net/publication/338710340
Sejarah Intelektual
CITATIONS READS
0 148
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Juraid Abdul Latief on 21 January 2020.
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum.
Sejarah Intelektual
SEJARAH INTELEKTUAL
Diterbitkan oleh:
Magnum Pustaka Utama
Beran RT 07 No. 56 Tirtonirmolo, Kasihan Bantul, DI Yogyakarta
Telp: 0858-6851-5323/0821-3540-1919
Email: penerbit.magnum@gmail.com
Website: www. penerbitmagnum.com
SBN: 978-602-1217-88-7
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Ketika kata intelektual disodorkan dalam sebuah forum diskusi atau
seminar, pikiran kita akan mengarah ke situasi dunia akademik yang sangat
terkait dan dibatasi oleh kaidah-kaidah ilmah. Kaidah-kaidah ilmiah yang
dimaksud membawa pemikiran bahwa setiap pernyataan terhadap sebuah
tesis mampu dibuktikan apa yang dikatakannya secara logis, empiris,
dan teruji melalui suatu proses penemuan yang bersifat ilmiah. Dari satu
sisi, hal itu benar karena ciri khas utama intelektualitas seseorang adalah
berwawasan ilmiah yang berbasis ilmu pengetahuan, dan nilai kredibilitas
dari di kalangan masyarakat sangat tinggi pada sisi yang lain.
Sebenarnya seseorang yang memiliki julukan intelektual lebih
memerlukan banyak dimensi ketimbang seseorang yang hanya berjulukan
ilmuan (scientist) belaka. Dalam bahasa ilmuan mutakhir, tidak semua
ilmuan itu intelektual, akan tetapi seorang intelektual pasti mememiliki
kredibilitas ilmu. Pemikirannya digandrungi orang di luar batasan lapangan
ilmu atau posisi akademis tertentu yang digelutinya. Berdasarkan tesis
tersebut, orang mampu menempatkan tokoh kontemporer Steven Hawking
misalnya sebagai intelektual ketimbang sebagai fisikawan belaka. Isu fisika
murni mampu ia gunakan untuk menjelaskan fenomena kosmologi alam
semesta, baik dalam tataran hukum-hukum alam yang dapat dijelaskan
secara matematis maupun lapangan teologis yang beribu tahun hanya
tertera dalam kitab-kitab suci. Bukunya tentang Big Bang yang berlandaskan
premis-premis fisika dan matematika teori, laku bagaikan kacang goreng.
Begitulah ciri khas intelektual, mampu merangkai isu, pengetahuan
atau wacana yang dia kuasai sebagai suatu titik dalam sebuah bangunan
wacana iptek, sosial bahkan dunia yang lebih luas. Berdasarkan argumen
dan contoh-contoh tersebut, orang pun akan mampu menilai mana yang
lebih intelektual antara Habibie dengan Mangunwidjaya, meski keduanya
Insinyiur lulusan Jerman.
Apa yang penulis ajukan di atas sangat relevan untuk mengetahui
peran apa yang dapat diberikan kaum akademisi, cendekia, kalangan
profesional, dan pengamat untuk menyebarluaskan ide-ide tentang
pentingnya wacana intelektualitas kepada masyarakat umum maupun kaum
terpelajar yang menjadi sorotan buku ini. Gagasan penyebaran tentang ide-
ide cerdas berwawasan kemasyarakatan, ide-ide yang bersifat kritis terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan masyarakat dengan segala dimensinya. Ada dimensi
ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan negara dalam arti
luas.
Dalam konteks kepentingan pembangunan masyarakat kontemporer
kita, peran para intelektual tidak hanya membangun wacana, tapi memberi
wawasan yang cukup mendalam terhadap masyarakat, apa yang menjadi
tanggung jawab pemerintah melalui pelayanan yang mereka berikan
yang bersumber dari wewenang dan uang pajak rakyat. Adalah tanggung
jawab mereka memberi pencerahan, pengetahuan, dan wawasan, bahwa
pemerintah tidak hanya berkewajiban memberi pelayanan secara efektif dan
efisien sesuai kebutuhan masyarakat, tapi juga harus transparan dan mampu
berbuat dengan penuh tanggung jawab.
Sikap dan peran intelektual adalah kemampuan bersikap secara kritis
dan mampu melihat sebuah fenomena hanya sebagai bagian kecil belaka
dari spektrum dan struktur ilmu, wacana, situasi sosial kemasyarakatan yang
lebih luas. Maka ciris khas intelektual selain berkadar ilmu pengetahuan
yang teruji dan dapat dipercaya, juga terbuka, kritis, dan fleksibel dalam
berpikir, bersikap, dan atau bertindak.
Buku ini tidaklah bermaksud mendidik para pembacanya (menggurui)
untuk menjadi intelektual. Namun, upaya penulis melalui isu-isu yang
dipaparkan dari bab-ke bab menyajikan lahir dan berkembangnya
pemikiran modern, mulai dari pemikiran mitologis, filosofis, fragmatis,
feodalis, individualis, berikut tokoh-tokoh pemikir utama (intelektual yang
vii
B. Sistematika Uraian
Dalam menyajikan uraian pembahasan, buku ini dirangkai dalam
sistematika analisis yang meliputi bagian awal lazim sebagai pendahuluan
yang memuat latar belakang dan sistematika pembahasan, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan bagian kedua mengenai pemikiran
mitologis dan filosofis, bagian ketiga tentang arah pemikiran fungsional yang
berhubungan dengan rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme modern,
positivisme, materialsme dan eksistensialisme, bagian keempat adalah
tentang tokoh-tokoh utama filsafat Yunani yaitu, Socrates, Plato, Aristoteles,
dan Archimides, bagian kelima tentang kebangkitan pemikiran abad
pertengahan yang terinci dalam tumbuhnya individualisme, pekembangan
individulisme, beberapa peranan individualisme, pokok pemikiran Abad
Pertengahan, peranan kaum Bourjuis, dan kelumpuhan feodalisme, bagian
keenam atau terakhir adalah kebudayaan dan keberpihakan kaum intelektual
yang terurai dalam sub-sub bagian mengingkari kebebasan, intelektual abdi,
perang dingin ilmu dan kebudayaan, invasi bisnis, bebas atau sadar nilai,
tipologi intelektual, kaum intelektual, serta sikap dan peran.
PENGANTAR..........................................................................................vi
A. Latar Belakang.................................................................................. vi
B. Sistematika Uraian .........................................................................viii
DAFTAR ISI.............................................................................................ix
BAB I PEMIKIRAN MITOLOGIS DAN FILOSOFIS............................ 1
A. Pemikiran Mitologis...........................................................................1
B. Pemikiran Filosofis.............................................................................6
BAB II PEMIKIRAN FUNGSIONAL.................................................... 13
A. Rasionalisme....................................................................................16
B. Empirisme.......................................................................................22
C. Kritisisme.........................................................................................35
D. Idealisme Modern............................................................................47
E. Positivisme.......................................................................................49
F. Evolusionisme..................................................................................63
G. Materialisme....................................................................................64
H. Eksistensialisme...............................................................................67
BAB III PEMIKIRAN PRAGMATIS, MODERNISME KE
POSTMODERNISME, DAN POSTKOLONIAL................................. 69
A. Pemikiran Pragmatisme....................................................................69
B. Pergeseran Era Dari Pramodern ke Postmodern...............................71
C. Pemikiran Posmodernisme...............................................................80
D. Pemikiran Postkolonial....................................................................82
BAB IV FILSAFAT DAN KEBERADAAN MANUSIA.......................... 85
A. Berfikir Agamais Dan Matematis.....................................................87
B. Keberadaan Manusia......................................................................102
x
C. Unsur-unsur Kemanusiaan.............................................................105
D. Kebermaknaan dan Mengenal Manusia Melalui Filsafat ................109
BAB V TOKOH-TOKOH FILSAFAT YUNANI DAN ISLAM............ 115
A. Socrates (470 – 399 SM)................................................................116
B. Plato (427 – 347 SM)....................................................................120
C. Aristoteles (384 – 322 SM)............................................................123
D. Archimedes (285 – 212 SM)..........................................................125
E. Al-Kindi.........................................................................................126
F. Al-Asy’ari.......................................................................................129
G. Al-Farabi........................................................................................130
H. Ibn Sina.........................................................................................132
I. Al-Gazali........................................................................................134
J. Ibn Rusyd......................................................................................136
K. Ibn Taimiyyah................................................................................138
L. Ibn Khaldun .................................................................................141
BAB VI KEBANGKITAN PEMIKIRAN ABAD PERTENGAHAN.......151
A. Tumbuhnya Inividualisme.............................................................152
B. Perkembangan Individualisme.......................................................155
C. Beberapa Peranan Individualisme...................................................163
D. Pokok-Pokok Pemikiran Abad Pertengahan....................................170
E. Peranan Kaum Bourjuis ................................................................171
F. Kelumpuhan Feodalisme................................................................183
BAB VII KAUM INTELEKTUAL DI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG................................................................................... 187
A. Dunia Kita.....................................................................................187
B. Kaum Intelektual...........................................................................190
C. Sikap Dan Peran Intelektual...........................................................191
D. Mengingkari Kebebasan.................................................................195
E. Pengabdian Intelektual...................................................................196
F. Ilmu Dan Kebudayaan...................................................................197
G. Kekuasaan Bisnis............................................................................200
H. Nilai Kebebasan.............................................................................203
I. Tipologi Intelektual.......................................................................203
Sejarah Intelektual
xi
A. Pemikiran Mitologis
Menurut Suparlan Suhartono (1994), bahwa pemikiran mitologis
adalah cara berpikir yang mewarnai kehidupan manusia pada awal
perkembangannya. Kita semua kenal dengan dunia “mitis” dan upacara-
upacara magis masih berada di sekitar kita, para orang tua kita, para guru,
dan para tetua seringkali menuturkannya.
Upacara-upacara magis untuk memulai bercocok tanam, masa panen,
pindah rumah atau mendirikan rumah baru dan sebagainya masih akrab
sekali dengan sikap hidup kita sehari-hari. Cerita-cerita tentang kesaktian
seorang “dukun” (paranormal) melalui kekuatan magis kerisnya, kitab-kitab
yang dikeramatkan dan sebagainya masih sering kita saksikan. Upacara-
upacara atau tradisi yang secara positif mewarnai kehidupan masyarakat
kita itu kemudian dewasa ini dikenal dengan kearifan lokal.
Pemikiran mitis yaitu suatu pola pikir yang menyatakan bahwa diri
manusia berada di dalam kungkungan kepercayaaan-kepecayaan kekuatan
gaib alam (hukum-hukum alam) dan para dewa. Hal ini membuktikan
bahwa bukan merupakan hal yang diada-adakan, melainkan sungguh ada.
Lebih tepat hal itu dipahami sebagai gejala manusiawi belaka.
Memang pemikiran mistis secara jelas tampak pada kebudayaan
masyarakat primitif, di dalam mana tingkah laku manusia secara langsung
2
melibatkan diri dengan para dewa sebagai sumber kekuatan alam yang
serba misterius. Dunia demikian masih belum dikacaukan oleh campur
tangan ilmu pengetahuan dan teknologi apapun. Sering kita memahaminya
bahwa kebudayaan primitif (primitive culture) diisi oleh sikap pasrah-
menyerah secara tulus ikhlas manusia kepada kekuatan-kekuatan gaib.
Manusia primitif masih sangat sederhana, hidup dengan hanya megikuti
hukum-hukum alam belaka. Karena itu statis, tidak ada perubahan dan
perkembangan. Tetapi jika diamati secara lebih cermat, sebenarnya tidaklah
begitu sederhana. Sebenarnya didalamnya telah ada kaidah-kaidah yang
dipakai sebagai pedoman bertingkah-laku sosial. Masalah pekawinan,
sudah ada larangan-larangan untuk pemuda-pemudi tertentu. Masalah
sosial politik pun sudah ada, yaitu kadang kita dengar adanya pembunuhan
atau pengucilan terhadap sejumlah orang yang melanggar kaidah-kaidah
sosial, perang antar suku (clan) dan sebagainya. Hal ini membuktikan
bahwa “mitos” bukanlah dongeng belaka, melainkan lebih sebagai suatu
bukti pedoman bagaimana hidup diselenggarakan.
Di dalam pemikiran mitologis ternyata sudah terdapat ketegangan-
ketegangan antara dua kekuatan yaitu kekuatan manusia di satu pihak dan
kekuatan alam pada pihak lain. Jadi kepasrahan kepada alam secara tulus
tidaklah dapat dijamin kebenarannya. Di dalam kehidupan primitif mitis
juga terdapat perubahan dan perkembangan sebagai akibat sikap ketegangan
manusia dalam menghadapi kekuatan alam. Upacara-upacara magis sering
difungsikan sebagai suatu penentuan sikap masa depan agar tabah dalam
menghadapi kesukaran-kesukaran seperti wabah-wabah, musim kering dan
sebagainya.
Selanjutnya pemikiran mitologis seringkali dipahami sebagai tidak
logis atau tidak ilmiah. Pemikiran ini secara positif dipahami sebagai awal
dari perkembangan pemikiran manusia. Pemikiran mitologis kemudian
disebut sebagai “pra-logis” atau pemikiran ke kanak-kanakan. Memang sifat
kesederhanannya amat menonjol. Ketika mereka sedang ditimpa wabah
penyakit, pikirannya memastikan bahwa dewa sedang murka. Oleh karena
itu diadakanlah upacara-upacara dan sesaji-sesaji. Lebih daripada sekedar
mohon pengampunan kepada dewata, upacara dan sesaji itu cenderung
Sejarah Intelektual
4
hanya merupakan obyek belaka? Apakah manusia hanya mampu eksis hanya
dengan sikap pasrah dan menyerah pada kekuatan-kekuatan alam belaka?
Telah dikenal bahwa pemikiran mitologis menunjuk posisi manusia
terhadap dunianya. Antara manusia (subyek) dan dunia (obyek) berhubungan
secara rapat, tidak ada garis pemisah yang tegas. Manusai sebagai subyek
lebih berkedudukan sebagai bagian integral dari alam (obyek). Dengan
kekuatan gaibnya dunia mempengaruhi kehidupan manusia secara kuat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat pun demikian pula. Manusia baru
mendapatkan identitasnya dengan mengaitkan dirinya secara integral dengan
“sosio-mistisnya”. Orang perantau bisa menjadi tidak dapat dikenal atau
tidak mampu memperkenalkan dirinya karena telah terputus ikatan dengan
keluarganya, marganya atau sukunya. Keadaan demikian sama halnya dengan
suatu penderitaan sanksi seumur hidup. Dalam kaitannya dengan sosio-
mitisnya, seseorang membicarakan diri sendiri dengan cara mengaitkan orang
tuanya, marganya atau sukunya. Di Indonesia misalnya, orang menyebut
dirinya dengan “ananda”, atau “putranda”, bahkan masih ada sebutan
“hamba”. Inilah bapak atau ibu anak-anak untuk menunjuk diri suami atau
isteri. Predikat seperti orang Jawa, orang Bugis, orang Makassar, Bima, Buton,
dan sebagainya adalah suatu ekspresi cara berada yang mitologis.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang individu hanya dapat memikirkan
dirinya sendiri dalam kaitannya dengan sosio-mitisnya, atau paling tidak
dengan orang-tuanya. Oleh sebab itu, dapatlah dipahami bahwa di
dalam kehidupan yang mitologis seseorang meleburkan kepribadiannya
sendiri ke dalam sosialitasnya, di dalam alamnya. Kalaupun kepribadian
itu kelihatan, bukanlah suatu perwujudan yang utuh, melainkan hanya
sekedar menunjukkan kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat
dan dunianya.
Dalam pada itu, hubungan antara “jiwa” dan “raga” juga belum
dipahami sebagai miliknya sendiri, melainkan sebagai milik dunia, milik
suku bangsanya. Karena itu sering seseorang bercita-cita sesuatu demi
nusa dan bangsanya. Karena itu, jiwa dipandang sebagai sesuatu yang
berpengaruh, sesuatu yang berkuasa. Ia dapat tiinggal di luar atau di dalam
Sejarah Intelektual
6
B. Pemikiran Filosofis
Kalau pada pemikiran mitologis subyek (manusia) belum mampu
berdiri sebagai subyek yang utuh dan bulat, maka pada pemikiran filosofis,
subyek (manusia) sudah mulai keluar dan mengambil jarak dengan obyek.
Pada taraf pemikiran filosofik ini, subyek mulai mengatasi obyek. Subyek
dengan demikian tidak lagi berada di dalam atau sebagai bagian dari obyek.
Ke-apa-an obyek menjadi sasaran untuk dipahami. Oleh karena itu logika
atau akal pikiran mulai dominan. Hal ini mengakibatkan misteri obyek
mulai terbuka tabirnya.
Lebih jauh, kalau pada taraf pemikiran mitologis, alam (obyek)
menjadi titik sentral, sehingga pada taraf pemikiran filosofik, manusia yang
menjadi titik sentral. Manusia menjadi subyek yang bebas dan otonom
terhadap realitas. Dalam perkembangan selanjutnya (abad ke-15) seluruh
aktifitas psikis/phisis terkemas dalam paham yang disebut humanisme, suatu
paham yang menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam hidup ini (dari
manusia, oleh manusia, dan untuk manusia). Namun demikian, kebenaran
filsafat pada masa ini masih tetap bersifat universal, belum “terseret” pada
hal-hal yang konkrit, positif, dan praktis.
Pada masa ini terdapat beberapa filosof yang corak pemikirannya
dapat dikatakan mewarnai diskusi-diskusi filsafat sepanjang sejarah
perkembangannya, yaitu Parmenides (540-475), Heracleitos (534-475),
Plato (427-347), dan Aristoteles (384-322).
1. Pemikiran Filosofis Parmenides dan Heracleitos
Dengan mengambil objek “alam”, Parmenides berpendapat bahwa
“arche” (materi terdalam) adalah sesuatu yang bersifat tetap tidak berubah,
dan hanya ada satu. Sebaliknya Heracleitos dengan menggambarkan objek
“api” berpendapat bahwa arche alam ini adalah sesuatu yang serba berubah-
ubah dan berjumlah banyak.
Parmenides (Bapak Metafisika) secara brilian menjelaskan bahwa
realitas ini sebagai “to be” (ada) (being as being, being as such) “yang ada
dan tidak ada” merupakan satu yang utuh menyeluruh tidak dapat dipecah-
pecah. Jika A = B + C maka B + C bereda untuk memahami kebenarannya,
ia menunjuk alat yang pasti tepat yaitu “Pikiran”. Karena hanya dengan
pemikiranlah pengetahuan umum dan abstrak dan menyeluruh dapat
dicapai. Sedangkan segala macam penginderaan hanyalah mampu mencapai
pengetahuan yang pragmatis, terbelah-belah, khusus dan selalu keliru.
Pengetahuan indera tidak handal.
Sejarah Intelektual
8
Melihat contoh yang lain, pohon misalnya. Melalui akal budi, ide
pohon itu dapat dipahami, sedangkan melalui kesaksian indera bermacam-
macam jenis dan bentuk pohon dapat disaksikan. Oleh sebab itu dunia
ide besifat tetap, tidak mengalami perubahan dan perkembangan apa-apa.
Sedangkan dunia jasmani (bayang-bayang) selalu ada di dalam perbedaaan,
perubahan, dan perkembangan. Dalam dunia jasmani, ide segitiga (yang
satu dan tetap) bisa berubah dan berkembang menjadi segitiga siku-siku,
sama kaki, sama sisi, dan sebagainya.
Sesungguhnya Plato, tampak ada usaha untuk mencoba
mempertemukan pertentangan antara filsafat ada (Parmenides) dan filasafat
menjadi (Heracleitos). Namun Plato masih terlalu berat sebelah, karena
seolah tidak mau mengakui segala kesaksian indera sebagai suatu realitas
pula. Pemikirannya tentang manusia di bawah ini memberi kejelasan.
Manusia, bagi Plato berada di dalam dua dunia, yaitu dunia ide dan
dunia jasmani. Diri manusia merupakan gabungan dari dua dunia yang
sama sekali berbeda, yaitu jiwa dan raga. Bagi jiwa, raga adalah penjara yang
membelenggu. Sebelum bersatu sebagai raga, jiwa berada di dunia ide.
Karena itu ia mengenalnya. Dunia ini dikenal dengan dunia yang penuh
dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Lalu dengan kesannya, jiwa berusaha
mengenal kembali “ide manusia” sebagia realitas manusia yang sebenarnya.
Dan dengan metode pembidanan akal budi mampu wujud kembali. Metode
kebidanan ini dapat dibentuk dengan sistem dialog.
Dari urairan Plato mengenai realitas termasuk manusia tersebut dapat
dipahami corak khusus pemikirannya. Dimanakah letak otonomi dan
kebebasan berpikir Plato? Adakah dinamika yang berorientasi ke depan? Jika
ada, apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat manusia di kemudian hari?
Tanpa dipengaruhi oleh macam-macam kepentingan, rupanya Plato
telah berhasil menyederhanakan struktur realitas. Apa yang ia saksikan
sebagai permacam-macaman, ia kelompokkan dan kemudian ia abstraksikan
hingga suatu keseragaman (ide) dapat dipahami. Demikianlah maka ia
merekonstruksikan realitas sebagai tersusun atas realitas sejati dan realitas
semu.
Sejarah Intelektual
10
b. Realisme Aristoteles
Berbeda halnya dengan Plato (gurunya), terhadap persoalan
kontradiktif antara hakikat realitas apakah tetap atau menjadi, Aristoteles
menerima yang serba berubah dan menjadi, yang bermacam-macam yang
semuanya ada di dalam dunia sebagai realitas yang sesunguhnya. Itulah
sebabnya pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme.
Dalam bahasanya ia mengatakan bahwa setiap hal atau benda
tersusun dari “hule” dan “morfe”, yang kemudian dikenal dengan teori
“hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macaman. Karena hulenya
maka suatu benda adalah benda itu sendiri, benda tertentu. Misalnya si Anu
bukan si Badu karena hulenya.
Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan, yang menjadi inti dari
barang sesuatu. Karena morfenya, maka barang sesuatu itu sama dengan
yang lain (satu inti) termasuk ke dalam satu jenis yang sama. Morfe
ini berbeda dengan hule, hanya dapat dikenal dengan akal budi saja.
Misalnya si Ali, si Ani, si Ahmad yang berbede-beda adalah berada di
dalam morfe yang sama yaitu sebagai manusia. Namun demikian baik
hule maupun morfe adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan
hulenya maka barang sesuatu itu maujud di dalam realitas, dan karena
morfenya barang sesuatu itu mengandung arti hakiki sebagai barang
sesuatu.
Pandangan hulemorfisnya itu sejalan dengan pandangan atau teori
aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan
potensia adalah dasar kemungkinan. Barang sesuatu itu sungguh-sungguh
karena aktusnya, dan barang sesuatu itu mungkin (mengalami perubahan
dinamik) karena potensianya. Jadi, jika dipakai untuk memahami barang
sesuatu yang konkret, maka hule merupakan potensianya dan morfe
adalah aktusnya. Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-
macaman) ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamik
bergerak menuju ke bentuk-bentuk aktus murni. Sedangkan aktus murni
itu tidak mengandung potensia apa-apa, jadi bersifat tetap tidak berubah-
ubah dan abadi.
Sejarah Intelektual
BAB II
PEMIKIRAN FUNGSIONAL
2 - Pemikiran Fungsional
15
Sejarah Intelektual
16
budaya baru serta ketidak mampuan kita dalam membendung serangan itu
dan mempertahankan budaya dasar kita.
Dalam perkembangan selanjutnya, humanisme yang sebelumnya telah
“mengemasi” seluruh aktivitas psikis/fisik manusia (abad ke-15) kembali
menjadi dasar dalam pemikiran yang berorak fungsional. Dengan demikian
filsafat yang mempunyai kebenaran universal lambat laun menjadi parsial,
positif, konkrit, dan paktis. Dan ilmu pengetahuanpun menjadi sistematik
dan pragmatik.
Pada masa ini terdapat beberapa isme (paham) yang dapat dikatakan
menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan
hidup manusia. Paham-paham tersebut antara lain, rasionalisme,
empirisisme, kritisisme, idealisme, pragmatisme, dan lain-lain.
A. Rasionalisme
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan
pangkal dari segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang
memegang tampuk pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio
diakui sepenuhnya dengan sama sekali meyisihkan pengetahuan indera.
Sebab pengetahuan indera adalah hanya menyesatkan saja. Dengan metode
“keragu-raguan” pemikir Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian.
Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, maka tampaklah segera tentang
adanya sebab yang berpikir tentu ada. Oleh karena itu, dari metode
keraguan ini muncullah kepastian tentang adanya diri sendiri. Dirumuskan
olehnya dengan “cogito ergo sum”, artinya karena saya berpikir, maka saya
ada.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota
kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan
di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi
kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat
tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya.
Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang
filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan
2 - Pemikiran Fungsional
17
ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya
ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa
negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia
menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun
1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap
di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena
iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda
sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis
banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm,
Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena
penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya
filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher
les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima
Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae
(Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan
segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan
indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh
sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan,
keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada
pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan
dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang
diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan
menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang
ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat
kesalahan yang lebih tinggi. Meskipun demikian dia tidak mengingkari
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya
di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide
Sejarah Intelektual
18
yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan
akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum
yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya.
Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya
sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk
umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali, “Andaikata
Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian
sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsafat .… Pengertian historis
kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan
sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang
ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk
membangun filsafat baru antara lain:
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes
menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-
metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang
benar:
1. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang
terang dan jelas.
2. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai
dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih
berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi
pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini
disebut sebagai pola analisis.
3. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap
2 - Pemikiran Fungsional
19
Sejarah Intelektual
20
2 - Pemikiran Fungsional
21
Sejarah Intelektual
22
dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan, bahkan
mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling
bisa diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah
bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman,
melainkan dari pikiran.
B. Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan
bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Olehnya
itu, Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah
pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris
dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan
John. Empirisme Thomas Hobbes juga terlihat jelas, bahwa Empirisme ini
sebabkan oleh paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan baik lahiriah maupun batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Hal tersebut di pertegas oleh Hobbes bahwa pengalaman itu
merupakan permulaan segala pengenalan. Filasafat meterialisme yang dianut
hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu itu bersifat bendawi
dalam artian bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan
kita. Realitas yang bendawi tidak tergantung dengan gagasan seseorang, dan
terhitung didalam gerak trsebut.
Manusia segala sesuatu yang ada pada diri manusiapun dapat
diterangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian alamiah, yaitu secara
mekanis, manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnnya
bekerja. Sedangkan Jiwa sebagai ajaran jiwa. Hal tersebut sejalan dengan
ajaran filsafat dasarnya, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks
dari proses-proses mekanis di dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan
melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Teori pengenalan Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan bagi dia diperoleh
karena pengalaman. Penglaman merupakan awal dari pengetahuan. Yang
dimaksud pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang
disimpan didalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengaharapan
akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
2 - Pemikiran Fungsional
23
Sejarah Intelektual
24
2 - Pemikiran Fungsional
25
b. Konstruk Empiris
Rome Harre dalam tulisannya “Varieties of Realism (1986)” membedakan
tiga realm (domein) entitas empirik sebagaimana dinukil Prof. Dr. H. Noeng
Muhadjir. Realm 1 adalah entitas empirik yang dapat ditangkap dengan panca
indera manusia. Benda-benda yang bisa diamati indera manusia adalah nyata.
Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda itu yang
menunjukkan sifatnya. Realm 2 adalah entitas empirik yang tidak dapat
ditangkap panca indera secara langsung.Mikro-organisme, senar X merupakan
entitas empiris yang hanya dapat ditangkap panca indera kita dengan
instrumen. Entitas empiris realm 2 ini merupakan evidensi instrumentatif.
Benda-benda yang bisa diamati walaupun dengan alat bantu karena memiliki
sifat kebendaan sehingga bisa ditangkap dengan panca indera adalah nyata.
Entitas empirik realm 3 adalah evidensi seperti neutron, chip dengan berjuta
fungsi dan lain-lain. Entitas empirik realm 3 dapat dibuktikan dengan terapan
disertai penjelasan teoretik logik.
Prof. Dr. Noeng Muhadjir membedakan konstruk empirik atas
pengahanyatan empirik sensual, penghayatan empirik logik, penghayatan
empirik etik dan penghayatan empirik transendental. konstruk empirik
ini ternyata lebih detail dan datarannya lebih berlanjut. Namun bila
dikorelasikan denga pendapat Rome Hare sebenarnya sangat berhubungan
dan saling mendukung. Entitas empirik realm 1 termasuk dalam
penghayatan empirik sensual. Sedangkan realm 2 dan realm 3 termasuk
dalam penghayatan empirik logik. Penghayatan konstruk empirik tersebut
dapat diteruskan pada dataran berikutnya, yakni penghayatan empirik etik
dan penghayatan empirik transendental.
Sejarah Intelektual
26
2 - Pemikiran Fungsional
27
Sejarah Intelektual
28
2 - Pemikiran Fungsional
29
Sejarah Intelektual
30
2 - Pemikiran Fungsional
31
Sejarah Intelektual
32
2 - Pemikiran Fungsional
33
dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik,
orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap
pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan
tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan
manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia
mengangkat berbagai dewa untuk disembah. Mukjizat adalah ajaran agama
yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk
menolak mukjizat, yaitu:
Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan
dan kaum terpelajar. Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan
untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun
keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat. Kajian peradaban
membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat
terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya.
Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh
takhayul (the more we believe in science the less we are likely to be deceived by
superstition).
Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat. Data sejarah
yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini
jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar. Apa
relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu?
Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak
dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja.
Paham seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti. Empirisme
mempersiapkan nihilisme.
d. George Berkeley
George Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori
yang dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme.
Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima
substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-
substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam
Sejarah Intelektual
34
b. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan
problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-
pandangan berikut:
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal
dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan
mengacu pada pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih
merupakan data indera yang ada seketika.
2 - Pemikiran Fungsional
35
c. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak
sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara
demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan
kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada
kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan
bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika
tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu
tak ada dasar untukkeraguan. Dalam situasi semacam itu, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok
falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti
karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda,
dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
C. Kritisisme
Immanual Kant seorang filosof kebangsaan Jerman (1724-1804),
mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Dikatakan bahwa masing-masing aliran itu mitra kedaulatan tetapi jika
diberikannya masing-masing juga menemui kesulitannya sendiri-sendiri.
Pada awalnya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang
mempengaruhinya. Di dalam menghadapi empirisme, ia tidak begitu saja
menerimanya, karena ia tahu bahwa empirisme membawa keragu-raguan
terhadap budi. Pada satu pihak Kant mengakui kebenaran pengetahuan
indera dan di lain pihak diakui bahwa budi pun mampu mencapai
kebenaran. Tetapi syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan menyelidiki
(mengeritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan apa sebabnya maka
pengetahuan itu mungkin. Itulah sebabnya aliran Kant disebut kritisisme.
Sedangkan cara-cara mengkompromikan antara kedaulatan akal budi dan
pengalaman adalah sebagai berikut, “bagaimanapun fungsi akal adalah
Sejarah Intelektual
36
2 - Pemikiran Fungsional
37
Sejarah Intelektual
38
2 - Pemikiran Fungsional
39
yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis
ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya
ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”.
Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku.
Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti?
Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” - “clearly and
distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah
yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada
sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan
(res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang
seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-
bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil
tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi
berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung
pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian
tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki
keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia
memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana
malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia
adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki
kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak
seperti memiliki kecerdasan buatan).
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776),
yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman
itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang
batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Sejarah Intelektual
40
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume
tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja
tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul
gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah
ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin,
ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa
ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri
tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari
kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi
Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions
(= kesadaran tertentu)”. Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala
lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu
tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan
gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan
tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume
menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain
tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.
Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam”
atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan,
yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan
atau perasaan kita saja. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas
tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas
dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-
masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa
pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal
kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia
sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita
tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an
sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua
2 - Pemikiran Fungsional
41
orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan
kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-
kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang
dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua
adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses
yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran
filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran
filsafat masa kini.
2. Kritisisme Immanuel Kant dan Sumbangannya pada Dunia
Pengetahuan.
Menurut Kant, kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanan
dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio
(Kaelan, 2009:60). Menurut Bertens, Kant adalah filsuf pertama yang
mengembangkan penyelidikan ini. Dikatakan bahwa para filsuf-filsuf
sebelumnya bersifat dogmatis, karena mereka hanya percaya secara
mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Dengan kata lain Kant mampu mengubah wajah dan paradigma filsafat,
membedakan dan mempertentangkan antara dogmatisme dan kritisisme.
Kritisisme Kant merupakan buah usaha raksasa untuk menjembatani
Rasionalisme dan Empirisme.
Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-
hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum
pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari
hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam
obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang
sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Menurut paham Empirisme sumber utama pengetahuan manusia
adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata (menekankan
unsur-unsur aposteriori). Sementara rasionalisme berpendapat bahwa
sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan
Sejarah Intelektual
42
2 - Pemikiran Fungsional
43
Sejarah Intelektual
44
satu kesatuan dalam bentuk filsafat kritis, dan membangun cara berpikir
kritis yang tidak terjebak dalam keduanya. Menurut Kant, pemikiran telah
mencapai arahnya yang pasti dalam ilmu pengetahuan pasti-alam yang
telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti alam itu telah mengajar
kita bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis meneliti tindakan
pengenalan itu sendiri. Pengenalan bersandar kepada putusan. Oleh karena
itu, perlu sekali pertama-tama diadakan penelitian terhadap putusan. Suatu
putusan menghubungkan dua pengertian yang terdiri dari subjek dan
predikat. Dalam satu putusan seperti “meja itu bagus”, maka predikatnya
(bagus) menambahkan sesuatu yang baru kepada subjeknya (meja). Karena
tidak semua meja adalah bagus. Putusan ini disebut putusan yang sintetis,
karena menambahkan sesuatu yang baru terhadap subjeknya dan diperoleh
secara a posteriori, atau melalui pengalaman dengan melihat meja itu dan
membandingkan dengan meja-meja lain. Inilah putusan yang dihasilkan
oleh empirisisme.
Dalam putusan yang lain seperti “lingkaran adalah bulat”, ternyata
predikatnya (bulat) tidak memberi sesuatu yang baru terhadap subjeknya
(lingkaran). Maka hal ini disebut putusan yang analitis, dan bersifat a
priori, atau bisa diperoleh hanya melalui kegiatan pemikiran akali saja
tanpa dibutuhkannya suatu pengalaman. Inilah putusan yang dihasilkan
oleh rasionalisme.
Menurut Kant, syarat dasar bagi suatu pengetahuan adalah bersifat
umum dan perlu mutlak namun sekaligus memberi pengetahuan yang
baru. Empirisme memberikan putusan-putusan yang sintetis, jadi
tidak mungkin empirisme memberikan suatu yang bersifat umum dan
perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan putusan-putusan
yang analitis, jadi tidak memberikan suatu pengetahuan yang baru.
(Hadiwijono, 1980:65-66). Demikianlah, ternyata baik empirisisme
maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana membuat
suatu putusan-putusan yang sintetis a priori, yaitu suatu putusan yang
mampu memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu tergantung dari
pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat transendental,
2 - Pemikiran Fungsional
45
Sejarah Intelektual
46
dan tidak tergantung dari apapun, termasuk hasil yang akan diperoleh.
Faktor yang demikian itu hanyalah rasio, yang dalam hal ini dapat memberi
suatu patokan praktis dalam setiap tindakan. (Hadiwijono, 1980:74).
Menurut Kant, ada dua bentuk ketetapan kehendak, yaitu ketetapan
subjektif dan ketetapan objektif. Ketetapan subjektif datang dari subjek
dan ada kemungkinan kesewenang-wenangan. Ketetapan yang objektiflah
yang memberi perintah (imperatif ), dimana terdapat gagasan tentang suatu
asas yang objektif, yang menjadikan kehendak itu harus terjadi, lepas dari
keinginan pribadi. Jadi, yang menentukan adalah suatu pandangan objektif
yang dimiliki rasio, yang seakan-akan memberi perintah “Berbuatlah
menurut motif-motif yang diberikan oleh rasio.” Disinilah kehendak benar-
benar objektif dan bersifat imperative.
Tindakan imperatif itu ada dua macam, yaitu imperatif hipotetis
dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah suatu perintah yang
mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Yang menjadi tujuan dapat sesuatu yang nyata atau yang mungkin.
Contohnya adalah “Jika ingin pandai maka harus rajin belajar.” (Scruton,
1982). Imperatif yang kedua adalah imperatif kategoris. Imperatif kategoris
adalah perintah yang tidak tergoyahkan, yang tidak ada hubungannya dengan
tujuan yang hendak dicapai, perintah yang tidak mengenal pertanyaan
“untuk apa berbuat sesuatu ?” Perintah ini hanya memiliki tujuan dalam
dirinya sendiri, dan bersifat formal yang hanya memformulasikan syarat
formal yang harus dipenuhi perbuatan apapun supaya dapat diberi nilai etis
yang baik.
Adapun imperatif hipotetis hanya dapat ditaati karena kepentingan diri
sendiri, sehingga tersirat di dalamnya suatu dorongan ego. Tidak demikian
dengan imperatif kategoris, disini kehendak dan hukum adalah satu. Inilah
yang disebut rasio praktis yang murni. Disini tidak ada unsur akal, yang ada
hanya “keharusan” sesuatu yang sekaligus adalah kehendak yang sempurna
dan murni. Imperatif kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai asas
kesusilaan yang transendental. Keharusan (sollen) ini mewujudkan segala
persoalan etis.
2 - Pemikiran Fungsional
47
D. Idealisme Modern
Sebagai akibat ketidakpuasan ajaran, yang justru muncul dari murid-
muridnya sendiri, adalah ajaran Kant yang mengatakan bahwa “akal manusia
tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada
realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada pengetahuan tentang
fenomena atau gelaja-gelaja saja.
Para murid Kant yang setia bahkan berbalik dan mereka akan
bermetapisik mencari suatu dasar untuk renungan mereka dan dari dasar
itu akan dibangun suatu sistem metafisika. Mereka amat memperhatikan
kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat pada dasar tindakan
ialah “AKU” yang merupakan subyek yang sekonkrit-konkritnya. Dari
suatu dasar menelurkan kesimpulan serta memberi keterangan keseluruhan,
ada yang menyebut aliran idealisme. Oleh karena idealisme ini berdasarkan
subyek, ada yang menyebut idealisme yang subyektif. Tokoh-tokoh
terkemuka idealisme ini adalah J.G. Ficthe (1762-1814), F.W.J. Schelling
(1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang memberikan kepada
aku sehingga dikatakan aku adalah satu-satunya realitas. Hal ini dapat di
mengerti demikian, “aku yang otonom dan merdeka, menempatkan diri
menjadi sadar akan obyek yang dihadapi yaitu bukan aku, bukan aku
ini adanya tergantung pada aku dan fungsinya adalah merupakan yang
harus dihadapi dan diatasi. Perkembangan terletak sepenuhnya pada hasil
pengatasan obyek (bukan aku ) “. Oleh karena itu tampaklah bahwa aku
ini sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan kriteria terakhir dari
pada kebenaran pengetahuan. Maka idealisme Fichte ini tampak sangat
subyektif.
Lebih jauh dan luas pandangannya adalah Schelling. Ia mengaku
bahwa obyek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Sebaliknya kalau
Fichte mengatakan bahwa adanya obyek (bukan aku ) itu tergantung aku
(subyek). Jadi obyek itu muncul dari aku, tetapi Schelling tidak demikian.
Ia mengatakan bahwa aku (subyek) muncul dari alam (bukan aku) yang
sungguh-sungguh ada. Akan tetapi munculnya aku dari alam adalah yang
Sejarah Intelektual
48
telah sadar, jadi tampak ada keserasian dengan pandangan Fitche. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kedudukan budi dan alam adalah sederajat, berhadapan
sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya keduanya adalah muncul dari
Tuhan, semakin lama semakin tinggi derajatnya. Juga budi sebagai sesuatu
yang muncul dari Tuhan menyadari dirinya lalu menjelmakan ilmu, moral,
sejarah, negara, dan lain-lain. Karena Schelling mengakui adanya obyek
sebagai realitas, maka idealismenya dinamakan idealisme yang obyektif.
Lebih mendalam lagi adalah sistem Hegel, di mana idealismenya
sangat kensekuen. Corak umum filsafat Hegel adalah yang terkenal dengan
“dialektika” yaitu tesis yang timbulkan antitesis dan membentuk sintesis
dan sintesis ini sekaligus adalah tesis baru yang menimbulkan antitesis dan
membentuk sintesis baru. Filsafat Hegel mencari yang mutlak dari yang
tidak mutlak. Yang mutlak adalah roh (jiwa), tetapi roh itu menjelma pada
alam dan dengan demikian sadarlah akan dirinya. Roh adalah idea, artinya
berpikir. Dalam sejarah kemanusiaan sadarlah roh itu adalah dirinya, dan
kemanusiaan adalah bagian dari idea yang mutlak yaitu Tuhan sendiri.
Dikatakan selanjutnya bahwa idea yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak,
ialah gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan
suatu tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan
yaitu antitesis. Dan akhirnya adanya tesis gerak yang mutlak dan antitesis
ini menimbulkan sinthesis yang sekaligus merupakan tesis yang baru dan
menimbulkan antitesis, begitulah seterusnya.
Jadi, tampaklah filsafat Hegel ini, memberikan suatu kesimpulan
bahwa pada hakekatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya suatu yang
tetap tidak berubah yang melatarbelakangi suatu hal. Proses gerak secara
dialetik itu dapat berlaku pada setiap kejadian dan berlaku menurut hukum
budi. Karena itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa semua yang
masuk akal itu sungguh-sungguh ada dan apa yang sungguh-sunguh ada
itu dapat dipahami. Menurut rangkaian pemikiran Hegel ada tiga cabang
filsafat yaitu : a) Logika atau filsafat tentang idea, b) Filsafat alam yaitu
filsafat tentang idea yang menjelma pada alam, c) Filsafat roh yaitu filsafat
ide yang kembali pada diri sendiri.
2 - Pemikiran Fungsional
49
E. Positivisme
Lain negeri lain perkembangannya. Begitu pula perkembangan filsafat
di Perancis. Di sana orang mengalami suatu revolusi yang hebat. Wahyu
dan agama ditumbangkan dari kedudukannya dan diganti tradisi sebagai
pegangan dan kepastian pikiran. Aliran ini disebut tradisonalisme. Di lain
pihak, di Perancis juga muncul aliran baru yaitu “positivisme”, yang ditokohi
oleh August Comte (1798-1857). Menurut Comte jiwa dan budi adalah
basis teraturnya masyarakat. Maka jiwa dan budi haruslah mendapatkan
pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini
sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif, yaitu
matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak
positif tidak dapat kita alami dan sebaliknya orang yang berisikap tidak
tahu menahu. Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan, yaitu :
1. Tingkat teologi, yang menerangkan segala sesuatunya dengan
pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
2. Tingkat kedua ialah metapisika yang hendak menerangkan segala
sesuatu melalui abstraksi.
3. Tingkatan ketiga ialah positif yang hanya memperhatikan yang
sungguh-sungguh serta sebab akibat yang sudah ditentukan.
Banyak tokoh positivisme, antara lain H. Taine (1828-1893), yang
mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jwa, sejarah, politik dan
kesusasteraan. Emile Durkheim (1858-1917) positivisme sebagai azas
sosiologi. John Stuart Mill (1860-1873), filosof Inggris ini menggunakan
siatem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
1. Kelahiran Filsafat Positivistik
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini
bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan
melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang
karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian
diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga
digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir.
Sejarah Intelektual
50
2 - Pemikiran Fungsional
51
Sejarah Intelektual
52
2 - Pemikiran Fungsional
53
saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca
pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya.
Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu
adalah bacaan wajib. Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui
Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk
untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas
Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa
sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into
the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai
bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat
secara umum.
4. Kritik Atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang
dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua
”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika,
atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam
hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika” Kritik juga dilancarkan oleh
Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua
hal, ketidak tepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial
yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status
quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal
memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak
benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari
kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan
pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah
menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai
objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang
yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua
menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya
berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di
lingkaran politik tertentu.
Sejarah Intelektual
54
2 - Pemikiran Fungsional
55
memberi tafsiran atas apa yang terjadi di sekitar kita, tapi yang dikerjakan
oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti istilah-istilah bahasa
untuk menghindari kerancuan. Berkaitan dengan tugas filsafat sebagai
aktifitas dalam menganalisa bahasa, berikut akan kita bicarakan hubungan
antara bahasa dan logika dengan alam.
Menurut positivisme, alam tidaklah tersusun dari kumpulan benda-
benda, melainkan terdiri dari kumpulan kejadian-kejadian (Al Waqa’i‘).
Russel berkata: Tidak ada materi, tidak pula akal. Hanya sense-data (Al
Waqa’i‘ Al hissiyah Al Mufradah)-Lah satu-satunya yang bisa dibilang ada.
Sementara dalam Tractatus, Wittgenstein menulis bahwa Alam adalah
kumpulan kejadian-kejadian bukan benda-benda. Kejadian-kejadian yang
ada di alam ini dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama, kejadian
kompleks (waqî‘ah murakkabah). Kejadian kompleks ini dapat dibagi-
bagi lagi menjadi kejadian-kejadian yang lebih kecil. Bagian terkecil dari
kejadi yang tidak dapat dibagi lagi disebut dengan kejadian atomik (waqî‘ah
dzurrîyah), dan ini adalah jenis kedua. Kejadian-kejadian ini digambarkan
oleh bahasa melalui proposisi-proposisi. Proposisi yang menggambarkan
kejadian kompleks disebut dengan proposisi kompleks (qadhîyah
murakkabah), dan proposisi yang menggambarkan kejadian atomik disebut
dengan proposisi atomik (Qadhiyah Dzurriyah).
Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa
dengan alam adalah seperti hubungan antara gambar dan aslinya. Dengan
demikian kita dapat membedakan proposisi-proposisi yang mempunyai
arti dan proposisi-proposisi yang tidak mempunyai arti. Proposisi yang
mempunyai arti adalah proposisi menggambarkan suatu kejadian di
alam nyata, meskipun tidak selalu benar. Sementara proposisi yang tidak
menggambarkan suatu kejadian di alam nyata seperti proposisi-proposisi
metafisika tidak bisa dikatakan benar atau salah karena sama sekali tidak
mempunyai arti.
Proposisi-proposisi bahasa tak lain adalah gambaran logis dari
kejadian-kejadian yang ada di alam. Oleh karena itu, proposisi-proposisi
tersebut tidak hanya sekedar menggambarkan benda-benda saja, tapi
Sejarah Intelektual
56
2 - Pemikiran Fungsional
57
pada hakikatnya adalah penelitian yang melihat keadaan secara nyata, hal
ini berawal dari sebuah filsafat positivisme yang melihat sesuatu adalah
benar jika dapat dibuktikan nyata adanya (positif ).
Pemikiran filsafat positivisme merupakan bentuk perkembangan
akal manusia, yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan
perkembangan ketiga dari perkembangan akal manusia. Ia menyatakan
bahwa perkembangan akal manusia berkembang dalam tiga tahap
pemikiran: tahap teologi, tahap metafisik, serta tahapan riil atau positif.
Dalam tahap teologi, manusia mencari kebenaran atas berbagai fenomena
yang ada di sekelilingnya, mulai tahap politeisme (keyakinan atas dewa-
dewa) hingga monoteisme (keyakinan atas Tuhan yang Maha Esa). Tahap
kedua adalah tahap metafisik, dimana manusia mulai menyandarkan kepada
kemampuan analis dan logika abstral dan menolak kebenaran atas kekuatan
magis. Hal ini muncul pada masa Renaissance. Kebenaran logika abstrak
mulai ditinggalkan oleh manusia ketika manusia mulai mencari sesuatu
yang bersifat positif, nyata, riil, serta rasional. Tahap inilah yang disebut
sebagai tahapan positif yang melahirkan pemikiran positivisme. Pemikiran
Comte tersebut mendukung faham empirisme yang sangat menjunjung
nilai-nilai kepastian. Sosiologi menurut Comte adalah bentuk nyata ilmu
yang nyata atau positif, selain matematika, astronomi, fisika, kimia, dan
biologi. Pemikiran filsafat positivisme Comte tersebut mempengaruhi
perkembangan ilmu hukum yang melahirkan konsep positivisme hukum.
Pemikiran filsafat positivisme menolak segala sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan secara nyata atau empirik atau konkrit dan positif adanya.
Sesuatu yang bersifat abstrak, tidak nyata, tidak positif, seperti moral,
keadilan adalah tertolak. Moral dan keadilan bukanlah hal yang nyata,
keduanya tidak dapat diukur, tidak memiliki standar yang jelas, oleh karena
itulah moral dan keadilan sulit diterima secara nyata, positif, juga empiris.
Mengingat yang benar adalah sesuatu yang  bersifat konkrit, positif,
terstandar, empirik, dan dapat diukur dengan jelas, maka hukum juga
harus memiliki standar yang jelas, baku, empiris (nyata) dan positif tentu
saja, dalam hal ini kesemua itu dipenuhi oleh hadirnya Undang-undang.
Nyata undang-undang itu ada, masalah adil atau tidak, itu bukanlah
Sejarah Intelektual
58
urusan hukum, karena keadilan tidak dapat diukur, keadilan di satu sisi
akan memunculkan keadilan di sisi yang lain, lalu manakah yang dirasakan
paling adil? Sangat-sangat tidak jelas! Yang jelas yaitu yang konkrit dan
positif dalam hal ini adalah Undang-undang, sebuah pemikiran hukum
yang sangat normatif-positivis! Konsep berfikir hukum yang ada saat ini
kemudian menjadi salah kaprah ketika kemudian para penstudi hukum
kemudian melakukan klasifikasi atas dua model penelitian hukum, yaitu
model normatif-positivis, serta model empiris-sosiologis. Dimana keduanya
secara sadar atau tidak masing-masing melakukan klaim-klaim kebenaran
atas metodologi hukum. Perang pemikiranpun terjadi, masing-masing
kubu merasa paling benar. Penstudi hukum legal positivis menolak ide
pendekatan empiris-soiologis atas hukum, demikian pula sebaliknya.
Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran
positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan
Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan
ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang
melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure
reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk
menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman
sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857),
seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan
pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan
penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua
gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga
periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman
metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep
abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif
manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan
2 - Pemikiran Fungsional
59
hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.
Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)
filsuf logika berkebangsaan Inggris dan Herbert Spencer (1820-1903) yang
dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad
XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme
terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer). Periode
kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran
dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916), yang dikenal sebagai
tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme.
Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
Tahun 1922 Morits Schlick waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di
Universitas Vienna mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai
Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai
penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika,
antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap.
Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya
yang terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali
pada tahun 1922 dalam bahasa Jerman. Pada masa Vienna Circle inilah
positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa ini pula
tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama
kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua
nama lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang
dikenal dalam kalangan Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical
Empiricism, yang kesemuanya mempunyai inti yang sama yaitu penolakan
terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan yang dibahas dalam
metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman
manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq).
Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas
ini dalam kalangan Vienna Circle setelah melakukan diskusi yang panjang
dengan Wittgenstein. Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah
menyatakan penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang
Sejarah Intelektual
60
2 - Pemikiran Fungsional
61
Sejarah Intelektual
62
2 - Pemikiran Fungsional
63
F. Evolusionisme
Sebagai akibat dari perkembangan positivisme lahir aliran “evolusionisme”.
Tokohnya yang terkenal adalah Darwin (1809-1882) dan Herbert Spencer
(1820-1903). Darwin mengajukan teori perkembangan bagi segala sesuatu
termasuk manusia. Manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup
yang paling rendah yaitu alam dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik.
Hukum “survival of the fittest” dan hukum “strugle for live” pada tumbuh-
tumbuhan dan hewan, berlaku pula bagi manusia dan merupakan hukum
tertinggi bagi manusia. Karena itulah ia sampai memandang bahwa manusia
Sejarah Intelektual
64
G. Materialisme
Positivisme dan Evolusionisme pada pinsipnya adalah mengingkari
jiwa. Hidup dan mati, manusia dan binatang adalah tidak berbeda.
Sebagaimana evolusionisme gerak atau perkembangan menghasilkan
sesuatu dengan sendirinya. Dari keterangan bahwa semua gerak dan
perkembangan itu tidak ada yang menyebabkan, maka tampaklah bahwa
aliran ini materialisme atau paling tidak mengarah ke materialisme.
Materialisme berpendirian bahwa pada hakekatnya segala sesuatu itu
adalah bahan belaka. Pandangan ini menemukan kejayaannya pada abad
ke-19 dan di Eropa terasa pengaruhnya. Misalnya di Perancis dipelopori
oleh Lametterie (1709-1715). Menurut Lamatterie, manusia adalah mesin
belaka dan sama dengan binatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari
dengan petunjuk bahwa “tanpa jiwa badan dapat hidup, tetapi jiwa tanpa
badan tidak dapat hidup”. Contohnya, jantung katak yang dikeluarkan dari
tubuhnya masih dapat berdenyut beberapa detik. Dan lagi tidak mungkin
ada katak tanpa badan. Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan
tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu Feuerbach (1804-1872) dan Buchner
serta Molenschot.
Menurut dia alam adalah satu-satunya realitas, sehingga dikatakan
bahwa manusia itupun benda-benda alam. Pengetahuan mempunyai
sumbernya pada pengalaman. Tujuan hidup diarahkan kepada alam ini, apa
2 - Pemikiran Fungsional
65
yang ada di luar alam ini ditolak. Kebahagiaan terletak pada kepuasan hidup
alamiah. Kesusilaan hanyalah sebagai usaha untuk mencapai kebahagiaan dan
yaitu kebahagiaan alami. Namun demikian kebahagiaan tidak berdasar pada
egoisme, namun berdasar pada sosialitas. Susila adalah suatu tindakan yang
terarah menuju kabahagiaaan bersama. Hubungan aku-engkau merupakan
inti kemanusiaan maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti
milik bersama. Jadi dasar kebahagiaan adalah pengalaman dan dasar kesusilaan
sebagai alat mencapai kebahagiaan adalah juga pengalaman. Dari pengalaman
kita tahu bahwa usaha mencari kebahagiaan itu harus mengindahkan
kebahagiaan orang lain.
Meskipun Feuerbach menitikberatkan pada alam sebagai terminologi,
akan tetapi ia seorang meterialis yang menghargai dan mengakui hidup dan
hidup baginya adalah dasar yang utama, tetapi hidup alam belaka. Dalam
perkembangannya kemudian tampak dan muncullah materialisme yang
lebih runcing dan ekstrim yang berarti materialisme belaka dengan seorang
tokoh yang terkenal Karl Marx.
Karl Marx (1818-1883) terpengaruh oleh Hegel dan Feuerbach.
Dari Hegel diterimanya ajaran dialektika dan pendapat lain tentang
hubungan rapat antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Dari Feuerbach
diterimanya ajaran tentang kecenderungan terhadap kerohanian yang
dapat dikembalikan pada yang jasmani dan pengarahan minat kepada
manusia yang hidup di dalam masyarakat. Marx menghubungkan rapat-
rapat antara filsafat dan ekonomi. Yang terutama baginya ialah bertindak,
bukan kehendak dan tahu saja. Tugas bagi ahli pikir adalah mengubah
dunia, bukan menerangkan tentang dunia.
Dikatakan selanjutnya bahwa manusia ditentukan oleh keadaan
ekonomi. Segala hasil tindakannya (ilmu, seni,agama, kesusilaan, hukum,
dan politik) merupakan endapan dari keadaan ekonomi, sedangkan keadaan
ekonomi itu sendiri ditentukan oleh sejarah. Masyarakat pada mulanya
tidak mengenal pertentangan-pertentagan dalam tingkatannya. Kemudian
oleh karena adanya keahlian dalam pekerjaan serta karena adanya milik,
maka muncullah tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Maka timbullah
Sejarah Intelektual
66
2 - Pemikiran Fungsional
67
H. Eksistensialisme
Pada waktu kini, aliran filsafat ini mempunyai kedudukan yang
utama dalam arti berpengaruh yang besar sekali, sehingga menjadi buah
bibir orang. Sedangkan untuk menerangkan dan menyatakan apakah
eksistensialisme itu tidak mudah karena di dalamnya terdapat bermacam-
macam aliran. Namun demikian dapat diajukan beberapa ciri-ciri umum
yang dimiliki, yaitu:
1. Orang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan yang sesungguhnya
sebagaimana yang ada (eksis).
2. Orang harus berhubungan dengan dunia yang ada.
3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara
jiwa dan badannya
4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
Apabila dipahami secara mendalam ciri-ciri umum pada aliran ini,
maka tidak dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme adalah filsafat manusia,
melainkan filsafat ini mempunyai tujuan mengerti realitas seluruhnya. Untuk
memahami secara sadar apakah sebenarnya mengetahui itu, orang harus
mengetahui lebih dahulu manusia yang benar-benar ada itu.
Tokoh-tokoh aliran ini diantara lain Sooen Kierkegaard (1815-1855),
Martin Heideggar (1889-....), Karl Yaspers (1883-....) keduanya dari Jerman,
dan tokoh dari Perancis adalah Gabriel Marcel (1889-....) dan Jean Paul Sartre
(1905-....).
Sebagai gambaran kita majukan tokoh Kierkegaard yang mengartikan
bahwa eksistensialisme adalah kepenuhan ada dalam individu karena
kemauannya yang merdeka, yaitu karena sikapnya terhadap manusia dan
barang lain, menjadi dirinya subyek yang konkrit yang ada pada tiap-tiap saat.
Dikatakan lebih lanjut bahwa kebenaran tidak terdapat pada sistem
yang umum melainkan pada ada yang konkrit dalam eksistensi individual.
Sejarah Intelektual
68
Maka dari itu, sampailah ia pada eksistensi manusia yaitu dosa, dalam arti
selalu merasa bersalah kepada Tuhan. Dia menggambarkan tiga tingkat hidup
manusia dari tingkat a-etis ke tingkat etis dan sampai pada tingkat religius,
sehingga orang harus meloncat dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain.
Selanjutnya Martin Heidegaar mengatakan bahwa eksistensi manusia
menuju maut. “ Dasein adalah sein Zumm Tode”. Dan menurut Karl Yaspers
eksistensi manusia adalah ditentukan oleh diri sendiri. Lain dengan ahli
pikir Gabriel Marcel, yang mengatakan bahwa eksistensi manusia itu adalah
tidak mutlak, melainkan “ada” yang berhubungan dengan “ada yang lain”.
Dalam pada itu menempatkan diri sabgai subyek ialah “aku” dan yang lain
sebagai subyek ialah “engkau” atau “dia”. Dalam hubungan aku-engkau ini
ditentukan oleh “cinta”, dan percaya kepada yang lain berarti cinta kepada
yang lain, lalu kepercayaan itu menciptakan diri aku itu. Kesetiaan atau cinta
yang menciptakan aku ini dasarnya adalah partisipasi manusia kepada Tuhan.
Jadi dengan cinta kasihlah orang dapat semakin mendekati rahasia manusia
yaitu ada manusia.
Kemudian Sartre tampil dengan metode Fenomenologi mengatakan
bahwa ada itu terdiri atas dua hal yaitu, ada pada jasmani disebut ada pada
diri sendirinya, dan ada pada kesadaran disebut ada bagi sendirinya. Ada pada
sendirinya (jasmani) tidak mempunyai ketentuan lebih lanjut, sedangkan
(bagi sendirinya) mempunyai sifat “intensionitas” yaitu selalu terarahkan
pada yang lain. Kesadaran tidak mungkin disamakan dengan dirinya, tetapi
juga tidak mungkin disamakan dengan kesadaran orang lain. Cinta adalah
pencapaian kesamaan dengan yang lain dalam kesadarannya dan sia-sialah
pekerjaan ini. Sebab orang lain lalu diperlakukan sebagaimana sesuatu hal
maka tidak adalah hubungan yang sebenar-benarnya. Mungkin bentuk
hubungan itu ada yang bertendensi menguasai, lalu pihak yang dikuasai
tidak rela maka putuslah hubungan itu. Oleh karena itu, pandangan Sartre,
yang kemudian sampai pada pandangan tentang Tuhan, bahwa Tuhan itu
mustahil ada. Dasar pemikirannya adalah tidak mungkin segala sesuatu itu
cukup bagi diri sendiri.
2 - Pemikiran Fungsional
BAB III
PEMIKIRAN PRAGMATIS,
MODERNISME KE POSTMODERNISME,
DAN POSTKOLONIAL
A. Pemikiran Pragmatisme
Realisme pragmatik merupakan ajaran yang menganggap bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara bertindak atau berbuat. Mengetahui
adalah berbuat dengan hipotesa-hipotesa yang menimbulkan penyesuaian
yang berhasil atau memecahkan ksulitas-kesulitan yang praktis. Menurut
realisme pragmatik akal itu tidak berada di luar alam. Pada pengalaman
organisme dan dunia adalah satu adanya. Dunia objektif dan dunia subjektif
juga satu adanya. Gagasan-gagasan dan pengetahuan merupakan alat untuk
bertindak dan bukan sebagai penonton yang ada di luarnya.
Pemikiran tentang Teori Pragmatisme dikembangkan oleh Charles
Sander Peierce (1839-1914), dan Williams James (1824-1910), untuk
kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952). Charles Sander
Peierce (1839-1914) mengajarkan bahwa yang penting adalah pengaruh
apa yang dilakukan sebuah ide dalam suatu rencana tindakan. Dia tidak
mempersoalkan apa hakikat ide tersebut. Pengatahuan yang dimiliki
manusia tidak lain dari gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang dapat
disaksikan. Pengertian-pengertian tertentu hanya dapat ditentukan (dalam
arti semantik) bukannya dengan menyatakan benar-tidaknya pengetahuan
tersebut dari sudut teori pengetahuan, melainkan dengan menggunakan
ukuran tindakan dan sifat-sifat umum yang bersumber dari diterimanya
suatu lambang atau pengertian. Nilai suatu pengertian tergantung kepada
70
Sejarah Intelektual
72
oleh Descartes hanyalah ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang
tidak dapat disangkali: Cogito, ergo sum saya berpikir, karena itu, saya ada.
Pendekatan Alasan (Reasoning) Descartes ini serupa dengan karakteristik
pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi antroposentris.
Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka
jalan bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji Program Pencerahan
(Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas).
Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang
pandangan antropologi humanisme ini dalam tulisannya, “De servo
arbitrio”. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther mewaspadai keadaan
keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita kepada
karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang
menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi
pribadi yang baik.
Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak
pakar sudah meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun,
ramalan ini ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Abad kedua puluh
dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis dengan kelompok
Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas
gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha
membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada
rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam kekristenan
melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme.
Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari
iman kekristenan. Prinsip penafsiran ‘Historis-Kritis’ pun menjadi prinsip
utama dalam penafsiran Alkitab. Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi
dianggap berotoritas ilahi.
Di dunia yang sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk
bertahan melawan segala perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat
menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia
modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-peranakan
dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman baru.
Sejarah Intelektual
74
Sejarah Intelektual
76
Modernism Postmodernism
Sejarah Intelektual
78
George Lindbeck dan Stanley Grenz); dan ada pula yang secara ekstrim
menolak postmodernisme (e.g. Carl Henry).
Bagian Teologi Kristen yang paling segera harus mengalami penyesuaian
adalah apologetika usaha untuk mempertahankan dan memberitakan klaim
kebenaran bagi dunia. Secara apologetis, kekristenan harus dapat memberikan
jawaban atas pernyataan mengapa kebenaran kekristenan harus ditanggapi
dengan serius di tengah begitu banyak alternatif. Di dunia postmodern tidak
seorang pun dapat mengklaim memiliki kebenaran yang paling benar. Semua
kebenaran bagi pribadi-pribadi adalah kebenaran valid. Tidak seorang pun
memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang lain. Tidak ada
standar lagi untuk menentukan benar atau salah; satu-satunya standar adalah
diri sendiri. Disinilah tantangan terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri
teguh dan mengerjakan pemberitaan injil sebagaimana yang Tuhan Yesus
perintahkan.
5. Kekristenan di Tengah Postmodernisme
Douglas Groothuis mengatakan bahwa kondisi sosial yang diciptakan
postmodernisme mempengaruhi semua orang baik modernis, orang kristen
maupun postmodernis. Ia juga menyatakan bahwa kesaksian kekristenan
akan kebenaran Kristus dan injilnya dalam masa postmodern ini berarti
menjadi tahu bagaimana kenyataan postmodern secara budaya. Hal ini
tidak berarti kita menyerah kepada filsafat mereka, tetapi kebudayaan atau
cara pikir merekalah yang harus kita manfaatkan. Dalam hal ini, sebagai
orang kristen, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika kita hidup
dalam masa postmodernisme, yakni;
Pertama, Kesempatan untuk memberitakan Injil secara luas.
Walaupun sepertinya kekristenan berada dalam tekanan untuk harus
mengakui kesamaan dan kesejajaran dengan agama lain, sesungguhnya kita
justru dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk ‘unjuk gigi’. Jika dulu
kita ditolak mentah-mentah oleh modernis rasionalis, pengakuan yang
diberikan oleh filsafat postmodern bagi kekristenan merupakan kesempatan
emas bagi kita untuk memberitakan kabar keselamatan dalam Kristus
kepada banyak orang. Dalam hal ini pluralisme agama yang terbentuk
menjadi celah bagi kita untuk memaparkan kebenaran kristen kepada umat
beragama lain. Misalnya, pelaksanaan simposium keagamaan Muslim-
Kristen akan menjadi celah untuk memasukkan kebenaran iman kristen
pada pikiran mereka yang berpandangan lain. Tidak apa jika kita ditolak,
tetapi bagaimanapun pemikiran kristen tersebut telah kita sampaikan untuk
mereka mengerti sedikit banyak.
Kedua, Kesempatan untuk menjangkau mereka yang kecewa
terhadap modernisme. Idealisme modern telah gagal menjamin kenyamanan
dan kesejahteraan umat manusia. Banyak orang telah menaruh harapan
mereka kepada ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan
masalah mereka telah merasa putus asa. Inilah waktunya bagi kekristenan
untuk memberikan kepada orang-orang sedemikian jaminan yang sempurna
dan kekal dalam janji Tuhan bahwa hanya Tuhan, Dialah satu-satunya yang
menjanjikan kebahagiaan yang sejati.
Ketiga, Kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang absolut
bagi kerancuan yang ditimbulkan postmodernisme. Sebenarnya tidak
seorangpun yang dapat hidup tanpa standar kebenaran yang diterima
secara universal. Kebebasan yang ditawarkan postmodernisme nampaknya
hanyalah sebuah konsep yang dimunculkan sebagai ‘obat penenang’ bagi
banyak orang yang kecewa dan frustrasi terhadap mimpi kebahagiaan
modernis. Kenyataannya, kebebasan memegang kebenaran pun jelas
membuka lebih banyak celah bagi perselisihan. Apakah kebenaran yang
sejati menghasilkan kontradiksi? Tentu saja tidak seharusnya demikian.
Kebenaran seperti apa yang menghasilkan kontradiksi? Siapa yang
bersedia hidup dengan kebenaran yang menghasilkan perang? Dari
pergumulan inilah, kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang mutlak
dalam Kristus Yesus.
Dari ketiga masukan di atas, sangat jelas bahwa sebenarnya kekristenan
sesungguhnya justru mendapatkan kesempatan yang baik untuk membuat
perbedaan. Pokok penting yang harus diperhatikan kaum kristen adalah
back to the Bible (kembali kepada Alkitab) dan berdiri kokoh dalam iman.
Keteguhan umat Kristen tinggal tetap dalam iman dan menolak pengaruh
Sejarah Intelektual
80
C. Pemikiran Posmodernisme
Gegar posmodern cukup memeriahkan rimba belantara intelektual
bangsa Indonesia, terutama memperbincangkan masalah-masalah
kesenian, kebudayaan, sastra bahkan lebih-lebih filsafat. Gerakan
posmodernisme berhasil menawarkan opini, menyampaikan apresiasi serta
menancapkan kritik terhadap wacana modernitas dan kapitalisme global.
Issue posmodernisme merupakan implikasi dari terjadinya pergeseran dan
peralihan dalam msyarakat secara mendasar.
Kehadiran posmodernisme pernah digunakan oleh filsuf Jerman
Rudolf Pannwitz (1917) dia menggunakan posmodern secara kritis untuk
menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat Modern. Pada
awalnya akata ini menurut kabarnya dipakai dalam seni oleh Federico de
Onis pada tahun 1930-an dalam sebuah karyanya yang menunjukkan
reaksi akan adanya modernisme. Demikian juga dengan sejarawan besar
Sejarah Intelektual
82
D. Pemikiran Postkolonial
Pemikiran tentang poskolonial dipopulerkan oleh Bill Ashcroft pada
tahun 1989 sampai menjelang abad ke-21, namun perkenalan tentang
pemikiran orientalisme juga diperkenalkan oleh Edward Said yang menulis
tentang orientalisme di tahun 1978. Kemudian untuk selanjutnya
dipopulerkan oleh Bill Ashcroft tersebut. Pemikiran-pemikiran Edward
Saidpun dikembangkan oleh Michel Foucault yakni mencakup bukan
sekadar kelompok-kelompok tanda atau unsur-unsur pemaknaan yang
mengacu kepada isi atau representasi, melainkan praktek-praktek yang
secara langsung dan sisrtematis membentuk objek yang dibicarakan.
Tokoh Edward Said juga mengembangkan pemikiran tentang “oposisi
biner” (serba dua) yang sadar atau tidak mengembangkan pola pemikiran
Jacues Derrida tentang teori dekonstruksi dalam tulisan-tulisannya yang
berjudul: “De la Grammatologie.” Sebelum oposisi biner diperkenalkan
maka ada pemikir-pemikir utama yang telah mendikotomikan penjajah dan
yang dijajah seumpamanya: Frantz Fannon dan Abert Memmie. Mereka
adalah para pendahulu teori postkolonial sejak tahun 1930-an yaitu sebelum
merebaknya teori dekonstruksinya Derrida. Fanon yang selalu menggugah
kolonialisme yakni suatu oposisi antara penjajah dan yang dijajah dalam
suatu hubungan yang antagonistis dan penuh konflik, tidak bisa tidak
Sejarah Intelektual
BAB IV
FILSAFAT DAN KEBERADAAN
MANUSIA
Bila kita berbicara mengenai makna hidup maka itu berarti pula kita
membicarakan mengenai arti menjadi manusia, karena hidup yang kita
maksud bukanlah hidup dalam konteks vegetatif (nutritif, reproduksi dan
tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif, sensasional, and
mobile) tetapi lebih dari itu, hidup sebagai hewan yang dapat berpikir kalau
kita meminjam istilah manusia menurut Aristoteles atau hidup sebagai
suatu makhluk yang memiliki kesadaran.
Memikirkan manusia sama saja dengan memikirkan sesuatu yang lebih
luas dari pada ruang angkasa dan lebih dalam daripada samudera manapun.
Manusia sampai sekarang adalah sesuatu yang tetap menjadi misterius,
lebih misterius dibanding legenda manapun yang pernah terkuak oleh para
arkeolog dan sejarawan modern. Semakin banyak spesialisasi bidang ilmu
pengetahuan yang objek materialnya adalah manusia semakin tebal pula
hijab kemisteriusan manusia.
Dalam tradisi ilmu pengetahuan dan filsafat ada kesamaan tujuan
saat melakukan penelitian, penjelasan terhadap manusia yaitu mengetahui
hakikat, esensi ataupun hukum yang merupakan intisari dari manusia
sesuai dengan asumsi-asumsi serta metodologi yang mendasarinya.
Hakikat manusia ini disebut dengan The Real I, setiap bidang pengetahuan
ataupun aliran pemikiran memiliki interpretasi tersendiri terhadap the
Real I. Ironisnya semakin cabang-cabang ilmu dan pemikiran tersebut
86
Sejarah Intelektual
88
yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Jadi religi adalah
hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu
terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan
bisa pula berbentuk pribadi manusia. Selain itu, dalam al-Quran terdapat kata
din yang menunjukkan pengertian agama. Muhammad Abdul Qadir Ahmad
mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem
hidup yang diterima dan diridhai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan
Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya.
Agama (Islam) sangat menjunjung tinggi ilmu (pengetahuan). Hal ini
dapat kita lihat akan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk
mencari ilmu dan berpikir. Ilmu bagi manusia yang menjadi khalifatul fil ‘ardh
(wakil Tuhan di bumi) berfungsi sebagai alat dalam mencapai kesejahteraan
dan rahmatan lil ‘alamien. Manusia adalah pengelola alam (Q.S. Yunus:14).
Religion without Science is Blind
Science without Religion is Lame.
(Albert Einstein)
Sejarah Intelektual
90
Sejarah Intelektual
92
Sang Pencipta, yaitu akal budi. Jangan sampai akal budi dikesampingkan
dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharapkan betul-betul
memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah
dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu.
Hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat kita
belajar tentang diri kita sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan
kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan
interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan
manusia. Albert Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu
pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta.
Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan.
(Rakhmat. 2003).
2. Antara Berpikir Agamais dan Berpikir Matematis
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Sains tidak Sepenuhnya Rasional”
Muh. Arif Tiro (1994) mengemukakan tentang kekurangan “Philosophy of
Science” dalam meletakkan kerangka pemahaman ilmiah terhadap peristiwa
Isra’ Mi’raj. Ciri berpikir filosofis dalam dunia matematika adalah satu
kesatuan kerja pikir yang berpijak pada sejumlah unsur prima (undefined
terms), dalam kerangka sejumlah postulat (unproven statement), yang
kemudian diposisikan dalam sejumlah teorema matematis sehingga secara
hierarkis ketiganya memberikan nilai benar dan salah secara matematis.
Menurut Muh. Arif Tiro bahwa sains tidak sepenuhnya rasional dengan
argumen bahwa tidak terhindar dari dogma. Sains harus berangkat dari
penerimaan dogmatis sejumlah unsur prima (undefined terms) dan postulat
(unproven statement). Kita tidak bisa meletakkan matematika sebagai model
kehidupan beragama, dalam hal ini Islam. Naif; sebab Ajaran Islam telah
memberi model kehidupan beragama itu sendiri lengkap dengan keharusan
keilmiahannya dengan model sebagaimana dikemukakan di atas. Sangat naïf,
sebab betapa mungkin suatu wilayah berpikir yang lebih sempit memodeling
sesuatu yang lebih luas. Bahwa ajaran Islam akan kita jabarkan ke dalam suatu
aspek keilmuan dengan model yang berangkat dari paradigma yang diberikan
sendiri tentu itu suatu hal lain dan tidak dengan sendirinya harus berarti
konsep sains yang ada sekarang ini, seperti halnya konsep matematika yang
dikemukakan oleh bapak Muhammad Arif Tiro, sudah cukup memenuhi
untuk mengakomodir tuntutan penjewantahan Ajaran Islam itu dalam dunia
ilmu.
Hukum agama A hanya bisa digunakan bagi perilaku penganut agama
A, demikian sebaliknya bagi perilaku penganut agama B. Dalam hal ini
perlu diketahui bahwa penilaian itu tidak bisa dihindarkan. Kemudian, kita
tidak bias memaksanakan berlakunya nilai yang kita gunakan secara empiris
pada orang lain, juga itu bagian ajaran Islam. Sehingga dengan demikian
penilaian atas dasar hukum agama kita tetap bias berjalan dan toleransi bisa
berjalan.
3. Kehidupan Agama dan Berpikir Agamais
Membicarakan kehidupan beragama identik dengan membicarakan
berpikir agamis, satunya kata dan perbuatan, demikian kata pepatah kuno
yang seharusnya dipertahankan tetap relevan pada masa kini dan masa
yang akan datang. Pada prinsipnya terdapat perbedaan yang mendasar
antara sistem postulat dalam matematika dengan hukum dasar dalam
agama. Hukum dasar dalam agama adalah sesuatu yang kita terima dan
yakini kebenarannya dan harus mempertaruhkan segalanya kalau ada yang
ingin mengganggu gugat hukum dasar agama yang kita anut. Sedangkan
sistem postulat dapat diubah dan diganti kapan saja tanpa ada resiko
murtad atau pindah keyakinan. Oleh karena itu kita tidak bisa meletakan
dasar matematika sebagai model dalam kehidupan beragama, sebab betapa
mungkin suatu wilayah berpikir yang lebih sempit dapat memodeli sesuatu
yang lebih luas. Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu dari kehidupan
beragama yang relevan untuk diterapkan logika berpikir matematis.
Model dalam matematika merupakan sebuah representasi fisik dari
struktur-struktur material yang memiliki hubungan skala dengan objek yang
sedang diselidiki. Secara garis besar model dapat dibedakan menjadi dua
bagian utama yaitu model normatif dan model deskriptif. Model normatif
mengandung makna adanya standar kebenaran atau aturan-aturan hukum
Sejarah Intelektual
94
Sejarah Intelektual
96
Sejarah Intelektual
98
Sejarah Intelektual
100
V = (2 x pi x R) / T
R = jari-jari lintasan Bulan terhadap Bumi = 324.264 km
T = kala Revolusi Bulan = 655,71986 jam, sehingga diperoleh
V = 3.682,07 km / jam (sama dengan hasil yang diperoleh NASA)
Meski demikian, Einstein mengusulkan agar faktor gravitasi Matahari
dieliminir terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih eksak.
Menurut Einstein, gravitasi matahari membuat Bumi berputar sebesar:
a = Tm / Te x 360°
Tm = Kala edar Bulan = 27,321661 hari
Te = Kala edar Bumi = 365,25636 hari, didapat a = 26,92848°
Besarnya putaran ini harus dieliminasi sehingga didapat kecepatan eksak
bulan adalah:
Ve= V cos a. Jadi, L = ve x T, di mana T kala edar Bulan = 27,321661
hari = 655,71986 jam sehingga L = 3682,07 x cos 26,92848° x
655,71986 = 2.152.612,336257 km. Dari persamaan (1) kita
mendapatkan bahwa C x t = 12.000 x L Jadi, diperoleh C = 12.000 x
2.152.612,336257 km / 86.164,0906 detik. C = 299.792,4998 km /
detik.
Hasil hitungan yang diperoleh oleh Dr. Mansour Hassab Elnaby
ternyata sangat mirip dengan hasil hitungan lembaga lain yang menggunakan
peralatan modern. Berikut hasilnya:
- Hasil hitung Dr. Mansour Hassab Elnaby C =
299.792,4998 km/detik.
- Hasil hitung US National Bureau of Standard
C = 299.792,4601 km/detik.
- Hasil hitung British National Physical Labs C =
299.792,4598 km/detik.
- Hasil hitung General Conf on Measures C =
299.792,4580 km/detik.
Sejarah Intelektual
102
B. Keberadaan Manusia
Sebagai suatu kenyataan manusia ada, oleh karena itu ada kemanusiaan.
Konsepsi tentang manusia dalam filsafat merupakan suatu masalah yang
sangat rumit. Ada banyak dan bermacam-macam teori mengenai manusia,
sebanyak dan seaneka macam konsepsi tentang filsafat. Ditinjau dari teori
umum sistem, manusia merupakan satu jenis sistem dalam suatu deretan
dan tingkatan sistem dari kerumitan yang teratur.
Tingkatan kemanusiaan di mana manusia di gambarkan sebagai suatu
sistem mempunyai semua atau hampir semua ciri-ciri tingkatan hewani
yang mendahuluinya, yaitu mobilitas yang meningkat, perilaku teologis,
kesadaran diri, dan pengembangan, dari penerimaan informasi, menjadi
suatu keseluruhan. Akan tetapi, di samping itu, tingkatan kemanusiaan
dicirikan secara khas dengan keinsafan diri. Ini berarti gambaran pikir atau
struktur pengetahuan manusia mengandung sifat pantul diri. Manusia
tidak hanya tahu, melainkan mengatahui bahwa ia tahu. Manusia tidak
hanya merasa bahagia dan susah, akan tetapi sadar bahwa ia bahagia dan
susah. Sifat manusia yang khas ini mungkin terikat pada gejala bahasa dan
penggunaan simbol. Manusia di bedakan dari semua sistem kehidupan
yang lain berdasarkan kemampuanya untuk menghasilkan, menyerap,dan
menafsirkan simbol-simbol. Gambaran pikir manusia tentang lingkungan
sekeliling juga lebih berkembang dan rumit, mencangkup gambaran pikir
tentang waktu, hubungan, dan bahkan kematian.
Menurut pandangan sistem, segalah hal yang ditinjau sebagai sistem
kalau pengertian yang memadai mengenai kenyataan ingin dicapai. Manusia
merupakan salah satu di antara sistem-sistem tersebut. Sifat manusia yang
Sejarah Intelektual
104
sistem, sedangkan umpan balik adalah pengaruh yang dipunyai hasil keluar
terhadap lingkungan dengan suatu cara yang menentukan bahan masuk
berikutnya.
Keberadaan manusia sebagai sistem pada tingkatan kemanusiaan
berpusat pada manusia sebagai porosnya. Lingkungannya adalah semua jenis
keberadaan lain yang dipunyai oleh manusia. Bahan masuk dari lingkungan
kemanusiaan itu adalah masalah, aspirasi, minat, dan tujuan hidup dari
manusia. Proses konversi terdiri dari kegiatan-kegiatan budi sebagai suatu
proses yang khas dan bersifat manusiawi. Masalah yang masih perlu dijawab
adalah apakah yang menyusun komponen-komponen dari sistem yang
disebut kemanusiaan itu dan apakah yang menjadi hasil keluarnya?
Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir
yang ada pada dirinya. Manusia menghasilkan pertanyaan tentang segala
sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh
manusia. Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat
manusia lahir dan mempertanyakan, “siapakah Kamu Manusia?” Manusia
bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya.
Keberadaan dirinya diantara yang lain yang membuat menusia perlu
mendefinisikan keberadaan dirinya. Apabila pernyataan bahwa manusia
dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan
buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia. Hakikat
diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar
dirinya. Sesuatu yang baik dan buruk pada manusia menunjukkan dirinya
ada dinilai diantara keberadaan yang lain.
Watak manusia merupakan suatu kumpulan corak-corak yang khas,
atau rangkain bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat
pada manusia. Manusia menciptakan kebudayaan. Suatu kebudayaan
manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Bahasa melakukan penilain
tentang keberadaan manusia berupa wujud yang dapat diterjemahkan
melalui kata-kata. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi
yang mendalam dari makhluk hidup karena terdapat penilaian dari yang
lain sebagai pembanding. Pengetahuan dan pengalaman manusia, serta
dunia yang secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh
semua orang secara bersama-sama malakukan penilaian diantara individu
manusi.
Ada dua pertanyaan penting: (1) “Apakah ada/pengada/makhluk?”
(what is being?) dan (2) “Apakah makna manusia?” (what is the meaning
of human being?). Kita mempertanyakan makna sebab manusia bukanlah
makhluk yang lengkap, final, selesai, paripurna (sheer being). Sebaliknya,
ia selalu terlibat di dalam makna. Namun, manusia tidak mencari ‘kodrat
atau hakikat manusia’, melainkan ‘ada yang penuh-makna’ (significant
being). Apakah makna keberadaanku? Untuk itu, ada dua hal yang saling
bergantung tetapi tidak tumpang-tindih. Keberadaan manusia (the being of
man) merujuk pada eksistensinya sendiri, apa adanya; sedangkan makna
manusia (the meaning of man) merujuk pada lingkup makna, lebih luas
daripada dirinya sendiri.
Lalu, apakah makna itu harus dicapai dengan usaha manusia atau
ada pada dirinya sendiri? Apakah eksistensi manusia dapat diukur dalam
makna atau keduanya tidak berhubungan (incongruous) sama sekali? Semua
pertanyaan itu untuk mencari ‘ada yang penuh-makna’, yang transitif,
sentrifugal, melampaui dirinya sendiri. Ya, secara paradoksal manusia
membutuhkan suatu makna yang tidak dapat ditanganinya sendiri.
C. Unsur-unsur Kemanusiaan
Materi kemanusiaan adalah suatu proses budi manusia, artinya
serangkaian kegiatan yang secara pasti terarah kepada suatu tujuan atau
cenderung menghasilkan sesuatu. Unsur-unsur keperiadaan manusia intinya
adalah kegiatan budi manusia yang seringkali disebut usaha manusia yang
meliputi empat unsur, yaitu seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Pertama, Seni adalah unsur pertama, karena menurut sejarah, seni
adalah yang pertama ada sebagai kumpulan kegiatan budi manusia.
Ruth Bunzel dalam Tiro (2002) menulis bahwa sebelum manusia
belajar memelihara tanaman untuk menjamin persediaan makanannya,
menjinakkan hewan untuk meringankan pekerjaannya, dan menciptakan
Sejarah Intelektual
106
manusia menjadi suatu jenis yang baru. Sejak kita menjadi manusia, maka
seringkali disadari ataupun tidak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang sangat mendasar seperti “Apakah Tujuan Hidup Kita? Apa perbadaan
mendasar antara manusia dengan binatang ? Apa makna kita hidup dalam
dunia ini? dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya disebut
dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut ada beberapa cara yang dapat di tempuh apakah melalui
dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci keagamaan,
apakah melalui metode ilmiah atau biasa kita sebut dengan sains atau kita
melakukan penalaran filsafatis.
Bila kita mencari jawabannya melalui dogma-dogma agama maka
jalan ini tidak akan membawa pada kepuasan intelektual dikarenakan
Religions way of knowledge yang seringkali tidak menggunakan argumentasi
yang kritis di samping dominannya klaim kebenaran (truth claim) apalagi
bila kita dihadapkan dengan pluralitas paham keagamaan, bayangkan
apabila setiap agama memberikan jawaban yang dogmatik, maka hal ini
akan membawa kita kepada kebingungan. Sedangkan jika kita melalui
jalan sains maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang positivistik,
alih-alih mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis malah yang
terjadi adalah gambaran manusia yang operasionalistik mekanistik dan
ini akan mereduksi kompleksitas dimensi keberadaan manusia. Untuk
mengantisipasi kedua hal di atas maka kita dapat menggunakan penalaran
filsafatis, filsafat dapat mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara
berpikir positivistik dari sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama
dan sains, agama dan sains dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian
diperluas dan dielaborasi lanjut dengan pisau filsafat.
Perlu ditekankan bahwa walaupun kita menggunakan pisau filsafat
ini tidak berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai kepada gambaran
manusia apa adanya. Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban
final tetapi untuk mencari kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru.
Salah satu titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat
adalah pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang
bersangkutan apakah realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas
Sejarah Intelektual
108
material atau juga termasuk realitas ide, abstrak atau yang immaterial. Tapi
di sini kita tidak akan mempertajam membahas hal tersebut.
Kita mungkin telah mengetahui apakah secara teoritif ataupun secara
intuitif bahwa hal yang paling mendasar dari segala realitas apakah itu diri
kita ataupun benda-benda yang ada disekitar kita atau realitas imajinal yang
kita beri pengakuan padanya adalah keberadaan/wujud/eksisten. Keberadaan
adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas. Kalau
kita membawanya ke dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah
limpahan anugerah paling awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas
tersebut melakukan kejadian apapun. Apalah artinya keharuman bunga
mawar jika bunga mawarnya tidak memiliki kebaradaan, apalah artinya
ketampanan apabila menusia yang dapat menyandang predikat tersebut
belum menyandang keberadaan. Bahkan sebelum kita berpikir apa-apa
yang sifatnya teoritik konseptual kesadaran akan keberadaan diri kita adalah
sesuatu yang sifatnya primordial jadi sifatnya lebih intuitif dibanding hasil
dari penalaran. Kesadaran akan keberadaan adalah kesadaran yang tertua atau
paling purba,kita tidak akan memakan makanan kalau kita tidak yakin jika
diri kita ada dan objek makanan kita ada pula.
Setelah kita mengetahui bahwa diri kita ada, maka pertanyaan yang
muncul adalah apakah ada perbedaan antara beradanya manusia dengan
beradanya benda-benda dan makhluk lain selain manusia. Jawabannya
adalah positif. Secara intuitif pula kita dapat membedakan diri kita sebagai
manusia dengan benda-benda mati di sekitar kita semisal batu,pasir
dan meja begitu pula dengan tumbuhan dan binatang atau hewan. Kita
sebagai manusia selalu merasa khawatir dengan sekitar kita, kita khawatir
dengan tatanan rumah kita, kita khawatir dengan cita rasa makanan kita,
kita khawatir dengan penampilan kita, kita khawatir dengan keberadaan
tumbuhan dan binatang disekitar kita,kita adalah makhlukh yang selalu
ingin campur tangan terhadap alam ini.Kita merasa bukan sebagai
manusia yang utuh apabila kita hanya makan, buang air dan istirahat,
kita membutuhkan sesuatu yang lain yaitu mengotak-atik secara kognitif
dan pragmatis realitas disekitar kita. Itulah manusia tidak hanya eksisten
atau ada secara sederhana atau ada dalam realitas tapi manusia melampaui
Sejarah Intelektual
110
Sejarah Intelektual
112
lain. Padahal, bukan ada melainkan misteri ada yang harus dicermati. Dan,
dalam misteri itu ada dua konsep: ada (being) dan tiada (not being).
Sebaliknya, pendekatan biblis tidak berpretensi memutlakkan ada.
Ada dianggap kontingen, sehingga ketiadaan juga dimungkinkan. Yang
menjadi perhatian adalah tindakan (Illahi) yang membuat ada sungguh
ada; bagaimana ada itu mungkin. Maka, ada merupakan ciptaan (creation).
Kesimpulannya, ada itu baik aksi (action) maupun peristiwa (event); mengada
terus-menerus (continuous coming-into-being). Dan, untuk memahami hal
ini, kita harus melampaui batas-batas logika untuk menyelam ke dalam
misteri ada.
Mempertanyakan makna manusia berarti mereduksi makna mengada
manusia pada suatu benda/ide? Tidak. Sebab, tidak seperti ide atas benda
(dingin, kasar, dan lain-lain), makna manusia tidak diperoleh dari persepsi
indrawi atau abstraksi, melainkan muncul dari kepenuhan hidup/eksistensi
manusia. Makna final yang manusia cari bukanlah sekadar ide, struktur
intelektual, melainkan realitas personal. Alhasil, pertemuan antara manusia
dan makna akan tetap menjadi tujuan di balik pencarian manusia itu.
Keberadaan manusia adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang
terjadi dalam realitas. Kalau kita membawanya ke dalam bahasa yang agak
religius, keberadaan adalah limpahan anugerah paling awal yang diterima
oleh realitas ini sebelum realitas tersebut melakukan atau dikenai kejadian
apapun. Manusia sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen sistem
yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang antara satu dengan yang lainnya
saling mempengaruhi dalam satu integritas yang kuat. Ditinjau dari teori
umum sistem, manusia merupakan satu jenis sistem dalam suatu deretan
dan tingkatan sistem dari kerumitan yang teratur. Tingkatan kemanusiaan
di cirikan secara khas dengan keinsafan diri. Ini berarti gambaran pikir
atau struktur pengetahuan manusia mengandung sifat pantul diri. Manusia
tidak hanya tahu, melainkan mengetahui bahwa ia tahu. Olehnya itu,
materi kemanusiaan adalah suatu proses budi manusia, artinya serangkaian
kegiatan yang secara pasti terarah kepada suatu tujuan atau cenderung
menghasilkan sesuatu. Unsur-unsur keperiadaan manusia intinya adalah
Sejarah Intelektual
114
kegiatan budi manusia yang seringkali disebut usaha manusia yang meliputi
empat unsur, yaitu seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Sedangkan manusia menyadari selalu ada perubahan pada dirinya
dan lingkungannya apakah itu cepat atau lambat dengan kata lain
manusia bukan hanya ada tetapi manusia selalu mengalami proses menjadi
(becoming) dan ingin campur tangan dengan proses kemenjadiannya itu,
dia ingin mengarahkan keberadaannya, dialah yang ingin meciptakan apa
jadinya dirinya di masa depan. Itulah sebabnya mengapa manusia dalam
filsafat perennial disebut dengan teomorfis atau makhluk penjelmaan Tuhan
di muka bumi, karena dia ingin menandingi kesibukan Tuhan. Makna
manusia berarti mereduksi makna mengada manusia pada suatu benda/
ide? Tidak. Sebab, tidak seperti ide atas benda (dingin, kasar, dan lain-
lain), makna manusia tidak diperoleh dari persepsi indrawi atau abstraksi,
melainkan muncul dari kepenuhan hidup/eksistensi manusia. Makna final
yang manusia cari bukanlah sekadar ide, struktur intelektual, melainkan
realitas personal. Alhasil, pertemuan antara manusia dan makna akan tetap
menjadi tujuan di balik pencarian manusia itu.
Sejarah Intelektual
118
Socrates tetap berpendirian bahwa kebenaran itu ada, dan harus tetap
dicari. Socrates mengembangkan metode diskusi, dikembangkan suatu
teknik mengajukan pertanyaan yang membuat partner diskusinya berpikir.
Ia menolong orang mengeluarkan pendapat dan fikirannya, mengeluarkan
apa yang ada pada jiwa orang ; dasarnya adalah teknik menemukan
pertanyaan yang tepat untuk mendapatkan pengertian masalah atau
mengidentifikasi masalah dengan tepat.
Pertanyaan mengenai “apa” harus lebih didahulukan dari “apa sebab”.
Dengan teknik diskusi ia bangun dialektika, timbul pemikiran yang kritis,
dengan cara induksi mendapatkan definisi. Hal ini diuji terus dengan
perbandingan yang kritis, dibuat perbandingan dan persamaan dari gejala
umum, diuji dengan saksi lawan saksi.
Socrates selalu berbicara dengan semua orang, ia bertanya tentang apa
yang diketahui orang itu tentang profesinya, bertanya pada prajurit apakah
keberanian itu, kepada pelukis ia tanyakan apakah keindahan itu. Pertanyaan
yang disusul dengan pertanyaan lain akan membawa lawan bicaranya, untuk
mempertanggungjawabkan pengetahuannya, dan memaksa lawannya untuk
mengatakan yang benar. Tujuannya adalah mengajar orang mencari kebenaran.
Socrates sendiri menamakan metodenya “Maeutik” (Seni Kebidanan),
dalam arti membidani lahirnya pemikiran baru. Arti induski dalam metode
Socrates berbeda dengan pengertian sekarang yang memberi makna induski
sebagai memperhatikan atau mengamati gejala yang khusus, dibentuk,
dan dikembangkan untuk mendapatkan pengertian yang berlaku umum.
Induski metode Socrates adalah membandingkan secara kritis definisi yang
satu dibandingkan definisi yang lain, dengan uji ulang didapatkan definisi
baru yang lebih mendekati kebenaran.
Pengertian sebagaimana dengan metode di atas sama dengan yang
disebut Kant dengan prinsip regulatif adalah dasar menyusun suatu masalah
untuk menemukan kebenaran yang sifatnya tidak subjektif dan berlaku
umum. Hal lain yang menjadi inti ajaran Etika Socrates adalah tentang
watak atau budi manusia. Menururt ajarannya, “budi” dan “tahu” saling
terikat. Orang berbuat jahat karena “tidak tahu”, bukan karena disengaja.
Sejarah Intelektual
120
dari pandangan dan pendapat orang banyak. Idea tumbuh karena kecerdasan
berfikir, jadi pengertian yang dicari dengan proses berfikir adalah Idea. Idea
pada hakekatnya sudah ada, tinggal kecerdasan fikir manusia untuk mencari
dan menemukannya.
Plato memberi contoh tentang keindahan fisik, atau sesuatu benda
atau makhluk yang dikategorikan indah, sebenarnya pendapat keindahan
karena melihat hal indah ini hanya ingatan manusia saja terhadap idea yang
sudah ada dalam fikirannya. Sebenarnya yang dikatakan indah adalah hanya
gambaran yang tidak sepenuhnya dari idea yang sudah ada.
Contoh lain yang diambil dari filosofi bahasa, kata-kata tidak pernah
dapat menggambarkan pengertian yang sebenarnya, karena kata-kata
yang membentuk pengertian itu sebenarnya hanya bunyi, dan bunyi itu
merupakan simbol dari pengertian yang ada di belakangnya. Keinsyafan
manusia didasarkan atas bunyi-bunyi yang didengar bahwa ada arti di
belakang bunyi tadi.
Hanya fikiran yang dapat menangkap logika di belakang rangkaian
bunyi yang menjadi kata tadi. Berfikir dan mengalami adalah dua hal
yang berbeda, pengetahuan yang dicapai dengan jalan berpikir lebih tinggi
nilainya dari pada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Apakah
dan bagaimana hubungan pikiran dan pengalaman?
Sebagaiman telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa Plato
mempunyai teori tentang dua dunia ; dunia yang bertubuh dan dunia
yang tidak bertubuh. Dunia bertubuh adalah dunia lahiriah yang terdiri
atas unsur-unsur yang dapat dilihat dan dialami yang dapat berubah
karena waktu atau sebab-sebab lain. Dunia yang tidak bertubuh adalah
yang tidak kelihatan, yang abstrak, dia adalah dunia idea, dunia yang
immaterial, bersifat tetap dan tidak berubah, namun dunia idea bukanlah
suatu kontsruksi atau rekayasa fikiran manusia, ia adalah realita, bersifat
permanen dan mempunyai validitas dan kebenaran universal. Dua dunia
tadi tidak terpisah, dunia tidak bertubuh, dunai idea memberi arti pada
dunia bertubuh. Sebagai contoh dapat diambil dari dunia matematika.
Matematika diungkapkan dengan simbol-simbol, seperti segitiga,
Sejarah Intelektual
122
lingkaran, kubus, bola, yang tidak terdapat dalam dunia lahir, semua
itu adalah gambaran dari idea yang hidup dari dunia idea. Matematika
bagi Plato adalah simbol dari realitas yang sebenarnya, dengan demikian
segala pengetahuan adalah tiruan dari yang sebenarnya yang timbul dalam
jiwa manusia sebagai ingatan pada dunia asal. Jiwa adalah penghubung
dari kedua dunia ; jiwa selalu ingin kembali ke asalnya. Inilah yang
ia namakan gerak filosofi. Dengan kata lain gerak etos dan cinta pada
ilmu pengetahuan, berfilsafat, dapat memberikan dorongan untuk lebih
mengetahui.
Plato menganggap dunia idea sudah tersusun dengan sistem
Teleologi (logika yang tersusun dan menjurus pada satu tujuan yang sudah
ditentukan). Sebagai idea tertinggi adalah “kebaikan” karena kebaikan
dinggap sumber dari segala-galanya. Kebaikan adalah penggerak dinamika
dunia (baca Socrates). Kemudian dalam sistem hierarki teleologis pada
lapisan di bawahnya adalah ide keindahan atau ide estetika. Estetika adalah
bayangan dari ide kebaikan. Estetika di dunia nyata merupakan tujuan yang
melekat dalam upaya manusia menuju kebaikan.
Estetika adalah penghubung antara dunia lahir dengan dunia yang
tidak kelihatan (kembali kepada contoh matematika yang mempunyai
sifat abadi atau permanen. Estetika adalah terjemahan dari fisik dari dunia
idea). Keterangan di atas menunjukkan bahwa estetika sudah menjadi titik
sentral dalam filosofi Yunani dan membantu untuk sedikit menguak rahasia
tentang apakah estetika itu sebenarnya.
Bila kita sandingkan pendapat Jaspers di bawah ini, kelihatan adanya
paralel antara pemikiran Plato dengan Jaspers sebagai berikut :
1. Isyarat Ketuhanan diberikan melalui simbol-simbol (Chiffre) yang
tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
2. Seni menolong manusia dalam membaca chiffre, karena seni dapat
mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan dan hal-
hal yang tidak diungkapkan dengan cara lain. Seni memberikan
penglihatan pada pemikiran spekulatif, sehingga yang buta dapat
melihat transendensi.
Sejarah Intelektual
124
Sejarah Intelektual
126
Dalam proses, metode heuristik adalah elemen yang sangat penting dan
seringkali digunakan. Metode ini bertolak dari kreatifitas dan kemampuan
menemukan ide. Cara ini dapat dianggap sebagai pelengkap dari metode
analisis dan logis yang dalam ilmu desain digunakan untuk membaca
kecenderungan, prilaku konsumen, atau pengembangan pasar, dan hal-hal
yang bersifat kuantitatif.
Dalam sejarah, metode heuristik merupakan tulang punggung dalam
penelitian sejarah. Tanpa memahami dan mendalami metode ini, niscaya
para peneliti sejarah atau para sejarawan akan kehilangan jejaknya dalam
melakukan tugas profesionalnya. Heuristik dalam sejarah diartikan sebagai
mencari, menyeleksi, dan menemukan sumber yang menunjukkan pada
pristiwa sejarah. Setelah proses heuristik dicapai, tahap berikutnya adalah
kritik yang meliputi kritik interen dann eksteren. Kritik eksteren adalah
meneliti dan mendalami autentisitas sumber yang ada, sementara kritik
interen adalah meneliti dan menyeleksi terhadap nilai kepercayaan isi
sumber atau juga disebut nilai kredibilitasnya. Tahapan ini juga disebut
dengan analisis sejarah. Setelah tahapan kritik interen dan ekteren
dilewati, sejarawan memasuki tahap sintesa sejarah yaitu penafsiran untuk
menghubungkan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain yang saling
berhubungan dan kait-mengait. Tahapan terakhir adalah penulisan sejarah
atau yang dikenal dengan istilah historiografi.
Tanpa disadari bahwa Archimedeslah yang pertama sekali memperkenal
metode heuristik, walaupun untuk dipakai dalam ilmu matematika dan
fisika, dan bukan untuk sejarah, namun kemudian metode heuristik ini
kemudian dikembangkan dan disempurnakan dalam metode sejarah.
E. Al-Kindi
Filsuf yang pertama dan secara sistematis mempopulerkan filsafat Yunani
adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (wafat 257 H/870 M). Al-Kindi secara
khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (filsuf al-Arab), tidak saja dalam
pengertian etnis, tapi juga dalam pengertian kultural. Ia menghidangkan
filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah pikiran-pikiran asing dari arah
barat itu “diislamkan”, jika tidak boleh disebut “diarabkan”.
Sejarah Intelektual
128
filsafat. Dalam bidang teoligia ini konsolidasi kaum Sunni diwakili oleh
karya-karya intelektual besar islam, Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 300 H/
915 M ).
F. Al-Asy’ari
Al-Asy’ari sendiri, sesungguhnya, dari segi latihan inteletual dan
fahamnya, adalah seorang Mu’ tazilah. Tapi, karena kecewa oleh beberapa
nukhtah dalam pemikiran Mu’tazilah itu, pada sekitar umur 40-an al-
Asy’ari meninggalkan aliran tersebut dan memeluk aliran umum Ummat,
yaitu faham Jama’ah dan Sunnah.
Sesungguhnya begitu, jalan di depan al-Asy’ari dalam kariernya
sebagai pemikir tidaklah licin dan lempang. Sebagai bekas Mu’tazilah, dan
karena tetap menggunakan metode-metode filsafat dan Ilmu Kalam dalam
argumentasi-argumentasinya, al-Asy’ari tetap mencirikan bagi kebanyakan
Ummat yang sering menuduhnya menyeleweng atau malah kafir. Salah satu
risalahnya yang terkenal akan memberi kita gambaran betapa al-Asy’ari
membela diri dari serangan berbagai kalangan, dan bagaimana dalam
perjuangannya mengkonsolidasi faham kaum Sunni itu ia menyerukan
pentingnya mempelajari metode Ilmu Kalam, disiplin berpikir saingan
utama mereka, kaum Mu’ tazilah.
Reformasi al-Asy’ari tercatat sebagai slah satu yang amat sukses, dalakm
sejarah pemikiran Islam. Pertama ia berhasil melumpuhkan gerakan kaum
Mu’tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri. Kemudian dengan
sistem teologianya itu, ia menjadi pendekar Ummat dalam menjawab
tantangan gelombang pertama Hellenisme. Boleh dikata bahwa ia tidak saja
telah mengukuhkan faham Sunni, tapi bahkan menyelamatkan Islam itu
sendiri dari bahaya Hellenisasi total.
Dengan sistematika al-Asy’ari, Ilmu Kalam mulai memperoleh
kedudukannya yang mantap dalam bangunan intelektual Islam. Seperti
tercermin dari usahanya utnuk membuat semacam modus vivendi antara
faham Jabariyyah dan Qadariyyah, Asy’arisme juga merupakan penengahan
antara dogmatisme kaum sunni konservatif dan rasionalisme sistem kaum
Sejarah Intelektual
130
G. Al-Farabi
Sebagai seorang filsuf, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-
Kindi, namun dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir, dan
tingkat sofistifikasi yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai
seorang filsuf muslim pertama, al-Farabi disepakati sebagai peletak dasar
pitamida falsafah dalam Islam. Maka setelah Arstoteles sebagai sang guru
pertama, al-Farabi merupakan guru kedua dalam dunia intelektual Islam.
Sejarah Intelektual
132
ummat, namun tanpa kekuasaan politik yang efektif. Kekuasaan politik itu
telah terbagi-bagi di antara para amir dan a’yan (semacam kelas priyayi)
diberbagai tempat. Pertentangan antara bermacam-macam ideologi,
khususnya antara Paham sunnah dan paham syi’ah, semakin memperburuk
situasi sosial-politik Ummat, dan di tangan para amir dan a’yan itu ideologi-
ideologi tersebut menjadi alat pembenaran ambisi kekuasaan masing-
masing. Sebagian dari mereka, seperti misalnya rezim Ghaznawi dan Bani
Saljuk, memperjuangkan paham sunnah sedangkan sebagian lagi, seperti
misalnya rezim Fathimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan
Universitas Al-Azhar itu, amat giat mempropagandakan paham syi’ah
isma’iliyyah.
H. Ibn Sina
Secara mengejutkan, dunia dalam keporak-porandaan politiknya
itu tidak pernah berhenti berpikir. Justru berbagai kegiatan intelektual
dan ilmiah berkembang bagaikan cendawan di musim hujan, berkat
dorongan dan lindungan para amir dan a’yan yang saling bersaing dan
saling mengungguli. Para penguasa lokal itu berlomba menarik hati kaum
sarjana dan ilmuwan, dan mereka yang tersebut terakhir ini mendapati
keadaan tidaklah terlalu buruk, jika bukan sangat menguntungkan, bagi
terlaksananya banyak keinginan mereka di bidang ilmu pengetahuan. Kini
peradaban Islam tidak lagi memusat pada beberapa kota tertentu seperti
Baghdad, Basrah, dan Kuffah di lembah sungai-sungai Dajlah dan Furat itu,
melainkan menyebar sampai ke banyak kota kecil dunia Islam. Diantaranya
ialah bukan tempat di tepi pantai Selatan laut Kaspia, di kawasan Bukhara
di mana seorang bocah tertentu, setelah selesai menghafal al-Qu’ran,
mengusai Nahu-sharaf (gramatika bahasa Arab) dan mendalami fiqih,
seperti biasanya anak muslim berpendidikan yang rajin dan cerdas saat
itu kemudian belajar ilmu logika kepada seorang guru falsafah setempat,
hanya untuk mengejutkan orang banyak dan gurunya sendiri karena dalam
usianya yang amat muda itu ia mampu dengan sangat cepat menguasi ilmu
yang pelik tersebut, malah melebihi sang guru. Disitulah ibnu Sina (Abu’
Ali al-Husayn ibn’ Abdullah ibn Sina, wafat 428 H/1037 M).
Sejarah Intelektual
134
I. Al-Gazali
Satu generasi setalah Ibn Sina, tampil al-Gazali (Abu Hamid ibn
Muhammad al-Gazali, wafat 505 H/1111 M), seorang pemikir yang
dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat khususnya Neoplatonisme al-
Farabi dan Ibn Sina. Diakui sebagai salah seorang pemikir paling hebat dan
paling original tidak hanya dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual
manusia, al-Gazali di mata banyak sarjana muslim maupun bukan muslim
adalah orang terpenting sesudah Nabi Muhammad SAW, ditinjau dari
segi pengaruh dan peranannya menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran
keagamaan.
Sekalipun al-Gazali menolak falsafah, namun ia mempelajari seni itu
sedalam-dalamnya. Ini membuat bahwa kritik-kritiknya dilakukan dengan
kompetensi yang tidak bisa dipersoalkan lagi. Justru ia berhasil, karena ia
menggunakan metode falsafah itu sendiri yang ia pinjam terutama dari
Ibn Sina. Tujuan al-Gazali dengan Tour de force-nya itu ialah membela dan
menggiatkan kembali kajian keagamaan, sehingga karya utamanya pun
berjudul Ihya Ulum al-Din (“menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”)
dan begitu pula, bahwa ia menulis karya polesmisnya yang besar dan
abadi, Tahafut al-Falasifah (“kekacauan para filsuf ”), adalah katanya sendiri
karenan terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang
banyak membuat orang meninggalkan ibadat. Meskipun ia sendiri seorang
pemikir sistematis dan rasional besar yang pada intinya menggabu8ngkan
falsafah dengan ilmu kalam, namun ia dengan jelas melihat keterbatasan
ilmu kalam itu dan meyakini bahwa agama haruslah terutam berupa
pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupajn suhud dan
seorang sufi.
Dalam banyak hal al-Gazali adalah penerus langsung peranan al-Asy’ari
hanyab dengan kapasitas intlektual yang jauh lebih besar sebagaimana al-
Asy’ari dengan meinjam metode mu’tazilah berhasil , merumuskan dan
mengkonsolidasi paham sunni, al-Gazali juga dengan meminjam metode
lawan-lawannya yaitu Neoplatonisme dan aristotelianisme, berhasil
membangun lebih kokoh lagi sunnisme itu dan membuatnya sebegitu jauh
tak terpatahkan. Al-Gazali telah mebendung bahay gelombang Hellenisme
Sejarah Intelektual
136
J. Ibn Rusyd
Ibn Rusyd bernama lengkap Abu al-Walid ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn Rusyd (wafat 595 H / 1198 M). Ia diakui sebagai ahli Aristoteles yang
terakhir dan terbesar dalam Islam. Karyanya yang paling terkenal ialah
kritiknya terhadap buku al-Gazali, Tahafut al-Falasifut (kekacauan para
Filsuf ). Ibn Rusyd dengan cerdik dan tendensius memberi judul karyanya
dengan Tahfut at-Tahafut (Kekacauan buku Kekacauan). Buku al-Gazali
sebelumnya merupakan kritik terhadap filsafat Ibn Sina yang Neoplatonis,
sehingga Ibn Rusyd membalas dengan ungkapan bahwa a-lGazali bersifat
Aristotelian.
Justru Ibn Rusyid juga membuat kritik-kritik tandas tersendiri kepada
filsafat al-Farabi dan Ibn Sina, dan berusaha menunjukkan dalam filsafat
terdahulu itu unsur-unsur Neoplatonisnya. Ibn Rusyid terutama dilihat
dari sudut pandang sejarah filsafat Eropa Barat, dianggap sebagai penafsir
Aristoteles terbesar sepanjang masa. Ibn Rusyid menjadi sumber utama
Aristotelianisme Eropa abad pertengahan dan untuk jangka waktu lama
Ibn Rusyid mempengaruhi jalan pikiran Eropa antara lain seperti tercermin
dalam apa yang dikenal dengan Averroisme Latin.
Tapi dunia intelektual Islam mempunyai sudut penilaian tersendiri
terhadap Ibn Rusyid. Memang disadari bahwa Ibn Rusyid adalah seorang
aristotelian yang dapat dikatakan “fanatik” (Ibn Rusyid misalnya, adalah
seorang pengagum ilmu manthiq Aristoteles dan menganggapnya suatu
sumber besar kebahagiaan sehingga ia menyesali mangapa Socrates dan Plato
dulu tidak mengenalnya!). Kekhususan Ibn Rusyid yang lebih mengesankan
dunia pemikiran Islam ialah usahanya untuk menggabungkan agama dan
Sejarah Intelektual
138
ujung barat dunia Islam, kekolotan kaum ortodok itu tidak saja harus
dibayar dengan hancurnya Aristotelianisme Islam Ibn Rusyid dan tradisi
keintelektual falsafah pada umunya. Bahkan jika negeri Andalusia yang
muslim itu sendiri pun akhirnya harus lepas ke tangan musuh. Secara
menakjubkan pikiran-pikiran Ibn Rusyid yang coba dipadankan oleh
para penguasa dengan bantuan para tokoh keagamaan kolot itu, ternyata
hidup di kalangan orang-orang Yahudi dan kristen Eropa Barat. Kemudian
bangkit kembali dengan segarnya di Universitas Paris, lalu berkembang
menjadi salah satu bahan pokok kebangkitan intelektual dan seterusnya
ikut menentukan warna dan bentuk hubungan lebih lanjut antara dunia
Barat yang kristen dengan dunia Timur yang Islam.
Kekalahan Ibn Rusyid dan kegagalannya membangkitkan
Aristotelianisme Islam, sepanjang mengenai implikasinya yang negatif pada
usaha memelihara dan mengembangkan tradisi berfikir logis dan rasional umat
adalah memang patut disesalkan. Tetapi dari segi pencarian dan penemuan
kebenaran itu sendiri, falsafah dan kalam memang banyak mengandung
problema. Pada zaman moderen ini tidaklah terlalu sulit mengenali segi-segi
Neoplatonisme dan Aristotelianisme yang merupakan titik-titik kelemahannya.
Banyak dari Neoplatonisme itu yang Islam maupun yang bukan Islam, yang
lebih mirip dengan dongeng dan khayal seorang yang amat pandai, seperti
misalnya emansionismenya dalam kosmologi demikian pula dengan logika
formal Aristoteles yang mengingtakan seseorang kepada seni permainan kata-
kata kosong. Kosmologi Neoplatonis boleh dikata seluruhnya telah dengan
tuntas terbantah oleh ilmu pengetahuan mereka. Sedangkan logika Aristoteles
telah lama tumbang oleh sistem-sistem logika yang dikembangkan oleh
misalnya Mill, Leibniz, dan Russel.
K. Ibn Taimiyyah
Suatu hal yang amat menarik dalam sejarah intelektual Islam bahwa
pada abad ke-14 yakni sekitar masa satu generasi sesudahnya padamnya
gelombang kedua Hellenisme, Ibn Taimiyyah (Taqi al Din Ahmad
ibn Taimiyyah, wafat 728 H/1328 M) seorang pemikir pembaharu
dari Damaskus, telah secara sangat dini menyadari kesalahan prinsipil
Sejarah Intelektual
140
Tetapi karena kenyataan yang ada ini semuanya adalah bersifat fartikulal
(juz’i) maka berarti bahwa demonstrasi tidak dapat mengahasilkan suatu
pengetahuan positif tentang wujud ini pada umumnya dan tentang Tuhan
pada khususnya. Pengetahuan yang benar tentang wujud ini dapat diperoleh
hanya jika seseorang meneliti langsung apa yang ada sebagai partikular-
partikular (al-Juz’iyyat) bukannya pada abstraksi-abstraksi filosofis. Hal
yang sama juga berlaku untuk pengetahuan tentang Tuhan, yang hanya bisa
diperoleh dengan sikap percaya kepada wahyunya, dan dengan menghayati
wahyu itu menurut bahasa apa adanya melalui partisipasi dalam dinamika
al-Qur’an yang bahasa fuitiknya manurupakan suatu unsur mukjizat itu
seorang akan mampu menangkap sumber vitalitas keagamaan, bukannya
lewat teologi dan pemikiran spekulatif.
Dapat dilihat bahwa dalam penerapannya terhadap bidang keagamaan,
positifisme Ibn Taimiyyah itu telah mendorongnya kepada literalisme
dalam kitab suci, dan membuatnya menolak dengan keras interprestasi-
interprestasi rasional khususnya interprestasi yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan asing (bukan Islam) seperti Hellenisme, baik
pada Kalam maupun falsafah. Inilah pangkalnya Ibn Taimiyyah menolak
dnegan keras kedua tradisi inelektual Islam itu. Dalam hal ini ia hanya
bertindak sepenuhnya selaku pelanjut metode Ahmad Ibn Hanbal (wafat
241 H/855 M) plus Dawud Khalaf “Literalis” (al-Dhahiri, wafat 269
H/882 M) tetapi dengan argumentasi dan sistematika yang lebih unggul
anatar lain seperti halnya dnegan al-Gazali yang mendahuluinya, justru
berkat kajian dan pendalamannya tentang falsafah dan kalam yang menjadi
sasaran utama kritik-kritiknya itu.
Ibn Taimiyyah adalah seorang egalitarianis radikal, yang metodelogi
pemahamannya kepada agama menolak otoritas mana saja kecuali al-
Qur’an dan al-Sunnah. Implikasi dari metodologinya itu ialah antara lain
bahwa ia menjadi amat kritis kepada hampir semua pemikiran Islam yang
mapan, terutama falsafah dan kalam tersebut diatas, tapi juga banyak segi
syariat tasauf dan lain-lain. Nama Ibn Taimiyyah selalu dengan sangat
kuat dikaitkan dnegan eprlawanan yang gigih, malah boleh dikata fanatik
terhadap metode pengikutan tidak kritis (taqlid). Oleh akrena keharusan
L. Ibn Khaldun
Abd al-Rahman Ibn Khaldun (Ia lahir di Tunisia sekitar tahun 732 H
(1332 M. dan wafat 808 H/1406 M). Ibn Khaldun adalah seorang ilmuwan
Islam yang sangat cemerlang dan termasuk yang paling dihargai oleh dunia
intelektual moderen. Keterampilan Ibn Khaldun terjadi setelah perjalanan
sejarah intelektual Islam, seperti disinggung di atas, memberi penilaian
kurang menguntungkan kepada falsafah-falsafah berkenaan dengan
Sejarah Intelektual
142
Sejarah Intelektual
144
Dari beberapa uraian di atas dapat dilihat bahwa, dalam sikap mereka
terhadap filsafat terdapat persamaan yang cukup mengesankan antara Ibn
Khaldun, Ibn Taimiyyah, dan al-Gazali. Ketiga-tiganya mengemukakan
kemustahilan filsafat, khususnya metafisika sebagai usaha memahami
kebenaran final. Tetapi sementara mengkritik habis filsafat, mereka
mempelajarinya dengan penuh tanggungjawab dan lebih lanjut dengan
caranya masing-masing masih menunjukkan penghargaan kepada segi-segi
positif tertentu filsafat, terutama yang bersangkutan dengan disiplin berfikir
teratur. Maka al-Gazali dikutip sebagai mengatakan bahwa pengetahuan
seseorang yang tidak pernah belajar logika adalah tidak bisa diandalkan.
Telah disinggung bahwa Ibn Taimiyyah dalam kritiknya terhadap metode
ijma’, mengemukakan pentingnya apa yang ia namakan sebagai metode al-
qiyas al-Syar’iy al-Sahih yang pada analisa terakhir masih berpciri Aristotelian
juga. Agak berlainan dengan Ibn Khaldun, Ibn Taimiyyah sebagaimana ia
isyaratkan dalam risalahnya, masih menghargai pengetahuan alam pada
filsuf. Sedangkan pada Ibn Khaldun, meskipun mengemukakan segi-segi
kekurangan ilmu logika warisan Aristoteles, namun ia masih menghargai
sebagai metode yang ia katakan terbaik sepanjang pengetahuan saat itu
untuk melatih berfikir sistematis. Hanya saja ia berpendapat bahwa seorang
muslim tidak dibenarkan mempelajarinya kecuali setelah matang ilmu
keagamaannya.
Pada ketiga pemikir itu, metode positifis mereka berkenaan dengan
agama juga membawa pada kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa kebenaran
yang final tidak bisa diapahami kecuali dengan bersandar kepada sumber-
sumber yang sah ajaran keagamaan serta melalui pengalaman kerohanian
positif tertentu. Maka seperti halnya dengan al-Gazali tapi sedikit berbeda
dengan Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun juga menunjukkan apresiasi yang
tinggi kepada sufisme komvensional. Ia bahkan menulis sebuah karya yang
cukup besar mengenai sufisme.
Karena semangat keagamaannya itu empirisisme Ibn Khaldun
sesungguhnya tetap diliputi jiwa ketuhanan. Hukum sosiologis dalam
sejarah, yang ia berpendapat harus dipelajari dengan menggunakan metode
penelitian obyektif, baginya berasal dari Tuhan juga, dan hukum itulah
apa yang dalam al-Qur’an dinamakan Sunnah Allah (tradisi Tuhan). Justru
menurut Ibn Khaldun, Sunnah Allah itu tidak akan bisa dipahami untuk
kemudian dapat dipedomani dalam hidup pribadi dan sosial, karena itu
Sunnah Allah tidaklah sama dengan determinisme ketuhanan. Sebab
sementara Sunnah Allah itu tetap memberi ruang bagi adanya hubungan
logis dan mencerminkan keadilan Tuhan, determinisme adalah pada
dasarnya bersifat sewenang-wenang.
Juga patut disebutkan bahwa dalam keadaan sedemikian jauhnya
perbedaan antara Ibn Khaldun dan Ibn Rusyid, seorang filsuf Arirtotelian
tulen, dua ahli fikir Islam dari sebelah Barat (al-Maghribi) inipun mempunyai
kemiripan amat menarik dalam segi keagamaan tertentu. Tidak saja kedua-
duanya bermazhab Maliki suatu mazhab yang umum di Afrika Utara (dulu)
dan Spanyol, tapi mereka juga sama-sama ahli fiqh mazhab itu dan sama-
sama pernah memegang berbagai jabatan tinggi kesyariatan. Maka kedua-
duanya, meskipun dalam banyak hal dapat disebut sebagai ilmuwan duniawi,
namun tetap beranggapan bahwa syariat adalah aturan terbaik hidup manusia
yang bakal menjamin kebahagiaan dunia sampai akhirat.
Kajian moderen tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya
berakhir dengan Ibn Khaldun. Kebetulan atau tidak, kenyataannya ialah
bahwa dunia Islam tidak seberapa lama sesudah kepergian pemikir besar
itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntungkan dengan dunia
luar Islam khususnya Eropa Barat. Kehebatan prestasi Ibn Khladun itu
dikontraskan dengan situasi dunia Islam dalamn konteks global yang
kurang beruntung memang dapat menimbulkan kesan amat kuat tentang
mandeknya kegiatan intelektual kaum muslimin sesudah pemikir besar itu.
Melambangkan kemandekan itu ialah secara cukup ironis, bahwa dengan
ketajaman analisis sejarahnya dan keluasan pengetahuan itu namun Ibn
Khaldun, seperti dapat diketahui dari sebuah pernyataan dalam kutipan
karyanya amat sedikit mengetahui keadaan dunia intelektual Eropa yang
ada di seberang laut ke sebelah utara. Padahal Eropa itulah yang kelak
dengan amat menentukan mengubah jalan sejarah dunia Islam, bukan
dalam pengertian positif, tetapi dalam bentuk hubungan antarbangsa yang
penuh dengan kejadian tragis.
Sejarah Intelektual
146
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah terbesar pada zamannya. Dia
pencetus konsepsi fisolofis dan sosiologis tentang sejarah. Kepiawaiannya
di bidang sejarah mendapat pengakuan sejarawan sesudahnya. Sebelum
dia, sejarah hanya berkisar pada sederetan peristiwa yang dicatat dengan
sederhana tanpa adanya perbedaan antara fakta dan rekaan. Tetapi Ibnu
Khaldun telah memberlakukan sejarah sebagai ilmu yang penulisannya
digarap sejarah kritis dan analitik sehingga menempatkan sejarah sebagai
karya ilmiah. Ilmu yang penulisannya digarap secara kritis dan analitik
sehingga menempatkan sejarah sebagai karya ilmiah. Nama lengkap Ibnu
Khaldun adalah Abu Zaid Abdal Rahman Abu Zaid Ibnu Muhammad
Ibnu Khaldun. Moyangnya berasal dari Hadramaut yang hijrah ke Andalus
berbarengan dengan tersebarnya agama Islam di Andalausia. Menjelang
kejatuhan Islam ke tangan bangsa Spanyol (baca: Nasrani), moyang
Khaldun hijrah ke Tunisia yang ketika itu merupakan pusat kebudayaan
Islam di Afrika Utara. Pendidikan formalnya di tempuh hingga Ia berusia
18 tahun. Berbagai macam ilmu dipelajarinya, diantaranya Al Quran
berikut tafsirnya, hadits, fiqih (mazhab malik), filsafat, matematika, bahasa
Arab, dan sebagainya. Guru-gurunya adalah ulama-ulama kondang saat itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Ibnu Khaldun
hidup bermasyarakat. Karirnya bermacam-macam, mulai dari sekretaris
kerajaan, qadhi,guru hingga diplomat. Dalam karirnya di bidang politik
ia pernah dipercayakan penguasa Granada, Sultan Muhammad V untuk
menemui Pedro, penguasa Castille yang terkenal kejam; tujuannya untuk
mengadakan perjanjian damai antara kedua negara yang berseteru itu.
Ibnu Khaldun berhasil menjalankan tugasnya.
Merasa jenuh dan letih terhadap karir politiknya, pada tahun 1375
Ibnu Khaldun bersama keluarganya mengasingkan diri di pinggiran kota
Tunis. Di tempat pengasingannya ini Ibnu Khaldun mendapt kesempatan
luas untuk melakukan penyelidikan ilmiah. Pengalaman politik dan
hidup bermasyarakat yang telah dialaminya selama bertahun-tahun, telah
memperkaya persepsinya tentang urgensi pengetahuan yang mendetail
dalam soal-soal politik dan kemasyarakatan. Besarnya perhatian Ibnu
Khaldun dalam kedua bidang ini oleh karena kedua bidang ilmiah yang
Sejarah Intelektual
148
Sejarah Intelektual
BAB VI
KEBANGKITAN PEMIKIRAN
ABAD PERTENGAHAN
yang terjadi itu bermuara pada apa dan bagaimana peranan individu, baik
sebagai manusia perorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itu, dianggap penting memulai peninjuan tentang proses muncul dan
berkembangnya individualisme, karena paham ini merupakan penggerak
utama yang menunjukkan dirinya pada masa Renaissance. Individualisme
adalah kekuatan utama yang menentukan proses perjalanan sejarah Eropa,
sehingga mampu memberikan corak tertentu yang membedakannya dari
zaman-zaman sebelumnya.
Pembahasan sejarah pemikiran modern yang lahir di Eropa tidak dapat
lepas dari kepentingan meninjau kembali zaman (babakan waktu) sebelum
munculnya renaissance itu sendiri yaitu Abad Pertengahan (Midlle Ages)
suatu zaman yang disebut oleh pendukung-pendukung renaissance sebagai
suatu zaman Kegelapan (Dark Ages). Apakah Abad Pertengahan benar-benar
penuh dengan kegelapan, tentu menghendaki pembahasan dan penyelidikan
tersendiri. Sesuai dengan proses sejarah, Abad Pertengahan sangat penting
dijelaskan sebagai dasar dan bahan bandingan. Mengapa dan bagaimana jiwa
renaissance mempengaruhi kehidupan masyarakat pada waktu itu. Uraian-
uraian perkembangan indiviualisme dalam zaman Renaissance akan lebih
banyak ditekankan kepada peranannya serta akibat yang ditimbulkannya
terhadap bidang-bidang hidup dan kehidupan masyarakat Eropa.
A. Tumbuhnya Inividualisme
1. Eksistensi Individualisme
Secara umum individualisme dapat diartikan sebagai suatu paham
yang mengutamakan kepentingan perseorangan (individu). Jadi suatu
cara memandang selalu diawali dengan dan ditujukan kepada titik pusat
perseorangan (individu). Dalam kamus The Advanced Leaner’s Dictionary
of Current English karangan A. S. Hornby, Individualisme adalah
“The Social theory that favours the face action and complete of believe of
individualism”. Menurut Beerling, individualisme mempunyai bermacam-
macam pengertian antara lain:
a. Pengetahuan sifat perseorangan tersendiri sebagai nilai yang
tertinggi.
Sejarah Intelektual
154
B. Perkembangan Individualisme
Sejarah mencatat bahwa seluruh Abad Pertengahan bercirikan dua
kekuasaan yang sangat menentukan, yaitu kekuasaan feodal (feodalisme)
yang menguasai seluruh hidup perekonomian, dan kekuasaan gereja yang
menguasai kehidupan rohani serta kehidupan politik. Pada umumnya
dalam Abad Pertengahan itu terdapat suatu mentalistas yang bercorak
duniawi melainkan corak atau usaha yang diarahkan kepada kesejahteraan
dan kebahagiaan akhirat.
Kekuasaan dalam Abad Pertengahan ini dipegang terus oleh kedua
golongan ini (feodalisme dan golongan gereja), sampai menjelang akhir
Abad Pertengahan, di saat mana muncullah gejala-gejala kemunduran kuasa
gereja dan feodal yang diakibatkan oleh adanya sekularisasi. Sekularisasi atau
“penduniawan” ini adalah suatu perubahan secara radikal dari pandangan
hidup Abad Pertengahan yang serba religius. Ini terjadi pada kira-kira akhir
Abad Pertengahan (abad ke 13 sampai abad ke 14). Masa-masa mulainya
sekularisasi inilah yang sering dinamakan Zaman Renaissance, dengan ciri-
cirinya antara lain, penggalian kembali kebudayaan Yunani dan Romawi
Klasik, dan kembalinya Individualisme memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat.
Sejarah Intelektual
156
Sejarah Intelektual
158
Sejarah Intelektual
160
Sejarah Intelektual
162
makin diperbesar ketika Raja Charles dari Kerajaan Frankia pada Abad ke-8
memberikan daerah di sekitar Roma untuk dijadikan daerah Gereja yang
kelak terkenal dengan “ Negara Gereja”. Sebagai tanda terima kasih, Paus
lalu menobatkan Charles di Roma sebagai Kaisar. Kebiasaan inilah yang
memperkuat kedudukan Paus dan Gereja.
Pada sekitar Abad ke-11, terjadi pertikaian antara Paus dan Heinrich
IV, Kaisar Jerman yang memperebutkan derajat mana yang lebih tinggi, Paus
ataukah Kaisar. Konflik ini diselesaikan secara damai di Worms. Kemudian
pada abad ke-13 timbul lagi perselisihan soal pajak antara Paus dan raja
Edward I dari Inggris dan Raja Phillippe dari Perancis. Kedua raja ini dalam
menghadapi perlawanan golongan feodal menuntut pajak 1/5 dari milik
pribadi pegawai Gereja. Tuntutan ini dijawab oleh Paus Bonifacius VIII
dengan Billnya yang terkenal dengan “Clericis Laicos”, melarang pejabat-
pejabat Gereja untuk membayar pajak kepada pejabat duniawi (Raja) dan
mengenakan eksomunikasi bagi raja-raja. Raja Phillippe membalas dengan
melarang eksport uang mas dan perak dari Perancis, sehingga terputuslah
salah satu sumber pemasukan Paus. Paus akhirnya mengalah dan memenuhi
tuntutan kedua raja tersebut. Setiap raja-raja bersengketa dengan Paus,
selalu golongan borjuis berada di pihak raja. Ini tidak mengherankan
oleh karena golongan Borjuis ingin merebut posisi baik dalam bidang
pemerintahan maupun dalam bidang perdagangan. Dan dengan peristiwa
Paus dan Bonivacius VIII ini jelas menunjukkan kekuasaan Paus sudah
mulai merosot.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya perlawanan terhadap
otoritas gereja, adalah rasa benci di kalangan rakyat oleh sebab tanah-tanah
Gereja dibebaskan dari pajak. Ini dirasakan sebagai suatu hal yang tidak
adil. Belum lagi kejadian “Schisma” (perpecahan tentang penentuan siapa
yang menjadi Paus).
Perang 100 tahun (1350 - 1450) yang menyebabkan kerusakan bagi
Perancis dan kelelahan bagi Inggris. Semuanya ini menurunkan prestise
gereja, bahkan “Perang 100 tahun” ini menimbulkan gejala tumbuhnya rasa
kebangsaan (nasionalisme) bagi Perancis. Pembaharuan yang di lakukan
Sejarah Intelektual
164
Sejarah Intelektual
166
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik raja-raja dengan pemerintahannya berkembang
ke arah kekuasaan monarki absolut. Ini sebagai realisasi teori ahli
ketatanegaraan yang termasyhur pada zaman Renaisance di Italia, yaitu
Nicolo Machiavelli denga bukunya “Il Principe” yang terkenal itu.
Dalam pemerintahan absolut monarki ini, tokoh dan pribadi rajalah yang
menentukan kuat tidaknya wibawa seseorang raja terhadap rakyatnya.
Pemerintahan yang absolut inilah yang kelak didobrak oleh golongan
Borjuis yang berpaham demokrasi liberal yang menginginkan hak-hak
politik untuk kepentingan golongannya. Malah sekitar Abad Ke-14
golongan Borjuis ini dapat turut mengirim wakil-wakilnya dalam “Dewan
Pemerintahan Raja”. Inilah yang merupakan bibit sistem parlementer yang
berkembang dalam zaman modern.
Penonjolan individu menuju Demokrasi Parlementer pada zaman
modern di Eropa terlihat pada ajaran tokoh-tokoh seperti : John Locke,
b. Bidang Agama
Dalam bidang agama peranan individualisme ini menuju ke arah
kemerdekaan individu secara bathiniah. Dengan munculnya kesadaran
dan keinsyafan akan harga diri selaku manusia yang dapat bertanggung
jawab atas dirinya sendiri, maka muncullah tokoh-tokoh agama untyuk
memperbaiki keaadan gereja. Muncullah Martin Luther yang menjadi
perombak secara radikal ikatan dogma gereja Romawi.
Luther ingin mengembalikan agama Kristen ke ajarannya yang
murni, dan mengajarkan bahwa manusia itu adalah mahluk indiviual yang
bertanggung jawab kepada perbuatannya sendiri. Dianjurkannya agar setiap
orang membaca dan mengartikan sendiri isi kitab Injil. Luther sebenarnya
hanya bermaksud untuk memperbaiki seremoni atau tata cara ajaran agama
dan bukan bermaksud untuk mendirikan ajaran baru. Paham Luther ini
banyak mendapat sokongan dari raja-raja kecil di Jerman. Terbukti suatu
Kaisar Charles V mengulangi perintah Luther dari Jerman, maka banyaklah
raja-raja kecil di Jerman yang memprotesnya. Dan dari sinilah awal
timbulnya istilah “Protestant”.
Tokoh pembaharu lainnya adalah Calvin, seorang perancis yang
banyak mendapat pengikut dari warga kota (Paura). Ajarannya berintikan
Sejarah Intelektual
168
c. Bidang Ekonomi.
Dalam bidang perekomian individualisme ini memegang peranan
penting. Dasar perkembangan individualisme ini mengalami kemajuan,
paham kebebasannya semakin menonjol akibat tersebar luasnya ajaran
Calvin. Etika ajaran Calvin mengajarkan bahwa hasil yang diperoleh dari
gereja adalah “Rahamat Tuhan”. Untuk ini dianjurkannya kerja keras dan
hidup sederhana. Dengan ini timbullah akumulasi kapital yang merupakan
awal mula fase perindustrian yang dipercepat dengan penemuan-penemuan
baru di bidang mesin-mesin, alat-alat perhubungan (komunikasi), dan
munculnya pabrik-pabrik besar. Semuanya ini ditunjang pula oleh
penemuan Copernicus dengan teori buminya mengelilingi sumbunya dan
bukan dunia dikelilingi oleh planet-planet lain seperti anggapan umum
Abad Pertengahan. Demikian pula halnya dengan Newton, dengan hukum
gaya beratnya serta ahli-ahli lain yang menjadi peletak dasar penemuan
hukum-hukum alam yang memungkinkan penyelidikan-penyelidikan
dan percobaan-percobaan sehingga menghasilkan penemuan-penemuan
baru tersebut. Akibat industri yang semakin produktif, perlu daerah-
daerah tempat pelemparan hasil-hasil serta perlunya daerah-daerah sebagai
sumber bahan mentah. Timbullah hasrat untuk mengadakan ekspansi yang
menimbulkan imperialisme kolonialisme.
Sejarah Intelektual
170
Sejarah Intelektual
172
Sejarah Intelektual
174
Sejarah Intelektual
176
kaum bangsawan tak lebih dari para primus interpares saja. Yang menjadi
persoalan adalah, mengapa justeru baru pada Abad ke 14 (menurut Jan
Romein tadi) timbul gerakan raja-raja yang hanya primus ineterprares itu
untuk memulihkan kembali seluruh kekuasaannya?. Soal ini dijawab oleh
Ferguson Bruun sebagai berikut:
Perang-perang besar antara negara (seperti perang 100 tahun) sejak
Abad ke 14, 15 dan permulaan Abad ke 16, memainkan peranan penting
dalam pembentukan sentimen nasional karena peperangan selalu merupakan
kekuatan pendorong ke arah tumbuhnya patriotisme.
Akibat kekacauan yang lama itu, timbullah kesadaran dan kebutuhan
bahwa negara sekarang adalah suatu “ kesatuan yang penting dari segalanya”
dan pemerintahnya adalah suatu “kekuasaan di mana semua orang berlindung
dan diperintah”. Hal lain yang timbul yang merupakan tantangan bagi cita-
cita dan gerakan pemulihan kekuasaan ini dalam prosesnya menghadapi
rintangan-rintangannya adalah soal “perongsokan perang”.
Dari manakah raja-raja yang hanya lambang itu untuk memperoleh
uang guna maksud tersebut?. Dulu memang raja-raja dibantu oleh kaum
bangsawan. Jika timbul peperangan harus dilucuti kembali kekuasaannya.
Raja-raja hanya melihat satu kemungkinan saja, yaitu minta bantuan pada
kaum Borjuis yang sudah kaya itu yang juga memerlukan sesuatu. Jelasnya
di pihak raja sangat memerlukan bantuan pada kaum Borjuis yang sudah
kaya itu yang juga memerlukan sesuatu. Jelasnya di pihak raja sangat
memerlukan bantuan perongkosan dan itu hanya ada pada kaum Borjuis,
sedangkan kaum Borjuis membutuhkan kelancaran perdagangannya yang
hanya mungkin dengan adanya hukum yang sama dalam suatu negara,
serta lancarnya lalulintas.
Itulah sebabnya kota-kota (borjuis) menyokong dengan uangnya raja-
raja untuk memulihkan kembali kekuasaannya dan tumbuhlah negara-
negara sentral yang kuat. Dengan tumbuhnya “centralized tertitorial states”
yang menjatuhkan kekuasaan dan prestise Gereja dalam lapangan politik di
mana peranan Borjuis dalam membantu mendirikan negara-negara sentral
itu penting sekali.
Sejarah Intelektual
178
Sejarah Intelektual
180
Sejarah Intelektual
182
F. Kelumpuhan Feodalisme
Telah dikemukakan di atas, bagaimana kaum Borjuis itu bertumbuh
sampai menciptakan suatu masyarakat baru yang sumber hidupnya bukan
lagi pertanian tetapi dari perdagangan, yaitu masyarakat kota-kota yang
bertumbuh sekitar tahun 1000 M sebagai akibat tumbuhnya kembali
perdagangan dan industri. Pertumbuhan kota-kota ini merupakan secara
keseluruhan masyarakat Eropa dari masyarakat tertutup ke masyarakat
bebas terbuka sebagai ciri dunia modern. Tetapi soal penting sekali
adalah “bagaimana prosesnya perubahan itu”? terjadinya perubahan itu
tentunya disebabkan karena kemenangan masyarakat kota dalam proses
pertumbuhannya menghadapi masyarakat feodalistis itu salah satu dari
sebab kemenangan itu adalah karena dalam masyarakat Feodalistis itu
timbul semacam masa krisis.
Pada Abad ke-14 dan ke-15 di Eropa terjadi suatu krisis di mana
masyarakan Feodal mengalami kemerosostan dan mulai lenyap. Krisis ini
disebabkan oleh; kemenangan raja-raja dalam menciptakan “nation states”
yang dipusatkan. Berhasilnya raja-raja ini mencapai maksudnya adalah
berkat bantuan dari pada kaum borjuis, yang haus akan keamanan dan
kelancaran perdagangannya. Raja-raja ini dalam usahanya mengkonsolidasi
dan mempertahankan batas daerahnya perlu uang yang banyak. Salah satu
jalan yang ditempuhnya ialah menaikkan pajak-pajak kepada tuan-tuan
Sejarah Intelektual
184
tanah Feodalist itu. Bagi tuan-tuan tanah kenaikan pajak ini tidak menjadi
soal besar karena mereka dapat saja menaikkan pula pajak-pajak bagi
petani-petani sewanya itu, jika mungkin lebih banyak dari yang dibebankan
pada mereka. Bersamaan dengan itu terjadi pula krisis ekonomi, inflasi
mengamuk, nilai uang merosot dan harga kebutuhan hidup naik akibat
dari faktor ini (pajak dan harga kebutuhan hidup naik) ialah bahwa, petani-
petani itulah akhirnya yang terjepit benar-benar lalu menuntut kenaikan
upah. Hal ini menimbulkan maslah yang paling sulit bagi tuan-tuan tanah.
Jika upah petani dinaikkan sedang produksi relatif tetap, maka
kerugianlah yang akan mengancam, tetapi jika tidak, maka mungkin petani-
petani itu tidak akan tahan, lalu merekapun meninggalkan pertanian-
pertaniannya lari ke ota-kota, untuk mencari lapangan hidup baru. Demi
mempertahankan prestise dan penghidupannya maka tidak ada jalan lain
yang ditempuh oleh tuan-tuan tanah feodal itu selain menaikkan pajak
bagi para petani. Akibatnya petani-petani mulai melarikan diri ke kota-kota
dan terjadilah urbanisasi yang mengakibatkan beberapa daerah pertanian
dikosongkan (rotten boroughs). Bagi masyarakat feodal, urbanisasi ini
menimbulkan kelumpuhan yang besar yang akhirnya petani berangsur-
angsur lenyap, mula-mula di Inggris, kemudian di Perancis (Revolusi
Perancis 1789) dan terakhir di Rusia (1917).
Jadi tampaklah bahwa berakhirnya bentuk masyarakat Feodalistis
itu adalah disebabkan oleh faktor krisis ekonomi, di mana kaum Borjuis
memegang peranan yang sangat penting, yang dengan jiwa yang sangat
dinamis akibat perdagangannya, telah menciptakan lapangan hidup baru
yang memungkinkan petani-petani itu dapat melanjutkan hidupnya. Dan
andai kata tidak ada kota-kota tempat pelarian para petani itu mungkinlah
jarum jam sejarah Eropa tidak seperti yang sudah terjadi.
Dunia abad pertengahan dengan pandangan umumnya terhadap nilai
kerja “secara tidak sadar cenderung ke arah menumbuhkan lawannya”.
Dunia Abad Pertengahan sebagai warisan zaman klasik Yunani, berpendapat
bahwa “kerja itu hanya bagi hamba-hamba saja”. Pendapat yang berlaku
umum ini, menyebabkan kekuasaan dalam Abad Pertengahan itu lengah
Sejarah Intelektual
BAB VII
KAUM INTELEKTUAL
DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG
A. Dunia Kita
Negara berkembang adalah belahan umat manusia yang setelah
Perang Dunia II bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan
Barat. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan terhadap rempah-
rempah Nusantara terutama Maluku, dikembangkan melalui pengacak-
acakan seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang
berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami
perkosaan pelembagaan budaya, Iebih dari itu adalah pemiskinan
yang sistematis. Pada pihak Iain Barat semakin membengkak dengan
kemajuan, kekuasaan, keilmuan, dan teknologi dengan bangsa-
bangsa jajahan sebagai Iandasan percobaan. Doktrin-doktrin yang
membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan
pihak bangsa-bangsa yang dijajah.
Kita menyaksikan Iahir dan berkembangnya imperium (empayar)
dunia: Portugis dan Spanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan
perak, Inggeris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta
perbudakan (perhambaan), dan Belanda yang dibangun di atas monopoli
rempah-rempah. Sebahagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh
Barat, yang dalam jumlah nisbah jauh lebih kecil, namun bagaimanapun
pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu
adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang
188
Barat. Dalam hal ini, dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada
keseluruhannya, terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-shek,
bahwa: tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa Iain tanpa bantuan
bangsa itu sendiri.
Produk (Kesan) penjajahan atas Dunia Ketiga secara budaya adalah:
mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi
bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, karena mentalitas
bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan kebudayaan bangsa kalah
demi survivalnya sebagai bangsa kalah. Tragedi pada Dunia Ketiga dengan
kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang
disadarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan
kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajah
adalah Demokrasi Parlementer, Hak-hak Asasi, yang dua-duanya memberi
jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas
namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk
mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah
hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa itu kehilangan jajahannya.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak
berlindung pada apa yang mereka namai kebudayaan asli dan kadang
kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang
menjualnya untuk pariwisata (pelancongan) dan bukan tanpa kebanggaan
nasional kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah
dikalahkan berabad.
Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan
penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga
memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai
keanehan hanya karena tidak sama dengan dirinya, hanya karena perbedaan
standar (taraf ) yang sulit mereka sadari, dan karena standar satu-satunya yang
mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C.J .Koch
The Year of Living Dangerously (terbitan Sphere Books United, London,
1981). Malah suatu gejala biasa bila Barat tidak mau mengerti bahwa
Sejarah Intelektual
190
menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat
terhadap Dunia Ketiga.
Sikap dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang
Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum merupakan sikap
umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju. Mereka mencoba
membébérkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga karena belum sampai
pada standar yang dimiliki Barat, dan nota bene (perhatikan) tidak Iain dari
warisan penjajahan Barat sendiri, di samping memperkenalkan produk Dunia
Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya
pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang Utara-Selatan
untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: kaya-miskin. Sebelum
yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: negeri/negara yang sedang
berkembang (membangun). Semua itu untuk menghindari persoalan nurani
antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang Ientur (Iunak)
dan dilenturkan ini tak Iain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa
Dunia Ketiga berterima kasih pada bantuan yang menguntungkan dari
Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat
keuntungan Iebih besar Iagi. Di sini kita sekarang berada.
B. Kaum Intelektual
Apa yang dimaksudkan dengan kaum intelektual masih kurang jelas
apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari
setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah
sarjana termasuk intelektual? Apakah setiap orang di antara kita intelektual
atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut (sifat) dari sebahagian
kecil nasion yang merasa diri berpikir Iebih daripada bagian selebihnya?
Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual
adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai
kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya
manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop,
Sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila
sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual ertinya penalarannya
belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan
Sejarah Intelektual
192
Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas.
Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh.
Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di
depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan : bagaimana
sebaiknya, karena itu soal operasional.
Berdasarkan materi yang telah dikedepankan, sikap yang sepatutnya
diambil adalah: Pertama, meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan
mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan
dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moden.
Kedua, tetap kritis terhadap potensi pengaruh budaya suku yang kalah dan
mengajak kalah. Ketiga, berlatih berani untuk mendapatkan keberanian
intelektual karena tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh
sebelum memutuskaben. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya
karena keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner
juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual
Indonesia. Keempat, sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah
pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia.
Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang
Dunia Ketiga ada karena diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual
Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas
dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan
sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, karena mereka
tanpa sadarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya
sendiri. Kelima, Barat menjadi bongkak kuasa, bongkak kemajuan dan
bongkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan
produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlimenter dan hak asasi
adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Keenam, dari
pengalaman sejarah ini, kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung
jawaban moral dengan konsekuensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum
intelektual Indonesia karenanya diajak pertanggungan jawaban historis.
Ketujuh, atas dasar ini Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan
menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus
menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan
Sejarah Intelektual
194
Dari pelajaran Barat, Indonesia juga bisa kuat dengan individu manusia
Indonesia yang kuat, sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah
aku... yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan
pegangan dan medan oleh Pancasila. Keduabelas, terhadap Dunia Ketiga
sebagai jajaran sendiri, sebagai seperasaian (mempunyai nasib sama) dalam
sejarah, sebagai rakan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang
diwariskan oleh kesamaan historis, menanggalkan sikap tak acuhan yang
terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah
suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia Ketiga akan mempercepatkan
lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktik devide et
impera (pecah dan perintah) Barat bukan tidak menjadi watak peradaban
dalam menghadapi dunia non-Barat. Karena itu semangat Dunia Ketiga,
atau yang pernah juga disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi
semangat Asia-Afrika-Amerika Latin, bukan semestinya menjadi semakin
pudar untuk kerugian Dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya
waktu ia - bukan sekedar gagasan mencoba mewujudkan Ganefo dan Conefo,
tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-
Selatan, Dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin
mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan.
Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa
terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru. Ketigabelas, peran kaum
intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan
bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya
dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang
bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia
merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan
praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak
dicoba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-
roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi
munafik. Keempatbelas, kaum intelektual,sebagai nalar dan nurani nasion,
adalah berkasta Brahmin dalam pengertian modern. Dan moden selalu
senyawa dengan demokratis, dengan, demikian kehilangan kedudukannya
dari hierarki Hindu. Faal bernolar, berpikir dengan inteleknya secara
alami, tidak beza dari fungsi-fungsi kasta Iain dalam masyarakatnya, yakni
melakukan proses bio-kimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk
bisa tahu tentang paran sebelumnya, orang dituntut tahu tersangkarnya,
tentang asalnya, tentang historisnya.
D. Mengingkari Kebebasan
Intelektual biasanya dianggap sebagai manusia bebas dan kreatif yang
terus-menerus mencari kebenaran. Untuk mencapai tujuan mulianya,
intelektual tidak segan menempuh kehidupan yang tidak lazim dan menolak
menjadi bagian dari arus utama dalam masyarakat. Tanpa pamrih adalah
ciri yang lain karena bukan uang, pangkat dan kenikmatan duniawi yang
dicari. Akibatnya tidak jarang mereka terpaksa berjalan sendiri dan kesepian
seperti yang diungkap Arief Budiman dalam pidato di Melbourne University
beberapa tahun lalu.
Julien Benda, pemikir konservatif Perancis mungkin orang yang
paling sering dikutip untuk menggambarkan sosok intelektual tanpa
pamrih. Pengkhianatan Kaum Intelektual karyanya adalah kritik tajam
terhadap mobilisasi kebencian dalam kasus Alfred Dreyfus, kapten tentara
Perancis keturunan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara kepada
pasukan Jerman. Ia mengecam kesetiaan buta kaum intelektual terhadap
doktrin keamanan negara dan menuduh mereka berkhianat terhadap nilai
kebebasan dan hak-hak individu yang diperjuangkan Revolusi Perancis.
Tapi kenyataan sejarah memunggungi harapannya, termasuk
intelektual sebarisannya dalam kasus Dreyfus. Georges Clemenceau jurnalis
yang menjadi menteri dalam negeri 1906, menangkap para pemimpin
serikat buruh radikal CGT dan memerintahkan agar mereka dihukum
tembak. Semua itu atas nama “keamanan nasional”, persis seperti kaum
intelektual yang dituduhnya berkhianat dalam kasus Dreyfus. Sebuah
bukti bahwa kemerdekaan individu yang dijunjungnya selalu punya
pengecualian. Mungkin mirip dengan kebungkaman intelektual Indonesia
yang merayakan kemerdekaan berpikir di satu pihak tapi membiarkan
penindasan terhadap intelektual yang berlawanan di tahun 1960-an.
Sejarah Intelektual
196
E. Pengabdian Intelektual
Intelektual adalah bagian tak terpisahkan dari penjajahan selama
berabad-abad. Nama-nama besar dalam berbagai bidang ilmu seperti John
Stuart Mill bersesakan dalam birokrasi rumah dagang dan negara kolonial.
Di Indonesia kita menjumpai Brandes, van Leur, Petrus-Blumberger dan
Gonggrijp. Mereka bekerja penuh pengabdian dan sekaligus mendapat
penghargaan karena pencapaian akademik, yang menunjukkan kedekatan
dunia ilmu pada umumnya dengan birokrasi negara. Sekalipun “bebas”
menulis tentang apa pun yang mereka mereka minati tugas utama adalah
menambah pengetahuan penguasa tentang daerah kekuasaannya, dan tak
seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.
Pada Abad ke-20 menghadirkan contoh-contoh yang lebih telak
lagi. Di Jerman semasa Nazi ribuan peneliti dan ilmuwan segala bidang
direkrut untuk mendukung proyek Aryanisasi Hitler. Kamp konsentrasi
seperti Buchwald dan Auschwitz disulap menjadi laboratorium raksasa
menggunakan penghuninya sebagai obyek eksperimen yang mengerikan.
Anak-anak disuntik dengan virus hepatitis untuk mempelajari cara kerjanya,
sementara tahanan dewasa dibiarkan merana kelaparan agar para peneliti
dapat mengamati batas daya tahan manusia. Di samping menjadi masukan
untuk kepentingan militer, hasil penelitian itu kadang diumumkan melalui
konperensi dan jurnal ilmiah yang bergengsi pada zamannya sebagai
pencapaian akademik.
Hubungan intelektual dengan rezim fasis hanya dalam bidang ilmu
alam atau kedokteran. Martin Heidegger, filsuf terkemuka yang juga
dikenal luas di Indonesia diketahui mendukung kekuasaan Nazi. Ia menjadi
rektor Universitas Freiburg dengan restu penguasa yang beberapa minggu
sebelumnya membakar ribuan buku di hadapan umum. Beberapa bulan
Sejarah Intelektual
198
investigasi yang mengungkap hampir separuh dari 700 paket hibah yang
disalurkan berbagai lembaga dana berasal dari dinas intelijen tersebut.
Kenyataan ini tidak berarti bahwa semua pusat kajian wilayah adalah
perpanjangan tangan CIA atau badan pemerintah lainnya. Seperti halnya
Moskow dan Beijing tidak selalu berhasil membangun “garis komando”
dengan organisasi, lembaga atau intelektual yang didukungnya, di AS pun
bermunculan lembaga yang relatif independen sekalipun mendapat dana
hibah semacam itu. Langkah yang tidak mudah dalam politik Perang
Dingin. George Kahin dari Cornell University misalnya membuka studi
Asia Tenggara di kampusnya dengan dukungan Ford Foundation di satu
pihak dan mata curiga Departemen Luar Negeri yang menganggapnya
terlalu dekat dengan gerakan kiri di Indonesia pada pihak lain.
Tapi terlepas dari variasi hubungan dan lembaga yang terbentuk masa
itu, Perang Dingin membawa dampak serius bagi perkembangan ilmu
dan kehidupan intelektual. Seiring dengan meningkatnya petualangan
intelijen ke seluruh dunia, ahli-ahli psikologi seperti Harold Lasswell tekun
mengembangkan teknik perang urat syaraf, sementara ahli bahasa melayani
kelas-kelas yang sesak dengan tentara dan agen dinas intelijen yang ingin
menguasai bahasa sasarannya. Ahli ekonomi dan politik berlomba mencari
rumus baru mengenai pembangunan negeri berkembang agar mengikuti
“garis politik” masing-masing negara.
Sekalipun hanya sebagian intelektual yang mengabdi pada kepentingan
strategis seperti itu, lanskap keilmuannya secara umum tetap sangat
terpengaruh. Mereka memang relatif bebas merancang, mengumpulkan
bahan dan meneliti, tapi akhirnya harus berhadapan dengan keinginan
lembaga dana serta ketiadaan kontrol terhadap penggunaan hasil karya
mereka. Banyak studi antropologi, proyek pemetaan, studi geografi
dan kajian sosial lainnya menjadi bagian dari operasi militer tertentu,
sementara studi sastra dan seni diolah menjadi senjata dalam pertarungan
kebudayaan. Meski tidak “berkhianat” dalam pengertian Julien Benda,
kemerdekaan berpikir dan mencipta terbentur oleh berbagai kepentingan
yang mengelilingi mereka.
Sejarah Intelektual
200
G. Kekuasaan Bisnis
Saat ini praktis tidak ada kekuatan lain yang bisa mempengaruhi
kehidupan akademik dan intelektual seperti bisnis. Sejarahnya panjang
tapi pengaruhnya mulai semakin dirasakan pada 1990-an seiring dengan
berakhirnya Perang Dingin. Birokrasi di mana-mana menganggap nilai
strategis lembaga pendidikan, penelitian dan kumpulan intelektual semakin
berkurang. Universitas terkemuka kini harus hidup dengan dana publik
yang sangat terbatas dan kadang hanya cukup untuk menutup seperempat
Sejarah Intelektual
202
H. Nilai Kebebasan
Di zaman modern gejolak politik dan ekspansi modal semakin
mempersempit jalan sepi intelektual yang ingin berpikir bebas, mandiri, dan
lepas dari segala kepentingan. “Segala yang padat larut dalam udara, segala
yang suci dibumikan, dan manusia akhirnya didesak untuk menghadapi
kenyataan hidup dan hubungan sesamanya dengan pikiran jernih,” demikian
Marx. Sebagian intelektual bereaksi dengan mengurung diri dalam menara
gading yang semakin sempit dan ringkih, menjadi pandita tanpa umat. Tapi
banyak yang memilih jalan lain untuk membebaskan diri dari kekangan.
Tahun 1948 berlangsung Kongres Intelektual Dunia untuk Perdamaian
di Wroclaw, Polandia. Setahun kemudian di bawah pimpinan intelekutal
Perancis peraih Nobel Frederic Joliot Curie dibentuk Dewan Perdamaian
Dunia yang menghimpun ribuan intelektual dan sarjana dari seluruh dunia
termasuk Indonesia. Dimulai dari dari kampanye menuntut penghapusan
senjata atom, dewan ini terus mengecam perlombaan senjata nuklir serta
petualangan militer negara-negara besar di berbagai belahan dunia. Jurnalis
dan pengarang Dunia Ketiga di tahun 1950-an membentuk berbagai
perhimpunan sebagai tindak lanjut politik non-blok yang dicanangkan
Soekarno. Gerakan mahasiswa dan intelektual yang melanda Amerika dan
Eropa 1960-an, invasi Soviet ke Hungaria 1956 dan Cekoslovakia dua
belas tahun kemudian mendorong munculnya berbagai arus pikiran dan
formasi intelektual baru yang menolak polarisasi ilmu dan kebudayaan
akibat Perang Dingin. Di Afrika dan Amerika Latin gerakan pembebasan
melahirkan tokoh-tokoh seperti Franz Fanon, Amílcar Cabral dan Paulo
Freire. Mereka memilih bersekutu dengan rakyat negerinya ketimbang
doktrin liberal Washington atau Marxisme Soviet. Keberpihakan memang
tak terhindarkan. Intelektual hanya bebas menentukan di sisi mana mereka
akan berdiri dan berkarya.
I. Tipologi Intelektual
Sejarah pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang
dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan
gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau
Sejarah Intelektual
204
kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum.
Istilah “pemikir” itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja
yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan
lain untuk “intelektual” dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih
keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher,
thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned
man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan
yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher -- karena faktor
sejarahnya -- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan
tingkat kejeniusan seseorang.
Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum
terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat
keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan kebenaran.
Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf
berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa,
karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok
tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit
dengan massa.
“Filsuf ” adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir
yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya
berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas.
Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah
scholar (sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan
tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai
jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy),
tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi,
sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh ‘Ali Syari’ati, pemikir
asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa
adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula
saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari’ati
menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan
yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara
sederhana sebagai “intelektual”, karena istilah tersebut biasa merujuk
kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi
kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-
Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para
cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam
bahasa Inggris disebut intelektual. Seorang intelektual biasanya tidak
hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat
dan berinteraksi dengan mereka.
Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti ‘Ali Syari’ati
adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani.
Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid
Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu
dianggap sebagai “thinker”, “philosopher” dan “reformer”, padahal ia adalah
intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih
filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti
Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars)
yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai
filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat, karena,
seperti telah saya katakan, istilah “pemikir” itu sendiri ambigious, bisa
diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas keintelektualan yang
berbeda-beda. Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada
dikotomi yang jelas antara “pemikir elit” (mufakkir nukhbah) dengan
“pemikir massa” (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir nukhbah
adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing dari massa
dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah
para pemikir elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf,
intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat,
dan mereka adalah milik massa. Dalam tulisannya yang lain, walau ia
mengakui sulitnya membuat perbedaan antara “pemikir” (mufakkir)
dengan “intelektual” (mutsaqqaf ), tak pelak, ia juga membuat perbedaan
tersebut. Tak jauh berbeda dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk
Sejarah Intelektual
206
Sejarah Intelektual
BAB VIII
WACANA INTELEKTUAL:
KRITIK TERHADAP PARADIGMA
MODERN
Sejarah Intelektual
212
apakah kesatuan kolektif tersebut akan runtuh, tetap eksis atau bahkan
akan berbenturan. Hanya dengan konsep tindakan, tujuan serta cara-
cara individu dalam kesatuan kolektif kita akan mendapatkan pola-pola
kemanakah bangunan sosial itu akan menuju. Hal ini tersirat bahwa,
untuk menganalis masyarakat, kita harus beralih ke dalam pandangan dari
sudut pandang manusia. Dalam melihat manusia, maka kita tidak dapat
mengabaikan sifat dasar manusia yaitu bertindak. Setiap tindakan memiliki
tujuan dengan cara-cara tertentu.
Contoh yang ekstrim terhadap konsep tindakan, tujuan dan cara,
bisa dicermati dari laporan terbaru dari ahli Primatologi, Jill Pruetz. Pruetz
meneliti selama empat tahun terhadap kehidupan simpanse Fongoli di
Afrika. Penemuan Fruetz memang membuat “merinding” sebagian ahli
antropologi. Karena dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa,
selain manusia, ternyata kelompok simpanse Fongoli telah lama memiliki
“budaya” tersendiri. Dalam temuan Fruetz, simpanse menggunakan stik
(sebatang kayu yang digunakan dengan cara lembing) untuk menohok
bush baby. [4] Dalam menyebarluaskan penemuannya, Pruetz memang
mendapati pengabaian dari ahli primatologi sejawat. Tapi bukankah kasus
yang demikian sudah biasa dalam penemuan ilmiah.
Sejarah Intelektual
214
Sejarah Intelektual
216
sabun sebagai hukuman dan pelajaran agar mulutnya tetap bersih dari kata-
kata kotor dan dusta. Tapi justru Hemingway tumbuh menjadi pendusta
yang luar biasa. Di usianya yang muda, di depan orang tuanya Hemingway
mengucapkan doa-doa sebagaimana umat Kristen yang taat, namun diam-
diam ia memploklamirkan diri sebagai seorang Atheis, bahkan mengatakan
bahwa Tuhan adalah ancaman bagi kebahagiaan manusia.. Ucapannya
tersebut tergambar jelas dalam perilakunya. Isteri Hemingway bersaksi bahwa
suaminya hanya dua kali berlutut dalam altar sepanjang hidupnya yakni
saat menikah dan saat anaknya dibaptis. Kebohongan menjadi kemahiran
Hemingway, bahkan ibunya merasa tidak tahan dengan perilakunya
ini, selain pemalas dan jual tampang. Paul Johnson mendeksripsikan
kemampuan Ernest Hemingway dalam berbohong dengan kalimat yang
indah : “He thought, and sometimes boasted, that lying was part of his training
as a writer. He lied both consciously and without thinking ”.
Lain Hemingway, lain lagi JJ Rousseau, yang dikenal sebagai pemikir
besar yang dikenal sebagai pemikir yang mempengaruhi semua teori
pemikiran sekuler, demokrasi dan intelektual modern, bukunya yang terkenal
adalah Du Contract Sociale. Tapi siapa sangka Rousseau adalah laki-laki
“gila” yanng begitu mencintai dirinya lebih dari apapun. Dalam bahasanya
sendiri, Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking
cintanya pada dirinya sendiri ia tak peduli dan membuang anak-anaknya ke
foundling home, yakni rumah penampungan bagi yatim-piatu atau anak yang
kehilangan orangtuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur
tentang anak-anak yang ditulis dalam sebuah buku berjudul Emile.
Bertrand Russell, lain lagi, filusuf dan pemikir bijak yang banyak
dirujuk dan dikagumi dunia ini adalah seorang dengan sosok pribadi yang
bertolak belakang degan pemikirannya. Ia adalah karakter dengan arogan,
kasar dan penuh skandal. Ia tumbuh sebagai seorang yatim dan besar
sebagai penulis brilian yang tak mengakui Tuhan. ‘Kami tak percaya pada
Tuhan, tapi yakin atas supremasi kekuatan manusia’, begitu ikrarnya. Salah
satu karyanya yang fenomenal adalah Why I am Not a Christian. Ia adalah
tokoh penentang perang, namun di saat yang sama menjadi penasihat
pemerintah Amerika untuk menyerang Kremlin.
D. Saling Berkelindan
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling berkelindan. Bukan saja
knowledge is power (pengetahuan ialah kekuasaan) yang memberikan
peluang kepada manusia (ilmuwan) untuk mengendalikan alam semesta
serta manusia-manusia lain sesuai dengan kehendaknya, melainkan power is
Sejarah Intelektual
218
E. Fungsi Sosial
Pandangan keterlibatan intelektual dalam kekuasaan secara jelas
dikemukaan Antonio Gramsci (1891-1937). Menurut Gramsci, semua manusia
pada prinsipnya merupakan intelektual karena memiliki kemampuan berpikir
dan rasional. Hanya, semua manusia tidak mempunyai fungsi sosial intelektual.
Intelektual modern tidak sekedar berbicara, melainkan harus mengarahkan dan
mengorganisasikan masyarakat melalui perangkat aparatus ideologis, seperti
media massa dan pendidikan.
Sejarah Intelektual
220
menjelaskan makna dan tafsir Alquran dalam bahasa dan konteks yang bisa
dimengerti masyarakat mereka.
Jika itu berhasil, maka ajaran-ajaran dan pesan-pesan Alquran
dapat tetap relevan, hidup dan aktual dalam masa modern. Dalam istilah
Ahmad Syafii Maarif, agar Alquran tetap membumi dalam berbagai aspek
kehidupan. Tetapi, jelas masa modern menghadirkan banyak tantangan
yang sangat kompleks, yang dalam hal-hal tertentu sangat berbeda dengan
tantangan yang dihadapi para penafsir (mufassir) di masa silam, apalagi di
masa-masa klasik dan abad pertengahan yang juga menghasilkan banyak
tafsir Alquran. Berbagai tantangan pada setiap masa, latar belakang keilmuan
dan kecenderungan intelektual keagamaan setiap mereka yang mencoba
memahami dan menafsirkan Alquran pada gilirannya menghasilkan
perbedaan-perbedaan tertentu dalam penafsiran, khususnya pada ayat-ayat
yang bisa mengandung arti lebih dari satu; inilah ayat-ayat yang biasa disebut
sebagai ayat-ayat mutasyabihat, ghayr muhkamat, atau zhanny al-dilalah.
Dalam masa modern, salah satu kecenderungan penafsiran Alquran
adalah keterkaitannya dengan gagasan tentang pembaharuan pandangan
dunia, wacana, dan praktik kaum Muslimin, agar mereka mampu
menghadapi dan meresponi tantangan dunia modern dan modernitas.
Pembaharuan itu dalam terminologi umum biasa dikenal sebagai tajdid
(pembaruan) dan islah (reformasi).
Pembaharuan seperti itu pada dasarnya mempunyai dimensi ganda;
pertama sebagai upaya untuk mengungkapkan kembali dimensi otentik
wahyu dalam rangka menghadapi tantangan sejarah; dan kedua, untuk
membawa atau sedikitnya membimbing realitas historis yang ada dan
berkembang agar sesuai dengan ukuran-ukuran universal dan transenden
yang terkandung dalam Alquran. Meski tajdid dan islah bertitik tolak
dari kerangka yang absah seperti itu, kemunculannya tetap menimbulkan
perdebatan di kalangan kaum Muslimin.
Paradigma, wacana, dan praksis tajdid dan islah baik langsung
maupun tidak berarti mempertanyakan, menantang dan bahkan menolak
status quo pemikiran dan praktik Islam tertentu. Dan, perdebatan dan
kontroversi yang bukan tidak sering berujung pada konflik masih saja terus
berlangsung di kalangan kaum Muslimin. Wacana tajdid dan islah itu di
kalangan ulama, intelektual, dan pemikir Muslim modern jelas juga tidak
monolitik; terdapat banyak perbedaan di antara mereka, termasuk juga
dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Alquran. Dan
boleh jadi, satu pemahaman dan penafsiran tertentu dipandang sebagian
Muslim sebagai sudah menyimpang.
Dalam konteks kajian ilmiah dan akademis, perbedaan-perbedaan
tersebut menarik untuk disimak. Membaca buku Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (ed. Suha Taji-Farouki, Oxford: Oxford
University Press, 2006), saya dapat melihat bagaimana kalangan intelektual
Muslim di berbagai penjuru Dunia Islam memahami dan menafsirkan
aspek-aspek tertentu Alquran. Mereka ini memang pada dasarnya bukanlah
mufassir. Tetapi lebih sebagai intelektual yang menawarkan pemahaman
dan penafsiran tertentu atas pandangan dunia kaum Muslimin terhadap
Alquran, atau pendekatan tertentu untuk memahami Alquran dalam
konteks tantangan dunia modern. Maka, misalnya menarik membaca
pembahasan tentang tawaran Fazlur Rahman tentang kerangka bagi
pemahaman kandungan etika-legal Alquran; atau Nurcholish Madjid
tentang pemahaman Alquran dalam konteks keragaman keagamaan
dan toleransi. Selain itu, ada juga diskusi tentang pemikiran beberapa
intelektual Muslim lain tentang Alquran, sejak dari Mohammed Arkoun,
Nasr Hamid Abu Zayd, Mohamad Mojtahed Shabestari, Mohamed Talbi,
sampai Mohammad Shahrour dan Sadiq Nayhum. Sebagian pemikir ini
bagi kalangan Muslim dipandang kontroversial, dan juga ada nama-nama
yang belum dikenal di Indonesia. Selain itu, secara intelektual berakar
pada tradisi pemikiran Islam, jelas juga dipengaruhi berbagai wacana
pemikiran lain, khususnya Barat. Tetapi, seperti dikemukakan Taji-Faruki
dalam pengantarnya, mereka berangkat secara sadar dari tradisi kultural
dan tekstual Islam; dan berdaya upaya untuk berpegang pada kerangka
kerja Islam. Namun, mereka sangat boleh jadi menimbulkan kontroversi
ketika banyak memberikan tekanan pada pendekatan interpretatif terhadap
Alquran.
Sejarah Intelektual
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Bertens, 1976. K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Bambang Sugiharto, 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Beerling, R. F. 1967. Pertumbuhan Dunia Modern I, (Terjemahan S.
Djajadiningrat), Jakarta: Djambatan.
-------------, 1969. Pertumbuhan Dunia Modern II, Terjemahan S.
Djajadiningrat, Jakarta: PT. Djambatan.
Bertens, K., 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
-------------, 1990. Ringkasan sejarah filsafat. Yogyakarta: Ikapi
Brinton C., 1945. The Shaping of the Renaissance in Italy, New York.
-------------, 1958. The Shaping of Modern Mind, New York.
-------------, 1960. A History of Civilization, New Jersey.
Burckhardt, J. 1954. The Civilization of the Renaissance in Italy, New York.
Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Cremers, A. 1997. Antara Alam dan Mitos, Memperkenalkan Antropologi
Struktural Levi-Strauss. Flores : Nusa Indah.
Donny Gahral Adian, 2001. Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta:
Julusutra.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Efferin, Henry. “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili: Suatu Sorotan dari
Segi Metodologi,” Jurnal Pelita Zaman 14/1 (1999).
Groothius, Douglas. Truth Decay: Defending Christianity Against the
224
Sejarah Intelektual
225
Memmi, Albert, “The Colonizer Who Refuser,” dalam: The Colonizer and
the Colonized, Boston: Beacon, 1965.
Melani Budianta, Oposisi Biner Dalam Wacana Kritik Pascakolonial,
Mareti kursus Pascakolonial di Yogyakarta oleh Realino tanggal
15-29 juli 2001.
Melani Budianta, “Transition from Modernity to Post-Modernity: A
Theological Evaluation,” Evangelical Review of Theology 25/2
(2001).
Muller, H.J. 1960. The Uses of the Past, London: Oxford University Press.
Nainggolan, R.E. 1989. Sekelumit Pemikiran Sejarah Barat, Palu: Badan
Penerbit Universitas Tadulako.
Noeng Muhadjir, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin.
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
1975.
Perguso, W.K. & Brun G., 1947. A Survey of European Civilization, Boston:
Mc. Millan Ltd.
Peursen, C.A. van, Orientasi di Alam Filsafat, (Terj. Dick Hartoko), Jakarta:
Gramedia, 1985.
Philips, Timothy R. dan Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in
the Postmodern World. Downers Grove: InterVarsity, 1995.
Robert, Downs. 1959. Buku-buku Yang Mengubah Dunia. (Terjemahan A.
Sani) Jakarta: PT. Pembangunan.
Romein, Jan, 1956. Aera Eropa, (Terjemahan. N. Toegiman) Jakarta: N. V.
Ganaco.
Randall, H.J. 1968. The Creative Centuries, London: Oxford University
Press.
Russel, Bertrand, 1988. Pergolakan Pemikiran, Jakarta: Gramedia.
Suhartono, Suparlan, 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Makassar: Materi
Dasar Perkuliahan Program Pascasarjana UNHAS.
---------, 1994. Bunga Rampai Sejarah Pemikiran Moderen (Tidak
Diterbitkan) Makassar: Untuk Kalangan Sendiri.
2. Internet
www.inkribs.org/index.php/karangan/filsafat-manusia. Diakses tanggal 19
Maret 2010.
www.pptphadli23.multiply.com/journal/item/10/filsuf. Diakses tanggal 20
Maret 2010.
www.pengkolan.net/ngelmu/filsafat. Diakses tanggal 20 Maret 2010.
www.kompasiana.com/filsafat-dan-manusia. Diakses tanggal 22 Maret
2010.
www.staff.ui.ac.id/internal/090603089/material/FilsafatManusia.diakses
Sejarah Intelektual
227
Sejarah Intelektual
231
A.
B. S. Hornby 94
Antonio Gramsci 158
Arab 34
Aristoteles 9, 10, 12, 13, 34,
Asi 102
Asia Afrika 120
Avenarius 31
Auguste Comte 34, 46, 48, 98
Augustinus 34,
B
Bacon 34
Barkeley 22
Beerling 94, 100
Berterns 38
Bertolt Brecht 155
Bertrand Russel 155, 156
Bologna 98
Bonald 48
Buchner 54
C
Cambridge 49
Calvin 104, 109
Charles 103
Chiang Kai-shek 129
Comte 34, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,
Condorcet 48
Constantinopel 96, 97
Cordova (Spanyol)) 34
234
D
Darwin 53
David Hume 36
De Maistre 48
Descartes 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 36
Dreyfus 137
E
Ecole Polytechnique 48
Edmund Wilson 155
Emile Durkheim 46, 50
Emile Meyerson 50
Eropa 54, 93, 100, 101
Ernst Hemingway 155, 156
F
F. W. J. Schelling 44
Fazlur Rahman 161
Feuerbach 54, 55
Ficthe 45
Florence 96
Francis Barin 34
G
G. H. Lewes 49
G. W. F. Hegel 44
Gabriel Marcel 57
George Berkeley 31
Gilda 99
H
H. Cohen 56
H. Taine 46
Sejarah Intelektual
235
I
Ibn al-Haytham 47
Indonesia 130, 131, 134, 135, 136
Imanuel Kant 32, 33, 35, 38, 40, 41, 42, 43, 46
Inggris 46, 48, 49, 102, 103, 119, 129, 131
Irlandia 119
Italia 96, 98, 102
Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte 48
Istambul 96
J
J. G. Ficthe 44
Jacob Burckhardt 96
Jerman 32,102, 119
John Austin 49
John Morley 49
Jhon Locke 21, 24, 27, 28, 31, 108
Jhon Stuart Mill 46, 49
Julius Caesar 31
K
Kaisar 103
Kant 33, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 48, 56
Kant Yaspers 57
Karl Marx 54, 55, 56, 155
Kathleen M. Heggins 19
Kerajaan Frankia 103
Kierkegaard 56, 57
L
Lametterie 54
Leonardo Davinci 101
Lewes 50
Lilian Hellman 155
Luther 104
Lycee Joffre 48
M
Mach 31
Maluku 129
Martin Luther 104
Max Horkheimer 50
Mill 50
Mohammad Arkoun 161
Mohammad Mojtahed Shabestari 161
Mohammad Shahrour 161
Mohammad Talbi 161
Monstesquieu 48
Montpellier Prancis 48
N
N. Machiavelli 34
Napoli 96
Nasr Hamid Abu Zayd 161
Newton 42, 47
Nicolo Machaivelli 102
Nurcholish Madjid 161
Nusantara 129
Sejarah Intelektual
237
P
P. Natorp 56
Parmenides 9, 10
Paris 48
Paul Tannery 50
Paus 103
Paus Bonifacius VIII 103
Paus do Roma 102
Perancis 50, 54, 101, 102, 103, 119, 137, 139
Plato 9, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 34, 48, 106
Portugis 129, 152
R
Raja Charles 103
Raja Edward I 103
Raja Phillippe 103
Rene Descartes 36,
Robert C. Slomon 19
Roma 103
Romawi 90, 96, 97, 98 101
Romawi Timur 96
S
Sadiq Nayhum 161
Salerno 98
Sartre 57, 155
Shelling 45
Saint-Simon 48
Socrates 34
Spanyol 129
Spencer 53
Suparlan Suhartono 4
T
Thomas Aquinas 34, 89, 98
Thomas Hobes 21, 22, 24, 25, 26, 35,
Thomas More 34
Tolstoy 155
Turgot 47, 48
Turki 97
V
Van Peursen 33
Venesia 96
Victor Gollancz 155
W
W. N. Weech 95
Worms 103
Y
Yunani 97
Yunani-Romawi 35
Z
Zygmund Bauman 158
Sejarah Intelektual
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1.
1. Nama
Nama Lengkap
Lengkap :: Prof.
Prof. Dr.
Dr. H.
H. Juraid
Juraid Abdul
Abdul Latief,
Latief, M.Hum.
M.Hum.
2.
2. Tempat
Tempat tanggal
tanggal lahir
lahir :: Bima,
Bima, 3030 November
November 1958
1958
3. Pekerjaan
3. Pekerjaan :: Dosen
Dosen Tetap Jurusan IPS FKIP
Tetap Jurusan IPS FKIP Universitas
Universitas
Tadulako
Tadulako
4.
4. Pangkat/Golongan
Pangkat/Golongan :: Pembina
Pembina Utama
Utama // IV
IV EE
5.
5. Alamat
Alamat :: Jalan
Jalan Banteng
Banteng Blok
Blok C1
C1 No.
No. 44 Palu
Palu Selatan
Selatan
6.
6. Riwayat
Riwayat Pendidikan
Pendidikan ::
SD
SD :: SDN
SDN Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1971
1971
SMP
SMP :: SLTP
SLTP didi Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1974
1974
SLTA
SLTA :: SMA
SMA di di Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1977
1977
S1
S1 :: Fakultas
Fakultas Sastra
Sastra UNHAS,
UNHAS, Tahun
Tahun 1983
1983
S2 S2 :: Program
Program Pascasarjana
Pascasarjana UGM,
UGM, Tahun
Tahun 1996
1996
S3 S3 :: Program
Program Pascasarjana
Pascasarjana UNHAS,
UNHAS,TahunTahun 2004
2004
240
Sejarah Intelektual
241