Anda di halaman 1dari 23

Catatan Koas

Hai !!! Mari kita belajar bersama-sama

Catatan Koas
Hai !!! Mari kita belajar bersama-sama

Beranda

Saturday, October 13, 2018


LAPORAN KASUS CMA
LAPORAN KASUS COUMPOND MIOP ASTIGMAT

BAB 1
PENDAHULUAN

Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering terjadi. Saat ini
kelainan refraksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Tiga kelainan
refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Jenis
kelainan refraksi yang keempat yaitu presbiopia. 1
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata.
Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah pasien yang
menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa.2
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu kondisi dimana cahaya yang memasuki mata
terfokus di depan retina sehingga membuat objek yang jauh terlihat kabur.3 Menurut derajat
beratnya, miopia dibagi dalm tiga kriteria yaitu ringan, sedang, dan berat.1
Data WHO memperkirakan bahwa 246 juta orang di seluruh dunia memiliki ganguan
penglihatan yang meliputi ametropia (miopia, hipemetropia atau astigmatisme) sebesar 43 %,
katarak 33 %, glaukoma 2 %. Kejadian miopia semakin meningkat dan diestimasikan bahwa
separuh dari penduduk dunia menderita miopia pada tahun 2020.4
WHO memperkirakan bahwa ada 45 juta penderita kebutaan di dunia, sepertiganya
berada di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia 1 orang buta tiap menitnya. Prevalensi
kebutaan dan gangguan penglihatan pada kelompok usia 5-15 tahun adalah 0,96%. Penelitian
WHO mengenai miopia pada remaja paling sering terjadi pada anak perempuan daripada anak
laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1.4
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 provinsi Sulawesi Utara
dan Sulawesi Selatan menempati urutan ketiga dengan prevalensi kebutaan tertinggi di Indonesia
sebesar 0,8% dari jumlah populasi. Angka ini meningkat dibandingkan prevalensi kebutaan
tahun 2007 yang hanya sebesar 0,5%. Padahal ketersediaan koreksi refraksi pada penduduk umur
6 tahun ke atas menempati urutan ketiga tertinggi nasional yakni 7,5%.5
Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, dan biasanya berjalan
bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama hidup.
Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam
perkembangannya terjadi keadaan yang disebut astigmatism with the rule (astigmat lazim) yang
berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau-jari-jarinya
lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horisontal.1
Melihat situasi yang ada WHO merekomendasikan untuk dilakukannya skrining
penglihatan dan pelayanan kesehatan yang ditujukan bagi anak sekolah. Berkaitan dengan hal
tersebut maka pada anak usia sekolah tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah
tingkat pertama sangat rentan terhadap kelainan refraksi apabila sedini mungkin tidak di koreksi
akibatnya akan berpengaruh pada kegiatan belajar dan dapat mempengaruhi prestasi belajar.
BAB 2
LAPORAN KASUS
A.    IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 25-03-2000
Umur : 18 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia
Alamat : Makassar
No. Register : 069758
Tanggal pemeriksaan : 13 Agustus 2018
Rumah sakit : BKMM
Pemeriksa : dr. N
B.     ANAMNESIS
Keluhan Utama : Penglihatan kabur
Anamnesis Terpimpin : Pasien perempuan berusia 18 tahun datang ke Balai Kesehatan Mata
Makassar dengan keluhan penglihatan kabur pada kedua mata saat melihat jauh dan kadang
disertai rasa pusing dan penglihatan berbayang. Keluhan mulai dirasakan sejak 3 tahun yang lalu
kemudian terasa semakin memberat beberapa bulan terakhir. Pasien adalah seorang mahasiswi
yang kesehariannya sering menggunakan gadget berupa handphone dalam waktu ±7 jam perhari.
Tidak ada riwayat trauma, rasa perih, gatal, pengeluaran air mata berlebihan, maupun riwayat
mata merah.
Riwayat penyakit sistemik :
Tidak ada.
Riwayat alergi :
Tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ayah pasien menderita miopia dan menggunakan kacamata OD S-2.00, OS S-1.50
Riwayat Pemakaian Kacamata :
Tidak ada.
Riwayat Pengobatan :
Tidak ada.

C.      STATUS GENERAL


Kesadaran : Kuantitatif = GCS 15, composmentis
Kualitatif = baik, tidak berubah
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit

D.      STATUS LOKALISASI OFTALMOLOGIS


1.         Pemeriksaan Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Normal ke segala arah Normal ke segala arah
Kornea Kesan jernih Kesan jernih
Bilik Mata Depan Kesan normal Kesan normal
Iris Cokelat Cokelat
Pupil Kesan bulat Kesan bulat
Lensa Jernih Jernih

2.         Pemeriksaan Palpasi

Palpasi OD OS
TIO Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula pre-aurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

3.         Tonometri
Tidak dilakukan pemeriksaan.

4.         Visus
VOD : 20/70, koreksi -0,75 / -1,50 x 0ᵒ
VOS : 20/100F, koreksi -2,00 / -2,00 x 165ᵒ

5.         Iluminasi Oblik


OD : Edema palpebra (-), sekret (-), lakrimasi (-), konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, iris
cokelat, pupil bulat, refleks cahaya (+), lensa jernih.
OS : Edema palpebra (-), sekret (-), lakrimasi (-), konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, iris
cokelat, pupil bulat, refleks cahaya (+), lensa jernih.

6.         Pemeriksaan Slit Lamp


SLOD : Konjungtiva hiperemis (-); kornea keruh, iris cokelat kripte (+), pupil bulat sentral, RCL (+) dan
lensa jernih
SLOS : Konjungtiva hiperemis (-); iris cokelat kripte (+), pupil bulat sentral, RCL (+) dan lensa jernih.
BMD kesan normal
7.         Pemeriksaan Funduskopi
OD : Refleks fundus (+), papil berbatas tegas, CDR 0,3 , A:V 2:3,
reflex fovea (+), retina perifer kesan normal
OS : Refleks fundus (+), papil berbatas tegas, CDR 0,3 , A:V 2:3,
reflex fovea (+), retina perifer kesan normal

8.         Pemeriksaan Refraktometri

Sph Cyl Axis


OD -0,75 -1,50 0
OS -2.00 2,00 165

E.       RESUME
Seorang Pasien perempuan berusia 18 tahun datang ke Balai Kesehatan Mata Makassar
dengan keluhan visus jauh menurun sejak 3 tahun yang lalu, pusing (+), penglihatan berbayang
(+). Pasien adalah seorang mahasiswi yang kesehariannya sering menggunakan gadget berupa
handphone dalam waktu ±7 jam perhari. Riwayat trauma (-), perih (-), gatal (-), lakrimasi (-),
mata merah (-), sekret (-). Riwayat penyakit sistemik (-), alergi (-). Riwayat penyakit yang sama
dalam keluarga (+) yaitu ayah pasien menderita miopia dengan kacamata ukuran OD S-2.00 dan
OS S-1.50. Riwayat pemakaian kacamata (-). Riwayat pengobatan (-).
Pada inspeksi dan palpasi tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan oftalmologi
didapatkan :
ODS segmen anterior kesan normal
VOD 20/70, koreksi -0.75 / -1.50 x 0ᵒ = 20/20
VOS : 20/100F, koreksi -2.00 / -2.00 x 165ᵒ = 20/20

F.       DIAGNOSIS KERJA


ODS Compound Myopic Astigmatism

G.      DIAGNOSIS BANDING


ODS Myopia
H.      TERAPI
Kacamata Monofokal
R/ OD S -0.75 / C -1.50
OS S -2.00 / C -2.00 / Axis 165
Kontrol tiap 6 bulan

I.         PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad visam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad cosmeticum : bonam

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
A.      ANATOMI DAN FISIOLOGI PENGLIHATAN

Gambar 1. Anatomi bola mata.6

Bola mata dewasa normal hampir bulat, dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm.
Bola mata memiliki empat media refrakta, yaitu media yang dapat membiaskan cahaya yang masuk
ke mata. Media refrakta mata terdiri dari kornea, aqueous humor, lensa, dan vitreous humor. Agar
bayangan dapat jatuh tepat di retina, cahaya yang masuk harus mengalami refraksi melalui media-
media tersebut.1,7,8
1.         Kornea, adalah selaput bening mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 6 lapisan yang dapat dilihat pada gambar
berikut : 8,9,10

Gambar 2. Lapisan kornea.11

a.         Lapisan epitel. Tebalnya 550 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
b.        Lapisan Bowman merupakan lapisan jernih aselular, yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
c.         Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas jalinan lamella
serat-serat kolagen yang mencakup hampir seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar
dengan permukaan kornea, dan karena ukuran dan kerapatannya menjadi jernih secara optis.
d.        Membran Descement yang merupakan lamina basalis endotel kornea memiliki tampilan yang
homogen dengan mikroskop cahaya tetapi tampak berlapis-lapis dengan mikroskop elektron
akibat perbedaan struktur antara bagian pra dan pascanasalnya.
e.         Dua’s layer, terdiri atas serat kolagen yang terikat kuat membentuk lamella yang berjalan
longitudinal dan transversal dengan beberapa diantaranya berjalan arah oblik. Ketebalan rata-rata
Dua’s layer yaitu antara 6,3 – 15,83 mikron.
f.         Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan besar dalam mempertahankan
deturgesensi stroma kornea. Endotel kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-
selnya seiring dengan penuaan. Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan
pergeseran sel-sel, dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan
edema kornea.

2.         Aqueous Humor, diproduksi oleh corpus ciliare, dengan aliran memasuki bilik mata belakang,
lalu ke pupil dan masuk ke bilik mata depan kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan tahanan
terhadap aliran keluarnya dari mata.
3.         Lensa, adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, hampir transparan sempurna, dan
tidak ada saraf nyeri. Tebalnya 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung pada zonula di
belakang iris yang menghubungkannya dengan corpus ciliare. Lensa dapat tembus cahaya yang
dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi.
4.         Vitreus Body, adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk 2/3
volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruang yang dibatasi oleh lensa, retina dan diskus
optikus. Vitreus mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan
asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena
kemampuannya mengikat banyak air.

Setiap bola mata bertindak sebagai kamera yang akan mengambil gambar dan
mengirimnya pusat penglihatan di otak yaitu cortex occipitalis melalui jalur visual yang terdiri
dari nervus opticus, chiasma opticum, corpus geniculatum lateralis dan radiasi optik.12

Gambar 3. Fisiologi penglihatan.13


Gambar 4. Anatomi jaras penglihatan.12

Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal, pupil
dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika sedang
konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris
yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang
terdiri dari sel-sel epitelial kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal
juga sebagai myoepithelial cells.14
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil
sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi pupil
terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita memindahkan
arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat atau jauh. Pada tahap
selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina
bergantung pada kemampuan refraksi mata.14
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humour (n=1.33),
dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa
hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada
benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan
mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya
menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini
terjadi pada retina. Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan
sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen
melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu matriks
hitam yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan
mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis
neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron
ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai lapisan bersatu.
Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic sedangkan
lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic. Setelah
aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan
diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral geniculate dari thalamus,
superior colliculi, dan korteks serebri. 14

B.       DEFINISI
Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak terbentuk pada retina
(macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa akan
membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan
susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjang bola mata. Pada kelainan refraksi, sinar
dibiaskan di depan atau di belakang macula lutea.15
Keadaan mata dengan kemampuan refraksi normal disebut emetropia, sedangkan mata
dengan kelainan refraksi disebut ametropia . Ametropia adalah keadaan di mana pembiasan mata
dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Ametropia dapat disebabkan kelengkungan
kornea atau lensa yang tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam
mata (ametropia indeks). Ametropia dapat dibagi menjadi:7,15
1.         Miopia, terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi, biasanya karena bola mata yang panjang, dan
sinar cahaya paralel jatuh pada fokus di depan retina;
2.         Hipermetropia, terjadi apabila kekuatan optik mata terlalu rendah, biasanya karena mata terlalu
pendek, dan sinar cahaya paralel mengalami konvergensi pada titik di belakang retina;
3.         Astigmatisme, di mana kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya
paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.
Astigmatisme (dari bahasa Yunani “a” berarti absen, dan “stigma” berarti titik) adalah
kesalahan refraksi (ametropia) yang terjadi saat sinar sejajar cahaya yang memasuki mata yang
tidak berakomodasi, tidak terfokus pada satu titik di retina. Pada astigmat berkas sinar tidak
difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling
tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea.1,16

Gambar 5. Kelainan refraksi pada mata astigmatisme.17

Compound miop astigmat adalah bagian dari astigmatisme dimana dua sinar yang masuk
ke mata jatuh di depan retina.15

C.      EPIDEMIOLOGI
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar. Di
Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus
kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita
kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur, negara, jenis
kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya. Prevalensi miopia bervariasi
berdasar negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-90% di beberapa negara. Sedangkan
menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian astigmat
bervariasi antara 30%-70%
D.      ETIOLOGI
Pada umumnya astigmatisme merupakan penglihatan kabur atau terdistorsi yang biasanya
berhubungan dengan bentuk kornea yang tidak sempurna. Astigmatisme dapat dibagi menjadi
kategori bawaan dan didapat:15,18
1.         Kongenital :
a.         adanya kelainan pada curvatura cornea
b.        letak lensa sedikit oblique atau agak ”decentring”
2.         Didapat, misalnya oleh karena :
a.         Operasi okular. Contoh: penghapusan pterygium, ekstraksi katarak, keratoplasty, myopic
keratomileusis, keratektomi radial dan astigmatik, PRK, dan LASIK.
b.        Trauma okular.

E.       KLASIFIKASI
1.         Astigmat irreguler.
Astigmatisma yang terjadi tidak memiliki 2 meridian saling tegak lurus.Astigmat ireguler
dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan
menjadi ireguler. Pada keadaan ini daya atau orientasi meridian utamanya berubah sepanjang
bukaan pupil.12
Astigmatisma ireguler bisa terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat
kelainan pembiasan.12

Gambar .Astigmat Irregular (12)

2.         Astigmat reguler


Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang memperlihatkan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian
berikutnya. Bayangan yang terjadi dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong
atau lingkaran. Terjadi apabila dijumpai dua bidang meridian utama yang saling tegak lurus
sehingga dapat dikoreksi.15
Tipe-tipe astigmat reguler berdasarkan posisi dua garis cahaya yang menuju ke retina :15
a.         Simplex : satu garis terjatuh di retina, sedang yang lain di luar retina. Jika salah satu fokus jatuh
di depan retina disebut miopicus simplex, jika salah satu fokus jatuh di belakang retina disebut
hypermetropicus simplex.

Gambar 6. Simple miop astigmat (A), dan Simple Hypermetrop Astigmat (B).12
b.        Compositus : bila kedua fokus jatuh di luar retina tetapi tidak pada satu titik/bidang, bisa
didepan retina (myopicus compositus) atau di belakang retina (hipermetropicus compositus).

Gambar 7. Compound Miop Astigmat (C), dan Compound Hypermetrop Astigmat (D).12
c.         Mixtus : bila salah satu fokus jauh di depan retina dan yang lain di belakang retina.
Gambar 8. Mixed Astigmat.12

Tipe-tipe astigmat reguler berdasarkan aksis dan sudut antara dua bidang meridian :
1.        Astigmat Lazim / Astigmatisme with the rule
Bayi baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam
perkembangannya terjadi keadaan yang disebut astigmat with the rule, yang berarti
kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih
pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal.1
2.        Astigmat Tak Lazim / Astigmatisme against the rule
Suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan
dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150
derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat
dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering terjadi pada usia lanjut. 1
3.        Oblique Astigmatism
Suatu keadaan dua bidang meridian utama tidak horizontal dan vertikal meski berada pada
sudut yang tepat antara satu dengan yang lainnya. Astigmat oblik biasanya ditemukan simetris
(contoh, lensa silindris 30ᵒ pada kedua mata) dan komplemen (contoh, lensa silindris 30ᵒ pada
satu mata dan 150ᵒ pada mata lain).12
4.        Bioblique astigmatism.
Suatu tipe astigmatisme dengan prinsip dua bidang meridian tidak pada sudut yang tepat
antara satu sama lain. Contoh 30ᵒ pada satu mata dan 100ᵒ pada mata yang lain.12

F.       GAMBARAN KLINIS


1.         Gejala subjektif :
Pada astigmat reguler :12
a.         Penglihatan buram
b.        Tergantung derajat astigmatisme, objek mungkin tampak proporsional memanjang
c.         Nyeri pada daerah mata
d.        Nyeri kepala
e.         Rasa cepat lelah pada mata
f.         Kadang mual dan rasa kantuk.
Pada astigmat irreguler :12
a.       Defek penglihatan
b.      Distorsi objek
c.       Polyopia

2.         Gejala Objektif :


Pada astigmat reguler : 12
a.       Pada retinoskopi atau autorefractometry didapatkan kekuatan yang berbeda dalam dua meridian.
b.      Pada oftalmoskopi terlihat diskus optikus berbentuk oval atau miring.
c.       Saat pasien diminta memiringkan kepala, pasien akan mengalami torticollis untuk mendekatkan
axis hingga mencapai meridian horixontal atau vertikal.

Pada astigmat irreguler :12


a.       Pada tes placido, pasien mengungkapkan bahwa papan tes yang dilihat tampak lingkaran yang
terdistorsi.
b.      Pada photokeratoscopy dan CT kornea memberikan gambaran kurvatur kornea yang irreguler.

G.      PENEGAKAN DIAGNOSIS


Astigmatisme dapat didiagnosis berdasarkan hasil anamnesis dan tes komprehensif pada
mata. Penilaian astigmatisme mangukur bagaimana mata berfokus pada cahaya dan menentukan
oleh kekuatan lensa optik yang dibutuhkan untuk mengkompensasi penglihatan buram.18
1.         Pemeriksaan Visus
Ketajaman penglihatan diukur dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran
yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya kartu “Snellen” yang sudah dikenal, yang
terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Sesuai
konversi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh 20 kaki (6 meter), atau dekat 14
inci. Untuk keperluan diagnostik, ketajaman penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan
standar pembanding dan selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Normalnya yaitu 20/20.8
2.      Uji Pin Hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan
diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina
lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien
tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan
berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang
menggangu penglihatan.
3.         Tes Placido
Papan placido merupakan papan yang mempunyai gambaran garis hitam melingkar
konsentris dengan lubang kecil di bagian sentralnya. Bila pada kornea pasien yang
membelakangi sumber sinar atau jendela, diproyeksikan sinar gambaran lingkaran plasido yang
berasal dari papan lempeng plasido, maka akan terlihat keadaan permukaan kornea.1
4.         Keratometri
Keratometri adalah instrumen utama yang digunakan untuk mengukur kelengkungan
kornea. Dengan memfokuskan sebuah cahaya di kornea dan mengukur pantulannya, maka dapat
ditentukan kelengkungan yang tepat dari permukaan kornea. Pengukuran ini sangat penting
dalam menentukan kecocokan pada lensa kontak.18
5.         Retinoskopi
Retinoskopi atau yang dikenal juga dengan skiaskopi atau shadow test, merupakan suatu
cara untuk menentukan kesalahan refraksi dengan metode netralisasi. Retinoskopi
memungkinkan pemeriksa secara objektif menentukan kesalahan refraktif spherosilindris.
Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya dipantulkan dari cermin ke
mata, maka arah bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil bergantung pada keadaan
refraktif mata.7
6.         Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi digunakan untuk mengukur panjang aksis bola mata. Sinar ultrasonik
direkam yang akan memberikan kesan keadaan jaringan yang memantulkan getaran yang
berbeda-beda. Namun pemeriksaan USG memerlukan biaya yang relatif mahal.1,7

H.      PENATALAKSANAAN
1.         Lensa Silindris dan Spheris
Pada keadaan compound miop astigmat, terjadi 2 keadaan sekaligus yaitu astigmatisme
(dimana dua sinar sejajar cahaya masuk ke mata) dan miopia (keduanya jatuh di depan retina).
Oleh karena itu diberikan tatalaksana berupa lensa spheris [-] untuk miopia ditambah dengan
lensa silindris untuk astigmatnya.
a.         Kaca mata
Penggunaan lensa kaca mata merupakan metode yang paling aman, namun sulit untuk
menentukan koreksi visus yang terbaik. Perbedaan kekuatan refraksi yang masih dapat ditolerir
oleh penggunanya adalah berkisar 3.00 D – 4.00 D.19
b.        Lensa kontak
Lensa kontak adalah sebuah lensa plastik atau kaca tipis yang dipasang di atas kornea
untuk memperbaiki kelainan penglihatan. Ada 125 juta pemakai lensa kontak di dunia.
Kompensasi lensa kontak untuk astigmatisme membutuhkan pemilihan desain yang benar untuk
setiap kasus. Desain lensa kontak telah disetujui dengan frekuensi penggantian lensa yang
berbeda (yaitu setiap hari, bulanan, sering diganti) dan dengan berbagai jenis pemakaian : daily-
wear (kontak lensa dipakai saat terjaga/tidak tidur) dan extended/continous wear (lensa kontak
dapat dipakai saat terjaga maupun saat tidur). Saat memilih lensa kontak untuk astigmat, jenis
lensa kontak harus dipilih sesuai dengan aturan umum :20

1.        Soft contact lenses, dibuat dari material plastik yang felksibel, yang normalnya adalah
hydrophilic. Kontak lensa jenid ini umumnya lebih nyaman dibanding kontak lensa rigid., dan
diameternya lebih lebar, hingga melampaui limbus kornea. Bila lensa diletakkan di mata, maka
lensa akan menyesuaikan dengan bentuk kornea.
2.        Rigid gas permeable contact lenses, terbuat dari plastik kaku yang mentransmisikan oksigen ke
kornea. Lensa RGP memiliki diameter lebih rendah dari diameter kornea. Efek refraktif dari
kontak lensa bila diletakkan pada mata sangat tergantung pada apakah lensa tersebut sesuai
dengan topografi kornea.

2.         Pembedahan
a.         Laser Excimer, terutama laser argon fluorida dengan panjang gelombang 193 nm, dapat
menguapkan jaringan dengan sangat bersih, nyaris tanpa merusak sel-sel di sekitar atau di bawah
potongan. Dengan menggunakan pulsasi multipel dan ukuran titik (penembak) yang berubah
secara progresif untuk menguapkan lapis demi lapis kornea yang tipis, pembentukan ulang
kontur retina dengan bantuan komputer (fotoreaktif keratektomi[PRK]) dapat memperbaiki
kelainan refraksi astigmatisme dan miopia sedang dengan tepat dan tampaknya secara
permanen.21
b.        LASIK (Laser in situ keratomileusis), terdiri atas pembuatan flap lamelar “berengsel” pada
kornea dengan suatu keratom mekanis, ablasi refraktif dasar kornea dengan laser, dan
pengembalian flap yang telah dibuat. Lasik menghasilkan perbaikan penglihatan yang lebih cepat
dan terasa lebih nyaman dibandingkan PRK, tetapi menimbulkan resiko komplikasi jangka
panjang yang sedikit lebih tinggi.21

I.         KOMPLIKASI
1.         Ambliopia atau mata malas, yaitu keadaan tajam penglihatan tidak dapat mencapai optimal
sesuai usia. Salah satu faktor resiko terjadinya ambliopia adalah anisometropia astigmatisma
pada derajat astigmatisma yang tinggi.19,22
2.         Strabismus, dapat terjadi jika mata yang sehat bekerja lebih keras dibandingkan mata yang sakit,
dimana hal ini akan menyebabkan melemahnya otot penggerak bola mata pada mata yang sakit,
pelemahan ini membuat mata yang sakit lebih rentan mengalami strabismus.19

J.        PROGNOSIS
Astigmatisme dapat berubah seiring waktu, membutuhkan kacamata baru atau lensa
kontak. Koreksi penglihatan dengan laser paling sering bisa menghilangkan, atau sangat
mengurangi astigmatisme.23
BAB 4
KESIMPULAN

Astigmatisme adalah kesalahan refraksi (ametropia) yang terjadi saat sinar sejajar cahaya
yang memasuki mata yang tidak berakomodasi, tidak terfokus pada satu titik di retina.
Compound miop astigmat adalah bagian dari astigmatisme dimana dua sinar yang masuk ke
mata jatuh di depan retina. Etiologinya dapat kongenital (adanya kelainan pada curvatura kornea
dan letak lensa yang sedikitoblik), dan didapat (operasi okular dan trauma).
Gejalanya dapat berupa penglihatan buram, mata terasa cepat lelah, pandangan
berbayang, nyeri daerah mata, nyeri kepala, kadang mual, dan rasa kantuk. Tatalaksananya
adalah dengan menggunakan kacamata atau lensa kontak sesuai dengan koreksi yang telah
dilakukan. Pada compound miop astigmat maka lensa yang digunakan adalah lensa spheris [-]
dan lensa silindris.
DAFTAR PUSTAKA

1.         Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Ed 4. Jakarta: FKUI, 2013; Hal 64-81 .

2.         Handayani-Ariestanti, T., Supradnya-Anom, I G.N, Pemayun-Dewayani, C. I. Characteristic of

patients with refractive disorder at eye clinic of sanglah general hospital Denpasar, Bali-

Indonesia Period of 1st January – 31st December 2011. Bali Medical Journal (BMJ) 2012; 1(3):

101-107.

3.         Bruce J, etc. Lecture Notes : Oftalmologi Edisi ke Sembilan. Jakarta : Erlangga. 2006

4.         WHO (2007). Vision 2020 The Right to Sight. World Health Organization Publication Data.

2018. Visual Impaiement ad Blindness. Dari website

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/

5.         Rifati L, Rosita T, Hasanah N, Indrawati L. Kesehatan indera. In: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013. h.231-8.

6.         Anatomy of Eye. Human Anatomy Library. 2016. Available from :

http://humananatomylibrary.com/tag/anatomy-of-eyeball-pdf/ [Accessed: August 27, 2018]

7.         Elisa, Yustina. Kelainan Refraksi. 2014. Available from :


http://eprints.undip.ac.id/46853/3/Yustina_Elisa_22010111130122_Lap.KTI_Bab2.pdf.
[Accessed: August 27, 2018]
8.         Eva, Paul R. Optik & Refraksi. Dalam : Eva PR, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Page: 392-6.
9.         Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. Page : 211-4
10.     Dua HS, Faraj LA, Said DG. Dua’s Layer: it’s discovery, characteristics and applications.
Journal of Emmetropia Vol.5. 2014. Page 215-6. Available from
www.journalofemmetropia.org/numeros/pdf/5-4/Journal-update-1.pdf [Accessed: August 24,
2018]
11.     Lutz, Jennine. New Layer in the Cornea Discovered. 2011. Available from :
http://www.matossianeye.com/doylestown/blog/detail/2013/07/03/new-layer-in-the-cornea-
discovered.html [Accessed: August 25, 2018]
12.     AK, Khurana. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi. New Age
International (P) Limited Publisher. 2007. Page : 5
13.     The Visual Process. Encyclopedia Britannica. 2017. Available from :
https://www.britannica.com/science/human-eye/The-visual-process#toc64883 [Accessed: August
27, 2018]
14.     Anonym. Chapter II. Universitas Sumatera Utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/32435/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y [Accessed : August 28, 2018]
15.     Muryasani, Ikrar A. Laporan Kasus ODS Astigmatisma Miop Kompositus. Bagian Ilmu
Kesehatan Mata FK Universitas Diponegoro. 2011. Page : 13-4
16.     Kaimbo, Dieudonne KW. Astigmatism – Definition, Etiology, Classification, Diagnosis and
Non-Surgical Treatment. Department of Ophthalmology, University of Kinhasa. Croatia. 2012.
Page : 60-9.
17.     Hutauruk, Mona R. Hubungan Antara Pengetahun dengan Sikap Orang Tua tentang Kelainan
Refraksi pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2009. Page : 17
18.     Upadhyay, Sanjay. Myopia, Hyperopia and Astigmatism : A Complete Review with View of
Differentiation. International Journal of Science and Research (IJSR) Vol.4 Issue 8. Gujarat.
2015. Page : 128-9
19.     Saputera, Monica D. Anisometropia. CDK-245 Vol.43 No.10. 2016. Available from :
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_245Anisometropia.pdf [Accessed : August 27, 2018]
20.     Herranz RM, Zarzuelo GR, Herraez VJ. Contact Lens Correction of Regular and Irregular
Astigmatism. IOBA Eye Institute. Spain. Page : 159-162
21.     Chong, Victor NH. Laser dalam Oftalmologi. Dalam : Eva PR, Whitcher JP (editors). Vaughan
& Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Page: 431
22.     Gunawan, Wasisdi. Astigmatisma Miop Simplek yang Mengalami Ambliopia Pada Anak
Sekolah Dasar di Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2006. Page 135-6.
23.     Lusby, Franklin W. Astigmatism. US National Library of Medicine. Department of Health and
Human Service National Institutes of Health. Available from :
https://medlineplus.gov/ency/article/001015.htm [Accessed : August 29, 2018]
at October 13, 2018
Share

No comments:
Post a Comment


Home
View web version

About Me
Triyap
View my complete profile

Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai