Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat perjalanan sejarah Islam, politik Islam sudah dimulai pada masa Rasulullah
sebagai pemimpin umat Islam pada masa itu. Rasulullah memulai tahapan kepemimpinannya
pada periode Makkah yang disusul oleh tahap Madinah untuk menjadi satu kesatuan, di mana
tahap pertama merupakan bibit yang ditanam untuk menghasilkan “ masyarakat Islam”.
Maka selanjutnya yang menjadi perhatian adalah tahap kedua di mana masyarakat Islam
sudah berdiri sendiri dengan mempuntai kepribadian dalam satu kesatuan yang bebas
merdeka. Pada dasarnya ialah terbentuk kedaulatan dalam sifat yang menuh memberi arti
untuk menentukan dasar hidup Islam dengan tujuan melaksanakan ajaranajaran Islam dengan
penuh tanggung jawab. Maka perjalanan sejarah Islam masa Rasulullah sebagai pangkal dari
adanya politik dalam Islam dan akan disusul dengan perkembangan mandatang untuk
menyempurnakan langkah hidup umat Islam. Rasulullah telah menyusun langkah hidup bagi
masyarakat muslim mempertahankan persatuan dalam bingkai Islam dari beberapa ras dan
agama.
Sebelum Nabi Muhammad mulai menyampaikan wahyu di Mekah, orang-orang Arab
dalam keadaan perpecahan kronis. Setiap suku yang banyak jumlahnya di Jazirah Arab
memiliki hukum sendiri dan selalu berperang dengan kelompok suku lainnya. Hampir tidak
mungkin bagi bangsa Arab untuk bersatu dan itu berarti mereka tidak dapat membangun
peradaban dan pemerintahan yang memungkinkan mereka mendapat tempat di dunia.
Sejarah dakwah Islamiyah di masa Nabi Muhammad Saw. biasanya dipilah ke dalam
dua periode, yakni periode Mekah selama kurang lebih tiga belas tahun (610-622 M) dan
periode Madinah selama sepuluh tahun (622-632 M). Selama di Mekah, Nabi Muhammad
banyak berperan sebagai kepala agama (Rasul Allah) yang mendapat mandat untuk
menyebarkan Islam. Sedangkan di Madinah di samping sebagai kepala agama, Nabi juga
berperan sebagai “kepala negara”. Kecenderungan tersebut juga tercermin dalam variasi
wahyu yang diterima Nabi. Di Mekah, wahyu yang diterima lebih terfokus pada aspek
tauhid, kewajiban sosial manusia kepada sesamanya, dan tanggungjawab mutlak setiap
individu di hari akhir. Sedangkan wahyu yang turun di Madinah lebih banyak mengandung
ajaran di bidang kemasyarakatan yang dihadapi Nabi dan kaum beriman. Artikel ini berupaya
mendeskripsikan perjalanan sejarah Nabi Muhammad Saw, di Mekah dan Madinah, dari
aspek politik. Maka makalah ini akan membahas tentang ‘’Politik Kepemimpinan
Rasullulah”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola kepemimpinan pada masa Rasulullah?
2. Bagaimana pelaksanaan Politik islam pada masa Rasulullah?
3. Bagaimana kepemimpinan Rasulullah di Mekkah dan Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pola Kepemimpinan Rasulullah
Kepemimpinan Rasulullah, selaku seorang pemimpin dimulai dari bawah sampai
atas dan segala penjuru dari berbagai budaya menjadi satu masyarakat / umamatan
wahidah yang beriman dan bertakwa. Sebagai sebuah kekuatan, ini nampak pada perang
badar di mana kaum Muslimin mampu mengalahkan pasukan Quraisy Jahili, sehingga
memperoleh kemenangan, bukan karena suatu mukjizat nabi. Namun lebih banyak karena
kepemimpinan Rasulullah yang berhasil menanamkan keimanan, ketakwaan, kesetiaan,
dan semangat juang untuk membela kebenaran dan mempertahankan hak selain
memperoleh bantuan Allah SWT.
Ada beberapa kunci hal sebagai penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah, yaitu:
1) Akhlak Rasulullah yang terpuji dan tanpa cela.
2) Karakter Rasulullah yang tahan uji, tangguh, ulet, sederhanan dan bersemangat baja;
3) Sistem dakwahnya yang menggunakan metode imbauan dengan penuh hikmah dan
kebijaksanaan. Rasulullah dalam menyeru manusia agar beriman, berbuat yang baik
dan mencegah kemunkaran sedikitpun tidak ada unsur paksaan.
4) Tujuan perjuangan nabi untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta
menghancurkan yang batil, tanpa pamrih kepada harta, kekuasaan dan kemilau dunia.
5) Prinsip persamaan. Rasulullah bergaul dengan semua orang, tutur katanya lembut dan
menyenangkan dalam bergaul.
6) Prinsip kebersamaan. Rasulullah selalu ikut dalam kegiatan bersama dengan umatnya,
untuk memberikan teladan/contoh.
7) Mendahulukan kepentingan dan keselamatan umatnya.
8) Memberikan kebebasan berkreasi dan berpendapat. Rasulullah bukanlah tipe
pemimpin otoriter. Selain wewenang kerasulan yang hanya diperuntukkan bagi
dirinya oleh Allah SWT maka wewenangnya selaku pemimpin didelegasikan kepada
orang lain.
9) Tipe kepemimpinan karismatik dan demokratis. Kepatuhan umat kepadanya karena
selalu menunjukkan satunya kata dan perbuatan.
Sifat kepemimpinan demokratis dari Rasulullah SAW diperlihatkan pula oleh
ketekunan beliau mendidik para sahabat untuk dipersiapkan sebagai calon-calon
penggantinya selaku pemimpin umat dalam urusan dunianya dan membiarkan mereka
mengembangakan diri tanpa khawatir tersaingi. Sifat kepemimpinan demokratis ini,
beliau tidak mewasiatkan salah seorang diantara sahabatnya untuk menjadi “putra
mahkota”. Siapa yang akan menjadi pengganti beliau memimpin umat dna negara yang
beliau bangun setelah beliau tiada diserahkan sepenuhnya kepada kehendak umat sendiri.
Sifat demokratis kepemimpinan Rasulullah ditunjukkan pula oleh sikap beliau
yang terbuka terhadap kritik dan mendengar pendapat dan saran orang lain. Sikap
keterbukaan Rasulullah terhadap kritik dapat dibuktikan pada peristiwa; “pernah sahabat
mengkritik tentang pembagian harta ghanimah dari salah satu peperangan yang terjadi”.
Rasulullah menerima kritik tersebut dengan dada lapang, meskipun itu tidak benar”.
Sikap mau menerima kritik dan saran dari orang lain ditunjukkan dengan hadits
“terimalah nasehat walaupun datangnya dari seorang budak hitam”.
Fakta lain tentang pelaksanaan siyasah Islam (politik Islam) adalah kebijakan
yang dibuat Rasulullah SAW berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin.
Yaitu antara sahabat muhajirin dan anshar. Kebijakan itu merupakan perwujudan dalil
kulliy, yaitu alukhuwah al-islamiyah. Serta perjanjian ekstern antara muslim dan non
muslim. Meskipun kekuasaan dipegang kaum muslimin, dalam hal ini Rasulullah sebagai
pemimpin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non muslim. Mereka
masih diberi kekebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hal
ini tercipta karena Rasulullah mendasarkan kebijakan atas prinsip al-ukhuwah al-
islamiyah yang diwujudkan dalam piagam madinah.
Contoh lain dari pelaksanaan siyasah pada masa Rasulullah adalah perjanjian
hudaibiyah ynag terjadi pada tahun 628 M antara Rasulullah dengan kaum Quraisy yang
diwakili oleh Suhayl Ibnu ‘umar sebagai utusan. Perjanjian ini, menurut Haykal (Haykal,
1965, p. 227) beliau tidak memaksakan kehendaknya tetapi menanggapai tuntutan Suhayl
Ibnu ‘amr, sekalipun menyinggung keimanan kaum muslimin. Bahwa isi perjanjian
hudaibiyah adalah:
“Perjanjian tersebut menyetujuai dihentikannya segala permusuhan selama jangka
sepuluh tahun, tiap yang dtang kaum Quraisy kepada Rasulullah tanpa mendapat ijin dari
pelindung atau kepalanya wajib dikembalikan kepada pihak penyembah berhala; tiap
orang dari kalangan Islam yang menyerahkan diri kepada pihak orang Makkah, tidak
akan diserahkan kembali; tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan dengan kaum
Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukan yang demikian tanpa mendpatakan
rintangan; dalam tahun ini kaum muslimin harus kembali, tidak boleh meneruskan
perjalanan; tahun depan baru mereka diijinkan berkunjung ke Makkah dan tinggal disana
selama tiga hari dengan senjata yang sekedar diperlukan dalam perjalanan, yaitu pedang
yang disarungkan”.
Inti dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah gencatan sejata selama sepuluh
tahun dan ini sangat menguntungkan umat Islam, kekebasan memilih agama dan
beribadah sesuai keyakinan, penundaan untuk umroh bagi muslin ke Makkah ditunda
tahun depan serta muslim hanya diijinkan tinggal di Makkah selama tiga hari. Sepintas
jika dibaca isi petjanjian tersebut secara lahiriah merugikan, namun di kemudian hari
terbukti menguntungkan umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah
seorang diplomat teladan.1

B. Politik Islam Pada Masa Rasulullah


Rasulullah lahir, tumbuh, dan menyebarkan ajaran Islam di tengah badai
perpecahan internal suku Quraisy yang sudah akut. Masyarakat Arab saat itu, meskipun
menjunjung tinggi nilai kepahlawanan, namun prestise seseorang lebih ditentukan unsur
kapital, akses sosial, dan banyaknya pengikut. Beliau hadir di tengah masyarakat yang
sangat materialistik yang bertumpu di atas pilar kapitalisme, ditambah lagi dengan sifat
badui yang sulit diatur, dengan landasan moral paganisme yang sudah berurat berakar.2
Menghadapi realitas masyarakat seperti itu tidak membuat Rasulullah patah
semangat. Bahkan, ketika orang-orang kafir Quraisy meminta kepada beliau untuk
menghentikan dakwah dengan kompensasi harta dan jabatan, beliau tetap teguh dalam
menyebarkan ajaran Islam. Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam pada
awalnya dilaksanakan di Mekah, kemudian dilanjutkan di Yatsrib (Madinah). Menurut
1
Mubasyaroh, ‘’Pola Kepemimpinan Rasulullah SAW : Cerminan sistem politik islam’’, Politea Jurnal Pemikiran
Politik Islam, Vol.1 No.2, Tahun 2018, hlm. 102-104

2
Ridwan H.R., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan
( Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 111.
Haikal, pada periode Mekah umat Islam belum memulai kehidupan bernegara dan Nabi
sendiri ketika itu tidak bermaksud mendirikan suatu Negara. Misi Nabi selama di
Mekah terfokus pada tiga hal utama sebagai berikut. Pertama, mengajak manusia agar
meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah swt., percaya
kepada malaikat, rasul, hari kemudian, dan hal-hal yang berkaitan dengan rukun iman.
Kedua, mengajarkan kepada manusia nilainilai kemanusiaan yang tinggi agar mereka
tidak tertipu oleh godaan hidup duniawi yang menyilaukan. Ketiga, mengajak manusia
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Para ahli sejarah menyatakan bahwa dalam berhijrah Nabi mengendarai seekor
unta “al-Quswa” yang dilepas tali kekangnya. Beberapa tokoh berpengaruh Yatsrib
berusaha menghentikan langkah unta dengan memohon kepada Nabi untuk singgah di
rumahnya sambil menawarkan jamuan yang telah disiapkan, namun beliau selalu
menjawab, “Biarkan dia berjalan sekehendaknya, karena unta ini ada yang
menyuruhnya.” Banyak rumah tokoh penting dilewati unta, termasuk kerabat Nabi, dan
semua berharap agar beliau sudi singgah di rumah mereka. Namun, lagi-lagi Nabi
menjawab dengan jawaban yang sama, sampai akhirnya tiba di tempat dua anak yatim,
Sahal dan Suhail, anak Amr bin Ammarah yang berada dalam pengasuhan Mu’adz bin
Afra, dekat rumah Abu Ayyub al-Anshâri. Di tempat inilah kemudian dibangun Masjid
Nabawi, setelah Nabi membeli tanah tersebut.
Sikap Rasulullah membiarkan unta berjalan tanpa dikendalikan itu tampaknya
sederhana, namun ternyata memiliki dampak politik yang sangat signifikan. Nabi
Muhammad telah menunjukkan bahwa beliau adalah milik semua orang, bukan hanya
milik golongan tertentu atau kerabatnya saja.
Kota Yatsrib, sejak kedatangan Rasulullah berubah nama menjadi Madinah >
ar-Rasul> , yang selanjutnya dikenal dengan Madinah. Penduduk Madinah pasca
hijrahnya Rasulullah dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan, yaitu: Muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari Mekah menuju Madinah), Anshar (orang-orang Madinah
yang menyambut dan menolong kaum Muhajirin), orang-orang Arab yang masih
musyrik, dan orangorang Yahudi.
Hijrah Rasulullah ke Madinah merupakan langkah politik yang tepat, terutama
dalam rangka mengefektifkan dakwah Islam, karena di kota itu beliau mendapatkan
dukungan yang penuh dari warganya. Langkah-langkah politik Nabi tersebut berhasil
dengan waktu singkat membentuk suatu komunitas Muslim yang kuat, bebas, dan
mandiri, bukan komunitas yang lemah, teraniaya, dan tertindas seperti ketika masih
berada di Mekah. Dari komunitas tersebut secara berangsur-angsur Nabi membentuk
masyarakat yang teratur yang kelak merupakan cikal bakal berdirinya negara Islam.
Rasulullah sangat paham bagaimana mengatasi kondisi sosial heterogen Madinah
yang menyimpan latenitas konflik akut. Atas dasar itu, setelah membangun masjid
sebagai sentra aktivitas, langkah selanjutnya adalah memperkokoh persatuan di kalangan
Muhajirin dan Anshar dengan cara mempersaudarakan mereka, sampai dapat dikatakan
bahwa tidak seorang pun dari kaum Muhajirin yang tidak mempunyai saudara dari kaum
Anshar. Beliau melakukan konsolidasi kehidupan masyarakat Madinah yang heterogen
tersebut, dengan melakukan penataan dan pengendalian sosial masyarakat secara
bijaksana untuk mengatur hubungan antara golongan dalam berbagai bidang kehidupan.
Adapun terhadap golongan non-Muslim, khususnya kaum Yahudi, Nabi membuat
perjanjian tertulis dengan mereka. Isi perjanjian itu terutama menitikberatkan persatuan
kaum muslimin dan Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan,
menekankan kerja sama, persamaan hak dan kewajiban di antara semua golongan dalam
mewujudkan pertahanan dan perdamaian, serta mengikis segala bentuk perbedaan
pendapat yang timbul dalam kehidupan bersama.
Perjanjian ini dibuat pada tahun pertama Hijriyah, sebelum terjadi Perang Badar
dan dikenal dengan nama Piagam Madinah. Menurut Ashgar Ali Engineer, piagam
tersebut sangat revolusioner dan sangat mendukung gagasan Nabi bagi terciptanya
suatu masyarakat yang tertib dan damai. Sebelum adanya Piagam Madinah, masyarakat
Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antarsuku dengan suatu kesepakatan.
Bahkan, yang menarik dari isi perjanjian itu, menurut Haikal, adalah pernyataan yang
berisi jaminan kebebasan beragama bagi segenap penduduk Madinah, di samping
kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat. Ia menilai poin-poin dalam Piagam
Madinah sebagai suatu keputusan luhur, yang hanya dapat dilakukan oleh pemimpin
bijaksana.
Piagam Madinah sebagai undang-undang suatu negara yang baru muncul, yang
di dalamnya mengatur kekuasaan politik, hak-hak manusia, dan pengelolaan urusan
masyarakat. Ia merupakan peraturan asasi mengenai sistem politik dan sosial bagi
komunitas Islam dan mengatur hubungan dengan komunitas lainnya. Perjanjian ini
tidak hanya menghadirkan sebuah aturan masyarakat, namun juga merupakan dokumen
yang mendasari terbentuknya sebuah negara.
Menurut Munawir Sjadzali, fondasi yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah
sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah
adalah:
a. Semua penduduk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan
satu komunitas.
b. Hubungan antara sesama anggota komunitas muslim, dan antara komunitas
muslim dengan anggota komunitaskomunitas lain didasarkan atas prinsip:
1.Bertetangga baik,
2.Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama,
3.Membela mereka yang teraniaya,
4.Saling menasihati, dan
5.Menghormati kebebasan beragama.3
C. Pola Kepemimpinan Rasulullah di Mekkah dan Madinah
Di Mekkah
Ketika Nabi Muhammad mulai menyebarkan ajaran Islam, Mekah merupakan
ibukota (umm al-qurō, metropolis) spiritual dan perdagangan (ekonomi). Kota spiritual
ditandai dengan berdirinya bangunan Ka‟bah sebagai pusat peribadatan yang konon
berdiri sejak Nabi Adam. Sedangkan secara ekonomis Mekah menjadi jalur lintas
perdagangan yang ramai karena letaknya berada pada titik tengah antara Syria (di sebelah
utara) dan Yaman (di sebelah selatan), serta antara hinterland Arabia sendiri di sebelah
timur dan Afrika, khususnya Ethiopia di sebelah barat. Posisi strategis tersebut ditambah
lagi dengan keberadaan sumber mata air “abadi” sumur zamzam yang melimpah di
tengah-tengah lingkungan wilayah yang kering dan tandus. Begitu pentingnya posisi
Mekah sampaisampai bangsa Arab mengembangkan pandangan geopolitik dan
geokultural yang unik, yang berpusat pada Mekah. Ketika mereka menghadap ke timur

3
Abdurrahman Kasdi, ‘’Genealogi Sejarah dan Perkembangan Politik Islam’’,Jurnal ADDIN Vol.9 No.2
Agustus 2015, hlm. 281-285.
(tempat terbit matahari sebagai pusat penyembahan yang umum terdapat di Timur
Tengah ketika itu), negeri di sebelah selatan disebut “negeri kanan” (Yaman), dan negeri
sebelah utara disebut “negeri kiri” (Syam).
Dengan posisi strategis tersebut, tidak mengherankan apabila Mekah termasuk
wilayah kaya. Di wilayah ini kendali ekonomi berada di tangan kaum Quraisy yang
secara sosial-politik merupakan suku terpandang dan berkuasa di Mekah. Sekalipun
mereka bukan penguasa politik dalam artian seperti ada dalam sebuah negara modern,
namun kepemimpinan dan dominasi mereka dalam kegiatan ekonomi menjadikan suku
Arab Quraisy sebagai kelompok yang paling kuat dan berpengaruh dalam banyak hal.
Kepemimpinan dalam masyarakat dipilih di antara mereka (para qabīlah Quraisy)
berdasar pertimbangan ekonomi dan pengaruh mereka dalam masyarakat. Kekuasaan
tertinggi terletak di tangan para pedagang elit. Mereka, untuk melindungi
kepentingannya, membangun solidaritas yang kuat di antara sesama anggota.
Dakwah Nabi di tengah-tengah masyarakat Quraisy Mekah mendapat penolakan
dan tantangan keras. Beliau dan pengikut-Nya secara bertubi-tubi mendapat tekanan
keras; dianiaya, disiksa, dan diboikot secara sosial-ekonomi; Nabi disebut tukang ramal,
tukang sihir, bahkan disebut orang gila. Kondisi demikian membuat Nabi sangat sulit
menguasai kota metropolis Mekah secara politik guna menyokong misi dakwahNya.
Sampai tahun 616 M (enam tahun dari kenabian) pengikut Nabi masih berada dalam
kisaran 100 orang. Sulitnya Nabi mendapat simpati masyarakat Quraisy Mekah
setidaknya disebabkan oleh beberapa hal;
Kesatu, ajaran Islam dipandang sebagai ancaman bagi seluruh institusi
masyarakat Quraisy yang tengah berlangsung dan telah dianggap mapan saat itu, seperti
penghambaan diri kepada berhala dan kehidupan ekonomi yang bergantung pada tempat-
tempat suci, nilai-nilai kesukuan tradisional, otoritas para tokoh Quraisy dan solidaritas
qabīlah yang dari solidaritas ini Nabi bermaksud menggalang pengikutnya. Kedua, Nabi
sebagai pembawa risalah, meskipun merupakan bagian dari suku Quraisy, tidak berasal
dari kalangan berada secara ekonomis. Bahkan sebagaimana diceritakan dalam banyak
buku sejarah, kehidupan beliau termasuk dalam kategori sangat sederhana, sehingga
beliau di masa remaja bekerja sebagai penggembala kambing dan di masa muda menjadi
pekerja pada bisnis Siti Khadijah, yang kelak menjadi istri-Nya. Dengan kondisi ekonomi
demikian sangat sulit bagi Nabi menguasai masyarakat metropolis Mekah yang
menjadikan ekonomi sebagai pertimbangan utama dalam kepemimpinan. Sedangkan
menurut Ahmad Syalabi, sikap oposisi kaum Quraisy kepada Nabi setidaknya disebabkan
oleh lima hal; persaingan kekuasaan antar qabīlah, persamaan hak antara kasta
bangsawan dan budak, takut dibangkitkan setelah mati, taklid kepada nenek moyang
mereka, dan faktor ekonomi dimana perdagangan patung menjadi sumber kehidupan
orang-orang Quraisy.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam meraih simpati masyarakat Mekah, Nabi pun
berupaya memanfaatkan sejumlah kekuatan yang diharap bisa memperkuat posisinya di
tengah tantangan masyarakat Quraisy. Kekuatan dimaksud antara lain; kesatu, dukungan
moral-material dari Siti Khadijah istrinya. Kedua, dukungan moral dari keluarga besar
Bani Hasyim (kecuali Abu Lahab). Dukungan Bani Hasyim ini tidak terkait dengan ajaran
yang dibawa Nabi, melainkan karena faktor fanatisme golongan (qabīlah), yakni adanya
permusuhan lama antara Bani Hasyim dan Bani Umayah, yang ketika itu merupakan
kelompok qabīlah paling keras menolak Nabi. Ketiga, dukungan moral dari sejumlah
tokoh terkemuka yang telah masuk Islam semisal Hamzah dan Umar ibn al-Khattab yang
dikenal sebagai tokoh pemberani dan disegani.
Sejumlah dukungan di atas ternyata belum mengantarkan Nabi sukses meraih
simpati warga Mekah. Nabi dan pengikut-Nya tetap saja dimusuhi dan dikucilkan oleh
mayoritas suku Quraisy, lebih-lebih setelah Siti Khadijah dan Abu Thalib wafat. Oleh
karena itu, untuk mengurangi penderitaan umat Islam, Nabi memerintahkan
pendukungnya hijrah ke Habsyah (Abisinia/Afrika) untuk meminta perlindungan kepada
Raja Najasy (Negus), penganut agama Kristen. Upaya ini, meskipun pada awalnya
mendapat simpati Raja Najasy, akhirnya gagal karena propaganda orang Quraisy Mekah.
Setelah gagal hijrah ke Habsyah, Nabi mengalihkan perhatian untuk membawa umat-Nya
hijrah ke Ta‟if, sekitar 60 km timur laut Mekah. Di tempat ini Nabi bermaksud meminta
perlindungan plus membangun pengaruh Islam, setelah gagal diraihnya di Mekah dan
Habsyah. Namun upaya ini pun gagal. Semua qabīlah di Ta‟if menolak kehadiran Nabi
dengan berbagai motif. Qabīlah Tsaqif, misalnya, menolak Nabi karena alasan ekonomi.
Ta‟if dikenal sebagai wilayah dengan udara yang sejuk dan buah-buahan yang lebat dan
manis, sehingga tidak heran jika penduduk Mekah menjadikan Ta‟if sebagai tempat
berlibur di musim panas. Di samping itu, Ta‟if merupakan pusat pemujaan berhala lat
yang setiap saat menjadi tempat ziarah para penyembah berhala. Dalam pandangan
qabīlah Bani Tsaqif, jika Ta‟if berada di bawah kendali Nabi, kedudukan lat akan hilang
dan permusuhan dengan Quraisy akan terjadi, yang berakibat pada menurunnya
perekonomian penduduk Ta‟if di musim dingin
Akhirnya, setelah berbagai upaya yang dilakukan Nabi di Mekah tidak
memberikan hasil maksimal, beliau mulai berpikir untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah),
lebih-lebih setelah sejumlah utusan datang menghadap Nabi, lalu bai‟at kepada beliau,
dan meminta-Nya menjadi hakam (penengah) bagi suku yang berkonflik di Madinah.4
Nabi di Madinah
Jika Mekah dikenal sebagai kota metropolis dan perdagangan,
Madinah lebih sebagai wilayah pertanian. Penduduknya heterogen,
terdiri atas bangsa Arab dan Yahudi. Bangsa Arab terdiri dari dua suku
bangsa, Aus dan Khazraj. Kedua bangsa tersebut saling bertikai guna
memperebutkan pemimpin dalam masyarakat Madinah. Pertikaian
demi pertikaian menjadikan Madinah tidak aman dan tidak kondusif
untuk membangun masyarakat yang ideal. Karena itu mereka
berinisiatif mencari hakam yang bisa meredakan pertikaian antar suku
tersebut. Kehadiran Nabi benar-benar sangat menggembirakan mereka
karena beliau mampu menjadi penengah dan mempersatukan mereka
dalam satu kesatuan wilayah yang disepakati bersama.
Sukses besar Nabi sebagai hakam menjadikan beliau diterima
masyarakat Yatsrib yang majemuk, bukan saja sebagai kepala agama
(Rasul Allah) melainkan juga sebagai kepala negarayang ditaati
bersama. Missi kerasulan yang ditopang kekuatan politis membuat
ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat. Di Yatsrib, di antara
langkah politik pertama yang dilakukan Nabi adalah membentuk
masyarakat politik. Oleh karena itu, nama Yatsrib selanjutnya diganti
dengan Madīnah, atau Madīnat al-Nabī yang berarti “kota Nabi”24. Secara
bahasa kata madīnah berasal dari akar kata yang sama dengan madanīyah
dan tamaddun, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka istilah
madīnah dapat berarti “tempat peradaban, hidup beradab,
berkesopanan, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh
semua warga, hidup dalam jiwa persaudaraan (ukhūwwah) diantara
semua anggota masyarakat”.

4
Mohammad Khosim,”Institusi politik di zaman nabi Muhammad SAW”,Jurnal
Islamuna Vol 2 no.1 Juni 2015, Hlm. 3-7.
Sebagai langkah kongkret guna membumikan gagasan di atas,
pertama-tama Nabi “mempersaudarakan” antara muslim pendatang
(Muhājirin) dan muslim Madinah (Ansār). Persaudaraan itu bukan hanya
tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari, tetapi demikian
mendalam hingga ke tingkat saling mewarisi. Langkah berikutnya, Nabi
mengadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara
berbagai kelompok yang ada di Madinah, baik antara kelompok-
kelompok muslim maupun kelompok-kelompok Yahudi. Kesepakatan-
kesepakatan bersama di atas selanjutnya ditulis dalam satu naskah
yang dikenal sebutan “Konstitusi Madinah” (Shahīfat al-Madīnah).
Kelompok-kelompok yang melakukan kesepakatan hingga
terbentuknya shahīfat menurut Hasan Ibrahim Hasan meliputi; Muhājirin
(orang-orang Islam yang hijrah dari Mekah), Ansār (orang Islam
penduduk Madinah), Munāfiqīn (penduduk Madinah yang belum masuk
Islam), dan Yahudi.5

5
Mohammad Khosim,”Institusi politik di zaman nabi Muhammad SAW”,Jurnal Islamuna Vol 2
no.1 Juni 2015, Hlm.7-8.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai