ketabahan dan
ketekunan.40

2. Pendidikan Intelektual
Pendidikan intelektual atau pengembangan wawasan adalah sesuatu
yang ingin dicapai Ihkwan. Ini memempati posisi yang penting. Perhatian
mereka pada aspek ini berangkat dari keyakinan bahwa ia adalah sikap
Islam itu sendiri. Mereka melihat bahwa Islam tidak membekukan pikiran
atau memasung akal.41
Perhatian pada aspek pemikiran, ilmu pengetahuan dan tsaqafah
“wawasan keilmuan” ini merupakan aspek penting dengan syarat ia
memiliki kesesuaian dan saling melengkapi dengan aspek-aspek yang lain,
dak tidak boleh menyimpang.42
Oleh karena itu al-Banna menjadikan “paham” sebagai rukun bai’at
yang pertama dan didahulukannya atas ikhlas, amal, jihad, persaudaraan dan
sebagainya yang merupakan prinsip-prinsip dakwah. Karena pemahaman
mendahului semua itu dan seorang manusia tidak akan ikhlas terhadap
kebenaran, mengamalkan dan memperjuangkannya kecuali setelah ia
mengenalnya dan memahaminya.43

40
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 138.
41
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 445.
42
Fathi Yakan, Prinsip-Prinsip Gerakan Islam, terj. Farid Dhofir dan Muhil Dhofir,
(Jakarta: Al-I’tisham, 2001), hal. 21.
43
Yusuf Qardhawi, op. cit, hal. 41.
46

Al-Qur’an menempatkan ilmu lebih dahulu dari iman dan ta’at,


kedua-duanya adalah hasil dari ilmu dan cabang daripadanya. Allah SWT.
Berfirman:

‫وﻟﻴﻌﻠﻢ اﻟﺬﻳﻦ أوﺗﻮا اﻟﻌﻠﻢ أﻧﻪ اﻟﺤﻖ ﻣﻦ رﺑﻚ ﻓﻴﺆﻣﻨﻮا ﺑﻪ ﻓﺘﺨﺒﺖ ﻟﻪ‬
‫ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ‬
“Supaya orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini, bahwasannya al-
Qur’an itulah yang hak (yang diturunkan) dari Tuhanmu, lalu mereka
beriman kepadanya dan tunduklah kepadanya hati mereka.” (QS. Al-Hajj:
54).44
Al-Banna menyeru kepada Ikhwan agar memiliki pemahaman yang
benar dan cermat, yang itu dapat menjadikannya mampu menempatkan
sesuatu pada tampatnya tanpa berlebih-lebihan dan tanpa meremehkan,
yaitu pemahaman yang jernih, murni, integral, dan universal.45
Adapun tujuan pendidikan intelektual mencakup:
a. Membentuk intelektual muslim yang memiliki kemampuan mempersepsi
yang benar dan yang salah secara benar.
b. Membentuk intelektual yang memahami Islam dengan pemahaman yang
baik dan menjadikannya (Islam) sebagai kerangka berfikir.
c. Membentuk intelektual yang independen dan kritis.
d. Membentuk intelektual yang memahami masyarakatnya dan mampu
menganalisis masalah serta memberi solusi.46
Atas dasar tujuan tersebut, al-Banna merumuskan beberapa hal
terkait guna pencapaian tujuan tersebut diantaranya adalah menentukan
sumber-sumber ilmu dan bidang kerja akal secara hati-hati, menentukan
paradigma berpikir yang benar dan membebaskan dari yang tidak sesuai
dengan Islam, menentukan sikap intelektual muslim kontemporer terhadap
warisan kekayaan intelektual dan terhadap Barat, menentukan karakteristik

44
Departemen Agama RI, op. cit, hal. 520.
45
Muhammad Abdullah al Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran
Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), hal. 23.
46
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 148.
47

intelektual yang diinginkan Ikhwan, penjelasan referensi dan kerangka


berpikir secara Islami, sekaligus perangkat-perangkatnya.47

3. Pendidikan Moral
Rasa moral adalah pembawaan manusia sejak lahir, dan selama masa
berabad-abad ia telah menjadi ukuran tingkah laku moral manusia biasa,
yang membenarkan sifat-sifat tertentu dan mencela sifat-sifat lainnya.
Sementara kesanggupan instinktif ini dapat berbeda-beda dari manusia ke
manusia; kesadaran batin manusia telah memberikan suatu putusan yang
lebih kurang seragam sifatnya dalam membenarkan tingkah laku sebagai
buruk atau jahat.48
Moral/akhlak tidak dapat digambarkan sebagai kumpulan ikatan,
belenggu, dan kaidah-kaidah yang hampa, tetapi di dalamnya terkandung
suatu potensi yang membangun, suatu energi untuk memantapkan dirinya
dalam gerakannya; akan tetapi ia suci dan bersih.49
Al-Banna memberikan perhatian yang besar kepada aktivitas
pendidikan moral setiap anggota, dan siapa saja yang menjadi obyek
dakwahnya. Itu didasarkan keapda prinsip bahwa moralitas adalah salah satu
pilar perubahan yang selalau mereka kumandangkan.
Adapun tujuan pendidikan moral di akangan Ikhwan dilaksanakan
dalam rangka mencapai suatu tujuan, yaitu kontrol internal, rasa estetika,
dan kedisiplinan memegang teguh akhlak yang baik.
Usaha pembekalan individu dengan aspek di atas disandarkan pada
beberapa prinsip,50 yaitu :
a. Adanya kesiapan moral untuk berubah.
b. Pengetahuan tentang moral tidak menjamin aplikasinya.

47
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, terj. Jasiman dkk,
(Solo: Era Intermedia, 2000), hal.. 530.
48
Abu A’la Al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, terj. Osman Raliby,
(Jakarta: Media Dakwah, 1996), cet. 7, hal. 31.
49
Sayyid Qutub, Inilah Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), hal. 30.
50
Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, op. cit, hal. 503.
48

c. Kepekaan moral adalah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia.


d. Komitmen moral tumbuh dari komitmen seorang muslim kepada segala
hal yang dicintai dan diridhai Allah.
e. Sarana pembinaan akhlak bersifat komprehensif, artinya tidak terbatas di
rumah dan masjid-masjid, akan tetapi juga di lembaga-lembaga
pendidikan, majlis ta’lim dan tempat-tempat lain.
f. Pendidikan moral merupakan sarana pemberantas dekadensi moral suatu
bangsa.
Al-Banna telah membuat program ibadah praktis bagi setiap anggota
Ikhwan, ia adalah praktek ibadah yang berorientasi pada upaya
merealisasikan tujuan-tujuan spiritual dan moral. Program tersebut adalah :
a. Disiplin dalam bermujahadah.
b. Disiplin mengamalkan wirid-wirid Qur’ani, yaitu; wirid Qur’ani harian
minimal 1 Juz, wirid menghafal satu ayat atau lebh setiap hari, wirid
surat-surat al-Qur’an tertentu, wirid menyimak al-Qur’an, wirid-wirid
Qur’an tematis.
c. Wirid dzikir yang ma’tsur dengan tujuan mengikat perasaan selalu
bersama Allah.
d. Melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, terutama puasa dan shalat
malam.
e. Melakukan hal-hal yang membangkitkan kehidupan spiritual dalam diri
manusia, sehingga nantinya bisa tercermin dalam tingkah lakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya membaca sirah Rasul SAW., untuk
menjadikan contoh, dan lain-lain.51
Di antara prinsip moral mereka adalah, bahwa pengubahan moral
menurut adanya lingkungan kondusif yang akan membimbing kepada
moralitas yang diharapkan, dan figur yang harus menjadi anutan,
selanjutnya membiasakan moralitas itu sehingga tertanam kuat dalam diri.

51
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 428.
49

Ini sangat penting dalam memberikan pendidikan moral, baik dalam Jamaah
ikhwan maupun di sekolah.
4. Pendidikan Sosial
Yang pertama kali dilakukan dalam langkah perubahan sosial adalah
melakukan sesuatu yang bisa mengubah seseorang, dari statusnya sebagai
“individu” menjadi sebuah “pribadi”. Ini dilakukan dengan mengubah sifat-
sifat asal yang mengaitkan dirinya dengan “jenis” (spesies) untuk
mengaitkannya dengan masyarakat.
Membentuk individu menjadi berkarakter sosial pada hakekatnya
adalah proses “pembebasan”. Yaitu pembebasan individu dari berbagai
refleksi yang bertentangan dengan kecenderungan sosial, sekaligus usaha
mendapatkan lebih banyak refleksi yang juga lebih banyak kesesuaiannya
dengan kehidupan sosial. Itulah sebenarnya proses pendidikan sosial.
Adapun tujuan pendidikan sosial mencakup:
a. Mengokohkan solidaritas sosial.
b. Menekankan tradisi Islami di tengah masyarakat.
c. Pemberdayaan sosial.

5. Pendidikan Jasmani
Ikhwan memberikan perhatian kepada pendidikan jasamani, itu
dimaksudkan agar setiap individu siap memikul beban-beban jihad. Artinya,
pendidikan jasmani menurut mereka bukan sekedar kegiatan untuk
mendapatkan kekuatan dan kebugaran tubuh, namun juga berkaitan erat
dengan tujuan-tujuan ideologis yang berhubungan dengan jihad fi sabilillah,
juga untuk melaksanakan tugas dan beban kewajiban kemanusiaan sebaik-
baiknya.52
Untuk membangun dan membina manusia yang kuat, sehat dan
mampu melaksanakan tugasnya, bukanlah sekedar untuk menumbuhkan
otot dan kekuatan tubuh. Akan tetapi untuk mempersiapkan tubuh secara
baik, lewat olaraga dan lainnya, dan itu haruslah bertujuan dalam rangkah

52
Hasan al-Banna, op. cit, hal. 118.
50

pembinaan fisik yang sehat dalam lingkup pembinaan kepribadian yang


seimbang dan serasi sebagai pengabdian kepada Allah.
Al-Banna menyelenggarakan latihan “atletik” bagi para anggotanya,
mengorganisasi mereka dalam kelompok-kelompok “pengembara” dalam
“batalyon”, dan terakhir menggantinya lagi dengan “seksi khusus” rahasia
yang bertugas menyiapkan dan melaksanakan jihad, dengan kata lain
perjuangan bersenjata.53
Tujuan pendidikan jasmani Ikhwan antara lain adalah pertama badan
sehat, kedua, badan kuat, lentur, siap memikul beban berat, ketiga, agar
seseorang membiasakan diri dengan sejumlah tradisi moral yang dituntut
untuk aktivitas Islami.

F. Metode-metode Pendidikan Islam Ikhwan Al-Muslimin


Tarbiyah dalam Ikhwan al-Muslimin telah memiliki ragam perangkat,
suatu keragaman yang saling menegaskan adanya ke-takammul-an (saling
menyempurnakan) dalam tarbiyah seorang muslim suatu keragaman yang
dibangun di atas pemahaman yang dalam terhadap sistem yang benar yang
harus mendasari konsep pembinaan manusia, yakni sistem yang memenuhi
tuntutan kebutuhan insan muslim untuk menghadapi kehidupan dan kematian,
serta dunia dan akhiratnya secara sukses, yang tentunya dapat mewujudkan
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip mereka. Sistem-sistem dan perangkat-
perangkat itu adalah katibah, usrah, mu’tamar, daurah.
1. Katibah
Katibah merupakan sistem pendidikan yang pertama dalam jamaah
Ikhwan al-Muslimin. Ia adalah sekumpulan dari kalangan Ikhwan aktivis
pilihan yang jumlahnya mencapai 40 orang di salah satu kampung yang
tunduk kepada sistem tertentu.54 Dalam segi bahasa katibah berasal dari kata
dasar “kataba” yang berarti menggabungkan sesuatu kepada yang lain. Dari

53
Edward Mortimer, op. cit, hal. 238.
54
Ibid., hal. 552.
51

kata dasar itu juga terbentuk kata “kitab” yang berarti “buku” dan kitabah
yang berarti tulisan.
Kitabah menurut jama’ah memiliki pengertian yang bersifat gerakan
karena dengan katibah tersebut anggota-anggota jama’ah berlatih hidup
bersama antara sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain dalam
waktu yang tidak sebentar bahkan tidak sebagaimana biasanya, karena ia
dilakukan pada wkatu malam ketika kebanyakan orang terlelap tidur dalam
istirahatnya. Semua itu agar anggota Ikhwan dapat melihat hakekat dirinya
sendiri, apakah mereka memilih bersantai-santai ataukah memilih berpayah-
payah dan berjihad di jalan Allah dan di jalan dakwah menuju Allah.55
Katibah sebagai salah satu sarana tarbiyah siyasah dimaksudkan
untuk menciptakan keharmonisan bangunan kepribadian Islam yang utuh
pada seseorang, yakni dengan menanamkan karakter pandai mendekatkan
diri kepada Allah dalam bentuk taat kepadanya dan mencintai jihad yang
dimulai dengan jihad terhadap jiwa, hawa nafsu dan menjauhi hidup santai.
Semua itu dilakukan agar ia memiliki kecakapan untuk memikul beban
dakwah kepada Allah dan aktivitas Islam di tengah himpitan situasi politik,
ekonomi, budaya dan sosial yang represif terhadap Islam dan bernafsu
memadamkan cahayanya, yang memusuhi Islam dan ingin melenyapkan
para pemeluknya yang setia.56 Sebagaimana firman Allah :

‫وﻟﻘﺪ ارﺳﻠﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻚ رﺳﻼ إﻟﻰ ﻗﻮﻣﻬﻢ ﻓﺠﺎؤوهﻢ ﺑﺎﻟﺒﻴﻨﺎت ﻓﺎﻧﺘﻘﻤﻨﺎ ﻣﻦ‬
.‫اﻟﺬﻳﻦ اﺟﺮﻣﻮا وآﺎن ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻧﺼﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‬
Dan sesunguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa Rasul
kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-
keterangan, lalu kami melakukan pembalasan-pembalasan terhadap orang-

55
Ali Abdul Halim Mahmud, op.cit., hal. 250.
56
Ibid, hal. 269.
52

orang yang berdosa.57 Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang


yang beriman. (Ar-Rum : 47).58

Di samping jihad melawan orang yang memusuhi Islam, dalam


pandangan Ikhwan ada jihad lain yang sangat besar yakni jihad melawan
hawa nafsu. Jihad merupakan istilah al-Qur’an yang sangat sensitif, secara
tekstual jihad sering diartikan perang untuk mempertahankan Dar al-Islam.
Tetapi pada kelanjutannya sekarang jihad diartikan sebagai usaha yang
sungguh-sungguh untuk mempertahankan kebenaran.59

2. Usrah
Usrah sebagai sistem pendidikan Ikhwan, dimulai karena dua sebab.
Pertama, kelemahan yang ada dalam sistem kitabah. Kedua, tekanan
eksternal terhadap jamaah Ikhwan yang memaksa untuk mengembangkan
sistem pendidikan yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk tekanan yang
berbahaya.
Secara bahasa usrah memiliki beberapa makna yaitu baju perisai
yang melindungi, istri dan keluarga seseorang dan jamaah yang diikat oleh
kepentingan yang sama. Dalam sosiologi diartikan usrah seseorang terdiri
dari kerabat dan isteri. Ikatan usrah menyebabkan ahirnya hak dan
kewajiban, baik yang bersifat materi maupun selain materi.60
Dari definisi di atas, baik secara bahasa ataupun sosiologi dapat
dikatakan bahwa dalam sejarah pendiriannya, Ikhwan menjadikan
perkumpulan ini sebagai wadah yang didalamnya terkandung semua makna
yang telah disebutkan di atas, ia dapat dikatakan sebagai perisai
perlindungan yang kokoh bagi setiap anggotanya, yang dapat dijadikan

57
Dengan kedatangan rasul-rasul yang cukup membawa keterangan-keterangan kepada
kaumnya itu, maka sebagian mereka mempercayainya dan sebagian lagi mendustakannya bahkan
sampai ada yang menyakitinya, maka terhadap orang yang berdosa seperti itu Allah menyiksa
mereka.
58
Soenarjo, Op.cit, hal. 648.
59
Koentowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 205.
60
Ali Abdul Halim Mahmud, Op.cit. hal. 126.;
53

sebagai ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful


(saling menanggung).
Tentang usrah imam Hasan al-bana menurutkan Islam sangat
menajurkan agar para pemeluknya membentuk kumpulan-kumpulan
keluarga dengan tujuan mengerahkan mereka untuk mencapai tingkat
keteladanan, mengokohkan persatuan, dan mengangkat konsep persaudaraan
diantara mereka dari tataran kata-kata dan teori menuju kerja dan
operasional yang konkret.
Sedangkan mursyid kedua (Imam Hasan Hudaibi) mengatakan
sistem usrah tidak lain merupakan hakekat Islam di kalangan Ikhwan. Jika
mereka telah merealisasikan hal itu pada diri sendiri, maka bisa dibenarkan
apabila mereka menantikan datangnya pertolongan yang dijanjikan Allah
kepada orang-orang yang beriman. Tiada seorangpun mengetahui kapan dan
bagaimana bentuk pertolongan itu. Tujuan usrah adalah membentuk
kepribadian islami secara integral pada diri setiap individu muslim,
mendidik dan mengembangkannya sesuai dengan etika dan nilai-nilai Islam.
Aspek-aspek kepribadian yang terpenting adalah aqidah, ibadah, moral dan
wawasan pengetahuan. Semua aspek ini sangat dianjurkan oleh Islam agar
kita merealisasikan senantiasa memelihara dan menumbuh-kembangkannya.
Agama Islam telah menganjurkan untuk iman, Islam, ikhsan, adil, amar
ma’ruf nahi munkar serta jihad fi sabilillah.61 Sebagaimana firman Allah :

.‫وﻣﻦ ﻳﺘﺒﺪل اﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎن ﻓﻘﺪ ﺿﻞ ﺳﻮاء اﻟﺴﺒﻴﻞ‬


Barangsiapa menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang tersebut
itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah : 108).

‫وﻣﻦ ﻳﺒﺘﻎ ﻏﻴﺮ اﻹﺳﻼم دﻳﻨﺎ ﻓﻠﻦ ﻳﻘﺒﻞ ﻣﻨﻪ وهﻮ ﻓﻲ اﻷﺧﺮة ﻣﻦ‬
.‫اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ‬

61
Ibid., hal. 129.
54

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan


diterima dariNya. dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali
Imran: 108).

Peran usrah dalam pendidikan meliputi beberapa hal. Pertama, dalam


kesadaran politik yaitu mereka melakukan diskusi tentang kondisi
masyarakat, disamping itu juga mengikuti perkembangan berbagai peristiwa
politik untuk menilai sekaligus menentukan sikap terhadapnya. Kedua,
dalam partisipasi politik yaitu lewat partisipasi dalam pemilihan pimpinan
usrah dan juga berparsitipasi dalam diskusi-diskusi politik. Ketiga, dalam
pembentukan kepribadian politik yaitu agar setiap anggota Ikhwan
menerapkan ajaran Islam yang merupakan landasan kepribadian politiknya.
Usrah dengan demikian memformat nilai-nilai, orientasi, pengetahuan dan
prilaku politik sebagaimana yang telah digariskan oleh organisasi.62
3. Mu’tamar
Mu’tamar menurut bahasa berarti makan al-I’timar (tempat
musyawarah). Dalam pandangan Ikhwan, mu’tamar adalah sarana dalam
bidang pendidikan politik. Imam Hasan al-Bana mengatakan bahwa
mu’tamar bertujuan untuk memahamkan umat akan hak-haknya,
menyadarkan bangsa kepada tuntutan-tuntutannya yang benar serta
membangkitkan hasrat kuat mereka untuk memperoleh hak-haknya itu.
Bertolak dari sini, mu’tamar menurut mereka merupakan sarana politik
nomor satu melalui mu’tamar yang telah mereka selenggarakan dengan
mencermati karakternya, maka tujuan-tujuan pendidikan politiknya adalah :
a. Agar anggota mampu berdiskusi dan bertukar pikiran.
b. Agar anggota memiliki pendapat dan dapat berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
c. Agar anggota memiliki kesadaran politik dalam menyikapi persoalan
politik yang mendesak untuk disikapi.
d. Agar anggota mengerti pendirian politik jama’ahnya ketika berhadapan
dengan persoalan yang bergulir.

62
Usman Abdul Muiz Ruslan, Op.cit, hal. 572.
55

e. Agar anggota memiliki loyalitas terhadap prinsip-prinsip jama’ah dan


selalu ingat akan tujuan-tujuannya.
f. Agar anggota memiliki perhatian untuk melakukan hubungan sosial,
saling memahami dan saling bersaudara dengan semua anggota.63
Dalam kamus istilah ilmu-ilmu sosial menjelaskan bahwa mu’tamar
ada dua macam yakni mu’tamar resmi dan mu’tamar umum. Tentang
mu’tamar resmi dikatakan bahwa istilah ini khusus untuk menunjukkan
kepada suatu forum resmi yang memiliki kepentingan tertentu dalam aspek
tujuan maupun produk-produk yang mungkin dihasilkan seperti retifikasi
perjanjian atau dokumen. Sedangkan mu’tamar umum, ia menampung
sejumlah peserta kadang-kadang hingga ratusan. Keikutsertaannya bersifat
terbuka bagi semua organisasi maupun individu-individu tertentu. Mu’tamar
ini diselenggarakan dalam waktu tertentu untuk saling tukar pendapat
tentang suatu tema yang dikaji dan untuk membuat beberapa rekomendasi
yang perlu disebarluaskan.

4. Daurah
Dinamakan daurah disebabkan karena merupakan aktivitas berkala
yakni dilaksanakan pada setiap waktu tertentu secara rutin. Ia adalah
aktivitas mengumpulkan sejumlah Ikhwan yang relatif banyak di suatu
tempat untuk mendengarkan ceramah, kajian, penelitian dan pelatihan
tentang suatu masalah dengan mengangkat tema tertentu yang dirasa penting
bagi keberlangsungan awal islami. Ia juga merupakan salah satu perangkat
pendidikan politik yang sering digunakan jama’ah dengan maksud
meningkatkan kadar wawasan dan pelatihan pada diri anggota Ikhwan baik

63
Ibid, hal. 585. Adapun mu’tamar yang pernah diselenggarakan oleh Ikhwan secara
periodik antara lain; mu’tamar pada bulan Mei 1933 dihadiri oleh seribu anggota, mu’tamar ketiga
pada bulan Maret 1937 dihadiri oleh dua puluh ribu anggota, mu’tamar kelima pada tahun 1938,
mu’tamar keenam bulan Desember 1941 dihadiri oleh enam puluh ribu anggota, mu’tamar ketujuh
bulan Desember 1943 dihadiri kurang lebih dua ratus ribu anggota, mu’tamar kedelapan pada
bulan September 1945 dihadiri oleh sekitar lima ratus ribu anggota.
56

sebagai individu atau pemimpin untuk kepentingan aktivitas Islam atau


untuk kepentingan dakwah.64
Di antara perangkat-perangkat yang lain, daurah punya karakter
tersendiri, yaitu :
a. Ia adalah merupakan forum untuk studi intensif suatu tema, baik berupa
kajian ataupun pelatihan.
b. Para ustadz yang dimintai menjadi tutor harus benar-benar orang yang
punya kompetensi.
c. Forum ilmiah yang membangun opini yang obyektif.
d. Momen untuk menambah kesadaran terhadap berbagai persoalan dan
problematika penting yang membutuhkan studi yang mendalam.
Dari sisi tujuan daurah memeprsiapkan personel atau pemimpin
dengan matang untuk menunaikan tugas-tugas aktivitas, studi dan dialog
serta tutor yang membimbing kajian dan pelatihan. Disamping itu juga
memiliki target-target khusus yang sejalan dengan keragaman bidang yang
menjadi sasaran diselenggarakannya daurah.
Adapun tujuan-tujuan khusus itu antara lain :
a. Menciptakan individu muslim yang komitmen, baik secara keilmuan
maupun operasional.
b. Menciptakan pemimpin sesuai dengan sifat-sifat yang harus terpenuhi.
c. Menyiapkan kajian dan riset ilmiah dalam berbagai bidang aktivitas
Islam dengan menghadirkan berbagai perangkatnya, sekaligus
mengenalkan metodologi dan tujuannya.
d. Membangun kesadaran dan wawasan pengetahuan untuk menganalisa
berbagai bidang persoalan, yang terpenting antara lain bidang politik,
sosial, ekonomi.
e. Membangun kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang
berbagai arus nilai yang mendukung Islam agar dapat saling memahami
dan berkerja sama.

64
Ali Abdul halim Mahmud, Op.cit, hal. 323.
57

f. Membangun kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang


berbagai arus nilai yang memusuhi Islam seperti zionisme, atheisme,
sekulerisme dan sebagainya.65
Setiap program merupakan penyempurna dari program yang lain,
kemudian sistem dan perangkat yang telah mereka miliki memberikan
kontribusi riil terhadap pendidikan politik bagi anggota jama’ah.

65
Ibid. hal. 326.

Anda mungkin juga menyukai