Anda di halaman 1dari 5

Gurukah Perokok?

Oleh. Kamaruzzaman
(Dosen STAI Darul Hikmah Meulaboh dan guru Dayah Darul Hikmah Islamiyah Aceh Barat)

Dalam proses penyelenggaraan pendidikan, salah satu instrumen penting adalah guru

(termasuk dosen). Ia merupakan komponen penting dalam mewujudkan Tujuan Pendidikan

Nasional yang berbasis karakter. Sistem pendidikan yang baik akan menempatkan guru

sebagai kurikulum berjalan, yang berarti selain harus menyampaikan materi, guru hendaknya

menjadi sumber inspirasi, pedoman sikap sosial dan acuan tingkah laku. Selain itu, guru juga

merupakan kurikulum tersembunyi yang senantiasa memberikan inovasi baru dalam

menjalan tugasnya.

Di dunia pendidikan Indonesia, dikenal semboyan legendaris yang dikemukakan oleh

Ki Hajar Dewantara yang berbunyi: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut

wuri handayani”. “Ing ngarsa sung tulada” berarti di depan guru harus berperan sebagai

figur teladan atau panutan yang baik. Baik dalam konteks pribadi maupun lingkungan sosial.

Ia harus memiliki integritas sehingga dapat diterima lingkungannya. “Ing madya mangun

karsa”, berarti di tengah guru dituntut untuk mampu sebagai penggerak inisiatif. Setiap

gerak, perbuatan, dan perkataannya harus berkaitan dengan upaya menumbuhkan minat dan

interest siswa terhadap sesuatu yang baru dan baik. Guru harus bisa masuk ke berbagai

situasi sesuai dengan keadaan anak didik tanpa kehilangan jati diri sebagai guru. Adapun tut

wuri handayani memberikan gambaran bahwa di belakang guru merupakan sosok yang

berkepribadiaan kuat. Ia secara terus menerus memberikan sumbangan positif kepada dunia

pendidikan (Soekartawi, 1995: 33).

Peran Vital Guru

Guru sejatinya dapat dijadikan teladan dalam setiap perilaku dan tutur katanya. sifat

teladan merupakan alat pendidikan yang paling penting dalam pendidikan Islam (Jalaludin,
2001: 110). Guru memiliki posisi yang strategis, kuat, dan penting di hadapan anak didiknya.

Ini dikarenakan adanya kepemilikan legalitas materi yang disampaikan, penguasaan ilmu

yang diperoleh melalui studi dan kajian ilmiah, serta berkaitan dengan momen waktu yang

dimiliki guru dalam proses pendidikan tersebut.

Terkait hal ini, Oemar Hamalik (2000: 27) mengutip sebuah ungkapan menarik, yaitu:

“Numerous experimental and observational studies confirm the fact that the pupils learn

what the theacher is as well as what he says. Pupils absorbs his attitudes, they reflect his

modes, the share his conviction, they imitate his behavior, and they quote his statements.

Experience attest the fact that such problems as motivation, dicipline, social behavior, pupil

achievement, and above all, the continuing desire to learn all center around the personality

of the teacher”. (Banyak sekali percobaan dan pengamatan belajar menegaskan fakta bahwa

murid-murid belajar dari guru sebaik apa yang dikatakan guru. Murid-murid menyerap

sikapnya, mereka menggambarkan sopan santunnya, mereka ambil keyakinannya, mereka

tiru kelakuannya, dan mereka catat pernyataan-pernyataannya. Pengalaman menerangkan

fakta bahwa masalah-masalah seperti motivasi, disiplin, tindakan sosial, motivasi siswa, dan

semua hal tersebut, keinginan yang berkesinambungan untuk belajar yang berpusat pada

kepribadian guru).

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa pengaruh guru terhadap para siswanya

sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, misalnya, memegang

peranan penting dalam interaksi sosial. Misalnya faktor identifikasi dan imitasi dalam

interaksi guru dengan siswa, sudah tentu akan ada sifat-sifat guru yang dikagumi siswa.

Menurut Cronbach dalam Oemar Hamalik (2000: 28), kalau siswa mengagumi salah satu

sifat orang lain, maka siswa tersebut cenderung untuk mengagumi orang lain tersebut secara

keseluruhan. Jika hal ini terjadi, maka muncul apa yang disebut identifying figure.
Dengan demikian, guru bukan hanya bertugas dalam bidang profesi yang meliputi

mengajar dan melatih peserta didik. Jika tugas guru hanya terbatas pada hal tersebut maka

peran guru akan dapat tergantikan oleh mesin atau alat-alat elektronik yang semakin canggih.

Namun tugas guru jauh lebih agung dan luhur, yakni senantiasa menjadi teladan bagi anak

didiknya. Sebagai teladan, guru sejatinya harus senantiasa bersikap dan bertindak secara

terpuji; Mengedepankan nilai-nilai positif dan “membumikan” sifat akhlaqul karimah.

Ironisnya, belakangan ini seringkali dijumpai guru-guru “nakal” yang

mempertontonkan sikap tidak terpuji, di antaranya adalah dengan merokok. Bahkan lebih

parahnya lagi, sebagian mereka ada yang merokok di depan anak didiknya pada saat proses

belajar mengajar. Lebih naifnya lagi, aktifitas menghisap “air kencing setan” ini turut juga

diramaikan oleh mereka yang terdidik, bergelar akademik, berkharisma, bahkan ada yang

bergelar abu/kiayi. Terlepas dari status hukumnya yang sampai saat ini terus diperdebatkan

(meski MUI telah mengeluarkan fatwa tentang pengharaman rokok di tempat umum, anak-

anak dan wanita hamil), merokok merupakan tindakan tercela yang tidak hanya “membunuh”

pelakunya, namun juga ikut “membunuh” orang yang ada di sekelilingnya.

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok

bagi kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan

bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Sementara dalam keputusan ijtima’ ulama

komisi fatwa se-Indonesia tahun 2003, MUI menyebutkan bahwa merokok dapat

membahayakan kesehatan (dlarar) serta berpotensi terjadinya pemborosan (israf) dan

merupakan tindakan tabdzir.

Rokok dalam Data dan Fakta

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa rokok berada di peringkat pertama

penyebab kematian yang dapat dicegah di dunia. Rokok menyebabkan satu dari 10 kematian

orang dewasa di seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta jiwa meninggal dunia pada 2006.
Jika dirata-rata, setiap 6,5 detik ada satu jiwa yang meninggal dunia akibat rokok. Pada 2020

angka kematian diperkirakan akan mendekati dua kali lipat jumlah kematian pada 2006 jika

kebiasaan merokok terus berlanjut (www.nasional.kompas.com, 28/12/2016). Sedangkan

menurut penelitian Organisasi Kesehatan dunia (WHO) tahun 2014, setiap satu jam, rokok

membunuh 560 orang di seluruh dunia. Kalau dihitung satu tahun, terdapat 4,9 juta kematian

di dunia yang disebabkan oleh rokok. Kematian tersebut tidak terlepas dari 3800 zat kimia,

yang sebagian besar merupakan racun dan karsinogen (zat pemicu kanker).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, konsumsi rokok tahun 2010

menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli

rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp

91,16 triliun. Pengeluaran ini lebih besar dibandingkan perolehan negara dari cukai rokok

sebesar Rp 59.265,95 miliar.

Dengan demikian, terlihat bahwa betapa besarnya dampak negatif yang ditimbulkan

oleh rokok. Bukan hanya membunuh manusia, rokok juga menggrogoti keuangan yang tidak

sedikit jumlahnya sehingga cenderung tabdzir dan israf. Apabila aksi “bakar uang” ini terus

dikampanyekan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa, pantaskah mereka masih disebut guru?

Bukankah mereka telah mengangkangi tugas dan prinsip seorang guru yang diamanatkan

oleh konstitusi? Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 guru (termasuk dosen,

meski definisinya berbeda tapi secara substansi nyaris sama) adalah pendidik profesional

dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,

pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Bagaimana seorang guru dapat dikatakan pendidik profesional jika guru masih

mempertontonkan sikap tidak terpuji (merokok)? Bagaimana seorang guru dapat mendidik

jika yang bersangkutan saja belum terdidik? Bukankah guru ibarat seorang dokter yang
sedang menjajakan obat kurap kepada pasien? Terus bagaimana pasien percaya terhadap obat

tersebut sementara dokternya berkurap? Perlu digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan bukan

hanya sekedar mencari nilai dan gelar semata. Namun pendidikan merupakan “bahtera” untuk

membentuk karakter bangsa yang santun dan beradab.

Oleh karena itu, sebagai pengayom anak bangsa sudah saatnya guru untuk segera

“pensiun” dari mempertontonkan aksi-aksi tidak terpuji, di antaranya merokok di hadapan

anak didik. Pada prinsipnya, guru memang bukan nabi dan bukan pula malaikat yang

ma’shum (terpelihara) dari dosa dan sifat-sifat tercela. Kalau memang seorang guru belum

mampu “keluar” dari sifat-sifat ini, sejatinya hal ini tidak dilakukan di depan anak didiknya

namun dilakukan di tempat yang jauh dari jangkauan mereka. Dengan demikian, citra guru

tetap terjaga, serta anak didik terhindar dari mencontoh hal-hal yang negatif. Semoga!

Wallahu a’lam bishshawab

Anda mungkin juga menyukai