NIM : 1708203041
Pada bab I tentang ketentuan umum pasal 1 dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan no. 65/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah telah disebutkan berbagai macam
pengertian yang berhubungan dengan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah, seperti risiko adalah potensi kerugian akibat
terjadinya suatu peristiwa tertentu. Sedangkan manajemen risiko adalah
serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan
usaha Bank.
1. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian
yang disepakati, termasuk risiko kredit akibat kegagalan debitur, risiko
konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk.
2. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening adminstratif
akibat perubahan harga pasar, antara lai risiko berupa perubahan nilai
dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
3. Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus
kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan,
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4. Risiko Operasional adalah risiko kerugian oleh proses internal yang
kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional bank.
5. Risiko Hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
6. Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi
negatif terhadap bank.
7. Risiko Stratejik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan
dan/atau pelaksanaan suatu keputusan straatejik serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
8. Risiko Kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku serta prinsip syariah.
9. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah risiko akibat
perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah,
karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari
penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana
pihak ketiga bank.
10. Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah risiko akibat bank
ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam
pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net
revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss
sharing.
Dalam bab I pasal 1 juga dibahas mengenai arti dari Dewan Pengawas
Syariah yaitu dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi
serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Selanjutnya
ada pengertian Perusahaan Anak yang artinya badan hukum atau perusahaan yang
dimiliki dan/atau dikendalikan oleh BUS secara langsung maupun tidak langsung,
baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang
keuangan, yang terdiri dari:
Pada pasal ini juga disebutkan bahwa direksi harus memiliki pemahaman
yang memadai mengenai risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional
bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko
bank untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Wewenang dan
tanggung jawab yang telah disebutkan diatas itu pun berlaku utnuk Direktur UUS
(Unit Usaha Syariah).
Pasal 25 berisi bahwa Bank harus menyampaikan laporan lain kepada OJK
selain laporan profil risiko dalam hal terdapat kondii yang berpotensi
menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan bank. Bank
wajib menyampaikan kepada OJK laporan lain yang terkait dengan penerapan
manajemen risiko secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Format,
tata cara pelaporan dan pengenaan sanksi laporan mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai pelaporan bank. Pada pasal 26 berisi alamat yang dituju untuk
menyampaikan laporan yaitu Departemen Perbankan Syariah bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah DKI Jakarta atau Kantor Regional OJK atau Kantor
OJK setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI
Jakarta.
Bab IX berisi ketentuan lain-lain seperti yang disebutkan dalam pasal 27
OJK dapat melakukan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada bank.
Selanjutnya, Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan manajemen risiko kepada OJK. Pasal 29 berisi Pengungkapan
manajemen risiko dalam laporan publikasi tahunan bank sebagaimana diatur
dalam peraturan OJK tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank wajib
disesuaikan dengan Peraturan OJK ini. Pengungkapan paling sedikit mencakup
kinerja manajemen risiko dan araha kebijakan manajemen risiko. Untuk UUS
pengungkapan manajemen risiko dalam laporan publikasi tahunan digabungkan
dalam laporan tahunan BUK.
1. Risiko Kredit
Pada tahun 2011, Direktur PT Siak Raya Timber (Kea Meng
Kwang alias Edmond Kee) melakukan peminjaman kredit di bank BNI 46
Pusat, Jakarta. Direktur PT SRT mengajukan kredit sebesar Rp 97 Milyar,
karena pada saat itu perusahaan mengalami masalah pemasokan kayu
sebagai bahan baku. Direktur perusahaan di bidang kayu tersebut
menyertakan agunan pabrik PT SRT beserta barang-barangnya. Pinjaman
tersebut dicairkan tahun 2011 sebanya dua kali pencairan dengan nomor
rekening yang berbeda. Uang pertama dicairkan sebanyak Rp 48 miliar.
Beberapa waktu berikutnya, kembali dicairkan sebanyak Rp 49 Miliar.
Namun pada tahun 2012, Edmond Kea mulai macet dalam membayar
kredit yang diajukannya itu. Menurut informasi yang dirangkum, Edmond
Kea sudah melarikan diri ke Singapura dan menjadi Warga Negara (WN)
Singapura.
Ketika sudah terjadi kredit macet, Bank BNI tetap melakukan
penagihan, dan meminta PT. SRT untuk menjual asetnya. Bank BNI juga
telah melakukan beragam uapaya dalam mengembalikan kredit PT SRT,
baik dengan menjual jaminan produktif hingga tidak produktif. Tetapi
setelah macetnya kredit tersebut, barulah diketahui bahwa agunan tersebut
hanya senilai Rp 5 Miliar.
2. Risiko Pasar
Sejak 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan
kegiatan usaha (BKU) PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang
tercatat di 13 kantor cabang terpaksa kerepotan mengurus dananya. Bukan
hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga menjadi tidak
jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan.
Nasib ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya
lapangan kerja. Apa jadinya kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah
deretan panjang pengangguran. Semua itu tentu akan menambah beban
pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama sektor real.
Empat alasan ditutupnya Bank Global
a. Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan Bank Global.
b. Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak
bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance unit)
pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
c. Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk
patuh pada aturan. Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian
ada upaya secara sengaja dari pihak bank tersebut untuk
memusnahkan dan menghilangkan barang bukti.
d. Keempat, direksi, pejabat eksekutif, dan beberapa karyawan bank
publik itu diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan
merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.
Solusi :
a. Pertama, sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global
transparan dan menerapkan dengan seksama asas good corporate
governance.
b. Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa
kehancuran Bank Global sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah
kolusi antara pengelola Bank Global dengan Prudence Asset
Management (PAM).
c. Ketiga, kasus Bank Global menarik diikuti karena kasus ini
mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang
mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir.
d. Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya
pengawasan BI dan Bappepam.
Uraian/ Penjelasan
General market risk merupakan resiko yang disebabkan oleh suatu
kebijakan yang dilakukan oleh lembaga terkait yang mana kebijakan
tersebut mampu memberi pengaruh bagi seluruh sektor bisnis (Agus
Sucipto: Manajemen Risiko). Sehatnya sebuah bank tidak hanya
berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus memperhitungkan
faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit,
risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko
strategi, risiko kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit para bankir
yang tidak bisa mengelola manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi
pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang terpenting dari kasus-kasus
pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun pengurus
bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen
perbankan agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada,
serta diharuskan menerapkan prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi
para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa berhati-hati jika ingin
menempatkan dananya pada lembaga perbankan maupun lembaga
keuangan lainnya.
3. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas terjadi akibat ketidakmampuan bank islam dalam
memenuhi liabilitas yang jatuh tempo. Untuk memenuhi kebutuhan
likuiditasnya, bank dapat menggunakan sumber pendanaan arus kas dan
asset ikuiditas tinggi yang dapat digunakan tanpa mengganggu aktivitas
dan kondisi keuangan bank. Risiko ini muncul sebagai konsekuensi logis
dari ketidaksamaan waktu jatuh tempo antara sumber pendanaan bank,
yakni DPK dan akad pembiayaan bank kepada debitur. Apalagi jika
pembiayaan yang dilakukan bank mengalami gagal bayar. Sering kali,
pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, yang besar maupun
yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan lebih
kepada ketidakmampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
4. Risiko Operasional
a. Pembobolan terminal ATM dengan menggunakan kartu kredit dan
ATM palsu.
b. Pembayaran ganda terhadap satu kiriman uang.
c. Bank draf diambil oleh yang tidak berhak.
d. DOC (deposit on call) asli tapi palsu (aspal), (5) bank garansi aspal.
e. Letter of credit (L/C) palsu.
f. Salah memasukkan data.
g. Kegagalan sistem.
h. Kesalahan programming.
i. Kegagalan telekomunikasi.
5. Risiko Hukum
Permasalahan hukum bisa berasal dari arah mana saja yang kadang
kurang diprediksi di awal. Bisa jadi akibat pembiayaan bermasalah yang
akhirnya membutuhkan penyelesaian melalui jalur litigasi ketika proses
musyawarah dan parate eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Di pihak lain
aspek legalitas lembaga merupakan suatu pondasi dasar yang harus
ditegakkan ketika lembaga tidak ingin bermasalah dan terjerembab dalam
ranah hukum karena ketidaklengkapan legalisasi yang dimiliki. Perlu
dipertimbangkan secara khusus karena dalam kurun waktu terakhir ini
persoalan legalitas kerap sekali membawa lembaga bisnis yang berbentuk
koperasi ke meja hijau. Ambiguisitas terhadap permasalahan status
anggota dengan adanya status abadi calon anggota juga merupakan
persoalan yang akan selalu terus menerus dialami karena memang
perundangan yang dianut mengisyaratkan bahwa yang dapat dilayani
adalah anggota, namun pada prakteknya sangat tidak mungkin kalau hanya
melayani anggota dan dapat dipastikan lembaga tidak akan pernah bisa
maju kalau hanya melayani anggota saja. Gugatan yang dialamatkan
kepada lembaga dapat pula menjadi perkara yang berbahaya seandainya
hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya. Salah satu sebab munculnya
gugatan kepada lembaga adalah ketika tidak lengkapnya penilaian yang
dilakukan terhadap jaminan. Lembaga menerima jaminan sebuah sertifikat
tanah yang berdiri di atasnya bangunan. Namun bangunan tersebut
dibangun bukan oleh pemilik tanah namun oleh pihak ketiga, sehingga
ketika tanah akan dieksekusi pemilik bangunanpun yang merasa
membangun mengajukan gugatan kepada lembaga. Permasalahan hukum
bisa juga terjadi karena pengikatan agunan yang tidak sempurna. Tanah,
kembali menjadi sebuah contoh kasus; sebuah pembiayaan menggunakan
tanah sebagai jaminannya. Tanah tersebut masih atas nama orang tua
peminjam. Tidak ada tanda tangan lepas waris dari saudara sekandung
seperti yang telah dipersyaratkan. Ketika pembiayaan menjadi bermasalah
dan akan dieksekusi agunannya, timbul sengketa dan gugatan dari saudara
kandung lainnya tatkala mereka menyangkal bahwa mereka setuju tanah
orang tua mereka dijaminkan oleh saudaranya.
6. Risiko Reputasi
Di awal tahun ini, salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) di
Indonesia mempunyai “kasus” berkaitan dengan transaksi derivatif.
Dimana nasabah UUS itu menggunakan rekening UUS untuk melakukan
transaksi derivatif pada induk konvensionalnya. Hal yang sekecil itu
langsung menjadi berita di mana-mana. Ujung-ujungnya semua mata
tertuju terhadap kesyariahan bank syariah.
7. Risiko Stratejik
Kerugian sebesar USD 164 hingga mengalami kebangkrutan.
Kerugian terjadi pada portofolio obligasi akibat salah posisi terhadap arah
suku bunga the Fed, penyelewengan oleh Robert Citron (bendahara
wilayah OC) secara ilegal menggunakan dana wilayah untuk menutupi
kerugian yang terus membengkak. Kesalahan strategi dalam hal ini terjadi
pada salah penentuan terhadap arah suku bunga.
8. Risiko Kepatuhan
Pada risiko ini salah satu kasus yang bisa terjadi adalah ketika
Bank tidak melaporkan beberapa laporan yang harus dilaporkan pada OJK
sesuai dengan Peraturan OJK, Bank tidak patuh terhadap peraturan yang
ada itu akan dikenakan sanksi ada yang berupa uang, surat teguran dan
lain-lain.