Anda di halaman 1dari 14

KETENTUAN-KETENTUAN BAGI MUJTAHID

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
ASWAJA dan Ke NU an
Yang dibina oleh H. Musta’in, M.PdI

Oleh
Anita Zakya Suryaningtyas (1886206026)
Ciput Dyan Saputro (1886206042)
Erla Yunanda Saputri (1886206037)
Muhammad Adib Khoirul Ngibad (1822201010)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN SOSIAL

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

Desember 2018
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih


lagi maha penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
meyelesaikan makalah tentang pelestarian ajaran ahlussunnah
waljama’ah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, sehigga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami sangat ber terimakasih kepada semua
pihak yang berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas
dari itu, kami juga menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
banyak kekurangan baik dari segi susunan kata dan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang
pelestarian ajaran ahlussunnah waljama’ah dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca.

Blitar, 24 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................i

DAFTAR ISI
ii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1

1.2 Rumusan Masalah


1

1.3 Tujuan
2

2. PEMBAHASAN

2.1 Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid


2

2.2 Tingkatan Mujtahid


3

2.3 Pandangan Ulama Ahlussunnah Waljama’ah Terhadap Kriteria


Mujtahid 4

3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
6

3.2 Saran
7

DAFTAR RUJUKAN
8
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin
untuk dikritisi, apalagi hal-hal yang berhubungan dengan
hukum syara atau ibadah. Untuk itu, dalam mencari suatu
kunci dalam pemecahan masalah, ulama biasanya
menggunakan alat yang bisa memecahkan masalah tersebut
antara lain dengan menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma dan
qiyas. Di samping itu, mereka juga harus melakukan ijtihad
untuk memecahkan sebuah problematika tersebut. Maka dari
itu, para ulama membuat terobosan-terobosan atau langkah-
langkah untuk melakukan ijtihad sebagai solusi penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi umat Islam.

Itu semua tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum
yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman. Oleh karena
itu, sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui
hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama, yaitu al-Qur’an dan
al-hadis dengan jalan istinbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli
fikih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk memperoleh persangkaan kuat
terhadap sesuatu hukum agama. Sudah sepatunya kita
berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menggali
hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah
maupun yang kekinian.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa syarat-syarat untuk menjadi mujtahid?
1.2.2 Apa saja tingkatan mujtahid?
1.2.3 Bagaimana pandangan ulama Ahlussunnah Waljama’ah
tentang kriteria menjadi mujtahid?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.3.1 Mengetahui apa saja syarat-syarat untuk menjadi
mujtahid
1.3.2 Mengetahui apa saja tingkatan mujtahid
1.3.3 Mengetahui dan memahami pandangan ulama
Ahlussunnah Waljama’ah tentang kriteria mujtahid
2. PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat
yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Mujtahid adalah
orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq
(penerapan hukum). Seseorang yang menggeluti bidang fikih
tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan
memenuhi beberapa syarat, jadi tidak sembarang orang yang
bisa melakukan proses ijthad. Berikut adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi yaitu:

1) Mengetahui dan Menguasai Pengetahuan Tentang al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai


fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
Barang siapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia
tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an
tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa
melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap
ayat-ayat hukum. Maka, seorang Mujtahid ketika hendak
menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an harus menguasai
ilmu-ilmu terkait dengan al-Qur’an. Yakni ilmu seputar
makna teks al-Qur’an, ilat dan tujuan yang terdapat
didalamna, asbabul nuzul, nasikh-mansukh dan mampu
mengidenifikasi ayat-ayat hukum.

2) Mengetahui As-Sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-


Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Saw .
Hadist dan sunnah merupakan sumber kedua setelah al-
Qur’an. Maka , ketika hendak menggali hukum Islam dari
teks-teks hadits, seorang Mujtahid harus menguasai seluruh
ilmu terkaid dengan hadits. Mulai dari menguasi mustalahul
hadits, kritik sanad dan matan hadits, ilmu jarw wat ta’dil.

3) Mengetahui Bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam


rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih
mendalam karena al-Qur’an dan Haits sampai kepada kita
menggunakan media bahasa Arab.

4) Mengetahui Ushul Fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah


ilmu Ushul Fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh
para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara
pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya.

5) Mengetahui Tempat-Tempat Ijma’

Ijma’ adalah sumber syari’at ketiga setelah al-Qur’an dan


Hadits. Ijma’ ulama termasuk hal yang harus dirujuk oleh
Mujtahid ketika hendak menetkan sebuah hukum. Bagi
seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang
telah disepakati oleh para ulama sehingga tidak terjerumus
dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan hasil
ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil
guna menghindari syara yang berseberangan dengan nash
tersebut.

2.2 Tingkatan Mujtahid


Tingkatan Mujtahid menurut ulama ushul fiqh:
1) Mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai
kemampuan untuk menggali hukum syara langsung dari
sumbernya yang pokok yakni
(al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan metode
dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala
aktivitas ijtihad-nya,
2) Mujtahid muntasib yaitu mujtahid menggabungkan dirinya
dan ijtihad-nya dengan suatu mazhab,
3) Mujtahid muqoyyad yaitu mujtahid yang terikat kepada
imam mazhab dan tidak mau keluar dari mazhab dalam
masalah ushul maupun furu’, dan
4) Mujtahid murajih yaitu mujtahid yang membandingkan
beberapa imam mujtahid dan dipilih yang lebih unggul.

2.3 Pandangan Ulama Ahlussunnah Waljama’ah Tentang Kriteria


Mujtahid
Arti "ijtihad" menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau
kemampuan. Ijtihad adalah mengeluarkan segala tenaga dan kemampuan untuk
mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang Mujtahid menurut ulama aswaja adalah:
Pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan
balaghahnya karena Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin
orang akan memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
Kedua, menguasai dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia
akan menarik suatu hokum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain.
Contohnya, do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang
menyatakan bahwa berdo’a kepada orang mati, bersedekah dan membaca Al-
Qur’an tidak berguna dengan dalil.
ِ ‫ْس لِ ْل‬
‫ال ْنس ِن اِالَّ َما َس َعى‬ َ ‫َواَ ْن لَي‬

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.”(An-Najm:39)


Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan
orang mati. Dalamayat lain tercantum:

‫اَلَّ ِذ ْينَ َجاءُوْ ا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم يَقُوْ لُوْ نَ َربَّنَا ا ْغفِرْ لَنَا َو ِال ْخ َوانِنَاالَّ ِذ ْينَ َسبَقُوْ نَا بِاْ ِالءْيم ِن‬

“Orang-orang yang datang setelah mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami
dan saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.”(Al-Hasyr:10)

Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umum atau ‘aam (‫ )عام‬dan
yang khusus atau khas (‫ ;)خاص‬yang mutlak (tanpa kecuali) dan yang muqayyad
(yang terbatas); yang nasikh (hukum yang mengganti) dan yang mansyukh
(hukum yang diganti); dan asbaabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk
membantu dalam memahami ayat tersebut.

Ketiga, menguasai Hadits Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits
untuk dapat membedakan antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Mengapa
harus menguasai hadits? Karena yang berhak pertama kali untuk menjelaskan
Al-Qur’an adalah Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasa ihadits,
dikhawatirkan menarik kesimpulan suatu hokum bertentangan dengan hadits
yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat dibenarkan artinya bathil.
َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَيِ ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬
“Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al-Qur’an) supaya engkau
terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-
mudahan mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44).

ِ ‫َو َما َء اتَ ُك ُم ال َّرسُوْ َل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَهَ ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللاَ اِ َّن هللا َش ِد ْي ُ~د ْا ِلعقَا‬
‫ب‬

“Dan apa yang rosul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang
Rosul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah,
sesungguhnya Allah keras siksan-Nya.” (Al-Hasyr:7)

Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) Para Sahabat. Supaya kita


dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati
oleh sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang syareat Islam.
Mereka hidup bersama Nabi dan mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
dan datangnya hadits.

Kelima, Mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bias dijadikan


hokum ( ‫ ) العادةمحكمه‬selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Ijtihad pada zaman Nabi SAW tidak diperlukan, sebab apabila sahabat
mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung
menjawab.
Ijtihad diperlukan setelah Nabi wafat karena permasalahan selalu
berkembang. Sejak abad ke II dan ke III Hijriyah permasalahan hukum Islam
telah mulai perumusan hukum, diantaranya hasil dari Al-Madzahibul–Arba’ah
baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah diletakkan pula qaidah-
qaidah Ushul Fiqih yang mampu memecahkan segala permasalahan yang
timbul. Barangkali, periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama,
bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan
barang yang sudah berhasil. Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlak. Tentu
tidak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad teknologi ini
seperti: cangkok mata, bayit abung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan
berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu Ushul
Fiqih.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai Mujtahid:
a. Mengetahui dan Menguasai Pengetahuan Tentang al-Qur’an
b. Mengetahui As-Sunnah
c. Mengetahui Bahasa Arab
d. Mengetahui Ushul Fiqh
e. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma’
Tingkatan Mujtahid:
1) Mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai
kemampuan untuk menggali hukum syara langsung dari
sumbernya yang pokok yakni
(al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan metode
dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala
aktivitas ijtihad-nya,
2) Mujtahid muntasib yaitu mujtahid menggabungkan dirinya
dan ijtihad-nya dengan suatu mazhab,
3) Mujtahid muqoyyad yaitu mujtahid yang terikat kepada
imam mazhab dan tidak mau keluar dari mazhab dalam
masalah ushul maupun furu’, dan
4) Mujtahid murajih yaitu mujtahid yang membandingkan
beberapa imam mujtahid dan dipilih yang lebih unggul.
Kriteria Mujyahid menurut ahlusunnah waljama’ah:
Pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan
balaghahnya karena Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Kedua, menguasai
dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu
hokum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain.Ketiga, menguasai
Hadits Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits untuk dapat membedakan
antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Keempat, mengetahui Ijma’
(kesepakatan hukum) Para Sahabat. Supaya kita dalam menentukan hukum
tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat, karena
mereka yang lebih mengetahui tentang syareat Islam. Kelima, Mengetahui adat
kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bias dijadikan hokum ( ‫ ) العادةمحكمه‬selama
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad pada zaman Nabi
SAW tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan langsung
bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung menjawab.
3.2 Saran
Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang
terutama kaum Muslimin yang ada di Indonesia atau di dunia
ini, sangat sulit untuk mencari orang yang ahli dalam masalah
ijtihad jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman dahulu.
Namun jika kita melalui lajur yang benar, yaitu mencari hukum
baru atau menggali permasalahan yang belum terselesaikan,
dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar
bisa jadi pintu ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak,
hukum Islam akan menjadi bisu dan kaku lantaran tidak
mampu mengimbangi dinamika zaman.
DAFTAR RUJUKAN

https://www.nu.or.id/post/read/10335/fasal--tentang-ijtihad
(Diakses tanggal 23 Desember 2018).
3.2.1 Apa syarat-syarat untuk menjadi mujtahid?
3.2.2 Apa saja tingkatan mujtahid?
3.2.3 Bagaimana pandangan ulama Ahlussunnah Waljama’ah
tentang kriteria menjadi mujtahid?

Anda mungkin juga menyukai