Oleh. Kamaruzzaman
(Dosen STAI Darul Hikmah Meulaboh dan guru Dayah Darul Hikmah Islamiyah Aceh Barat)
Dalam proses penyelenggaraan pendidikan, salah satu instrumen penting adalah guru
Nasional yang berbasis karakter. Sistem pendidikan yang baik akan menempatkan guru
sebagai kurikulum berjalan, yang berarti selain harus menyampaikan materi, guru hendaknya
menjadi sumber inspirasi, pedoman sikap sosial dan acuan tingkah laku. Selain itu, guru juga
menjalan tugasnya.
Ki Hajar Dewantara yang berbunyi: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani”. “Ing ngarsa sung tulada” berarti di depan guru harus berperan sebagai
figur teladan atau panutan yang baik. Baik dalam konteks pribadi maupun lingkungan sosial.
Ia harus memiliki integritas sehingga dapat diterima lingkungannya. “Ing madya mangun
karsa”, berarti di tengah guru dituntut untuk mampu sebagai penggerak inisiatif. Setiap
gerak, perbuatan, dan perkataannya harus berkaitan dengan upaya menumbuhkan minat dan
interest siswa terhadap sesuatu yang baru dan baik. Guru harus bisa masuk ke berbagai
situasi sesuai dengan keadaan anak didik tanpa kehilangan jati diri sebagai guru. Adapun tut
wuri handayani memberikan gambaran bahwa di belakang guru merupakan sosok yang
berkepribadiaan kuat. Ia secara terus menerus memberikan sumbangan positif kepada dunia
Guru sejatinya dapat dijadikan teladan dalam setiap perilaku dan tutur katanya. sifat
teladan merupakan alat pendidikan yang paling penting dalam pendidikan Islam (Jalaludin,
2001: 110). Guru memiliki posisi yang strategis, kuat, dan penting di hadapan anak didiknya.
Ini dikarenakan adanya kepemilikan legalitas materi yang disampaikan, penguasaan ilmu
yang diperoleh melalui studi dan kajian ilmiah, serta berkaitan dengan momen waktu yang
Terkait hal ini, Oemar Hamalik (2000: 27) mengutip sebuah ungkapan menarik, yaitu:
“Numerous experimental and observational studies confirm the fact that the pupils learn
what the theacher is as well as what he says. Pupils absorbs his attitudes, they reflect his
modes, the share his conviction, they imitate his behavior, and they quote his statements.
Experience attest the fact that such problems as motivation, dicipline, social behavior, pupil
achievement, and above all, the continuing desire to learn all center around the personality
of the teacher”. (Banyak sekali percobaan dan pengamatan belajar menegaskan fakta bahwa
murid-murid belajar dari guru sebaik apa yang dikatakan guru. Murid-murid menyerap
fakta bahwa masalah-masalah seperti motivasi, disiplin, tindakan sosial, motivasi siswa, dan
semua hal tersebut, keinginan yang berkesinambungan untuk belajar yang berpusat pada
kepribadian guru).
sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, misalnya, memegang
peranan penting dalam interaksi sosial. Misalnya faktor identifikasi dan imitasi dalam
interaksi guru dengan siswa, sudah tentu akan ada sifat-sifat guru yang dikagumi siswa.
Menurut Cronbach dalam Oemar Hamalik (2000: 28), kalau siswa mengagumi salah satu
sifat orang lain, maka siswa tersebut cenderung untuk mengagumi orang lain tersebut secara
keseluruhan. Jika hal ini terjadi, maka muncul apa yang disebut identifying figure.
Dengan demikian, guru bukan hanya bertugas dalam bidang profesi yang meliputi
mengajar dan melatih peserta didik. Jika tugas guru hanya terbatas pada hal tersebut maka
peran guru akan dapat tergantikan oleh mesin atau alat-alat elektronik yang semakin canggih.
Namun tugas guru jauh lebih agung dan luhur, yakni senantiasa menjadi teladan bagi anak
didiknya. Sebagai teladan, guru sejatinya harus senantiasa bersikap dan bertindak secara
mempertontonkan sikap tidak terpuji, di antaranya adalah dengan merokok. Bahkan lebih
parahnya lagi, sebagian mereka ada yang merokok di depan anak didiknya pada saat proses
belajar mengajar. Lebih naifnya lagi, aktifitas menghisap “air kencing setan” ini turut juga
diramaikan oleh mereka yang terdidik, bergelar akademik, berkharisma, bahkan ada yang
bergelar abu/kiayi. Terlepas dari status hukumnya yang sampai saat ini terus diperdebatkan
(meski MUI telah mengeluarkan fatwa tentang pengharaman rokok di tempat umum, anak-
anak dan wanita hamil), merokok merupakan tindakan tercela yang tidak hanya “membunuh”
bagi kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Sementara dalam keputusan ijtima’ ulama
komisi fatwa se-Indonesia tahun 2003, MUI menyebutkan bahwa merokok dapat
penyebab kematian yang dapat dicegah di dunia. Rokok menyebabkan satu dari 10 kematian
orang dewasa di seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta jiwa meninggal dunia pada 2006.
Jika dirata-rata, setiap 6,5 detik ada satu jiwa yang meninggal dunia akibat rokok. Pada 2020
angka kematian diperkirakan akan mendekati dua kali lipat jumlah kematian pada 2006 jika
menurut penelitian Organisasi Kesehatan dunia (WHO) tahun 2014, setiap satu jam, rokok
membunuh 560 orang di seluruh dunia. Kalau dihitung satu tahun, terdapat 4,9 juta kematian
di dunia yang disebabkan oleh rokok. Kematian tersebut tidak terlepas dari 3800 zat kimia,
yang sebagian besar merupakan racun dan karsinogen (zat pemicu kanker).
menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli
rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp
91,16 triliun. Pengeluaran ini lebih besar dibandingkan perolehan negara dari cukai rokok
Dengan demikian, terlihat bahwa betapa besarnya dampak negatif yang ditimbulkan
oleh rokok. Bukan hanya membunuh manusia, rokok juga menggrogoti keuangan yang tidak
sedikit jumlahnya sehingga cenderung tabdzir dan israf. Apabila aksi “bakar uang” ini terus
dikampanyekan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa, pantaskah mereka masih disebut guru?
Bukankah mereka telah mengangkangi tugas dan prinsip seorang guru yang diamanatkan
oleh konstitusi? Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 guru (termasuk dosen,
meski definisinya berbeda tapi secara substansi nyaris sama) adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
Bagaimana seorang guru dapat dikatakan pendidik profesional jika guru masih
mempertontonkan sikap tidak terpuji (merokok)? Bagaimana seorang guru dapat mendidik
jika yang bersangkutan saja belum terdidik? Bukankah guru ibarat seorang dokter yang
sedang menjajakan obat kurap kepada pasien? Terus bagaimana pasien percaya terhadap obat
tersebut sementara dokternya berkurap? Perlu digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan bukan
hanya sekedar mencari nilai dan gelar semata. Namun pendidikan merupakan “bahtera” untuk
Oleh karena itu, sebagai pengayom anak bangsa sudah saatnya guru untuk segera
anak didik. Pada prinsipnya, guru memang bukan nabi dan bukan pula malaikat yang
ma’shum (terpelihara) dari dosa dan sifat-sifat tercela. Kalau memang seorang guru belum
mampu “keluar” dari sifat-sifat ini, sejatinya hal ini tidak dilakukan di depan anak didiknya
namun dilakukan di tempat yang jauh dari jangkauan mereka. Dengan demikian, citra guru
tetap terjaga, serta anak didik terhindar dari mencontoh hal-hal yang negatif. Semoga!