Pendahuluan
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia di
tahun 2013. American Heart Association (AHA) melaporkan sekitar 17,3 juta dari 54 juta
atau sekitar 31,5% dari kematian total disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.1
Salah satu penyakit kardiovaskuler yang mematikan adalah penyakit jantung koroner
(PJK) dimana salah satu penyakit PJK yang paling mematikan adalah infark miokard akut
(IMA). Data dari Kemenkes RI menyatakan bahwa Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi
PJK di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang,
sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar
2.650.340 orang.2
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang biasanya ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas. Inflamasi tersebut menyebabkan limitasi dari saluran napas sehingga
mengganggu aliran udara di jalan napas terutama saat ekspirasi. Asma sering ditemukan di
masyarakat. Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2017 melaporkan bahwa insidens
asma berkisar antara 1-18% di berbagai negara di seluruh dunia.3
Asma dewasa terutama pada wanita merupakan prediktor independen terhadap
peningkatan risiko kematian PJK, stroke dan penyakit kardiovaskuler. Bukti terbaru
menunjukkan gejala alergi umum juga berkaitan dengan prevalensi PJK.4
Asma
GINA mendefinisikan asma sebagai penyakit heterogen, yang biasanya ditandai
dengan inflamasi kronis dari saluran napas. Asma merupakan penyakit yang umum terjadi di
masyarakat. Asma ditandai dengan berbagai gejala meliputi wheezing, sesak napas, dada
terasa berat dan/atau batuk yang disertai dengan limitasi aliran udara ekspirasi. Baik gejala
maupun limitasi aliran udara akan bervariasi baik waktu maupun intensitasnya. Variasi ini
seringkali dipicu oleh berbagai faktor seperti olahraga, pajanan allergen maupun iritan,
perubahan cuaca atau infeksi saluran napas.3
Tatalaksana Asma
Terapi asma dibagi menjadi dua bagian yaitu terapi jangka panjang dan terapi
eksaserbasi. Terapi asma jangka panjang dilakukan pada pasien asma yang tidak sedang
dalam fase eksaserbasi. Sedangkan fase eksaserbasi didefinisikan sebagai suatu episode yang
ditandai dengan adanya peningkatan gejala progresif meliputi sesak napas, batuk, mengi atau
dada terasa berat dan disertai penurunan fungsi paru yang progresif jika dibandingkan dengan
keadaan pasien sehari-hari.3
Terapi Pengontrol
Tujuan terapi pengontrol adalah untuk mencapai kontrol gejala yang baik, dan untuk
meminimalisir risiko eksaserbasi, memperbaiki limitasi aliran udara, dan mengurangi efek
samping terapi. Terapi pengontrol asma meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis.
Prinsip terapi farmakologis adalah memberikan terapi dengan obat dengan dosis dan
jenis paling minimal dimana memberikan hasil kontrol asma tertinggi sesuai dengan Asthma
Control Test (ACT). Tingkat keparahan asma meliputi asma ringan (terkontrol dengan baik
dengan terapi tahap 1 dan 2), sedang (terkontrol dengan baik dengan terapi tahap 3) dan berat
(terkontrol dengan baik dengan terapi tahap 4 dan 5 atau asma yang tidak terkontrol dengan
terapi tahap 5).3
Tatalaksana terapi pengontrol dapat dilihat lebih jelas melalui Stepwise management
pharmacotherapy sesuai rekomendasi GINA. Penilaian ulang tingkat keparahan asma harus
Tabel 2 Hubungan antara riwayat asma dan status asma dengan risiko infark miokard 14
Group Kasus (n=543) Kontrol (n=543) OR & 95% CI
Asma (p = 0.007)
Ya 81 (15%) 52 (10%) 1.71
Tidak 462 (85%) 491 (90%) 1.0
Status Asma (p = 0.003)
Aktif 46 (7%) 19 (3%) 2.33
Tidak aktif 35 (6%) 33 (6%) 0.88
Bukan asma 462 (85%) 491 (90%) 1.0
Sebuah studi lain menunjukkan hasil yang lebih menarik untuk dipelajari (tabel 3).
Risiko IMA pada pasien asma pria lebih rendah dibandingkan pada bukan pasien asma.
Sedangkan risiko IMA pada pasien asma wanita lebih tinggi dibandingkan pada bukan pasien
asma. Sebuah spekulasi yang belum diuji yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah bahwa
wanita memiliki kerentanan biologis yang lebih besar terhadap keadaan inflamasi asma atau
memiliki kerentanan terhadap efek kardiotoksik dari medikasi asma yang lebih besar
dibanding pria.15
Tabel 3 Insidens dan hazard ratio terjadinya penyakit jantung koroner yang berhubungan dengan
asma sesuai jenis kelamin.15
Pria (n=70.047) Wanita (n = 81.573)
Bukan asma Asma p Bukan asma Asma p
Jumlah kejadian/jumlah 12.232/63.898 1.062/6.149 8.172/74.675 898/6.898
orang
% rate 19.1 17,3 10,9 13,0
Age-adjusted hazard ratio 1.00 0.97 0.28 1.00 1.27 <0.0001
(95% CI)
Multivariate-adjusted 1.00 0.99 0.70 1.00 1.2 <0.0001
hazard ratio (95% CI)
Tabel 4 Risiko infark miokard terkait β-agonis MDI pada subyek dengan penyakit
kardiovaskuler berdasarkan frekuensi dan saat terakhir penggunaan MDI16
Kategori penggunaan MDI Kontrol (n=1.140) Kasus (n=678) OR
Never user 1.000 556 1.0
One time user
Tidak diresepi dalam 3 bulan terakhir 49 39 1.21
1 canister dalam 3 bulan terakhir 4 17 7.32
Greater than one-time users
Tidak diresepi dama 3 bulan terakhir 39 29 1.14
1 canister dalam 3 bulan terakhir 10 12 1.78
Beberapa canister dalam 3 bulan terakhir 38 25 1.28
Mekanisme peningkatan risiko IMA oleh β-agonis MDI yaitu sebagian kecil β-agonis
inhalasi akan terabsorbsi secara sistemik melalui pembuluh darah paru dan tidak mengalami
metabolisme lintas pertama hati saat mencapai jantung. Obat ini akan menyebabkan
kronotropik dan inotropik positif dan berhubungan pula dengan timbulnya ektopik ventrikel
dan atrium. Dengan meningkatnya kerja jantung maka kebutuhan oksigen akan meningkat
Ringkasan
Asma merupakan penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan inflamasi kronis
dari saluran napas. Mekanisme paling penting pada asma adalah bronkokonstriksi akibat
kontraksi otot polos bronkus. Penanganan asma meliputi terapi pengontrol dan terapi
eksaserbasi. β-agonis dan kortikosteroid merupakan obat utama dalam tatalaksana asma baik
terapi pengontrol maupun terapi eksaserbasi.
Asma masih belum diketahui sebagai salah satu faktor risiko terjadinya IMA yang
popular. Padahal sejumlah studi menunjukkan peningkatan risiko IMA pada pasien asma.
Asma yang menjadi faktor risiko IMA adalah asma aktif. Selain akibat efek samping terapi
asma, faktor inflamasi dicurigai sebagai latar belakang peningkatan risiko IMA tersebut.
β-agonis dan kortikosteroid merupakan obat utama dalam tata laksana asma baik
untuk terapi pengontrol maupun terapi eksaserbasi. β-agonis dilaporkan meningkatkan risiko
IMA melalui mekanisme aktivasi β1-adrenoseptor jantung sehingga meningkatkan kerja
jantung dan kebutuhan oksigen. Peningkatan kerja jantung dan kebutuhan oksigen akan
menyebabkan iskemia pada otot jantung.
Kortikosteroid inhalasi dan sistemik dilaporkan memiliki efek berbeda terhadap risiko
IMA. Kortikosteroid sistemik meningkatkan risiko IMA melalui efek sistemik kortikosteroid
dalam meningkatkan resistensi insulin, peningkatan tekanan darah dan obesitas yang menjadi
faktor risiko kejadian IMA. Sebaliknya, kortikosteroid inhalasi tidak meningkatkan risiko
kejadian IMA.