Anda di halaman 1dari 11

MENOLAK HADIS LARANGAN WANITA MENJADI PEMIMPIN

PERSPEKTIF SEJARAH MENURUT SYUHUDI ISMAIL

Ari Suciani

11160360000009

ari.suciani16@mhs.uinjkt.ac.id

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengulas hadis pelarangan kepemimpinan perempuan di


ranah publik. Di era society 4.0 ini apakah hadis ini masih relevan untuk era
keterbukaan akses informasi dan penghargaan martabat atas prestasi ? Hadis
merupakan merupakan bagian dari kebijakan Nabi Saw yang memungkinkan suatu
hadis tertentu yang sanadnya shahih secara tekstual tampak bertentangan dengan
hadis tertentu lainnya yang sanadnya shahih. Maka dalam memahami hadis juga
harus melihat posisi, fungsi, situasi dan kondisi Nabi pada saat meriwayatkan
hadisnya. Begitulah yang dipahami Syuhudi Ismail dalam mengkontekstualisasikan
hadis untuk masa sekarang ini. karena ajaran Islam, terutama yang tertuang dalam
teks hadis, adakalanya bersifat universal, temporal atau local.

Keywords: Hadis, Kontekstual, Pemimpin Wanita, Syuhudi Ismail.


Pendahuluan

Perempuan merupakan makhluk lembut yang terbiasa di pinggirkan dalam


masyarakat karena naluri dan bawaan fisik serta pola pikirnya yang dinilai tidak
selalu stabil dalam bertindak sehinggga bias gender masih menggema di pikiran
masyarakat ketika perempuan tampil dalam ranah politik atau kepemimpinan publik.
Walaupun bias ini sudah berangsur berabad-abad tetapi bias ini tidak bisa
selamanya hilang karena didukung teks keagamaan yang suci dan ketaqlidan murni
kepada para ulama klasik yang dianggap bersanad hingga ke pembawa pesan Ilahi.
Sehingga bias ini tetap bertahan di sebagian kalangan yang menganggapnya bahwa
itu sudah menjadi kodrat Tuhan untuk makhluk yang bernama perempuan.
Hal ini juga didukung oleh pandangan atau tradisi masyarakat tradisionalis
yang selalu mensucikannya di rumah atau keluarga. Begitu pula dengan karirnya
yang dibatasi oleh jenis berdasarkan kekuatan fisiknya. Seperti kebanyakan ahli
teknisi yang mayoritas di isi oleh laki-laki dan sedikit perempuan, sehingga hal ini
menyudutkan kalau perempuan itu makhluk yang lemah. Begitu pula dengan
kepemimpinan perempuan yang dibayang-bayangi oleh kondisi fisik perempuan
yang tidak selalu stabil yang dikhawatirkan akan mengganggu kebijakan kerjanya.
Tetapi yang banyak orang lupa, bahwa setiap kepemimpinan pasti ada staffnya yang
setia membantu kerjanya.
Maka hal itu dalam membaca dan menggunakan hadis yang diterapkan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan landasan hidup haruslah dilihat secara
kontekstual karena Nabi Muhammad Saw di sisi sebagai utusan Allah Swt juga ia
manusia biasa yang menjadi kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang,
hakim dan pribadi. Sehingga dalam membaca hadis haruslah melihat kondisi Nabi
pada saat meriwayatkan hadisnya sedang dalam posisi apa dan kenapa.
Oleh karena itulah Syuhudi Ismail merasa perlu untuk membumikan
kontekstualisasi pemahaman hadis sebagai upaya melawan arus tekstualisasi
pemahaman hadis. Dilihat dari konsep kontekstualisasi dan aplikasinya, bisa
dinyatakan bahwa pertimbangan teoretis kontekstualisasi pemahaman hadis Syuhudi
ada enam: (1) Islam senantiasa relevan dengan segala ruang dan waktu sâlih li kull
zamân wa makân); (2) adanya perubahan sosial; (3) adanya perbedaan kebudayaan;
(4) proses pembentukan hadis Nabi dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu; (5) sisi
kemanusiaan Nabi, (6) adanya latar belakang (sabab al-wurûd) sebagai konsekuensi
komunikasi timbal balik antara Nabi dan umat. Keenam pertimbangan teoretis ini
membawa Syuhudi pada kesimpulan bahwa ajaran Islam, terutama yang tertuang
dalam teks hadis, adakalanya bersifat universal, temporal atau lokal.1

Pemimpin Wanita
1
Amrullah, Kontribusi Syuhudi Ismail dalam Konteksualisasi Pemahaman Hadis Mutawâtir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis Volume 7, Nomor 1, Juni 2017. 98
(‫لح َق ْو ٌم َولَّ ْوا أ َْمَر ُه ُم ْامَرأَةً )رواه البخاري والرتمذي والنسائ عن أيب بكرة‬
َ ‫لَ ْن يُ ْف‬
Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk
memimpin) urusan mereka pada wanita. (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan al-Nasa’i dari
Abu Bakrah)
Berbicara mengenai kepemimpinan khususnya perempuan di era
kontemporer ini memanglah tidak terlalu tabu namun keimanan sebagian kalangan
akan teks suci dari utusan Ilahi yang langsung mengamalkan dan hanya melihat
keotentikan sanadnya yang menganggap bahwa jika sanadnya sudah otentik maka
matan yang disampaikan tidak akan bertentangan dengan kitab suci al-Qur’an yang
berlaku sepanjang zaman.
Sehingga ulama kontemporer seperti Syuhudi Ismail2 perlu meluruskan teks
suci itu secara kontekstual karena ajaran-ajaran yang terkandung dalam hadis-hadis
Nabi adakalanya bersifat universal, temporal, atau lokal. Ia juga menjelaskan, teks-
teks hadis adakalanya harus dipahami secara tekstual, dan adakalanya harus
dipahami secara kontekstual. Jadi, dalam memahami hadis, identifikasi ajaran hadis:
apakah bersifat universal, temporal, ataukah lokal, harus dilakukan terlebih dahulu.
Selanjutnya, ditentukan apakah teks-teks hadis itu harus dipahami secara tekstual,
ataukah harus dipahami secara kontekstual.
Jika perbedaan sifat-sifat ajaran hadis seperti dijelaskan di atas tidak
diperhatikan, alias ditumpang tindihkan satu sama lain, yang terjadi adalah
kekeliruan dalam memahami hadis, dan menjauhkan dari pesan dan maksud yang
diharapkan Nabi. Jika ajaran hadis yang temporal dan lokal, misalnya, dipahami
secara universal, yang terjadi adalah pemahaman tekstual yang tidak pada
tempatnya, dan akhirnya bisa menggiring pelakunya kepada kekakuan dan
kejumudan. Sebaliknya, jika ajaran hadis yang universal dipahami secara temporal
dan lokal, yang terjadi adalah penabrakan syariat Islam yang diwahyukan kepada
Nabi, yang pada gilirannya akan mengantarkan pelakunya kepada sikap
meremehkan konsep ubudiah yang terkadang tidak bisa dinalar, melainkan bersikap
patuh dan tunduk sepenuhnya.3
Oleh karena itu Syuhudi Ismail dalam metode kontekstual hadisnya, ia
melihat konteks hadis menjadi dua segi, yaitu pertama, dari segi posisi dan fungsi
Nabi, lalu yang kedua, dari segi situasi dan kondisi dimana suatu hadis muncul. 4
Menurut Syuhudi Ismail, jumhur ulama memahami hadis tersebut secara
tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut,

2
Cendekiawan muslim dalam bidang hadis, kelahiran Lumajang 23 April 1943. Ia juga merupakan
Guru Besar Ilmu Hadis di UIN Alauddin Makassar. Dalam pemikiran kontekstual hadisnya, ia
terpengaruh oleh Said Agil Husein Munawwar seorang Guru Besar Tafsir dan Hadis di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dari Said Agil, Syuhudi banyak menerima masukan tentang ilmu hadis dan
metodologi kajian hadis. Hal ini dapat dilihat pada saat Syuhudi Ismail cenderung menggunakan
pendekatan kontekstual dengan mempertimbangkan asbab al-wurud dalam memahaminya, seperti
penjelasan hadis dalam bukunya hadis Nabi yang tekstual dan kontektual.
3
Amrullah, Kontribusi Syuhudi Ismail dalam Konteksualisasi Pemahaman Hadis, Mutawâtir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis Volume 7, Nomor 1, Juni 2017, h. 84
4
Taufan Anggoro, Analisis Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail Dalam Memahami Hadis Diroyah:
Jurnal Ilmu Hadis 3, 2 (Maret 2019) 97
pengangkatan wanita menjadi kepala negara, hakim pengadilan, dan berbagai
jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka menyatakan bahwa wanita menurut
petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. 5

Menurt al-Khattabi sebagaimana dikutip Tasmin, mengatakan bahhwa


seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah (pemimpin) atau seorang hakim. Ini
sebagai konsekuensi dia tidak bisa menikahkan dirinya sebagaimana dia tidak bisa
menikahkan perempuan lain.6

Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berpendapat


bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak
boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm,
al-Ghazali meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki
sebagai kepala negara.
Selain itu, ada juga ulama yang menyatakan bahwa wanita tidak layak
menjadi pemimpin karena ia kurang dan lemah akalnya sedangkan kepemimpinan
membutuhkan sebuah kemampuan besar untuk keluar mengurusi umat dan wanita
adalah aurat sehingga ia tidak layak menjadi pemimpin maupun hakim. Selain itu,
unsur kepemimpinan pada masa Rasulullah adalah sebagai pemimpin Negara,
pemimpin shalat dan panglima perang. Sedangkan wanita tidak dapat memenuhi
ketiga unsur kepemimpinan tersebut.7
Ulama kontemporer berusaha memahami hadis ini secara konteks, hal ini
dikarenakan jika ditilik secara langsung terdapat pemahaman yang seakan-akan
kontradiktif sehingga membutuhkan adanya sinkronisasi pemahaman. Sejarah
riwayat ini muncul ketika pada saat itu di Persia mengangkat seorang ratu menjadi
kepala negara. Dan tradisi kedudukan wanita di masa itu masih rendah, yang hanya
menempatkan perempuan pada ruang sempit yaitu rumah tangga. Sehingga membuat
perempuan begitu kerdil dalam hal keilmuan maupun kemampuan di ranah publik.
Disamping itu, mereka juga berpendapat bahwa ketika Nabi saw
menyampaikan hadis tersebut ia tidak dalam kapasitas sebagai nabi atau rasul, akan
tetapi perlu dipahami bahwa ia menyampaikannya dalam kapasitasnya sebagai
manusia biasa atau sebagai pribadi yang menginformasikan realitas sosial pada saat
itu dan untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi jika kepemimpinan itu
diserahkan kepada wanita. Ada juga ulama kontemporer yang mengemukakan
kebolehan kaum wanita menjadi pemimpin. Namun, ia dapat memimpin jika
memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan kemampuan yang dimiliki
oleh laki-laki.8

5
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’anil Hadis tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 2009) 65
6
Tasmin Tangngareng, Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hadis, Jurnal KARSA, Vol. 23
No. 1, Juni 2015, 167
7
M. Ali Rusdi Bedong dan Fauziah Ahmad, Kepemimpinan Wanita Di Dunia Publik (Kajian Tematik
Hadis) Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli – Desember 2018, 224
8
M. Ali Rusdi Bedong dan Fauziah Ahmad, Kepemimpinan Wanita Di Dunia Publik (Kajian Tematik
Hadis) Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli – Desember 2018, 226
Menurut Tasmin dalam artikelnya, sebagian ulama tidak berpendapat
perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dengan alasan hadis tersebut hanya bersifat
sekadar pemberitaan bukan ketentuan hukum, dan hadis tersebut tidak berlaku
umum. Karena hadis tersebut disabdakan oleh Nabi Saw. Berkaitan dengan peristiwa
suksesi di Persia. Hadis itu tidak hanya berhenti di situ, ia juga tidak mengandung
penegasan melarang seluruh perempuan menjadi pemimpin masyarakat.9
Fatima Mernissi10 menolak keras hadis ini dengan melakukan kritik tajam
terhadap hadis ini. Dia mengkritik dari sisi sanad dan matannya. Dalam kritiknya, ia
mempertanyakan kredibilitas Abû Bakrah sebagai periwayat hadis, dan mengapa
Abû Bakrah baru memunculkan hadis ini pada saat terjadi kemelut politik dalam
perang Jamal antara Â‟isyah dan Alî bin Abû Thâlib setelah 23 tahun wafatnya
Rasulullah Saw., yang mana dirinya berpihak kepada Alî. Lagi pula konteks hadis
tersebut tertuju pada kasus suksesi kisra di Persia yang mewariskan tahta kepada
anak perempuannya yang tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.11
Menurut Quraish Shihab hadis tersebut juga tidak bersifat umum. Buktinya
hadis tersebut merupakan respon Nabi terhadap masyarakat Persia bukan kepada
masyarakat secara keseluruhan dan dalam semua aspek. Bahwa maksud hadis nabi
itu adalah nabi sebenarnya hanya ingin mengambarkan tentang ketidakberuntungan
orang-orang Persi, karena mereka terikat pada sistem kerajaan, sehingga harus
mengangkat putrinya sebagai pengganti menjadi pemimpin untuk menggantikan
ayahnya yang sudah meninggal, sekalipun di tengah umat ada sekian banyak orang
yang ‘seribu kali’ lebih pantas menjadi pemimpin daripada putrinya tersebut.12

Syuhudi Ismail mengatakan bahwa dalam keadaan wanita telah memiliki


kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia
menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan
diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, hadis diatas harus dipahami secara
kontekstual sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal. 13

Abdul Mustaqim14 mengatakan, Pandangan yang melarang perempuan,


hanya karena melihat aspek keperempuannya, untuk menjadi pemimpin, jelas
mencerminkan pandangan yang bias gender, dan karenanya perlu direkrontruksi. 15

Analisis Historis

9
Tasmin Tangngareng, Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hadis, Jurnal KARSA, Vol. 23
No. 1, Juni 2015, 172
10
Aktivis gerakan feminisme Maroko
11
Tasmin Tangngareng, Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hadis, Jurnal KARSA, Vol. 23
No. 1, Juni 2015, 174
12
Dewi Sa’diyah Isu Perempuan” (Dakwah Dan Kepemimpinan Perempuan Dalam Kesetaraan
Gender) Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008,.313
13
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual……64-67
14
Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
15
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode
Memahami Hadis Nabi) (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016) 78
Dilihat dari periwayatan hadis ini adalah ketika Abu Bakrah meriwayatkan
hadis ini saat akan terjadi peristiwa al-jamal di mana ‘Aisyah, Thalhah dan al-
Zubair sepakat pergi ke Bashrah untuk mengajak orang-orang menuntut kematian
‘Utsman ibn ‘Affan kepada pemerintah yang berkuasa yaitu khalifah ‘Ali ibn Abi
Thalib agar melaksanakan hukum qishash terhadap pembunuh ‘Utsman.19
Kemudian Abu Bakrah tidak mau bergabung dengan ‘Aisyah meskipun Abu Bakrah
sependapat dengan ‘Aisyah dalam perang al-jamal dengan alasan hadis di atas
sehingga Abu Bakrah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam perang al-jamal.16
Hadis itu disabdakan tatkala Nabi mendengar dari penjelasan sahabat beliau
tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Peristiwa suksesi itu terjadi
pada tahun 9 H.

Menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat


sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki. yang terjadi pada tahun 9 H itu
menyalahi tradisi tersebut. Yang diangkat sebagai kepala negara bukan seorang laki-
laki melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisra bin
Barwaiz. Dia diangkat sebagai ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan
dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak
laki-lakinya, yakni saudara laki-laki Buwaran telah mati terbunuh tatkal melakukan
perebutan kekuasaan. Karenanya Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (kisra).

Kakek Buwaran adalah Kisra bin Burwaiz bin Anusyirwan. Dia pernah
dikirimi surat ajakan memeluk Islam oleh Nabi Saw. Kisra menolak ajakan itu dan
bahkan merobek-robek surat Nabi. Ketika Nabi menerima laporan bahwa surat
beliau telah dirobek-robek oleh Kisra, maka Nabi lalu bersabda bahwa siapa saja
yang telah merobek-robek surat beliau, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu.
Tidak berselang lama, Kerajaan Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai
pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala negara.

Dalam kondisi Kerajaan Persia dan masyarakat itu, maka Nabi yang
memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-
masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) mereka kepada wanita tidak akan sukses
(menang atau beruntung). Sebab bagaimana mungkin akan sukses, kalau orang yang
memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat
yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki pemimpin adalah
kewibawaan, sedang wanita pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan
untuk menjadi pemimpin masyarakat.

Pada waktu itu, derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah
derajat kaum laki-laki. wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut mengurus
kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya
laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara.
Keadaan seperti itu tidak hanya di Persia saja, tetapi juga di Jazirah Arab dan lain-
lain.
16
M. Ali Rusdi Bedong dan Fauziah Ahmad, Kepemimpinan Wanita Di Dunia Publik (Kajian Tematik
Hadis) Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli – Desember 2018, 221
Dalam masyarakat Arab dahulu, perempuan tidak mempunyai kedudukan
bahkan seperti sampah. Dengan mudahnya perempuan diwariskan ke saudara laki-
lakinya, dan dianggap rendah karena sikap lemah lembutnya yang tidak bisa
melawan perbuatan jahat.17

Islam datang mengubah nasib kaum wanita. Mereka diberi berbagai hak dan
kehormatan dan kewajiban oleh Islam sesuai dengan harkat dan martabat mereka
sebagai makhluk yang bertanggung jawab di hadirat Allah, baik terhadap diri,
keluarga dan masyarakat, maupun negara.

Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita makin


meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan yang
sama dengan kaum laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberi peluang sana kepada kaum
wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

Peran publik dan kepemimpinan perempuan dapat dilihat dalam beberapa


ketegori sosio-historis dalam lintasan sejarah Islam. Lihat saja misalnya peran
perempuan sebagai pemimpin pasukan bersenjata dalam perang Jamal (Aisyah
dalam kategori sosio-historis pertama) dan sebagai seniman terkemuka serta
pengarang besar (dalam kategori sosio-historis kedua dan ke tiga). Dari kaum
perempuan muncul beberapa wali sufi terkenal (misalnya Rabi’ah al-Adawiyah) dan
sejumlah pemimpin (misalnya Razia di India).

Dalam setiap kategori sosio-historis, kaum wanita memegang peranan


penting baik di dalam maupun di luar rumah; nama mereka diabadikan sebagai nama
kota, seperti: Madinat al-Zahra’ di Andalusia. Seperti halnya dengan nama Nur
Jahan, permaisuri Raja Mogul, nama mereka pun di abadikan disamping nama
pemimpin dalam beberapa mata uang. Barangkali pengaruh besar dan pasukan
bersenjata yang kuat memang bukanlah sesuatu yang biasa dimiliki oleh kaum
wanita, tetapi hal tersebut bukan pula sesuatu yang asing dalam duni a wanita. Hal
ini dapat dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan, terutama pada masa kolonial,
tampilnya Cut Nya’ Din, panglima perang perempuan dari Aceh dalam melawan
penjajah Belanda, Martina Marta Tiyahahu dari Maluku, RA. Kartini dan Dewi
Sartika, pejuang pendidikan dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan lain sebagianya.

Dari data sejarah tersebut, perempuan berusaha menggeliat untuk


menujukkan potensi dirinya dan mensejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki
dengan berbagai himpitan tafsir agama yang penuh dengan kepentingan-kepentingan
tertentu dan himpitan budaya yang selalu menempatkan perempuan pada posisi
nomor dua. Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa wacana agama bukanlah
merupakan wilayah yang netral. Ia merupakan konstruk yang racialised (mendukung
ideologi ras tertentu, dan meminggirkan ras lainnya), gendered (mendukung ideologi
gender tertentu) classed (mendukung dominasi kelas tertentu), dan sexed
(mendukung ideologi seksual tertentu). Akibatnya, banyak pesan-pesan agama yang
17
Muhammad Ali Ash-Shalabi, Sejarah Lengkap Rasulullah Saw (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2012)
27-29
menempatkan perempuan dan laki-laki sederajat melenceng dari prinsip-prinsipnya
semula. Sehingga banyak ditemukan gambaran dari keadaan kontradiktif yang
dialami oleh kaum perempuan pada abad ini. Kepemimpinan dan peran publiknya
sangat jauh berbeda dengan kepemimpinan dan peran sebelumnya sebagaimana
telah disampaikan tadi.18

Saat ini, di era kebangkitan umat Islam, era millenium ketiga, peran publik
perempuan lambat namun pasti telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sejalan dengan era keterbukaan dan dijunjungnya
nilai-nilai demokrasi, serta semakin terbukanya penafsiran keagamaan yang lebih
moderat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, peran publik perempuan mulai
diperhitungkan dan diakui oleh masyarakat. Tidak sedikit perempuan yang
menempati pos-pos penting di lembaga publik. 19 Seperti Tri Risma yang menjabat
Wali Kota Surabaya, Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, Puan Maharani
menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan lain-lain.

Dari pemaparan kontekstualis hadis diatas dalam pemikiran Syuhudi Ismail


perspektif historis, dengan melihat situasi dan kondisi pada masa Nabi ketika
meriwayatkan hadis diatas. Dan juga melihat situasi di Jazirab Arab dan sekitarnya
terkait kultur dan tradisi masyarakat tersebut pada masa Nabi masih hidup. Maka
hadis ini tidak relevan jika dijadikan dalil untuk masa sekarang ini. Walaupun jika
seorang perempuan itu dinilai kurang baik kapabilitas dan wibawanya maka itu
kesalahannya dari nilai sisi kemanusiannya yang tidak mempunyai bakat kecakapan
menjadi pemimpin besar. Sehingga penilaian semacam ini adil karena baik laki-laki
maupun perempuan yang ingin menjadi pemimpin jika tidak memenuhi kapasitasnya
maka sama-sama tidak sah, tidak pantas memimpin karena tampuk kepemimpinan
merupakan tanggung jawab yang berat dan besar, sehingga jika tetap
membiarkannya maka akan dikhawatirkan merusak tatanan yang ada.

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa ulama klasik masih memahami


tekstualis hadis itu sehingga pada masa klasik sepeniggal Nabi sampai sebelum
zaman modern hadis itu diapakai dengan pemahaman tekstualis. Ulama klasik pada
saat itu walaupun juga berusaha mengkompromikan dengan hadis lain yang sama
temanya terkait kepemimpinan perempuan serta memadukannya dengan ayat al-
Qur’an terkait kepemimpinan perempuan. Namun para ulama klasik itu tetap
tektualis dalam memahami hadis tersebut yang didukung kondisi kebiasaan
kedudukan perempuan pada saat itu yang terpandang masih lemah dan rendah,
sehingga sangat tidak memungkinkan untuk lari dari tradisi dan kenyataan pada saat
itu.
Kemudian pada zaman kontemporer ini mayoritas ulama memahami hadis
ini secara kontekstual karena hadis itu bersifat temporal, tidak universal. 20 Begitu
pula menurut Syuhudi Ismail, dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum
18
Munawir Haris, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Jurnal Analisis Vol. 15, No. 1, Januari
2015, 91
19
Munawir Haris, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Jurnal Analisis Vol. 15, No. 1, Januari
2015, 94
wanita makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki.
Sejarah telah membuktikan banyak pemimpin wanita yang sukses. Seperti
(1) Ratu (Sulthanat) Mamluk, Radhiyah dan Syajarat al-Durr: Radhiyah memegang
kekuasaan di Delhi pada tahun 634 H/1236 M, sementara Syajarat al-Durr menaiki
thata pada tahun 648 H/ 1250 M di Mesir. (2) Ratu (Khatun) Mongol; Kutlugh
Khatun dan putrinya Padisyah Khatun; Absy Khatun dan Daulat Khatun. (3) Ratu
(Sulthanat) Kepulauan; yang memerintah di wilayah Hindia; 3 (tiga) orang di
Maladewa dan 4 (empat) orang di Indonesia. Selama 40 tahun orang-orang Muslim
di Maladewa diperintah oleh para wanita, masing-masing: Sulthanat Khadijah,
memerintah dari tahun 1347-1379; Sulthanah Myriam sampai tahun 1383; kemudian
digantikan putrinya Sulthanah Fathimah, memerintah sampai tahun1388.25 keempat
sulthanat yang memerintah di Indonesia (Aceh) tersebut, masing-masing: Sulthanat
Taj al-‘Alam Safiyyat al-Dinsyah memerintah dari tahun 1641-1675; Sulthanah Nur
al-‘Alam Nakiyyat al-Din Syah dari tahun 1675-1678; Sulthanat Inayat Syah
Zakiyyat al-Din Syah dari 1678-1688; dan yang terakhir Sulthanah Kamalat Syah,
yang memerintah dari tahun 1688-1699.21
Di era sekarang ini juga tak kalah perempuan yang sukses menjadi
pemimpin di ranah publik, seperti Megawati yang menjadi Presiden Indonesia ke-5,
Rustriningsih menjadi Bupati Kebumen, Tri Rismaharini menjadi Wali Kota
Surabaya, Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan RI, Retno Marsudi menjadi
Menteri Luar Negeri RI, dan lain-lain.
Dikalangan millenial yang sedang sekarang ini juga sudah mulai
mengangkat perempuan menjadi pemimpin atau pejabat tingkat tinggi di
pemerintahan dan non pemerintahan. Seperti Hillary Brigitta Lasut menjadi anggota
DPR RI dalam usia 23 tahun, Putri Tanjung, Angkie Yudistia dan Dini Shanti
Purwono yang diangkat menjadi Staff Khusus Presiden Jokowi.

Menurut Syuhudi Ismail, dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan


dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai
pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin.
Jadi bisa dipahami bahwa hadis ini menolak kepemimpinan wanita secara mutlak,
tetapi harus melihat dari kapabilitas seorang wanita itu ketika akan mencalonkan diri
menjadi pemimpin dan lingkup budaya masyarakat setempat terkait penghargaannya
dengan derajat wanita.

Di era sekarang ini, secara garis besar mayoritas masyarakat di Indonesia


dan dunia umumnya sudah tidak asing dengan pemimpin perempuan. Kehadirannya
dinantikan untuk mendobrak kemajuan penghargaan kedudukan wanita dimata
publik. Dan juga guna menggantikan pemimpin laki-laki yang biasanya korupsi
karena godaan tahta dan wanita. Kehadiran pemimpin perempuan dinantika karena

20
M. Ali Rusdi Bedong dan Fauziah Ahmad, Kepemimpinan Wanita Di Dunia Publik (Kajian Tematik
Hadis) Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli – Desember 2018, 227
21
Siti Zubaidah, Pemikiran Fatima Mernisi Tentang Kedudukan Wanita Dalam Islam (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010) 112
nalurinya yang teliti dan peduli, sehingga diharapkan kepemimpinannya akan
memperbaiki dan memperbarui tatanan sebelumnya.

Memang masih ada sedikit yang berpaham konservatis yang masih


mengasingkan perempuan dari kepemimpinan pada ranah publik. Dan masyarakat
tradisionalis pedesaan yang masih berpikiran bahwa perempuan itu ujung-ujungnya
di dapur walaupun berpendidikan tinggi. Sehingga hal ini menjadikan perempuan di
kalangan mereka masih rendah dibawah laki-laki atau tidak pernah setara untuk
mempunyai hak yang sama.

Oleh karena itu dengan melihat hadis Nabi di atas dan pandangan Syuhudi
Ismali terkait pemimpin perempuan dalam perspektif sejarah, maka jika seorang
perempuan itu mempunyai prestasi, kapabilitas dan kewibawaan ia pantas menjadi
pemimpin. Walaupun masih ada sedikit kalangan yang menganggap perempuan
tidak bisa menjadi pemimpin, itu tidaklah berpengaruh secara signifikan karena yang
penting adalah keberanian dan kapabilitas untuk menunjukkan bahwa seorang
perempuan itu bisa memimpin. Seperti mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti
yang diawal jabatannya diwarnai kontroversi karena pendidikan dan gayanya yang
nyentrik, tentu saja ini menimbulkan pertanyaan semua rakyat Indonesia kenapa
presiden memilih seorang perempuan yang kontroversional. Selang berjalannya
waktu ternyata Susi mampu membuktikan kinerjanya yang membuat prestasi baru.

Akhir kata menurut penulis, alasan pelarangan pemimpin perempuan


berdasar bias gender untuk sekarang ini sudah tidak relevan karena di era sosial 4.0
ini sudah banyak perempuan berpendidikan tinggi dan juga kemudahan akses
informasi reputasi seorang calon pemimpin. Mengingat berdasar fakta sejarah baik
sejak Islam datang hingga masa kini sudah banyak perempuan yang berhasil
membuktikan prestasi kinerjanya. Serta kesadaran masyarakat yang mulai
memberikan tempat dan kesempatan kepada perempuan berdasar prestasi dan
kemanusian.

Kesimpulan

Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik


perkataan, perbuatan dan ketetapan. Dalam memahami hadis harus memperhatikan
posisi, fungsi, situasi dan kondisi pada saat Nabi meriwayatkan hadisnya. Karena
jika bukan pada ranahnya hadis Nabi yang bersifat qat’i maka hadis itu bisa
mengalami perubahan makna, karena zaman terus berubah sehingga hadis Nabi bisa
jadi untuk saat ada yang sudah tidak berlaku dengan syarat tertentu. Seperti hadis
larangan wanita menjadi pemimpin ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syuhudi
Ismail bahwa wanita bisa saja menjadi pemimpin jika ia mempunyai kewibawaan
dan kapabilitas yang baik serta lingkungan sosial budayanya sudah menghargai
wanita pada derajat yang sama. Karena hadis ini muncul ketika putri Kerajaan Persia
naik tahta menjadi ratu (kepala negara) dan pada masa itu lingkungan sosial budaya
masyarakat Jazirah Arab dan Persia belum menghargai wanita pada derajat yang
sama, maka hadis ini hanya bersifat temporal tidak universal.

Di era sekarang ini, secara garis besar mayoritas masyarakat di Indonesia


dan dunia umumnya sudah tidak asing dengan pemimpin perempuan. Kehadirannya
dinantikan untuk mendobrak kemajuan penghargaan kedudukan wanita dimata
publik. Dan juga guna menggantikan pemimpin laki-laki yang biasanya korupsi
karena godaan tahta dan wanita. Kehadiran pemimpin perempuan dinantika karena
nalurinya yang teliti dan peduli, sehingga diharapkan kepemimpinannya akan
memperbaiki dan memperbarui tatanan sebelumnya.

Daftar Pustaka
Ash-Shalabi, Muhammad Ali.2012.Sejarah Lengkap Rasulullah
Saw.Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Ismail, Muhammad Syuhudi.1988.Kaedah Keshahihan Sanad Hadis:
Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.Jakarta: Bulan Bintang
Ismail, Muhammad Syuhudi.1991.Pengantar Ilmu Hadis.Bandung: Angkasa
Mustaqim, Abdul.2016.Ilmu Ma’anil Hadits (Paradigma Interkoneksi
Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi.Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta
Zubaidah, Siti.2010Pemikiran Fatima Mernisi Tentang Kedudukan Wanita
Dalam Islam (Bandung: Citapustaka Media Perintis
Amrullah, Kontribusi Syuhudi Ismail dalam Konteksualisasi Pemahaman
Hadis, Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 7, Nomor 1, Juni 2017
Dewi Sa’diyah Isu Perempuan” (Dakwah Dan Kepemimpinan Perempuan
Dalam Kesetaraan Gender) Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008
M. Ali Rusdi Bedong dan Fauziah Ahmad.Kepemimpinan Wanita Di Dunia
Publik (Kajian Tematik Hadis) Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli –
Desember 2018
Munawir Haris, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Jurnal Analisis
Vol. 15, No. 1, Januari 2015
Taufan Anggoro, Analisis Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail Dalam
Memahami Hadis Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis 3, 2 (Maret 2019)

Anda mungkin juga menyukai