Anda di halaman 1dari 106

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333103120

Pembangunan Dan Ketimpangan Wilayah Pantai Barat Dan Pantai Timur


Sumatera Utara

Thesis · February 2001


DOI: 10.13140/RG.2.2.31583.30887

CITATIONS READS
0 432

1 author:

Dahlan Tampubolon
Universitas Riau
5 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dahlan Tampubolon on 18 May 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pembangunan Dan Ketimpangan Wilayah
Pantai Barat Dan Pantai Timur Sumatera Utara

Tesis

Oleh :

Dahlan Tampubolon
992103003/PWD
Perencanaan Pembangunan

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2001
Judul : Pembangunan Dan Ketimpangan Wilayah Pantai
Barat Dan Pantai Timur Sumatera Utara

Nama : Dahlan Tampubolon

NIM : 992103003

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan

Kekhususan Perencanaan Pembangunan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Bachtiar Hassan Miraza


Ketua

Dr. Parapat Gultom, MSIE Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE


Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

Prof. Bachtiar Hassan Miraza Dr.Ir. Sumono, MS


Komisi Pembimbing :

Prof. Bachtiar Hassan Miraza Ketua

Dr. Parapat Gulton, MSIE Pembimbing I

Lic.rer.reg. Sirojuzilam Pembimbing II


R I N G K AS A N

Dahlan Tampubolon, “Pembangunan Dan Ketimpangan Wilayah


Pantai Barat Dan Pantai Timur Sumatera Utara” dengan Komisi Pembimbing
Prof. Bachtiar H. Miraza (Ketua), Dr. Parapat Gultom, MSIE
(Pembimbing I) dan Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE (Pembimbing II).

Pembangunan bidang ekonomi pada dasarnya banyak diwarnai oleh


pendekatan sektoral, di mana perencanaan makro masih mengikuti sistem
pencapaian target peningkatan produksi untuk masing-masing sektor yang
bersangkutan. Dengan tercapainya target tersebut diharapkan di samping
pendapatan per kapita setiap tahun dapat meningkat, juga akan
mengakibatkan adanya transisi sektoral dari pertanian ke sektor industri atau
lainnya.

Wilayah pantai Barat propinsi Sumatera Utara terdiri dari satu kota dan
empat kabupaten dengan luas sekitar 35,33 persen dari seluruh luas propinsi
tetapi penduduknya hanya sekitar 18,34 persen dengan kepadatan rata-rata
hanya 86,67 jiwa per km2. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan wilayah
pantai Timur yang terdiri dari dua kota dan empat kabupaten memiliki luas
sekitar 34,64 persen tetapi penduduknya mencapai 58,11 persen dari
penduduk Sumatera Utara dengan kepadatan rata-rata 279,81 jiwa per km2.

Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan produk domestik


regional bruto (PDRB) Sumatera Utara, wilayah pantai Barat hanya
menyumbangkan sekitar 14,89 persen sedangkan wilayah pantai Timur
menyumbangkan sekitar 67,08 persen. Demikian pula dengan PDRB per
kapita rata-rata, di wilayah pantai Barat hanya sebesar Rp. 1.336.162
sedangkan di wilayah pantai Timur mencapai Rp 2.230.310.

v
Ketimpangan ekonomi yang tergambar dari adanya perbedaan dalam
hal pendapatan per kapita suatu daerah dengan daerah lain terkadang
merupakan masalah. Ketimpangan ini harus diatasi dengan pelaksanaan
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan antar
daerah, khsususnya dalam mempercepat pembangunan daerah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan daur


perkembangan ekonomi dan mengidentifikasi pola pertumbuhan. Selain itu
juga mengidentifikasi perubahan struktur dan alih-pangsa sektor-sektor
ekonomi serta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dan
berhubungan dengan ketimpangan wilayah pantai Barat dan pantai Timur
Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan data hasil publikasi resmi BPS dengan


berbagai analisis regional dan ekonometrika. Perkembangan ekonomi
dianalisis dengan Klassen Typologi dan korelasi koefisien variasi sektoral
untuk melihat pola pertumbuhan. Model regresi berganda Chenery dan
Syrquin digunakan untuk mengetahui perubahan struktur ekonomi, dan pola
Issard untuk melihat pergeseran tenaga kerja serta analisis shift share untuk
mengidentifikasi komponen perubahan dari tiap sektor. Ketimpangan wilayah
diukur dengan indeks Williamson dan diregresikan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dan untuk mengidentifikasi potensi sektor yang ada di
daerah menggunakan indeks keuntungan lokasi PDRB dan tenaga kerja.

Hasil penelitian menunjukkan kabupaten Mandailing Natal, Nias,


Tapanuli Tengah dan secara umum wilayah Pantai Barat digolongkan tipe
daerah kurang berkembang (terkebelakang) demikian pula dengan Langkat.
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Deli Serdang digolongkan tipe daerah yang
sedang berkembang. Kota Sibolga, kabupaten Asahan, Labuhan Batu dan

vi
secara umum wilayah Pantai Timur digolongkan tipe daerah yang maju. Kota
Medan dan Tanjung Balai digolongkan tipe daerah yang stagnan.

Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara terjadi


pertumbuhan dengan pola yang tidak seimbang. Gambaran tersebut
menunjukkan suatu fenomena yang sesuai mengenai bagaimana proses
pembangunan. Yaitu pembangunan yang terjadi merupakan suatu rangkaian
ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (a chain of disequilibrium)
pertumbuhan.

Struktur ekonomi wilayah Pantai Barat mengalami perubahan dari


pertanian ke industri dan diikuti sedikit sektor jasa seiring dengan
pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai Timur menunjukkan
perubahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
Perubahan yang sama terjadi juga dengan penyerapan tenaga kerja.
Perubahan di wilayah Pantai Barat banyak disebabkan faktor lokasional dan di
wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal.

Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan ketimpangan


wilayah pantai Barat Sumatera Utara. Suatu fenomena yang bersifat
paradoks muncul dari hasil model regresi ketimpangan wilayah yaitu di
wilayah pantai Barat Sumatera Utara peningkatan jumlah penduduk usia
kerja yang berpendidikan baik malah memperbesar ketimpangan wilayah.
Penurunan proporsi sektor pertanian cenderung memperkecil indeks
ketimpangan wilayah wilayah Pantai Timur sedangkan kepadatan penduduk
memperbesar ketimpangan wilayah.

Sektor pertanian memiliki keuntungan untuk dikembangkan di wilayah


pantai Barat kecuali di Sibolga. Di Kota Sibolga sektor yang menguntungkan
adalah utiliti, perhubungan dan komunikasi, jasa keuangan dan sosial.

vii
Keuntungan lokasi sektor pertanian relatif tinggi di Labuhan Batu, Asahan
dan Langkat. Konstruksi, perhubungan dan telekomunikasi, jasa-jasa
menguntungkan dikembangkan di Tanjung Balai dan Medan yang juga
menguntungkan di sektor utiliti. Sektor industri menguntungkan
dikembangkan di Deli Serdang dan pertambangan serta penggalian di
Langkat.

viii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang


telah memberikan limpahan rahmadNya, sehingga Tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tesis yang berjudul “Pembangunan Dan Ketimpangan Wilayah


Pantai Barat Dan Pantai Timur Sumatera Utara” ini, membahas
pembangunan dan perkembangan ekonomi, perubahan struktur dan
pergeseran tenaga kerja. Dalam tesis ini juga dibahas ketimpangan wilayah
dan faktor yang mempengaruhinya serta sektor potensial yang perlu
dikembangkan.

Pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada berbagai


pihak yang telah banyak membantu selama proses pendidikan hingga
penyelesaian tesis ini.
1. Bapak Dr. Ir. Sumono, MS selaku Direktur Pascasarjana USU yang banyak
memberikan kemudahan dalam proses pendidikan di PPS-USU ini.
2. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan dan pengajar serta
Ketua Komisi Pembimbing yang banyak meluangkan waktu memberikan
bimbingan dan arahan sehingga gelar Magister Sains ini dapat saya raih.
3. Bapak Dr. Parapat Gultom, MSIE dan Bapak Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE
selaku pembimbing tesis yang tanpa rasa bosan memberikan bimbingan
kepada saya sehingga banyak ilmu yang tidak saya peroleh di dalam
kelas, tetapi diberikan saat proses penulisan tesis ini.
4. Bapak Dr. Ir. Meneth Ginting, MADE dan Bapak Drs. H.B. Tarmizi, SU
selaku penguji yang telah menyampaikan berbagai masukan untuk
perbaikan tesis ini.

ix
5. Seluruh Civitas Akademika PPS-USU yang telah banyak membantu proses
administrasi dan kelancaran kegiatan akademik. Teman-teman di PWD’99
yang banyak membantu proses penyelesaian tesis ini, khususnya Efi,
Fahrul dan Dani yang telah memberikan bantuan fisik dan semangat
sehingga saya dapat mendahului mereka menyelesaikan studi.
6. Buat kedua orang tua, nenek adik-adik dan terutama istri yang
memberikan keleluasaan waktu tanpa rasa kesal sehingga dalam proses
penulisan tidak mengalami kendala yang berarti.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu, yang


tidak tercantum dalam tulisan ini, semoga segala bentuk kebaikan yang telah
diberikan mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.

Medan, Awal April 2001


Penulis

Dahlan TAMPUBOLON

x
RIWAYAT HIDUP

Dahlan anak dari Rivai Tampubolon, seorang supir taksi, dan Sutarni,
ibu rumah tangga, di Langkat tanggal 12 Mei 1973. Menyelesaikan Sekolah
Dasar (1985), SLTP (1988) dan SLTA (1991) di Medan. Memasuki Fakultas
Ekonomi USU tahun 1993 dan meraih Sarjana Ekonomi tahun 1997 dari
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Sejak tahun 1998 menjadi
pengajar pada beberapa PTS di Kota Medan. Tahun 2000 memperistri
Mardiana, SE, M.Si, teman sekampus. Menyelesaikan Magister Sains pada
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan PPS-USU
tanggal 14 Agustus 2000.

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 : Luas, Kepadatan Penduduk, Produk Domestik Regional
Bruto dan PDRB Per kapita Daerah-daerah Di Sumatera
Utara Tahun 1999 .......................................................... 4
Tabel 2 : Perkembangan PDRB Per kapita Wilayah Pantai Barat dan
Sumatera Utara Tahun 1987 Sampai Tahun 1999 Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Rupiah) .................... 41
Tabel 3 : Perkembangan PDRB Per kapita Wilayah Pantai Timur
Tahun 1987 Sampai Tahun 1999 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1993 (Rupiah) ...................................... 42
Tabel 4 : Typologi Perkembangan Ekonomi Wilayah Pantai Barat
Sumatera Utara Tahun 1975 – 1987 dan Tahun 1987 –
1999 ............................................................................ 43
Tabel 5 : Typologi Perkembangan Ekonomi Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara Tahun 1975 – 1987 dan Tahun 1987 –
1999 ............................................................................ 45
Tabel 6 : Korelasi Pearson dan Spearman Antara Koefisien Variasi
Sektoral Dengan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ............ 49
Tabel 7 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi
Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara ............................. 54
Tabel 8 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi
Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara ............................ 55
Tabel 9 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi
Sumatera Utara ............................................................ 56
Tabel 10 : Lapangan Pekerjaan Tahun 1990 dan Tahun 1999
Menurut Sektor (orang) ................................................. 57
Tabel 11 : National Share, Proportional Share dan Differential Shift
Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara (orang) ................. 63

iii
Tabel 12 : National Share, Proportional Share dan Differential Shift
Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara (orang) ............... 65
Tabel 13 : Perkembangan Indeks Williamson Wilayah Pantai Barat
Sumatera Utara dan Berbagai Faktor Yang
mempengaruhinya Tahun 1993 – 1999 .......................... 69
Tabel 14 : Perkembangan Indeks Williamson Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara dan Berbagai Faktor Yang
mempengaruhinya Tahun 1993 – 1999 .......................... 69
Tabel 15 : Perkembangan LQ PDRB Wilayah Pantai Barat Sumatera
Utara Tahun 1993 – 1999 ............................................. 74
Tabel 16 : Perkembangan LQ Tenaga Kerja Wilayah Pantai Barat
Sumatera Utara Tahun 1993 – 1999 .............................. 75
Tabel 17 : LQ PDRB Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Barat
Sumatera Utara Tahun 1999 .......................................... 76
Tabel 18 : Produktivitas Tenaga Kerja Daerah-Daerah Di Wilayah
Pantai Barat Sumatera Utara Menurut Sektor Utama
Tahun 1999 (Rupiah Per Pekerja) .................................. 77
Tabel 19 : LQ Tenaga Kerja Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Barat
Sumatera Utara Tahun 1999 .......................................... 77
Tabel 20 : Perkembangan LQ PDRB Wilayah Pantai Timur Sumatera
Utara Tahun 1993 – 1999 ............................................. 78
Tabel 21 : Perkembangan LQ Tenaga Kerja Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara Tahun 1993 – 1999 .............................. 79
Tabel 22 : LQ PDRB Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara Tahun 1999 .......................................... 80
Tabel 23 : Produktivitas Tenaga Kerja Daerah-Daerah Di Wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara Menurut Sektor Utama
Tahun 1999 (Rupiah Per Pekerja) .................................. 80
Tabel 24 : LQ Tenaga Kerja Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara Tahun 1999 .......................................... 81

iv
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil


dan makmur yang merata materil dan spirituil. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pembangunan nasional dilaksanakan merata di seluruh tanah air
dan tidak hanya untuk satu golongan atau sebagian dari masyarakat. Tetapi
untuk seluruh masyarakat serta harus benar-benar dapat dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat.

Pembangunan merupakan suatu proses yang terus menerus melalui


suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di suatu
wilayah dalam berbagai aspek. Salah satu sasaran prioritas pembangunan
adalah meningkatkan kegiatan pembangunan pada daerah-daerah yang
pembangunannya relatif tertinggal dengan daerah lainnya baik antar propinsi
maupun antar daerah dalam propinsi.

Permasalahannya adalah pendekatan dan pola pertumbuhan yang


dipakai oleh suatu wilayah dalam mengejar pertumbuhan ekonominya.
Kajian yang dilakukan oleh para ahli ekonomi pendukung teori pertumbuhan
lebih cenderung mengarah pada pemanfaatan sumberdaya alam yang ada
dan mengusahakan distribusi dana pembangunan dan investasi pada sektor-
sektor yang dominan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau


tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di wilayah tertentu melibatkan
interaksi antara sumberdaya manusia, alam, fisik dan kelembagaan. Dengan
perencanaan, kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat tersebut dapat
diarahkan. Perencanaan pembangunan wilayah dianggap penting karena
2

kegagalan pembangunan di suatu wilayah akan memberikan dampak negatif


terhadap pembangunan secara keseluruhan.

Untuk mengejar pertumbuhan, kondisi optimal pemanfaatan investasi


dan dana pembangunan akan sulit diperoleh karena tujuan optimalisasi dana-
dana tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Dan hal itu
merupakan sesuatu yang sangat riskan apabila yang diinginkan adalah
mencapai pemerataan sekaligus pertumbuhan yang tinggi dalam suatu
perekonomian.

Tidak terlepas dari permasalahan tersebut, daerah-daerah di


Indonesia, termasuk Sumatera Utara, menghadapi dilema dalam
perekonomiannya. Dilema tersebut yaitu pemilihan alternatif dan prioritas
yang diinginkan dalam pertumbuhan ekonomi. Apakah akan memilih
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi atau mengutamakan pemerataan
pembagian pendapatan baik di kalangan masyarakat maupun antar wilayah
melalui pemerataan pembangunan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif
rendah. Pembangunan sektoral yang dilaksanakan secara menyeluruh ke
pelosok tanah air sejauh mungkin dikaitkan dengan usaha pembangunan
wilayah. Pembangunan tersebut menitikberatkan pada pencapaian sasaran-
sasaran sub-sistem kemasyarakatan di wilayah secara teritorial dan spatial.

Pembangunan bidang ekonomi pada dasarnya banyak diwarnai oleh


pendekatan sektoral, di mana perencanaan makro masih mengikuti sistem
pencapaian target peningkatan produksi untuk masing-masing sektor yang
bersangkutan. Dengan tercapainya target tersebut diharapkan di samping
pendapatan per kapita setiap tahun dapat meningkat, juga akan
mengakibatkan adanya transisi sektoral dari pertanian ke sektor industri atau
lainnya.
3

Kenyataan umum yang dihadapi dalam pembangunan adalah


kecenderungan memupuk pembangunan pada daerah-daerah yang mudah
dicapai dan memiliki sarana dan prasarana yang mencukupi sebagai
akibatnya daerah-daerah yang jauh menjadi terpencil dan terkebelakang.
Keadaan ini akan berakibat wilayah yang miskin atau yang belum
berkembang akan tetap terkebelakang disebabkan kurangnya potensi yang
mereka miliki. Dengan demikian antara wilayah belum berkembang di satu
pihak dan wilayah maju di pihak lain akan memperlihatkan ketimpangan yang
semakin lebar.

Kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari
ribuan pulau, sehingga untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif,
wilayah tersebut dibagi atas daerah-daerah. Demikian pula dengan
penyebaran penduduk yang tidak merata serta kegiatan-kegiatan ekonomi
yang bersifat terlalu terpusat ke wilayah perkotaan menyebabkan
terdapatnya perbedaan-perbedaan dan ketimpangan terhadap tingkat
kemakmuran regional (wilayah atau daerah) di Indonesia.

Perbedaan yang tinggi dalam kegiatan ekonomi antara penduduk


Indonesia yang berada di kawasan Timur dan kawasan Barat mengakibatkan
perbedaan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di
Indonesia. Secara regional propinsi Sumatera Utara termasuk daerah di
kawasan Barat Indonesia yang pembangunannya relatif maju dibandingkan
dengan propinsi-propinsi lain di luar pulau Jawa. Namun demikan masih
terlihat adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketimpangan ini
terjadi antara daerah-daerah yang berada di wilayah pantai Barat Sumatera
Utara dengan daerah-daerah di wilayah pantai Timur Sumatera Utara.
4

Tabel 1 : Luas, Kepadatan Penduduk, PDRB dan PDRB Per Kapita


Daerah-daerah Di Sumatera Utara Tahun 1999

Luas Kepadatan PDRB PDRB/Kapita


Daerah
(Km2) (Jiwa/Km2) (Rp. Milyar) (Rupiah)

Nias 5.318 132 820.104,62 1.187.203,32


Mantal 6.134 59 535.489,19 1.491.613,34
Tapsel 11.677 68 1.372.540,60 1.689.118,36
Tapteng 2.188 120 414.204,32 1.600.913,38
Sibolga 11 7.482 242.027,66 2.755.161,11
Pantai Barat 25.328 87 3.384.366,39 1.336.161,91
L.Batu 9.323 100 2.336.335,41 2.588.917,49
Asahan 4.581 211 2.926.473,17 3.052.778,84
D. Serdang 4.339 452 2.924.335,85 1.517.309,22
Langkat 6.262 144 1.703.855,04 1.911.540,04
T. Balai 58 2.045 357.012,20 3.036.308,59
Medan 265 7.805 4.999.857,97 2.460.172,60
Pantai Timur 24.828 280 15.247.869,64 2.230.310,10

S. Utara 71.680 167 22.731.358,34 1.929.262,21

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 1999, Kantor Statistik Sumatera Utara
Pendapatan Regional (PDRB) Propinsi Sumatera Utara Menurut
Kabupaten/Kota 1993 – 1999, Kantor Statistik Sumatera Utara

Wilayah pantai Barat propinsi Sumatera Utara terdiri dari satu kota dan
empat kabupaten dengan luas sekitar 35,33 persen dari seluruh luas propinsi
tetapi penduduknya hanya sekitar 18,34 persen dengan kepadatan rata-rata
hanya 86,67 jiwa per km2. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan wilayah
pantai Timur yang terdiri dari dua kota dan empat kabupaten memiliki luas
5

sekitar 34,64 persen tetapi penduduknya mencapai 58,11 persen dari


penduduk Sumatera Utara dengan kepadatan rata-rata 279,81 jiwa per km2.

Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan produk domestik


regional bruto (PDRB) Sumatera Utara, wilayah pantai Barat hanya
menyumbangkan sekitar 14,89 persen sedangkan wilayah pantai Timur
menyumbangkan sekitar 67,08 persen. Demikian pula dengan PDRB per
kapita rata-rata, di wilayah pantai Barat hanya sebesar Rp. 1.336.162
sedangkan di wilayah pantai Timur mencapai Rp 2.230.310.

Ketimpangan ekonomi yang tergambar dari adanya perbedaan dalam


hal pendapatan per kapita suatu wilayah dengan wilayah lain terkadang
merupakan masalah. Ketimpangan ini harus diatasi dengan pelaksanaan
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan antar
wilayah, khsususnya dalam mempercepat pembangunan wilayah.

Agar perkembangan daerah-daerah di wilayah pantai Barat dapat


disejajarkan dengan daerah-daerah di wilayah pantai Timur, maka perlu
adanya perencanaan yang baik dan diadakan penelaahan keadaan penduduk,
sosial-ekonomi, potensi lokasi dan hambatan di wilayah tersebut. Potensi
atas sektor-sektor tersebut dikembangkan dengan pendekatan lintas sektoral,
untuk mengembangkan pembangunan wilayah menuju keseimbangan antar
wilayah dan kesatuan nasional melalui peningkatan kemampuan daerah
dalam pembangunan nasional.
6

Perumusan Masalah

Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji sebagai permasalahan yakni:
1. Bagaimanakah daur perkembangan dan pola pertumbuhan ekonomi
wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara ?
2. Bagaimana perubahan struktur dan alih-pangsa sektor-sektor ekonomi
wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara ?
3. Faktor-faktor apa yang berpengaruh dan berhubungan dengan
ketimpangan wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara ?
4. Sektor-sektor apa yang paling menguntungkan untuk dikembangkan di
wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara ?

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan sesuai dengan perumusan masalah penelitian


di atas adalah :
1. a. Perekonomian daerah-daerah di wilayah pantai Timur Sumatera Utara
lebih berkembang dibandingkan daerah-daerah di pantai Barat.
b. Pola pertumbuhan wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera
Utara mengikuti pola pertumbuhan seimbang.
2. a. Daerah-daerah di wilayah pantai Timur Sumatera Utara lebih tinggi
komponen shift share-nya dibandingkan daerah-daerah di wilayah
pantai Barat.
b. Daerah-daerah di wilayah pantai Timur Sumatera Utara lebih cepat
dalam proses transformasi struktur ekonominya dibandingkan daerah-
daerah di wilayah pantai Barat.
3. Ketimpangan wilayah dipengaruhi dan berhubungan dengan karakteristik
yang miliki daerah meliputi karakteristik sosial demografi, aktivitas
ekonomi dan lokasi.
7

4. Identifikasi sektor-sektor yang paling menguntungkan untuk


dikembangkan di wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara
bersifat eksploratif yang tidak memiliki hipotesis.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :


1. Menggambarkan daur perkembangan ekonomi dan mengidentifikasi pola
pertumbuhan wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara.
2. Mengidentifikasi perubahan struktur dan alih-pangsa sektor-sektor
ekonomi wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dan berhubungan
dengan ketimpangan wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera
Utara.
4. Mengidentifikasi sektor-sektor yang paling menguntungkan untuk
dikembangkan di wilayah pantai Barat dan pantai Timur Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya akan menjadi masukan :


1. Bagi pemerintah, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Sumatera Utara (Bappedasu) dan Bappeda Kabupaten/Kota, sebagai
bahan pertimbangan untuk perencanaan pembangunan ekonomi di
wilayah pantai Barat dan Timur Sumatera Utara
2. Bagi pengembangan pengetahuan, sebagai tambahan referensi untuk
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan
perencanaan ekonomi wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Ekonomi

Todaro (1998) menyatakan bahwa pembangunan bukan hanya


fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus
melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan manusia. Dengan
demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yang
berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan
peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi
jamak dalam hal ini artinya membahas komponen-komponen ekonomi
maupun non ekonomi.

Menurut Rostow (1961) pengertian pembangunan tidak hanya pada


lebih banyak output yang dihasilkan, tetapi juga lebih banyak output daripada
yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan
melalui tahapan-tahapan : masyarakat tradisional, pra kondisi lepas landas,
lepas landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-
besaran. Kunci di antara tahapan ini adalah tahap tinggal landas yang
didorong oleh satu sektor atau lebih (Todaro, 1998).

Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan


ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai 3 sifat penting, proses
terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya usaha untuk menaikkan
pendapatan perkapita masyarakat dan kenaikan pendapatan masyarakat
yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Demikian pula dengan
Todaro (1998) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi telah
digariskan kembali dengan dasar mengurangi atau menghapuskan
kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan
ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.
9

Pembangunan ekonomi baik secara nasional maupun wilayah tentu


tidak akan lepas dari faktor-faktor penghambat seperti ketimpangan dan
kemiskinan. Faktor ini merupakan hal yang selalu hidup dan berkembang di
negara-negara yang memiliki kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang statis
serta keterkaitannya dengan sumberdaya alam dan sumber daya manusia
yang tidak berkembang.

Akhirnya dalam memahami pembangunan, pertanyaan-pertanyaan


harus diarahkan pada apa yang terjadi dengan kemiskinan, pengangguran,
dan ketidakmerataan atau ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi dapat saja
terjadi tanpa ada perubahan terhadap hal tersebut. Dalam mencari strategi
pembangunan baru, dewasa ini terdapat kecenderungan untuk
mengarahkannya kepada ketiga kriteria pembangunan ini (Hanafiah, 1982).

Chenery (1979) mengartikan pembangunan ekonomi sebagai


perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang
diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus.
Pembangunan ekonomi sebagai suatu proses perubahan struktur yang
ditandai dengan peningkatan sumbangan sektor industri, manufaktur dan
jasa-jasa dalam pembentukan PDB di satu pihak dan menurunnya pangsa
(share) sektor pertanian dalam PDB di lain pihak (Arsyad, 1992).

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu indikator berkembang tidaknya


suatu perekonomian dilihat dari sektor industri dan jasa terhadap PDB,
artinya sumbangan sektor jasa dan industri meningkat akan mengakibatkan
perekonomian tersebut semakin tinggi.

Seperti pendapat di atas, Dugary (1982) juga menyatakan bahwa pada


dasarnya pembangunan wilayah berkenaan dengan tingkat dan perubahan
selama kurun waktu tertentu suatu rangkaian variabel seperti produksi,
10

penduduk, angkatan kerja, rasio modal-tenaga dan imbalan bagi faktor


(faktor returns).

Tujuan pembangunan nasional yang ditetapkan dalam kebijaksanaan


dan sasaran, strategis tidak dapat dirumuskan dengan menggunakan variabel
sektoral tetapi dengan variabel kewilayahan. Perubahan pembangunan
wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat (value
added) wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu maupun menampung
lebih banyak peningkatan dengan tingkat kesejahteraan yang baik yakni
dengan tersedianya sarana prasarana (Hall, 1989).

Pertumbuhan Dan Perkembangan Ekonomi Wilayah

Dalam berbagai hal banyak pihak yang mengatakan bahwa


pembangunan sangat terkait dan tidak bisa lepas dari unsur perkembangan
dan pertumbuhan. Anggapan ini tentunya sangat dilandasi oleh berbagai
kenyataan bahwa kedua hal ini merupakan komponen dan syarat penting
yang harus terdapat disuatu negara baik negara terbelakang, negara
berkembang maupaun negara maju.

Dalam membicarakan teori pembangunan ekonomi, langkah yang


harus dilakukan adalah dengan membuat perbedaan diantara pertumbuhan
dan pembangunan. Dalam prosesnya, pembangunan hampir pasti sedikit
banyak bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
menurut Harrod-Domar bersifat sangat umum, biasanya hanya
membicarakan dua macam keluaran dan sejumlah masukan yang terbatas.
Dalam hal sederhana, grafik akan sangat membantu untuk memberikan
pengertian, model pertumbuhan atau paling sedikit haruslah merupakan
subyek yang siap untuk diukur dan diuji secara empiris (Todaro, 1998)
11

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran utama keberhasilan


dari pembangunan yang dilaksanakan, dan hasil pertumbuhan ekonomi
tersebut akan dapat pula dinikmati oleh masyarakat yang berada di lapisan
atas hingga lapisan paling bawah, baik yang terjadi dengan sendirinya
maupun dengan adanya campur tangan dari pemerintah.

Pertumbuhan harus berjalan secara berdampingan dan berencana,


mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-
hasil pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka suatu
wilayah yang miskin, tertinggal dan tidak produktif akan menjadi produktif,
yang akhirnya akan mempercepat proses pertumbuhan itu sendiri.

Ananta (1993) menjelaskan pertumbuhan ekonomi biasanya disertai


dengan adanya proses akselerasi. Pemberdayaan sumber daya dan dana
untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam rangka melihat
fluktuasi pertumbuhan ekonomi tersebut dengan secara riil dari jangka waktu
tahun ke tahun akan tergambar melalui besarnya Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atau indeks harga konsumen secara berkala. Yaitu
pertumbuhan yang positif akan menunjukkan adanya peningkatan
perekonomian, sebaliknya apabila negatif akan menunjukkan adanya
penurunan.

Sedangkan menurut Kaldor (1957) pertumbuhan ekonomi yang


terbaik, yakni pertumbuhan dengan tingkat optimum. Dalam hal ini harus
diperhatikan komposisi kekuatan atau output yang dihasilkan. Dengan tanpa
memandang pengorbanan generasi sekarang yang mungkin diperlukan untuk
membuat pertumbuhan keluaran output totalnya lebih cepat (Jhingan, 1993).

Hicks (1967) menarik kesimpulan dari perbedaan yang umum terdapat


dalam konteks perkembangan dan pertumbuhan. Pendapat tersebut
12

diperjelas dengan mengatakan bahwa perkembangan ekonomi mengacu


pada masalah negara-negara dengan kondisi ekonomi yang terbelakang,
sedangkan pertumbuhan lebih mengacu pada masalah di negara-negara
maju.

Selain itu, masalah negara terbelakang menyangkut pengembangan


sumber-sumber yang tidak atau belum dipergunakan, kendati
penggunaannya telah cukup dikenal, sedang negara maju terkait pada
masalah pertumbuhannya, karena kebanyakan dari sumber mereka sudah
diketahui dan dikembangkan sampai pada batas-batas tertentu.

Bonne (1979) berpendapat bahwa perkembangan memerlukan dan


melibatkan semacam pengarahan dan pedoman dalam rangka menciptakan
kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan pemeliharaan. Begitulah yang
sebenarnya terjadi pada kebanyakan negara terbelakang, sedangkan ciri
pertumbuhan spontan merupakan ciri perekonomian maju dengan kebebasan
usaha.

Schumpeter mengemukakan perbedaan yang lebih tegas tentang


perkembangan yang merupakan perubahan secara spontan dan terputus-
terputus dalam keadaan statisioner yang senantiasa mengubah dan
mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan
pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap
yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk (Sukirno, 1985).

Pembedaan yang paling sederhana dibuat oleh Madisson (1970) yaitu :


di negara-negara maju kenaikan dalam tingkatan pendapatan biasanya
disebut pertumbuhan ekonomi, sedangkan di negara miskin disebut
perkembangan ekonomi.
13

Pertumbuhan dapat diukur dan bersifat objektif, merupakan gambaran


perluasan tenaga-tenaga kerja, modal, volume perdagangan dan konsumsi.
Perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor-
faktor penentu yang mendasari pertumbuhan ekonomi, seperti perubahan
dalam teknik produksi, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga. Perubahan
tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Namun terlepas dari perbedaan yang tampak ini, beberapa ahli


ekonomi menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim. Baran (1980)
berpendapat bahwa gagasan perkembangan dan pertumbuhan itu sendiri
mengesankan suatu peralihan kepada sesuatu yang baru dari sesuatu yang
lama.

Pada dasarnya pembangunan wilayah berhubungan dengan tingkat


dan perubahan dalam kurun waktu tertentu. Suatu rangkaian variabel seperti
produksi, produk, angkatan kerja, rasio modal-tenaga dan berbagai faktor
dalam wilayah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah
biasanya diukur menurut output atau tingkat pendapatan yang berbeda-
beda.

Pertumbuhan wilayah adalah produk dari banyak sektor, sebagian


besifat intern dan sebagian lainnya bersifat ekstrem serta faktor sosial politik.
Faktor-faktor yang berasal dari dalam wilayah itu sendiri meliputi faktor-
faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal. Salah satu penentu
ekstern yang sering digunakan dan bersifat penting adalah tingkat
permintaan dari wilayah-wilayah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh
wilayah tersebut.

Sasmita (1983) menyimpulkan pola pertumbuhan ekonomi wilayah


tidak sama dengan apa yang ditemukan pada pertumbuhan ekonomi
14

nasional. Pada dasarnya disebabkan pada analisa pertumbuhan ekonomi


wilayah yang lebih menekankan pengaruh perbedaan karakteristik space
terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesamaannya yakni penekanannya pada
unsur waktu yang merupakan faktor penting dalam analisa pertumbuhan
ekonomi wilayah (Hadjisaroso, 1994).

Perbedaan lainnya dengan teori pertumbuhan nasional adalah teori


pertumbuhan nasional faktor yang sangat diperhatikan adalah modal,
lapangan pekerjaan, dan kemajuan teknologi yang bisa timbul dalam
berbagai bentuk, sedangkan pada teori pertumbuhan ekonomi wilayah faktor
yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerisasi,
migrasi, dan arus lalu lintas modal antar wilayah.

Esmara (1986)mengelompokkan teori pertumbuhan ekonomi wilayah


atas 4, yaitu:

1. Kelompok pertama disebut sebagai export base-models.

Dipelopori oleh North (1955) dan dikembangkan oleh Tiebout (1956),


kelompok ini mendasarkan pandangan dari sudut teori lokasi, berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region lebih banyak ditentukan oleh jenis
keuntungan lokasi dan dapat dipergunakan oleh wilayah tersebut sebagai
keuntungan eksport. Pertumbuhan suatu wilayah akan ditentukan oleh
eksplorasi dan eksploitasi yang bersifat alamiah. Pertumbuhan ekspor
wilayah yang bersangkutan juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan ekstern
wilayah lain.

Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan


berkembangnya kegiatan-kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal
dan tenaga kerja, keuntungan eksternal dan pertumbuhan wilayah lebih
lanjut. Dengan kata lain, bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan suatu
15

region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan


lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan
pada tingkat nasional.

2. Kelompok kedua lebih berorientasikan pada kerangka pemikiran Neo-


Klasik

Dipelopori oleh Stein (1964) dan dikembangkan oleh Roman (1965)


dan Siebert (1969). Kelompok ini mendasarkan analisanya pada peralatan
fungsi produksi. Dikatakan bahwa unsur-unsur yang menentukan
pertumbuhan ekonomi wilayah adalah tanah, tenaga kerja, dan modal.
Dalam kelompok ini juga dibahas tentang pengaruh perpindahan penduduk
(migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

Dalam model ini terdapat hubungan antar tingkat pertumbuhan suatu


negara dengan perbedaan kemakmuran wilayah (regional disparity) pada
negara yang bersangkutan. Pada saat proses pembangunan baru dimulai
(negara sedang berkembang) tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah
cenderung akan tinggi (divergence), bila proses pembangunan telah berjalan
dalam waktu yang lama (sedang berkembang) perbedaan tingkat
kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence).

3. Kelompok ketiga, menggunakan jalur pemikiran Keynes yang disebut


cumulative-causative models.

Dipelopori oleh Myrdal (1975) dan dilanjutkan oleh Kaldor. Kelompok


ini berpendapat peningkatan pemerataan pembangunan antar wilayah tidak
hanya diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism). Perlu adanya
campur tangan pemerintah dalam bentuk program-program pembangunan
wilayah, terutama wilayah yang relatif masih terbelakang.
16

4. Kelompok keempat dinamakan core-periphery models.

Dipelopori oleh Friedman (1966). Kelompok ini menekankan pada


hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota
(Core) dan desa (Peripheral). Menurut teori tersebut, gerak langkah
pembangunan wilayah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan
desa-desa yang ada disekitarnya. Corak pembangunan wilayah pedesaan
akan ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek
interaksi antar daerah (spatial interaction) akan lebih ditonjolkan.

Pertumbuhan Seimbang Dan Tidak Seimbang

Dalam hubungannya dengan pembangunan wilayah yang dimaksud


dengan pertumbuhan seimbang adalah pembangunan yang dilaksanakan
secara merata di berbagai wilayah, sehingga wilayah mempunyai tingkat
pertumbuhan pembangunan yang sama. Dalam teori pertumbuhan seimbang
adakalanya pembangunan seimbang dimaksudkan sebagai pembanguan
berbagai jenis industri secara serentak sehingga berbagai industri saling
mencipta pasar bagi satu sama lain. Tetapi adakalanya pertumbuhan
seimbang itu dimaksudkan sebagai keseimbangan pertumbuhan di berbagai
sektor, misalnya diantara sektor industri dengan sektor pertanian, sektor luar
negeri dengan sektor dalam negeri dan diantara sektor produktif dengan
sektor prasarana (Sukirno, 1985).

Pembangunan yang serentak di berbagai sektor akan menciptakan


perluasan pasar. Nurkse, Rosenstein dan Rodan sependapat mengenai
peranan perluasan pasar dalam mempertinggi efisiensi kegiatan suatu
industri, di mana pasar merupakan ekonomi ekstern untuk berbagai industri.
Ekonomi ekstern yang diciptakan oleh perluasan pasar menyebabkan
perbedaan yang besar sekali di antara produktivitas batas modal untuk suatu
17

sektor dan untuk keseluruhan masyarakat dan perekonomian. Hal ini karena
dorongan atau peransang untuk sesuatu perusahaan untuk mengadakan
penanaman modal sering kali tidak cukup besar karena terbatasnya pasar.
Tetapi jika ditinjau dari segi industri secara keseluruhan, maka peransang
tersebut sangat besar sekali, karena apabila sejumlah besar industri
dikembangkan maka secara serentak setiap industri mengalami perluasan
pasar yang besar untuk hasil produksinya.

Scitovsky menunjukkan tentang dua konsep dari ekonomi ekstern dan


tentang manfaat yang akan diperoleh sesuatu industri dari dua macam
ekonomi ekstern yang terdapat dalam perekonomian. Mengenai hal yang
pertama, ia membedakan ekonomi ekstern kepada (i) seperti yang terdapat
dalam teori keseimbangan (equilibrium theory) dan (ii) seperti yang terdapat
dalam teori pembangunan.

Dalam teori keseimbangan atau dalam teori konvensionil, ekonomi


ekstern diartikan sebagai perbaikan efisiensi yang terjadi dalam suatu industri
sebagai akibat dari perbaikan teknologi yang diciptakan pada industri lain.
Oleh Scitovsky ekonomi ekstern seperti ini dinamakan sebagai ekonomi
ekstern teknologis (technological external economies).

Di samping itu hubungan interdependensi di antara berbagai industri


dapat pula menciptakan ekonomi ekstern keuangan (pecuniary external
economies), yaitu kenaikan keuntungan yang diperoleh suatu sektor yang
bersumber dari tindakan–tindakan sektor lain. Dengan perkataan lain,
keuntungan yang tercipta dalam suatu sektor bukan saja tergantung kepada
efisiensi dari penggunaan faktor-faktor produksi dan tingkat produksi dalam
sektor tersebut. Ia tergantung juga kepada penggunaan faktor-faktor
18

produksi dan tingkat produksi pada sektor-sektor lain, terutama sektor yang
erat hubungannya dengan sektor yang pertama di sebutkan tadi.

Lewis menyatakan pentingnya usaha pembangunan antara sektor


industri dengan sektor pertanian. Misalkan pertumbuhan sektor pertanian
akan mengakibatkan tiga dampak yaitu : (1) terdapat kelebihan produksi di
sektor pertanian yang dapat di jual ke sektor-sektor lain, (2) Jika produksi
tidak bertambah berarti tenaga kerja yang digunakan bertambah dan (3)
gabungan dari kedua keadaan itu. Apabila pertumbuhan ekonomi hanya
dipusatkan kepada mengadakan industrialisasi dan mengabaikan pertanian
maka proses pembangunan akan terhambat (Todaro, 1998).

Singer mengkritik pandangan yang menekankan tentang perlunya


menciptakan pembangunan yang serentak di berbagai sektor. Menurutnya
teori tersebut mengabaikan implikasi yang ditimbulkan oleh struktur kegiatan
ekonomi terhadap pelaksanaan program pertumbuhan seimbang di sektor
industri. Kalau pertumbuhan seimbang harus dilaksanakan, diragukan
kemampuan negara-negara berkembang untuk menyediakan sumber-sumber
daya untuk melaksanakan program tersebut. Hisrchman juga meragukan
kemampuan negara berkembang, karena kurangnya tenaga usahawan dan
tenaga ahli, yang dalam waktu bersamaan membangun berbagai sektor,
sehingga masing-masing mempunyai pasar yang luas untuk produksinya.

Pertumbuhan seimbang merupakan suatu varian dari teori mengenai


masalah depresi di negara-negara maju, yaitu dalam perekonomian yang
menghadapi masalah underemployment equilibrium. Menghadapi masalah ini
penanaman modal dilakukan tidak cukup dilakukan dalam satu sektor, karena
kenaikan permintaan yang diakibatkan oleh kenaikan pengeluaran tersebut,
serta pengeluaran yang timbul sebagai akibat proses multiplier tidak cukup
19

besar untuk menyerap produksi yang diciptakan oleh penanaman modal


tersebut.

Selanjutnya dalam pembangunan akan lebih maksimum jika dilakukan


dalam sektor yang produktif. Dalam sektor produktif mekanisme perangsang
pembangunan atau inducement mechanisme yang tercipta sebagai akibat
dari terdapatnya hubungan di antara berbagai industri. Kaitan antara industri
penyedia dan pengguna bahan baku digolongkan backward linkage effect dan
forward linkage effect. Dengan demikian pembangunan akan lebih sesuai
jika dilakukan dengan pola pertumbuhan tidak seimbang.

Perubahan Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam masa orde yang


lalu ternyata telah mengubah struktur perekonomian Indonesia. Ekonomi di
negara manapun umumnya akan mengalami pertumbuhan (growth) baik
karena trend alamiah maupun akibat kebijaksanaan ekonomi. Adanya
pertumbuhan tersebut lazimnya diukur atau dikalkulasi dengan komponen
pendapatan nasional bruto (PNB) dan pendapatan domestik bruto (PDB) yang
dianggap sebagai indikator kesejahteraan masyarakat secara umum.

Perkembangan yang terjadi antara lain perubahan struktur ekonomi,


perubahan teknologi dan perubahan kelembagaan baik dalam produksi
maupun aspek-aspek lainnya. Perubahan struktur ekonomi juga terjadi
dalam bentuk perubahan pangsa (share) relatif dari sektor-sektor primer
yaitu pertanian dan pertambangan, sektor sekunder yaitu industri pengolahan
dan sektor tertier yaitu sektor jasa-jasa dalam pendapatan domestik regional
bruto (PDRB), kesempatan kerja dan sektor impor-ekspor (Anwar, 1996).
20

Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh “Chenery dan


Sirquin”, yang mengatakan bahwa pada awal terjadinya suatu pembangunan
ekonomi, pangsa sektor pertanian akan terlihat sangat menonjol, kemudian
sejalan dengan semakin tingginya pendapatan nasional di negara tersebut
lambat laun sektor pertanian akan semakin menurun sedangkan pangsa
untuk sektor industri dan jasa-jasa akan meningkat (Arsyad, 1992).

Perluasan ekonomi di sektor industri sebagian merupakan hasil


reinvestasi dari surplus, memerlukan tambahan tenaga kerja, mengingat
tingkat upah di sektor pertanian lebih rendah, tambahan tenaga kerja untuk
sektor industri akan semakin tinggi. Dengan kata lain bahwa dengan
semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menarik
tenaga kerja yang dahulunya berada pada sektor pertanian masuk dalam
dunia industri.

Menurut Sukirno (1985) perubahan struktur ekonomi atau transformasi


struktural ditandai dengan beberapa ciri, yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi lebih besar bila dibandingkan dengan
pertumbuhan penduduk.
2. Pangsa dari sektor primer akan menurun.
3. Pangsa sektor sekunder meningkat, share sektor tertier relatif konstan.
4. Konsumsi kebutuhan pokok menurun, hal dikenal sebagai Hukum Engel
(Engel’s Law). Implikasinya adalah sisi produksi, peran sektor primer
berkurang dan di sisi permintaan peran faktor konsumsi berkurang,
sedang sektor industri dan investasi meningkat.

Kuznets (1960) mendefinisikan perubahan struktural sebagai


perubahan dalam komposisi permintaan, perdagangan, produksi dan
penggunaan faktor produksi yang diperlukan guna mempertahankan
21

pertumbuhan ekonomi. Dalam sistem ekuilibrium umum, ciri dan pengaturan


waktu dari proses industrialisasi dipengaruhi oleh perubahan permintaan
domestik, pergeseran keunggulan komparatif, pertumbuhan produktivitas
sektoral dan akumulasi barang modal.

Perubahan struktural atau transformasi perekonomian suatu negara


atau suatu wilayah adalah perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke
sistem modern, atau perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke
sektor industri. Kemudian dari sektor industri ke sektor jasa-jasa. Perubahan
ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk perubahan produksi dan
perubahan dalam komposisi permintaan, konsumsi, perdagangan
internasional dan sumber daya serta perubahan faktor-faktor sosial ekonomi
seperti urbanisasi atau pertumbuhan dan distribusi penduduk.

Dalam konteks perubahan struktural terdapat satu tahap yang dikenal


dengan era tinggal landas. Dalam era tinggal landas perubahan struktural
terjadi secara otomatis dengan pertumbuhan ekonomi berjalan secara
berkelanjutan (suistainable). Tercapainya tahap tersebut dapat dilihat dari
ciri-ciri:
1. Tingkat investasi produktif mencapai paling sedikit 10% dari pendapatan
nasional.
2. Terdapat satu atau dua sektor andalan yang menjadi tulang punggung
perekonomian.
3. Terciptanya kegiatan politik, sosial, dan kelembagaan yang kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Perubahan struktural atau transformasi struktur ekonomi suatu


negara, suatu wilayah atau suatu daerah tentu saja akan tergantung pada
berbagai faktor yang harus dipenuhi. Hal tersebut meliputi sumber daya
22

alam yang akan menyediakan lapangan, bahan baku dan fasilitas pendukung
terjadinya perubahan tersebut serta sumber daya manusia. Apabila faktor-
faktor tersebut dapat dipenuhi maka tentu saja proses perubahan akan
berlangsung dengan baik.

Ketimpangan Antar Wilayah

Perbedaan pertumbuhan antar wilayah menyebabkan terjadinya


ketimpangan kemakmuran dan kemajuan antar wilayah. Hal ini disebabkan
oleh faktor :
1. Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mencurahkan dana yang
lebih besar untuk membangun sarana dan prasarana yang lebih cepat
membuka dan menyeimbangkan kesempatan berkembang dan
hubungannya dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di wilayah
terbelakang.
2. Keterbatasan sumber daya alam di wilayah terbelakang menjadi penyebab
keterbelakangan. Keterbatasan sumbar daya alam ini bermuara pada
kurangnya aspek bahan mentah yang akan diolah menjadi produk,
dengan demikian maka akan menghentikan proses produksi yang
berlangsung di suatu wilayah terbelakang.
3. Ekonomi yang terbuka dan prinsip pasar. Perekonomian yang terbuka
berarti terbukanya kesempatan bagi unsur-unsur di luar wilayah tersebut
untuk masuk dan merebut peluang yang dimilikinya. Untuk itu maka
diperlukan suatu kemampuan bersaing yang kuat untuk mempertahankan
sumber daya dan peluang yang dimiliki.
23

4. Sulitnya menarik investor swasta sebagai sumber dan pemacu


pertumbuhan ke wilayah terbelakang terutama investasi yang berkualitas,
terbukanya lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan wilayah.

Regional
Disparity
(Vw)

Divergence Convergence

Proses Pembangunan Nasional


Gambar 1 : Kurva U Terbalik Kuznets

Kuznets (1976) mengemukakan hipotesis Neo-Klasik tentang


ketimpangan wilayah (regional disparity) mengikuti suatu pola yang
berbentuk hurup U terbalik, di mana pada permulaan proses pembangunan
ketimpangan wilayah akan cenderung meningkat (divergence). Akan tetapi
apabila pembangunan berlanjut terus dan mobilitas modal serta tenaga kerja
telah lancar, barulah ketimpangan wilayah mulai berkurang (convergence).

Hasil penelitian tersebut memperkuat temuan Ahluwalia (dalam Thee,


1981) yang menemukan penyebab ketimpangan adalah GNP perkapita, laju
pertumbuhan GNP, laju melek hurup, laju pertumbuhan penduduk, distribusi
GNP dan lainnya. Dengan demikian tekanan-tekanan demografi dan
perubahan struktur yang mengutamakan sektor-sektor modern mempunyai
hubungan yang berarti dengan pola ketimpangan.

Azis (1994) melihat belum ada keseimbangan alokasi Daftar Isian


Proyek antara Indonesia Bagian Barat (IBB) dengan Indonesia Bagian Timur
24

(IBT). Koefisien variasi PDRB masih cukup besar, menunjukkan pemerataan


antar wilayah belum berada dalam keadaan yang baik.

Sjafrizal (1997) menemukan penyebaran penduduk yang tidak merata


dan kegiatan ekonomi yang terlalu bersifat ke wilayah perkotaan
menyebabkan terdapatnya ketimpangan wilayah di Indonesia. Perbedaan
yang tinggi dalam kepadatan antara Jawa dan wilayah lainnya akan
mengakibatkan perbedaan pendapatan dan pertumbuhan antar wilayah di
Indonesia. Yuril (1994) menyimpulkan faktor dominan penyebab terjadinya
ketimpangan wilayah di Indonesia adalah perbedaan produktivitas tenaga
kerja (Irfan, 1998).

Susanto (1983) menggunakan variabel laju pertumbuhan ekonomi,


pendapatan per kapita, proporsi penduduk perkotaan dan jumlah melek
hurup sebagai faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah. Irfan
(1998) menemukan di Sumatera Utara faktor kepadatan penduduk
berpengaruh positip, sedangkan keuntungan lokasi dan produktivitas tenaga
kerja menurunkan angka ketimpangan wilayah.

Pengembangan Potensi Wilayah

Sehubungan dengan berbagai hal yang terkait dalam pengembangan


potensi ekonomi wilayah ekonomi, ada beberapa komponen penting yang
perlu dianalisis, yakni :

1. Akumulasi Modal

Akumulasi modal meliputi semua investasi baru pada tanah, peralatan


fisik dan sumber daya manusia. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian
dari pendapatan masyarakat diinvestasikan dengan tujuan untuk
25

memperbesar output, pabrik baru, mesin, peralatan dan material. Akumulasi


modal tentunya harus didasarkan pada kemampuan sumber daya manusia
yang dimiliki dan akumulasi sumber daya alam berupa bahan mentah (raw
material) yang akan dikelola.

Dengan meningkatkan stok modal secara fisik suatu negara akan


memungkinkan tercapainya peningkatan output yang optimal. Investasi
produktif ini pada umumnya juga harus dilengkapi dengan infrastruktur sosial
ekonomi yaitu : jalan, listrik, air, komunikasi dan sebagainya. Keseluruhan
infrastruktur ini diberdayakan guna menunjang aktivitas perekonomian secara
terpadu.

2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah angkatan kerja.

Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja, secara tradisional dianggap


sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah
tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah tenaga produktif,
sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan
luasnya pasar domestik.

Masalah pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja ini tentu saja


tidak akan lepas dari aspek sumber daya manusia (SDM) sebagai salah satu
faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk dan laju
pertumbuhan yang besar hendaknya diikuti pula oleh kemampuan sumber
daya tersebut dalam mengakses berbagai perkembangan dan perubahan
yang perlu dikuasai untuk memungkinkan terserapnya tenaga kerja untuk
mengelola sumber daya yang harus dikelola. Dengan kata lain bahwa
pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan tingkat kemampuan yang tinggi
merupakan unsur penting dalam memungkinkan terciptanya pertumbuhan
ekonomi.
26

3. Kemampuan Teknologi

Kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya cara baru atau


perbaikan cara penyelesaian tradisioanal. Kemampuan teknologi yang netral
terjadi apabila penggunaan teknologi berhasil mencapai tingkat produksi
yang lebih tinggi dengan menggunakan sumber dan faktor input yang sama.
Dengan demikian perkembangan dalam bidang teknologi bila diimbangi
dengan perkembangan sumber daya manusianya untuk menyerap teknologi
tersebut akan mewujudkan efeftivitas dan efisiensi pembangunan ekonomi.
Sukirno (1985) menyatakan bahwa suatu perekonomian dikatakan akan
menjalani pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonominya adalah lebih
tinggi pada masa sekarang daripada yang dicapai pada masa sebelumnya.

Salah satu teori yang membahas tentang pengembangan potensi


wilayah adalah teori pusat pertumbuhan (Growth Pole Theory). Teori ini
merupakan salah satu teori yang dikembangkan dengan menggabungkan
prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus (Alconse,
1986). Teori ini merupakan salah satu alat untuk mencapai pembangunan
wilayah yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ke seluruh pelosok wilayah. Juga dengan menggabungkan
kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan secara
terpadu.

Perroux (1955) pertama kali mengembangkan teori ini. Menurutnya


suatu proses pengembangan didefenisikan sebagai suatu konsentrasi industri
pada suatu tempat tertentu yang kesemuanya saling terkait melalui
hubungan antar input dan output dengan industri utama (progressive
industri). Konsentrasi dan saling berkaitan merupakan dua faktor penting
dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor-faktor ini akan
dapat diciptakan berbagai bentuk aglomerasi ekonomi yang dapat menunjang
27

pertumbuhan industri-indusrti yang bersangkutan melalui penurunan ongkos


produksi.

Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan utama bagi setiap


pusat pengembangan dibagi 3, yakni:
1. Scale economics, yaitu semacam keuntungan yang dapat timbul karena
pusat pengembangan memungkinkan perusahaan investasi yang
tergabung di dalamnya beroperasi dengan skala besar, karena adanya
jaminan sumber bahan baku dan pasar.
2. Localization economics, yakni timbul karena adanya saling keterkaitan
antar industri, sehingga kebutuhan bahan baku dan pemasaran dapat
dipenuhi dengan mengeluarkan ongkos angkut yang minimum.
3. Urbanization economics, yang timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan
ekonomi dapat dipergunakan bersama sehingga pembebanan ongkos
untuk masing-masing perusahaan dapat dilakukan seminim mungkin.

Bila kegiatan ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasi


pada suatu tempat maka pertumbuhannya dapat ditingkatkan lebih cepat
dibandingkan bila terpencar ke seluruh pelosok wilayah. Hal ini dikarenakan
oleh berbagai hal, seperti jarak tempuh yang singkat sehingga
memungkinkan biaya yang minim, jumlah tenaga kerja yang mudah diperoleh
serta bahan baku yang dapat diperoleh dalam jumlah besar dan lebih murah
(Richardson, 1991).

Konsep pusat pengembangan sebagai alat perumus kebijaksanaan


tidak saja dilakukan pada tingkat wilayah tetapi juga pada tingkat nasional.
Dalam hal ini seringkali terjadi pertentangan antara kepentingan wilayah dan
nasional, terutama dalam penentuan lokasi dan anggota, dapat menimbulkan
kepincangan pembangunan yang semakin tinggi (Esmara, 1986)
28

Dalam perkembangan ekonomi wilayah “Hoover dan Fisher”


mengemukakan tahapan-tahapan dalam pembangunan ekonomi wilayah
yakni :
1. Subsistensi ekonomi, dalam hal ini dikatakan bahwa pembangunan
ekonomi wilayah akan sama halnya dengan pembangunan nasional, di
mana pembangunan tersebut akan berjalan secara berkesinambungan
dan subsisten.
2. Pengembangan transportasi dan spesialisasi lokal, dalam hal ini
dimaksudkan bahwa dalam tahapan pembangunannya suatu
pembangunan wilayah hendaknya memusatkan diri pada potensi-potensi
yang dimilikinya dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif dan
kompetitif, untuk mampu bersaing dengan wilayah lain.
3. Perdagangan antar wilayah, dalam hal ini dimungkinkan dengan besarnya
output wilayah tersebut serta kemampuannya untuk bersaing dengan
wilayah lain.
4. Industrialisasi, pada tahap ini pembangunan wilayah sudah memasuki
tahap dunia industri. Dengan demikian maka sektor primer sudah mulai
ditinggalkan dan terjadinya perubahan struktur.
5. Spesialisasi wilayah, dalam tahap ini pembangunan wilayah berusaha
menetapkan spesialisasi dengan mempertimbangkan potensi utama yang
terdapat di wilayahnya.
6. Aliran faktor produksi antar wilayah. Dalam tahap ini suatu wilayah tidak
hanya mengandalkan faktor produksi yang ada di wilayahnya.
Kekurangan akan faktor produksi dapat dialirkan dari wilayah lain dan
demikian pula sebaliknya.
29

Kerangka Pemikiran

Perkembangan dan pola pertumbuhan ekonomi wilayah memiliki


hubungan dengan karakteristik suatu wilayah. Karakteristik wilayah tersebut
adalah sosial demografi, lokasi dan aktivitas ekonomi. Hikcs (1967) menarik
kesimpulan perkembangan ekonomi wilayah yang belum maju menyangkut
sumber-sumber yang tidak atau belum dipergunakan. Sedangkan wilayah
maju terkait dengan pertumbuhannya karena kebanyakan sumber mereka
telah diketahui dan dikembangkan sampai batas-batas tertentu. Bendavid-val
(1991) memberikan identifikasi tentang karakteristik suatu wilayah yang
meliputi sosial-demografi, lokasi dan aktivitas ekonomi serta interaksi dari
masing-masing karakteristik yang memberikan penraguh terhadap
perkembangan suatu wilayah.

Menurut Hirschman (dalam Sukirno, 1985) bila terjadi pembangunan


di suatu wilayah akan terdapat daya tarik kuat yang menciptakan konsentrasi
pembangunan dan tergantung pada potensi wilayah yang dimiliki masing-
masing wilayah. Sedangkan Esmara menyatakan (1986) konsep pusat
pertumbuhan sebagai alat perumus kebijakan seringkali menjadi
pertentangan antara kepentingan wilayah dan nasional terutama dalam
penentuan lokasi dan dapat menimbulkan pertumbuhan yang tidak
seimbang.

Richardson (1991) mengemukakan kegiatan ekonomi yang saling


berkaitan terkonsentrasi di suatu tempat maka pertumbuhannya dapat
ditingkatkan lebih cepat bila terpencar ke pelosok wilayah. Hal ini karena
jarak tempuh yang singkat sehingga memungkinkan biaya minim, jumlah
tenaga kerja yang mudah diperoleh serta bahan baku yang dapat diperoleh
dalam jumlah besar dan murah. Chenery dan Taylor (1968, dalam Azis,
30

1994) menyatakan pola pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh sektor-


sektor perekonomian.

Pertumbuhan dan perkembangan menyebabkan perubahan struktur


ekonomi, teknologi dan kelembagaan baik dalam produksi maupun aspek-
aspek lainnya. Anwar (1996) menyatakan perubahan struktur ekonnomi juga
terjadi dalam bentuk perubahan pangsa (share) relatif dari sektor-sektor
primer yaitu pertanian dan pertambangan, sektor sekunder yaitu industri
pengolahan dan sektor tertier yaitu sektor jasa-jasa dalam PDRB,
kesempatan kerja dan sektor impor-ekspor.

Chenery dan Syrquin (dalam Arsyad, 1992) menyatakan bahwa pada


awal terjadinya suatu pembangunan ekonomi, pangsa sektor pertanian akan
terlihat sangat menonjol. Kemudian seiring dengan semakin tingginya
pendapatan di wilayah tersebut lambat laun sektor pertanian semakin
menurun, sedangkan pangsa untuk sektor industri dan jasa-jasa akan
meningkat.

Menurut Sukirno (1985) perubahan struktural ditandai dengan


beberapa ciri. Ciri tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi lebih besar dari
pertumbuhan penduduk, pangsa sektor primer menurun sedangkan pangsa
sektor sekunder dan sektor tertier relatif konstan.

Ahluwalia (dalam Thee, 1981) menemukan penyebab ketimpangan


wilayah adalah GNP perkapita, laju petumbuhan GNP, laju melek hurup, laju
pertumbuhan penduduk, distribusi GNP dan lainnya. Dengan demikian
tekanan-tekanan demografi dan transpormasi struktural yang mengutamakan
sektor-sektor modern mempunyai hubungan yang berarti dengan pola
ketimpangan. Sjafrizal (1997) menemukan penyebaran penduduk yang tidak
31

merata dan kegiatan ekonomi yang terlalu bersifat ke wilayah perkotaan


menyebabkan terdapatnya ketimpangan wilayah di Indonesia.

Yuril (1994) mengemukakan faktor dominan penyebab terjadinya


ketimpangan wilayah di Indonesia adalah perbedaan produktivitas tenaga
kerja (Irfan, 1998). Susanto (1983) menggunakan variabel laju pertumbuhan
ekonomi, pendapatan per kapita, proporsi penduduk perkotaan dan jumlah
melek hurup sebagai faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah. Irfan
(1998) menemukan di Sumatera Utara faktor kepadatan penduduk
berpengaruh positip, sedangkan keuntungan lokasi dan produktivutas tenaga
kerja menurunkan angka ketimpangan wilayah.

Karakteristik wilayah memberikan keuntungan bagi penentuan


kegiatan yang cocok untuk dikembangkan pada wilayah tersebut. Dengan
berbagai analisis dapat ditentukan sektor-sektor yang potensial dan menjadi
basis bagi wilayah. Dengan demikian dapat dibuat suatu perencanaan
pembangunan wilayah yang sesuai dengan karakter wilayah selanjutnya akan
tercapai pembangunan yang merata dan berkelanjutan.

Sosial-
Demografi

Perkembangan Alih-Pangsa & Indentifikasi Perencanaan


Ketimpangan
Pola Perubahan Sektor-sektor Pembangunan
Lokasi Pertumbuhan Struktur Wilayah Potensial Wilayah

Ekonomi

Pembangunan Merata &


Berkelanjutan

Gambar 2 : Kerangka Pemikiran


32
METODOLOGI

Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur


Sumatera Utara. Daerah-daerah yang berada di pantai Barat adalah kota
Sibolga, kabupaten Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli
Tengah. Daerah pantai Timur meliputi kota Medan, Tanjung Balai,
kabupaten Langkat, Deli Serdang, Labuhan Batu dan Asahan.

Jenis Dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
dikumpulkan berdasarkan data runtut waktu (time series) dari berbagai
publikasi resmi antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda juga dari
sumber lainnya seperti buku-buku, majalah, hasil penelitian, jurnal-jurnal dan
sebagainya.

Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif analitis yang dalam


pengajuan masalah tidak memiliki hipotesis yang diuji dan juga eksplanasi
yang menjelaskan berbagai hubungan antar variabel. Untuk menjawab
perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka digunakan beberapa
metode analisis data, yaitu sebagai berikut :

Analisis Daur Pembangunan Klassen (Klassen Typologi)


Metode ini digunakan untuk membandingkan laju pertumbuhan
ekonomi wilayah dengan laju pertumbuhan Sumatera Utara dan rasio
pendapatan per kapita wilayah dengan rasio pendapatan per kapita Sumatera
Utara. Perhitungan pertumbuhan pendapatan per kapita dari tahun 1975
sampai 1999, menggunakan model semilog yaitu (Gujarati, 1991) :
ln I = a + r T + µ ...................................................................... (1)
33

di mana : I = pendapatan per kapita


a = konstanta
r = pertumbuhan konstan sepanjang periode
T = tahun observasi
µ = error term.

yj = rj – r ................................................................................... (2)
I tj
xj = .................................................................................... (3)
It

dimana :
xj = perbandingan pendapatan per kapita daerah j dengan Sumatera
Utara
yj = selisih pertumbuhan pendapatan per kapitadaerah j dengan
Sumatera Utara
r = pertumbuhan pendapatan per kapita Sumatera Utara
rj = pertumbuhan pendapatan per kapita daerah j
Itj = pendapatan per kapita tahun t daerah j
It = pendapatan per kapita tahun t Sumatera Utara

y y’
K. II K. I

Developing Developed
Region Region

(0,0) (1,0) x

Underdeveloped Stagnant
Region Region

K. III K. IV

Gambar 2 : Typologi Klassen


34

Daur pembangunan bergerak dari kuadran IV menuju Kuadran III,


kemudian ke kuadran II dan selanjutnya kuadran I.

I. Wilayah yang sudah maju (develoved region), memiliki pertumbuhan


ekonomi dan pendapatan per kapita di atas rata-rata Sumatera Utara.
II. Wilayah yang sedang berkembang (developing region), memiliki
pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata Sumatera Utara tetapi
pendapatan per kapitanya di bawah rata-rata Sumatera Utara.
III. Wilayah yang terkebelakang (underdeveloped region), memiliki
pertumbuhan dan pendapatan per kapita di bawah rata-rata Sumatera
Utara.
IV. Wilayah yang tidak berkembang (stagnant region), memiliki pertumbuhan
di bawah rata-rata Sumatera Utara tetapi pendapatan per kapitanya di
atas rata-rata Sumatera Utara.

Ukuran pola pertumbuhan yang digunakan adalah ukuran Samuelson


dan Sollow (Azis, 1994). Ukuran ini membawa ke ukuran dispersi
pertumbuhan sektoral sekitar laju pertumbuhan keseluruhan selama waktu
tertentu (tahun 1993 – 1999); ukuran dispersi ini merupakan koefisien variasi
tipe Pearson sebagai berikut :

Sj =
1 1 n
∑ (g ij − G j )2 ............................................................. (4)
Gj n i=1

Di mana:
Sj = koefisien dispersi
Gj = pertumbuhan ekonomi daerah j
gij = pertumbuhan sektor i daerah j
n = jumlah sektor yang diamati
35

Analisis Perubahan Struktural Chenery dan Syrquin

Metode ini digunakan untuk melihat perubahan sektor pertanian dan


industri melalui nilai elastisitas sektor-sektor tersebut. Data yang digunakan
tahun 1993 sampai tahun 1999. Model ini dibentuk dari persamaan regersi
double log.

Ln Vi = ln α + β1ln Y + β2ln N ..................................................... (5)


Di mana :
Vi = PDRB sektor i
Y = PDRB per kapita
N = jumlah penduduk
β1 = elastisitas pertumbuhan (growth elasticity)
β2 = elastisitas ukuran (size elasticity)

Issard (1960) memberikan suatu pola pergeseran struktur ekonomi


wilayah dalam penyerapan tenaga kerja. Pola yang dibuatnya adalah

Perubahan Tenaga
Kerja Wilayah Perbandingan Perubahan Tenaga
Kerja Wilayah Dengan
Sumatera Utara

100

0 100
X Perubahan Tenaga
Kerja Sumatera Utara
Gambar 3 : Pertumbuhan Relatif
Sektor-sektor
36

perbandingan perubahan tenaga kerja daerah dengan perubahan daerah


yang lebih luas. Pola tersebut disesuaikan menjadi suatu grafis sebagai
berikut :

Analisis Shift-Share Struktur Ekonomi Daerah

Metode ini menguraikan proses pertumbuhan suatu daerah menjadi


sejumlah komponen. Variabel yang lazim digunakan adalah tenaga kerja dan
pertumbuhan tenaga kerja daerah total (G) yang diuraikan mnjadi komponen
shift dan share. Komponen national share adalah pertumbuhan tenaga kerja
(N) daerah seandainya pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan
Sumatera Utara.
Gj = Ejt – Ejo ............................................................................. (6)
= (Nj+Pj+Dj)
Gj = pertumbuhan tenaga kerja total wilayah j
Ejt = tenaga kerja total wilayah j tahun ke t
Ejo = tenaga kerja total wilayah j awal
Nj = komponen national share wilayah j
Pj = komponen proportional shift wilayah j
Dj = komponen differential shift wilayah j
Nj = Ejo (Et/Eo) – Ejo .................................................................. (7)
Et = tenaga kerja Sumatera Utara tahun ke t
Eo = tenaga kerja Sumatera Utara awal
Komponen shift merupakan penyimpangan (deviasi) dari national
share. Jika positip berarti daerah itu tumbuh dengan baik dan negatif berarti
merosot. Komponen proportional shift (P) mengukur besarnya shift regional
netto akibat komposisi sektor ekonomi daerah tersebut. Dan komponen
differential shift (D) mengukur besarnya shift regional netto akibat sektor
37

ekonomi tertentu tumbuh lebih cepat atau lebih lambat di daerah tersebut
dibandingkan dengan tingkat Sumatera Utara.
(P+D)j = Ejt – (Et/Eo) Ejo .......................................................... (8)
= (Gj – Nj)
Pj = Σ i [(Eit/Eio) – (Et/Eo)] Eijo ............................................ (9)
Eio = tenaga kerja sektor i Sumatera Utara awal
Eit = tenaga kerja sektor i Sumatera Utara tahun ke t
Eijo = tenaga kerja sektor i wilayah j awal
Dj = Σ t [Eijt -(Eit/Eio) Eijo] ................................................... (10)
Eijt = tenaga kerja sektor i wilayah j tahun ke t
= (P+D)j –(Pj)

Analisis Ketimpangan Wilayah Williamson (Williamson Index)

Metode ini digunakan untuk membandingkan ketimpangan


pembangunan antar wilayah pembangunan. Semakin besar koefisien
disparitas wilayah maka semakin besar ketimpangan wilayah tersebut.
Indeks Williamson dirumuskan sebagai berikut :

∑ (I )
n
2 Pi
i −I
i=1 P
Vw = .................................................................. (11)
I
Dimana :
Vw = indeks Williamson
Ii = pendapatan per kapita wilayah i
I = pendapatan per kapita Sumatera Utara
Pi = penduduk wilayah i
P = penduduk Sumatera Utara
Karakteristik wilayah yang dianggap berpengaruh terhadap
ketimpangan adalah sosial-demografi (produktivitas pekerja, tingkat
38

partisipasi angkatan kerja, kepadatan penduduk dan lainnya), aktivitas


ekonomi (struktur pembentuk PDRB, investasi, industri dan lainnya) dan fisik
daerah (kerapatan jalan) menggunakan dengan data runtut waktu dari tahun
1993 hingga 1999. Persamaan tersebut dibentuk menjadi :
VWj = βo + β1x1 +β2x2 + β3x3 +… + βnxn + µ ................................ (12)

Analisis Keuntungan Lokasi (Location Quotient)

Metode ini digunakan untuk menentukan potensi suatu wilayah


berdasarkan sektor-sektor ekonomi yang membentuk PDRB dan menyerap
tenaga kerja. Identifikasi potensi wilayah berdasarkan PDRB (output) dan
penyerapan tenaga kerja karena tujuan bagian dari pembangunan wilayah
adalah meningkatkan output dan memperbesar kesempatan kerja. Location
Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan persentase suatu
sektor terhadap PDRB atau tenaga wilayah dengan persentase sektor
tersebut terhadap PDRB atau tenaga kerja Sumatera Utara.

Y ij E ij
Yj Ej
LQ ij = atau LQ ij = ......................................................... (13)
Yi Ei
Y E
dimana :
LQij = indeks Location Quotient sektor i wilayahj
Yij = PDRB sektor i wilayah j
Yj = total PDRB wilayah j
Yi = PDRB sektor i Sumatera Utara
Y = total PDRB Sumatera Utara
Eij = penyerapan tenaga kerja sektor i wilayah j
Ej = total penyerapan tenaga kerja wilayah j
Ei = penyerapan tenaga kerja sektor i Sumatera Utara
E = total penyerapan tenaga kerja Sumatera Utara
HASIL PENELITIAN

Pertumbuhan Dan Perkembangan Ekonomi

Pada bagian terdahulu telah digambarkan perkembangan dan


pertumbuhan PDRB serta penduduk di wilayah pantai Barat dan pantai Timur
Sumatera Utara. Bagian ini akan menguraikan pertumbuhan pendapatan per
kapita penduduk di kedua wilayah tersebut dan Sumatera Utara mulai tahun
1987 hingga tahun 1999.

Kalau melihat Tabel 2 di bawah ini, ternyata tahun 1987 di wilayah


pantai Barat kabupaten Nias masih sangat jauh ketinggalan dibandingkan
dengan daerah lain. Kota Sibolga pada tahun yang sama pendapatan
perkapita penduduknya mencapai Rp. 1.184.308 sedangkan Nias hanya
Rp.770.400. Ketertinggalan ini banyak disebabkan berbagai kegiatan
pembangunan belum menyentuh daerah tersebut sedangkan Sibolga sejak
lama telah menjadi kota pelabuhan yang banyak memiliki hubungan
perniagaan dengan daerah lain.

Perkembangan yang terjadi akibat adanya pembangunan yang


mendorong peningkatan pendapatan perkapita di tiap daerah. Hingga tahun
1997, pendapatan perkapita penduduk di wilayah pantai barat Sumatera
Utara mencapai Rp. 1.445.019 namun masih di bawah rata-rata pendapatan
per kapita propinsi, dan hal ini berlaku di setiap kabupaten kecuali kota
Sibolga. Dengan demikian perkembangan pendapatan perkapita yang terjadi
belum mampu mengangkat kabupatan yang ada ke tingkat yang lebih tinggi
daripada propinsi.
41

Tabel 2 : Perkembangan PDRB Per Kapita Wilayah Pantai Barat


Dan Sumatera Utara Tahun 1987 Sampai Tahun 1999
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Rupiah)

Tahun Nias Mandailing Tapanuli Tapanuli Sibolga Pantai Sumatera


Natal Selatan Tengah Barat Utara

1987 770.399,97 - 897.579,37 881.058,48 1.184.308,08 865.357,68 1.073.517,12

1988 828.948,87 - 1.040.565,09 970.396,85 1.221.389,88 969.459,32 1.178.002,20

1989 883.678,50 - 1.076.902,44 1.057.753,61 1.332.372,73 1.022.480,12 1.267.606,41

1990 879.622,70 - 1.138.190,34 1.152.603,00 1.449.432,93 1.068.825,61 1.345.450,78


1991 914.380,59 - 1.242.385,36 1.242.010,96 1.575.034,32 1.149.779,77 1.418.455,71
1992 924.123,78 - 1.289.852,37 1.279.450,42 1.727.347,00 1.187.936,21 1.505.480,79
1993 956.599,06 - 1.331.280,62 1.340.987,02 1.878.908,38 1.233.049,58 1.663.921,63
1994 1.077.685,19 - 1.482.126,57 1.461.965,17 2.075.629,66 1.372.348,96 1.807.646,76
1995 1.179.174,79 - 1.638.508,76 1.587.902,72 2.448.823,04 1.515.507,39 1.935.354,31
1996 1.244.218,17 - 1.742.531,88 1.721.738,48 2.891.802,37 1.622.875,69 2.085.762,11
1997 1.282.689,46 1.525.885,48 1.849.191,19 1.793.655,42 2.936.676,56 1.445.018,62 2.196.887,83
1998 1.185.112,80 1.414.563,94 1.714.873,92 1.600.255,90 2.666.535,57 1.330.694,04 1.916.326,09
1999 1.187.186,13 1.491.613,34 1.689.118,36 1.600.913,38 2.755.161,11 1.336.156,60 1.929.262,21

Sumber : Pendapatan Regional (PDRB) Propinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota


1993 – 1999
Statistik Kesejahteraan Rakyat 1997, Kantor BPS Sumatera Utara
Pendapatan Regional (PDRB) Propinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota
1983 – 1993

Secara umum pendapatan perkapita penduduk di wilayah pantai Timur


lebih tinggi pendapatannya dibandingkan propinsi. Tanjung Balai merupakan
kota yang paling tinggi pendapatan perkapitanya di wilayah ini, pada tahun
1987 mencapai Rp. 2.044.307 dan meningkat menjadi Rp. 3.226.338 di tahun
1997 kemudian turun di tahun 1998 dan 1999 sejalan dengan krisis
perekonomian yang terjadi. Deli Serdang selama periode 1987 hingga 1999
tetap merupakan kabupaten yang paling rendah pendapatan perkapitanya di
wilayah ini, di mana tahun 1999 hanya sebesar Rp. 1.517.309. Keadaan ini
dapat dilihat melalui Tabel 3 di bawah ini.
42

Tabel 3 : Perkembangan PDRB Per Kapita Wilayah Pantai Timur


Tahun 1987 Sampai Tahun 1999 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1993 (Rupiah)

Tahun Labuhan Asahan Deli Langkat Tanjung Medan Pantai


Batu Serdang Balai Timur

1987 1.262.008,91 1.321.788,50 721.966,00 1.070.919,70 2.044.306,68 1.612.393,87 1.194.500,93

1988 1.392.476,77 1.571.477,36 797.243,90 1.159.434,93 1.730.415,29 1.737.608,44 1.323.753,32

1999 1.533.710,13 1.658.406,69 873.120,33 1.244.431,72 1.899.818,92 1.925.236,79 1.448.327,58

1990 1.582.345,56 1.781.479,66 888.073,25 1.242.132,53 1.792.173,10 2.038.471,15 1.494.686,81


1991 1.683.809,25 1.877.954,40 908.533,34 1.255.281,68 1.968.895,64 2.131.601,83 1.553.817,20
1992 1.734.526,79 1.936.274,19 969.153,46 1.320.129,29 2.184.494,31 2.319.346,15 1.654.494,63
1993 1.878.813,33 2.100.000,05 1.164.793,12 1.461.841,27 2.361.721,91 2.378.685,04 1.814.458,56
1994 2.020.341,44 2.272.748,23 1.317.597,81 1.568.155,24 2.579.465,31 2.517.515,37 1.958.982,26
1995 2.177.092,24 2.487.424,94 1.501.430,68 1.708.396,20 2.812.167,54 2.654.359,93 2.124.377,92
1996 2.391.211,82 2.723.002,10 1.572.173,45 1.863.162,55 3.010.839,36 2.868.489,67 2.293.326,89
1997 2.569.248,89 2.943.298,44 1.688.256,05 1.934.030,36 3.226.337,92 3.036.561,30 2.442.930,73
1998 2.522.008,14 2.935.412,34 1.486.733,45 1.910.882,73 2.976.178,60 2.427.367,79 2.188.195,51
1999 2.568.917,49 3.052.778,84 1.517.309,22 1.911.540,04 3.036.308,59 2.460.172,60 2.230.310,10

Sumber : Pendapatan Regional (PDRB) Propinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota


1993 – 1999
Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1993 - 1999 , Kantor BPS Suamtera Utara
Pendapatan Regional (PDRB) Propinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota
1983 – 1993

Melalui pendapatan perkapita suatu daerah dapat diketahui


perkembangan ekonomi daerah tersebut. Typologi Klassen dapat
menggambarkan perkembangan tersebut dengan kwadran-kwadran
perkembangan. Typologi suatu daerah di bagi menjadi 4 tipe, yaitu :
a. kwadran I = developed region (daerah maju)
b. kwadran II = developing region (daerah sedang berkembang)
c. kwadran III = underdeveloped region (daerah terkebelakang)
d. kwadran IV = stagnant region (daerah stagnan).
43

Mengetahui pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan perkapita


suatu daerah. Perhitungan pertumbuhan melalui persamaan semi logaritma,
Ln I = a + r T, di mana r adalah pertumbuhan rata-rata per tahunnya.
Momentum perkembangan dipisah menjadi dua bagian yang sama
periodenya, yaitu tahun 1975 sampai 1987 dan tahun 1987 sampai 1999,
kecuali kabupaten Mandailing Natal hanya dianalisis tahun 1997 sampai tahun
1999. Hasil analisis dari daur perkembangan ekonomi di wilayah pantai Barat
dan pantai Timur Sumatera Utara disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 : Typologi Perkembangan Ekonomi Wilayah Pantai Barat


Sumatera Utara Tahun 1975 – 1987 dan Tahun 1987 -
1999

Mandailing Tapanuli Tapanuli Pantai


Uraian Nias Sibolga
Natal Selatan Tengah Barat

r ('75-87) 1,9025 - 5,1867 3,0876 1,6113 3,6531


rj – r - 3,2536 - 0,0307 - 2,0685 - 3,5448 - 1,5029
Ij/I '87 0,7176 - 0,8361 0,8207 1,1032 0,8061
Kwadran III - II III IV III

r ('87-99) 4,1620 - 1,1358 5,7276 5,5085 8,3899 4,1336


rj - r - 1,4805 - 6,7783 0,0851 - 0,1340 2,7474 - 1,5089
Ij/I '99 0,6154 0,7732 0,8755 0,8298 1,4281 0,6926
Kwadran III III II III I III

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


Keterangan :
r (’75 – 87) = pertumbuhan ekonomi tahun 1975 – 1987
r (’87 – 99) = pertumbuhan ekonomi tahun 1987 – 1999
rj – r = pertumbuhan daerah – pertumbuhan Sumatera Utara
Ii/I = perbandingan pendapatan perkapita daerah dengan perkapita Sumatera
Utara
44

Kabupaten Nias pada momentum pertama berada pada under


developed region bersama dengan kabupaten Tapanuli Tengah yaitu daerah
yang pertumbuhannya lebih lambat dan pendapatan perkapitanya lebih
rendah dibandingkan dengan Sumatera Utara. Kondisi menunjukkan
walaupun kedua kabupaten ini memiliki potensi daerah yang besar, tanpa
tersedianya sumberdaya di daerah tersebut kurang memberikan
perkembangan yang berarti dibandingkan perkembangan yang terjadi di
Sumatera Utara secara umum. Pembangunan yang dilaksanakan pada
momentum kedua tidak menunjukkan perubahan yang berarti terhadap
kedua kabupaten tersebut, demikian pula halnya dengan Kabupaten
Mandailing Natal. Analisis terhadap Mandailing Natal dilakukan pada saat
krisis ekonomi sedang berlangsung sehingga pertumbuhan ekonominya
mengalami penurunan pada periode 1997 sampai 1999. Dengan demikian
kabupaten ini kurang memenuhi kriteria yang dibuat.

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah yang sedang dalam


membangun. Posisi kabupaten ini pada periode ini digolongkan sebagai
developing region yaitu daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi dibanding
propinsi tetapi pendapatan perkapitanya lebih kecil dibandingkan propinsi.
Keadaan ini berlangsung dari momentum pertama hingga momentum kedua
namun sedikit mengalami perbaikan yaitu semakin mendekati pendapatan
perkapita propinsi.

Secara umum perkembangan ekonomi daerah-daerah di wilayah


pantai Barat masih tergolong terkebelakang. Kecuali Kota Sibolga yang pada
momentum pertama berada dalam keadaan stagnan karena pendapatan
perkapita penduduknya masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan
perkapita propinsi tetapi laju pertumbuhannya lebih lambat dibanding
45

Sumatera Utara. Dengan berjalannya waktu, pembangunan di daerah ini


terus dilaksanakan hinggga akhirnya pada momentum kedua kota ini
tergolong daerah yang maju dengan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi
dibanding Sumatera Utara.

Tabel 5 : Typologi Perkembangan Ekonomi Wilayah Pantai Timur


Sumatera Utara Tahun 1975 – 1987 dan Tahun 1987 -
1999

Uraian Labuhan Deli Tanjung Pantai


Asahan Langkat Medan
Batu Serdang Balai Timur

r ('75-87) 3,9789 7,5603 6,2509 4,2397 5,2824 3,8479 5,1734


rj – r - 1,1771 2,4042 1,0949 - 0,9164 0,1264 - 1,3082 0,0174
Ij/I '87 1,1756 1,2313 0,6725 0,9976 1,9043 1,5020 1,1127
Kwadran IV I II III I IV I

r ('87-99) 6,1557 6,8332 7,2720 5,3534 5,2960 4,1619 5,7304

rj - r 0,5132 1,1907 1,6295 - 0,2891 - 0,3465 - 1,4806 0,0879

Ij/I '99 1,3316 1,5824 0,7865 0,9908 1,5738 1,2752 1,1560

Kwadran I I II III IV IV I

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Kabupaten Langkat sebagai satu-satunya kabupaten yang memiliki


sumber pendapatan dari minyak bumi merupakan daerah yang paling
terkebelakang perkembangan ekonominya di wilayah pantai Timur. Kondisi
ini menunjukkan bahwa industri perminyakan yang ada di daerah ini kurang
memberikan efek ganda bagi perekonomian masyarakatnya. Pertumbuhan
ekonomi tidak mengalami perubahan yang berarti dan pendapatan perkapita
penduduknya relatif rendah. Jika sektor migas disertakan maka kabupaten
langkat digolongkan daerah yang stagnan karena pendapatan perkapitannya
lebih tinggi dibanding propinsi namun pertumbuhannya relatif lambat.
46

Dengan demikian langkat cenderung kurang berkembang dengan


pertumbuhan yang lambat, baik dengan migas ataupun tanpa migas.

Deli Serdang dengan wilayah terluas mengalami pertumbuhan yang


cepat pada momentum pertama dan kedua namun pendapatan perkapita
penduduknya masih di bawah propinsi. Asahan mengalami pertumbuhan
yang tinggi dan pendapatan perkapita penduduknya relatif besar sehingga
pada momentum pertama digolongkan daerah yang maju sama halnya
dengan Tanjung Balai.

Pendapatan perkapita yang tinggi tetapi pertumbuhannya relatif


lambat dialami oleh Kota Medan dan Kabupaten Labuhan Batu. Namun pada
momentum kedua Labuhan Batu mengalami pertumbuhan yang relatif cepat
seiring dengan semakin luasnya lahan perkebunan yang mengasilkan dan
memberikan efek ganda bagi perekonomian daerah tersebut. Sedangkan
Medan dan Tanjung Balai pada momentum kedua mengalami pertumbuhan
yang lambat dan cenderung stagnan. Keadaan ini terjadi karena sumberdaya
yang ada selama ini telah terpakai tetapi kurang efisien sehingga cukup sulit
mempercepat pertumbuhannya apalagi dengan munculnya krisis belakangan
ini.

Secara rata-rata, perkembangan ekonomi di wilayah pantai Timur


Sumatera Utara relatif maju. Pada momentum pertama dan kedua posisi
wilayah ini digolongkan sebagai developed region. Daur perkembangan
daerah-daerah di pantai Barat dan Timur Sumatera Utara dapat dilihat dari
Gambar 3 berikut ini.
48

Gambar 3 : Typologi Perkembangan Ekonomi


Y Y’

Daerah Daerah Maju


Sedang Berkembang
Si'

As

Ds'

Ds

As'
Si
Pt' Lb'
Ts Ts'

Pt Tb X
(0,0) O Tt Tt' P (1,0)
Lk' Tb'
Lb
Pb' Lk
Md
Ni' Pb Md'

Ni

Daerah Terkebelakang Daerah Stagnan

Mn

Keterangan :

Pt = Wilayah pantai Timur As = Asahan


Pb = Wilayah pantai Barat Ds = Deli Serdang
Ni = Nias Lk = LAngkat
Mn = Mandailing Natal Tb = Tanjung Balai
Ts = Tapanuli Selatan Md = Medan
Tt = Tapanuli Tengah = Momentum Awal (Tahun 1975 - 1987)
Si = Sibolga
Lb = Labuhan Batu = Momentum Akhir (Tahun 1987 - 1999)
48

Pola Pertumbuhan Ekonomi

Pola pertumbuhan seimbang perlu diperhatikan dalam pembangunan


adalah untuk menjaga agar pembangunan tersebut tidak menghadapi
hambatan dalam hal memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber energi
(air, listrik dan gas), dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil
produsi ke pasar. Selain itu menghindari hambatan memperoleh pasaran
untuk barang-barang yang telah dan akan diproduksikan. Dengan demkian
yang dimaksud pertumbuhan seimbang adalah usaha pembangunan yang
mengatur program penanaman modal secara sedemikian rupa, sehingga
sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatan-hambatan yang
bersumber drai permintaan maupun penawaran (Sukirno, 1985).

Hirschman mengatakan bahwa pada hakekatnya teori pertumbuhan


seimbang merupaakn suatu ulasan mengenai keadaan masa lalu secara
perbandingan statis, yaitu membandingkan keadaan suatu perekonomian
dalam dua masa yang berbeda. Melalui cara yang demikian memang akan
ternyata bahwa pembangunan berlaku di berbagai aspek kegiatan dalam
perekonomian (Sukirno, 1985).

Tetapi bila pengamatan dilakukan dengan cara melihat proses


pembangunan yang terjadi di kedua masa tersebut, keadaan yang sangat
berbeda akan dijumpai. Akan terlihat berbagai aspek kegiatan ekonomi
mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti bahwa
pembangunan berjalan scera tidak seimbang. Perkembangan leading sector
akan menggalakkan perkembangan sektor lainnya, dengan begitu juga
perkembangan di suatu sektor akan menggalakkan perkembangan sektor-
sektor lain yang sangat erat hubungannya dengan sektor yang mengalami
perkembangan.
49

Selanjutnya pertumbuhan tidak seimbang lebih sesuai untuk


dilaksanakan di wilayah-wilayah terkebelakang karena wilayah-wilayah
tersebut menghadapi masalah kekuarangan sumber daya. Dengan
melaksanakan pola pertumbuhan tidak seimbang, usaha pembangunan pada
waktu tertentu dpusatkan kepada beberapa kegiatan yang akan mendorong
penanaman modal terpengaruh (induced investment) di berbagai kegiatan
lain pada periode berikutnya. Dengan demikian pada setiap tingkat
pertumbuhan sumber-sumber daya yang sangat langka dapat digunakan
dengan lenih efisien.

Samuelson dan Sollow (Azis, 1994) mengembangkan suatu persamaan


tentang koefisien variasi type Pearson yang membandingkan pertumbuhan
sektoral dengan laju pertumbuhan keseluruhan selama waktu tertentu.
Perhitungan koefisien variasi Pearson di hubungkan dengan pertumbuhan
total wilayah memberikan hasil koefisien korelasi sebagai berikut :

Tabel 6 : Korelasi Pearson dan Spearman Antara Koefisien


Variasi Sektoral Dengan Pertumbuhan Ekonomi
Wilayah

Korelasi
Daerah
Pearson (r) ρ)
Spearman (ρ

Wilayah Pantai Barat 0,788 - 0,029


Wilayah Pantai Timur 0,444 - 0,200
Sumatera Utara 0,636 0,314

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Tabel 6 di atas memberikan makna bahwa pola pertumbuhan yang


terjadi di wilayah pantai Barat adalah pola pertumbuhan yang tidak
seimbang. Ini dapat dilihat dari ρ yang bernilai negatif dengan kekuatan
50

korelasi pearson sebesar 0,788. Dengan demikian pembangunan yang telah


dilaksanakan selama ini di wilayah ini dititik-beratkan pada satu atau
beberapa sektor yang utama. Artinya bertentangan dengan hipotesis yang
menyatakan “pola pertumbuhan ekonomi wilayah pantai Barat Sumatera
Utara mengikuti pola pertumbuhan seimbang”.

Pertumbuhan yang tidak seimbang, menurut Hirschman sangat


bermanfaat untuk menghadapi masalah pembangunan yang sangat terbatas
(masalah underdevelopment). Daerah-daerah yang memiliki keterbatasan
sumber daya dan dana sehingga tidak sanggup melaksanakan pertumbuhan
yang seimbang. Oleh karena itu suatu daerah untuk mampu melakukan
pembangunan sangat ditentukan oleh kesanggupannya untuk melaksanakan
pembentukan modal (ability to invest) (Sukirno, 1985).

Apabila ditelaah sebenarnya untuk daerah-daerah di wilayah pantai


Barat lebih cocok melaksanakan pertumbuhan tidak seimbang, karena secara
historis pembangunan ekonomi yang telah berlaku coraknya tidak seimbang.
Sektor tertentu yang dianggap leading mendapatkan perhatian yang serius
untuk dikembangkan sehingga pertumbuhannya lebih cepat dan menjadi
pendorong bagi pembangunan sektor lainnya. Selain itu dengan
pertumbuhan tidak seimbang akan terjadi efsiensi penggunaan sumber-
sumberdaya yang tersedia.

Konsentrasi pembangunan di wilayah pantai Timur sebagian besar


pada sektor-sektor industri sehingga cenderung tidak seimbang
pertumbuhannya dengan sektor-sektor yang lain. Keutungan lokasi sektor
merupakan suatu tanda dari ketidakseimbangan, dan besarnya keuntungan
identik dengan suatu indeks kasar yang menunjukkan tingkat
ketidakseimbangan yang terjadi.
51

Menurut pendapat Scitovsky dan Hirschman (Sukirno, 1985)


keuntungan pada suatu sektor akan mendorong penanaman modal pada
industri tersebut, dan selanjutnya penanaman modal yang dilakukan akan
menghapuskan keuntungan. Dengan demikian penanaman modal akan
menciptakan keadaan yang menjurus ke arah keseimbangan. Tetapi
penanaman modal tersebut akan menciptakan keuntungan pada sektor laian,
ketidakseimbangan berlaku dan keadaan ini mendorong penanaman di sektor
tersebut.

Di wilayah pantai Barat dan wilayah pantai Timur Sumatera Utara


terjadi pertumbuhan yang tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkan
suatu fenomena yang sesuai mengenai bagaimana proses pembangunan
berlaku. Yaitu pembangunan yang terjadi merupakan suatu rangkaian
ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (a chain of disequilibria)
pertumbuhan.

Tugas yang harus dilaksanakan oleh perencana pembangunan adalah


merencanakan suatu strategi untuk menjamin agar ketidakseimbangan-
ketidakseimbangan terus tercipta. Selanjutnya akan tercipta suatu keadaan
di mana perekonomian daerah terus maju ke depan, pembangunan tetap
menjamin terciptanya disproporsi dan ketidakseimbangan.

Pembangunan Sumatera Utara selain di lakukan di kedua wilayah


tersebut, juga terjadi di wilayah lain. Sehingga pertumbuhan sektor-sektor
yang lain disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah yang
menyebabkan pertumbuhan propinsi mengikuti pola pertumbuhan seimbang.
Pertumbuhan yang terjadi di suatu sektor dalam satu wilayah merupakan
akibat penanaman modal yang dilakukan sehingga akan menciptakan
pecuniary external economies bagi wilayah dan sektor yang lain.
52

Tumbuhnya suatu sektor dengan cepat menyebabkan eksternal


ekonomis bagi sektor lain, karena sektor tersebut menggunakan bahan baku
dari sektor lain, dan sektor tersebut akan menghasilkan bahan baku bagi
sektor yang lain. Sektor yang menghasilkan barang komplementer untuk
output sektor yang diunggulkan, karena dengan naiknya produksi sektor
tersebut akan meningkatkan permintaan output sektor lain. Output sektor
yang diunggulkan mendorong bertambahnya pendapatn orang-orang yang
terlibat dengan sektor itu dan munculnya industri yang menghasilkan
substitusi bahan baku sektor unggulan.

Agroindustri Sumatera Utara merupakan leading sektor yangn banyak


mendapatkan perhatian. Di berbagai daerah yang pola pertumbuhannya tidak
seimbang mungkin mengembangkan sektor ini dengan lebih cepat. Namun
di lingkup propinsi pertumbuhan yang terjadi di sektor agroindustri akan
menciptakan eksternaliltas ekonomi baik ke hulu maupun ke hilir. Bagi
wilayah yang menggantungkan pertumbuhannya di sektor pertanian akan
mengalami peningkatan permintaan output pertanian sebagai bahan baku
agro industri. Demikian pula dengan wilayah yang mengalami pertumbuhan
sektor jasa relatif cepat, output agroindustri mendorong permintaan akan
jasa semakin besar. Sehingga akhirnya di lingkup Sumatera Utara
pembangunan yang dilaksanakan mengikuti pola pertumbuhan seimbang.
53

Perubahan Struktur Ekonomi

Hipotesis utama Chenery dari model perubahan struktural adalah


bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan,
yang ciri-ciri pokoknya sama di beberapa negara berkembang. Namun diakui
pula terdapat beberapa perbedaan tergantung langkah-langkah yang
ditempuh dan semuanya ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut adalah jumlah dan sumber daya alam yang dimiliki, ketepatan
rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan pemerintah setempat,
tersedianya modal dan teknologi luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan
perdagangan internasional (Todaro, 1998).

Dalam analisanya Chenery juga memberikan hipotesis bahwa tingkat


pertumbuhan ekonomi dan peranan suatu sektor dalam menciptakan
produksi nasional tergantung pada tingkat pendapatan dan jumlah penduduk
negara tersebut. Berdasarkan hipotesisnya ini, untuk menentukan fungsi
pertumbuhan (growth function) tiap sektor ekonomi, digunakan persamaan
regresi sebagai berikut :
Ln Vij = Ln bij0 + bij1 Ln Yj + bij2 Ln Nj + µ
Dimana Vij adalah produk domestik regional bruto sektor i wilayah j, b1
adalah elastisitas pertumbuhan (growth elasticity), Yj adalah PDRB per kapita
wilayah j, b2 adalah elastisitas ukuran (size elasticity), Nj adalah penduduk
wilayah j dan µ merupakan error term.

Sektor pertanian di wilayah pantai Barat Sumatera Utara tidak elastis


terhadap perubahan PDRB dan penduduk. Peningkatan PDRB atau penduduk
sekitar 10 persen menyebabkan PDRB sektor ini meningkat kurang dari 10
persen. Tidak demikian halnya dengan sektor pengolahan dan jasa, kedua
sektor ini sangat peka terhadap perubahan yang terjadi pada PDRB wilayah,
54

artinya jika PDRB meningkat 10 persen, sektor ini akan meningkat lebih dari
10 persen. Sedangkan turunnya pertumbuhan jumlah penduduk akan
meningkatkan pertumbuhan kedua sektor tersebut. Dengan demikian
wilayah pantai Barat mengalami perubahan struktur ekonomi yang lebih
cepat ke arah industri dan jasa. Industri yang berkembang umumnya
industri yang berkaitan dengan sektor pertanian demikian pula dengan jasa-
jasa. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 7 berikut ini :

Tabel 7 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi


Di Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara

Sektor Koefisien Tstat R2 F

Pertanian Konstanta - 13,661 - 5,248 0,974 75,742


Ln Y 0,697 5,248
Ln N 1,222 11,882

Pengolahan Konstanta - 18,157 - 12,471 0,992 234,845


Ln Y 1,293 17,418
Ln N 0,907 15,756

Jasa Konstanta - 14,180 - 6,748 0,978 89,726


Ln Y 1,161 10,834
Ln N 0,802 9,660

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


Keterangan :
Pengolahan meliputi pertambangan, industri, utiliti, dan konstruksi
Jasa meliputi perdagangan, transportasi dan komunikasi, jasa keuangan dan sosial

Perubahan yang terjadi di wilayah pantai Timur menunjukkan sektor


pertanian tidak elastis terhadap perubahan PDRB wilayah namun elastis
terhadap peningkatan jumlah penduduk lebih elastis. Naiknya pertumbuhan
55

penduduk mendorong lebih cepat pertumbuhan output sektor pertanian.


Sektor pengolahan tidak mengalami perubahan yang cepat dengan kepekaan
terhadap PDRB wilayah inelastis, tetapi penurunan pertumbuhan jumlah
penduduk akan menaikkan pertumbuhan output sektor ini. Keadaan ini
banyak dipengaruhi oleh struktur industri yang dikembangkan di wilayah ini
sebagian besar tidak untuk memenuhi konsumsi lokal melainkan untuk
wilayah yang lebih luas malah sebagian besar ditujukan untuk ekspor (export
oriented).

Tabel 8 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi


Di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara

Sektor Koefisien Tstat R2 F

Pertanian Konstanta - 55,060 - 21,635 0,996 490,770


Ln Y 0,570 7,745
Ln N 3,945 20,667

Pengolahan Konstanta 1,278 0,448 0,985 132,872


Ln Y 1,142 13,844
Ln N - 0,155 - 0,722

Jasa Konstanta - 1,731 - 0,791 0,992 257,286


Ln Y 1,187 18,757
Ln N - 0,013 - 0,076

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Seperti sudah berlaku secara umum bahwa semakin tinggi pendapatan


seseorang maka permintaannya akan jasa semakin meningkat. Begitu pula
yang terjadi dengan sektor jasa di wilayah pantai Timur, peningkatan PDRB
elastis pengaruhnya terhadap output sektor ini. Mengecilnya pertumbuhan
56

jumlah penduduk akan menaikkan pertumbuhan output sektor jasa,


walaupun tidak elastis. Dengan demikian di wilayah ini peningkatan
pertumbuhan jumlah penduduk tidak diringi dengan pertumbuhan
permintaan sektor jasa.

Perubahan struktur ekonomi Sumatera Utara ke arah sektor jasa dan


pengolahan. Ini terlihat dari kepekaan kedua sektor tersebut terhadap
perubahan PDRB, sedangkan sektor pertanian walaupun mengalami
perubahan yang positip tetapi kurang respon dengan adanya perubahan
PDRB. Sektor pertanian sangat elastis terhadap perubahan jumlah penduduk
sedangkan sektor pengolahan dan jasa walaupun responnya terhadap
perubahan jumlah penduduk tinggi namun bersifat kebalikan artinya semakin
turun pertumbuhan penduduk maka semakin naik pertumbuhan sektor ini.

Tabel 9 : Analisis Regresi Berganda Perubahan Struktur Ekonomi


Sumatera Utara

Sektor Koefisien Tstat R2 F

Pertanian Konstanta - 49,509 - 18,250 0,994 357,965


Ln Y 0,402 6,096
Ln N 3,654 19,301

Pengolahan Konstanta 21,744 4,804 0,942 32,397


Ln Y 0,885 8,034
Ln N - 1,158 - 3,666

Jasa Konstanta - 19,488 - 3,969 0,986 138,088


Ln Y 1,548 12,955
Ln N 0,804 2,346

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


57

Dengan analisis perubahan struktur ekonomi tersebut, pada tahun


1993 hingga tahun 1999 perekonomian wilayah pantai Barat bergerak ke
arah pengolahan dan jasa, wilayah pantai Timur bergerak ke sektor jasa.
Dalam lingkup perekonomian Sumatera Utara ada kecenderungan bergerak
ke sektor jasa dan idustri walaupun sektor pertanian tumbuh namun semakin
rendah pertumbuhannya seiring dengan naikknya pendapatan perkapita.

Perubahan Struktur Tenaga Kerja

Analisa yang dikemukakan oleh Issard (1961) tentang pergeseran


struktur ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja merupakan perbandingan
perubahan tenaga suatu sektor dengan perubahan tenaga kerja wilayah, dan
tenaga kerja sektor tersebut di lingkup propinsi.
Tabel 10 : Lapangan Pekerjaan Tahun 1990 Dan 1999 Menurut
Sektor (orang)

Pantai Barat Pantai Timur Sumatera Utara


Sektor
1990 1999 1990 1999 1990 1999

1. Pertanian 626.050 816.009 999.448 982.512 2.352.250 2.678.943


2. Penggalian 9.224 2.643 11.540 19.276 19.964 25.188
3. Manufaktur 16.570 24.033 200.433 307.137 258.981 366.730
4. Utiliti 593 679 7.567 8.775 9.841 12.090
5. Konstruksi 8.488 10.537 87.553 120.926 114.820 153.644
6. Perdagangan 43.989 78.209 304.386 567.865 477.908 823.631
7. Tranportasi & Komunikasi 16.516 24.382 112.267 176.375 158.298 241.800
8. Jasa Keuangan 1.146 1.200 15.335 10.251 20.158 14.609
9. Jasa Sosial 46.012 70.065 310.143 469.935 473.953 700.716
10. Lainnya 171 20 320 19.689 10.559 20.150

Jumlah 768.759 1.027.777 2.048.992 2.682.741 3.896.732 5.037.501

Sumber : Profil Ketenagakerjaan Propinsi Sumatera Utara, Kanwil Depnaker Prop.Sumatera


Utara, 1997
Statistik Kesejahteraan Rakyat 1997, Kantor BPS Suamtera Utara
Monografi Ketenagakerjaan Sumatera Utara 1999, Dinas Tenaga Kerja Sumatera
Utara
58

Tabel 10 di atas menggambarkan kondisi lapangan pekerjaan tahun


1990 dan 1999 serta proyeksi lapangan pekerjaan Sumatera Utara tahun
2004. Gambar 4 di bawah ini adalah pola perubahan tenaga kerja di wilayah
pantai Barat Sumatera Utara.
Gambar 4 : Perubahan Tenaga Kerja Wilayah
Pantai Barat
Perubahan Tenaga Kerja
Wilayah Pantai Barat

•Tr

170
Ss
160

Tc •
150 • Ma
140

130 Ag•

120

Co

110
Ut •
Fs •
100

90

80

70

60

50

Mi •

0 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160


Perubahan Tenaga Kerja
Sumatera Utara

Keterangan :
Ag = pertanian Tr = perdagangan
Mi = pertambangan Tc = perhubungan dan komunikasi
Ma = industri Fs = jasa keuangan
Ut = utiliti Ss = jasa sosial
Co = konstruksi
59

Garis diagonal yang berpangkal di titik origin (0) merupakan garis


perbandingan perubahan tenaga kerja wilayah pantai Barat dengan tenaga
kerja propinsi. Tahun pengamatan di mulai tahun 1990 (titik skala) sampai
dengan tahun 1999.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa perubahan tenaga kerja di


wilayah pantai Barat lebih besar dibandingkan propinsi, karena garis tersebut
berada di sebelah kiri atas titik skala (100;100). Perubahan penyerapan
tenaga kerja sektor perhubungan dan komunikasi (Tc) wilayah tumbuh relatif
cepat melebihi perubahan tenaga kerja wilayah namun masih di bawah
perubahan sektor ini di propinsi.

Pertambahan penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan (Tr),


jasa sosial (Ss) serta industri (Ma) merupakan yang paling cepat
perubahannya. Dalam lingkup propinsi sektor ini berubah sangat cepat
namun dalam lingkup wilayah perubahannya lebih cepat bahkan
dibandingkan dengan perubahan tenaga kerja total wilayah itu.

Sektor konstruksi (Co), listrik, air dan gas (Ut) wilayah mengalami
pertambahan relatif lambat demikian pula di lingkup propinsi. Bahkan sektor
pertambangan (Mi) wilayah pantai Barat mengalami perubahan yang negatif
(turun) selama periode penelitian.

Jasa keuangan (Fs) di propinsi mengalami penurunan penyerapan


tenaga kerja namun di wilayah ini tumbuh dengan lambat dibandingkan
penyerapan total wilayah. Penyerapan tenaga kerja sektor partanian (Ag)
tumbuh lebih lambat dibandingkan total wilayah tapi lebih cepat
dibandingkan sektor ini di lingkup propinsi.
60

Mengamati perubahan penyerapan tenaga kerja yang terjadi di


wilayah Pantai Timur tidak banyak perbedaan di sektor perdagangan dan
utilitas dengan yang terjadi di wilayah pantai Barat. Sektor pertanian
mengalami penurunan begitu pula dengan jasa keuangan. Sektor yang
berubah relatif cepat malah penggalian padahal di lingkup proponsi termasuk
sektor yang lambat.

Yang lebih ekstrim adalah sektor pertanian dan keuangan yang


tumbuh negatif. Sektor pertanian memang mengalami penyusutan tenaga
kerja terutama semakin banyaknya tenaga kerja muda yang beralih ke sektor
industri, sedangkan sektor keuangan sejak krisis ekonomi menunjukkan
fenomena yang terbalik. Tahun 1990 merupakan awal booming sektor
keuangan setelah diluncurkannya Gebrakan Sumarlin II, namun begitu krisis
terjadi pemutusan kerja pada sebagain besar lembaga keuangan bahkan
banyaknya bank yang ditutup menyebabkan sebagain beralih ke sektor lain
atau menjadi pengangguran. Keadaan ini dapat dilihat dari Gambar 5 berikut
ini :
61

Gambar 5 : Perubahan Tenaga Kerja


Perubahan Tenaga Kerja Wilayah Pantai Timur
Wilayah Pantai Timur

• Tr

Mi•
160 Ss • Tc
Ma • •
150

140
• Co
130


120

110
Ut

100

Ag •
90

80

70
• Fs
60

50

0 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160


Perubahan Tenaga Kerja
Sumatera Utara

Analisis Shift Share

Metode analisis yang dikemukakan Issard di atas, hanya melihat


perubahan-perubahan tanpa membagi ke dalam komponen yang lebih
lengakap dan ukuran yang dapat dijadikan pemrakira (prediksi). Untuk lebih
menguatkan nanalisis Issard tersebut maka digunakan metode yang
mengukur peralihan dan perubahan pangsa tenaga kerja wilayah, yaitu
analisis shift share.
62

Metode ini mengasumsikan adanya penyekatan pengaruh dari struktur


ekonomi suatu wilayah di dalam pertumbuhannya pada suatu kurun waktu
tertentu. Hal ini meliputi penguraian proses pertumbuhan suatu wilayah,
sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa variabel penting (seperti jenis
sektor industri, pertambahan penduduk, pertambahan pendapatan dan
lainnya) dalam membentuk sebuah komponen yang penting yaitu tersedianya
lapangan pekerjaan. Beberapa analis menyebutnya sebagai Industrial Mix
Analysis, karena komposisi industri yang ada sangat mempengaruhi laju
pertumbuhan wilayah tersebut. Artinya apakah suatu sektor yang berlokasi
di wilayah tersebut termasuk ke dalam kelompok industri yang secara
propinsi memang berkembang pesat dan bahwa sektor tersebut cocok
berlokasi di wilayah tersebut atau tidak.

Komponen national share (N) merupakan pertambahan tenaga kerja


wilayah seandainya pertambahannya sama dengan laju pertambahan propinsi
selama periode 1990 sampai 1999. Hal ini dipakai untuk menentukan kriteria
bagi wilayah apakah tumbuh lebih cepat atau lebih lambat dari pertumbuhan
propinsi secara rata-rata.
63

Tabel 11 : National Share, Proportional Share dan Differential


Shift Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara (orang)

Sektor National Proportional Differential Jumlah


Share Share Shift

1. Pertanian 183.276 - 96.327 103.010 189.959


2. Penggalian 2.700 - 287 - 8.995 - 6.581
3. Manufaktur 4.851 2.043 569 7.463
4. Utiliti 174 - 38 - 50 86
5. Konstruksi 2.485 385 - 821 2.049
6. Perdagangan 12.878 18.944 2.398 34.220
7. Tranportasi & 4.835 3.877 - 846 7.866
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 335 - 651 369 54
9. Jasa Sosial 13.470 8.544 2.039 24.053
10. Lainnya 50 105 - 306 - 151

Jumlah 225.054 - 63.403 97.367 259.018

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Komponen shift adalah deviasi dari national share dalam pertumbuhan


tenaga kerja wilayah. Deviasi ini bernilai positip di wilayah yang tumbuh lebih
cepat dan negatif di wilayah yang tumbuh lebih lambat/merosot
dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja propinsi. Tiap wilayah, shift
netto dibagi menjadi dua komponen yaitu proportional shift dan differential
shift.

Proportional shift component (P), merupakan komponen “struktural”


atau industrial mix, mengukur besarnya shift netto wilayah yang diakibatkan
oleh komposisi sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Komponen ini bernilai positip di wilayah yang berspesialisasi dalam sektor-
64

sektor yang dalam skala propinsi tumbuh dengan cepat, dan negatif di
wilayah yang berspesialisasi dalam sektor-sektor yang dalam skala propinsi
tumbuh lambat atau bahkan menurun.

Melalui Tabel 11 dapat dilihat komponen ini di wilayah Pantai Barat


bernilai negatif yang berarti wilayah tersebut kurang mempunyai potensi
dalam penyerapan tenaga kerja. Ini disebabkan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian secara skala propinsi mengalami pertumbuhan yang lambat
sedangkan wilayah ini sebagian besar pekerjanya menggantungkan hidup di
sektor ini. Faktor yang ada di propinsi mempengaruhi kondisi penyerapan
tenaga kerja wilayah (faktor eksternal).

Di wilayah pantai Timur memiliki potensi yang cukup baik dalam


menyerap tenaga kerja. Walaupun terjadi berbagai perubahan dalam
perekonomian, tetapi komponen proportional shift bernilai negatif. Faktor
luar banyak mendukung keadaan ini karena wilayah ini mengalami
pertumbuhan yang baik pada sektor perdagangan, sedangkan diketahui di
lingkup propinsi sektor ini tumbuh sangat cepat.
65

Tabel 12 : National Share, Proportional Share dan Differential


Shift Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara (orang)

Sektor National Proportional Differential Jumlah


Share Share Shift

1. Pertanian 292.589 - 153.780 - 155.745 - 16.936


2. Penggalian 3.378 - 359 4.716 7.736
3. Manufaktur 58.677 24.713 23.314 106.704
4. Utiliti 2.215 - 486 - 521 1.208
5. Konstruksi 25.631 3.973 3.769 33.373
6. Perdagangan 89.109 131.087 43.283 263.479
7. Tranportasi & 32.866 26.355 4.887 64.108
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 4.489 - 8.711 - 863 - 5.084
9. Jasa Sosial 90.794 57.594 11.404 159.792
10. Lainnya 94 197 19.078 19.369

Jumlah 599.843 80.583 - 46.677 633.749

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Differential shift component (D), merupakan komponen “lokasional”


atau “wilayah” adalah sisa lebih. Komponen ini mengukur besarnya shift
netto wilayah yang diakibatkan oleh sektor-sektor ekonomi tertentu tumbuh
lebih cepat atau lebih lambat di wilayah bersangkutan dibandingkan tingkat
propinsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lokasional intern. Jadi, satu
wilayah yang mempunyai keuntungan-keuntungan lokasional, seperti
sumberdaya yang melimpah/efisien, akan mempunyai differential shift
component yang positip, sedangkan wilayah yang secara lokasional tidak
menguntungkan akan mempunyai komponen yang negatif.
66

Kalau kita kembali ke Tabel 11 di atas, akan terlihat differential shift


wilayah pantai Barat Sumatera Utara bernilai positip. Keadaan ini banyak
didukung oleh keuntungan lokasional karena sektor utama yang paling
mendukung, yakni pertanian, paling banyak menyerap tenaga kerja.
Kuntungan lokasional sektor perdagngan dan jasa sosial turut serta dalam
menyerap tanaga keraja wilayah.

Sektor pertambangan, perhubungan dan komunikasi kurang nemiliki


keuntungan lokasional. Hal ini banyak dikarenakan oleh kecenderungan
berbagai kegiatan transprotasi berpusat di wilyah lain. Demikian pula sektor
utiliti dan konstruksi terlihat differential shift-nya negatif.

Secara lokasional di wilayah Pantai Timur sektor industri,


perdagangan, perhubungan dan komunikasi cenderung lebih
menguntungkan. Perkembangan yang terjadi memang mendukung wilayah
ini seperti semakin banyaknya pendirian industri, pusat-pusat perdagangan
dan pembangunan sarana transportasi, semakin banyaknya jasa angkutan
baik darat, laut maupun udara. Dengan demikian semakin tumbuh
penyerapan tenaga kerja sektor ini secar lokasional. Sama halnya dengan
komunikasi, pertumbuhan permintaan jasa komunikasi mendorong
peningkatan penggunaan tenaga kerja sektor ini, seperti penyediaan jasa
telepon seluler.

Tidak demikian halnya sektor pertanian yang secara lokasional sangat


tidak menguntungkan dalam penyerapan tenaga kerja. Seperti diuraikan di
atas, pergeseran angkatan kerja muda ke sektor lain menyebabkan turunnya
penyerapan tenaga kerja sektor ini. Selain itu semakin besarnya lahan
pertanian yang dikonversi menjadi penggunaan lain mempersempit peluang
kerja di sektor ini.
67

Kedua komponen shift ini memisahkan unsur-unsur pertumbuhan


wilayah yang bersifat ekstern dan yang bersifat intern, di mana proportional
shift merupakan dampak dari adanya pengaruh unsur-unsur “luar” yang
bekerja dalam skala propinsi, dan differential shift merupakan dampak dari
adanya pengaruh unsur-unsur yang bekerja khusus di wilayah tersebut.

Dengan hasil analisis di atas, dapat diketahui secara keseluruhan


wilayah pantai Barat dan Timur Sumatera Utara mengalami pertumbuhan
lapangan pekerjaan, namun pada beberapa sektor mengalami penurunan.
Sektor penggalian mengalami penurunan di wilayah pantai Barat, demikian
pula dengan sektor pertanian dan jasa keuangan di wilayah pantai Timur.
Perubahan-perubahan ini diakibatkan adanya faktor dari dalam sendiri,
berupak kekuatan dan kelemahannya, maupun faktor dari luar berupa
hambatan dan peluang.
68

Proyeksi Pertambahan Lapangan Kerja Wilayah Pantai Barat


Sumatera Utara Tahun 2004
Perubahan Karena Faktor :
Lap. Kerja Lap. Kerja
Sektor
1999 National Proportional Differential 2004
Share Share Shift

1. Pertanian 816.009 173.429 - 108.494 111.207 992.152

2. Penggalian 2.643 562 - 155 - 10.381 - 7.330


3. Manufaktur 24.033 5.108 985 713 30.839
4. Utiliti 679 144 - 54 - 56 714
5. Konstruksi 10.537 2.239 - 106 - 987 11.683
6. Perdagangan 78.209 16.622 28.289 3.775 126.895
7. Tranportasi &
24.382 5.182 - 606 - 1.005 27.953
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 1.200 255 - 64 428 1.819
9. Jasa Sosial 70.065 14.891 5.821 2.641 93.418
10. Lainnya 20 4 -4 - 307 - 287

Jumlah 1.027.777 218.437 - 74.387 106.029 1.277.855


69

Proyeksi Pertambahan Lapangan Kerja Wilayah Pantai Barat


Sumatera Utara Tahun 2004

Perubahan Karena Faktor :


Lap. Kerja Lap. Kerja
Sektor
1999 National Proportional Differential 2004
Share Share Shift

1. Pertanian 982.512 208.817 - 130.632 - 168.138 892.559


2. Penggalian 19.276 4.097 - 1.127 5.443 27.689
3. Manufaktur 307.137 65.277 12.588 29.224 414.227
4. Utiliti 8.775 1.865 - 693 - 591 9.356
5. Konstruksi 120.926 25.701 - 1.213 4.532 149.946
6. Perdagangan 567.865 120.690 205.400 68.138 962.093
7. Tranportasi & 176.375 37.486 - 4.382 5.805 215.283
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 10.251 2.179 - 546 - 1.000 10.884
9. Jasa Sosial 469.935 99.877 39.040 14.775 623.627
10. Lainnya 19.689 4.185 - 4.121 19.140 38.893

Jumlah 2.682.741 570.173 114.315 - 22.672 3.344.558


68

Ketimpangan Wilayah

Ketimpangan wilayah (regional income disparity) diukur dengan


menggunakan indeks Williamson. Indeks ini menggambarkan suatu indeks
tertimbang dari koefisien variasi yang mengukur dispersi pendapatan
perkapita wilayah terhadap rata-rata pendapatan perkapita propinsi dan
jumlah penduduk wilayah terhadap seluruh penduduk propinsi.

Indeks ini berkisar antara nol dan satu, di mana pada kesimpulan
akhirnya menyatakan semakin tinggi nilai indeks tersebut maka ketimpangan
pendapatan wilayah semakin besar. Dan sebaliknya semakin rendah nilainya
maka ketimpangan semakin kecil, dengan kata lain pendapatan propinsi yang
ada sudah dibagi lebih merata di antara wilayah.

Ketimpangan wilayah, seperti telah dikemukakan pada bagian


terdahulu, dipengaruhi oleh faktor sosial demografi, aktivitas ekonomi dan
fisik daerah. Faktor sosial-demografi yang diamati adalah kepadatan
penduduk, penduduk berusia 10 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan
menengah dan tinggi, tingkat pasrtisipasi angkatan kerja. Faktor aktivitas
ekonomi yang dianggap turut mempengaruhi ketimpangan wilayah adalah
proporsi PDRB sektor pertanian dan industri serta produktivitas pekerja.
Sedangkan faktor fisik lokasi yang diamati adalah kerapatan jalan yaitu
panjang jalan per luas area wilayah.

Perkembangan di wilayah pantai Barat menunjukkan ketimpangan


yang terjadi mengalami penurunan di tahun 1995 dan tertinggi di tahun
1997. Kerapatan jalan berkisar 0,04 sampai 0,09 menggambarkan panjang
jalan dalam kondisi baik dan sedang dibandingkan dengan luas wilayah.
Penduduk yang menamatkan pendidikan menengah dan tinggi di wilayah ini
meningkat dari tahun 1993 sebesar 7,55 persen menjadi 12,67 persen tahun
69

1999. Kondisi ini menunjukkan semakin baik pendidikan yang ada di sana,
baik sarana-prasarana maupun keinginan masyarakat sendiri untuk
bersekolah. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari Tabel 13 di bawah ini:

Tabel 13 : Perkembangan Indeks Williamson Wilayah Pantai


Barat Sumatera Utara dan Berbagai Faktor Yang
Mempengaruhinya Tahun 1993 - 1999

Tahun Vw RD PD EDU TP SA SM Pro

1993 0,110405 0,08 31,44 7,55 65,34 41,21 13,95 2.927.532,64


1994 0,102522 0,08 31,87 7,62 64,25 39,84 14,69 3.215.547,47
1995 0,092228 0,04 32,31 6,24 65,39 39,56 14,93 3.293.634,01
1996 0,094536 0,05 33,03 9,33 66,02 38,89 15,14 6.667.739,19
1997 0,158350 0,09 33,81 11,55 65,94 39,53 14,92 3.827.863,75
1998 0,141123 0,08 34,85 9,93 58,65 43,54 14,25 3.359.088,59
1999 0,142159 0,09 35,91 12,67 59,25 43,68 14,30 3.275.382,81

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Tabel 14 : Perkembangan Indeks Williamson Wilayah Pantai


Timur Sumatera Utara dan Berbagai Faktor Yang
Mempengaruhinya Tahun 1993 - 1999

Tahun Vw RD PD EDU TP SA SM Pro

1993 0,068943 0,16 431,69 18,91 46,35 16,78 22,73 2.982.422,87


1994 0,063687 0,18 437,54 19,56 46,65 16,67 23,01 3.027.873,03
1995 0,074173 0,12 443,39 18,81 45,98 16,30 23,85 3.785.991,45
1996 0,075624 0,15 449,43 22,77 47,05 16,53 23,22 7.047.141,54
1997 0,085158 0,19 456,07 24,93 43,36 16,90 24,08 4.934.518,88
1998 0,108099 0,22 465,40 23,70 42,35 20,18 23,39 4.876.798,95
1999 0,118864 0,21 474,56 24,63 43,12 20,59 23,43 4.797.559,06

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


70

Keterangan :
Vw = Indeks Williamson
RD = Kerapatan kabupaten dengan kondisi baik dan sedang jalan (Km/Km2)
PD = Kepadatan penduduk (jiwa/Km2)
EDU = Penduduk 10 tahun ke atas berpendidikan SLTA dan ke atas (orang)
TP = Tingkat partisipasi angkatan kerja (%)
SA = Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB (%)
SM = Pangsa sektor pengolahan terhadap PDRB (%)
Pro = Produkstivitas pekerja (rupiah per orang)

Melalui Tabel 14 terlihat kerapatan jalan dan kepadatan penduduk di


wilayah pantai Timur jauh lebih baik dibandingkan di wilayah pantai Barat.
Penduduk berusia 10 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan menengah
dan tinggi sudah lebih dari 20 persen, namun tingkat partisipasi angkatan
kerja rendah. Sektor pertanian kontribusinya terhadap PDRB sejak tahun
1998 mencapai 20 persen padahal pada tahun-tahun sebelumnya sekitar 16
persen, sedangkan sektor industri tidak begitu banyak perubahan.
Menyimak perkembangan produktivitas di wilayah ini, telah terjadi perbaikan
produktivitas selama tahun 1993 hingga tahun 1999.

Analisis yang dilakukan terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi


ketimpangan wilayah menggunakan data berkala tahun 1993 sampai 1999,
diketahui hanya 2 variabel yang mempengaruhi secara signifikan.
Pembentukan model stepwise dengan 7 variabel prediktor menghasilkan
persamaan regresi tunggal. Hal ini dikarenakan terdapat multycollinearity
antar variabel prediktor yang dimasukkan ke persamaan, selain karena
penggunaan observasi yang terlalu kecil. Untuk memodifikasi model
digunakan transformasi logaritma tujuannya selain mengurangi standard
error of estimate juga menghindari heteroscedasticity di dalam model. Hasil
regresi ketimpangan wilayah pantai Barat adalah :
71

V̂ = Ln Vw = 1,540 – 0,359 Ln Pro* + 0,791 Ln Edu***


(- 2,463) (4,960)
R2 = 0,870
F = 13,394
* = signifikan pada pengujian 10 persen
** = signifikan pada pengujian 5 persen
*** = signifikan pada pengujian 1 persen

Nilai F hitung sebesar 13,394 signifikan pada level 5 persen berarti


variabel prediktor yang dimasukkan ke dalam persamaan tersebut bersama-
sama mempengaruhi variabel dependen. Koefisien determinasi 0,87 persen
menggambarkan variasi variabel prediktor mempengaruhi variasi variabel
dependen sekitar 87 persen sedangkan error term berperan sekitar 13
persen. Rendahnya koefisien determinasi ini karena masih banyak variabel
lain yang tidak disertakan selain itu obeservasi terlalu kecil.

Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan ketimpangan


wilayah pantai Barat Sumatera Utara. Pengujian terhadap variabel prediktor
ini menunjukkan bahwa pengaruhnya terhadap variabel dependen signifikan
pada level 10 persen, dengan nilai t hitung sebesar -2,463. Produktivitas
pekerja yang tinggi akan mendorong pada peningkatan pendapatan perkapita
masyarakat. Peningkatan produktivitas pekerja sekitar 10 persen akan
menurunkan indeks ketimpangan wilayah sekitar 3,59 persen. Hasil ini
menguatkan temuan Yuril (1994) yang menyimpulkan faktor dominan
penyebab ketimpangan wilayah di Indonesia adalah perbedaan produktivitas
pekerja.

Suatu fenomena yang bersifat paradoks muncul dari hasil model


regresi ketimpangan wilayah. Secara umum semakin besar jumlah penduduk
72

usia kerja yang berpendidikan tinggi akan menurunkan ketimpangan wilayah


tersebut. Namun di wilayah pantai Barat Sumatera Utara, hasil regresi
menunjukkan peningkatan jumlah penduduk usia kerja berpendidikan SLTA
dan ke atas malah memperbesar ketimpangan wilayah. Penduduk usia kerja
yang berpendidikan cukup baik sebenarnya akan mendorong munculnya
sektor-sektor produktif di masyarakat. Tetapi banyaknya jenis pekerjaan
yang dikerjakan tidak sesuai dengan pendidikan menyebabkan
underemployment di masyarakat yang akhirnya memperbesar beban
ketergantungan.

Fenomena ini memperkuat temuan Todaro (1998) yang melihat


perluasan kesempatan pendidikan yang cepat tidak memperbaiki kondisi
dasar penduduk di negara-negara berkembang. Kemiskinan absolut yang
menjerat mereka justru menjadi semakin kronis dan tersebar ke mana-mana.
Ketimpangan pendapatan terus melebar dan proporsi pengangguran terus
melonjak baik terbuka maupun terselubung. Dan yang paling menyedihkan
jumlah penganggur yang “terdidik” semakin bertambah banyak.

Variabel prediktor yang dimasukkan ke dalam persamaan ketimpangan


wilayah pantai Timur mampu bersama-sama mempengaruhi variabel
dependen dengan nilai F hitung sebesar 57,457 signifikan pada level 1
persen. Variasi variabel prediktor mempengaruhi variasi variabel dependen
sekitar 96,6 persen dan 3,4 persen lainnya dipengaruhi oleh error term. Hal
ini terlihat dari hasil regresi ketimpangan wilayah pantai Timur di bawah ini :

V̂ = Ln Vw = - 31,410 + 0,929 Ln Sa* + 4,296 Ln Pd***


(2,334) (3,646)
R2 = 0,966
F = 57,457
73

Perubahan struktur ekonomi wilayah ini bergerak meninggalkan sektor


pertanian menuju sektor industri yang mantap dan sektor jasa yang semakin
besar perannya. Peningkatan proporsi sektor pertanian cenderung
memperbesar indeks ketimpangan wilayah, ini terlihat dari koefisien regresi.
Pengujian statistik yang dilakukan terhadap variabel prediktor ini
menunjukkan variabel ini signifikan pada level 10 persen.

Proporsi penduduk perkotaan menurut Susanto (1983) mempengaruhi


ketimpangan wilayah. Demikian pula Irfan (1998) mendapati kepadatan
penduduk memperbesar ketimpangan wilayah Sumatera Utara. Regresi di
atas memperkuat pendapat-pendapat tersebut karena koefisien kepadatan
penduduk bernilai positip. Selain itu variabel ini sangat peka pengaruhnya
terhadap ketimpangan wilayah, peningkatan kepadatan penduduk sekitar 10
persen akan meningkatkan indeks ketimpangan sekitar 42,96 persen. Secara
statistik variabel ini sangat signifikan pengaruhnya pada level 1 persen.

Perubahan-perubahan terhadap variabel prediktor dalam model di atas


dapat menyebabkan pergeseran indeks ketimpangan. Dengan demikian,
seperti yang dinyatakan Ahluwalia (1973), tekanan demografi dan perubahan
struktur ekonomi mempunyai pengaruh yang berarti terhadap ketimpangan.
74

Potensi Wilayah

Metode keuntungan lokasi (Location Quotient/LQ) merupakan metode


yang umum digunakan dalam mengidentifikasi sektor yang potensil di suatu
wilayah. Namun metode ini kurang baik jika dipisahkan dari unsur
pertumbuhan sektor-sektor baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun
pembentukan PDRB atas dasar harga berlaku (current price). Tabel 15
sampai dengan Tabel 24 merupakan hasil perhitungan LQ berdasarkan PDRB
dan tenaga kerja menurut sektor dan wilayah.

Tabel 15 : Perkembangan LQ PDRB Wilayah Pantai Barat


Sumatera Utara Tahun 1993 - 1999

Tahun
Sektor
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

1. Pertanian 1,5151 1,4943 1,5494 1,5325 1,5340 1,5412 1,5199


2. Pertambangan 0,1179 0,1680 0,3680 0,3444 0,3312 0,3418 0,3179
3. Industri 0,6496 0,6600 0,6170 0,6003 0,6181 0,6306 0,5918
4. Utiliti 0,3651 0,4619 0,6089 0,6235 0,5746 0,5507 0,5648
5. Konstruksi 0,5796 0,7849 1,3438 1,3476 1,3973 1,3259 1,3629
6. Perdagangan 1,1017 0,9925 0,8775 0,8923 0,8650 0,8477 0,8744
7. Transportasi & Komunikasi 0,7833 0,6865 0,6185 0,6633 0,6566 0,6741 0,7131
8. Jasa Keuangan 1,0098 0,9812 0,9664 1,0036 0,9884 1,0505 1,1847
9. Jasa Sosial 1,1643 1,2440 1,2488 1,2437 1,1854 1,1288 1,1815

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Perkembangan nilai LQ PDRB di wilayah pantai Barat umumnya tidak


banyak mengalami perubahan. Perubahan kecil terjadi pada sektor
konstruksi dan perdagangan. LQ tenaga kerja juga demikian hanya terjadi
fluktuasi pada sektor pertambangan dan penggalian. Sektor pertanian
75

merupakan sektor yang memiliki nilai LQ tenaga kerja di atas 1 selama


periode 1993 – 1999.

Sektor pertanian adalah sektor yang paling menguntungkan untuk


dikembangkan dan menjadi prioritas utama di wilayah ini karena memiliki LQ
PDRB dan LQ penyerapan tenaga kerja lebih dari satu terutama di Nias,
Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah dengan produktivitas tenaga kerja
masing-masing kabupaten Rp. 3.290.278, Rp.2.995.492 dan Rp. 6.087.864
per pekerja. Di Mandailing Natal sektor utamanya juga adalah pertanian
dengan LQ PDRB lebih dari satu.

Tabel 16 : Perkembangan LQ Tenaga Kerja Wilayah Pantai Timur


Sumatera Utara Tahun 1993 - 1999

Tahun
Sektor
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

1. Pertanian 1,3850 1,3819 1,4134 1,4795 1,4565 1,4924 1,4930


2. Pertambangan 0,8846 1,2609 1,7738 0,7447 0,6410 1,3208 0,5200
3. Industri 0,1039 0,3289 0,2021 0,2649 0,2800 0,2984 0,3214
4. Utiliti 0,2143 0,3226 0,3421 0,2444 0,3333 0,2951 0,2917
5. Konstruksi 0,4648 0,3827 0,4150 0,2614 0,5174 0,3451 0,3377
6. Perdagangan 0,4751 0,5069 0,5746 0,5522 0,5389 0,5052 0,4654
7. Transportasi & Komunikasi 0,4735 0,5371 0,4835 0,4831 0,6651 0,4325 0,4938
8. Jasa Keuangan 0,2955 0,2593 0,2955 0,1395 0,1600 0,2400 0,4138
9. Jasa Sosial 0,4373 0,5016 0,4948 0,4221 0,5353 0,4262 0,4903

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Di Sibolga sektor yang paling menguntungkan adalah utiliti,


perhubungan dan telekomunikasi, jasa keuangan serta jasa sosial. Selain hal
di atas sebagai prioritas kedua, LQ PDRB lebih dari 1, adalah sektor
76

konstruksi di Nias, Mandailing Natal dan Sibolga. Jasa keuangan juga dapat
dikembangkan di Nias, Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan kemudian jasa
sosial di Nias, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Sektor perdagangan
menguntungkan dikembangkan di Sibolga karena akan menyerap tenaga
kerja yang lebih besar dengen LQ penyerapan tenaga kerja lebih dari satu.

Tabel 17 : LQ PDRB Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Barat


Sumatera Utara Tahun 1999

Sektor Nias M. Natal T. Selatan T. Tengah Sibolga WP Barat

1. Pertanian 1,8407 1,2790 1,3894 1,8356 0,9978 1,5199


2. Pertambangan 0,3065 0,4925 0,3527 0,1192 0,0421 0,3179
3. Industri 0,0698 0,8537 0,8479 0,5638 0,4035 0,5918
4. Utiliti 0,8269 0,2399 0,3515 0,4103 2,2298 0,5648
5. Konstruksi 2,0857 1,2402 0,8709 0,6030 3,7734 1,3629
6. Perdagangan 1,0652 0,9875 0,7546 0,7555 0,8531 0,8744
7. Transportasi &
0,4907 0,5069 0,9195 0,4102 1,3637 0,7131
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 1,3056 1,3159 1,1273 0,4765 2,2224 1,1847
9. Jasa Sosial 1,4118 0,7589 1,0360 1,5745 1,5516 1,1815

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Pengembangan potensi wilayah juga harus memperhatikan


produktivitas pekerja. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling
rendah produktivitasnya, hal ini sesuai dengan the law of diminishing
returns. Penyebabnya keterbatasan sumberdaya lahan produktif tetapi
pekerja yang bekerja di sektor tersebut semakin bertambah akhirnya
produktivitas menjadi rendah.
77

Tabel 18 : Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Sektor Utama


Tahun 1999 (Rupiah per pekerja)

Daerah Pertanian Pengolahan Jasa T. Kerja

Nias 3.290.278 22.611.773 19.136.760 5.562.083


T. Selatan 2.995.492 51.308.339 11.295.045 6.172.296
T. Tengah 6.087.864 30.442.748 10.334.987 8.470.040
Sibolga 18.827.400 50.449.033 9.582.601 15.279.282
WP. Barat 4.008.521 50.167.899 14.901.548 7.553.161
S. Utara 6.073.510 38.507.649 11.629.899 11.650.384

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Tabel 19 : LQ Tenaga Kerja Daerah-daerah Di Wilayah Pantai


Barat Sumatera Utara Tahun 1999

Sektor Nias T. Selatan T. Tengah Sibolga WP Barat

1. Pertanian 1,6222 1,4925 1,3313 0,4222 1,4930


2. Pertambangan 0,9800 0,2600 0,3000 0,2000 0,5200
3. Industri 0,1758 0,3709 0,4574 0,7363 0,3214
4. Utiliti 0,0001 0,2083 0,9583 2,5833 0,2917
5. Konstruksi 0,3213 0,2557 0,6459 0,9115 0,3377
6. Perdagangan 0,2538 0,4832 0,6398 2,2361 0,4654
7. Transportasi & 0,2542 0,5583 0,6938 1,6313 0,4938
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 0,6207 0,1724 0,0201 3,5517 0,4138
9. Jasa Sosial 0,3904 0,4558 0,6988 1,6729 0,4903

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


78

Perkembangan angka LQ sektor pertambangan, utiliti, konstruksi dan


jasa keuangan di wilayah pantai Timur relatif stabil dan berada di atas 1, baik
LQ PDRB. Selain pertanian LQ tenaga kerja di wilayah ini lebih dari 1, dan
nilai LQ PDRB sektor pertanian kurang dari 1. Sedangkan sektor
pertambangan, perhubungan dan komunikasi serta jasa keuangan mengalami
penurunan angka LQ PDRB. Sektor konstruksi merupakan sektor yang paling
menonjol peranannya terutama tahun 1997 dengan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat terhadap bangunan.

Tabel 20 : Perkembangan LQ PDRB Wilayah Pantai Timur


Sumatera Utara Tahun 1993 - 1999

Tahun
Sektor
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

1. Pertanian 0,8962 0,9121 0,9376 0,9546 0,9563 0,9570 0,9633


2. Pertambangan 1,4204 1,6885 4,3129 3,4701 1,9080 3,9374 3,2888
3. Industri 1,0585 0,9462 0,8697 0,8390 0,9975 0,9912 0,9575
4. Utiliti 1,2094 1,5274 2,0023 1,8982 1,6155 1,6179 1,6878
5. Konstruksi 1,1964 1,6961 2,7973 2,7448 2,7874 3,0145 3,2078
6. Perdagangan 0,9594 0,8723 0,7634 0,7793 0,6975 0,6157 0,6427
7. Transportasi & Komunikasi 1,0005 0,9613 0,8893 0,9706 0,9501 0,9919 0,9135
8. Jasa Keuangan 1,0491 1,0655 1,0513 1,0657 0,9842 1,0749 1,0688
9. Jasa Sosial 0,7857 0,8300 0,8531 0,8610 0,8228 0,8263 0,8811

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


79

Tabel 21 : Perkembangan LQ Tenaga Kerja Wilayah Pantai Timur


Sumatera Utara Tahun 1993 - 1999

Tahun
Sektor
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

1. Pertanian 0,7528 0,7923 0,7215 0,6862 0,6631 0,6760 0,6886


2. Pertambangan 1,0962 1,0652 0,9167 1,3511 1,1282 1,0189 1,4400
3. Industri 1,5194 1,4421 1,5400 1,4977 1,5445 1,4750 1,5728
4. Utiliti 1,3333 1,4194 1,3684 1,4222 1,4762 1,5246 1,3750
5. Konstruksi 1,3750 1,4167 1,4582 1,4742 1,4215 1,4620 1,4787
6. Perdagangan 1,3385 1,2176 1,2770 1,2298 1,3484 1,3429 1,2948
7. Transportasi & Komunikasi 1,4766 1,3191 1,3242 1,3702 1,3256 1,3797 1,3688
8. Jasa Keuangan 1,6818 1,4259 1,5000 1,5814 1,6200 1,5400 1,3103
9. Jasa Sosial 1,3036 1,2216 1,3205 1,3192 1,2883 1,3242 1,2595

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Sektor pertanian juga menjadi prioritas utama di Labuhan Batu,


Asahan dan Langkat. Di Kota Tanjung Balai sektor jasa menguntungkan
untuk dikembangkan seperti sektor jasa keuangan, jasa sosial, perhubungan
dan telekomunikasi serta sektor konstruksi. Kota Medan juga memiliki
keuntungan di sektor-sektor tersebut ditambah dengan sektor utiliti.
Pertambangan dan penggalian menjadi sektor prioritas, selain pertanian, di
Kabupaten Langkat. Sedangkan sektor industri merupakan sektor unggulan
bagi Kabupaten Deli Serdang dengan LQ PDRB dan penyerapan tenaga kerja
lebih dari satu.
80

Tabel 22 : LQ PDRB Daerah-daerah Di Wilayah Pantai Timur


Sumatera Utara Tahun 1999

Sektor L. Batu Asahan D. Serdang Langkat T. Balai Medan WP Timur

1. Pertanian 1,1574 1,3539 1,2418 1,8852 1,0255 0,1563 0,9633


2. Pertambangan 0,6601 0,4354 1,3318 4,4316 0,3291 0,0181 3,2888
3. Industri 1,5014 1,2331 1,1470 0,4715 0,7607 0,6442 0,9575
4. Utiliti 0,1881 0,2044 0,1852 0,4358 1,8378 4,8167 1,6878
5. Konstruksi 0,4668 0,5190 0,9421 0,3351 1,4853 1,2713 3,2078
6. Perdagangan 0,5241 0,7059 0,8221 0,4981 0,7884 1,7550 0,6427
7. Transportasi &
0,6816 0,3964 0,3828 0,3874 1,4404 2,3209 0,9135
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 0,2142 0,3784 0,4654 0,4878 1,0774 2,5794 1,0688
9. Jasa Sosial 0,5665 0,5934 0,7774 0,8186 2,0092 1,2844 0,8811

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Tabel 23 : Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Sektor Utama


Tahun 1999 (Rupiah per pekerja)

Daerah Pertanian Pengolahan Jasa T. Kerja

L. Batu 8.713.872 134.346.824 14.678.573 18.814.761


Asahan 10.306.970 83.644.896 9.121.103 15.428.246
D. Serdang 7.239.409 11.752.465 4.251.089 7.088.785
Langkat 10.171.221 24.682.319 8.068.579 11.550.869
T. Balai 24.023.784 47.985.872 10.389.455 17.517.481
Medan 20.871.411 21.935.275 13.148.688 15.167.421
WP Timur 9.373.056 34.523.643 7.657.014 12.853.296

Sumber : Analisis Data BPS, 2001

Prioritas kedua bagi pembangunan Labuhan Batu dan Asahan adalah


sektor industri terutama agroindustri. Pembangunan sektor pertanian
81

mendorong berkembangnya sektor industri di daerah ini. Selain itu di Asahan


output PT. Inalum cukup berarti bagi penciptaan PDRB daerah ini. Di Deli
Serdang sektor pertanian masih cukup dominan dalam pembentukan PDRB
bersama dengan sektor pertambangan. Sektor utiliti di Tanjung Balai
menguntungkan dari sisi PDRB demikian pula dengen sektor pertanian.

Medan sebagai ibukota Sumatera Utara memiliki keuntungan yang baik


untuk sektor utiliti, konstruksi, perdagangan, perhubungan dan komunikasi,
jasa keuangan dan jasa sosial. Pembentukan PDRB banyak didukung sektor-
sektor ini dan penduduknya pun sebagian besar bekerja di sektor pelayanan.
Sektor utiliti yang terdiri listrik, air dan gas sebagian besar hanya tersedia di
kota besar seperti Medan, sehingga sangat menguntungkan bagi
pembangunan daerah ini.

Tabel 24 : LQ Tenaga Kerja Daerah-daerah Di Wilayah Pantai


Timur Sumatera Utara Tahun 1999

Sektor L. Batu Asahan D. Serdang Langkat T. Balai Medan WP Timur

1. Pertanian 1,3027 1,0564 0,6339 1,1160 0,3898 0,0592 0,6886


2. Pertambangan 1,3200 0,8600 0,4000 6,1200 0,5600 0,6600 1,4400
3. Industri 0,7390 0,6758 2,3626 0,9574 1,0879 1,8585 1,5728
4. Utiliti 0,9167 0,2500 1,6667 1,3333 0,7917 1,8750 1,3750
5. Konstruksi 0,2131 0,7082 2,1639 1,0164 1,0000 1,9344 1,4787
6. Perdagangan 0,7131 1,1034 1,0208 0,9474 2,1982 2,1297 1,2948
7. Transportasi &
1,0396 0,9063 1,4208 0,7313 3,1646 1,9542 1,3688
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 0,2414 0,2069 1,0690 0,2414 2,9310 3,2069 1,3103
9. Jasa Sosial 0,4939 0,9569 1,1596 0,5744 1,1323 2,2660 1,2595

Sumber : Analisis Data BPS, 2001


82

Kabupaten Asahan memiliki angka LQ PDRB sektor industri lebih dari 1


tetapi LQ tenaga kerja rendah, mengindikasikan sebagian besar output sektor
ini dihasilkan oleh perusahaan yang capital intensive. Ini ditunjukkan dari
produktivitas yang tinggi dari pekerja yang bekerja di sektor ini. Seperti
diketahui bahwa Asahan memiliki pabrik peleburan alumunium terbesar di
Indonesia yaitu PT. Inalum yang telah banyak memberi kontribusi terhadap
pembentukan PDRB tetapi kurang menyerap tenaga kerja lokal.

Banyak tenaga kerja di Tanjung Balai yang bekerja di sektor industri,


tetapi kontribusi sektor ini terhadap pembentuan PDRB masih rendah. Di
daerah ini banyak kebanyakan penduduk bekerja pelayanan seperti
perdagangan, perhubungan dan komunikasi, jasa keunagan dan jasa sosial
terlihat dari nilai LQ tenaga kerja daerah ini. Sektor yang potensial
dikembangkan adalah sektor konstruksi karena keuntungan lokasi dari PDRB
dan tenaga kerja lebih dari 1.
83

Output Elasticity of Employment


Ni ts tt si wpb su
1. Pertanian 0,4145 -1,9647 -0,2437 0,2661 0,2887 0,0413
2. Pertambangan -1,2332 0,9524 -1,1355 0,5323 0,6528 0,1793
3. Industri 1,6615 1,7669 -2,1221 -0,4774 2,0418 -0,1102
4. Utiliti -2,5105 8,188 3,5064 -0,3868 0,6281 0,5190
5. Konstruksi 1,2505 -1,2101 -3,7973 -1,6237 -0,1945 -0,2673
6. Perdagangan 2,2790 -1,233 -0,8053 -0,4375 0,2721 0,0922
7. Transportasi & 2,0945 -1,6245 -1,8431 -1,2168 1,0761 0,2672
Komunikasi
8. Jasa Keuangan -11,0901 -6,3922 -4,7433 0,0893 -1,3977 -0,2865
9. Jasa Sosial 1,9445 -0,5101 -0,7438 0,0450 0,6127 0,7530
Total 0,2615 -1,4346 -0,5176 -0,1575 0,0676 -0,1743

lb as ds lk tb md wpt
1. Pertanian -0,0888 0,0118 -0,9252 -0,128 -0,9362 0,4811 -0,2987
2. Pertambangan -0,4369 3,5718 1,3467 0,0572 0,0303 -1,4956 0,0156
3. Industri 1,4116 -0,6096 1,5169 -2,0092 -1,1775 -1,5099 0,484
4. Utiliti -0,9632 -1,6358 1,1649 -0,5952 -2,2749 -0,0021 0,4516
5. Konstruksi 0,0024 1,3043 0,9894 -0,3536 0,1131 -0,8585 0,2193
6. Perdagangan 0,7311 0,5003 0,6816 -1,6804 0,4907 -0,0395 0,2308
7. Transportasi & 0,7194 1,0357 1,1671 -0,274 0,3453 -0,8607 0,2083
Komunikasi
8. Jasa Keuangan 4,4586 0,6007 9,9103 -4,1869 0,154 0,2229 0,2893
9. Jasa Sosial 0,1580 0,6801 0,9613 0,2355 -0,7742 0,8892 0,8479
Total 0,1616 0,2126 0,1713 -1,8861 -0,2295 -0,3408 0,0055
PENUTUP

Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan tentang pembangunan dan ketimpangan


wilayah pantai Barat dan Timur Sumatera Utara memberikan beberapa
kesimpulan :
1. Wilayah pantai Barat dalam perkembangan ekonominya digolongkan pada
tipe wilayah terkebelakang dengan pertumbuhan yang lambat dan
pendapatan perkapita rendah sedangkan wilayah pantai Timur
digolongkan pada tipe wilayah maju dengan pertumbuhan cepat dan
pendapatan perkapita yang tinggi.
2. Wilayah pantai Barat dan Timur mengikuti pola pertumbuhan tidak
seimbang, di mana pertumbuhan sektor-sektor ekonomi tidak seragam.
3. Perekonomian utama wilayah pantai Barat berubah dari sektor pertaian ke
sektor industri sedikit diikuti sektor jasa. Di wilayah pantai Timur
perubahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan
sektor jasa.
4. Perubahan struktur tenaga kerja wilayah pantai Barat mengalami
kemajuan di sektor perdagangan, jasa sosial dan industri, tetapi
mengalami penurunan di sektor pertambangan. Demikian pula dengan di
wilayah pantai Timur, sektor perdagangan, perhubungan dan komunikasi,
jasa sosial, industri dan konstruksi mengalami kemajuan sedangkan
pertanian pertanian dan jasa keuangan mengalami penurunan.
5. Peralihan pangsa tenaga kerja wilayah Pantai Barat banyak didukung
faktor lokasional, yaitu komponen differential shift. Tetapi faktor
eksternal yaitu proportional shift menyebabkan kecilnya perubahan
pangsa tenaga kerja wilayah ini. Sebaliknya faktor eksternal mempercepat
84

peralihan pangsa tenaga kerja di wilayah pantai Timur, sedangkan faktor


lokasional memperlambat proses tersebut.
6. Produktivitas tenaga kerja menurunkan ketimpangan wilayah pantai Barat
dan jumlah penduduk perpendidikan menengah juga mempengaruhi
ketimpangan. Di wilayah pantai Timur proporsi PDRB sektor pertanian
dan kepadatan penduduk meningkatkan ketimpangan di wilayah tersebut.
7. Sektor pertanian memiliki keuntungan untuk dikembangkan di wilayah
pantai Barat kecuali di Sibolga. Di Kota Sibolga sektor yang
menguntungkan adalah utiliti, perhubungan dan komunikasi, jasa
keuangan dan sosial. Keuntungan lokasi sektor pertanian relatif tinggi di
Labuhan Batu, Asahan dan Langkat. Konstruksi, perhubungan dan
telekomunikasi, jasa-jasa menguntungkan dikembangkan di Tanjung Balai
dan Medan yang juga menguntungkan di sektor utiliti. Sektor industri
menguntungkan dikembangkan di Deli Serdang dan pertambangan serta
penggalian di Langkat.

Saran

Dari kesimpulan yang dihasilkan, dirumuskan beberapa saran kepada


pihak instansi pemerintah dan akademisi :

Kepada instansi pemerintah

1. Khususnya Bappeda, perlu memperhatikan pola pertumbuhan ekonomi


daerah. Pola pertumbuhan tidak seimbang dengan skala perioritas yang
tepat akan mendorong pembangunan ekonomi keseluruhan melalui
keterkaitan antar sektor. Pengembangan sumber daya manusia di
daerah akan mendorong meningkatnya produktivitas sehingga
ketimpangan dapat dikurangi. Selain itu penyebaran penduduk yang lebih
85

merata akan memperkecil ketimpangan wilayah demikian pula dengan


percepatan peralihan dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
2. Sektor-sektor yang banyak menguntungkan dari sisi tenaga kerja perlu
diperhatikan lebih serius karena akan lebih meratakan kesempatan
masyarakat bekerja dari pada sekedar menumbuhkan output daerah.
3. Di wilayah pantai Barat perlu dikembangkan sentra-sentra pertanian yang
dapat mendukung pertumbuhan sektor ini. Lembaga riset pertanian dan
institusi pemasaran bersama untuk produk-produk pertanian akan lebih
bermanfaat jika didirikan di wilayah ini. Demikian pula perlu memberikan
kemudahan investasi bagi para investor yang ingin mengembangkan
ekspor untuk produk pertanian dari wilayah ini, di samping itu pemerintah
harus memperbaiki prasarana transportasi dan telekomunikasi yang ada.
4. Industri pengolahan hasil perkebunan yang ada di wilayah pantai Timur
perlu didorong untuk memproduksi berbagai produk derivasi untuk
menembus pasar luar negeri sehingga memberikan nilai tambah dan
devisa. Karena selama ini hanya mengandalkan produk kasar sebagai
komoditi ekspor, padahal banyak lembaga riset di wilayah ini yang mampu
membuat produk-produk inovatif.

Kepada pihak akademis

1. Lembaga riset perguruan tinggi yang ada perlu memberikan sumbangan


pemikiran untuk pengembangan produk-produk yang berorientasi ekspor.
2. Peneliti lain dapat melanjutkan penelitian yang berkaitan dengan
pembangunan dan ketimpangan wilayah, khususnya perbedaan antara
kota dan kabupaten. Penelitian dalam lingkup yang lebih kecil tetapi
analisis lebih spesifik akan membantu pihak pemerintah dalam
merencanakan pembangunan.
86
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ananta, Aris, 1993. Ciri Demografis, Kualitas Penduduk, Dan Pembangunan


Ekonomi. Lembaga Demografi FE-UI, Jakarta.
Anwar, Effendi, 1996. “Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan”.
Prisma, Jakarta.
Arief, Sritua, 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi, UI-Press, Jakarta.
Arsyad, Lincolin, 1992. Ekonomi Pembangunan, STIE-YKPN, Yogyakarta.
Azis, Iwan Jaya, 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya Di
Indonesia, LPFE-UI, Jakarta.
Babbie, Earl, 1983. Practicing Social Research, 3rd Edition, Wadsworth
Publishing Company, California.

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara Dalam Angka 1998, Kantor Statistik
Sumatera Utara, Medan.
Baran, P.A., 1980. The Political Economic of Growth. Stanford Press.

Bendavid-Val, Avrom, 1991. Regional and Local Economic Analysis for


Practitioners, 4th Edition, Praeger Publisher, New York.
Borne, A., 1979. A Studies In Economic Development. Stanford Press.

Budiono, 1981. Teori Pertumnuhan : Suatu Seri Sinopsis Ilmu Ekonomi,


BPFE, Yokyakarta.
Dugary, Max, 1982. The Urban and Rural Movement. Prentice Hall.

Esmara, Hendra, 1986. Politik Perencanaan Pembangunan. Teori


Kebijaksanaan Dan Praktek. Gramedia, Jakarta.
Glasson, John, 1977. Pengantar Perencanaan Regional, LPFE-UI, Jakarta.
Gujarati, Damodar, 1995. Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta.
Hadjisuroso, 1994. “Konsep Dasar Pengembangan Wilayah Di Indonesia”,
dalam Prisma No. 8 Agustus, Jakarta.
Hall, Hill, 1989. Unity and Diversity Regional Economic Development: In
Indonesia Since 1970, Oxford University Press.
Hanafiah. T, 1982. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan,
Fakultas Pertanian-IPB, Bogor.

Heidemann, Claus, 1990. Regional Planning Methodology, Institut Für


Regionalwissenschaft Der Universität Karlsruhe.
Hicks, Ursula, 1967. Learning About Economic Development. Oxford
Economic Paper.

Irawan dan M. Suparmoko, 1992. Ekonomika Pembangunan, BPFE,


Yogyakarta.
Issard, Walter, 1960. Methods of Regional Analysis, MIT Press.
Jhingan, M.L., 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta.
Jhonson, H, Glenn, 1986. Research Methodology for Economists :Philosophy
and Practice, MacMillan Publishing Company, London.
Lewis, W. Arthur, 1980. Dasar-dasar Perencanaan Ekonomi Negara, Bhratara
Karya Aksara, Jakarta.
Madison, A., 1981. Economic Progress and Policy In Development Contries.
Central Press.

Nasution, Harmein, 1995. Studi Pengembangan Modal Di Wilayah Pantai


Barat Sumatera Utara, LP-USU, Medan.
Nourse, Hugh O., 1968. Regional Economics, McGraw Hill.
Richardson, Harry W., 1991. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional,
Terjemahan Paul Sitohang, LPFE-UI, Jakarta.
Salim, Emil, 1980. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan,
Idayu, Jakarta.
Sirojuzilam, 1994. Analisis Potensi dan Perkembangan Mebidang Menuju
Metropolitan Area, FE-USU, Medan.
_____, 1996. Arah dan Sasaran Pembangunan Mebidang Menuju
Metropolitan Area, FE-USU, Medan.
Sukirno, Sadono, 1985. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan, LPFE-UI Jakarta.
Syafrizal, 1997. “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional
Indonesia Bagian Barat”, dalam Prisma, Edisi 3 Maret, LP3ES, Jakarta.
Thee Kian Wee, 1981. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan : Beberapa
Pendekatan Alternatif, LP3ES, Jakarta.
Todaro, Micahel P., 1998. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Edisi Ke-
3, Erlangga, Jakarta.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai