Anda di halaman 1dari 15

Tinjauan Kepustakaan

Risiko Infark Miokard Akut pada Pasien Asma


Herley Windo Setiawan
Bambang Herwanto

Pendahuluan
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia di
tahun 2013. American Heart Association (AHA) melaporkan sekitar 17,3 juta dari 54 juta
atau sekitar 31,5% dari kematian total disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.1
Salah satu penyakit kardiovaskuler yang mematikan adalah penyakit jantung koroner
(PJK) dimana salah satu penyakit PJK yang paling mematikan adalah infark miokard akut
(IMA). Data dari Kemenkes RI menyatakan bahwa Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi
PJK di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang,
sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar
2.650.340 orang.2
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang biasanya ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas. Inflamasi tersebut menyebabkan limitasi dari saluran napas sehingga
mengganggu aliran udara di jalan napas terutama saat ekspirasi. Asma sering ditemukan di
masyarakat. Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2017 melaporkan bahwa insidens
asma berkisar antara 1-18% di berbagai negara di seluruh dunia.3
Asma dewasa terutama pada wanita merupakan prediktor independen terhadap
peningkatan risiko kematian PJK, stroke dan penyakit kardiovaskuler. Bukti terbaru
menunjukkan gejala alergi umum juga berkaitan dengan prevalensi PJK.4

Asma
GINA mendefinisikan asma sebagai penyakit heterogen, yang biasanya ditandai
dengan inflamasi kronis dari saluran napas. Asma merupakan penyakit yang umum terjadi di
masyarakat. Asma ditandai dengan berbagai gejala meliputi wheezing, sesak napas, dada
terasa berat dan/atau batuk yang disertai dengan limitasi aliran udara ekspirasi. Baik gejala
maupun limitasi aliran udara akan bervariasi baik waktu maupun intensitasnya. Variasi ini
seringkali dipicu oleh berbagai faktor seperti olahraga, pajanan allergen maupun iritan,
perubahan cuaca atau infeksi saluran napas.3

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 1
Konsep patogenesis asma telah berkembang dalam 25 tahun terakhir dan masih terus
mengalami evaluasi karena muncul berbagai fenotip asma dan pengetahuan yang lebih luas
tentang gambaran klinis asma yang dihubungkan dengan pola genetik. Inti berbagai pola
fenotipik asma adalah adanya peradangan saluran napas di bawah, yang bervariasi dan
memiliki pola yang berbeda namun saling tumpang tindih yang mencerminkan aspek
penyakit yang berbeda. Seperti asma intermiten versus persisten atau akut versus kronik.
Gejala akut asma biasanya muncul dari bronkospasme dan membutuhkan terapi bronkodilator
segera. Peradangan akut dan kronis dapat mempengaruhi tidak hanya kaliber jalan napas dan
aliran udara tetapi juga mendasari responsivitas bronkus, yang meningkatkan kerentanan
terhadap bronkospasme.5
Limitasi aliran udara pada asma terjadi secara berulang dan disebabkan oleh berbagai
mekanisme sebagai berikut :
 Bronkokonstriksi.
Pada asma, kejadian fisiologis dominan yang menyebabkan gejala klinis adalah
penyempitan saluran napas dan gangguan berikutnya dengan aliran udara. Pada
eksaserbasi akut asma, kontraksi otot polos bronkial (bronkokonstriksi) terjadi dengan
cepat untuk mempersempit jalan napas sebagai respons terhadap paparan beragam
rangsangan termasuk alergen atau iritasi. Hasil bronkokonstriksi akut yang disebabkan
oleh alergen dari pelepasan mediator IgE yang bergantung pada IgE yang mencakup
histamin, tryptase, leukotrien, dan prostaglandin yang secara langsung mengendalikan
otot polos jalan nafas. Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya juga dapat
menyebabkan penyumbatan aliran udara akut pada beberapa pasien, dan bukti
menunjukkan bahwa respons non IgE ini juga melibatkan pelepasan mediator dari sel
saluran napas. Selain itu, rangsangan lain (termasuk olahraga, udara dingin, dan iritan)
dapat menyebabkan obstruksi aliran udara akut. Mekanisme yang mengatur respons
saluran napas terhadap faktor-faktor ini kurang terdefinisi dengan baik, namun
intensitas respons muncul terkait dengan peradangan saluran napas di bawahnya. Stres
juga dapat berperan dalam mempercepat eksaserbasi asma. Mekanisme yang terlibat
belum ditetapkan dan mungkin termasuk peningkatan generasi sitokin pro-inflamasi.5
 Edema jalan napas
Karena penyakit ini menjadi lebih persisten dan peradangan lebih banyak
progresif, faktor lain selanjutnya membatasi aliran udara (gambar 2-2). Ini termasuk
edema, peradangan, hipersekresi lendir dan pembentukan busi lendir yang diinspeksi

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 2
juga sebagai perubahan struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia pada otot polos
jalan nafas. Perubahan terakhir ini mungkin tidak merespons terapi biasa.5
 Hiperresponsivitas saluran napas
Hiperresponsivitas saluran napas (sebuah respons bronkokonstriktor yang berlebihan
terhadap beragam rangsangan) adalah ciri utama asma, namun tidak khas. Tingkat
hiperresponsif saluran napas dapat didefinisikan dengan respons kontraktil terhadap
rangsangan metakolin yang berkorelasi dengan tingkat keparahan klinis asma.
Mekanisme yang mempengaruhi hiperresponsif saluran napas banyak dan mencakup
peradangan, neuroregulasi disfungsional, dan perubahan struktural; Peradangan
tampaknya menjadi faktor utama dalam menentukan tingkat hiperresponsif saluran
napas. Terapi yang diarahkan untuk mengurangi peradangan dapat mengurangi respon
berlebihan saluran napas dan memperbaiki kontrol asma.5
 Remodeling saluran nafas.
Pada beberapa orang yang menderita asma, keterbatasan aliran udara mungkin hanya
sebagian reversibel. Perubahan struktural permanen dapat terjadi di jalan napas
(gambar 2-2); Ini terkait dengan hilangnya fungsi paru secara progresif yang tidak
dicegah atau dapat dibalik sepenuhnya oleh terapi saat ini. Renovasi jalan nafas
melibatkan aktivasi banyak sel struktural, dengan akibat perubahan permanen di jalan
napas yang meningkatkan penyumbatan aliran udara dan responsivitas saluran napas
dan perender pasien kurang responsif terhadap terapi. Perubahan struktural ini dapat
mencakup penebalan membran sub-basement, fibrosis subepitel, hipertrofi otot jalan
napas polos dan hiperplasia, pembuluh darah proliferasi dan pelebaran, dan
hiperplasia kelenjar lendir dan hipersekresi (kotak 2-2). Peraturan proses perbaikan
dan pemodelan ulang tidak mapan, namun proses perbaikan dan peraturannya
cenderung menjadi peristiwa penting dalam menjelaskan sifat penyakit dan
keterbatasan yang terus-menerus terhadap respons terapeutik.5

Kontrol Sistem Saraf Otonom Pada Saluran Napas


Otot polos jalan napas diinervasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Saat
diaktifkan, saraf saluran napas dapat dengan jelas mempersempit bronkus baik in vivo atau in
vitro, atau dapat benar-benar melebarkan jalan napas yang telah ditekan. Oleh karena itu,
sistem saraf memainkan peran utama dalam mengatur kaliber jalan napas dan disfungsinya
cenderung berkontribusi pada patogenesis penyakit saluran napas. 6

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 3
Inervasi kontraktil predominan dari otot polos saluran nafas bersifat parasimpatis dan
kolinergik, sementara pelepasan relaksan relaksan primer dari saluran napas terdiri dari
nervus parasimpatis noncholinergic (nitric oxide synthase- dan vasoactive intestinal peptida).
Saraf parasimpatis ini secara anatomis dan fisiologis berbeda satu sama lain dan diatur secara
berbeda oleh refleks.6
Saraf simpatis-adrenergik sedikit berperan dalam mengatur otot polos secara langsung
di saluran napas manusia. Aktivasi saraf aferen jalan nafas (reseptor yang beradaptasi dengan
cepat, serat C) dapat menyebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis otot jalan nafas,
atau penurunan aktivitas saraf parasimpatis (melalui aktivasi reseptor beradaptasi perlahan).
Aferen ekstrapulmoner juga dapat memodulasi regulasi saraf yang diperantarai dengan otot
polos saluran napas. Pada kelinci percobaan dan tikus, aktivasi perifer nervus aferen yang
berhubungan dengan tachykinin menimbulkan bronkospasme melalui pelepasan zat P dan
neurokinin A.6

Tatalaksana Asma
Terapi asma dibagi menjadi dua bagian yaitu terapi jangka panjang dan terapi
eksaserbasi. Terapi asma jangka panjang dilakukan pada pasien asma yang tidak sedang
dalam fase eksaserbasi. Sedangkan fase eksaserbasi didefinisikan sebagai suatu episode yang
ditandai dengan adanya peningkatan gejala progresif meliputi sesak napas, batuk, mengi atau
dada terasa berat dan disertai penurunan fungsi paru yang progresif jika dibandingkan dengan
keadaan pasien sehari-hari.3
 Terapi Pengontrol
Tujuan terapi pengontrol adalah untuk mencapai kontrol gejala yang baik, dan untuk
meminimalisir risiko eksaserbasi, memperbaiki limitasi aliran udara, dan mengurangi efek
samping terapi. Terapi pengontrol asma meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis.
Prinsip terapi farmakologis adalah memberikan terapi dengan obat dengan dosis dan
jenis paling minimal dimana memberikan hasil kontrol asma tertinggi sesuai dengan Asthma
Control Test (ACT). Tingkat keparahan asma meliputi asma ringan (terkontrol dengan baik
dengan terapi tahap 1 dan 2), sedang (terkontrol dengan baik dengan terapi tahap 3) dan berat
(terkontrol dengan baik dengan terapi tahap 4 dan 5 atau asma yang tidak terkontrol dengan
terapi tahap 5).3
Tatalaksana terapi pengontrol dapat dilihat lebih jelas melalui Stepwise management
pharmacotherapy sesuai rekomendasi GINA. Penilaian ulang tingkat keparahan asma harus

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 4
dilakukan. Jika keluhan memberat dengan tahap yang sedang dijalani maka terapi dinaikkan
ke tahap berikutnya, namun jika keluhan telah teratasi lebih dari 3 bulan dan risiko
eksaserbasi yang rendah maka perlu dipertimbangkan untuk menurunkan ke tahap yang lebih
rendah.3

Gambar 1. Stepwise Management Pharmacotherapy of Asthma3


Terapi non farmakologis adalah untuk mengendalikan faktor yang dapat dimodifikasi
yang dapat memperberat asma. Faktor yang dapat dimodifikasi tersebut meliputi meliputi
aktivitas fisik yang kurang, obesitas, merokok, diet yang tidak sehat dan alergen yang dapat
memicu eksaserbasi. Selain itu edukasi tentang penggunaan alat-alat untuk terapi (contohnya
swinghaler, turbuhaler, breezehaler, dll) harus diberikan sehingga terapi dapat memberikan
hasil yang maksimal. Kerjasama dokter-pasien amat diperlukan dalam terapi jangka panjang
asma.3
Jenis obat yang dapat diberikan untuk terapi jangka panjang dibagi menjadi tiga jenis
yaitu :
a. Pengontrol : obat yang digunakan untuk terapi rutin dimana obat ini mengurangi
inflamasi saluran napas, mengurangi keluhan, dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 5
penurunan fungsi paru. Yang termasuk obat golongan ini adalah long acting beta-2
agonists (LABA), inhaled corticosteroid (ICS), leukotriene receptor antagonists
(LTRA), theophylline.3
b. Pelega : obat yang diberikan untuk mengatasi keluhan sesaat termasuk saat
eksaserbasi. Obat jenis pelega ini juga direkomendasikan untuk prevensi jangka
pendek terhadap bronkokonstriksi terinduksi. Yang termasuk golongan ini adalah
short acting beta-2 agonists (SABA), short acting muscarinic antagonists (SAMA)3
c. Terapi tambahan : terapi yang diberikan pada pasien dengan gejala menetap
dan/atau eksaserbasi yang tetap terjadi meskipun telah diberikan terapi pengontrol
dengan dosis tertinggi. Yang termasuk golongan ini adalah tiotropium, anti-
interleukin-5, anti-IgE .3

 Terapi Eksaserbasi Asma


Eksaserbasi asma mencerminkan suatu perubahan gejala dan fungsi paru dari status
pasien sehari-hari. Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diketahui dengan menggunakan
pengukuran fungsi paru seperti arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1).3
Tujuan utama penanganan eksaserbasi asma adalah menghilangkan gejala,
memperlancar aliran udara, memperbaiki fungsi paru dan mencegah kematian akibat
eksaserbasi. Prinsip utama penanganan eksaserbasi adalah menghasilkan bronkodilatasi
secepat dan semaksimal mungkin dan mencegah eksaserbasi ulang dalam waktu dekat.
Menurut GINA 2017, penanganan eksaserbasi asma dapat dibagi menjadi 3 lokasi yaitu
penanganan eksaserbasi di lingkungan tinggal pasien, di fasilitas kesehatan (faskes) primer
dan di unit gawat darurat (UGD).3
Untuk penanganan di lingkungan tinggal pilihan obat eksaserbasi asma adalah
peningkatan dosis obat pelega yang digunakan untuk dosis rumatan. Selain itu juga
diperlukan peningkatan dosis kortikosteroid inhalasi (paling tidak dua kali dosis rumatan)
juga memberikan hasil yang lebih baik. Kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan untuk
eksaserbasi berat asma dimana pasien sehari-hari telah mendapatkan kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi sehingga membutuhkan kortikosteroid sistemik yang dapat diberikan melalui
oral. 3
Untuk penanganan di faskes primer adalah pemberian SABA ditambah kortikosteroid
oral serta pemberian oksigen untuk serangan ringan dan sedang. Untuk serangan berat dapat

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 6
ditambahkan SAMA di samping SABA sedangkan kortikosteroid dapat diberikan secara
intravena. Sistem rujukan ke faskes yang lebih tinggi harus dijalankan bila penanganan tidak
memberikan hasil maksimal dan terjadi perburukan kondisi pasien hingga mengancam
nyawa.3
Untuk penanganan di UGD hampir sama dengan penanganan di faskes primer.
Perbedaannya adalah untuk penanganan eksaserbasi berat dapat dipertimbangkan pemberian
magnesium intravena. Aminofilin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan
riwayat pemberian teofilin sebelumnya. Pemasangan ventilator dapat diberikan jika
eksaserbasi asma tidak dapat teratasi dengan dosis maksimal dan keadaan mengancam nyawa
pasien.3

Tabel 1. Obat yang digunakan dalam terapi farmakologis asma 7


Golongan Mekanisme kerja Contoh obat
Kortikosteroid  Menurunkan reaktivitas mukosa bronkus Inhalasi  Beclometasone
sehingga mengurangi inflamasi yang terjadi  Fluticasone
pada mukosa bronkus  Budesonide
 Potensiasi agonis adrenoreseptor beta otot  Mometasone
polos bronkus  Triamnicolone
Sistemik  Prednisolone
 Prednisone
 Deksametason
 metilprednisolon
Agonis Adrenoseptor  Menstimulasi kerja adenilil siklase Kerja Singkat  Albuterol
β2  Meningkatkan pembentukan c-AMP otot  Procaterol
polos bronkus  Terbutaline
 Fenoterol
Kerja Panjang  Indacaterol
 Salmeterol
 Formoterol
Antagonis Reseptor Menyakat reseptor asetilkolin otot polos Kerja Singkat  Ipratropium
Muskarinik bronkus Kerja Panjang  Tiotropium
 Glycopyrronium
 Aclidinium
Metilxantin  Menghambat enzim phosphodiesterase  Teofilin
(PDE) sehingga meningkatkan pembentukan  Aminofilin
cAMP
 Menyakat reseptor adenosine
Antagonis Reseptor Menyakat reseptor Leukotrien D4 sehingga  Zafirlukast
Leukotrien mengurangi inflamasi mukosa bronkus  Montelukast
Anti IgE8 Menurunkan level IgE bebas dalam darah Omalizumab
Magnesium9 Menghambat uptake ion Ca2+ otot polos Magnesium sulphate
bronkus
Mast cell stabilizer Mencegah sel mast bronkus untuk pecah dan  Cromolyn
mengeluarkan histamine  Nedocromil

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 7
Infark Miokard Akut
Istilah infark miokard akut (IMA) sebaiknya digunakan ketika ditemukan bukti
nekrosis miokardial yang sesuai dengan keadaan klinis iskemia miokard akut. Di bawah ini
adalah kriteria diagnosis IMA menurut konsensus para ahli10 :
1. Deteksi kenaikan dan/atau penurunan nilai biomarker jantung (terutama cardiac
Troponin (cTn) paling tidak satu nilai di atas upper reference limit (URL) persentil ke
99 dan memenuhi satu kriteria di bawah :
 Gejala iskemia
 Perubahan segmen ST dan/atau gelombang-T (ST-T) baru atau dianggap baru
atau blok cabang berkas kiri (BCBKi) baru
 Timbulnya gelombang Q patologis pada EKG
 Bukti pencitraan adanya kematian baru dari miokard yang hidup atau
abnormalitas baru dari gerakan dinding regional
 Ditemukan adanya thrombus intrakoroner melalui angiografi maupun otopsi
2. Henti jantung dengan gejala yang condong ke arah iskemia miokard dan anggapan
adanya perubahan EKG iskemik baru atau BCBKi baru, namun kematian terjadi
sebelum didapatkan peningkatan biomarker jantung atau sebelum terjadinya
peningkatan biomarker jantung.
3. Percutaneous coronary intervention (PCI) yang terkait infark miokard didefinisikan
sebagai peningkatan nilai cTn (>5 di atas persentil 99 URL) pada pasien dengan nilai
dasar yang normal (≤persentil 99 URL) atau kenaikan nilai cTn > 20% jika nilai
dasarnya juga meningkat dan menetap atau turun.
4. Stent thrombosis terkait infark miokard didefinisikan sebagai iskemia miokard melalui
angiografi koroner atau otopsi dan peningkatan dan/atau penurunan biomarker jantung
paling tidak satu nilai di atas URL persentil 99.
5. Coronary artery bypass graft (CABG) terkait infark miokard didefinisikan sebagai
peningkatan nilai biomarker jantung (>10 persentil 99 URL) pada pasien dengan nilai
cTn dasar yang normal.

Patogenesis IMA pada Asma


Berdasarkan riset yang dimulai pada tahun 1970an, kita semua tahu bahwa hampir
semua kejadian sindrom koroner akut (SKA) terjadi akibat adanya aterosklerosis yang
diperberat dengan adanya rupture atau erosi dari lesi aterosklerotik. Namun, akhir-akhir ini

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 8
telah diketahui bentuk penyakit arteri koroner tanpa didahului oleh aterosklerosis terlebih
dahulu.11
Pada beberapa pasien ini instabilitas terjadi akibat spasme koroner. Pada sebuah studi,
angiografi tidak dapat menunjukkan bukti adanya aterosklerosis obstruktif pada 30% pasien
dengan dugaan SKA. Lebih penting lagi, pemberian asetilkolin intrakoroner menyebabkan
spasme koroner pada 50% pasien ini. Spasme disebabkan oleh stimulus vasokonstriktor yang
bekerja pada otot polos. Beberapa stimulus vasokonstriktor yang bekerja pada reseptor yang
berbeda lebih dapat menyebabkan spasme koroner dibandingkan dengan satu reseptor. Hal ini
terkait perubahan pompa ion seperti pompa ion Na +/H+.11
Terapi β2-agonis pertama kali diubungkan dengan peningkatan denyut jantung dan
penurunan konsentrasi kalium yang signifikan, dimana keduanya diketahui merupakan efek
sistemik dari stimulasi adrenergik. Selama lebih dari 40 tahun, berbagai laporan kasus dari
efek samping β2-agonis terhadap kardiovaskuler meliputi iskemia, depresi miokard, fibrilasi
atrium, aritmia ventrikuler, nekrosis kontraksi miokard fatal dan kematian mendadak.
Stimulasi adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen miokard dan
menyebabkan injuri atau nekrosis langsung terhadap miokard, perburukan gagal jantung
kongestif atau kematian mendadak. Sehingga mungkin disimpulkan bahwa β2-agonis dapat
menimbulkan aritmia, iskemia dan gagal jantung kongestif melalui stimulasi adrenergik.12

Asma dan IMA


Beberapa studi epidemiologi melaporkan hubungan yang signifikan antara asma dan
penyakit kardiovaskuler. Namun masih ada beberapa perbedaan pendapat di berbagai literatur
mengenai risiko penyakit kardiovaskuler terkait asma. Sebagai contoh, Schanen dkk
melaporkan peningkatan risiko stroke yang berhubungan dengan asma namun tidak untuk
penyakit jantung koroner. Pada banyak kasus, asma onset dewasa berhubungan dengan
peningkatan aterosklerosis karotis pada wanita, dan pasien dengan hiperresponsif bronkial
menunjukkan adanya penebalan tunika intima-media pada karotis. Secara jelas, hubungan
antara asma dan penyakit kardiovaskuler lebih kuat pada wanita dibanding pada pria. Dari
laporan di atas, aterosklerosis dan asma keduanya memiliki latar belakang yang sama yaitu
inflamasi. Walaupun begitu, komplikasi kardiovaskuler dari asma lebih berhubungan dengan
pengobatan asma.13
Satu studi yang dilakukan Bang dkk (tabel 2) melaporkan bahwa asma merupakan
faktor risiko IMA yang belum terlalu terkenal. Asma meningkatkan risiko terjadinya IMA

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 9
yang ditunjukkan dengan peningkatan Odd Ratio (OR) IMA pada pasien asma sebesar 1,71
dibanding pada pasien non asma (CI 95%, p 0,007). Namun asma yang berhubungan dengan
IMA adalah asma aktif yang didefinisikan sebagai asma dengan kejadian eksaserbasi dalam 1
tahun sebelum penilaian risiko IMA (OR asma aktif 2.33 vs asma inaktif 0.88 (p=0,04, CI
95%)).14

Tabel 2 Hubungan antara riwayat asma dan status asma dengan risiko infark miokard 14
Group Kasus (n=543) Kontrol (n=543) OR & 95% CI
Asma (p = 0.007)
Ya 81 (15%) 52 (10%) 1.71
Tidak 462 (85%) 491 (90%) 1.0
Status Asma (p = 0.003)
Aktif 46 (7%) 19 (3%) 2.33
Tidak aktif 35 (6%) 33 (6%) 0.88
Bukan asma 462 (85%) 491 (90%) 1.0

Sebuah studi lain menunjukkan hasil yang lebih menarik untuk dipelajari (tabel 3).
Risiko IMA pada pasien asma pria lebih rendah dibandingkan pada bukan pasien asma.
Sedangkan risiko IMA pada pasien asma wanita lebih tinggi dibandingkan pada bukan pasien
asma. Sebuah spekulasi yang belum diuji yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah bahwa
wanita memiliki kerentanan biologis yang lebih besar terhadap keadaan inflamasi asma atau
memiliki kerentanan terhadap efek kardiotoksik dari medikasi asma yang lebih besar
dibanding pria.15

Tabel 3 Insidens dan hazard ratio terjadinya penyakit jantung koroner yang berhubungan dengan
asma sesuai jenis kelamin.15
Pria (n=70.047) Wanita (n = 81.573)
Bukan asma Asma p Bukan asma Asma p
Jumlah kejadian/jumlah 12.232/63.898 1.062/6.149 8.172/74.675 898/6.898
orang
% rate 19.1 17,3 10,9 13,0
Age-adjusted hazard ratio 1.00 0.97 0.28 1.00 1.27 <0.0001
(95% CI)
Multivariate-adjusted 1.00 0.99 0.70 1.00 1.2 <0.0001
hazard ratio (95% CI)

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 10
Beta agonis pada IMA
Seperti kita ketahui, β-agonis merupakan obat utama pada asma terutama pada asma
eksaserbasi. β-agonis yang digunakan dalam asma seringkali dalam bentuk inhalasi. Bentuk
inhalasi akan menurunkan risiko absorbsi sistemik sehingga menurunkan risiko efek samping
sistemik dari β-agonis.
Sebuah studi telah menunjukkan peningkatan risiko IMA akibat penggunaan β-agonis
inhalasi (MDI). Au dkk membandingkan kejadian IMA pada penderita asma yang
mendapatkan terapi β-agonis MDI. Risiko IMA meningkat 1,21 kali pada pasien asma yang
pernah menggunakan MDI 1 canister dalam 2 tahun terakhir namun sudah tidak
mendapatkan resep MDI lagi dalam 3 bulan terakhir. Sedangkan pada mereka yang baru
mendapatkan MDI pertama kali dalam 3 bulan terakhir risiko IMA meningkat 7,32 kali.
Menariknya, pada pasien yang mendapatkan MDI lebih dari 1 canister dalam 2 tahun terakhir
(pengguna lama) memiliki risiko IMA yang lebih kecil. Pada mereka yang tidak
mendapatkan MDI dalam 3 bulan terakhir risiko IMA 1,14 kali, yang mendapatkan 1 canister
dalam 3 bulan terakhir risiko 1,78 kali dan yang mendapatkan lebih dari 1 canister dalam 3
bulan terakhir hanya 1,28 kali (lihat tabel 4).16

Tabel 4 Risiko infark miokard terkait β-agonis MDI pada subyek dengan penyakit
kardiovaskuler berdasarkan frekuensi dan saat terakhir penggunaan MDI16
Kategori penggunaan MDI Kontrol (n=1.140) Kasus (n=678) OR
Never user 1.000 556 1.0
One time user
Tidak diresepi dalam 3 bulan terakhir 49 39 1.21
1 canister dalam 3 bulan terakhir 4 17 7.32
Greater than one-time users
Tidak diresepi dama 3 bulan terakhir 39 29 1.14
1 canister dalam 3 bulan terakhir 10 12 1.78
Beberapa canister dalam 3 bulan terakhir 38 25 1.28

Mekanisme peningkatan risiko IMA oleh β-agonis MDI yaitu sebagian kecil β-agonis
inhalasi akan terabsorbsi secara sistemik melalui pembuluh darah paru dan tidak mengalami
metabolisme lintas pertama hati saat mencapai jantung. Obat ini akan menyebabkan
kronotropik dan inotropik positif dan berhubungan pula dengan timbulnya ektopik ventrikel
dan atrium. Dengan meningkatnya kerja jantung maka kebutuhan oksigen akan meningkat

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 11
yang dapat menimbulkan risiko terjadinya infark miokard. Sedangkan penurunan risiko IMA
pada pengguna β-agonis MDI lama dibandingkan pengguna baru kemungkinan terjadi akibat
desinsitisasi β-adrenoseptor oleh stimulasi β-agonis. Desensitisasi ini terjadi akibat adanya
downregulation dari β-adrenoseptor akibat meningkatnya kadar β-agonis.16

Kortikosteroid pada IMA


Kortikosteroid merupakan obat utama dalam kontrol asma maupun penanganan
eksaserbasi. Meskipun pemberian kortikosteroid untuk kontrol asma diberikan secara
inhalasi, manajemen eksaserbasi asma merekomendasikan pemberian kortikosteroid sistemik
(baik oral maupun intravena). Sehingga semakin sering seorang penderita asma mengalami
eksaserbasi akan semakin banyak kortikosteroid yang diberikan secara sistemik.
Studi yang dilakukan oleh Roubille dkk menunjukkan adanya peningkatan risiko IMA
pada penggunaan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid berhubungan dengan peningkatan
semua kejadian kardiovaskuler (RR 1,47%; 95% CI 1,34; p<0,001) termasuk IMA, stroke,
gagal jantung dan kejadian kardiovaskuler lainnya.17
Studi di atas sejalan dengan laporan oleh Huiart dkk tentang peningkatan risiko IMA
akibat penggunaan kortikosteroid oral pada pasien PPOK. Menurut studi tersebut risiko IMA
meningkat dua kali lipat (RR=2,01) pada pasien PPOK yang mengkonsumsi kortikosteroid
oral dalam 1 tahun terakhir (current user) dibanding mereka yang tidak mengkonsumsi
kortikosteroid oral (non user). Pada pasien PPOK yang pernah mendapatkan terapi
kortikosteroid oral namun sudah tidak menggunakan lagi dalam 1 tahun terakhir (past user)
memiliki risiko IMA yang lebih tinggi dibanding non user namun lebih rendah jika
dibandingkan dengan current user (RR=1.24).18
Dalam studi yang sama Huiart dkk membandingkan penggunaan kortikosteroid oral
pada kelompok current user berdasarkan pengunaan terakhir kortikosteroid oral yaitu 14 hari
sebelum kejadian (kelompok A), 15-30 hari sebelum kejadian (kelompok B), 31-60 hari
sebelum kejadian (kelompok C) dan lebih dari 60 hari sebelum kejadian (kelompok D)
terhadap kejadian IMA. Risiko relative terjadinya IMA pada kelompok A sebesar 2,01,
kelompok B1,14, kelompok C 1,24 dan kelompok D 1,26. Di sini terlihat bahwa risiko
terjadinya IMA paling tinggi adalah 14 hari setelah konsumsi kortikosteroid oral. 18
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada studi tentang penggunaan kortikosteroid
inhalasi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi tidak menunjukkan peningkatan risiko terjadinya
IMA. Sebuah systematic review yang dilakukan oleh Iftikhar dkk menunjukkan bahwa dari

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 12
15 studi yang dipelajari, hanya 3 studi yang melaporkan kejadian kardiovaskuler akibat
penggunaan kombinasi LABA-kortikosteroid inhalasi. 3 kejadian kardiovaskuler tersebut
kesemuanya adalah disritmia dan bukan kejadian IMA.19
Peningkatan risiko IMA pada penggunaan kortikosteroid terutama kortikosteroid oral
ini kemungkinan disebabkan oleh efek kortikosteroid sistemik. Efek tersebut meliputi
peningkatan resistensi insulin, peningkatan tekanan darah dan obesitas dimana ketiga faktor
tersebut diketahui sebagai faktor risiko terjadinya PJK.20

Ringkasan
Asma merupakan penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan inflamasi kronis
dari saluran napas. Mekanisme paling penting pada asma adalah bronkokonstriksi akibat
kontraksi otot polos bronkus. Penanganan asma meliputi terapi pengontrol dan terapi
eksaserbasi. β-agonis dan kortikosteroid merupakan obat utama dalam tatalaksana asma baik
terapi pengontrol maupun terapi eksaserbasi.
Asma masih belum diketahui sebagai salah satu faktor risiko terjadinya IMA yang
popular. Padahal sejumlah studi menunjukkan peningkatan risiko IMA pada pasien asma.
Asma yang menjadi faktor risiko IMA adalah asma aktif. Selain akibat efek samping terapi
asma, faktor inflamasi dicurigai sebagai latar belakang peningkatan risiko IMA tersebut.
β-agonis dan kortikosteroid merupakan obat utama dalam tata laksana asma baik
untuk terapi pengontrol maupun terapi eksaserbasi. β-agonis dilaporkan meningkatkan risiko
IMA melalui mekanisme aktivasi β1-adrenoseptor jantung sehingga meningkatkan kerja
jantung dan kebutuhan oksigen. Peningkatan kerja jantung dan kebutuhan oksigen akan
menyebabkan iskemia pada otot jantung.
Kortikosteroid inhalasi dan sistemik dilaporkan memiliki efek berbeda terhadap risiko
IMA. Kortikosteroid sistemik meningkatkan risiko IMA melalui efek sistemik kortikosteroid
dalam meningkatkan resistensi insulin, peningkatan tekanan darah dan obesitas yang menjadi
faktor risiko kejadian IMA. Sebaliknya, kortikosteroid inhalasi tidak meningkatkan risiko
kejadian IMA.

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 13
Daftar Pustaka
1. AHA. Heart Disease and Stroke Statistics — 2017 Update A Report From the
American Heart Association. AHA, Inc.; 2017.
2. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta : 2014.
3. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention Updated 2017. GINA
: 2017.
4. Iribarren C, Tolstykh I V., Miller MK, Sobel E, Eisner MD. Adult asthma and risk of
coronary heart disease, cerebrovascular disease, and heart failure: A prospective study
of 2 matched cohorts. Am J Epidemiol. 2012;176(11):1014-1024.
5. Busse WW, Camargo CA, Boushey HA, Evans D. Definition, Patophysiology and
Pathogenesis of Atsthma, and Natural History of Asthma. In: Expert Panel Report 3:
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. ; 2007:11-34.
6. Canning BJ, Fischer A. Neural regulation of airway smooth muscle tone. Respir
Physiol. 2001;125:113-127.
7. Boushey HA. Drug Used in Asthma. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, eds.
Basic and Clinical Pharmacology. 12th ed. McGraw Hill; 2012:339-357.
8. Amato GD, Stanziola A, Sanduzzi A, et al. Treating severe allergic asthma with anti-
IgE monoclonal antibody ( omalizumab ): a review. Multidiscip Respir Med.
2014;9(1):1-6.
9. Kokotajlo S, Degnan L, Meyers R, Siu A, Robinson C, Barnabas S. Clinical
Investigation Use of Intravenous Magnesium Sulfate for the Treatment of an Acute
Asthma Exacerbation in Pediatric Patients. J Pediatr Pharmacol Ther. 2014;19:3-7.
10. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, et al. .; 2012:2020-2035.
doi:10.1161/CIR.0b013e31826e1058.
11. Crea F, Liuzzo G. Pathogenesis of Acute Coronary Syndromes. JAC. 2012;xx(x).
12. Salpeter SR, Ormiston TM, Salpeter EE. Cardiovascular Effects of β2 -Agonists in
Patients With Asthma and COPD. Chest. 2004;125:2309-2321.
doi:10.1378/chest.125.6.2309.
13. Cazzola M, Segreti A, Calzetta L, Rogliani P. Comorbidities of asthma : current
knowledge and future research needs. Curr Opin Pulm Med. 2013;19(1):36-41.
14. Bang DW, Wi C, Kim EN, Hagan J, Roger V. Asthma Status and Risk of Incident
Myocardial Infarction : A Population-Based Case-Control Study. J Allergy Clin
Immunol Pract. 2016;1:1-7.

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 14
15. Iribarren C, Tolstykh I V, Eisner MD. Are patients with asthma at increased risk of
coronary heart disease ? Int J Epidemiol. 2004;33(4):743-748.
16. Au DH, Lemaitre RN, Curtis JR, Smith NL, Psaty BM. The Risk of Myocardial
Infarction Associated with Inhaled β-Adrenoceptor Agonists. Am J Respir Crit Care
Med. 2000;161:827-830.
17. Roubille C, Richer V, Starnino T, et al. The effects of tumour necrosis factor inhibitors
, methotrexate , non-steroidal anti-in fl ammatory drugs and corticosteroids on
cardiovascular events in rheumatoid arthritis , psoriasis and psoriatic arthritis : a
systematic review and meta-analysis. Ann Rheum Dis. 2015;74:480-489.
18. Huiart L, Ernst P, Ranouil X, Suissa S. Oral corticosteroid use and the risk of acute
myocardial infarction in chronic obstructive pulmonary disease. Can Respir J.
2006;13(3):134-138.
19. Iftikhar IH, Imtiaz M, Brett AS, Amrol DJ. Cardiovascular safety of long acting beta
agonist-inhaled corticosteroid combination products in adult patients with asthma: A
systematic review. Lung. 2014;192(1):47-54.
20. Ng MKC, Celermajer DS. Glucocorticoid treatment and cardiovascular disease. Heart.
2004;90(8):829-830. d

Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 15

Anda mungkin juga menyukai