'Urf Nida
'Urf Nida
‘URF
Oleh :
Nor Anida Fatma (180104030042)
MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2019M/1440H
PEMBAHASAN
‘URF
A. PENGERTIAN ‘URF
‘Urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan mesyarakat dan mereka
memperlakukan semua urusan mereka di dalam tuntunan kebiasaan tersebut,
sesuai dengan yang berkembang dan terjadi di kalangan mereka, baik berbentuk
perkataan (qauly) atau perbuatan (fi’ly).
Menurut kebanyakan ulama ‘Urf dinamakan juga adat. Sebab perkara yang
sudah dikenal itu sudah berulang kali dilakukan manusia.
Tetapi sebenarnya adat itu lebih luas daripada ‘urf. Sebab, adat itu kadang-
kadang terdiri dari adat perorangan, bagi orang tertentu. Maka hal ini tidak bisa
dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri dari adat masyarakat. Maka inilah
yang disebut ‘urf, baik ‘urf itu bersifat khusus atau ‘urf umum.
Dalam bahasa syariat “’urf” dan “’adali” adalah dua kata yang sinonim.
Keduanya memiliki arti yang sama. Contoh ‘urf qauly, adalah kebiasaan
masyarakat memakai kata “lahm” (daging) untuk daging hewan, bukan daging
ikan laut.
Contoh ‘urf fi’ly adalah kebiasaan masyarakat mengadakan transaksi (jual
beli) hanya dengan saling memberikan, tanpa ada bentuk ungkapan ijab-qabul
(serah-terima).
D. KEHUJJAHAN ‘URF
Ulama yang berhujjah dengan ‘urf dalam membina hukum Islam
mengambil dalil dari beberapa dalil berikut ini.
1. Allah berfirman
3. Rasulullah saw. telah berkata kepada Hindun, isteri Abu Sufyan ketika ia
mengau kepada beliau tentang kebakhilan suaminya terhadap dirinya yang
berkaitan dengan nafkah. Kata beliau : “ambillah dari harta Abu Sufyan sekedar
untuk mencukupimu dan anak-anakmu dengancara yang ma’ruf”.
Al-Qurthubyi berkata : “dalam hadits ini menunjukkan diakuinya ‘urf
dalam syariat”.
Bahwa berlakunya kebiasaan manusia terhadap suatu perbuatan adalah
merupakan dalil bahwa mengamalkannya adalah mashlahat bagi mereka, atau
menghilangkan kesempatan dari mereka. Sedangakan mashlahat adalah termasuk
dalil syar’i, sebgaimana menghilangkan kesempitan adalah merupakan tujuan
syariat. Dan ia merupakan salah satu macam mashlahat.
Islam datang, kemudian mengakui berbagai kemashlahatan yang sudah
menjadi kebiasaan orang-orang Arab. Seperti mengakui perlunya kafaah dalam
perkawinan; ashabah dalam soal wilayah dan pewarisan; kewajiban diyat diatas
pembunuh yang sudah berakal, dan sebagainya.
Jumhur fuqaha’ telah banyak berhujjah sengan ‘urf. Dan yang cukup
terkenal adalah golongan Hanafiyyah dan Malikiyah.
Begitu juag Asy-Syafi’i yang membina sebagian hukum-hukum
madzhabnya yang baru (qaul jadid) di atas ‘urf penduduk Mesir dan dalam
madzhab qadimnya beliau membinanya di atas ‘urf penduduk Irak.
Dan telah biasa terdengar perkataaan para Ulama yang menyatakan bahwa:
a. Adat adalah merupakan syariat yang muhkamat
b. Hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf adalah seperti hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash
c. Apa saja yang isa dimengerti berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang
disyariatkan menurut syara’
d. Hakekatnya itu bisa ditinggalkan berdaarkan dilalah isti’mal (perbuatan adat)
E. HIKMAH ‘URF
Arfu yang shahih itu wajib dipelihara pada tasyri’ dan pada hukum.
Mujtahid harus memeliharanya pada tasyri’nya itu. Dan bagi hakim
memeliharanya itu pada hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang itu
dan apa yang saling dijalani orang itu dapat dijadikan hujjah, kesepakatan dan
kemashlahatan mereka. Selama tidak menyalahi syari’at, maka wajib
memeliharanya. Syari’ memelihara keshahihan arfu Arab itu dalam tasyri’. Dia itu
diwajibkan hanya kepada orang berakal. Syarat kafaaah (setara) itu hanya dalam
perkawinan. Kefanatikan keluarga itu hanya dalam masalah perkawinan dan
warisan.
Dalam hal ini para ulama mengatakan, adat syariat itu gudang pengadilan
arfu dalam syariat itu mempunyai i;tibar. Iamam malik membina kebanyakan
hukum-hukumnya itu terhadap perbuatan penduduk Madinah. Abu hanifah dan
teman-temannya itu berbeda pendapat tentang hukum yang di bina atas perbedaan
arfu-arfu mereka itu. Imam syafi’i, ketika berada di Mesir mengubah sebagian
hukum-hukum yang diajlankan di Baghdad. Juga merubah arfu. Untuk mengubah
arfu. Umtuk itu dia mempunyai dua pendapat. Yang lama dan yang baru. Di
dalam fiqh madzhab hanafi, kebanyakan hukum itu dibina atas arfu. Diantaranya
apabila berbeda dua orang yang saling tuduh-menuduh, salah seorang dari
keduanya itu tidak membuktikan, maka perkataan bagi saksi itu menjadi arfu.
Apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai mahar muqadam dan muakhar maka
hukum itu adalah arfu.
Barangsiapa yang bersumpah tidak akan makan daging, dia memakan
daging ikan maka hal itu tidaklah melanggar sumpah yang dibina atas arfu. Yang
dipindahkan itu sah, apabila dijanlankan dengan arfu. Syarat pada akad itu adalah
sah, apabila terdapat dengannya itu syar’i, atau kehendak akad atau menjalankan
dengan arfu. Ulama almarhum Ibnu Abidin telah menyusun sebuah risalah yang
dinamakannya membentangkan arfu dari apa yang didbina dari hukum-hukum
terhhadap arfu. Ada kata-kata yang masyhur mengatakan, yang diketahui arfu
adalah seperti yyang disyaratkan syarat. Yang ditetapkan dengan arfu itu adalah
seperti yang ditetapkan dengan nash.
Adapun arfu fasid, tidak wajib memeliharanya. Karena dalam
pemeliharaannya itu ada dalil syar’i yang bertentangan atau membatalkan hukum
syari’ . apabila orang tahu salah satu perjanjian fasid, seperti perjanjian riba. Atau
dalam perjanjian itu terdapat tipuan dan berahaya, maka untuk ini tidak ada arfu
yang berpengaruh dalam membolehkan akad itu. Untuk ini tidak ada keterangan
dalam hukum negara, dikenal perbedaan konstitusi atau peraturan umum. Yang
kita perhatikan dalam contoh ini ialah akad dari pihak lain.
Apakah akad ini diperhitungkan dari segi kepentingan orang atau
kebutuhan orang yang sangat mendesak. Sebab apabila terjadi penipuan
membatalkan peraturan hidup, atau orang mendapatkan kesulitan,atau kesempitan,
atau bukan. Jika ada suatu hal yang sangat mendesakatau dibutuhkan, maka disini
diperbolehkan. Karena hal-hal yang sangat mendesak itu memperbolehkan hal-hal
yang dilarang. Dan dalam hal ini kebutuhan-kebutuhan itu dapat disalurkan. Jika
tidak ada hal-hal yang mendesak dan tidak ada kebutuhan-kebutuhan mereka itu,
maka dihukum dengan pembatalannya. Disini tidak ada suatu patokan pun untuk
memperlakukan arfu.
Hukum-hukum yang dibina di atas arfu itu bberubah dengan berubahnya
zaman dan tempat. Karena furu’ itu akan brubah dengan berubahnya ashalnya.
Dalam hal ini Fuqaha mengatakan dalam contoh perbedaan ini, perbedaan massa
dan zaman itu tidak akan mengubah hujjah dan bukti. Setelah diteliti kiranya arfu
itu bukan dalil syari’ yang berdiri sendiri. Menurut kebiasaan termasuk mashlahat
mursalah. Sebagaimana diketahui, dia dipelihara dalam tasyri’ hukum yang
mengemukakan nash-nash dalam tafsir, mentakhsiskan a’m. Dengannya maka
dikaitkan yang mutlak. Kadang-kadang kias itu ditinggalkan oleh arfu. Dan untuk
ini sah akad istisna untuk menjalankan arfu. Sekalipun kias itu tidak sah, karena
memperjanjikan yang tidak ada.