Anda di halaman 1dari 18

NAMA : FADILA FARHANA

NIM : 1708203041

KELAS / SMT : PERBANKAN SYARIAH B / VI

MATA KULIAH : MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH

RANGKUMAN SALINAN PERATURAN

OTORITAS JASA KEUANGAN

Pada bab I tentang ketentuan umum pasal 1 dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan no. 65/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah telah disebutkan berbagai macam
pengertian yang berhubungan dengan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah, seperti risiko adalah potensi kerugian akibat
terjadinya suatu peristiwa tertentu. Sedangkan manajemen risiko adalah
serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan
usaha Bank.

Macam-macam risiko menurut Peraturan OJK, yaitu :

1. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian
yang disepakati, termasuk risiko kredit akibat kegagalan debitur, risiko
konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk.
2. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening adminstratif
akibat perubahan harga pasar, antara lai risiko berupa perubahan nilai
dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
3. Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus
kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan,
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4. Risiko Operasional adalah risiko kerugian oleh proses internal yang
kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional bank.
5. Risiko Hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
6. Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi
negatif terhadap bank.
7. Risiko Stratejik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan
dan/atau pelaksanaan suatu keputusan straatejik serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
8. Risiko Kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku serta prinsip syariah.
9. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah risiko akibat
perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah,
karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari
penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana
pihak ketiga bank.
10. Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah risiko akibat bank
ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam
pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net
revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss
sharing.

Dalam bab I pasal 1 juga dibahas mengenai arti dari Dewan Pengawas
Syariah yaitu dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi
serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Selanjutnya
ada pengertian Perusahaan Anak yang artinya badan hukum atau perusahaan yang
dimiliki dan/atau dikendalikan oleh BUS secara langsung maupun tidak langsung,
baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang
keuangan, yang terdiri dari:

1. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak


dengan kepemilikan BUS lebih dari 50%;
2. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan
Anak dengan kepemilikan BUS 50% atau kurang, namun BUS
memiliki pengendalian terhadap perusahaan;
3. Perusahaan dengan kepemilikan BUS lebih dari 20% sampai dengan
50% yang memenuhi persyaratan yaitu:
a. Kepemilikan BUS dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak
adalah masing-masing sama besar; dan
b. Masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama
terhadap Perusahaan Anak;
4. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan harus
dikonsolidasikan.

Dalam bab II tentang Ruang Lingkup Manajemen Risiko pasal 2 bank


wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, penerapan manajemen risiko
unuk BUS (Bank Umum Syariah) dilakukan secara individu maupun konsolidasi
dengan perusahaan anak. Sedangkan untuk UUS (Unit Usaha Syariah) dilakukan
terhadap kegaitan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan
manajemen risiki pada BUK (Bank Umum Konvensional). Pada pasal 3
penerapan manajemen risiko harus dalam pengawasan aktif Direksi, Dewan
Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah; memiliki kecukupan kebijakan dan
prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko; serta memiliki kecukupan
proses identifikasi, pengukura, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan memiliki sistem pengendalian intern yang
menyeluruh. Penerapan manajemen risiko dalam pasal 4 disebutkan bahwa wajib
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta
kemampuan bank. Risiko yang dimaksud adalah risiko kredit, pasar, likuiditas,
operasional, hukum, reputasi, strateji, kepatuhan, imbal hasil dan investasi. Lalu
bank wajib menerapkana manajemen risiko untuk jenis risiko.

Dalam bab III tentang Pengawasan Aktif Direksi, Dewan Komisarisdan


Dewan Pengawas Syariah pasal 6 mengatakan bahwa bank wajib menetapkan
wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait
dengan penerapan manajemen risiko. Pada pasal 7 disebutkan bahwa wewenang
dan tanggung jawab Direksi yaitu:

1. Menyusun kebijakan dan strategi manajemen risiko secara tertulis dan


komprehensif;
2. Bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan manajemen risiko dan
eksposur risiko yang diambil oleh bank secara keseluruhan;
3. Mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan
persetujuan Direksi;
4. Mengembangkan budaya manajemen risiko pada seluruh jenjang
organisasi;
5. Memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang
terkait dengan manajemen risiko;
6. Memastikan bahwa fungsi manajemen risiko telah beroperasi secara
independen; dan
7. Melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan:
a. Keakuratan metodologi penilaian risiko;
b. Kecukupan implementasi sistem informasi manajemen risiko; dan
c. Ketepatan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta
penetapan limit risiko.

Pada pasal ini juga disebutkan bahwa direksi harus memiliki pemahaman
yang memadai mengenai risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional
bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko
bank untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Wewenang dan
tanggung jawab yang telah disebutkan diatas itu pun berlaku utnuk Direktur UUS
(Unit Usaha Syariah).

Wewenang dan tanggung jawab untuk Dewan Komisaris dibahas pada


pasal 8, yaitu :

1. Menyetujui dan mengevaluasi kebijakan manajemen risiko; dan


2. Mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
manajemen risiko.

Dewan Pengawas Syariah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang


disebutkan pada pasal 9, yaitu :

1. Mengevaluasi kebijakan manajemen risiko yang terkait dengan


pemenuhan prinsip syariah; dan
2. Mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
manajemen risiko yang terkait dengan pemenuhan prinsip syariah.

Dalam pasal 10 disebutkan kebijakan manajemen risiko yang dimaksud


adalah penetapan risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan;
penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi manajemen
risiko; penentuan limit dan penetapan toleransi risiko; penetapan penilaian
peringkat risiko; penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi
terburuk (worst case scenario). Prosedur manajemen risiko dan penetapan limit
risiko wajib disesuaikan dengan tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite)
terhadap risiko bank menurut pasal 11. Selanjutnya prosedur manajemen risiko
dan penetapan limit risiko paling sedikit harus memuat, akuntabilitas dan jenjang
delegasi wewenang yang jelas; pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur
manajemen risiko dan penetapan limit risiko secara berkala; dokumentasi
prosedur manajemen risiko dan penetapan limit risiko secara memadai. Penetapan
limit risiko wajib mencakup limit secara keseluruhan; limit per jenis risiko; dan
limit per aktivitas fungssional tertentu yang memiliki eksposur risiko.
Dalam bab V mengenai proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko pada pasal 12 berisi
bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko terhadap faktor-faktor risiko yang bersiat material.
Pelaksanaannya pun wajib didukung oleh sistem informasi manajeman yang tepat
waktu dan laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja
aktivitas fungsion, dan eksposur risiko bank. Dalam pasal 13 telah disebutkan
analisis yang wajib dilakukan oleh bank dalam melaksanakan proses identifikasi
risiko, yaitu karakteristik risiko yang melekat pada bank dan risiko dari produk
dan kegiatan usaha bank. Sedangkan dalam melaksanakan pengkuran risiko bank
wajib melakukan evaluasi secara berkala terhadap terhadap keseuaian asumsi,
sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko; dan
penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko dalam hal terdapat perubahan
kegiatan usaha bank, produk, transaksi dan faktor risiko, yang bersifat material
yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank. Hal yang harus dilakukan bank
dalam melaksanakan pemantauan risiko yaitu evaluasi terhadap proses pelaporan
dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor Risiko,
teknologi informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang bersifat
material. Bank wajib melaksanakan proses pengendalian risiko untuk mengelola
risiko tertentu yang dapa membahayakan kelangsungan usaha bank dan dalam
pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 14 berisi laporan atau
informasi yang harus ada dalam sistem informasi manajemen risiko, yaitu
eksposur risiko; kepauhan terhadap kebijakan dan prosedur manajemen risiko
serta penetapan limit risiko; dan realisasi pelaksanaan manajemen risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Laporan atau informasi yang
dihasilkan dari sistem informasi manajemen risiko wajib disampaikan secara rutin
kepada Direksi. Untuk UUS sistem informasi manajemen risiko dapat
menggunakan teknologi sistem informasi yang digunakan dalam sistem informasi
manajemen risiko BUK (Bank Umum Konvensional).
Bab VI tentang Sistem Pengendalian Intern pasal 15 menyebutkan bahwa
bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap
pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi bank.
Lalu untuk pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung
dengan sistem pengendalian intern dari BUK. Pelaksanaan sistem pengendalian
intern paling sedikit mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan
penyimpangan yang terjadi. Sistem pengendalian intern wajib memastikan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan
atau ketentuan intern Bank; tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang
lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan operasional; dan efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi
Bank secara menyeluruh.

Pasal 17 menyebutkan bahwa sistem pengendalian intern dalam penerapan


manajemen risiko paling sedikit mencakup kesesuaian sistem pengendalian intern
dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha Bank;
penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan
dan prosedur Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko; penetapan jalur
pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja operasional terhadap
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; struktur organisasi yang
menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank; pelaporan keuangan dan
kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; kecukupan prosedur untuk
memastikan kepatuhan Bank terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku; kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur
penilaian kegiatan operasional Bank; pengujian dan kaji ulang yang memadai
terhadap sistem informasi Manajemen Risiko; dokumentasi secara lengkap dan
memadai terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit, serta
tanggapan pengurus Bank berdasarkan hasil audit; dan verifikasi dan kaji ulang
secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan-
kelemahan Bank yang bersifat material dan tindakan pengurus Bank untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penilaian terhadap
sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko wajib dilakukan
oleh satuan kerja audit intern.

Komite manajemen risiko dan satuan kerja manajemen risiko wajib


dibentuk dalam melaksanakan proses dan sistem manajemen risiko yang efektif,
sedangkan untuk UUS dapat dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan
BUK sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta risiko yang
melekat pada UUS pernyataan ini terdapat dalam Bab VII tentang organisasi dan
fungsi manajemen risiko pasal 18. Pasal 19 menyebutkan bahwa komite
manajemen risiko untuk BUS paling sedikit terdiri dari mayoritas anggota Direksi
yang salah satunya adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan; dan
pejabat eksekutif terkait. Sedangkan untuk UUS dibentuk secara tersendiri maka
keanggotaan komite manajemen risiko UUS paling sedikit terdiri dari Direktur
UUS; direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK; dan pejabat eksekutif
terkait. Karena komite manajemen risiko untuk UUS digabung dengan BUK maka
dalam pembahasan yang terkait dengan manajemen risiko UUS, Direktur UUS
diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite manajemen risiko BUK. Komite
manajemen risiko berwenang dan bertanggung jawab untuk memberikan
rekomendasi kepada direktur utama, yang paling sedikit meliputi penyusunan
kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; perbaikan atau
penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi
pelaksanaan Manajemen Risiko; dan penetapan hal-hal yang terkait dengan
keputusan bisnis yang tidak sesuai dengan prosedur normal.

Pasal 20 bagian satuan kerja manajemen risiko berisi struktur organisasi


satuan kerja manajemen risiko bank disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas
usaha bank serta risiko yang melekat pada bank. Satuan kerja manajemen risiko
harus independen terhadap satuan kerja operasional dan terhadap satuan kerja
yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. Satuan kerja manajemen risiko
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada direktur yang
ditugaskan secara khusus. Wewenang dan tanggung jawabnya adalah pemantauan
pelaksanaan strategi manajemen risiko yang telah disetujui oleh Direksi;
pemantauan posisi risiko secara keseluruhan, per jenis risiko dan/atau per jenis
aktivitas fungsional serta melakukan strees testing; kaji ulang secara berkala
terhadap proses manajemen risiko; pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk
baru; evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk
mengukur Risiko, bagi Bank yang menggunakan model untuk keperluan intern
(internal model); memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk-
taking unit) dan/atau kepada komite Manajemen Risiko; dan menyusun dan
menyampaikan laporan profil atau komposisi Risiko secara berkala kepada
Direktur Utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus; dan komite
Manajemen Risiko.

Dalam pasal 21, Satuan kerja operasional wajib menginformasikan


eksposur risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan
kerja manajemen risiko secara berkala. Dalam Bab VIII pasal 22 tentang laporan
profil risiko bank wajib menyampaikan laporan profil risiko baik secara individu
maupun secara konsolidasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. Laporannya wajib
memuat substansi yang sama dengan laporan profil risiko yang disampaikan oleh
satuan kerja manajemen risiko kepada Direktur Utama atau kepada Direktur yang
ditugaskan secara khusus dan komite manajemen risiko. Laporannya disampaikan
secara triwulan untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember. Dalam
hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat memita Bank menyampaikan laporan
profil risiko di luar jangka waktu yang ditetapkan. Laporan profil risiko untuk
bulan Maret dan September berpedoman pada lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Penilaiannya
mengacu pada ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan BUS dan
UUS. Sedangkan untuk laporan bulan Juni dan Desember disampaikan sebagai
bagian dari hasil penilaian sendiri atas tingkat kesehatan bank.

Pasal 23 menyebutkan bahwa laporan profil risiko secara individu untuk


bulan Maret dan September disampaikan paling lambat 15 hari kerja setelah akhir
bulan laporan, jika jatuh pada hari libur maka laporan profil risiko disampaikan
pada hari kerja berikutnya. Sedangkan untuk bulan Juni dan Desember mengacu
pada ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan BUS dan UUS. Bank
dianggap terlambat menyampaikan laporan secara individu apabila laporan
disampaikan melampaui batas waktu yang ditetapkan namun tidak melebihi satu
bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. Bank dianggap tidak
menyampaikan laporan secara individu apabila bank belum menyampaikan
laporan melebihi satu bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.

Pasal 24 menyebutkan bahwa laporan profil risiko secara konsolidasi


untuk bulan Maret dan September disampaikan paling lambat satu bulan setelah
akhir bulan laporan, jika jatuh pada hari libur maka laporan profil risiko
disampaikan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas wakru penyampaian
laporan profil risiko secara konsolidasi untuk bulan Juni dan Desember mengacu
pada ketentuan OJK mengenai penilaian tingkat kesehatan BUS dan UUS. Bank
dianggap terlambat apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu
penyampaian namun tidak melebihi 14 hari kerja sejak batas akhir waktu
penyampaian laporan dan Bank dianggap tidak menyampaikan laporan apabila
Bank belum menyampaikan laporan melebihi 14 hari kerja sejak batas akhir
waktu penyampaian laporan.

Pasal 25 berisi bahwa Bank harus menyampaikan laporan lain kepada OJK
selain laporan profil risiko dalam hal terdapat kondii yang berpotensi
menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan bank. Bank
wajib menyampaikan kepada OJK laporan lain yang terkait dengan penerapan
manajemen risiko secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Format,
tata cara pelaporan dan pengenaan sanksi laporan mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai pelaporan bank. Pada pasal 26 berisi alamat yang dituju untuk
menyampaikan laporan yaitu Departemen Perbankan Syariah bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah DKI Jakarta atau Kantor Regional OJK atau Kantor
OJK setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI
Jakarta.
Bab IX berisi ketentuan lain-lain seperti yang disebutkan dalam pasal 27
OJK dapat melakukan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada bank.
Selanjutnya, Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan manajemen risiko kepada OJK. Pasal 29 berisi Pengungkapan
manajemen risiko dalam laporan publikasi tahunan bank sebagaimana diatur
dalam peraturan OJK tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank wajib
disesuaikan dengan Peraturan OJK ini. Pengungkapan paling sedikit mencakup
kinerja manajemen risiko dan araha kebijakan manajemen risiko. Untuk UUS
pengungkapan manajemen risiko dalam laporan publikasi tahunan digabungkan
dalam laporan tahunan BUK.

Pasal 30 berisi denda yang harus dibayarkan jika Bank terlambat


menyampaikan laporan yaitu sebesar Rp 1.000.000 per hari keterlambatan per
laporan. Jika bank tidak menyampaikan maka dendanya sebesar Rp 50.000.000
per laporan. Walau membayar denda Bank tetap wajib menyampaikan laporan
kepada OJK. Bank yang menyampaikan laporan namun dinilai tidak lengkap
secara signifikan dan atau tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang
material sesuai dengan format yang ditentukan dikenakan sanksi adminstratif
berupa denda sebesar Rp 50.000.000. Bank dikenakan sanksi administratif setelah
Bank diberikan dua kali surat teguran oleh OJK dengan tenggang wakti tujuh hari
kerja untuk setiap surat teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam
jangka waktu tujuh hari kerja setelah surat teguran terakhir.

Pasal 31 menyebutkan jika bank tidak melaksanakan ketentuan akan


dikenakan sanksi administratif antara lain berupa teguran tertulis; pembekuan
kegiatan usaha tertentu; dan/atau pencantuman anggota pengurus, pegawai bank
dan/atau mendapat predikat tidak lulus dalam uji/penilaian kemampuan dan
kepaatutan atau dalam catatan adminstrasi OJK sebegaimana diatur dalam
ketentuan OJK yang berlaku. Menurut pasal 32 ketentuan lebih lanjut mengenai
penrapan manajemen risiko bagi Bank diatur dalam Surat Edaran OJK.
Dalam pasal 33 disebutkan bahwa ketika Peraturan OJK ini diberlakukan
maka Peraturan BI Nomor 13/23/PBI/2011 tentang penerapan manajemen risiko
bagi BUS dan UUS dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan berlakunya
Peraturan OJK ini, pengaturan bagi Bank yang sebelumnya mengacu pada
ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum menjadi
mengacu pada Peraturan OJK ini.

Pasal 34 menyebutkan bahwa PBI Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan


Manajemen Risiko Secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian
terhadap Perusahaan Anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan ini; Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 dinyatakan tetap berlaku bagi BUS dan UUS sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; Ketentuan pada angka
9 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku.
CONTOH KASUS YANG TERJADI DI BANK SYARIAH YANG
BERKAITAN DENGAN JENIS RISIKO MENURUT PERATURAN
OTORITAS JASA KEUANGAN

1. Risiko Kredit
Pada tahun 2011, Direktur PT Siak Raya Timber (Kea Meng
Kwang alias Edmond Kee) melakukan peminjaman kredit di bank BNI 46
Pusat, Jakarta. Direktur PT SRT mengajukan kredit sebesar Rp 97 Milyar,
karena pada saat itu perusahaan mengalami masalah pemasokan kayu
sebagai bahan baku. Direktur perusahaan di bidang kayu tersebut
menyertakan agunan pabrik PT SRT beserta barang-barangnya. Pinjaman
tersebut dicairkan tahun 2011 sebanya dua kali pencairan dengan nomor
rekening yang berbeda. Uang pertama dicairkan sebanyak Rp 48 miliar.
Beberapa waktu berikutnya, kembali dicairkan sebanyak Rp 49 Miliar.
Namun pada tahun 2012, Edmond Kea mulai macet dalam membayar
kredit yang diajukannya itu. Menurut informasi yang dirangkum, Edmond
Kea sudah melarikan diri ke Singapura dan menjadi Warga Negara (WN)
Singapura.
Ketika sudah terjadi kredit macet, Bank BNI tetap melakukan
penagihan, dan meminta PT. SRT untuk menjual asetnya. Bank BNI juga
telah melakukan beragam uapaya dalam mengembalikan kredit PT SRT,
baik dengan menjual jaminan produktif hingga tidak produktif. Tetapi
setelah macetnya kredit tersebut, barulah diketahui bahwa agunan tersebut
hanya senilai Rp 5 Miliar.

2. Risiko Pasar
Sejak 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan
kegiatan usaha (BKU) PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang
tercatat di 13 kantor cabang terpaksa kerepotan mengurus dananya. Bukan
hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga menjadi tidak
jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan.
Nasib ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya
lapangan kerja. Apa jadinya kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah
deretan panjang pengangguran. Semua itu tentu akan menambah beban
pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama sektor real.
Empat alasan ditutupnya Bank Global
a. Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan Bank Global.
b. Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak
bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance unit)
pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
c. Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk
patuh pada aturan. Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian
ada upaya secara sengaja dari pihak bank tersebut untuk
memusnahkan dan menghilangkan barang bukti.
d. Keempat, direksi, pejabat eksekutif, dan beberapa karyawan bank
publik itu diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan
merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.
Solusi :
a. Pertama, sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global
transparan dan menerapkan dengan seksama asas good corporate
governance.
b. Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa
kehancuran Bank Global sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah
kolusi antara pengelola Bank Global dengan Prudence Asset
Management (PAM).
c. Ketiga, kasus Bank Global menarik diikuti karena kasus ini
mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang
mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir.
d. Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya
pengawasan BI dan Bappepam.
Uraian/ Penjelasan
General market risk merupakan resiko yang disebabkan oleh suatu
kebijakan yang dilakukan oleh lembaga terkait yang mana kebijakan
tersebut mampu memberi pengaruh bagi seluruh sektor bisnis (Agus
Sucipto: Manajemen Risiko). Sehatnya sebuah bank tidak hanya
berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus memperhitungkan
faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit,
risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko
strategi, risiko kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit para bankir
yang tidak bisa mengelola manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi
pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang terpenting dari kasus-kasus
pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun pengurus
bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen
perbankan agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada,
serta diharuskan menerapkan prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi
para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa berhati-hati jika ingin
menempatkan dananya pada lembaga perbankan maupun lembaga
keuangan lainnya.

3. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas terjadi akibat ketidakmampuan bank islam dalam
memenuhi liabilitas yang jatuh tempo. Untuk memenuhi kebutuhan
likuiditasnya, bank dapat menggunakan sumber pendanaan arus kas dan
asset ikuiditas tinggi yang dapat digunakan tanpa mengganggu aktivitas
dan kondisi keuangan bank. Risiko ini muncul sebagai konsekuensi logis
dari ketidaksamaan waktu jatuh tempo antara sumber pendanaan bank,
yakni DPK dan akad pembiayaan bank kepada debitur. Apalagi jika
pembiayaan yang dilakukan bank mengalami gagal bayar. Sering kali,
pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, yang besar maupun
yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan lebih
kepada ketidakmampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
4. Risiko Operasional
a. Pembobolan terminal ATM dengan menggunakan kartu kredit dan
ATM palsu.
b. Pembayaran ganda terhadap satu kiriman uang.
c. Bank draf diambil oleh yang tidak berhak.
d. DOC (deposit on call) asli tapi palsu (aspal), (5) bank garansi aspal.
e. Letter of credit (L/C) palsu.
f. Salah memasukkan data.
g. Kegagalan sistem.
h. Kesalahan programming.
i. Kegagalan telekomunikasi.

5. Risiko Hukum
Permasalahan hukum bisa berasal dari arah mana saja yang kadang
kurang diprediksi di awal. Bisa jadi akibat pembiayaan bermasalah yang
akhirnya membutuhkan penyelesaian melalui jalur litigasi ketika proses
musyawarah dan parate eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Di pihak lain
aspek legalitas lembaga merupakan suatu pondasi dasar yang harus
ditegakkan ketika lembaga tidak ingin bermasalah dan terjerembab dalam
ranah hukum karena ketidaklengkapan legalisasi yang dimiliki. Perlu
dipertimbangkan secara khusus karena dalam kurun waktu terakhir ini
persoalan legalitas kerap sekali membawa lembaga bisnis yang berbentuk
koperasi ke meja hijau. Ambiguisitas terhadap permasalahan status
anggota dengan adanya status abadi calon anggota juga merupakan
persoalan yang akan selalu terus menerus dialami karena memang
perundangan yang dianut mengisyaratkan bahwa yang dapat dilayani
adalah anggota, namun pada prakteknya sangat tidak mungkin kalau hanya
melayani anggota dan dapat dipastikan lembaga tidak akan pernah bisa
maju kalau hanya melayani anggota saja. Gugatan yang dialamatkan
kepada lembaga dapat pula menjadi perkara yang berbahaya seandainya
hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya. Salah satu sebab munculnya
gugatan kepada lembaga adalah ketika tidak lengkapnya penilaian yang
dilakukan terhadap jaminan. Lembaga menerima jaminan sebuah sertifikat
tanah yang berdiri di atasnya bangunan. Namun bangunan tersebut
dibangun bukan oleh pemilik tanah namun oleh pihak ketiga, sehingga
ketika tanah akan dieksekusi pemilik bangunanpun yang merasa
membangun mengajukan gugatan kepada lembaga. Permasalahan hukum
bisa juga terjadi karena pengikatan agunan yang tidak sempurna. Tanah,
kembali menjadi sebuah contoh kasus; sebuah pembiayaan menggunakan
tanah sebagai jaminannya. Tanah tersebut masih atas nama orang tua
peminjam. Tidak ada tanda tangan lepas waris dari saudara sekandung
seperti yang telah dipersyaratkan. Ketika pembiayaan menjadi bermasalah
dan akan dieksekusi agunannya, timbul sengketa dan gugatan dari saudara
kandung lainnya tatkala mereka menyangkal bahwa mereka setuju tanah
orang tua mereka dijaminkan oleh saudaranya.

6. Risiko Reputasi
Di awal tahun ini, salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) di
Indonesia mempunyai “kasus” berkaitan dengan transaksi derivatif.
Dimana nasabah UUS itu menggunakan rekening UUS untuk melakukan
transaksi derivatif pada induk konvensionalnya. Hal yang sekecil itu
langsung menjadi berita di mana-mana. Ujung-ujungnya semua mata
tertuju terhadap kesyariahan bank syariah.

7. Risiko Stratejik
Kerugian sebesar USD 164 hingga mengalami kebangkrutan.
Kerugian terjadi pada portofolio obligasi akibat salah posisi terhadap arah
suku bunga the Fed, penyelewengan oleh Robert Citron (bendahara
wilayah OC) secara ilegal menggunakan dana wilayah untuk menutupi
kerugian yang terus membengkak. Kesalahan strategi dalam hal ini terjadi
pada salah penentuan terhadap arah suku bunga.
8. Risiko Kepatuhan
Pada risiko ini salah satu kasus yang bisa terjadi adalah ketika
Bank tidak melaporkan beberapa laporan yang harus dilaporkan pada OJK
sesuai dengan Peraturan OJK, Bank tidak patuh terhadap peraturan yang
ada itu akan dikenakan sanksi ada yang berupa uang, surat teguran dan
lain-lain.

9. Risiko Imbal Hasil


a. Bank memberikan imbal hasil dana yang lebih kecil dibandingkan
dengan bulan lalu akibat beberapa debiturnya mengalami penurunan
kualitas pembiayaan;
b. Bank mengambil kebijakan untuk meningkatkan tingakt imbal hasil
dana guna mempertahankan nasabah deposan besar yang berpotensi
kepada bank lain (Ikatan Bankir Indonesia: 346).
c. Bank Syariah mengharapkan hasil 7% dari asetnya yang nantinya akan
dibagikan kepada investor, pada saat yang sama BI rate naik menjadi
8%.

10. Risiko Investasi


Beberapa isu terkait dengan risiko investasi pada bank Islam yaitu
dasar perhitungan bagi hasil,kebijakan profit equalization reserve (PER)
dan Investment risk reserve (IRR), serta dukungan IT dalam menurunkan
fraud dan moral hazard pada akad berbasis bagi hasil.
Dalam berbagai pembiayaan berbasis bagi hasil, bank islam
sebagai investor ikut menanggung risiko atas kerugian pengusaha yang
dibiayainya tersebut. Artinya, bila debitur mengalami kesulitan usaha atau
bahkan kebangkrutan yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya, maka
pokok pembiayaan yang diberikan bank tidak bisa diperoleh kembali.

Anda mungkin juga menyukai