Anda di halaman 1dari 256

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338710340

Sejarah Intelektual

Book · January 2020

CITATIONS READS

0 148

1 author:

Juraid Abdul Latief


Universitas Tadulako
11 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Juraid@untad.ac.id View project

All content following this page was uploaded by Juraid Abdul Latief on 21 January 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sejarah Intelektual
Sanksi pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum.

Sejarah Intelektual
SEJARAH INTELEKTUAL

Penulis : Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum.


Editor : Fatiyah, M.A.
Tata letak : Mambaul Hakim
Desain kover : Dani RGB

Cetakan 1, Januari 2018

Diterbitkan oleh:
Magnum Pustaka Utama
Beran RT 07 No. 56 Tirtonirmolo, Kasihan Bantul, DI Yogyakarta
Telp: 0858-6851-5323/0821-3540-1919
Email: penerbit.magnum@gmail.com
Website: www. penerbitmagnum.com

SBN: 978-602-1217-88-7
PENGANTAR

A. Latar Belakang
Ketika kata intelektual disodorkan dalam sebuah forum diskusi atau
seminar, pikiran kita akan mengarah ke situasi dunia akademik yang sangat
terkait dan dibatasi oleh kaidah-kaidah ilmah. Kaidah-kaidah ilmiah yang
dimaksud membawa pemikiran bahwa setiap pernyataan terhadap sebuah
tesis mampu dibuktikan apa yang dikatakannya secara logis, empiris,
dan teruji melalui suatu proses penemuan yang bersifat ilmiah. Dari satu
sisi, hal itu benar karena ciri khas utama intelektualitas seseorang adalah
berwawasan ilmiah yang berbasis ilmu pengetahuan, dan nilai kredibilitas
dari di kalangan masyarakat sangat tinggi pada sisi yang lain.
Sebenarnya seseorang yang memiliki julukan intelektual lebih
memerlukan banyak dimensi ketimbang seseorang yang hanya berjulukan
ilmuan (scientist) belaka. Dalam bahasa ilmuan mutakhir, tidak semua
ilmuan itu intelektual, akan tetapi seorang intelektual pasti mememiliki
kredibilitas ilmu. Pemikirannya digandrungi orang di luar batasan lapangan
ilmu atau posisi akademis tertentu yang digelutinya. Berdasarkan tesis
tersebut, orang mampu menempatkan tokoh kontemporer Steven Hawking
misalnya sebagai intelektual ketimbang sebagai fisikawan belaka. Isu fisika
murni mampu ia gunakan untuk menjelaskan fenomena kosmologi alam
semesta, baik dalam tataran hukum-hukum alam yang dapat dijelaskan
secara matematis maupun lapangan teologis yang beribu tahun hanya
tertera dalam kitab-kitab suci. Bukunya tentang Big Bang yang berlandaskan
premis-premis fisika dan matematika teori, laku bagaikan kacang goreng.
Begitulah ciri khas intelektual, mampu merangkai isu, pengetahuan
atau wacana yang dia kuasai sebagai suatu titik dalam sebuah bangunan
wacana iptek, sosial bahkan dunia yang lebih luas. Berdasarkan argumen
dan contoh-contoh tersebut, orang pun akan mampu menilai mana yang
lebih intelektual antara Habibie dengan Mangunwidjaya, meski keduanya
Insinyiur lulusan Jerman.
Apa yang penulis ajukan di atas sangat relevan untuk mengetahui
peran apa yang dapat diberikan kaum akademisi, cendekia, kalangan
profesional, dan pengamat untuk menyebarluaskan ide-ide tentang
pentingnya wacana intelektualitas kepada masyarakat umum maupun kaum
terpelajar yang menjadi sorotan buku ini. Gagasan penyebaran tentang ide-
ide cerdas berwawasan kemasyarakatan, ide-ide yang bersifat kritis terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan yang tidak kalah penting
adalah perkembangan masyarakat dengan segala dimensinya. Ada dimensi
ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan negara dalam arti
luas.
Dalam konteks kepentingan pembangunan masyarakat kontemporer
kita, peran para intelektual tidak hanya membangun wacana, tapi memberi
wawasan yang cukup mendalam terhadap masyarakat, apa yang menjadi
tanggung jawab pemerintah melalui pelayanan yang mereka berikan
yang bersumber dari wewenang dan uang pajak rakyat. Adalah tanggung
jawab mereka memberi pencerahan, pengetahuan, dan wawasan, bahwa
pemerintah tidak hanya berkewajiban memberi pelayanan secara efektif dan
efisien sesuai kebutuhan masyarakat, tapi juga harus transparan dan mampu
berbuat dengan penuh tanggung jawab.
Sikap dan peran intelektual adalah kemampuan bersikap secara kritis
dan mampu melihat sebuah fenomena hanya sebagai bagian kecil belaka
dari spektrum dan struktur ilmu, wacana, situasi sosial kemasyarakatan yang
lebih luas. Maka ciris khas intelektual selain berkadar ilmu pengetahuan
yang teruji dan dapat dipercaya, juga terbuka, kritis, dan fleksibel dalam
berpikir, bersikap, dan atau bertindak.
Buku ini tidaklah bermaksud mendidik para pembacanya (menggurui)
untuk menjadi intelektual. Namun, upaya penulis melalui isu-isu yang
dipaparkan dari bab-ke bab menyajikan lahir dan berkembangnya
pemikiran modern, mulai dari pemikiran mitologis, filosofis, fragmatis,
feodalis, individualis, berikut tokoh-tokoh pemikir utama (intelektual yang
vii

mewarnai pemikiran dunia), diskusi tentang diskursus-diskursus atas isi dan


perkembangan pemikiran yang mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan
hingga dewasa ini.

B. Sistematika Uraian
Dalam menyajikan uraian pembahasan, buku ini dirangkai dalam
sistematika analisis yang meliputi bagian awal lazim sebagai pendahuluan
yang memuat latar belakang dan sistematika pembahasan, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan bagian kedua mengenai pemikiran
mitologis dan filosofis, bagian ketiga tentang arah pemikiran fungsional yang
berhubungan dengan rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme modern,
positivisme, materialsme dan eksistensialisme, bagian keempat adalah
tentang tokoh-tokoh utama filsafat Yunani yaitu, Socrates, Plato, Aristoteles,
dan Archimides, bagian kelima tentang kebangkitan pemikiran abad
pertengahan yang terinci dalam tumbuhnya individualisme, pekembangan
individulisme, beberapa peranan individualisme, pokok pemikiran Abad
Pertengahan, peranan kaum Bourjuis, dan kelumpuhan feodalisme, bagian
keenam atau terakhir adalah kebudayaan dan keberpihakan kaum intelektual
yang terurai dalam sub-sub bagian mengingkari kebebasan, intelektual abdi,
perang dingin ilmu dan kebudayaan, invasi bisnis, bebas atau sadar nilai,
tipologi intelektual, kaum intelektual, serta sikap dan peran.

Juraid Abdul Latief


Daftar Isi

PENGANTAR..........................................................................................vi
A. Latar Belakang.................................................................................. vi
B. Sistematika Uraian .........................................................................viii
DAFTAR ISI.............................................................................................ix
BAB I PEMIKIRAN MITOLOGIS DAN FILOSOFIS............................ 1
A. Pemikiran Mitologis...........................................................................1
B. Pemikiran Filosofis.............................................................................6
BAB II PEMIKIRAN FUNGSIONAL.................................................... 13
A. Rasionalisme....................................................................................16
B. Empirisme.......................................................................................22
C. Kritisisme.........................................................................................35
D. Idealisme Modern............................................................................47
E. Positivisme.......................................................................................49
F. Evolusionisme..................................................................................63
G. Materialisme....................................................................................64
H. Eksistensialisme...............................................................................67
BAB III PEMIKIRAN PRAGMATIS, MODERNISME KE
POSTMODERNISME, DAN POSTKOLONIAL................................. 69
A. Pemikiran Pragmatisme....................................................................69
B. Pergeseran Era Dari Pramodern ke Postmodern...............................71
C. Pemikiran Posmodernisme...............................................................80
D. Pemikiran Postkolonial....................................................................82
BAB IV FILSAFAT DAN KEBERADAAN MANUSIA.......................... 85
A. Berfikir Agamais Dan Matematis.....................................................87
B. Keberadaan Manusia......................................................................102
x

C. Unsur-unsur Kemanusiaan.............................................................105
D. Kebermaknaan dan Mengenal Manusia Melalui Filsafat ................109
BAB V TOKOH-TOKOH FILSAFAT YUNANI DAN ISLAM............ 115
A. Socrates (470 – 399 SM)................................................................116
B. Plato (427 – 347 SM)....................................................................120
C. Aristoteles (384 – 322 SM)............................................................123
D. Archimedes (285 – 212 SM)..........................................................125
E. Al-Kindi.........................................................................................126
F. Al-Asy’ari.......................................................................................129
G. Al-Farabi........................................................................................130
H. Ibn Sina.........................................................................................132
I. Al-Gazali........................................................................................134
J. Ibn Rusyd......................................................................................136
K. Ibn Taimiyyah................................................................................138
L. Ibn Khaldun .................................................................................141
BAB VI KEBANGKITAN PEMIKIRAN ABAD PERTENGAHAN.......151
A. Tumbuhnya Inividualisme.............................................................152
B. Perkembangan Individualisme.......................................................155
C. Beberapa Peranan Individualisme...................................................163
D. Pokok-Pokok Pemikiran Abad Pertengahan....................................170
E. Peranan Kaum Bourjuis ................................................................171
F. Kelumpuhan Feodalisme................................................................183
BAB VII KAUM INTELEKTUAL DI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG................................................................................... 187
A. Dunia Kita.....................................................................................187
B. Kaum Intelektual...........................................................................190
C. Sikap Dan Peran Intelektual...........................................................191
D. Mengingkari Kebebasan.................................................................195
E. Pengabdian Intelektual...................................................................196
F. Ilmu Dan Kebudayaan...................................................................197
G. Kekuasaan Bisnis............................................................................200
H. Nilai Kebebasan.............................................................................203
I. Tipologi Intelektual.......................................................................203

Sejarah Intelektual
xi

BAB VIII WACANA INTELEKTUAL: KRITIK TERHADAP


PARADIGMA MODERN.................................................................... 209
A. Paradigma Modern: Universalisme Dan Kolektivisme ...................210
B. Meneguhkan Konsep Individu Dan Tindakan Dalam Kesatuan
Kolektif..........................................................................................210
C. Tantangan Baru Dalam Memerdekakan Individu ..........................212
D. Saling Berkelindan.........................................................................217
E. Fungsi Sosial..................................................................................218
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 223
GLOSARIUM...................................................................................... 229
INDEKS............................................................................................... 233
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................... 239

Juraid Abdul Latief


BAB I
PEMIKIRAN MITOLOGIS DAN
FILOSOFIS

A. Pemikiran Mitologis
Menurut Suparlan Suhartono (1994), bahwa pemikiran mitologis
adalah cara berpikir yang mewarnai kehidupan manusia pada awal
perkembangannya. Kita semua kenal dengan dunia “mitis” dan upacara-
upacara magis masih berada di sekitar kita, para orang tua kita, para guru,
dan para tetua seringkali menuturkannya.
Upacara-upacara magis untuk memulai bercocok tanam, masa panen,
pindah rumah atau mendirikan rumah baru dan sebagainya masih akrab
sekali dengan sikap hidup kita sehari-hari. Cerita-cerita tentang kesaktian
seorang “dukun” (paranormal) melalui kekuatan magis kerisnya, kitab-kitab
yang dikeramatkan dan sebagainya masih sering kita saksikan. Upacara-
upacara atau tradisi yang secara positif mewarnai kehidupan masyarakat
kita itu kemudian dewasa ini dikenal dengan kearifan lokal.
Pemikiran mitis yaitu suatu pola pikir yang menyatakan bahwa diri
manusia berada di dalam kungkungan kepercayaaan-kepecayaan kekuatan
gaib alam (hukum-hukum alam) dan para dewa. Hal ini membuktikan
bahwa bukan merupakan hal yang diada-adakan, melainkan sungguh ada.
Lebih tepat hal itu dipahami sebagai gejala manusiawi belaka.
Memang pemikiran mistis secara jelas tampak pada kebudayaan
masyarakat primitif, di dalam mana tingkah laku manusia secara langsung
2

melibatkan diri dengan para dewa sebagai sumber kekuatan alam yang
serba misterius. Dunia demikian masih belum dikacaukan oleh campur
tangan ilmu pengetahuan dan teknologi apapun. Sering kita memahaminya
bahwa kebudayaan primitif (primitive culture) diisi oleh sikap pasrah-
menyerah secara tulus ikhlas manusia kepada kekuatan-kekuatan gaib.
Manusia primitif masih sangat sederhana, hidup dengan hanya megikuti
hukum-hukum alam belaka. Karena itu statis, tidak ada perubahan dan
perkembangan. Tetapi jika diamati secara lebih cermat, sebenarnya tidaklah
begitu sederhana. Sebenarnya didalamnya telah ada kaidah-kaidah yang
dipakai sebagai pedoman bertingkah-laku sosial. Masalah pekawinan,
sudah ada larangan-larangan untuk pemuda-pemudi tertentu. Masalah
sosial politik pun sudah ada, yaitu kadang kita dengar adanya pembunuhan
atau pengucilan terhadap sejumlah orang yang melanggar kaidah-kaidah
sosial, perang antar suku (clan) dan sebagainya. Hal ini membuktikan
bahwa “mitos” bukanlah dongeng belaka, melainkan lebih sebagai suatu
bukti pedoman bagaimana hidup diselenggarakan.
Di dalam pemikiran mitologis ternyata sudah terdapat ketegangan-
ketegangan antara dua kekuatan yaitu kekuatan manusia di satu pihak dan
kekuatan alam pada pihak lain. Jadi kepasrahan kepada alam secara tulus
tidaklah dapat dijamin kebenarannya. Di dalam kehidupan primitif mitis
juga terdapat perubahan dan perkembangan sebagai akibat sikap ketegangan
manusia dalam menghadapi kekuatan alam. Upacara-upacara magis sering
difungsikan sebagai suatu penentuan sikap masa depan agar tabah dalam
menghadapi kesukaran-kesukaran seperti wabah-wabah, musim kering dan
sebagainya.
Selanjutnya pemikiran mitologis seringkali dipahami sebagai tidak
logis atau tidak ilmiah. Pemikiran ini secara positif dipahami sebagai awal
dari perkembangan pemikiran manusia. Pemikiran mitologis kemudian
disebut sebagai “pra-logis” atau pemikiran ke kanak-kanakan. Memang sifat
kesederhanannya amat menonjol. Ketika mereka sedang ditimpa wabah
penyakit, pikirannya memastikan bahwa dewa sedang murka. Oleh karena
itu diadakanlah upacara-upacara dan sesaji-sesaji. Lebih daripada sekedar
mohon pengampunan kepada dewata, upacara dan sesaji itu cenderung

1 - Pemikiran Mitologis dan Filosofis


3

difungsikan sebagai cara mendidik diri agar tabah dan mendapatkan


kekuatan gaib untuk menghadapi segala ancaman baik dari para dewa
maupun dari alam. Hal ini berarti bahwa dengan logika yang amat
sederhana itu masyarakat primitif telah mempunyai sikap mengahadapi
dan mengatasi alam, jadi tidaklah hanya sekedar pasrah menyerah begitu
saja. Untuk lebih jelasnya mengenai arti pemikiran mitologis, ada baiknya
mempertimbangkan fungsi-fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
Mitos yang dalam bahasa Inggris kita kenal dengan istilah ”myth”,
dapat dipahami sebagai berarti “dongeng” atau suatu “cerita buatan”.
Biasanya dongeng dibuat untuk tujuan memberikan pedoman agar tingkah
laku dan perbuatan manusia bisa lebih terarah. Tentu saja terarah kepada
kebaikan-kebaikan. Kecuali dituturkan, mitos juga bisa diungkapkan
melalui seni tari, seni drama atau pewayangan (Jawa). Adapun inti-inti
ceritanya meliputi lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, kehidupan
dan kematian, dosa dan kesucian, perkawinan, pendeknya mengenai
kehidupan dunia dan bahkan dunia akhirat.
Mitos bukan sekedar cerita-cerita penghibur atau laporan-laporan
peristiwa alam saja. Lebih dari itu, mitos adalah suatu rangkaian peristiwa yang
panjang dan mampu menggetarkan jiwa yang kemudian bisa mendorong
manusia untuk mengarahkan tingkah-lakunya sehingga bisa tercipta suatu
kebijaksanaan hidup. Melalui mitos inilah manusia bisa menemukan diri
sebagai “subyek” yang cenderung berkemampuan menanggapi kejadian-
kejadian alam atas kekuatan-kekuatan hukum-hukumnya.
Jadi sebenarya di dalam alam pikiran mitologis manusia telah
memulai memerankan diri sebagai subyek terhadap alam. Hanya saja
belum ada kemampuan sebagai subyek yang “utuh dan bulat”. Maksudnya,
di dalamnya masih ada rongga-rongga dan celah-celah di mana kekuatan
alam sebagai obyek masih dapat menerobos dan membelenggu pemikiran.
Karena subyektivitas yang demikian inilah, manusia sudah melebur
dengan sesamanya dan juga dengan kekuatan alam. Antara manusia
dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam berada secara rapat
tidak ada jarak pemisah. Akibatnya manusia cenderung berkedudukan

Sejarah Intelektual
4

sebagai bagian integral dengan alam, sehingga ketergantungannya dengan


alam amat dominan di dalam hidup kesehariannya.
Alam pikiran mitologis yang bersumber dari daya batin manusia
atas pengalaman hidupnya jelas disusun untuk kepentingan-kepentingan
tertentu. Jika direnungi secara seksama, rupanya mitos itu terarahkan kepada
terciptanya suatu cara melahirkan “kesadaran” manusia bahwa di luar dirinya
ada kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat dan ajaib. Dengan mitos manusia
mengharapkan untuk dapat mengatasi (menghayati) kekuatan-kekuatan
alam gaib yang berpengaruh besar terhadap kehidupannya. Dengan kata
lain, alam gaib dihayati sebagai alam suci yang kekuatannya mempengaruhi
alam kehidupan sehari-hari manusia. Alam gaib sering disebut sebagai
alam atas, sedangkan alam kehidupan sehari-hari diidentikkan dengan
alam bawah. Misalnya, ada sementara peralatan (senjata) seperti tombak,
keris, pedang dan sebagainya. Yang karena dijelmai kekuatan gaib maka
diberi nama-nama suci. Pada diri manusia tertentu misalnya, kadang
diceritakan sebagai sedang haus darah, atas pengaruh kekuatan gaib maka
ia melakukan pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa. Di situ tampak
bahwa perbuatan itu bukanlah atas kehendaknya sendiri semata. Di dalam
zaman teknologi modern dewasa ini, masih terdapat banyak orang yang
memaklumi adanya mitos sebagai salah satu sisi realitas.
Alam pikiran mitis juga telah berorientasi pada masalah-masalah
mengenai kejadian-kejadian dunia, kekuasaan pada dewa menurut sistem
pembagian kekuasaan (kosmogoni dan theogoni). Melalui kosmogoni,
secara spekulatif kejadian alam semesta ini diceritakan. Dan melalui
theogoni terjadinya dewa-dewa dipaparkan. Demikianlah melalui
kosmogoni dan theogoni terdapat penjelasan menyeluruh mengenai strategi
hidup, pengaturan dan pengarahan hubungan antara manusia dengan daya-
daya kekuatan alam gaib.
Dunia pemikiran mitologis, akan semakin menjadi jelas maknanya
melalui pemahaman tentang bagaimana “keberadaan manusia di dunia”. Di
dalam hidupnya, bagaimana ia menjalin hubungan dengan dunianya? Apakah
manusia lebur dan tenggelam sama sekali ke dalam alam, dengan demikian

1 - Pemikiran Mitologis dan Filosofis


5

hanya merupakan obyek belaka? Apakah manusia hanya mampu eksis hanya
dengan sikap pasrah dan menyerah pada kekuatan-kekuatan alam belaka?
Telah dikenal bahwa pemikiran mitologis menunjuk posisi manusia
terhadap dunianya. Antara manusia (subyek) dan dunia (obyek) berhubungan
secara rapat, tidak ada garis pemisah yang tegas. Manusai sebagai subyek
lebih berkedudukan sebagai bagian integral dari alam (obyek). Dengan
kekuatan gaibnya dunia mempengaruhi kehidupan manusia secara kuat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat pun demikian pula. Manusia baru
mendapatkan identitasnya dengan mengaitkan dirinya secara integral dengan
“sosio-mistisnya”. Orang perantau bisa menjadi tidak dapat dikenal atau
tidak mampu memperkenalkan dirinya karena telah terputus ikatan dengan
keluarganya, marganya atau sukunya. Keadaan demikian sama halnya dengan
suatu penderitaan sanksi seumur hidup. Dalam kaitannya dengan sosio-
mitisnya, seseorang membicarakan diri sendiri dengan cara mengaitkan orang
tuanya, marganya atau sukunya. Di Indonesia misalnya, orang menyebut
dirinya dengan “ananda”, atau “putranda”, bahkan masih ada sebutan
“hamba”. Inilah bapak atau ibu anak-anak untuk menunjuk diri suami atau
isteri. Predikat seperti orang Jawa, orang Bugis, orang Makassar, Bima, Buton,
dan sebagainya adalah suatu ekspresi cara berada yang mitologis.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang individu hanya dapat memikirkan
dirinya sendiri dalam kaitannya dengan sosio-mitisnya, atau paling tidak
dengan orang-tuanya. Oleh sebab itu, dapatlah dipahami bahwa di
dalam kehidupan yang mitologis seseorang meleburkan kepribadiannya
sendiri ke dalam sosialitasnya, di dalam alamnya. Kalaupun kepribadian
itu kelihatan, bukanlah suatu perwujudan yang utuh, melainkan hanya
sekedar menunjukkan kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat
dan dunianya.
Dalam pada itu, hubungan antara “jiwa” dan “raga” juga belum
dipahami sebagai miliknya sendiri, melainkan sebagai milik dunia, milik
suku bangsanya. Karena itu sering seseorang bercita-cita sesuatu demi
nusa dan bangsanya. Karena itu, jiwa dipandang sebagai sesuatu yang
berpengaruh, sesuatu yang berkuasa. Ia dapat tiinggal di luar atau di dalam

Sejarah Intelektual
6

badan. Bahkan sering terlihat kepercayaan bahwa setiap anggota badan


mempunyai jiwanya sendiri-sendiri. Ketika seorang pencuri tertangkap,
ia mengatakan “ya, tangan ini telah mencuri”. Dan jika tangan itu harus
dipotong, ia pun pasrah saja.
Tetapi ketika jiwa itu tinggal di luar, ia bisa berada di dalam sebuah
patung, sebuah pohon, sungai dan sebagainya. Namun demikian logika
orangpun sudah ada. Sebab sudah dapat dibedakan mana benda-benda
bekekuatan gaib dan mana yang kosong mati.
Di lain pihak, badanpun tidak ada batasnya. Seringkali dipahami
bahwa akar-akar di hutan adalah sebagai perpanjangan usus manusia.
Pendeknya alam dipandang sebagai diri sendiri. Pertumbuhan badannya,
termasuk perkembang-biakannya, diidentikkan dengan kehidupan tumbuh-
tumbuhan; nafsu-nafsunya dipahami sebagai jelmaan binatang; pikiran dan
seluruh batinnya disejajarkan dengan lautan; cita-citanya setinggi bintang;
kewibawaan dirinya adalah penjelmaan sebuah gunung dan sebagainya.
Kadang-kadang ada pertanyaan bahwa seseorang tidak menyukai
kelakuannya sendiri. Gejala ini dipahami sebagai kehendak dewa, kehendak
hukum alam. Di dalam pewayangan Jawa, Pandawa tidak menghendaki
perang melawan Kurawa karena bersaudara sepupu. Tetapi toh dilaksanakan
pula, karena memang begitulah kehendak dewa. Manusia hidup hanya
sekedar menjalankan kodrat masing-masing katanya.
Demikianlah alam pikiran mitologis mempunyai ciri-ciri khusus
seperti, belum adanya kesadaran diri (identitas diri), diri manusia adalah
bagian integral dari alam dan masyarakatnya, adanya kekuatan dahsyat para
dewa dan alam yang amat berpengaruh terhadap kehidupan, dan tegasnya,
manusia belum mampu berdiri sebagai subyek yang utuh dan bulat.

B. Pemikiran Filosofis
Kalau pada pemikiran mitologis subyek (manusia) belum mampu
berdiri sebagai subyek yang utuh dan bulat, maka pada pemikiran filosofis,
subyek (manusia) sudah mulai keluar dan mengambil jarak dengan obyek.
Pada taraf pemikiran filosofik ini, subyek mulai mengatasi obyek. Subyek

1 - Pemikiran Mitologis dan Filosofis


7

dengan demikian tidak lagi berada di dalam atau sebagai bagian dari obyek.
Ke-apa-an obyek menjadi sasaran untuk dipahami. Oleh karena itu logika
atau akal pikiran mulai dominan. Hal ini mengakibatkan misteri obyek
mulai terbuka tabirnya.
Lebih jauh, kalau pada taraf pemikiran mitologis, alam (obyek)
menjadi titik sentral, sehingga pada taraf pemikiran filosofik, manusia yang
menjadi titik sentral. Manusia menjadi subyek yang bebas dan otonom
terhadap realitas. Dalam perkembangan selanjutnya (abad ke-15) seluruh
aktifitas psikis/phisis terkemas dalam paham yang disebut humanisme, suatu
paham yang menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam hidup ini (dari
manusia, oleh manusia, dan untuk manusia). Namun demikian, kebenaran
filsafat pada masa ini masih tetap bersifat universal, belum “terseret” pada
hal-hal yang konkrit, positif, dan praktis.
Pada masa ini terdapat beberapa filosof yang corak pemikirannya
dapat dikatakan mewarnai diskusi-diskusi filsafat sepanjang sejarah
perkembangannya, yaitu Parmenides (540-475), Heracleitos (534-475),
Plato (427-347), dan Aristoteles (384-322).
1. Pemikiran Filosofis Parmenides dan Heracleitos
Dengan mengambil objek “alam”, Parmenides berpendapat bahwa
“arche” (materi terdalam) adalah sesuatu yang bersifat tetap tidak berubah,
dan hanya ada satu. Sebaliknya Heracleitos dengan menggambarkan objek
“api” berpendapat bahwa arche alam ini adalah sesuatu yang serba berubah-
ubah dan berjumlah banyak.
Parmenides (Bapak Metafisika) secara brilian menjelaskan bahwa
realitas ini sebagai “to be” (ada) (being as being, being as such) “yang ada
dan tidak ada” merupakan satu yang utuh menyeluruh tidak dapat dipecah-
pecah. Jika A = B + C maka B + C bereda untuk memahami kebenarannya,
ia menunjuk alat yang pasti tepat yaitu “Pikiran”. Karena hanya dengan
pemikiranlah pengetahuan umum dan abstrak dan menyeluruh dapat
dicapai. Sedangkan segala macam penginderaan hanyalah mampu mencapai
pengetahuan yang pragmatis, terbelah-belah, khusus dan selalu keliru.
Pengetahuan indera tidak handal.

Sejarah Intelektual
8

Sebaliknya Heracleitos menilai bahwa realitas ini sebagai suatu plural,


tidak tetap dan serba “menjadi” (to become), Pantarhei tidak ada satu jenis
hal/barang-pun tanpa perubahan. Sedangkan pikiran sendiri selalu berubah-
ubah. Karena itu apa yang disaksikan indera adalah bukan suatu kesesatan,
melainkan “kebenaran“. Tidak ada lain yang benar adalah yang khusus, satu
persatu, konkret, dan individual. Pengetahuan umum, abstrak itu omong
kosong belaka. Baik Parmenides maupun Heracleitos telah meninggalkan
pola dasar pemikiran mitologis. Mereka telah berpendapat dan berpendirian
di atas alasan-alasan yang masuk akal (logis) dan dapat dialami (empirik).
Otonomi dan kebebasan berpikir telah mereka tanamkan sebagai dasar-
dasar pemikiran.
2. Idealisme Plato Versus Realisme Aristoteles
a. Idealisme Plato (427-347 SM)
Pendapat umum mengatakan bahwa hidup di dunia ini terbatas,
penuh dengan belenggu-belenggu. Karena itu, adalah tugas manusia (setiap
orang untuk melepaskan belenggu-belenggu itu, agar dapat memahami
realitas yang sebenarnya). Dari keberadaannya yang serba terbelenggu ini
mengakibatkan orang mudah mempercayai semua kesaksian indera sebagai
kebenaran.
Di antara sekian banyak orang, ada yang tidak sependapat dengan
anggapan umum itu. Mereka adalah filsuf yang tidak bisa mengakui
realitas seperti yang disaksikan oleh panca indera. Mereka ini memandang
bahwa apa yang disaksikan oleh panca indera adalah bayang-bayang dari
realitas yang sebenarnya, misalnya; ketika indera melihat seseorang dan
beberapa yang lain, lalu muncul suatu pendapat bahwa “itulah manusia”.
Padahal yang disaksikan barulah beberapa orang saja. Dan beberapa
orang itu adalah hanya contoh-contoh/bayang-bayang manusia yang
sebenarnya yang menurut Plato hanya ada satu dan hanya ada di dunia
ide. Manusia yang ada di dunia ide dan hanya ada satu itu, hanya dapat
diketahui oleh bukan panca indera, melainkan akal budi. Kemudian
Plato membelah realitas ini menjadi ”Dunia ide, dan dunia bayang-
bayang/jasmani”.

1 - Pemikiran Mitologis dan Filosofis


9

Melihat contoh yang lain, pohon misalnya. Melalui akal budi, ide
pohon itu dapat dipahami, sedangkan melalui kesaksian indera bermacam-
macam jenis dan bentuk pohon dapat disaksikan. Oleh sebab itu dunia
ide besifat tetap, tidak mengalami perubahan dan perkembangan apa-apa.
Sedangkan dunia jasmani (bayang-bayang) selalu ada di dalam perbedaaan,
perubahan, dan perkembangan. Dalam dunia jasmani, ide segitiga (yang
satu dan tetap) bisa berubah dan berkembang menjadi segitiga siku-siku,
sama kaki, sama sisi, dan sebagainya.
Sesungguhnya Plato, tampak ada usaha untuk mencoba
mempertemukan pertentangan antara filsafat ada (Parmenides) dan filasafat
menjadi (Heracleitos). Namun Plato masih terlalu berat sebelah, karena
seolah tidak mau mengakui segala kesaksian indera sebagai suatu realitas
pula. Pemikirannya tentang manusia di bawah ini memberi kejelasan.
Manusia, bagi Plato berada di dalam dua dunia, yaitu dunia ide dan
dunia jasmani. Diri manusia merupakan gabungan dari dua dunia yang
sama sekali berbeda, yaitu jiwa dan raga. Bagi jiwa, raga adalah penjara yang
membelenggu. Sebelum bersatu sebagai raga, jiwa berada di dunia ide.
Karena itu ia mengenalnya. Dunia ini dikenal dengan dunia yang penuh
dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Lalu dengan kesannya, jiwa berusaha
mengenal kembali “ide manusia” sebagia realitas manusia yang sebenarnya.
Dan dengan metode pembidanan akal budi mampu wujud kembali. Metode
kebidanan ini dapat dibentuk dengan sistem dialog.
Dari urairan Plato mengenai realitas termasuk manusia tersebut dapat
dipahami corak khusus pemikirannya. Dimanakah letak otonomi dan
kebebasan berpikir Plato? Adakah dinamika yang berorientasi ke depan? Jika
ada, apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat manusia di kemudian hari?
Tanpa dipengaruhi oleh macam-macam kepentingan, rupanya Plato
telah berhasil menyederhanakan struktur realitas. Apa yang ia saksikan
sebagai permacam-macaman, ia kelompokkan dan kemudian ia abstraksikan
hingga suatu keseragaman (ide) dapat dipahami. Demikianlah maka ia
merekonstruksikan realitas sebagai tersusun atas realitas sejati dan realitas
semu.

Sejarah Intelektual
10

b. Realisme Aristoteles
Berbeda halnya dengan Plato (gurunya), terhadap persoalan
kontradiktif antara hakikat realitas apakah tetap atau menjadi, Aristoteles
menerima yang serba berubah dan menjadi, yang bermacam-macam yang
semuanya ada di dalam dunia sebagai realitas yang sesunguhnya. Itulah
sebabnya pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme.
Dalam bahasanya ia mengatakan bahwa setiap hal atau benda
tersusun dari “hule” dan “morfe”, yang kemudian dikenal dengan teori
“hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macaman. Karena hulenya
maka suatu benda adalah benda itu sendiri, benda tertentu. Misalnya si Anu
bukan si Badu karena hulenya.
Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan, yang menjadi inti dari
barang sesuatu. Karena morfenya, maka barang sesuatu itu sama dengan
yang lain (satu inti) termasuk ke dalam satu jenis yang sama. Morfe
ini berbeda dengan hule, hanya dapat dikenal dengan akal budi saja.
Misalnya si Ali, si Ani, si Ahmad yang berbede-beda adalah berada di
dalam morfe yang sama yaitu sebagai manusia. Namun demikian baik
hule maupun morfe adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan
hulenya maka barang sesuatu itu maujud di dalam realitas, dan karena
morfenya barang sesuatu itu mengandung arti hakiki sebagai barang
sesuatu.
Pandangan hulemorfisnya itu sejalan dengan pandangan atau teori
aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan
potensia adalah dasar kemungkinan. Barang sesuatu itu sungguh-sungguh
karena aktusnya, dan barang sesuatu itu mungkin (mengalami perubahan
dinamik) karena potensianya. Jadi, jika dipakai untuk memahami barang
sesuatu yang konkret, maka hule merupakan potensianya dan morfe
adalah aktusnya. Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-
macaman) ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamik
bergerak menuju ke bentuk-bentuk aktus murni. Sedangkan aktus murni
itu tidak mengandung potensia apa-apa, jadi bersifat tetap tidak berubah-
ubah dan abadi.

1 - Pemikiran Mitologis dan Filosofis


11

Untuk mengetahui makna hakiki setiap barang sesuatu, Aristoteles


mengembangkan suatu teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau
metode “abstraksi”. Menurut dia, pengetahuan itu ada dua jenisnya,
yaitu a) pengetahuan indera, dan b) pengetahuan budi. Pengetahuan
indera bertujuan mencapai pengenalan hal-hal konkret, yang bermacam-
macam serba berubah. Sedangkan pengetahuan budi bertujuan mencapai
pengetahuan abstrak, umum dan tetap. Pengetahuan budi inilah kemudian
disebutnya sebagai ilmu pengetahuan.
Antara kedua jenis pengetahuan ini adalah satu kesatuan struktural.
Obyek pengetahuan itu bermacam-macam, konkret sifatnya. Karena itu
selalu berada di dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan.
Obyek yang demikian ini dikenali indera, untuk kemudian diolah oleh
budi. Budi bertugas mencari idea yang sama yang terkandung di dalam
permacam-macaman itu, sebagai pengetahuan yang hanya satu dalam
macamnya dan karena itu bersifat umum, tetap dan abstrak. Ide yang
merupakan pengertian umum dan bersama-sama dengan macam-macam
hal yang konkret. Jadi idea itu ada di dalam realitas konkret.
Misalnya, di dalam realitas konkret ada bermacam-macam manusia. Di
dalam permacam-macaman itu terkandung kesamaan sebagian, yaitu idea
manusia. Oleh sebab itulah Aristoteles ini berbeda dengan Plato. Aristoteles
menerima baik permacam-macaman maupun idea-idea kesamaan itu
keduanya realistik adanya. Sedangkan Plato menolak permacam-macaman
itu sebagai kebenaran (yang bermacam-macam itu semu, bayangan) dan
menerima dunia idea sebagai kebenaran satu-satunya.

Sejarah Intelektual
BAB II
PEMIKIRAN FUNGSIONAL

Alam pemikiran fungsional dapat dilihat sebagai suatu pembebasan dari


substansialisme. Akibat substansialisme adalah pengasingan. Dalam tahap
fungsional ini nampak jelas bahwa kebudayaan bukanlah sebuah kata benda,
melainkan sebuah kata kerja. Kita menemukan unsur dinamika dari suatu
kebudayaan. Kebudayaan merupakan cara seorang mengekspresikan diri
dengan mencari relasi-relasi yang tepat terhadap dunia sekitar, secara khusus
merupakan suatu strategi untuk menyalurkan relasi-relasi secara optimal.
Dalam alam pikiran fungsional manusia ingin menyelidiki dulu, bagaimana
sebuah kata atau nama berfungsi sebab arti sebuah kata sebelumnya belum
pasti.
Pada tahap fungsional Tuhan baru mempunyai makna yang lebih
berarti karena tuhan hadir di tengah-tengah umat manusia sebagai suatu
cahaya. Tuhan menjadi bermakna karena memiliki juga nilai historis dalam
diri manusia. Kesadaran historis bertambah, dalam arti manusia menjadi
semakin sadar bahwa ia turut serta dalam sejarah yang sedang berlangsung
dan bahwa ia dapat mempengaruhi arus sejarah itu. Pertanyaan mengenai
hari depan, mengenai hasil perkembangan modern ini, tak lain dari
pertanyaan mengenai tanggung jawab baru. Tanggung jawab ini bersifat
fungsional.
Melihat perkembangannya kalau ditilik dari proses berfikir manusianya
ada tiga tahap yang mempengaruhi berkembang kebudayaan itu, Van
Peursen dalam hal ini berpendapat bahwa ada tiga tahap bagi manusia
14

untuk mendapatkan kebudayaannya itu. Dari tiga tahap yang dimaksud di


antaranya adalah tahap antara lain; Mitologis, Ontologis, dan Fungsional.
Tahap terakhir, yakni fungsional manusia mulai memperkenalkan diri
ataupun mencari relasi dalam mempromosikan keahlian dirinya di tengah-
tengah masyarakat. Pada tahap inilah akan kita jumpai suatu hubungan
(simbiosis) yang akan membentuk suatu interaksi sosial masyarakat.
Memang dalam perkembangan budaya yang begitu amat cepat seperti
sekarang ini, sepertinya manusia adalah subyek yang sangat dominan pada
proses perkembangan budaya itu. Oleh sebab itulah manusia sering disebut
sebagai insan yang unik. Yaitu insan yang dirinya tak pernah berhenti dalam
berkarya dan menciptakan sesuatu hal yang baru. Tetapi tidaklah serta merta
kalau manusia itu dapat membangun budayanya dengan cepat, cermat dan
kreatif kalau tidak adanya proses yang mengiringinya. Memang benar kalau
segala hal di dunia ini ada karena melewati suatu proses, termasuk budaya
manusia itu sendiri. Hal ini pernah muncul pada zaman Yunani Kuno yang
saat itu ada pembagian perkembangan manusia menurut zamannya.
Pada awal masanya manusia disebut sebagai Political Animal, sebab
manusia saat itu mulai membentuk tatanan organisasi dalam kelompok-
kelompok politik guna menyusun dan mengatur kehidupan masyarakatnya.
Kemudian dalam perkembangannya manusia memasuki masa di mana
ilmu pengetahuan diagungkan. Pada masa renaisans ini manusia mendapat
sebutan dengan Rational Animal, mengingat kekritisan serta kemajuan
manusia dalam menggunakan kekuatan rationya. Pada masa inilah manusia
menghambakan dirinya kepada ilmu pengetahuan mengingat keabsahannya
dijangkau oleh pikiran normal manusia.
Mengingat perkembangannya yang tak pernah berhenti itulah tak lama
setelah masa renaisans, di Eropa dan Amerika mulai dari munculnya pedagang
atau saudagar yang berusaha untuk mencari dan menggali sumber-sumber
ekonomi yang ada di dunia guna diperdagangkan dalam upaya mendukung
proses industrialisasi. Hal ini terjadi pada abad ke-19 Masehi. Masa inilah
manusia disebut sebagai ”Ekonomical Animal” karena sudah berjalannya
kegiatan ekonomi di masyarakat merasa tak puas dengan perkembangannya

2 - Pemikiran Fungsional
15

itu, dalam kelanjutannya manusia mulai mengembangkan dirinya melalui


proses interaksi dan komunikasi. Hal tersebut bisa berupa komunikasi
dengan lambang atau bentuk-bentuk simbol yang lainnya. Yang lebih sering
kita lihat adalah melalui bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan. Erns Cassier
menyebutnya dengan masa Symbolicum Animal.
Kalau kita melihat dari perjalanan sejarah perkembangan budaya di
atas, rasanya tidak ada terlintas dalam fikiran ini kalau budaya itu berhenti
dalam berkembang. Rasanya perubahan budaya akan tetap bergerak
selamanya yakni selama adanya kehidupan manusia di dunia ini, mungkin
hal ini sangat tepat apabila dikaitkan dengan gagasan Alvin Tofler mengenai
hukum dinamika dan dialektika. Yaitu walau dalam perkembangannya
budaya itu terus maju dengan zamannya, tapi tidak selamanya kita bisa
mengartikan kalau nilai dari budaya itu juga turut maju. Artinya kalau
budaya itu terus maju tapi nilai dari budaya itulah yang bersifat relative,
bisa naik dan bisa turun.
Jadi dalam budaya itu pun ada gelombang naik dan pasang surut,
maju mundur, serta kondisi budaya itu yang terus bergerak tak ada henti-
hentinya apalagi sampai terjadi gerakan yang bersifat Power Shift artinya
perubahan budaya yang ada di dunia ini berintikan pada pergeseran
budaya yang bergelombang. Bila tidak kita cermati dengan baik maka
akan menimbulkan kegoncangan di masa depan atau bisa disebut Future
Shock. Untuk itu dimanapun manusia mesti waspada Eling Lan Waspodo
yaitu agar selalu ingat akan dirinya sendiri dan selalu waspada terhadap
situasi dan kondisinya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali membiarkan
diri terjebak ke dalam situasi yang dapat membahayakan keselamatan kita.
Dan tentunya perlu suatu sikap yang waspada dan bukan curiga dari kita
semua. Walau dalam teknis tak jauh berbeda tapi dengan kita waspada
maka kita akan mendapat nilai dan pandangan yang psoitif kepada diri dan
orang lain, sementara curiga akan terus menyiksa diri karena akibat dari
tekanan fikiran yang selalu gundah kelana. Sama halnya kalau kita melihat
kondisi budaya di Indonesia dewasa ini, sepertinya kita sedang menghadapi
suatu pergeseran-pergeseran atau ”Shirf ” budaya. Hal ini mungkin dapat
dipahami mengingat derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai

Sejarah Intelektual
16

budaya baru serta ketidak mampuan kita dalam membendung serangan itu
dan mempertahankan budaya dasar kita.
Dalam perkembangan selanjutnya, humanisme yang sebelumnya telah
“mengemasi” seluruh aktivitas psikis/fisik manusia (abad ke-15) kembali
menjadi dasar dalam pemikiran yang berorak fungsional. Dengan demikian
filsafat yang mempunyai kebenaran universal lambat laun menjadi parsial,
positif, konkrit, dan paktis. Dan ilmu pengetahuanpun menjadi sistematik
dan pragmatik.
Pada masa ini terdapat beberapa isme (paham) yang dapat dikatakan
menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan
hidup manusia. Paham-paham tersebut antara lain, rasionalisme,
empirisisme, kritisisme, idealisme, pragmatisme, dan lain-lain.

A. Rasionalisme
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan
pangkal dari segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang
memegang tampuk pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio
diakui sepenuhnya dengan sama sekali meyisihkan pengetahuan indera.
Sebab pengetahuan indera adalah hanya menyesatkan saja. Dengan metode
“keragu-raguan” pemikir Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian.
Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, maka tampaklah segera tentang
adanya sebab yang berpikir tentu ada. Oleh karena itu, dari metode
keraguan ini muncullah kepastian tentang adanya diri sendiri. Dirumuskan
olehnya dengan “cogito ergo sum”, artinya karena saya berpikir, maka saya
ada.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota
kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan
di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi
kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat
tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya.
Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang
filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan

2 - Pemikiran Fungsional
17

ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya
ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa
negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia
menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun
1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap
di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena
iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda
sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis
banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm,
Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena
penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya
filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher
les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima
Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae
(Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan
segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan
indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh
sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan,
keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada
pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan
dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang
diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan
menggunakan akalnya. Karena menurutnya  hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang
ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat
kesalahan yang lebih tinggi. Meskipun demikian dia tidak mengingkari
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman 
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya
di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide

Sejarah Intelektual
18

yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan
akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum
yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya.
Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya
sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk
umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali, “Andaikata
Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian
sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsafat .… Pengertian historis
kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan
sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang
ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk
membangun filsafat baru antara lain:
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes
menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-
metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang
benar:
1. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang
terang dan jelas.
2. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai
dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih
berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi
pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini
disebut sebagai pola analisis.
3. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap

2 - Pemikiran Fungsional
19

Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan


kemungkinan luas dari gagasan tersebut.  Metode yang ketiga ini
disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
4. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali
terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan
secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang
Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan
pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Keempat metode tersebut, Descartes mengungkap kebenaran dan
membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh
dari pengalaman inderawinya.
1. Konsepsi Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris
rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”.
A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme
adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber
bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis
aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal
harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi
(rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas,
dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis
yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak
menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat
Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk
mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan
baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-
confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat
untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat
yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum,
apakah bersifat kontinim atau terputus.” Visi Descartes telah menumbuhkan
keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah,

Sejarah Intelektual
20

dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan


kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu
merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu
alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan
antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran
sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai
kebenaran yang Clear and Distinct. Dalam usahanya untuk mencapai
kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu
dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada
prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar
yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen
M. Higgins dalam buku sejarah filsafat, “kunci bagi deduksi keseluruhan
Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah
premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya
yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.
2. Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang
menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian,
logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma,
atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi
dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka
bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan
filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada
perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada
masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim
bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya.
Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme
yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan
adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan
apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun
yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat
dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

2 - Pemikiran Fungsional
21

Istilah rasionalisme di ambil dari kata dasar ”ratio” (Latin) atau


”ratiolism ”(Inggris) yang berarti akal budi. Sedangkan rasionalisme berarti
suatu pandangan filosofis yang menekankan penalaran atau refleksi sebagai
dasar untuk mencari kebenaran. Loren Bagus mengartikannya sebagai suatu
pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama
pengetahuan. Rasionalisme dapat disebut sebagai aliran rasionalisme karena
aliran ini mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan
ini orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan
relistas yang ada si luar rasio. Dalam aliran rasionalisme ada dua masalah
yang keduanya diwarisi dari descartes ; masalah substansi dan masalah
hubungan antar jiwa dengan tubuh.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih
umum, umpamanya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam
kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para
rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau
kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi
kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para
pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai
sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme
modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan,
suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
3. Implikasi Aliran Rasionalisme Terhadap Dunia Pendidikan
Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir.
Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi
bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun
realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau
mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin).
Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin
(all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya
sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Rasionalisme mencapai
puncaknya melalui Rene Descartes yang terkenal dengan adagiumnya: Cogito,
ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa pengetahuan

Sejarah Intelektual
22

dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan, bahkan
mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling
bisa diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah
bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman,
melainkan dari pikiran.

B. Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan
bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Olehnya
itu, Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah
pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris
dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan
John. Empirisme Thomas Hobbes juga terlihat jelas, bahwa Empirisme ini
sebabkan oleh paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan baik lahiriah maupun batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Hal tersebut di pertegas oleh Hobbes bahwa pengalaman itu
merupakan permulaan segala pengenalan. Filasafat meterialisme yang dianut
hobbes dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu itu bersifat bendawi
dalam artian bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan
kita. Realitas yang bendawi tidak tergantung dengan gagasan seseorang, dan
terhitung didalam gerak trsebut.
Manusia segala sesuatu yang ada pada diri manusiapun dapat
diterangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian alamiah, yaitu secara
mekanis, manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnnya
bekerja. Sedangkan Jiwa sebagai ajaran jiwa. Hal tersebut sejalan dengan
ajaran filsafat dasarnya, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks
dari proses-proses mekanis di dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan
melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Teori pengenalan Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan bagi dia diperoleh
karena pengalaman. Penglaman merupakan awal dari pengetahuan. Yang
dimaksud pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang
disimpan didalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengaharapan
akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.

2 - Pemikiran Fungsional
23

Rasionalisme berlawanan dengan Empirisme. Bukanlah budi sebagai


sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indera atau pengalaman
sebagai pangkal pengetahuan. Aliran ini memandang bahwa filsafat adalah
tidak ada gunanya bagi hidup. Sedangkan yang berguna adalah ilmu yang
diperoleh melalui inderanya (pengalaman) dan hanya pengetahuan inilah
yang pasti benar. Jadi jelaslah bahwa aliran ini tidak mau berfilsafat. Tetapi
ada pula yang berfilsafat serta mengadakan sistem. Antara lain Francis
Bacon (91210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), dan David Hume (1711-1776).
Kalau kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah
dikaruniai idea oleh Tuhan yang dinamakan Idea Innate atau idea terang
benderang atau idea bawaan. Tetapi kaum empiris berpendapat berlawanan.
Ia mengatakan bahwa waktu lahir, jiwa manusia adalah putih bersih
(tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan idea innate.
Filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat
atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis.
Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan
masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang.
Berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan pada
masa Renaissance. Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai
penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar
bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya. Oleh karena itu,
pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang
secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan pengalaman
atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah
satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling
bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah
sebuth aliran filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber
pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya.
Maka pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat
kebenaran ilmiah secara mutlak. Adapun pengalaman hanya dapat dipakai
untuk meneguhkan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Sedangkan

Sejarah Intelektual
24

aliran empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang


menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun
yang lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi
akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh
dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Semula aliran
ini seperti masih menganut semacam realisme yang naif yang menganggap
bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan
lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai
pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran
atau obyek penelitaian.
Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon
(1531-1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca
Descartes seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704),
Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-
1776).
1. Pengertian, Konstruk dan Kajian Filsafat Empirisme
a. Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam,
namun intinya adalah pengalaman. Di antara pemahaman tersebut antara
lain:
1) Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal
dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamnnya. Bila
dikembalikan kepada kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia
menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.
2) Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar
adalah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisme
yang benar adalah anak panah bergerak sebab secara empiris dapat
dibutktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut anda
menghadang anak panah itu perut anda akan tembus, benda yang
tembus sesuatu haruslah benda yang bergerak.

2 - Pemikiran Fungsional
25

3) Empirisme dalam bahasa Inggris, empiricism; dari Yunani


empeiria, empiris (berpengalaman dalam, berkenalan dengan,
terampil untuk) latin experienta (pengalaman). Empirisme adalah
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman. Salah satu teori mengenai asal pengetahuan.
4) Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari kata Yunani
empeiria yang berarti pengalaman.

b. Konstruk Empiris
Rome Harre dalam tulisannya “Varieties of Realism (1986)” membedakan
tiga realm (domein) entitas empirik sebagaimana dinukil Prof. Dr. H. Noeng
Muhadjir. Realm 1 adalah entitas empirik yang dapat ditangkap dengan panca
indera manusia. Benda-benda yang bisa diamati indera manusia adalah nyata.
Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda itu yang
menunjukkan sifatnya. Realm 2 adalah entitas empirik yang tidak dapat
ditangkap panca indera secara langsung.Mikro-organisme, senar X merupakan
entitas empiris yang hanya dapat ditangkap panca indera kita dengan
instrumen. Entitas empiris realm 2 ini merupakan evidensi instrumentatif.
Benda-benda yang bisa diamati walaupun dengan alat bantu karena memiliki
sifat kebendaan sehingga bisa ditangkap dengan panca indera adalah nyata.
Entitas empirik realm 3 adalah evidensi seperti neutron, chip dengan berjuta
fungsi dan lain-lain. Entitas empirik realm 3 dapat dibuktikan dengan terapan
disertai penjelasan teoretik logik.
Prof. Dr. Noeng Muhadjir membedakan konstruk empirik atas
pengahanyatan empirik sensual, penghayatan empirik logik, penghayatan
empirik etik dan penghayatan empirik transendental. konstruk empirik
ini ternyata lebih detail dan datarannya lebih berlanjut. Namun bila
dikorelasikan denga pendapat Rome Hare sebenarnya sangat berhubungan
dan saling mendukung. Entitas empirik realm 1 termasuk dalam
penghayatan empirik sensual. Sedangkan realm 2 dan realm 3 termasuk
dalam penghayatan empirik logik. Penghayatan konstruk empirik tersebut
dapat diteruskan pada dataran berikutnya, yakni penghayatan empirik etik
dan penghayatan empirik transendental.

Sejarah Intelektual
26

Dengan meminjam konsep entitas emprik Rome Harre barangkali telaah


entitas emprik konsep Noeng Muhadjir; entitas empirik bisa dikategorikan
sebagai realm 4. Entitas empirik etik secara konseptual merupakan entitas
empirik yang kebenarannya dapat dibuktiakan dengan uji koherensi pada
values yang diakui sebagai kriteria moral universal. Penghayatan empirik
transendental dapat pula disebut sebagai realm 5. Realm 5 ini merupakan
entitas empirik yang dapat dihayati oleh banyak orang dalam tampilan rahmah,
himah, maghfirah dan semacamnya. karena bersifat pribadi perseorangan
namun bisa juga dialami oleh banyak orang dalam term yang bervariatif
berdasar tingkat keimanan maupun rasio yang mereka miliki.

c. Kajian filsafat Empirisme


Dalam ilmu pengetahuan yang paling berguna, pasti dan benar itu
deperoleh orang melalui inderanya. Empirislah yang memegang peranan
amat penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar
pendapat di atas itu disebut empirisme. Empirisme merasa puas untuk
menggarap hasil pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai
hipotesa yang dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari.
Pada perkembangannya, empirispun diupayakan menjadi radikal dengan
klaimnya harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang
tidak dialami secara langsung atau mengeluarkan dari bentuknya unsur
yang dialami secara langsung. Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta
kehidupan sehari-hari merupakan dasar, realitas adalah hal yang dialami
baik merupakan benda atau perubahan keadaan.
2. Tokoh-Tokoh Pemikir Filsafat Empirisme
Pada abad 17 masa Ranaissance bermunculan berbagai pandangan
filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah bagian dari filsafat pada
masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof. Berikut penulis
sampaikan tiga filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang cukup
berpngaruh, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.

a. Thomas Hobbes (1588-1679)


Thomas Hobbes adalah anak seorang pedeta, minatnya dari
semula terarahkan kepada kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf

2 - Pemikiran Fungsional
27

Inggris, memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk


mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat membantu
untuk menyusun masyarkat dalam keadaan damai dan adil. Bukanlah
yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum
itu hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun
hal ini hanya tercapai pengenalannya dengan persentuhan indera. Hanya
kalau dapat disentu dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan
kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan; dengan kata
lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja selainnya
bukanlah pengetahuan.
Materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala
sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak
yang berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada
gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme,
ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala
pengenalan. Ada yang menyebut ia seorang penganunt sensualisme,
karena ia amat mengutamakan sensus (indera) dalam pengetahuan,
memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini tentulah ia dianggap salah
satu dari penganut empirisme-yang mengatakan bahwa persentuhan
dengan indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber
ilmu pengetahuan. Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Pengalaman intelektual tidak lain semacam perhitungan
(kalkulus) yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan
cara yang berlainan. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap,
berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal
pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai
dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis.
Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum,
sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-
akibat atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti
yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula
kita miliki dari sebab-sebab atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta

Sejarah Intelektual
28

yang diamati dengan maksud mencari sebab-sebabnya. Dalam pengamatan


disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang
ada dalam kesadaran kita seperti: ruang, waktu, bilangan dan gerak dari
pengamatan pada benda. Tidak semua yang diamati pada benda-benda itu
nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-
benda itu. Segala gejala pada benda yang ada pada pengamat saja, segala yang
ada ditentukan oleh sebab, dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat.
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang
disimpan di dalam ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan
akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang
lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita
menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan
kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah
suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya
terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan
disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-
obyek yang sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera
kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam
obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi
gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa
senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata
pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
Thomas Hobbes menjadi besar namanya disebabkan karena teorinya
yang lebih modern tentang negara dibanding dengan teori tentang negara
yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari dengan tabiat alamiah manusia
hingga dibutuhkan negara yang absolut bahkan hingga pemikiran atheisnya
bahwa Allah yang dapat mati. Antara pemikirannya antara lain:
Menurut tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang
alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai
orang lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan
dirinya sendiri karena waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibanya

2 - Pemikiran Fungsional
29

mereka tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga hidup


menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab dalam perang total itu kebijakan
pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia dapat bebas dari pada
bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal sehat menuntut
supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak
sendiri. Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat
perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka
bentuk. Oleh karena itu warga negara tidak berhak untuk meberontak.
Orang banyak yang dipersatukan “commonwealth”. Commonwelath ini
disebut Leviatan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth yang
dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah
harus diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral
adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat bagi perbuatan manusia
diukur menurut peraturan dan larangan negara.

b. Jhon Locke (1632-1704)


John Locke adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington,
Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652
ia memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia
juga mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya. Lock menyelidiki
kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah
sensation dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada
manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan
suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya
dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak
dapat juga suatu pengetahuan
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan
reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia
itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada
bekal dari siapa pun yang merupakan ide innatae. Seluruh pengetahuan
kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-

Sejarah Intelektual
30

gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia


hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil
penginderaan kita. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang
atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi
pada retina yang disebabkan oleh apa yng kita lihat sebagai pohon. Kita
mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang
disebabkan oleh peniupan sangkakala.
Buku Jhon Locke, “Essay Concerning Human Understanding” 1689
ditulis berdasarkan premis yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman
(halaman 108). Ini berarti, tidak ada yang dapat di jadikan idea atau konsep
tentang sesuatu yang berada dibelakang pengalaman tidak ada idea yang
diturunkan.
Faktor bawaan (innate) itu tidak ada, argumennya adalah Dari jalan
masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada.
Pengetahuan datang melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-
kesan bawaan. Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada
sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu
sebagai suatu daya yang inhern. Persetujuan umum membuktikan tidak
adanya innate idea. Apa innate idea itu sebernya tidaklah mungkin diakui
dan sekaligus juga tidak diketahui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan
ada innate idea justru sebagai alasan untuk mengatakan ia tidak ada. Tidak
juga dicetakkan (ditempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea innate
itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Bedasarkan asas-asas teori pengenalan, dalam etikanya Locke menolak
adanya pengertian keberhasialan yang tidak menjelaskan bawaan tabiat manusia.
Apa yang menjadi bawaan tabiat kita hanyalah kecenderungan- kecenderungan
yang menguasai perbuatan-perbuatan kita. Segala kecenderungan itu dapat di
kombinasikan kepada usaha untuk mendapatkan kebahagian.
Kesimpulan Locke adalah subtance is we know not what. Tentang
subtansi kita tidak tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa yang
dianggapnya subtansi ialah pengertian tentang obyrk sebagai idea tentang
obyek itu dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.

2 - Pemikiran Fungsional
31

c. David Hume (1711-1776)


Hume seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun
1711. Ia telah pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia
dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak
berkeliling di Eropa terutama di Perancis. Buku yang ia tulis ketika berumur
duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak
banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi
tak terlalu mendapat sukses, kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada
tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring
the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776. Ia
menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari
jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak
sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang
bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang
tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian
acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak
ada. Manusia tidak membawa pengtahuan bawaan dalam hidupnya.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua
hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-
idea (ideas).
Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman
lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas,
hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah
gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan
dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang
diterima dari pengalaman. Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat
kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi
yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan)
dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk
kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi
yang masuk kedalam pemikiran.

Sejarah Intelektual
32

Selanjutnya David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof. Dr.


Ahmad Tafsir sebagai berikut; Setelah saya pikirkan secara teliti ternyata
persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang sederhana
(simple) dan persepsi yang ruwet (complex). Seluruh kesan dan idea kita saling
berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya idea yang kompleks
yang tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu.
Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya
tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan
tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus mengatakan saya
tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap dengan
gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing.
Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan
logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya
hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api
membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya “daya aktif ”
yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak
bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk
menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-
peristiwa terdahulu.
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya
kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita
berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu
hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita
dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan
di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga
sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga
sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci.
Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali
Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami
untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan

2 - Pemikiran Fungsional
33

dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik,
orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap
pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan
tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan
manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia
mengangkat berbagai dewa untuk disembah. Mukjizat adalah ajaran agama
yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk
menolak mukjizat, yaitu:
Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan
dan kaum terpelajar. Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan
untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun
keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat. Kajian peradaban
membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat
terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya.
Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh
takhayul (the more we believe in science the less we are likely to be deceived by
superstition).
Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat. Data sejarah
yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini
jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar. Apa
relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu?
Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak
dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja.
Paham seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti. Empirisme
mempersiapkan nihilisme.

d. George Berkeley
George Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori
yang dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme.
Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima
substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-
substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam

Sejarah Intelektual
34

dunia material sama dengan ide-ide. Berkeley mengilustrasikan dengan


gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda yang riil dan
hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita
dan Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita. Sepintas kita pahami
bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari
Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
Tuhan. Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan
bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak
dan perbuatan.
3. Jenis-Jenis Empirisme
a. Empirio-kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-
idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini
adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi,
keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai
gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah
elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran
ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume
tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat
netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.

b. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan
problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-
pandangan berikut:
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal
dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan
mengacu pada pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih
merupakan data indera yang ada seketika.

2 - Pemikiran Fungsional
35

c. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam


pada dasarnya tidak mengandung makna.

c. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak
sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara
demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan
kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada
kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan
bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika
tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu
tak ada dasar untukkeraguan. Dalam situasi semacam itu, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok
falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti
karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda,
dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

C. Kritisisme
Immanual Kant seorang filosof kebangsaan Jerman (1724-1804),
mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Dikatakan bahwa masing-masing aliran itu mitra kedaulatan tetapi jika
diberikannya masing-masing juga menemui kesulitannya sendiri-sendiri.
Pada awalnya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang
mempengaruhinya. Di dalam menghadapi empirisme, ia tidak begitu saja
menerimanya, karena ia tahu bahwa empirisme membawa keragu-raguan
terhadap budi. Pada satu pihak Kant mengakui kebenaran pengetahuan
indera dan di lain pihak diakui bahwa budi pun mampu mencapai
kebenaran. Tetapi syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan menyelidiki
(mengeritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan apa sebabnya maka
pengetahuan itu mungkin. Itulah sebabnya aliran Kant disebut kritisisme.
Sedangkan cara-cara mengkompromikan antara kedaulatan akal budi dan
pengalaman adalah sebagai berikut, “bagaimanapun fungsi akal adalah

Sejarah Intelektual
36

yang pertama dan utama, namun akal harus mengakui persoalan-persoalan


yang ada di luar jangkauannya. Pada waktu akal tidak mampu meraih
pengetahuan, disinilah batas-batas di mana akal, ketentuan-ketentuan akal
tiada berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman tampil sebagai suatu
cara pencapaian pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan memiliki jalan yang amat panjang dalam sejarah
perkembangannya. Dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan yang amat kompleks. Seperti
diungkapkan van Peursen (dalam Tim Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
2007:1) bahwa dahulu orang lebih mudah memberi batasan bagaimana
ilmu pengetahuan itu daripada sekarang. Dahulu Ilmu pegetahuan identik
dengan filsafat, sehingga pembatasannya bergantung pada sistem filsafat
yang dianut.
Perkembangan filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ’pohon ilmu pengetahuan’
telah tumbuh mekar dengan subur. Selanjutnya masing-masing cabang
melepaskan diri dari batas filsafatnya berkembang mandiri dan masing-
masing mengikuti metodoliginya sendiri-sendiri. Pada saat kelahirannya,
ilmu pengetahuan yang identik dengan filsafat yang mempunyai corak
mitologik dengan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada diterangkan.
Corak ini telah mendorong upaya manusia untuk berani ’menerobos’ lebih
jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap,
abadi, di balik yang bhineka, berobah, dan sementara.
Paham mitologik tidaklah berjalan langgeng, sebuah gebrakan baru
yang dikenal dengan ’gerakan demitologisasi’ dipelopori oleh filsuf pra
Socrates, filsafat telah mencapai perkembangannya. Berkat kemampuan
rasionalitasnya para filsuf telah mampu membuka jalan baru bagi ilmu
pengetahuan. ’Trio filsuf ’ yang terdiri dari Socrates, Plato, dan Aristoteles
telah mampu mengubah corak mitologis menjadi ilmu pengetahuan yang
meliputi berbagai bidang. Hal itu terbukti dari pernyataan Aristoteles
yang mengemukakan bahwa filsafat sebagai semua kegiatan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akaliah; dan membaginya menjadi ilmu

2 - Pemikiran Fungsional
37

pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis, dan lmu


pengetahuan teoritik sebagai ilmu yang terpenting.
Pasca Aristoteles, yang dipelopori oleh Augustnus dan Thomas
Aquinas menjadikan filsafat bercorak teologik. Biara tidak saja menjadi
pusat kegiatan agama, akan tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual.
Jalan panjang perjalanan ilmu pengetahuan melalui proses yang amat
rumit, beberapa tokoh mulai dari Arab hingga Eropa saling berjuang untuk
memperjuangkan pengetahuan dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Para filsuf Arab misalnya, mengembangkan ajaran Aristoteles
hingga ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat
melalui kaum Patristik dan Skolastik. Gerakan Renaissance (abad 15) dan
Aufklaerung (abad 18) telah memberikan implikasi yang amat luas dan
mendalam bagi ilmu pengetahuan. Kepemilikian otonomi beserta segala
kebebasannya masih tetap saja berjalan, namun di pihak lain manusia
mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, sebuah kehidupan pembebasan
dari kedudukan yang semula koloni agama dan gereja. Kehadiran Francis
Bacon (1561-1626) dan Auguste Comte (1798-1857) membawa warna
baru bagi perkembangan pengetahuan. Dengan membawa semangat
‘Knowledge is power’ dan didukung roh Renaissance dan Aufklaerung,
Bacon mampu melahirkan keyakinan tentang kemampuan rasionalitas
untuk menguasai dan meramalkan masa depan dengan optimis serta
berionvasi kreatif untuk membuka rahasia-rahasia alam. Demikian juga
Comte, dengan grand- teorynya mengajarkan bahwa, cara berpikir manusia
akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap
Theologik dan metafisik.
Perjalanan Ilmu Pengetahuan tak pernah kunjung usai. Kemunculan
ide Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan
disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Semenjak itu refleksi filsafat mengenai
pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Pada abad ke-18 inilah
Filsafat Pengetahuan lahir. Bagaimanakah pandangan Kant, yang terkenal
dengan filsafat kritisnya itu?

Sejarah Intelektual
38

1. Kant dan Hubungannya dengan Aliran Rasionalisme


maupun Empirisme.
Pembicaraan tentang Kant tak dapat begitu saja dilepaskan dari
aliran rasionalisme dan Emperisme. Kedua aliran tersebut adalah pemicu
munculnya Kritisisme yang dilontarkan oleh Kant. Kant adalah ”jembatan
penghubung” antara keduanya. Secara garis besar periode sejarah dapat
dikelompokkan menjadi empat periode, antara lain:
a) Zaman Yunani (600 sM - 400 M);
b) Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M);
c) Zaman Modern (1500 M - 1800 M);
d) Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Para filsuf pada masing-masing periode tersebut memiliki tokoh dan
karakter yang berbeda. Misalnya, filsafat zaman modern berfokus pada
manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad
pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance
(“kelahiran kembali”). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi
dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari
sana. Filsuf penting pada periode ini adalah N Macchiavelli (1469-1527),
Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis
Bacon (1561-1626).
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal
dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari
diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda
pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang
batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba
memadukan kedua pendapat berbeda itu. Aliran rasionalisme dipelopori
oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode
tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar
kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya,
secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian

2 - Pemikiran Fungsional
39

yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis
ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya
ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”.
Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku.
Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti?
Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” - “clearly and
distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah
yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada
sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan
(res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang
seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-
bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil
tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi
berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung
pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian
tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki
keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia
memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana
malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia
adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki
kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak
seperti memiliki kecerdasan buatan).
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776),
yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman
itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang
batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Sejarah Intelektual
40

Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume
tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja
tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul
gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah
ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin,
ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa
ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri
tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari
kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi
Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions
(= kesadaran tertentu)”. Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala
lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu
tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan
gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan
tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume
menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain
tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.
Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam”
atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan,
yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan
atau perasaan kita saja. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas
tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas
dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-
masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa
pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal
kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia
sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita
tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an
sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua

2 - Pemikiran Fungsional
41

orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan
kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-
kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang
dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua
adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses
yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran
filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran
filsafat masa kini.
2. Kritisisme Immanuel Kant dan Sumbangannya pada Dunia
Pengetahuan.
Menurut Kant, kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanan
dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio
(Kaelan, 2009:60). Menurut Bertens, Kant adalah filsuf pertama yang
mengembangkan penyelidikan ini. Dikatakan bahwa para filsuf-filsuf
sebelumnya bersifat dogmatis, karena mereka hanya percaya secara
mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Dengan kata lain Kant mampu mengubah wajah dan paradigma filsafat,
membedakan dan mempertentangkan antara dogmatisme dan kritisisme.
Kritisisme Kant merupakan buah usaha raksasa untuk menjembatani
Rasionalisme dan Empirisme.
Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-
hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum
pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari
hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam
obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang
sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Menurut paham Empirisme sumber utama pengetahuan manusia
adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata (menekankan
unsur-unsur aposteriori). Sementara rasionalisme berpendapat bahwa
sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan

Sejarah Intelektual
42

bukan pengalaman inderawi. Terlepas dari rasa kekaguman Kant terhadap


Empirisme Hume yang bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak
menyetujui skeptisisme Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu
pengetahuan, kita tidak dapat mencapai suatu kepastian. Padahal sudah
jelas bahwa pada masa-masa Kant, ilmuwan telah menemukan dalil atau
hukum-hukum yang sifatnya berlaku umum dan pasti.
Menurut Hume, semua proposisi yang signifikan haruslah salah satu
dari kemungkinan ini: (1) bersifat sintesis dan a posteriori atau (2) bersifat
analitis dan a priori. Namun Kant memperkenalkan kategori proposisi
signifikan yang ketiga, yakni: yang bersifat sintesis a priori. Menurut Kant,
proposisi yang bersifat sintesis a priori merupakan proposisi yang sifatnya
benar tanpa memerlukan pertimbangan dari pengalaman. Lebih jauhnya,
proposisi yang bersifat sintesis a priori seperti misalnya: “Segala sesuatu
pasti memiliki sebab”, tidak pernah bisa dibuktikan oleh para penganut
aliran empirisme karena mereka telah telah terdoktrin bahwa “pasangan”
dari sintesis adalah posteriori dan sebaliknya, “pasangan” dari analitis adalah
apriori. Begitu juga dengan penganut aliran rasionalisme. Mereka terlalu
terpaku dengan rangkaian istilah tersebut, sehingga mereka seringkali salah.
Seperti misalnya dalam proposisi “Diri sendiri merupakan zat tunggal” (The
self is a simple substance), mereka mengira bahwa proposisi tersebut dapat
dibuktikan secara analitis a priori tapi ternyata tidak. Kant berargumen,
bahwa proposisi yang bersifat sintesis a priori memerlukan sejumlah macam
bukti dibandingkan proposisi yang sifatnya analitis a priori atau sintesis a
posteriori. Petunjuk dari bagaimana melakukannya, menurut Kant, dapat
ditemukan dalam sejumlah proposisi yang ada dalam ilmu pengetahuan
alam dan matematika. Proposisi geometris seperti “Sudut-sudut dari segitiga
selalu berjumlah 180°” merupakan sesuatu yang diketahui secara a priori,
namun hal tersebut tidak hanya diketahui dari sebuah analisis atas konsep
segitiga saja.
Inovasi Kant secara metodologis adalah dengan menggunakan
apa yang ia sebut sebagai argumen transendental untuk membuktikan
proposisi yang bersifat sintesis a priori. Salah satu argumennya adalah “ada
realitas yang eksis di dalam waktu dan tempat diluar diriku”, yang tidak

2 - Pemikiran Fungsional
43

bisa dibuktikan baik secara a priori maupun posteriori. Menurutnya, ada


sebuah realitas yang bersifat independen dan diluar pengalaman manusia.
Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena-yakni dunia realitas dalam-
dirinya-sendiri. Sedangkan dunia yang tampak dihadapan kita adalah dunia
fenomena-yakni dunia yang ditangkap oleh pengalaman indera kita. Oleh
karena itu, ia berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang sifatnya permanen
diluar dirinya, yang tidak dapat dijangkau oleh dirinya sendiri. Menurut
Kant, baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya kedua-duanya
bersifat berat sebelah. Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan
manusia merupakan paduan atau sintesis antara unsur-unsur apriori dengan
unsur-unsur aposteriori (Kaelan, 2009:60).
Kritisisme yang diperkenalkan pertama kali oleh Immanuel Kant
(1724-1804) adalah sebuah ajaran yang disebut sebagai filsafat kritis.
Tiga karya besarnya disebut sebagai “Kritik”, yaitu : Kritik der reinen
Vernunft (Critique of Pure Reason), Kritik der praktischen Vernunft
(Critique of Practical Reason), dan Kritik der Urteilskraft (Kritik atas
Daya Pertimbangan). (Hadiwijono, 1980:64). Secara harafiah kata kritik
berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara
pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya.
Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala
penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai
penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan
menentukan batas-batas kemempuannya untuk memberi tempat kepada
keyakinan. Dengan kata lain, filsafat Kant bermaksud untuk memugar sifat
objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Supaya maksud itu terlaksana,
orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat
sepihak dari empirisisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci
bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya lepas dari segala pengalaman.
Sedangkan empirisisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan
dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisisme sekalipun mulai
dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme
subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Disini, filsafat
Kant memadukan kedua filsafat rasionalisme dan empirisisme manjadi

Sejarah Intelektual
44

satu kesatuan dalam bentuk filsafat kritis, dan membangun cara berpikir
kritis yang tidak terjebak dalam keduanya. Menurut Kant, pemikiran telah
mencapai arahnya yang pasti dalam ilmu pengetahuan pasti-alam yang
telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti alam itu telah mengajar
kita bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis meneliti tindakan
pengenalan itu sendiri. Pengenalan bersandar kepada putusan. Oleh karena
itu, perlu sekali pertama-tama diadakan penelitian terhadap putusan. Suatu
putusan menghubungkan dua pengertian yang terdiri dari subjek dan
predikat. Dalam satu putusan seperti “meja itu bagus”, maka predikatnya
(bagus) menambahkan sesuatu yang baru kepada subjeknya (meja). Karena
tidak semua meja adalah bagus. Putusan ini disebut putusan yang sintetis,
karena menambahkan sesuatu yang baru terhadap subjeknya dan diperoleh
secara a posteriori, atau melalui pengalaman dengan melihat meja itu dan
membandingkan dengan meja-meja lain. Inilah putusan yang dihasilkan
oleh empirisisme.
Dalam putusan yang lain seperti “lingkaran adalah bulat”, ternyata
predikatnya (bulat) tidak memberi sesuatu yang baru terhadap subjeknya
(lingkaran). Maka hal ini disebut putusan yang analitis, dan bersifat a
priori, atau bisa diperoleh hanya melalui kegiatan pemikiran akali saja
tanpa dibutuhkannya suatu pengalaman. Inilah putusan yang dihasilkan
oleh rasionalisme.
Menurut Kant, syarat dasar bagi suatu pengetahuan adalah bersifat
umum dan perlu mutlak namun sekaligus memberi pengetahuan yang
baru. Empirisme memberikan putusan-putusan yang sintetis, jadi
tidak mungkin empirisme memberikan suatu yang bersifat umum dan
perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan putusan-putusan
yang analitis, jadi tidak memberikan suatu pengetahuan yang baru.
(Hadiwijono, 1980:65-66). Demikianlah, ternyata baik empirisisme
maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana membuat
suatu putusan-putusan yang sintetis a priori, yaitu suatu putusan yang
mampu memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu tergantung dari
pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat transendental,

2 - Pemikiran Fungsional
45

yang berusaha meneliti bagaimana cara seseorang untuk mengenal


segala sesuatu (Hadiwijono, 1980:65) Segala pengalaman terjadi karena
penggabungan dua faktor, yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran
akal. Dalam kesadaran sehari-hari, kedua faktor ini tidak terpisahkan.
Akan tetapi dalam hal ini secara teoretis keduanya harus dipisahkan,
dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan dan
keadaannya secara transendental.
Adapun yang kita amati itu bukanlah bendanya sendiri atau “benda
dalam dirinya sendiri” (das ding an sich), melainkan suatu salinan dari
pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah,
yang disebut sebagai penampakan atau gejala-gejala (fenomena). Yang kita
amati sesungguhnya bukanlah objek dalam dirinya sendiri, melainkan
gagasan kita tentang objek itu yang nampak pada kita melalui indera-
indera kita, yang menggerakkan daya tangkap indera kita, sehingga kita
membentuknya dalam fantasi menjadi suatu gambaran tertentu. Jadi,
mengetahui bukanlah mengetahui benda dalam dirinya (das ding an sich),
melainkan mengetahui penampakan atau fenomena, sehingga pengertian
hanya dapat dipakai untuk memikirkan penampakan atau fenomena, bukan
untuk memikirkan benda dalam dirinya. (Hadiwijono, 1980:67). Dalam hal
ini, proses mengetahui dengan pengamatan terhadap objek tersebut terletak
dan dikuasai oleh kedua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Bagi Kant,
ruang dan waktu adalah sebuah “bentuk formal” dari penginderaan. Bentuk
ruang membentuk kesan-kesan inderawi yang lahiriah, sedangkan waktu
membentuk cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Ajaran Kant tentang
etika banyak tertuang dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft
(Critique of Practical Reason). Disana dibicarakan tentang syarat-syarat
umum dan yang perlu mutlak bagi perbuatan kesusilaan. Yang dijadikan
pegangan adalah gagasan bahwa ada suatu “intuisi” yang memberi
keyakinan bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada perbuatan yang
dilakukan berdasarkan suatu “kehendak baik”. Kelihatannya naluri manusia
lebih menentukan “kehendak baik” itu. Namun demikian sesungguhnya
naluri senantiasa memperhitungkan faktor-faktor pengalaman. Maka dari
itu harus dicari satu faktor yang semata-mata baik dalam dirinya sendiri

Sejarah Intelektual
46

dan tidak tergantung dari apapun, termasuk hasil yang akan diperoleh.
Faktor yang demikian itu hanyalah rasio, yang dalam hal ini dapat memberi
suatu patokan praktis dalam setiap tindakan. (Hadiwijono, 1980:74).
Menurut Kant, ada dua bentuk ketetapan kehendak, yaitu ketetapan
subjektif dan ketetapan objektif. Ketetapan subjektif datang dari subjek
dan ada kemungkinan kesewenang-wenangan. Ketetapan yang objektiflah
yang memberi perintah (imperatif ), dimana terdapat gagasan tentang suatu
asas yang objektif, yang menjadikan kehendak itu harus terjadi, lepas dari
keinginan pribadi. Jadi, yang menentukan adalah suatu pandangan objektif
yang dimiliki rasio, yang seakan-akan memberi perintah “Berbuatlah
menurut motif-motif yang diberikan oleh rasio.” Disinilah kehendak benar-
benar objektif dan bersifat imperative.
Tindakan imperatif itu ada dua macam, yaitu imperatif hipotetis
dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah suatu perintah yang
mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Yang menjadi tujuan dapat sesuatu yang nyata atau yang mungkin.
Contohnya adalah “Jika ingin pandai maka harus rajin belajar.” (Scruton,
1982). Imperatif yang kedua adalah imperatif kategoris. Imperatif kategoris
adalah perintah yang tidak tergoyahkan, yang tidak ada hubungannya dengan
tujuan yang hendak dicapai, perintah yang tidak mengenal pertanyaan
“untuk apa berbuat sesuatu ?” Perintah ini hanya memiliki tujuan dalam
dirinya sendiri, dan bersifat formal yang hanya memformulasikan syarat
formal yang harus dipenuhi perbuatan apapun supaya dapat diberi nilai etis
yang baik.
Adapun imperatif hipotetis hanya dapat ditaati karena kepentingan diri
sendiri, sehingga tersirat di dalamnya suatu dorongan ego. Tidak demikian
dengan imperatif kategoris, disini kehendak dan hukum adalah satu. Inilah
yang disebut rasio praktis yang murni. Disini tidak ada unsur akal, yang ada
hanya “keharusan” sesuatu yang sekaligus adalah kehendak yang sempurna
dan murni. Imperatif kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai asas
kesusilaan yang transendental. Keharusan (sollen) ini mewujudkan segala
persoalan etis.

2 - Pemikiran Fungsional
47

D. Idealisme Modern
Sebagai akibat ketidakpuasan ajaran, yang justru muncul dari murid-
muridnya sendiri, adalah ajaran Kant yang mengatakan bahwa “akal manusia
tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada
realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada pengetahuan tentang
fenomena atau gelaja-gelaja saja.
Para murid Kant yang setia bahkan berbalik dan mereka akan
bermetapisik mencari suatu dasar untuk renungan mereka dan dari dasar
itu akan dibangun suatu sistem metafisika. Mereka amat memperhatikan
kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat pada dasar tindakan
ialah “AKU” yang merupakan subyek yang sekonkrit-konkritnya. Dari
suatu dasar menelurkan kesimpulan serta memberi keterangan keseluruhan,
ada yang menyebut aliran idealisme. Oleh karena idealisme ini berdasarkan
subyek, ada yang menyebut idealisme yang subyektif. Tokoh-tokoh
terkemuka idealisme ini adalah J.G. Ficthe (1762-1814), F.W.J. Schelling
(1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang memberikan kepada
aku sehingga dikatakan aku adalah satu-satunya realitas. Hal ini dapat di
mengerti demikian, “aku yang otonom dan merdeka, menempatkan diri
menjadi sadar akan obyek yang dihadapi yaitu bukan aku, bukan aku
ini adanya tergantung pada aku dan fungsinya adalah merupakan yang
harus dihadapi dan diatasi. Perkembangan terletak sepenuhnya pada hasil
pengatasan obyek (bukan aku ) “. Oleh karena itu tampaklah bahwa aku
ini sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan kriteria terakhir dari
pada kebenaran pengetahuan. Maka idealisme Fichte ini tampak sangat
subyektif.
Lebih jauh dan luas pandangannya adalah Schelling. Ia mengaku
bahwa obyek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Sebaliknya kalau
Fichte mengatakan bahwa adanya obyek (bukan aku ) itu tergantung aku
(subyek). Jadi obyek itu muncul dari aku, tetapi Schelling tidak demikian.
Ia mengatakan bahwa aku (subyek) muncul dari alam (bukan aku) yang
sungguh-sungguh ada. Akan tetapi munculnya aku dari alam adalah yang

Sejarah Intelektual
48

telah sadar, jadi tampak ada keserasian dengan pandangan Fitche. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kedudukan budi dan alam adalah sederajat, berhadapan
sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya keduanya adalah muncul dari
Tuhan, semakin lama semakin tinggi derajatnya. Juga budi sebagai sesuatu
yang muncul dari Tuhan menyadari dirinya lalu menjelmakan ilmu, moral,
sejarah, negara, dan lain-lain. Karena Schelling mengakui adanya obyek
sebagai realitas, maka idealismenya dinamakan idealisme yang obyektif.
Lebih mendalam lagi adalah sistem Hegel, di mana idealismenya
sangat kensekuen. Corak umum filsafat Hegel adalah yang terkenal dengan
“dialektika” yaitu tesis yang timbulkan antitesis dan membentuk sintesis
dan sintesis ini sekaligus adalah tesis baru yang menimbulkan antitesis dan
membentuk sintesis baru. Filsafat Hegel mencari yang mutlak dari yang
tidak mutlak. Yang mutlak adalah roh (jiwa), tetapi roh itu menjelma pada
alam dan dengan demikian sadarlah akan dirinya. Roh adalah idea, artinya
berpikir. Dalam sejarah kemanusiaan sadarlah roh itu adalah dirinya, dan
kemanusiaan adalah bagian dari idea yang mutlak yaitu Tuhan sendiri.
Dikatakan selanjutnya bahwa idea yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak,
ialah gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan
suatu tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan
yaitu antitesis. Dan akhirnya adanya tesis gerak yang mutlak dan antitesis
ini menimbulkan sinthesis yang sekaligus merupakan tesis yang baru dan
menimbulkan antitesis, begitulah seterusnya.
Jadi, tampaklah filsafat Hegel ini, memberikan suatu kesimpulan
bahwa pada hakekatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya suatu yang
tetap tidak berubah yang melatarbelakangi suatu hal. Proses gerak secara
dialetik itu dapat berlaku pada setiap kejadian dan berlaku menurut hukum
budi. Karena itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa semua yang
masuk akal itu sungguh-sungguh ada dan apa yang sungguh-sunguh ada
itu dapat dipahami. Menurut rangkaian pemikiran Hegel ada tiga cabang
filsafat yaitu : a) Logika atau filsafat tentang idea, b) Filsafat alam yaitu
filsafat tentang idea yang menjelma pada alam, c) Filsafat roh yaitu filsafat
ide yang kembali pada diri sendiri.

2 - Pemikiran Fungsional
49

E. Positivisme
Lain negeri lain perkembangannya. Begitu pula perkembangan filsafat
di Perancis. Di sana orang mengalami suatu revolusi yang hebat. Wahyu
dan agama ditumbangkan dari kedudukannya dan diganti tradisi sebagai
pegangan dan kepastian pikiran. Aliran ini disebut tradisonalisme. Di lain
pihak, di Perancis juga muncul aliran baru yaitu “positivisme”, yang ditokohi
oleh August Comte (1798-1857). Menurut Comte jiwa dan budi adalah
basis teraturnya masyarakat. Maka jiwa dan budi haruslah mendapatkan
pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini
sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif, yaitu
matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak
positif tidak dapat kita alami dan sebaliknya orang yang berisikap tidak
tahu menahu. Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan, yaitu :
1. Tingkat teologi, yang menerangkan segala sesuatunya dengan
pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
2. Tingkat kedua ialah metapisika yang hendak menerangkan segala
sesuatu melalui abstraksi.
3. Tingkatan ketiga ialah positif yang hanya memperhatikan yang
sungguh-sungguh serta sebab akibat yang sudah ditentukan.
Banyak tokoh positivisme, antara lain H. Taine (1828-1893), yang
mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jwa, sejarah, politik dan
kesusasteraan. Emile Durkheim (1858-1917) positivisme sebagai azas
sosiologi. John Stuart Mill (1860-1873), filosof Inggris ini menggunakan
siatem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
1. Kelahiran Filsafat Positivistik
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini
bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan
melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang
karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian
diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga
digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir.

Sejarah Intelektual
50

Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat


pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.
Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi
tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa
menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian
dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan
manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah kondisi teologi yang
bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau
positive. Bagi Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga
tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan. Dari tiga tahap pemikiran
manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia
dalam memahami dunia. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan
definitif dari intelektualitas manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap
transisi saja.
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great
fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan perkembangan
intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan. Sebenarnya
kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum
digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun
Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme
pada filsafat. Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu
filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga zaman Comte).
Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat,
yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur.
Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik ala Newton, yakni
metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan
mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri,
ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan
filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat
positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena
filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-
sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.

2 - Pemikiran Fungsional
51

2. Auguste Comte dan Positivisme


Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali
digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan
sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis,
yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi. Hal
ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini,
merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-
ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste
Comte dan positivisme diperkenalkannya.
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois
Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari
1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas
Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique
di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua
tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada
pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai
meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam. Pada Agustus 1817
Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de
Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika.
Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon
pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh
intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini
bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama
kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi
oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot,
Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka
kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de
Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas
tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya
dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa
agama baru, yakni agama kemanusiaan, Pada saat Comte tinggal bersama
Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat
positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires

Sejarah Intelektual
52

pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan


kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi
penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan
utama Comte adalah ilmu sosial. Secara intelektual, kehidupan Comte
dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan
bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem
politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan
fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah
menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya
yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya
tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42. Kehidupan Comte
yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.
Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis
A Sytem of Positive Polity antara 1851-54. Dalam perjalanan sejarah, alih-
alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah
dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi
tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang
sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.
3. Pengaruh Positivisme Comte
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan
intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart
Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak
tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya
G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s
Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian
mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli
paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang
politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang
secara intelektual terpengaruh oleh Comte. Di Prancis, pengaruh Comte
tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini
bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain
yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang
mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum

2 - Pemikiran Fungsional
53

saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca
pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya.
Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu
adalah bacaan wajib. Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui
Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk
untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas
Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa
sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into
the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai
bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat
secara umum.
4. Kritik Atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang
dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua
”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika,
atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam
hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika” Kritik juga dilancarkan oleh
Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua
hal, ketidak tepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial
yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status
quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal
memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak
benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari
kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan
pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah
menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai
objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang
yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua
menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya
berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di
lingkaran politik tertentu.

Sejarah Intelektual
54

5. Tugas Filsafat Menurut Aliran Positivisme


Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan
ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya
dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan
menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan
menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi
segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di
alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran.
Oleh karena itu, filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat
tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh
filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas
filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah
diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu
eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah
memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas
dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu
yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-
ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi
pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena
semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan dengan alam maupun
yang berhubungan dengan manusia sudah ditafsirkan oleh masing-masing
ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu
ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itu, filsafat bukanlah ilmu.
Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisa bahasa
(tahlîl al-lughah). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mencapai kejelasan
dan ketelitian, menghindari istilah-istilah dan proposisi-proposisi yang
tidak jelas (tidak mempunyai arti) yang banyak didapatkan dalam bahasa
(terutama bahasa filsafat), dan untuk memperoleh arti yang detail dari suatu
proposisi serta menguji apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan
atau tidak. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa filsafat tidak
menambahkan sesuatu yang baru bagi pengetahuan kita dan tidak pula

2 - Pemikiran Fungsional
55

memberi tafsiran atas apa yang terjadi di sekitar kita, tapi yang dikerjakan
oleh filsafat hanyalah sekedar memberi batasan arti istilah-istilah bahasa
untuk menghindari kerancuan. Berkaitan dengan tugas filsafat sebagai
aktifitas dalam menganalisa bahasa, berikut akan kita bicarakan hubungan
antara bahasa dan logika dengan alam.
Menurut positivisme, alam tidaklah tersusun dari kumpulan benda-
benda, melainkan terdiri dari kumpulan kejadian-kejadian (Al Waqa’i‘).
Russel berkata: Tidak ada materi, tidak pula akal. Hanya sense-data (Al
Waqa’i‘ Al hissiyah Al Mufradah)-Lah satu-satunya yang bisa dibilang ada.
Sementara dalam Tractatus, Wittgenstein menulis bahwa Alam adalah
kumpulan kejadian-kejadian bukan benda-benda. Kejadian-kejadian yang
ada di alam ini dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama, kejadian
kompleks (waqî‘ah murakkabah). Kejadian kompleks ini dapat dibagi-
bagi lagi menjadi kejadian-kejadian yang lebih kecil. Bagian terkecil dari
kejadi yang tidak dapat dibagi lagi disebut dengan kejadian atomik (waqî‘ah
dzurrîyah), dan ini adalah jenis kedua. Kejadian-kejadian ini digambarkan
oleh bahasa melalui proposisi-proposisi. Proposisi yang menggambarkan
kejadian kompleks disebut dengan proposisi kompleks (qadhîyah
murakkabah), dan proposisi yang menggambarkan kejadian atomik disebut
dengan proposisi atomik (Qadhiyah Dzurriyah).
Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa
dengan alam adalah seperti hubungan antara gambar dan aslinya. Dengan
demikian kita dapat membedakan proposisi-proposisi yang mempunyai
arti dan proposisi-proposisi yang tidak mempunyai arti. Proposisi yang
mempunyai arti adalah proposisi menggambarkan suatu kejadian di
alam nyata, meskipun tidak selalu benar. Sementara proposisi yang tidak
menggambarkan suatu kejadian di alam nyata seperti proposisi-proposisi
metafisika tidak bisa dikatakan benar atau salah karena sama sekali tidak
mempunyai arti.
Proposisi-proposisi bahasa tak lain adalah gambaran logis dari
kejadian-kejadian yang ada di alam. Oleh karena itu, proposisi-proposisi
tersebut tidak hanya sekedar menggambarkan benda-benda saja, tapi

Sejarah Intelektual
56

menggambarkan hubungan antar benda-benda tersebut. Hubungan antar


benda-benda dalam kejadian dan hubungan antar nama-nama dalam
proposisi disebut dengan structure (bunyah). Kalau kita perhatikan benda-
benda yang ada di alam dan hubungan yang terjadi di antara benda-benda
tersebut, akan kita dapatkan satu hubungan yang bersifat umum yang
disebut dengan The Logical Structure of The World, yang menggambarkan
keterkaitan antara logika dan alam, dimana hubungan-hubungan yang
terjadi antar benda di alam tak lain adalah hubungan logis. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa logika itu menyelai alam, dalam arti bahwa
batasan-batasan alam dengan sendirinya adalah batasan-batasan logika.
Ini berarti bahwa gambaran logis yang dilakukan oleh bahasa tidak boleh
melampaui apa yang terjadi di alam.
Berdasarkan uraian di atas, para pengikut positivisme menganggap
permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi oleh filsafat
sebenarnya bukanlah permasalahan yang sesungguhnya. Semua itu
disebabkan oleh salahnya pemahaman terhadap logika bahasa. Filsafat
banyak sekali berbicara tentang sesuatu yang tidak mempunyai arti, seperti
al-‘aql al-kullî (rasio jeneral) , al-zamân al-wujûdî (masa eksistensial), al-rûh
al-muthlaq (ruh absolut) dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha
para filsuf untuk memberi tafsiran terhadap apa yang terjadi di alam secara
universal, sehingga mereka terjebak dalam proposisi-proposisi metafisis.
6. Pemikiran Ulang atas Metodologi Penelitian Hukum
Positifisme
Metode penelitian hukum pada umumnya membagi penelitian atas
dua kelompok besar, yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode
penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif diartikan
sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik
ditinjau dari sudat hirarki perundang-undangn (vertikal), maupun
hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal). Penelitian hukum
empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk
melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat,
meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Pemikiran empiris

2 - Pemikiran Fungsional
57

pada hakikatnya adalah penelitian yang melihat keadaan secara nyata, hal
ini berawal dari sebuah filsafat positivisme yang melihat sesuatu adalah
benar jika dapat dibuktikan nyata adanya (positif ).
Pemikiran filsafat positivisme merupakan bentuk perkembangan
akal manusia, yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan
perkembangan ketiga dari perkembangan akal manusia. Ia menyatakan
bahwa perkembangan akal manusia berkembang dalam tiga tahap
pemikiran: tahap teologi, tahap metafisik, serta tahapan riil atau positif.
Dalam tahap teologi, manusia mencari kebenaran atas berbagai fenomena
yang ada di sekelilingnya, mulai tahap politeisme (keyakinan atas dewa-
dewa) hingga monoteisme (keyakinan atas Tuhan yang Maha Esa). Tahap
kedua adalah tahap metafisik, dimana manusia mulai menyandarkan kepada
kemampuan analis dan logika abstral dan menolak kebenaran atas kekuatan
magis. Hal ini muncul pada masa Renaissance. Kebenaran logika abstrak
mulai ditinggalkan oleh manusia ketika manusia mulai mencari sesuatu
yang bersifat positif, nyata, riil, serta rasional. Tahap inilah yang disebut
sebagai tahapan positif yang melahirkan pemikiran positivisme. Pemikiran
Comte tersebut mendukung faham empirisme yang sangat menjunjung
nilai-nilai kepastian. Sosiologi menurut Comte adalah bentuk nyata ilmu
yang nyata atau positif, selain matematika, astronomi, fisika, kimia, dan
biologi. Pemikiran filsafat positivisme Comte tersebut mempengaruhi
perkembangan ilmu hukum yang melahirkan konsep positivisme hukum.
Pemikiran filsafat positivisme menolak segala sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan secara nyata atau empirik atau konkrit dan positif adanya.
Sesuatu yang bersifat abstrak, tidak nyata, tidak positif, seperti moral,
keadilan adalah tertolak. Moral dan keadilan bukanlah hal yang nyata,
keduanya tidak dapat diukur, tidak memiliki standar yang jelas, oleh karena
itulah moral dan keadilan sulit diterima secara nyata, positif, juga empiris.
Mengingat yang benar adalah sesuatu yang  bersifat konkrit, positif,
terstandar, empirik, dan dapat diukur dengan jelas, maka hukum juga
harus memiliki standar yang jelas, baku, empiris (nyata) dan positif tentu
saja, dalam hal ini kesemua itu dipenuhi oleh hadirnya Undang-undang.
Nyata undang-undang itu ada, masalah adil atau tidak, itu bukanlah

Sejarah Intelektual
58

urusan hukum, karena keadilan tidak dapat diukur, keadilan di satu sisi
akan memunculkan keadilan di sisi yang lain, lalu manakah yang dirasakan
paling adil? Sangat-sangat tidak jelas! Yang jelas yaitu yang konkrit dan
positif dalam hal ini adalah Undang-undang, sebuah pemikiran hukum
yang sangat normatif-positivis! Konsep berfikir hukum yang ada saat ini
kemudian menjadi salah kaprah ketika kemudian para penstudi hukum
kemudian melakukan klasifikasi atas dua model penelitian hukum, yaitu
model normatif-positivis, serta model empiris-sosiologis. Dimana keduanya
secara sadar atau tidak masing-masing melakukan klaim-klaim kebenaran
atas metodologi hukum. Perang pemikiranpun terjadi, masing-masing
kubu merasa paling benar. Penstudi hukum legal positivis menolak ide
pendekatan empiris-soiologis atas hukum, demikian pula sebaliknya.
Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran
positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan
Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan
ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang
melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure
reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk
menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman
sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857),
seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan
pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan
penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua
gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga
periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman
metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep
abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif
manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan

2 - Pemikiran Fungsional
59

hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.
Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)
filsuf logika berkebangsaan Inggris dan Herbert Spencer (1820-1903) yang
dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad
XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme
terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer). Periode
kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran
dan pendapat filsuf Austria, Ernst Mach (1838-1916), yang dikenal sebagai
tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme.
Selain Mach dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
Tahun 1922 Morits Schlick waktu itu professor ilmu-ilmu induktif di
Universitas Vienna mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai
Vienna Circle (Halaqah Vienna). Perkumpulan yang dianggap sebagai
penerus Machisme ini diikuti oleh banyak ilmuwan matematika dan fisika,
antara lain: Waismann, Neurach, H. Feigl, F. Kaufmann dan Carnap.
Kajian-kajian yang diadakan oleh perkumpulan ini banyak dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, terutama melalui bukunya
yang terkenal, Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pertama kali
pada tahun 1922 dalam bahasa Jerman. Pada masa Vienna Circle inilah
positivisme menemukan bentuknya yang matang. Dan pada masa ini pula
tepatnya tahun 1931—untuk pertama kali nama positivisme pertama
kali dipakai oleh H. Feigl. Selain positivisme sebenarnya dikenal pula dua
nama lain yang digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran yang
dikenal dalam kalangan Vienna Circle ini, yaitu Empiricism dan Logical
Empiricism, yang kesemuanya mempunyai inti yang sama yaitu penolakan
terhadap metafisika dengan alasan bahwa permasalahan yang dibahas dalam
metafisika adalah permasalahan yang berada di luar batas pengalaman
manusia sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Positivisme dan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq).
Schlick dianggap sebagai orang yang pertama kali mengenalkan asas
ini dalam kalangan Vienna Circle setelah melakukan diskusi yang panjang
dengan Wittgenstein. Secara implisit dalam Tractatus Wittgenstein telah
menyatakan penerimaannya terhadap asas verifikasi. Hal inilah yang

Sejarah Intelektual
60

membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi


(al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut
dapat dibuktikan kebenarannya. Ini sangat erat kaitannya dengan Hume
yang membagi proposisi ke dalam dua bagian: pertama, proposisi logis dan
matematis; dan kedua, proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah
yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme
menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan alasan
bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam salah
satu dari dua jenis proposisi di atas.
Memperjelas kajian ini, berikut ini diuraikan pengertian proposisi,
macam-macamnya, dan beberapa hal penting yang berkenaan dengan itu.
Proposisi adalah satuan pemikiran. Dengan istilah lain dapat dikatakan
bahwa proposisi adalah batas terkecil dari pembicaraan yang dapat
dipahami. Apabila kita membagi-bagi satu kesatuan pemikiran sebuah
makalah misalnya, maka bagian-bagian terkecil dari pemikiran tersebut
itulah yang kita namakan sebagai proposisi. Sebenarnya proposisi masih
bisa dibagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Hanya saja bagian-
bagian tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai pemikiran lagi. Bagian
terkecil dari pemikiran (proposisi) inilah yang dapat dibuktikan benar atau
salahnya. Cara yang digunakan untuk membuktikan bahwa suatu proposisi
bernilai benar atau salah sangat tergantung pada jenis proposisinya. Dalam
hal ini dikenal dua jenis proposisi, yaitu:
1. Proposisi berita (Al Qadhiyah Al Ikhbariyah)
Proposisi berita adalah proposisi yang memberitakan
pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Cahaya berjalan dengan
kecepatan 186 ribu mil per detik.” Dalam proposisi ini kita
mendapatkan pengetahuan baru, yaitu bahwa cahaya berjalan
dengan kecepatan tersebut. Informasi tentang kecepatan cahaya
yang dimuat oleh proposisi ini merupakan tambahan dari pengertian
cahaya yang sebelumnya sudah kita ketahui. Oleh karena itulah
proposisi ini disebut dengan proposisi berita.
Contoh lain dari proposisi jenis ini adalah: “Ahmad Syawqi
adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam sastra

2 - Pemikiran Fungsional
61

Arab.” Subyek dari proposisi ini adalah Ahmad Syawqi. Ahmad


Syawqi adalah sebuah nama. Dan tidak dengan sendirinya pemilik
nama itu adalah orang pertama yang menulis drama puitis dalam
sastra Arab. Oleh karena itu, proposisi di atas memberitakan
kepada kita sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.
Cara yang digunakan untuk menghukumi proposisi jenis ini,
apakah benar atau salah, adalah dengan kembali pada kenyataan
(alam). Sebuah proposisi yang berbunyi: “Gula mencair dalam air”,
dapat kita buktikan kebenarannya dengan mengambil sesendok gula
dan memasukkannya ke dalam segelas air. Dan karena kenyataan
membuktikan bahwa apabila kita memasukkan gula ke dalam air
maka dia akan mencair, maka dapat kita simpulkan bahwa proposisi
di atas adalah benar. Oleh karena itu, apabila ada proposisi yang
berbunyi: “Gula tidak mencair di dalam air”, maka ini adalah
proposisi yang salah.
2. Proposisi pengulangan (Al Qadhiyah Al Tikrariyah, Repetisi)
Yang dimaksud dengan proposisi pengulangan adalah
proposisi yang unsur-unsur predikatnya merupakan pengulangan
dari unsur-unsur subyeknya. Dengan demikian proposisi jenis ini
tidak memberikan pengetahuan baru bagi kita. Misalnya: “Janda
adalah perempuan yang pernah menikah.” Proposisi ini tidak
memberitakan sesuatu yang baru bagi kita, karena apabila kita
ditanya ‘Apakah itu janda?’, kita tidak akan bisa menjawabnya
kecuali dengan menyebut sifat yang ada dalam proposisi tersebut,
yaitu ‘perempuan yang pernah menikah’. Dengan kata lain lain
dapat dijelaskan bahwa subyek dan predikat yang terdapat dalam
proposisi pengulangan ini memiliki arti yang sama, hanya saja
memiliki susunan kata yang berbeda.
Apabila benar-salahnya proposisi berita ditentukan oleh
sesuai-tidaknya proposisi tersebut dengan alam nyata, maka tidak
demikian halnya dengan proposisi pengulangan. Nilai kebenaran
proposisi pengulangan ditentukan oleh kesesuain definisi antara
unsur-unsur penyusun proposisi tersebut. Dan ini sangat
tergantung pada kesepakatan kita dalam mendefinisikan suatu
kata. Selama kita masih sepakat bahwa janda adalah perempuan

Sejarah Intelektual
62

yang pernah menikah, maka proposisi di atas adalah benar dan


akan salah apabila dikatakan bahwa janda adalah perempuan
yang belum menikah, kecuali apabila kita sepakat untuk merubah
definisi kata janda.
Seluruh proposisi yang ada ilmu eksakta adalah proposisi berita
karena proposisi-proposisi tersebut menggambarkan apa yang terjadi di
alam nyata dan sangat erat hubungannya dengan pengalaman. Sedangkan
semua proposisi yang ada dalam matematika dan logika adalah proposisi
pengulangan karena proposisi-proposisi tersebut hanya merupakan
pengulangan susunan kalimat (Tahshil Al Hashil, mengadakan yang sudah
ada). Oleh karena itulah, para pengikut positivisme menyatakan bahwa
proposisi-proposisi dalam matematika dan logika semuanya bersifat a
priori. Namun demikian hal ini tidak lantas menjadikan proposisi-proposisi
tersebut keluar dari lingkup pengalaman, tapi justru sebaliknya. Penjelasan
dari hal ini adalah bahwa sebenarnya proposisi-proposisi yang ada dalam
matematika dan logika itu dalam bentuk yang sangat abstrak dan umum
menggambarkan hubungan antara satu benda dengan benda yang lain di
alam nyata.
Uraian di atas digambarkan bahwa menurut positivisme suatu proposisi
dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan
benar-salahnya, baik dengan menggunakan verifikasi logis (Al Tahaqquq Al
Manthiqi) maupun verifikasi empiris (Al Tahaqquq Al Tajribi). Sementara
proposisi yang tidak mungkin dibuktikan salah-benarnya dengan salah satu
dari dua jenis verifikasi ini dianggap tidak mempunyai arti. Hal ini pada
gilirannya sangat mempengaruhi ‘apakah sebenarnya yang benar-benar bisa
disebut sebagai ilmu?’ Berdasarkan dua jenis proposisi di atas, positivisme
membagi ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu formal yang
mencakup matematika, logika (dalam arti sempit), dan logika terapan. Dan
kedua, ilmu-ilmu aktual yang mencakup ilmu-ilmu eksakta.
Ilmu-ilmu yang menjadikan manusia sebagai obyek bahasannya -
seperti psikologi, ilmu ekonomi dan sosiologi - dianggap sebagai cabang
dari eksakta dalam pengertian yang luas, karena materi yang dibahas dalam
ilmu-ilmu ini adalah sesuatu yang ada di alam nyata dan dapat ditangkap

2 - Pemikiran Fungsional
63

melalui panca indera sebagaimana materi yang dibahas dalam ilmu-ilmu


eksakta. Sedangkan metafisika harus keluar dari lingkaran ilmu. Hal ini
disebabkan karena materi yang dibahas dalam metafisika adalah segala
sesuatu yang ada di balik alam nyata tapi bukan merupakan bagian dari
alam nyata itu. Dan karena manusia tidak dapat menerangkan kecuali
sesuatu yang ada di alam nyata, maka proposisi-proposisi yang ada dalam
metafisika tidak dapat dikatakan benar atau salah.
Sama halnya dengan etika dan estetika. Dua yang terakhir disebut ini
tidak dapat digolongkan baik ke dalam ilmu-ilmu formal maupun ilmu-
ilmu aktual. Alasannya adalah karena keduanya berhubungan erat dengan
perasaan. Dan karena setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda
dengan yang lain, maka proposisi-proposisi yang ada dalam keduanya tidak
dapat diuji kebenarannya. Selain itu juga, berdasarkan pemikiran Auguste
Comte di atas, jika kita mengklasifikasikan pemikiran hukum termasuk
metodologi hukum atas hukum empiris dan normatif, maka sesungguhnya
keduanya adalah sama. Struktur bangunan pemikiran hukum keduanya
sebangun, karena berasal dari sebuah pemikiran filsafat yang sama yaitu
filsafat positivisme yang mendukung faham empirisme! Klaim atas kebenaran
aliran pemikiran hukum oleh pemikiran hukum normatif-positivis
berbenturan dengan pemikiran hukum empiris-sosiologis tampaknya perlu
kita renungkan ulang, karena keduanya berasal dari induk yang sama.
Kesalahan fikir metodologis atas hukum tersebut sudah selayaknya menjadi
renungan kita bersama.

F. Evolusionisme
Sebagai akibat dari perkembangan positivisme lahir aliran “evolusionisme”.
Tokohnya yang terkenal adalah Darwin (1809-1882) dan Herbert Spencer
(1820-1903). Darwin mengajukan teori perkembangan bagi segala sesuatu
termasuk manusia. Manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup
yang paling rendah yaitu alam dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik.
Hukum “survival of the fittest” dan hukum “strugle for live” pada tumbuh-
tumbuhan dan hewan, berlaku pula bagi manusia dan merupakan hukum
tertinggi bagi manusia. Karena itulah ia sampai memandang bahwa manusia

Sejarah Intelektual
64

tidak berbeda dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta dengan benda


apapun. Suatu prediksi yang muncul karena perkembangan ini, memungkinkan
di kemudian hari akan muncul dari manusia sesuatu yang lebih sempurna dari
manusia yang sekarang ini.
Karena itu, tampaklah bahwa ditinjau dari segi filsafat pada pokoknya
tidak berbeda dengan pandangan positivisme mengenai pendapatnya
tentang ilmu pengetahuan. Manusia tidaklah tahu mengenai hal-hal
yang mengatasi pengalaman, karena itu yang sungguh-sungguh ada yaitu
yang dialami, sedangkan yang lain bukanlah kesungguhan. Demikianlah
pandangan Darwin, sehingga alirannya disebut Darwinisme.

G. Materialisme
Positivisme dan Evolusionisme pada pinsipnya adalah mengingkari
jiwa. Hidup dan mati, manusia dan binatang adalah tidak berbeda.
Sebagaimana evolusionisme gerak atau perkembangan menghasilkan
sesuatu dengan sendirinya. Dari keterangan bahwa semua gerak dan
perkembangan itu tidak ada yang menyebabkan, maka tampaklah bahwa
aliran ini materialisme atau paling tidak mengarah ke materialisme.
Materialisme berpendirian bahwa pada hakekatnya segala sesuatu itu
adalah bahan belaka. Pandangan ini menemukan kejayaannya pada abad
ke-19 dan di Eropa terasa pengaruhnya. Misalnya di Perancis dipelopori
oleh Lametterie (1709-1715). Menurut Lamatterie, manusia adalah mesin
belaka dan sama dengan binatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari
dengan petunjuk bahwa “tanpa jiwa badan dapat hidup, tetapi jiwa tanpa
badan tidak dapat hidup”. Contohnya, jantung katak yang dikeluarkan dari
tubuhnya masih dapat berdenyut beberapa detik. Dan lagi tidak mungkin
ada katak tanpa badan. Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan
tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu Feuerbach (1804-1872) dan Buchner
serta Molenschot.
Menurut dia alam adalah satu-satunya realitas, sehingga dikatakan
bahwa manusia itupun benda-benda alam. Pengetahuan mempunyai
sumbernya pada pengalaman. Tujuan hidup diarahkan kepada alam ini, apa

2 - Pemikiran Fungsional
65

yang ada di luar alam ini ditolak. Kebahagiaan terletak pada kepuasan hidup
alamiah. Kesusilaan hanyalah sebagai usaha untuk mencapai kebahagiaan dan
yaitu kebahagiaan alami. Namun demikian kebahagiaan tidak berdasar pada
egoisme, namun berdasar pada sosialitas. Susila adalah suatu tindakan yang
terarah menuju kabahagiaaan bersama. Hubungan aku-engkau merupakan
inti kemanusiaan maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti
milik bersama. Jadi dasar kebahagiaan adalah pengalaman dan dasar kesusilaan
sebagai alat mencapai kebahagiaan adalah juga pengalaman. Dari pengalaman
kita tahu bahwa usaha mencari kebahagiaan itu harus mengindahkan
kebahagiaan orang lain.
Meskipun Feuerbach menitikberatkan pada alam sebagai terminologi,
akan tetapi ia seorang meterialis yang menghargai dan mengakui hidup dan
hidup baginya adalah dasar yang utama, tetapi hidup alam belaka. Dalam
perkembangannya kemudian tampak dan muncullah materialisme yang
lebih runcing dan ekstrim yang berarti materialisme belaka dengan seorang
tokoh yang terkenal Karl Marx.
Karl Marx (1818-1883) terpengaruh oleh Hegel dan Feuerbach.
Dari Hegel diterimanya ajaran dialektika dan pendapat lain tentang
hubungan rapat antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Dari Feuerbach
diterimanya ajaran tentang kecenderungan terhadap kerohanian yang
dapat dikembalikan pada yang jasmani dan pengarahan minat kepada
manusia yang hidup di dalam masyarakat. Marx menghubungkan rapat-
rapat antara filsafat dan ekonomi. Yang terutama baginya ialah bertindak,
bukan kehendak dan tahu saja. Tugas bagi ahli pikir adalah mengubah
dunia, bukan menerangkan tentang dunia.
Dikatakan selanjutnya bahwa manusia ditentukan oleh keadaan
ekonomi. Segala hasil tindakannya (ilmu, seni,agama, kesusilaan, hukum,
dan politik) merupakan endapan dari keadaan ekonomi, sedangkan keadaan
ekonomi itu sendiri ditentukan oleh sejarah. Masyarakat pada mulanya
tidak mengenal pertentangan-pertentagan dalam tingkatannya. Kemudian
oleh karena adanya keahlian dalam pekerjaan serta karena adanya milik,
maka muncullah tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Maka timbullah

Sejarah Intelektual
66

golongan berada dan golongan miskin yang masing-masing disebut


golongan kapitalis dan golongan proletariat. Kedua golongan ini selalu
bertentangan dan semakin besar juga, maka meletuslah revolusi dan dari
situlah kaum proletar akan mengambil alih kekuasaan dari kaum kapitalis.
Bila demikian maka muncullah suatu masyarkat tanpa kelas yang berarti
bahwa milik adalah pada masyarakat atau negara. Dan negara ini tidak
nasional tetapi internasional dan inilah akhir sejarah.
Kata Marx ada manusia, ditentukan oleh alam di dalam kodatnya akan
tetapi alam kodrat ini dipandang dari sudut kemasyarakatannya. Jadi manusia
individu tidak berarti. Manusia itu dianggap manusia sejauh ia bermasyarakat.
Masyarakat ini harus berkembang dan perkembangannya disebut “sejarah”.
Perkembangan sejarah harus didorong kekuatan-kekuatan materi yang ada pada
masyarakat, yaitu kekuatan-kekuatan untuk menghasilkan. Jadi ada identitas
antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan materi. Ditambahkan
bahwa yang nyata perkembangan masyarakat adalah dorongan untuk hidup
yaitu makan, minum, pakaian, dan hal ini diusahakan oleh manusia sendiri.
Untuk mengusahakannya diperlukan alat-alat, dan alat-alat itu semua adalah
materi belaka, yang hendak diusahakan pun materi. Karena itulah keseluruhan
perkembangan ditentukan oleh materi belaka. Maka disebutlah materialisme
ini materialisme historis.
Lain dari pada itu, untuk mewujudkan cita-cita yaitu golongan tak
bermilik haruslah menghapus kaum bermilik yaitu kaum kapitalis yang
merupakan lawan. Menurut analisis Marx, satu-satunya senjata kaum
kapitalis adalah agama yang oleh Marx dinamakan racun bagi masyarakat/
rakyat. Oleh karena itulah agama harus dihapus sebab ia tidak berguna sama
sekali oleh kaum proletar dan tidak perlu ada kebahagiaan di kemudian
hari.
Meskipun tampak dalam sejarah, bahwa materialisme mempunyai
pengaruh yang besar, akan tetapi pada saat itu pula ada perlawanan yang
hebat dari aliran idealisme yang juga besar pula pengaruhnya. Gerakan
idealisme ini menganjurkan ajaran Kant agar kembali sebagai filsafat bagi
para filosof. Gerakan ini didukung oleh murid-murid Kant dan dinamakan

2 - Pemikiran Fungsional
67

Neo-Kantianisme. Tokoh-tokohnya antara lain H. Cohen (1842-1918) dan


P. Natorp (1854-1924). Kedua tokoh ini termasuk dalam aliran Marburg.

H. Eksistensialisme
Pada waktu kini, aliran filsafat ini mempunyai kedudukan yang
utama dalam arti berpengaruh yang besar sekali, sehingga menjadi buah
bibir orang. Sedangkan untuk menerangkan dan menyatakan apakah
eksistensialisme itu tidak mudah karena di dalamnya terdapat bermacam-
macam aliran. Namun demikian dapat diajukan beberapa ciri-ciri umum
yang dimiliki, yaitu:
1. Orang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan yang sesungguhnya
sebagaimana yang ada (eksis).
2. Orang harus berhubungan dengan dunia yang ada.
3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara
jiwa dan badannya
4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
Apabila dipahami secara mendalam ciri-ciri umum pada aliran ini,
maka tidak dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme adalah filsafat manusia,
melainkan filsafat ini mempunyai tujuan mengerti realitas seluruhnya. Untuk
memahami secara sadar apakah sebenarnya mengetahui itu, orang harus
mengetahui lebih dahulu manusia yang benar-benar ada itu.
Tokoh-tokoh aliran ini diantara lain Sooen Kierkegaard (1815-1855),
Martin Heideggar (1889-....), Karl Yaspers (1883-....) keduanya dari Jerman,
dan tokoh dari Perancis adalah Gabriel Marcel (1889-....) dan Jean Paul Sartre
(1905-....).
Sebagai gambaran kita majukan tokoh Kierkegaard yang mengartikan
bahwa eksistensialisme adalah kepenuhan ada dalam individu karena
kemauannya yang merdeka, yaitu karena sikapnya terhadap manusia dan
barang lain, menjadi dirinya subyek yang konkrit yang ada pada tiap-tiap saat.
Dikatakan lebih lanjut bahwa kebenaran tidak terdapat pada sistem
yang umum melainkan pada ada yang konkrit dalam eksistensi individual.

Sejarah Intelektual
68

Maka dari itu, sampailah ia pada eksistensi manusia yaitu dosa, dalam arti
selalu merasa bersalah kepada Tuhan. Dia menggambarkan tiga tingkat hidup
manusia dari tingkat a-etis ke tingkat etis dan sampai pada tingkat religius,
sehingga orang harus meloncat dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain.
Selanjutnya Martin Heidegaar mengatakan bahwa eksistensi manusia
menuju maut. “ Dasein adalah sein Zumm Tode”. Dan menurut Karl Yaspers
eksistensi manusia adalah ditentukan oleh diri sendiri. Lain dengan ahli
pikir Gabriel Marcel, yang mengatakan bahwa eksistensi manusia itu adalah
tidak mutlak, melainkan “ada” yang berhubungan dengan “ada yang lain”.
Dalam pada itu menempatkan diri sabgai subyek ialah “aku” dan yang lain
sebagai subyek ialah “engkau” atau “dia”. Dalam hubungan aku-engkau ini
ditentukan oleh “cinta”, dan percaya kepada yang lain berarti cinta kepada
yang lain, lalu kepercayaan itu menciptakan diri aku itu. Kesetiaan atau cinta
yang menciptakan aku ini dasarnya adalah partisipasi manusia kepada Tuhan.
Jadi dengan cinta kasihlah orang dapat semakin mendekati rahasia manusia
yaitu ada manusia.
Kemudian Sartre tampil dengan metode Fenomenologi mengatakan
bahwa ada itu terdiri atas dua hal yaitu, ada pada jasmani disebut ada pada
diri sendirinya, dan ada pada kesadaran disebut ada bagi sendirinya. Ada pada
sendirinya (jasmani) tidak mempunyai ketentuan lebih lanjut, sedangkan
(bagi sendirinya) mempunyai sifat “intensionitas” yaitu selalu terarahkan
pada yang lain. Kesadaran tidak mungkin disamakan dengan dirinya, tetapi
juga tidak mungkin disamakan dengan kesadaran orang lain. Cinta adalah
pencapaian kesamaan dengan yang lain dalam kesadarannya dan sia-sialah
pekerjaan ini. Sebab orang lain lalu diperlakukan sebagaimana sesuatu hal
maka tidak adalah hubungan yang sebenar-benarnya. Mungkin bentuk
hubungan itu ada yang bertendensi menguasai, lalu pihak yang dikuasai
tidak rela maka putuslah hubungan itu. Oleh karena itu, pandangan Sartre,
yang kemudian sampai pada pandangan tentang Tuhan, bahwa Tuhan itu
mustahil ada. Dasar pemikirannya adalah tidak mungkin segala sesuatu itu
cukup bagi diri sendiri.

2 - Pemikiran Fungsional
BAB III
PEMIKIRAN PRAGMATIS,
MODERNISME KE POSTMODERNISME,
DAN POSTKOLONIAL

A. Pemikiran Pragmatisme
Realisme pragmatik merupakan ajaran yang menganggap bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara bertindak atau berbuat. Mengetahui
adalah berbuat dengan hipotesa-hipotesa yang menimbulkan penyesuaian
yang berhasil atau memecahkan ksulitas-kesulitan yang praktis. Menurut
realisme pragmatik akal itu tidak berada di luar alam. Pada pengalaman
organisme dan dunia adalah satu adanya. Dunia objektif dan dunia subjektif
juga satu adanya. Gagasan-gagasan dan pengetahuan merupakan alat untuk
bertindak dan bukan sebagai penonton yang ada di luarnya.
Pemikiran tentang Teori Pragmatisme dikembangkan oleh Charles
Sander Peierce (1839-1914), dan Williams James (1824-1910), untuk
kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952). Charles Sander
Peierce (1839-1914) mengajarkan bahwa yang penting adalah pengaruh
apa yang dilakukan sebuah ide dalam suatu rencana tindakan. Dia tidak
mempersoalkan apa hakikat ide tersebut. Pengatahuan yang dimiliki
manusia tidak lain dari gambaran yang diperoleh mengenai akibat yang dapat
disaksikan. Pengertian-pengertian tertentu hanya dapat ditentukan (dalam
arti semantik) bukannya dengan menyatakan benar-tidaknya pengetahuan
tersebut dari sudut teori pengetahuan, melainkan dengan menggunakan
ukuran tindakan dan sifat-sifat umum yang bersumber dari diterimanya
suatu lambang atau pengertian. Nilai suatu pengertian tergantung kepada
70

penerapannya yang nyata pada masyarakat. Pengetahuan manusia itu benar


tidak karena memantulkan atau menciptakan kenyataan melainkan bila ia
dapat membuktikan manfaatnya bagi umum.
Williams James (1824-1910) mengajarkan bahwa ukuran kebenaran
sesuatu hal ditentukan oleh akibatnya yang praktis. Suatu pengertian tidak
pernah benar, hanya dapat menjadi benar. Perbedaannya dengan Peierce,
menurut James bahwa ukuran kebenaran ukuran kebenaran terutama
hendaknya dicari dalam taraf seberapa jauh kita sebagai pribadi dan secara psikis
merasa puas. Kebenaran yang mutlak yang lepas dari akal tidak ada, karena
semua selalu berjalan terus, berubah-ubah. Yang ada hanya kebenaran khusus
dalam pengalaman yang khusus pula. Akal hanya memberikan informasi bagi
perbuatan-perbuatan atau akal harus menyesuaikan dengan perbuatan. Dunia
yang diperlukan manusia dapat dihasilkan sendiri. Dunia selalu dalam keadaan
menjadi. Dua merupakan suatu miltiversum bukan universum.
John Dewey (1859-1952) selalu menyebut dirinya dalam aliran filsafat
yang biasa ia sebut sebagai aliran filsafat instrumentalisme, namun dialah yang
mencetuskan dan sekaligus mengembangkan pragmatisme. Dia berpendapat
bahwa tiap-tiap organisme dalam keadaan perjuangan yang berlangsung
terus menerus terhadap alam sekitarnya dan memperkembangkan alat
(instrumental) yang memberikan bantuan dalam perjuangan tersebut. Pikiran
itu berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen terhadap alam
sekitar ketika organmisme yang bernama manusia berusaha untuk menguasai
dan memberi bentuk pada alam sekitar itu untuk memenuhi kebutuhannya.
Karena itu, kecerdasan adalah sesuatu yang bersifat kreatif dan pengalaman
merupakan unsur terpokok dalam segala pengetahuan. Bagi Dewey yang
penting bukan benar tidaknya pengetahuan melainkan sejauhmana kita dapat
memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat manusia dan
dalam kenyataan hidup. Dewey sama juga dengan Peierce bahwa ukurannya
adalah kegunaan sesuatu untuk umum. Daya pikir dan daya tahu merupakan
sarana. Bukan konsep-konsep sendiri yang benar, tetapi ide-ide itu baru
dikatakan benar dalam rangka proses penggunaan oleh manusia. Pengetahuan
itu bersifat dinamis, karena harus sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang silih
berganti dan yang memantulkan hakikat dunia ini.

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


71

B. Pergeseran Era Dari Pramodern ke Postmodern


1. Dari Pramodern ke Modern
Sebelum kehidupan modern bermula, pemikiran masa pramodern
selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran,
kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan
semua kreatifitas artistik adalah persoalan ‘pertemuan’ (encounter) dengan
Allah. Persoalan manusiawi dalam era ini tidak bersifat independen
dalam diskusi mengenai filsafat dan keagamaan. Karena penekanan yang
terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, tidak heran jika kemudian
kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan
sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam
kekekalan dengan Allah.
Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat
perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah
manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia.
Dengan demikian Renaissance bermakna sebagai sebuah kelahiran kembali
keunikan Yunani dan Roma klasik, serta perhatian mereka akan pengajaran
pra-kekristenan dimana individu-individulah yang menjadi pusat perhatian.
Humanisme berkembang dengan menemukan pokok perhatian dalam
dirinya sendiri.
Antropologi humanis pada bagian yang paling dasar menemukan
bahwa seorang pribadi memiliki kemampuan untuk belajar dan dapat
diajar. Pengetahuan adalah segalanya; yang paling diperlukan. Pendidikan
menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh setiap pribadi. Karena
setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, maka
humanisme modern sangat bersifat optimistik. Filsafat egosentris ini
secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang mencari kejelasan
mutlak dalam konsep ‘keraguan’. Descartes bukanlah seorang peragu tanpa
prinsip yang jelas dan berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan
kebenaran, Ia sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius
mencari kebenaran melalui metodenya sendiri berdasarkan observasi
empiris atau deduksi rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang diperoleh

Sejarah Intelektual
72

oleh Descartes hanyalah ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang
tidak dapat disangkali: Cogito, ergo sum saya berpikir, karena itu, saya ada.
Pendekatan Alasan (Reasoning) Descartes ini serupa dengan karakteristik
pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi antroposentris.
Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka
jalan bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji Program Pencerahan
(Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas).
Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang
pandangan antropologi humanisme ini dalam tulisannya, “De servo
arbitrio”. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther mewaspadai keadaan
keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita kepada
karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang
menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi
pribadi yang baik.
Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak
pakar sudah meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun,
ramalan ini ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Abad kedua puluh
dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis dengan kelompok
Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas
gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha
membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada
rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam kekristenan
melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme.
Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari
iman kekristenan. Prinsip penafsiran ‘Historis-Kritis’ pun menjadi prinsip
utama dalam penafsiran Alkitab. Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi
dianggap berotoritas ilahi.
Di dunia yang sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk
bertahan melawan segala perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat
menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia
modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-peranakan
dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman baru.

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


73

 2. Dari Modernisme ke Postmodernisme


Tantangan modernisme yang sedemikian menekan kekristenan
belumlah usai ketika gereja kemudian harus berhadapan dengan filsafat
baru postmodernisme. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha
memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan,
postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran
yang bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih sulit
karena sesungguhnya pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan
postmodernisme telah mulai menancapkan akar-akarnya semakin dalam.
Kekristenan seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu yang
segera akan bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai
implikasi permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas
mengenai filsafat postmodernisme ini.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta
tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern.
Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan
delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan
dua puluh awal memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu:
reason, nature, happiness, progress dan liberty. Semangat ini harus diakui
telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan
dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia
yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun,
tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak
negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata
sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi
justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang
modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.
Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh.
Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah
manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia
untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya
ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan
teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang

Sejarah Intelektual
74

dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil


menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua
orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua
orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologi instan yang ada saat ini justru
menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah
postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah
mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900),
namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun
1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung
datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang
mempengaruhi aliran baru dalam filsafat. Dekonstruksi merupakan
sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis dalam sastra
yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti
secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah
benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan
muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak
langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat
menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang
boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran
masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya
kepada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda
oleh masing-masing orang. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai
atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai obyektif –
dalam artian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subyektif;
dan pemaknaan subyektif menjadi kebenaran bagi pribadi bersangkutan.
Karena itu, postmodernisme tidak mengakui adanya satu kebenaran dan
modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna tunggal
dalam dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


75

Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa


pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan,
postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme. Harapan
untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap
kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern
dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang
arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya.
Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para
penghuni ‘rumah-susun’ itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan
penghuninya secara utuh. Charles Jencks seorang arsitektur postmodernis
mengatakan bahwa peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian
modernisme dan kelahiran postmodernisme.
Walaupun ada cukup banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh
postmodern dalam berbagai aspek kehidupan, sangat penting diperhatikan
bahwa gerakan baru ini bukanlah anti terhadap hasil-hasil yang dicapai
oleh era modern. Yang menjadi titik perlawanan postmodern terhadap
modernsime adalah cara pandang (worldview) dan filsafat modernis yang
dianggap gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis pada intinya adalah
pembongkaran cara pandang dan asumsi-asumsi dasar dibalik segala cita-
cita modern yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai
bencana. Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa postmodern
lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang
mendominasi masyarakat kini.
3. Perbedaan Modern dengan Postmodern
Dari pembahasan di atas, kita telah melihat bagaimana pergeseran era
itu nampaknya berjalan dengan perlahan tapi pasti. Pergeseran modernisme
ke postmodernisme memang bukanlah sebuah revolusi yang tiba-tiba, tetapi
lebih merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang waktu
tertentu. Ketidakpuasan terhadap hasil era modern tidak terlalu menonjol
sampai adanya ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama,
e.g. perang nuklir; sejak itulah modernitas dianggap lebih menghasilkan
kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian, modernisme jelas
bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh. Pemikiran pun

Sejarah Intelektual
76

bergeser ke arah yang dianggap lebih baik dan disinilah postmodernisme


mengambil peran utamanya.
Secara rinci, adalah mustahil untuk mendefinisikan postmodernisme
secara utuh. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketidaksepahaman pula
akan ‘modernitas’ yang digantikan oleh postmodernis. Kenyataannya, kata
postmodern sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Kata ‘modern’
sendiri berarti ‘terbaru, barusan, mutakhir’; sedangkan kata ‘post’ (pasca)
berarti ‘sesudah’.  Jadi secara harafiah sesungguhnya pengertian postmodern
mengandung makna pengingkaran, maksudnya ‘sesuatu’ itu bukan
modern lagi. Jadilah kemudian postmodernisme mengaburkan pengertian
modernisme.
Postmodernisme secara umum dapat berarti sensibilitas budaya
tanpa nilai absolut. Hal ini kemudian membuat jalan bagi pluralisme
dan keragaman pemikiran. Pada intinya, postmodern sebagaimana
berulang kali ditekankan oleh Grenz merupakan reaksi menentang
totalisasi Pencerahan. Pada saat modernisme berada pada titik ‘krisis
identitas’ ketika berhadapan dengan banyak masalah, postmodern
seakan memberikan sebuah sudut pandang yang lebih realistis.
Masyarakat yang sudah lelah dan putus asa pun segera berpaling untuk
mendapatkan ‘rekreasi’ dari tekanan dan kefrustrasian yang ditimbulkan
oleh modernitas. Dari sini, kita dapat segera menyimpulkan bahwa
memang modernisme dan postmodernisme menawarkan perbedaan
yang berarti.
Berbicara mengenai kedua filsafat ini secara berdampingan,
seringkali banyak orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan titik
temu yang tepat. Perbedaan antara kedua era ini sulit dirumuskan karena
memang seperti yang telah dikemukakan di atas definisi atau pengertian
keduanya masih terlalu kabur untuk dirumuskan. Namun, perbedaan
umum antara modernisme dengan postmodernisme dapat disimpulkan
dalam kontras sebagai berikut;

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


77

Modernism Postmodernism

Purpose (Tujuan) Play (Permainan)


Design (Rencana) Chance (Kesempatan)
Hierarchy (Hirarki) Anarchy (Anarkhi)
Centring (Berpusat) Dispersal (Tersebar)
Selection (Seleksi) Combination (Kombinasi)
Perhatikan bagaimana kata-kata yang menggambarkan modernisme
memiliki nuansa yang kuat akan kemampuan (ability) subyek pemikir
untuk menganalisa, menyusun, mengontrol dan menguasai. Sedangkan,
yang berada di bawah kategori posmodernisme juga memberikan indikasi
kekuatan yang sama akan ketidakmampuan (inability) dari subyek pemikir
untuk menguasai atau mengontrol sehingga mereka harus meninggalkan
segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. Dalam hal ini,
implikasi perbedaan kedua pemikiran ini sangat terasa dalam aspek
religius.
4. Implikasi Pergeseran Modernisme Ke Postmodernisme
Terhadap Kekristenan
Tanpa nilai absolut yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam
segala hal, postmodernisme memberikan kebebasan yang tidak pernah ada
sebelumnya dalam sejarah dunia. Kebebasan yang seperti ini -tidak dapat
tidak jelas telah membuka jalan bagi relativisme dan pluralisme. Pluralisme
dalam aspek keagamaan telah menciptakan sebuah ‘warna’ baru lagi bagi
posisi kekristenan dalam dunia. Jika di era modern kekristenan mendapat
tekanan yang hebat dari kaum rasionalis pencerahan, sebaliknya dalam
era postmodern, kita mendapatkan ‘pengakuan’. Namun pengakuan yang
diberikan ini pun memiliki nada tuntutan agar kekristenan pun dapat
mengakui ‘kebenaran’ yang lain. Demikianlah, kekristenan mendapat
tekanan untuk dapat pula menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam hal ini, dari kelompok kristen sendiri muncul tiga pendekatan yang
berbeda. Ada yang berusaha mengakomodasi filsafat postmodern ke dalam
iman kristen yang jelas mengarah pada penerimaan pluralisme agama (e.g.
David Tracy); ada yang mencari jalan tengah dengan metode sintesis (e.g.

Sejarah Intelektual
78

George Lindbeck dan Stanley Grenz); dan ada pula yang secara ekstrim
menolak postmodernisme (e.g. Carl Henry).
Bagian Teologi Kristen yang paling segera harus mengalami penyesuaian
adalah apologetika usaha untuk mempertahankan dan memberitakan klaim
kebenaran bagi dunia. Secara apologetis, kekristenan harus dapat memberikan
jawaban atas pernyataan mengapa kebenaran kekristenan harus ditanggapi
dengan serius di tengah begitu banyak alternatif. Di dunia postmodern tidak
seorang pun dapat mengklaim memiliki kebenaran yang paling benar. Semua
kebenaran bagi pribadi-pribadi adalah kebenaran valid. Tidak seorang pun
memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang lain. Tidak ada
standar lagi untuk menentukan benar atau salah; satu-satunya standar adalah
diri sendiri. Disinilah tantangan terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri
teguh dan mengerjakan pemberitaan injil sebagaimana yang Tuhan Yesus
perintahkan.
5. Kekristenan di Tengah Postmodernisme
Douglas Groothuis mengatakan bahwa kondisi sosial yang diciptakan
postmodernisme mempengaruhi semua orang baik modernis, orang kristen
maupun postmodernis. Ia juga menyatakan bahwa kesaksian kekristenan
akan kebenaran Kristus dan injilnya dalam masa postmodern ini berarti
menjadi tahu bagaimana kenyataan postmodern secara budaya. Hal ini
tidak berarti kita menyerah kepada filsafat mereka, tetapi kebudayaan atau
cara pikir merekalah yang harus kita manfaatkan. Dalam hal ini, sebagai
orang kristen, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika kita hidup
dalam masa postmodernisme, yakni;
Pertama, Kesempatan untuk memberitakan Injil secara luas.
Walaupun sepertinya kekristenan berada dalam tekanan untuk harus
mengakui kesamaan dan kesejajaran dengan agama lain, sesungguhnya kita
justru dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk ‘unjuk gigi’. Jika dulu
kita ditolak mentah-mentah oleh modernis rasionalis, pengakuan yang
diberikan oleh filsafat postmodern bagi kekristenan merupakan kesempatan
emas bagi kita untuk memberitakan kabar keselamatan dalam Kristus
kepada banyak orang. Dalam hal ini pluralisme agama yang terbentuk

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


79

menjadi celah bagi kita untuk memaparkan kebenaran kristen kepada umat
beragama lain. Misalnya, pelaksanaan simposium keagamaan Muslim-
Kristen akan menjadi celah untuk memasukkan kebenaran iman kristen
pada pikiran mereka yang berpandangan lain. Tidak apa jika kita ditolak,
tetapi bagaimanapun pemikiran kristen tersebut telah kita sampaikan untuk
mereka mengerti sedikit banyak.
Kedua, Kesempatan untuk menjangkau mereka yang kecewa
terhadap modernisme. Idealisme modern telah gagal menjamin kenyamanan
dan kesejahteraan umat manusia. Banyak orang telah menaruh harapan
mereka kepada ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan
masalah mereka telah merasa putus asa. Inilah waktunya bagi kekristenan
untuk memberikan kepada orang-orang sedemikian jaminan yang sempurna
dan kekal dalam janji Tuhan bahwa hanya Tuhan, Dialah satu-satunya yang
menjanjikan kebahagiaan yang sejati.
Ketiga, Kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang absolut
bagi kerancuan yang ditimbulkan postmodernisme. Sebenarnya tidak
seorangpun yang dapat hidup tanpa standar kebenaran yang diterima
secara universal. Kebebasan yang ditawarkan postmodernisme nampaknya
hanyalah sebuah konsep yang dimunculkan sebagai ‘obat penenang’ bagi
banyak orang yang kecewa dan frustrasi terhadap mimpi kebahagiaan
modernis. Kenyataannya, kebebasan memegang kebenaran pun jelas
membuka lebih banyak celah bagi perselisihan. Apakah kebenaran yang
sejati menghasilkan kontradiksi? Tentu saja tidak seharusnya demikian.
Kebenaran seperti apa yang menghasilkan kontradiksi? Siapa yang
bersedia hidup dengan kebenaran yang menghasilkan perang?  Dari
pergumulan inilah, kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang mutlak
dalam Kristus Yesus. 
Dari ketiga masukan di atas, sangat jelas bahwa sebenarnya kekristenan
sesungguhnya justru mendapatkan kesempatan yang baik untuk membuat
perbedaan. Pokok penting yang harus diperhatikan kaum kristen adalah
back to the Bible (kembali kepada Alkitab) dan berdiri kokoh dalam iman.
Keteguhan umat Kristen tinggal tetap dalam iman dan menolak pengaruh

Sejarah Intelektual
80

postmodernisme akan membuat banyak orang berpikir dan ‘tertarik’


untuk mengenal kekristenan. Sebaliknya, jika kekristenan terpengaruh
akan postmodern dan mengadopsinya ke dalam gereja; kekristenan akan
menjadikan dirinya sendiri ‘sama’ dengan kebenaran yang lain dan semakin
tidak diperhatikan.
Di tengah pergeseran era modernisme ke postmodernisme ini,
kekristenan memang seakan dipaksa berdiri di antara dua perahu; namun,
bagaimanapun, gereja harus tetap memiliki imannya dengan teguh.
Keyakinan dan keteguhan inilah yang tidak ada dalam filsafat modernisme
maupun postmodernisme. Dan inilah, yang kita dapat tawarkan bagi dunia.
Inilah yang harus tetap menjadi perbedaan kekristenan di tengah dunia
ini. Dalam hal ini, gereja Tuhan perlu terus berdiri dan bersandar kepada
Roh Kudus untuk dapat bertahan dalam imannya. Gereja Tuan tidak
boleh lengah. Tawaran kebebasan yang disediakan oleh Postmodernisme
dapat menjadi sebuah pencobaan dan godaan yang besar bagi gereja
untuk kemudian jatuh. Hal ini tentu tidak boleh terjadi. Karena itu,
untuk menjawab tantangan zaman ini gereja Tuhan dan kekristenan harus
membuat perbedaan.

C. Pemikiran Posmodernisme
Gegar posmodern cukup memeriahkan rimba belantara intelektual
bangsa Indonesia, terutama memperbincangkan masalah-masalah
kesenian, kebudayaan, sastra bahkan lebih-lebih filsafat. Gerakan
posmodernisme berhasil menawarkan opini, menyampaikan apresiasi serta
menancapkan kritik terhadap wacana modernitas dan kapitalisme global.
Issue posmodernisme merupakan implikasi dari terjadinya pergeseran dan
peralihan dalam msyarakat secara mendasar.
Kehadiran posmodernisme pernah digunakan oleh filsuf Jerman
Rudolf Pannwitz (1917) dia menggunakan posmodern secara kritis untuk
menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat Modern. Pada
awalnya akata ini menurut kabarnya dipakai dalam seni oleh Federico de
Onis pada tahun 1930-an dalam sebuah karyanya yang menunjukkan
reaksi akan adanya modernisme. Demikian juga dengan sejarawan besar

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


81

Arnold Toynbee dalam A Study of history pada tahun 1947. Terminologi


posmodernisme merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah
baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat,
surutnya individualisme, kapitalisme, dan kristianitas, serta kebangkitan
kebudayaan non-Barat.
Istilah posmodernisme berlanjut terkenal dalam bidang arsitektur
seperti Charles Jencks dalam bukunya “What is Postmodernism,” sedangkan
dalam bidang sosial-ekonomi dikembangkan oleh Daniel Bell dalam
tulisannya yang berjudul “Beyond Modernis, Beyond Self”. Selanjutnya
dikembangkan oleh ilmuwan Frederic Jameson dalam bukunya “New Left
Review” tahun 1984dalam bidang kebudayaan. Dia menyatakan bahwa
posmodernisme merupakan logika kultural yang membawa transformasi
dalam suasana kebudayaan umum. Akhirnya tokoh yang terkenal untuk
pemikiran postmodernisme adalah Francois Lyotard dalam bukunya yang
berjudul: “the Posmodern Condition: A Report on Knowledge pada tahun
1984. Buku itu merupakan laporan untuk Dewan Universitas Quebec
di Kanada yang berisi tentang perubahan-perubahan di bidang ilmu
pengetahuan dalam masyarakat industri maju akibat pengaruh teknologi
baru. Akibat pengaruh teknologi baru yaitu teknologi informasi tersebut
prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat
modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Prinsip
homologi (kesatuan ontologis) tersebut akan bergeser seiring dengan
pengaruh dahsyatnya teknologi informasi. Dengan demikian prinsip
tersebut harus dideligitimasi oleh paralogi atau ide pluralis (Lyotard,
1984: 58).
Akhirnya posmodernisme sesungguhnya adalah suatu ikhtiar yang
tidak pernah berhenti untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan
revolusi kehidupan terus-menerus. Posmodernisme adalah sebuah gerakan
global renaisans atas renaisans; pencerahan atas pencerahan (Suyoto, 1994;
26). Sedangkan Scot Lash dari Universitas Lancaster biasanya mendekati
posmodernisme kedalam dua pendekatan, yakni: Pertama, melihat
posmodernisme sebagai periodesasi. Kedua, melihat posmodernisme
sebagai epistemologis.

Sejarah Intelektual
82

Posmodernisme hanya dapat dilihat dalam tiga pendekatan yakni:


Pertama, pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan
tetapi cenderung kembali pada pola berpikir pramodern. Hal itu terlihat
dari pemikiran metafisika new age oleh Frischop Capra. Kedua, pemikiran-
pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan banyak berurusan
dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer digunakan adalah
dekonstruksi yang berusaha membongkar segala unsur yang penting
dalam gambaran dunia modern. Tokoh-tokohnya antara lain Foucault,
Derrida, Lyotard dan Fattimo. Ketiga, Segala pemikiran yang hendak
merevisi modernisme tidak dengan menolak modernisme itu secara total,
melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern. Habermas yang
mengembangkan mazhab Franfurt adalah tokoh penting ide pemikiran ini.

D. Pemikiran Postkolonial
Pemikiran tentang poskolonial dipopulerkan oleh Bill Ashcroft pada
tahun 1989 sampai menjelang abad ke-21, namun perkenalan tentang
pemikiran orientalisme juga diperkenalkan oleh Edward Said yang menulis
tentang orientalisme di tahun 1978. Kemudian untuk selanjutnya
dipopulerkan oleh Bill Ashcroft tersebut. Pemikiran-pemikiran Edward
Saidpun dikembangkan oleh Michel Foucault yakni mencakup bukan
sekadar kelompok-kelompok tanda atau unsur-unsur pemaknaan yang
mengacu kepada isi atau representasi, melainkan praktek-praktek yang
secara langsung dan sisrtematis membentuk objek yang dibicarakan.
Tokoh Edward Said juga mengembangkan pemikiran tentang “oposisi
biner” (serba dua) yang sadar atau tidak mengembangkan pola pemikiran
Jacues Derrida tentang teori dekonstruksi dalam tulisan-tulisannya yang
berjudul: “De la Grammatologie.” Sebelum oposisi biner diperkenalkan
maka ada pemikir-pemikir utama yang telah mendikotomikan penjajah dan
yang dijajah seumpamanya: Frantz Fannon dan Abert Memmie. Mereka
adalah para pendahulu teori postkolonial sejak tahun 1930-an yaitu sebelum
merebaknya teori dekonstruksinya Derrida. Fanon yang selalu menggugah
kolonialisme yakni suatu oposisi antara penjajah dan yang dijajah dalam
suatu hubungan yang antagonistis dan penuh konflik, tidak bisa tidak

3 - Pemikiran Pragmatis, Modernisme, ke Postmodernisme dan Postkolonial


83

merupakan kenyataan yang harus diterima. Proses pemberontakan yang


dijajah untuk melawan kolonialisme dan proses pemerdekaan mau tidak
mau harus ada pembalikan hirarkis. Fanon sendiri menekankan pada
adanya ketidakstabilan identitas terutama pada masa revolusi. Sedangkan
Memmie selain menggambarkan psikologi sosial penjajah dan yang terjajah,
juga mengelaborasi ambivalensi dan konflik internal yang dirasakan oleh
kelompok penjajah yang tidak setuju atau kritis terhadap sistem kolonial
itu sendiri (Memmi, 1965).
Teori pascakolonial memberikan paradigma, metode, dan alat bantu
untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan yang barangkali kurang
bisa dikaji dengan teori lainnya. Namun, perangkat dasar teori ini yakni
oposisi biner dan hubungan kekuasaan yang antagonistis dapat menjadi
jebakan yang mengarah pada eksklusifisme, esensialisme, dan pembalikan
represi, pengulangan dari kecenderungan yang justeru menjadi sumber
kritikan para pelopor teori pascakolonial.

Sejarah Intelektual
BAB IV
FILSAFAT DAN KEBERADAAN
MANUSIA

Bila kita berbicara mengenai makna hidup maka itu berarti pula kita
membicarakan mengenai arti menjadi manusia, karena hidup yang kita
maksud bukanlah hidup dalam konteks vegetatif (nutritif, reproduksi dan
tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif, sensasional, and
mobile) tetapi lebih dari itu, hidup sebagai hewan yang dapat berpikir kalau
kita meminjam istilah manusia menurut Aristoteles atau hidup sebagai
suatu makhluk yang memiliki kesadaran.
Memikirkan manusia sama saja dengan memikirkan sesuatu yang lebih
luas dari pada ruang angkasa dan lebih dalam daripada samudera manapun.
Manusia sampai sekarang adalah sesuatu yang tetap menjadi misterius,
lebih misterius dibanding legenda manapun yang pernah terkuak oleh para
arkeolog dan sejarawan modern. Semakin banyak spesialisasi bidang ilmu
pengetahuan yang objek materialnya adalah manusia semakin tebal pula
hijab kemisteriusan manusia.
Dalam tradisi ilmu pengetahuan dan filsafat ada kesamaan tujuan
saat melakukan penelitian, penjelasan terhadap manusia yaitu mengetahui
hakikat, esensi ataupun hukum yang merupakan intisari dari manusia
sesuai dengan asumsi-asumsi serta metodologi yang mendasarinya.
Hakikat manusia ini disebut dengan The Real I, setiap bidang pengetahuan
ataupun aliran pemikiran memiliki interpretasi tersendiri terhadap the
Real I. Ironisnya semakin cabang-cabang ilmu dan pemikiran tersebut
86

mengeksplorasi tema manusia secara tidak sadar telah terjadi proses


detachment (penjarakan atau pengelakan) yang berlapis (stratified) terhadap
manusia dan kemanusiaan. Hal ini disebakan karena The Real I adalah sesuatu
yang abstrak dan murni ide sedangkan dalam aktivitas pengkonsepsian dan
teoritisasinya menggunakan bahasa yang sifatnya konkrit dan kondisional.
Sehingga hakikat manusia dan kemanusiaan yang sifatnya universal telah
terkotak-kotak dan terpotong-potong ke dalam manusia dan kemanusiaan
yang relatif.
Tragedi dalam bidang pemikiran, kita harus rendah hati mengakui
keterbatasan kita dalam membangun diskursus ataupun konsepsi tentang
manusia, sebab sudah menjadi takdir kita terlempar dalam dunia dimana
kita berada dalam struktur dan jejaring teks atau tanda. Tetapi hal itu tidak
menjadikan kita orang yang pesimis dan tidak melakukan pengkonsepsian
apapun terhadap manusia dan kemanusiaan kita, sebab pengkonsepsian
kita adalah salah satu bentuk keterlibatan kita dalam kemanusiaan kita,
sebab apalah artinya kita sebagai manusia tetapi kita absen dalam drama
kemanusiaan. Oleh karena itu, tulisan ini adalah hasil proses refleksi atau
pemaknaan terhadap kemanusiaan. Proses pemaknaan adalah sesuatu
yang memelihara kedirian manusia. Maka, tidak selayaknya bila sebuah
pemaknaan di paksakan pada pihak lain, hal ini hanya akan menghancurkan
otonomi orang lain bahkan diri kita sendiri.
Manusia sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen sistem
yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang antara satu dengan yang lainnya
saling mempengaruhi dalam satu integritas yang kuat. Di sini manusia
dipandang terdiri atas dua unsur kemanusiaan, yaitu komponen psikologis
dan fisiologis atau komponen rohani dan jasmani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), “manusia” diartikan
sebagai makhluk yang berakal budi. Dari sudut antropologi filsafat, hakekat
(esensi) manusia diselidiki melalui tiga langkah, yaitu:
1. Langkah pertama, pembahasan etimologi manusia yang dalam
bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo Saxon,
man). Apa arti dasar kata ini tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


87

dikaitkan dengan mens (Latin), yang berarti “ada yang berpikir”.


Demikian halnya arti kata anthropos (Yunani) tidak begitu jelas.
Semua antrophos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Akan
tetapi sekarang kata itu dipakai untuk mengartikan “wajah
manusia”. Akhirnya, homo dalam bahasa latin berarti ‘orang yang
dilahirkan di atas bumi
2. Langkah kedua, pembahasan hakekat manusia dengan indikasi
bahwa ia merupakan makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana
semua benda duniawi, hanya saja ia muncul di atas bumi untuk
mengejar dunia yang lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk
jasmani yang tersusun dari bahan meterial dan organis. Kemudian
manusia menampilkan sosoknya dalam aktivitas kehidupan
jasmani. Selain itu, sama halnya dengan binatang, manusia memiliki
kesadaran indrawi. Namun, manusia memiliki kehidupan spiritual-
intelektual yang secara intrinsik tidak tergantung pada segala sesuatu
yang material. Karena itu, pengetahuan ruhani manusia menembus
inti yang paling dalam dari benda-benda, menembus eksistensi
sebagai eksistensi, dan pada akhirnya menembus dasar terakhir dari
seluruh eksistensi yang terbatas: Eksistensi absolut (Mutlak = Allah).
3. Langkah Ketiga, perkembangan universal dari kecenderungan-
kecenderungan kodrat manusiawi pada akhirnya akan menuju
kepada kemanusiaan yang luhur yang dinyatakan oleh humanisme
sebagai tujuan umat manusia, yang merupakan subjek dari proses
historis dalam proses perkembangan kultur material dan spiritual
manusia di atas bumi. Manusia merupakan manifestasi makhluk
bio sosial, wakil dari spesies homo sapiens. Menurut Alex M. A.
dalam Cremers (1997), “homo sapiens” adalah manusia mempunyai
potensi berpikir dan kebijaksanaan.

A. Berfikir Agamais Dan Matematis


“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya”. (Q.S. Al

Sejarah Intelektual
88

Isra’:36). Istilah sains dan agama mengandung pengertian yang dipahami


secara berlawanan oleh banyak orang. Sains dalam cara kerjanya bertolak
dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, sains
banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan
pengalaman. Sains membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran
yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu
mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak
terlalu memperhatikan aspek logisnya. Perbedaan tersebut menimbulkan
konflik berkepan-jangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis
dengan orang yang berfikir agamis, padahal filsafat dan agama mempunyai
fungsi yang saling melengkapi nilai kesempurnaan, keduanya tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar sains adalah belajar untuk memahami hakekat kehidupan
manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar
sains, kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains
seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai
penghuni alam semesta ini. Dan hal ini telah secara eksplisit dikemukakan
dalam semua kitab suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikait-
kaitkan dengan kaidah sains.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan
“gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam
kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti
itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup
manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang
meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan
itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin
relegere yang berarti mengumpulkan, membaca. Sidi Gazalba mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi mengandung
makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat
norma-norma dan aturan yang ketat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang
berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


89

yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Jadi religi adalah
hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu
terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan
bisa pula berbentuk pribadi manusia. Selain itu, dalam al-Quran terdapat kata
din yang menunjukkan pengertian agama. Muhammad Abdul Qadir Ahmad
mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem
hidup yang diterima dan diridhai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan
Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya.
Agama (Islam) sangat menjunjung tinggi ilmu (pengetahuan). Hal ini
dapat kita lihat akan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk
mencari ilmu dan berpikir. Ilmu bagi manusia yang menjadi khalifatul fil ‘ardh
(wakil Tuhan di bumi) berfungsi sebagai alat dalam mencapai kesejahteraan
dan rahmatan lil ‘alamien. Manusia adalah pengelola alam (Q.S. Yunus:14).
Religion without Science is Blind
Science without Religion is Lame.
(Albert Einstein)

1. Sains Tidak Sepenuhnya Rasional


Sains berdiri di atas pemikiran-pemikiran rasional dan pembuktian
secara empiris, namun tidak sepenuhnya. Ada hal- hal yang menjadi
bagian yang esensial pada sains, akan tetapi tidak dapat diwujudkan
dalam dunia empiris maupun tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara
rasional. Misalnya, matematika dapat dipandang sebagai suatu disiplin ilmu
yang bernaung di bawah bendera sains. Matematika adalah suatu sistem
aksiomatis yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Ada unsur prima (underfined terms).
2. Ada seperangkat postulat (unproven statements).
3. Semua defenisi atau teorema dibuat dengan menggunakan unsur
prima, postulat, defenisi atau teorema yang sudah ada sebelumnya.
4. Nilai benar dan salah ditentukan atau diukur oleh hukum-hukum
yang sudah ada.

Sejarah Intelektual
90

Dari karakteristik matematika ini, kita dapat menunjukan bahwa


ada unsur-unsur yang diterima begitu saja tanpa dipersoalkan dari mana
datangnya. Begitu pula pernyataan-pernyataan yang disebut Aksioma
atau Postulat yang kebenarannya diterima tanpa dapat dijelaskan secara
rasional. Jadi, ada kesamaan antara kehidupan beragama dengan berpikir
matematis. Kalau kita menelaah kehidupan beragama, konsepnya tidak jauh
berbeda dengan konsep berpikir matematis. Dalam kehidupan beragama,
kita menerima suatu hukum dasar (tidak kita buktikan kebenrannya
secara empiris), akan tetapi digunakan untuk menilai dan menghasilkana
aturan-aturan baru. Hukum dasar dalam kehidupan beragama ini dapat
disepadankan dengan sistem postulat dalam berpikir matematis. Seperangkat
postulat dapat digunakan untuk membangun sebuah bangunan matematika
memiliki beberapa kriteria. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem postulat itu harus lengkap. Artinya, pernyataan apa saja
yang dibuat tentang unsur- unsur prima atau unsur- unsur lainnya
dapat dibuktikan benar atau salah dengan menggunakan postulat-
postulat tersebut secara langsung atau tidak langsung, melalui
hukum- hukum yang sudah diturunkan.
2. Sistem postulat itu harus konsisten. Artinya, hukum-hukum yang
dihasilkan oleh sistem postulat itu tidak akan membenarkan dua
atau lebih pernyataan yang bertentangan. Setiap pernyataan hanya
bisa benar atau salah, dan tidak bisa benar dan salah sekaligus.
3. Sistem postulat itu harus ketat. Artinya, kalau ada suatu postulat yang
dapat diturunkan dari sistem postulat-postulat lainnya, maka postulat
tersebut harus dikeluarkan dari sistem postulat, atau dijadikan
teorema. Dengan keketatan ini, kalau suatu postulat diganti dengan
kontradiksinya, sistem postulat tersebut tetap utuh dan memenuhi
sifat kelengkapan, kekonsistenan, dan keketatan. Jadi, akan berbentuk
suatu sistem postulat yang baru dan berlaku di dunia lain.
Kembali kita hubungkan matematikan dengan kehidupan beragama.
Dua sifat sistem postulat, yaitu kelengkapan dan kekonsistenan juga
seharusnya menjadi ciri suatu hukum dasar agama yang sempurna.

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


91

Kelengkapan hukum tidak akan mengakibatkan kebimbangan dalam


mengambil suatu keputusan. Sifat konsisten tidak akan mengakibatkan
adanya kontradiksi. Dengan demikian, agama akan memberikan suasana
kehidupan yang tentram penuh damai jika seluruh hukum-hukumnya
dipatuhi oleh pemeluknya. Kalau kita gunakan matematika sebagai model
dalam kehidupan beragama, kita tidak bisa menggunakan hukum-hukum
agama A untuk menilai tingkah laku penganut agama B. Kalau agama A tidak
sama dengan agama B, secara konseptual penganut agama A hidup dalam
dunia yang berbeda dengan duniannya penganut agama B. Konsekuensi dari
pandangan ini bahwa tidak mungkin ada toleransi kehidupan beragama
diantara pemeluk agama yang berbeda. Hal yang mungkin terjadi adalah
toleransi kehidupan antara orang- orang yang menganut agama berbeda.
Suatu sifat yang dapat diraih dari matematika adalah sifat ketaatan
dan kepatuhan pada hukum. Matematika memiliki ketegasan tentang
nilai benar dan salah . Misalnya,kita dapat menerapkan cara matematika
membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan, semata-mata berdasarkan
hukum-hukum yang diterima kebenarannya tanpa menghiraukan hukum-
hukum lain diluar postulat yang digunakan. Jadi, kalau diterapkan dalam
kehidupan beragama, penganut agama A harus meyakini penuh kebenaran
tindakannya, sepanjang tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum
agama A, sekalipun tindakan itu tidak dibenarkan oleh hukum agama B,
misalnya.
F. Budi Hardiman (2007) mengemukakan ada tiga posisi untuk
memahami hubungan antara sains dan agama dalam pencarian makna.
Dengan makna di sini dimaksudkan terutama ’kebenaran’. Pertama, sains
dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna.
Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam
pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang
sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
Kaum agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan
daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia
mau menjadi baik. Orang beragama diharapkan menggunakan anugerah

Sejarah Intelektual
92

Sang Pencipta, yaitu akal budi. Jangan sampai akal budi dikesampingkan
dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharapkan betul-betul
memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah
dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu.
Hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat kita
belajar tentang diri kita sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan
kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan
interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan
manusia. Albert Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu
pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta.
Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan.
(Rakhmat. 2003).
2. Antara Berpikir Agamais dan Berpikir Matematis
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Sains tidak Sepenuhnya Rasional”
Muh. Arif Tiro (1994) mengemukakan tentang kekurangan “Philosophy of
Science” dalam meletakkan kerangka pemahaman ilmiah terhadap peristiwa
Isra’ Mi’raj. Ciri berpikir filosofis dalam dunia matematika adalah satu
kesatuan kerja pikir yang berpijak pada sejumlah unsur prima (undefined
terms), dalam kerangka sejumlah postulat (unproven statement), yang
kemudian diposisikan dalam sejumlah teorema matematis sehingga secara
hierarkis ketiganya memberikan nilai benar dan salah secara matematis.
Menurut Muh. Arif Tiro bahwa sains tidak sepenuhnya rasional dengan
argumen bahwa tidak terhindar dari dogma. Sains harus berangkat dari
penerimaan dogmatis sejumlah unsur prima (undefined terms) dan postulat
(unproven statement). Kita tidak bisa meletakkan matematika sebagai model
kehidupan beragama, dalam hal ini Islam. Naif; sebab Ajaran Islam telah
memberi model kehidupan beragama itu sendiri lengkap dengan keharusan
keilmiahannya dengan model sebagaimana dikemukakan di atas. Sangat naïf,
sebab betapa mungkin suatu wilayah berpikir yang lebih sempit memodeling
sesuatu yang lebih luas. Bahwa ajaran Islam akan kita jabarkan ke dalam suatu
aspek keilmuan dengan model yang berangkat dari paradigma yang diberikan

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


93

sendiri tentu itu suatu hal lain dan tidak dengan sendirinya harus berarti
konsep sains yang ada sekarang ini, seperti halnya konsep matematika yang
dikemukakan oleh bapak Muhammad Arif Tiro, sudah cukup memenuhi
untuk mengakomodir tuntutan penjewantahan Ajaran Islam itu dalam dunia
ilmu.
Hukum agama A hanya bisa digunakan bagi perilaku penganut agama
A, demikian sebaliknya bagi perilaku penganut agama B. Dalam hal ini
perlu diketahui bahwa penilaian itu tidak bisa dihindarkan. Kemudian, kita
tidak bias memaksanakan berlakunya nilai yang kita gunakan secara empiris
pada orang lain, juga itu bagian ajaran Islam. Sehingga dengan demikian
penilaian atas dasar hukum agama kita tetap bias berjalan dan toleransi bisa
berjalan.
3. Kehidupan Agama dan Berpikir Agamais
Membicarakan kehidupan beragama identik dengan membicarakan
berpikir agamis, satunya kata dan perbuatan, demikian kata pepatah kuno
yang seharusnya dipertahankan tetap relevan pada masa kini dan masa
yang akan datang. Pada prinsipnya terdapat perbedaan yang mendasar
antara sistem postulat dalam matematika dengan hukum dasar dalam
agama. Hukum dasar dalam agama adalah sesuatu yang kita terima dan
yakini kebenarannya dan harus mempertaruhkan segalanya kalau ada yang
ingin mengganggu gugat hukum dasar agama yang kita anut. Sedangkan
sistem postulat dapat diubah dan diganti kapan saja tanpa ada resiko
murtad atau pindah keyakinan. Oleh karena itu kita tidak bisa meletakan
dasar matematika sebagai model dalam kehidupan beragama, sebab betapa
mungkin suatu wilayah berpikir yang lebih sempit dapat memodeli sesuatu
yang lebih luas. Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu dari kehidupan
beragama yang relevan untuk diterapkan logika berpikir matematis.
Model dalam matematika merupakan sebuah representasi fisik dari
struktur-struktur material yang memiliki hubungan skala dengan objek yang
sedang diselidiki. Secara garis besar model dapat dibedakan menjadi dua
bagian utama yaitu model normatif dan model deskriptif. Model normatif
mengandung makna adanya standar kebenaran atau aturan-aturan hukum

Sejarah Intelektual
94

sehingga model normatif menjelaskan apa yang seharusnya, sedangkan


model deskriptif menjelaskan fakta dan hubungan.
4. Menggusur Jarak antara Pemikiran dan Perilaku
Perbedaan antara hukum dasar dalam agama dan postulat dalam
matematika bukanlah sekedar pada sikap tetapi perbedaan mendasarnya
justru pertama-tama harus dilihat pada sumbernya, proses, substansi
dan sifatnya. Postulat dalam dunia ilmu bersumber dari manusia yang
diformulasikan melalui proses yang mengandalkan pemikiran manusia
itu sendiri melalui pencarian yang pada hakekatnya berawal secara
spekulatif dan sembarang dan secara substansial adalah kalimat manusia
(klaummunnas). Dengan demikian pada dasarnya postulat bersifat relatif
dalam hal kebenarannya. Di lain pihak sumber hukum dasar agama (nash)
ialah Allah. Sumber hukum dasar agama tidak diperoleh melalui proses
kerja berpikir, tidak spekulatif dan sembarang, dan adalah kalamullah yang
mutlak benar.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa perbedaan antara hukum
dasar agama degan postulat bukanlah pada sikap terhadapnya, yang
notabene sikap yang sama dapat ditunjukkan oleh kalangan bukan ilmuwan,
melainkan lebih ditekankan dalam hal kedudukan filosofinya dalam konsep
berpikir, yakni bahwa nash agama itu secara hirarki masih berada dan harus
didudukan di atas, sebagai sumber unsur prima dan psotulat itu sendiri.
Dengan demikian unsur prima dan postulat dalam berpikir agamis meliputi;
penjabaran dari nash yang tidak ditemukan secara spekulatif dan sembarang.
Contoh dapat diambil sebuah aksiomatika Euclides tentang jumlah sudut
segitiga yang dinyatakan 1800, kemudian dengan berpikir agamis kita
bertitik tolak dari Surah Al A’laa 1 – 3 menyatakan “bukanlah dari sana
bisa lahir unsur prima dari makna nash bahwa Allah Maha Suci dan Maha
Tinggi mencipta, menyempurnakan bentuk ciptaan-Nya, dan memberinya
ukuran?. Kemudian dari atas dasar itu kita bisa menemukan pijakan antara
lain untuk postulat geometri segitiga sebagaimana dikemukakan oleh
Euclides bahwa jumlah ketiga sudut segitiga adalah 1800. Bahwa kemudian
aksioma Euclides dibantah oleh Riemann, maka bantahan itu terjadi pada
tingkat postulat yang dengan sendirinya dapat diduduk-soalkan dengan

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


95

berpegang pada tiga serangkai unsur-prima yang diisyaratkan oleh ayat di


atas yakni ciptaan bentuk – ukuran.
5. Pemikiran Ilmuwan
a. Albert Einstein
Albert Einstein Ahli fisika Amerika-Jerman yang mengembangkan
teori Relativitas Umum dan Khusus. Dia memperoleh hadiah nobel di
bidang fisika 1921, berkat penjelasannya tentang efek fotolistrik Di awal
abad ke-20, dia mengeluarkan sederetan teori yang mengajukan cara
pandang baru tentang ruang, waktu, dan gravitasi. Teorinya tentang
relativitas dan gravitasi memberikan loncatan ke depan sekaligus
merupakan revolusi terhadap pertanyaan filsafat dan sains. Hasil pemikiran
Einstein antara lain:
1. Teori efek photo listrik yang menjelaskan pengeluaran elektron
dari orbitnya akibat adanya partikel lain yang menabraknya.
2. Teori menghitung energi cahaya: E = h υ E= energi cahaya H =
konstanta palnck dan υ = frekuensi
3. Pada tahun 1905 Einstein mengumumkan teori-teori baru dalam
bidang fisika teori yang disebut sebagai Teori Einstein, yaitu:
Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik; kecepatan cahaya
adalah kecepatan tertinggi di alam ini. Kesetaraan energi dan masa
E = m c2 E = energi m = massa benda c = kecepatan cahaya.
Ketiga teori Einstein membahas mengenai kecepatan cahaya.
Ketertarikan Einstein terhadap cahaya disebabkan karena apa
sebenarnya maksud Tuhna menciptakan cahaya, karena sesungguhnya
segala sesuatu yang diciptakan Tuhan pasti ada gunanya. Einstein
berfikir apa sebenarnya manfaat kecepatan cahaya ynag begitu besar itu.
Hingga akhirnya muncullah ketiga teori Einstein tersebut, dan Einstein
lah yang pertama kali menggunakan “c” dalam memecahkan persoalan
yang dihadapi dalam fisika modern. Sehingga para fisikawan sepakat
menamakan harga “c” sebagai konstanta Einstein. Dalam pencariannya
menemukan teori-teori fisika, Einstein berfikir ke arah penciptaan alam
semesta ini, karena Einstein menemukan keseimbangan, keteraturan

Sejarah Intelektual
96

dan kesempurnaan hukum alam. Pengamatan Einstein inilah yang


membawanya kepada suasana kejiwaan yang “religius”. Einstein ingin
mengetahui tentang Sang Maha Pencipta yang paling sesuai dengan
logika dan jalan pikirannya, bukan hanya harus dipercayai secara
dogmatis seperti yang dialami Einstein selama ini.
Einstein melengkapi bukti-bukti ilmiah dari pengamatannya selama
ini dengan bukti bukti filosofis yang mendukung. Einstein banyak
membaca tentang pendapat Plato dan Aristoteles. Hasil pengamatan
Einstein bahwa alam semesta ini senantiasa berkembang, Einstein juga
yakin bahwa pasti ada awal mula penciptaan alam semesta ini, dalam
astrofisika, awal mula penciptaan alam semesta dikenal dengan teori “big
bang”. Einstein memandang peristiwa ini secara matematika. Einstein
menganggapnya sebagai proses integrasi. Harga batasnya didapat dari teori
“the white dwarf ” (proses kematian suatu bintang). Dari pengamatan –
pengamatannya ini, Einstein berpendapat bahwa “Satu-satunya hal yang
tidak dapat dimengerti mengenai alam semesta ini adalah bahwa dia dapat
dimengerti” Pencarian Einstein tentang eksistensi Tuhan, membawanya
pada kesimpulan bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat dirumuskan secara
matematika atau fisika. Einstein menyatakan bahwa “Tuhan memang
rumit, tetapi tidak jahat” Dalam usia tuanya Einstein juga tetap gigih
mencari eksistensi Tuhan bahkan lebih jauh lagi Einstein ingin pikiran-
pikiran Tuhan. Sebelum meninggal Einstein sempat berkata mengenai apa
yang selama ini ia kerjakan: “Saya berpikir terus menerus, berbulan bulan
dan bahkan bertahun tahun. Sembilan puluh sembilan konklusi saya keliru,
akan tetapi yang keseratus kali saya benar”. Di antara 99 kali konklusi
Einstein yang salah adalah kemungkinan tentang pencarian eksistensi
Tuhan sebagai fungsi matematika dengn melibatkan besaran besaran fisika
di dalamnya. Sedang konklusi Einstein yang ke-100 kali benar adalah
eksistensi Tuhan ada tanpa dicari dengan fungsi matematika. Ungkapan
Einstein yang menunjukkan diperlukannya agama dalam berbagai bidang
ilmu adalah “Agama tanpa ilmu pengetahuan buta, ilmu pengetahuan tanpa
agama lumpuh”. Ungkapan itu adalah sindiran kepada ilmuwan-ilmuwan
barat yang masih berpikir sekuler.

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


97

Titik fokus Einstein dalam pencarian eksistensi Tuhan ternyata


bukan dengan besaran-besaran fisika melainkan melalui pengamatan alam
semesta. Banyak ayat dalam Al Qur’an yang baik secara tersurat maupun
tersirat mengajak manusia untuk melakukan pengamatan terhadap alam
semesta. Dari hasil pengamatan tersebut akan nampak kesesuaiannya
dengan apa yang terkandung dalam Al Qur’an, dan ada akhirnya nanti
akan semakin membawa manusia lebih dekat dengan Sang Pencipta. Teori
Einstein sebenarnya telah termuat dalam Al Qur’an. Ketiga teori Einstein
memuat kecepatan cahaya dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Matahari dan
bulan memiliki garis edarnya sendiri, Matahari dan bulan memiliki periode
edarnya sendiri-sendiri tersirat kecepatan jalannya cahaya.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an,
ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis
edar tertentu. “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan dtetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan haq (penuh hikmah). Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus 5)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan
bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”
(Q.S Al Anbiya’:33).
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah
diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu; “Dan matahari berjalan
di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui” (Q.S. Yasin:38) kecepatan cahaya sendiri sudah tersirat
dalam Al Qur’an surat As Sajadah ayat 5, yaitu tentang kecepatan malaikat
turun dari langit ke bumi dan kembali menghadap Allah dalam satu hari
yang lamanya sama dengan 1000 tahun menurut ukuran manusia .Hal
itu membuktikan bahwa cahaya adalah kecepatan tertinggi dan manusia
tidak bisa menyamainya dan menunjukkan suatu besaran yang dapat
menunjukkan kecepatan cahaya .

Sejarah Intelektual
98

6. Relativitas Waktu dalam Al Qur’an


Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah. Hal ini
telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun
awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa waktu
adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung
keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan
fakta ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan
oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu
mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya. Tapi ada perkecualian;
Al Qur’an telah berisi informasi tentang waktu yang bersifat relatif! Sejumlah
ayat yang mengulas hal ini berbunyi: “Dan mereka meminta kepadamu agar
azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-
Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut
perhitunganmu” (Q.S. Al Hajj:47). “Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya
(lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. As Sajadah:5)
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari
yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (Q.S. Al Ma’ Arij:4).
Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu
secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu
sangat singkat sebagai sesuatu yang lama: “Allah bertanya: ‘Berapa
tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami
tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada
orang-orang yang menghitung.’ Allah berfirman: ‘Kamu tidak tinggal (di
bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui”
(Q.S. Al Mu’minun:112-114). Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan
dengan sangat jelas dalam Al Qur’an.

b. Mansour Hassab Elnaby


Mengetahui besaran kecepatan cahaya adalah sesuatu yang sangat
menarik bagi manusia. Sifat unik cahaya yang menurut Einstein adalah
satu-satunya komponen alam yang tidak pernah berubah, membuat
sebagian ilmuwan terobsesi untuk menghitung sendiri besaran kecepatan

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


99

cahaya dari berbagai informasi. Seorang ilmuwan matematika dan fisika


dari Mesir, Dr. Mansour Hassab Elnaby merasa adanya sinyal-sinyal
dari Alquran yang membuat ia tertarik untuk menghitung kecepatan
cahaya, terutama berdasarkan data-data yang disajikan Alquran. Dalam
bukunya yang berjudul “A New Astronomical Quranic Method for The
Determination of the Speed C”, Mansour Hassab Elnaby menguraikan
secara jelas dan sistematis tentang cara menghitung kecepatan cahaya
berdasarkan redaksi ayat-ayat Alquran. Dalam menghitung kecepatan
cahaya ini, Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli
astronomi yaitu sistem Siderial. Ada beberapa ayat Alquran yang menjadi
rujukan Dr. Mansour Hassab Elnaby. Pertama, “Dialah (Allah) yang
menciptakan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya
tempat bagi perjalanan Bulan itu, agar kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan ” (Q.S. Yunus ayat 5). Kedua, “Dialah (Allah) yang
menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing beredar
dalam garis edarnya” (Q.S. Anbiya ayat 33). Ketiga, “Dia mengatur
urusan dari langit ke Bumi, kemudian (urusan) itu kembali kepadaNya
dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu”
(Q.S. Sajadah ayat 5).
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jarak yang
dicapai “sang urusan” selama satu hari adalah sama dengan jarak yang
ditempuh bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dalam bukunya,
Dr. Mansour menyatakan bahwa “sang urusan” inilah yang diduga sebagai
sesuatu “yang berkecepatan cahaya“. Menurut Dr. Mansoer, dengan
menggunakan rumus sederhana tentang kecepatan, kita mendapatkan
persamaan sebagai berikut:
C x t = 12.000 x L ………. persamaan (1)
C = kecepatan “sang urusan” atau kecepatan cahaya
t = kala rotasi Bumi = 24 x 3.600 detik = 86.164,0906 detik
L = jarak yang ditempuh Bulan dalam satu edar = V x T
Untuk menghitung L, kita perlu menghitung kecepatan Bulan. Jika
kecepatan Bulan kita notasikan dengan V, maka kita peroleh persamaan:

Sejarah Intelektual
100

V = (2 x pi x R) / T
R = jari-jari lintasan Bulan terhadap Bumi = 324.264 km
T = kala Revolusi Bulan = 655,71986 jam, sehingga diperoleh
V = 3.682,07 km / jam (sama dengan hasil yang diperoleh NASA)
Meski demikian, Einstein mengusulkan agar faktor gravitasi Matahari
dieliminir terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih eksak.
Menurut Einstein, gravitasi matahari membuat Bumi berputar sebesar:
a = Tm / Te x 360°
Tm = Kala edar Bulan = 27,321661 hari
Te = Kala edar Bumi = 365,25636 hari, didapat a = 26,92848°
Besarnya putaran ini harus dieliminasi sehingga didapat kecepatan eksak
bulan adalah:
Ve= V cos a. Jadi, L = ve x T, di mana T kala edar Bulan = 27,321661
hari = 655,71986 jam sehingga L = 3682,07 x cos 26,92848° x
655,71986 = 2.152.612,336257 km. Dari persamaan (1) kita
mendapatkan bahwa C x t = 12.000 x L Jadi, diperoleh C = 12.000 x
2.152.612,336257 km / 86.164,0906 detik. C = 299.792,4998 km /
detik.
Hasil hitungan yang diperoleh oleh Dr. Mansour Hassab Elnaby
ternyata sangat mirip dengan hasil hitungan lembaga lain yang menggunakan
peralatan modern. Berikut hasilnya:
- Hasil hitung Dr. Mansour Hassab Elnaby C =
299.792,4998 km/detik.
- Hasil hitung US National Bureau of Standard
C = 299.792,4601 km/detik.
- Hasil hitung British National Physical Labs C =
299.792,4598 km/detik.
- Hasil hitung General Conf on Measures C =
299.792,4580 km/detik.

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


101

Dengan demikian, Ciri berpikir filosofis dalam dunia matematika


adalah satu kesatuan kerja pikir yang berpijak pada sejumlah unsur prima
(undefined terms), dalam kerangka sejumlah postulat (unproven statement),
yang kemudian diposisikan dalam sejumlah teorema matematis sehingga
secara hierarkis ketiganya memberikan nilai benar dan salah secara matematis.
Perbedaan yang mendasar antara system postulat dalam matematika dengan
hukum dasar dalam agama. Hukum dasar dalam agama adalah sesuatu yang
kita terima dan yakini kebenarannya dan harus mempertaruhkan segalanya
kalau ada yang ingin mengganggu gugat hukum dasar agama yang kita
anut. Sedangkan system postulat dapat diubah dan diganti kapan saja tanpa
ada resiko murtad atau pindah keyakinan. Oleh karena itu kita tidak bias
meletakan dasar matematika sebagai model dalam kehidupan beragama,
sebab betapa mungkin suatu wilayah berpikir yang lebih sempit dapat
memoddeli sesuatu yang lebih luas. Akan tetapi ada bagian-bagian-bagian
tertentu dari kehidupan beragama yang relevan untuk diterapkan logika
berpikir matematis.
Perbedaan antara hukum dasar agama degan postulat bukanlah pada
sikap terhadapnya, yang notabene sikap yang sama dapat ditunjukkan
oleh kalangan bukan ilmuwan, melainkan lebih ditekankan dalam hal
kedudukan filosofinya dalam konsep berpikir, yakni bahwa nash agama itu
secara hirarki masih berada dan harus didudukan di atas, sebagai sumber
unsur prima dan postulat itu sendiri. Unsur prima dan postulat dalam
berpikir agamis meliputi :
- Merupakan penjabaran dari nash
- Tidak ditemukan secara spekulatif dan sembarang
Sains yang berdiri di atas pemikiran-pemikiran rasional dan pembuktian
secara empiris, dapat membantu manusia untuk mengungkapkan tanda-
tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT dengan melihat dan melakukan
pengamatan pada alam semesta (jagad raya) berikut isinya dan segala
konteksnya serta melakukan perhitungan secara teliti, tetapi sains dengan
seluruh kerasionalannya ternyata tidak mampu memecahkan persoalan
tentang eksistensi Tuhan, seperti pencarian Einstein tentang eksistensi

Sejarah Intelektual
102

Tuhan, membawanya pada kesimpulan bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat


dirumuskan secara matematika atau fisika. Tuhan mempersilahkan manusia
untuk memikirkan alam semesta berikut isinya dan segala konteksnya.
Kecuali jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran
manusia tidak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah sebagaimana
tercantum dalam sebuah hadits Nabi: “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan
memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.

B. Keberadaan Manusia
Sebagai suatu kenyataan manusia ada, oleh karena itu ada kemanusiaan.
Konsepsi tentang manusia dalam filsafat merupakan suatu masalah yang
sangat rumit. Ada banyak dan bermacam-macam teori mengenai manusia,
sebanyak dan seaneka macam konsepsi tentang filsafat. Ditinjau dari teori
umum sistem, manusia merupakan satu jenis sistem dalam suatu deretan
dan tingkatan sistem dari kerumitan yang teratur.
Tingkatan kemanusiaan di mana manusia di gambarkan sebagai suatu
sistem mempunyai semua atau hampir semua ciri-ciri tingkatan hewani
yang mendahuluinya, yaitu mobilitas yang meningkat, perilaku teologis,
kesadaran diri, dan pengembangan, dari penerimaan informasi, menjadi
suatu keseluruhan. Akan tetapi, di samping itu, tingkatan kemanusiaan
dicirikan secara khas dengan keinsafan diri. Ini berarti gambaran pikir atau
struktur pengetahuan manusia mengandung sifat pantul diri. Manusia
tidak hanya tahu, melainkan mengatahui bahwa ia tahu. Manusia tidak
hanya merasa bahagia dan susah, akan tetapi sadar bahwa ia bahagia dan
susah. Sifat manusia yang khas ini mungkin terikat pada gejala bahasa dan
penggunaan simbol. Manusia di bedakan dari semua sistem kehidupan
yang lain berdasarkan kemampuanya untuk menghasilkan, menyerap,dan
menafsirkan simbol-simbol. Gambaran pikir manusia tentang lingkungan
sekeliling juga lebih berkembang dan rumit, mencangkup gambaran pikir
tentang waktu, hubungan, dan bahkan kematian.
Menurut pandangan sistem, segalah hal yang ditinjau sebagai sistem
kalau pengertian yang memadai mengenai kenyataan ingin dicapai. Manusia
merupakan salah satu di antara sistem-sistem tersebut. Sifat manusia yang

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


103

paling menarik perhatian adalah refleksi diri. Berhubungan dengan sifat


ini, manusia merupakan mahluk diantara sangat sedikit sistem alamiah
dalam alam semesta yang tidak hanya mampu mengamati dunia dan
memberikan tanggapan terhadapnya, akan tetapi mengetahui penginderaan
mereka sendiri dan tiba pada kesimpulan yang beralasan mengenai sifat
dasar alam semesta. Jadi, manusia memiliki kesempatan yang hampir
khas untuk mengetahui diri sendiri dan dunia di dalam mana seseorang
hidup. Pengetahuan membuat Manusia semakin otonom dalam alam dan
memungkinkannya menciptakan dunia kebudayaan.
Dalam bidang filsafat budi, keinsafan dapat dikatakan menjadi suatu
unsur sentral dalam konsep tentang budi. Secara filosofis, suatu budi di
pandang sebagai substansi metafisis (bukan kebendaan) yang mengisi semua
budi perseorangan, sedangkan budi perseorangan adalah diri atau subjek
yang menyerap, mengingat, membayangkan, menggambarkan, berpikir,
berkehendak, dan melakukan berbagai kegiatan yang sejenis, yang secara
fungsional berhubungan dengan organisme tubuh perseorangan.
Dengan menerapkan sistem dengan unsur-unsur yang pasti dalam
keadaan berinteraksi. Tentu saja, cirinya bukanlah merupakan suatu sistem
fisis, melainkan suatu sistem analitis. Menurut para ahli, sistem analisis
adalah suatu konstruksi intelektual yang tersusun dari aspek-aspek atau
sifat-sifat entitas yang konkrit. Model yang disederhanakan dari suatu sistem
nyata biasanya terdiri dari lima konsep: lingkungan (environment) bahan
masuk (input), proses konversi (konvertion process), hasil keluar (output),
dan umpan balik (feed back).
Sistem bersama-sama dengan lingkunganya dapat di katakan menjadi
semesta dari semua hal yang berkepentinan dalam suatu hubungan tertentu.
lingkunan dari suatu sistem adalah kumpulan dari samua objek yang
perubahan sifat-sifatnya mempengaruhi sistem itu dan juga objek-objek yang
sifat-sifatnya diubah oleh perilaku sistem. Bahan masuk adalah sesuatu yang
di masukan kedalam sistem,dan ini dapat di golongkan menjadi informasi,
energi atau materi. Proses konversi adalah interaksi komponen-komponen
yang menyusun sistem. Hasil keluar berarti sesuatu yang dihasilkan oleh

Sejarah Intelektual
104

sistem, sedangkan umpan balik adalah pengaruh yang dipunyai hasil keluar
terhadap lingkungan dengan suatu cara yang menentukan bahan masuk
berikutnya.
Keberadaan manusia sebagai sistem pada tingkatan kemanusiaan
berpusat pada manusia sebagai porosnya. Lingkungannya adalah semua jenis
keberadaan lain yang dipunyai oleh manusia. Bahan masuk dari lingkungan
kemanusiaan itu adalah masalah, aspirasi, minat, dan tujuan hidup dari
manusia. Proses konversi terdiri dari kegiatan-kegiatan budi sebagai suatu
proses yang khas dan bersifat manusiawi. Masalah yang masih perlu dijawab
adalah apakah yang menyusun komponen-komponen dari sistem yang
disebut kemanusiaan itu dan apakah yang menjadi hasil keluarnya?
Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir
yang ada pada dirinya. Manusia menghasilkan pertanyaan tentang segala
sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh
manusia. Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat
manusia lahir dan mempertanyakan, “siapakah Kamu Manusia?” Manusia
bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya.
Keberadaan dirinya diantara yang lain yang membuat menusia perlu
mendefinisikan keberadaan dirinya. Apabila pernyataan bahwa manusia
dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan
buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia. Hakikat
diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar
dirinya. Sesuatu yang baik dan buruk pada manusia menunjukkan dirinya
ada dinilai diantara keberadaan yang lain.
Watak manusia merupakan suatu kumpulan corak-corak yang khas,
atau rangkain bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat
pada manusia. Manusia menciptakan kebudayaan. Suatu kebudayaan
manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Bahasa melakukan penilain
tentang keberadaan manusia berupa wujud yang dapat diterjemahkan
melalui kata-kata. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi
yang mendalam dari makhluk hidup karena terdapat penilaian dari yang
lain sebagai pembanding. Pengetahuan dan pengalaman manusia, serta

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


105

dunia yang secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh
semua orang secara bersama-sama malakukan penilaian diantara individu
manusi.
Ada dua pertanyaan penting: (1) “Apakah ada/pengada/makhluk?”
(what is being?) dan (2) “Apakah makna manusia?” (what is the meaning
of human being?). Kita mempertanyakan makna sebab manusia bukanlah
makhluk yang lengkap, final, selesai, paripurna (sheer being). Sebaliknya,
ia selalu terlibat di dalam makna. Namun, manusia tidak mencari ‘kodrat
atau hakikat manusia’, melainkan ‘ada yang penuh-makna’ (significant
being). Apakah makna keberadaanku? Untuk itu, ada dua hal yang saling
bergantung tetapi tidak tumpang-tindih. Keberadaan manusia (the being of
man) merujuk pada eksistensinya sendiri, apa adanya; sedangkan makna
manusia (the meaning of man) merujuk pada lingkup makna, lebih luas
daripada dirinya sendiri.
Lalu, apakah makna itu harus dicapai dengan usaha manusia atau
ada pada dirinya sendiri? Apakah eksistensi manusia dapat diukur dalam
makna atau keduanya tidak berhubungan (incongruous) sama sekali? Semua
pertanyaan itu untuk mencari ‘ada yang penuh-makna’, yang transitif,
sentrifugal, melampaui dirinya sendiri. Ya, secara paradoksal manusia
membutuhkan suatu makna yang tidak dapat ditanganinya sendiri.

C. Unsur-unsur Kemanusiaan
Materi kemanusiaan adalah suatu proses budi manusia, artinya
serangkaian kegiatan yang secara pasti terarah kepada suatu tujuan atau
cenderung menghasilkan sesuatu. Unsur-unsur keperiadaan manusia intinya
adalah kegiatan budi manusia yang seringkali disebut usaha manusia yang
meliputi empat unsur, yaitu seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Pertama, Seni adalah unsur pertama, karena menurut sejarah, seni
adalah yang pertama ada sebagai kumpulan kegiatan budi manusia.
Ruth Bunzel dalam Tiro (2002) menulis bahwa sebelum manusia
belajar memelihara tanaman untuk menjamin persediaan makanannya,
menjinakkan hewan untuk meringankan pekerjaannya, dan menciptakan

Sejarah Intelektual
106

alat-alat yang sederhana, ia telah mengembangkan suatu seni lukisan dalam


gaya yang begitu sempurna sehingga mengherankan pelukis modern.
Kekunoan dan adanya seni dimana-mana membuktikan seni sebagai suatu
bentuk dasar dari perilaku manusia.
Kedua, Kepercayaan bukan agama, sebab agama merupakan hasil
dari kepercayaan. Kepercayaan adalah proses menerima dan merasa yakin
terhadap adanya sesuatu yang tertinggi yang mempunyai kekuatan atas alam
semesta. Kepercayaan juga ada dimana-mana dan dianggap sebagai unsur
yang sangat penting dari keberadaan manusia. Hasil kegiatan mempercayai,
sebagian besar berupa agama.
Ketiga, Filsafat merupakan komponen tersendiri diantara kegiatan-
kegiatan dan perwujudan budi manusia. Menurut sejarah, filsafat timbul
sebagai kritik reflektif terhadap kepercayaan agama namun filsafat tidak
bersandar pada otorita, baik dari tradisi maupun wahyu. Filsafat bersandar
pada akal manusia dan tertuju pada pencarian pengetahuan. Dua kegiatan
budi manusia yang menentukan kondisi filsafat yaitu kepercayaan agama
dan moral; dan pencarian ilmu pengetahuan yang positif. Hasil kegiatan
berfilsafat berupa kearifan, asas-asas yang penghabisan, pemikiran yang
sistematis dan pandangan yang menyeluruh, yang kemudian dinamakan
pengetahuan filsafat.
Keempat, Ilmu yang meliputi kegiatan menyelidiki atau meneliti oleh
budi manusia dengan menggunakan metode yang teratur dan terkontrol
untuk memperoleh sekumpulan pengetahuan faktual yang khas atau
pengetahuan tertentu. Hasil dari kegiatan ilmuwan adalah asas-asas,
sistem-sistem, teori-teori, kaidah-kaidah, yang dengan singkat dinamakan
pengetahuan ilmiah.
Keempat unsur keberadaan manusia ini berpusat pada manusia dan
cara beradanya yang khas. Manusia adalah satu-satunya organisme di dunia
ini yang hidup dengan dan ada dalam kerangka seni, kepercayaan, filsafat
dan ilmu. Tidak ada system kehidupan lain di bumi yang mempunyai
keberadaan seperti ini. Hal ini tidak hanya membuat manusia menjadi
jenis biologis yang berkembang paling tinggi namun telah mengubah

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


107

manusia menjadi suatu jenis yang baru. Sejak kita menjadi manusia, maka
seringkali disadari ataupun tidak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang sangat mendasar seperti “Apakah Tujuan Hidup Kita? Apa perbadaan
mendasar antara manusia dengan binatang ? Apa makna kita hidup dalam
dunia ini? dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya disebut
dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut ada beberapa cara yang dapat di tempuh apakah melalui
dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci keagamaan,
apakah melalui metode ilmiah atau biasa kita sebut dengan sains atau kita
melakukan penalaran filsafatis.
Bila kita mencari jawabannya melalui dogma-dogma agama maka
jalan ini tidak akan membawa pada kepuasan intelektual dikarenakan
Religions way of knowledge yang seringkali tidak menggunakan argumentasi
yang kritis di samping dominannya klaim kebenaran (truth claim) apalagi
bila kita dihadapkan dengan pluralitas paham keagamaan, bayangkan
apabila setiap agama memberikan jawaban yang dogmatik, maka hal ini
akan membawa kita kepada kebingungan. Sedangkan jika kita melalui
jalan sains maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang positivistik,
alih-alih mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis malah yang
terjadi adalah gambaran manusia yang operasionalistik mekanistik dan
ini akan mereduksi kompleksitas dimensi keberadaan manusia. Untuk
mengantisipasi kedua hal di atas maka kita dapat menggunakan penalaran
filsafatis, filsafat dapat mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara
berpikir positivistik dari sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama
dan sains, agama dan sains dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian
diperluas dan dielaborasi lanjut dengan pisau filsafat.
Perlu ditekankan bahwa walaupun kita menggunakan pisau filsafat
ini tidak berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai kepada gambaran
manusia apa adanya. Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban
final tetapi untuk mencari kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru.
Salah satu titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat
adalah pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang
bersangkutan apakah realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas

Sejarah Intelektual
108

material atau juga termasuk realitas ide, abstrak atau yang immaterial. Tapi
di sini kita tidak akan mempertajam membahas hal tersebut.
Kita mungkin telah mengetahui apakah secara teoritif ataupun secara
intuitif bahwa hal yang paling mendasar dari segala realitas apakah itu diri
kita ataupun benda-benda yang ada disekitar kita atau realitas imajinal yang
kita beri pengakuan padanya adalah keberadaan/wujud/eksisten. Keberadaan
adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas. Kalau
kita membawanya ke dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah
limpahan anugerah paling awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas
tersebut melakukan kejadian apapun. Apalah artinya keharuman bunga
mawar jika bunga mawarnya tidak memiliki kebaradaan, apalah artinya
ketampanan apabila menusia yang dapat menyandang predikat tersebut
belum menyandang keberadaan. Bahkan sebelum kita berpikir apa-apa
yang sifatnya teoritik konseptual kesadaran akan keberadaan diri kita adalah
sesuatu yang sifatnya primordial jadi sifatnya lebih intuitif dibanding hasil
dari penalaran. Kesadaran akan keberadaan adalah kesadaran yang tertua atau
paling purba,kita tidak akan memakan makanan kalau kita tidak yakin jika
diri kita ada dan objek makanan kita ada pula.
Setelah kita mengetahui bahwa diri kita ada, maka pertanyaan yang
muncul adalah apakah ada perbedaan antara beradanya manusia dengan
beradanya benda-benda dan makhluk lain selain manusia. Jawabannya
adalah positif. Secara intuitif pula kita dapat membedakan diri kita sebagai
manusia dengan benda-benda mati di sekitar kita semisal batu,pasir
dan meja begitu pula dengan tumbuhan dan binatang atau hewan. Kita
sebagai manusia selalu merasa khawatir dengan sekitar kita, kita khawatir
dengan tatanan rumah kita, kita khawatir dengan cita rasa makanan kita,
kita khawatir dengan penampilan kita, kita khawatir dengan keberadaan
tumbuhan dan binatang disekitar kita,kita adalah makhlukh yang selalu
ingin campur tangan terhadap alam ini.Kita merasa bukan sebagai
manusia yang utuh apabila kita hanya makan, buang air dan istirahat,
kita membutuhkan sesuatu yang lain yaitu mengotak-atik secara kognitif
dan pragmatis realitas disekitar kita. Itulah manusia tidak hanya eksisten
atau ada secara sederhana atau ada dalam realitas tapi manusia melampaui

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


109

itu, manusia bereksistensi/ada secara dinamis dan bersama dalam realitas.


Manusia menyadari selalu ada perubahan pada dirinya dan lingkungannya
apakah itu cepat atau lambat dengan kata lain manusia bukan hanya ada
tetapi manusia selalu mengalami proses menjadi (becoming) dan ingin
campur tangan dengan proses kemenjadiannya itu, dia ingin mengarahkan
kemenjadiannya, dialah yang ingin meciptakan apa jadinya dirinya di masa
depan. Itulah sebabnya mengapa manusia dalam filsafat perennial disebut
dengan teomorfis atau makhlukh penjelmaan Tuhan di muka bumi, karena
dia ingin menandingi kesibukan Tuhan.
“Kesibukan”, merupakan ciri manusia menurut Martin Heidegger
dalam Cremers (1997). “Kesibukan” membuat manusia selalu resah dan
tidak tenang. Dunia bagi manusia bukanlah sesuatu yang “apa adanya”,
tetapi keberadaannya selalu di “apakan” dan di “bagaimanakan”. Dunia bagi
manusia bukanlah dunia yang telanjang, tetapi dunia yang dibungkus dengan
persepsi-persepsi kemanusiaan. Kesibukan manusia tidaklah hanya pada
tataran pragmatis, tetapi juga terjadi pada tataran kognitif spiritual. Setiap
saat manusia melakukan pemaknaan terhadap dunianya, menyanyakan
ulang pemaknaan sebelumnya, manyangsikan dan membongkarnya. Dan
pada saat manusia tak henti-hentinya memaknai dunianya, saat itu pula
dia memkanai dirinya. Memaknai dunia secara terus-menerus berarti
mereposisi dirinya secara terus menerus dalam jejaring dunia, dan menggali
potensi kemanusiaanya secara terus-menerus.
Filsafat ada untuk membantu manusia memaknai dirinya dan
dunianya. Filsafat akan terus menerus melahirkan pertanyaan-pertanyaan
untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang tiada
batasnya. Kemungkinan-kemungkinan pemaknaan ini merupakan cermin
bagi kemungkinan-kemungkinan cara mengada dari manusia. Hal ini tak
akan pernah selesai.

D. Kebermaknaan dan Mengenal Manusia Melalui Filsafat


Filsafat ialah tertib atau metode pemikiran yang berupa pertanyaan
kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakikat berbagai kenyataan
yang tampil dimuka. Filsafat manusia merupakan bagian dari filsafat yang

Sejarah Intelektual
110

mengupas apa artinya manusia. Filsafat manusia mempelajari manusia


sepenuhnya, sukma serta jiwanya. Filsafat manusia perlu dipelajari karena
manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan hak istimewa dari
sampai batas tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam.
Manusia dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik
dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia.
Kesulitan Bagi Suatu Filsafat Manusia Filsafat berpretensi mengatakan
apa yang paling penting bagi manusia. Para filsuf mangatakan dan
menimbulkan berbagai pendapat. Bagi Platon dan Platin misalnya, manusia
adalah suatu makhluk ilahi. Bagi Epicura dan Lekritius sebaliknya manusia
yang berumur pendek lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa.
Descartes mengambarkan manusia sebagai terbetuk dari campuran antara
dua macam bahan yang terpisah, badan dan jiwa.
Perlunya dan Kemungkinan Filsafat Manusia Filsafat mengajukan
pertanyaan dan mengupasnya. Filsafat bertanya pada diri sejak ribuan tahun
apakah manusia itu, dan darimana datangnya manusia, tempat apakah yang
didudukinya dalam alam semesta yang luas, darimana manusia datang dan
untuk apakah ia ditakdirkan.
Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan
corak-corak yang khas, atau rangkain bentuk yang dinamis yang khas yang
secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara fundamental
dari semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia
tidak mungkin ada tanpa bahasa. Semua kebudayaan diatur untuk dapat
menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan
yang diajukan oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup
teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan vital mereka.
1. Esensi Keberadaan Manusia (The Essence of Being Human)
Apakah pencarian akan makna sungguh otentik atau sekadar
pembelaan diri? Lagi pula, untuk apa manusia peduli pada makna? Menurut
Freud dalam Carmers (1997), naluri dan pemuasannya adalah esensi dan
otentisitas manusia, kita pun dapat menyanggah: “Setelah kepuasan, lalu
apa?” Nyatalah bahwa siklus kebutuhan atau keinginan dan kepuasan/

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


111

kesenangan terlalu dangkal bagi kepenuhan eksistensi manusia. Jika hewan


puas ketika kebutuhannya terpenuhi, manusia tidak hanya ingin terpuaskan
(membutuhkan), tetapi juga ingin dapat memuaskan (dibutuhkan). “Apakah
aku dibutuhkan?” Maka, hidup manusia tidaklah bermakna kecuali terarah
kepada tujuan yang melampaui dirinya sendiri, yaitu kepada orang lain.
Maksim kedua Kant (mengakui manusia sebagai tujuan (ends) alih-alih
sebagai alat atau cara (means)) tidak berbicara tentang bagaimana seseorang
harus memperlakukan dirinya sendiri, melainkan bagaimana ia diperlakukan
atau memperlakukan orang lain.
Banyak orang yang merasa tak dibutuhkan (futility) atau tak berguna
(uselessness) mengalami depresi psikoneurotik; maka, jelaslah kebahagiaan
itu berasal dari perasaan dibutuhkan (be a need). Kalau begitu, siapa yang
membutuhkan manusia? Tidak mungkin manusia memperoleh makna
eksistensinya dari masyarakat, sebab masyarakat sendiri membutuhkan
makna. Manusia individual adalah pemberi makna kepada masyarakat, bukan
sebaliknya. Kalau bukan masyarakat, apakah alam? Alam tidak memenuhi
kebutuhan untuk merasa dibutuhkan (the need of being needed). Uniknya,
kebutuhan tersebut justru ingin memberikan kepuasan, alih-alih meraih-nya.
Jika segala kebutuhan lenyap ketika terpenuhi (bersifat sementara), perasaan
dibutuhkan, sebaliknya, adalah kekal. Dan, karena eksistensi manusia adalah
kebutuhan juga, dengan sendirinya eksistensi pun bersifat sementara.
Hidup yang sementara ini tidaklah suram sejauh direfleksikan pada
sesuatu yang kekal, makna final eksistensi (the ultimate meaning of existence).
Eksistensi ini tidaklah netral, ‘sekadar ada’, melainkan relasi antara manusia
dan makna. Maka, ada dua pola: (1) dengan obyek lain merefleksikan ada
yang murni (pure being) dan (2) dengan kemanusiaan berefleksi hanya
dalam lingkup makna. Orang bisa saja skeptis terhadap pencarian akan
makna final ini dengan menganggapnya sebagai usaha yang bodoh dan
absurd. Namun, kita dapat menegaskan: relevansi manusia (the relevance of
human being) bergantung pada kebenaran mengada manusia (the truth of
being human), yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang terlibat dalam
makna transenden. Dengan demikian, esensi atau otentisitas ke-mengada-an
manusia terletak pada keterbukaannya kepada transendensi.

Sejarah Intelektual
112

2. Ada dan Makna (Being and Meaning)


Jika manusia hanya dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas,
konteks apakah yang dimaksud? Pencarian akan makna ada (the meaning
of being) menunjukkan kekurangan (insufficiency) dari makhluk yang
paripurna (sheer being) karena hal yang dicari itu melampaui (surpasses)
ada. Makna, dengan demikian, tidak dapat direduksi pada ada. Selain itu,
eksistensi manusia tidak menerima maknanya dari ranah ada. Dengan kata
lain, manusia terpanggil tidak untuk menerima ada (come into being) begitu
saja, melainkan menghubungkan ada kepada makna (come into meaning).
Artinya, manusia bukanlah sekadar penonton yang lugu, yang membiarkan
dunia berjalan apa adanya, melainkan aktor yang terlibat, nolens volens, di
dalam ‘drama’ semesta alam.
3. Ada dan Hidup (Being and Living)
Manusia (human being) yang dimaksudkan untuk dipahami tentu saja
manusia yang hidup (human living). Sebab, masalah utama manusia ialah
tentang hidup, bukan tentang ada semata. Kalau begitu, konteks apakah
yang dapat dihubungkan kepada manusia yang hidup (the living man)? Ada
dua pendekatan sebagai berikut:

Pendekatan Ontologis Pendekatan Biblis


Menghubungkan manusia Menghubungkan manusia pada
pada transendensi yang transendensi, hidup ilahi, yang
sedemikian disebut ada disebut Tuhan yang hidup
Menerima hidup sebagai yang
Menerima ada sebagai yang
pada akhirnya nyata faktual,
terakhir, final, ultimate
sejati, ultimately real
Memahami hidup dalam Memahami ada dalam ranah
ranah ada hidup
Pendekatan ontologis memiliki sejumlah kesulitan. Dengan
menganggap yang final adalah ada yang paripurna (sheer being), ada sebagai
ada, manusia tidak dapat merelasikan dirinya pada apa pun. Yang ada
hanya ketiadaan (nothingness), tanpa relevansi dan referensi. (Seperti filsafat
Sartre), hidup adalah ‘keterlemparan’ di satu ujung dan kematian di ujung

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


113

lain. Padahal, bukan ada melainkan misteri ada yang harus dicermati. Dan,
dalam misteri itu ada dua konsep: ada (being) dan tiada (not being).
Sebaliknya, pendekatan biblis tidak berpretensi memutlakkan ada.
Ada dianggap kontingen, sehingga ketiadaan juga dimungkinkan. Yang
menjadi perhatian adalah tindakan (Illahi) yang membuat ada sungguh
ada; bagaimana ada itu mungkin. Maka, ada merupakan ciptaan (creation).
Kesimpulannya, ada itu baik aksi (action) maupun peristiwa (event); mengada
terus-menerus (continuous coming-into-being). Dan, untuk memahami hal
ini, kita harus melampaui batas-batas logika untuk menyelam ke dalam
misteri ada.
Mempertanyakan makna manusia berarti mereduksi makna mengada
manusia pada suatu benda/ide? Tidak. Sebab, tidak seperti ide atas benda
(dingin, kasar, dan lain-lain), makna manusia tidak diperoleh dari persepsi
indrawi atau abstraksi, melainkan muncul dari kepenuhan hidup/eksistensi
manusia. Makna final yang manusia cari bukanlah sekadar ide, struktur
intelektual, melainkan realitas personal. Alhasil, pertemuan antara manusia
dan makna akan tetap menjadi tujuan di balik pencarian manusia itu.
Keberadaan manusia adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang
terjadi dalam realitas. Kalau kita membawanya ke dalam bahasa yang agak
religius, keberadaan adalah limpahan anugerah paling awal yang diterima
oleh realitas ini sebelum realitas tersebut melakukan atau dikenai kejadian
apapun. Manusia sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen sistem
yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang antara satu dengan yang lainnya
saling mempengaruhi dalam satu integritas yang kuat. Ditinjau dari teori
umum sistem, manusia merupakan satu jenis sistem dalam suatu deretan
dan tingkatan sistem dari kerumitan yang teratur. Tingkatan kemanusiaan
di cirikan secara khas dengan keinsafan diri. Ini berarti gambaran pikir
atau struktur pengetahuan manusia mengandung sifat pantul diri. Manusia
tidak hanya tahu, melainkan mengetahui bahwa ia tahu. Olehnya itu,
materi kemanusiaan adalah suatu proses budi manusia, artinya serangkaian
kegiatan yang secara pasti terarah kepada suatu tujuan atau cenderung
menghasilkan sesuatu. Unsur-unsur keperiadaan manusia intinya adalah

Sejarah Intelektual
114

kegiatan budi manusia yang seringkali disebut usaha manusia yang meliputi
empat unsur, yaitu seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Sedangkan manusia menyadari selalu ada perubahan pada dirinya
dan lingkungannya apakah itu cepat atau lambat dengan kata lain
manusia bukan hanya ada tetapi manusia selalu mengalami proses menjadi
(becoming) dan ingin campur tangan dengan proses kemenjadiannya itu,
dia ingin mengarahkan keberadaannya, dialah yang ingin meciptakan apa
jadinya dirinya di masa depan. Itulah sebabnya mengapa manusia dalam
filsafat perennial disebut dengan teomorfis atau makhluk penjelmaan Tuhan
di muka bumi, karena dia ingin menandingi kesibukan Tuhan. Makna
manusia berarti mereduksi makna mengada manusia pada suatu benda/
ide? Tidak. Sebab, tidak seperti ide atas benda (dingin, kasar, dan lain-
lain), makna manusia tidak diperoleh dari persepsi indrawi atau abstraksi,
melainkan muncul dari kepenuhan hidup/eksistensi manusia. Makna final
yang manusia cari bukanlah sekadar ide, struktur intelektual, melainkan
realitas personal. Alhasil, pertemuan antara manusia dan makna akan tetap
menjadi tujuan di balik pencarian manusia itu.

4 - Filsafat dan Keberadaan Manusia


BAB V
TOKOH-TOKOH FILSAFAT
YUNANI DAN ISLAM

Pembahasan terhadap filsafat Yunani dan filsafat Barat pada umumnya


merupakan upaya untuk menelusuri kembali asal usul cara berpikir yang
pada ujungnya melahirkan intelektual modern, sehingga perlu kiranya
dilakukan penyelidikan kembali awal lahirnya dasar pemikiran yang
mewujudkan metodologi berpikir rasional yang dicirikan dengan rasional,
logis, objektif, bersistem, dan berorientasi pada optimalisasi hasil yang ingin
dicapai.
Pembahasan ini tidaklah merupakan sebuah pretensi untuk menjelajahi
filsafat Yunani secara komprehensif, melainkan pada batas-batas teori
berpikir yang ada kaitannya dengan metode berpikir ilmiah. Penjelasan
awal ini perlu dikemukakan untuk menghindari jangan sampai terjadinya
kesalahan atau salah persepsi karena tujuan utama pembahasan ini adalah
ingin menunjukkan bahwa cara berpikir ilmiah memiliki landasan yang kuat,
sama seperti bidang-bidang lain dalam filsafat klasik Yunani. Bahwa berpikir
runut, bersistem, transparan, logis, matematis, dan sebagainya mempunyai
asal-usul, dan harus ditemukan oleh seseorang filsuf tertentu dalam sejarah
ilmu pengetahuan. Ia tidak saja hadir dan berpikir rasional begitu saja,
namun ada awalnya dan ada yang harus menemukannya, yaitu para filsuf
Yunani. Studi ini juga dilandasi oleh karena anggapan bahwa filsafat Barat
yang melahirkan pendekatan konseptual dalam sejarah pemikiran modern
sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan filsafat Yunani itu sendiri.
116

A. Socrates (470 – 399 SM)


Perubahan pandangan dalam filsafat tidak sekonyong-konyong terjadi,
problem filosofis yang menjadi masalah dalam ajaran sofisme bukan lagi
pencarian jawaban terhadap fenomena alam yang dialami manusia, bukan
lagi masalah gambaran kosmologi seperti pada filsafat sebelumnya, tetapi
sudah beralih pada masalah hakekat hidup manusia. Manusia menjadi
problem sentral pertanyaan-pertanyaan filosofis, tetapi dalam penjelajahan
filsafatnya, sofisme sangat menekankan pada sikap subjektif dan menganggap
semuanya itu relatif dan harus dihadapi dengan sikap skeptis, kebenaran
bisa dicari melalui retorika, sehingga sifat kebenaran sangat subjektif,
karena sangat tergantung pada kemampuan seseorang dalam berdebat dan
kemampuan retorikanya. Socrates adalah filsuf yang menolak pendangan
itu, ia percaya bahwa “kebenaran” itu ada dan kebenaran itu sifatnya
langgeng, kebenaran yang berlaku umum (objektif ) itu ada dan harus
dicari. Berbeda dengan penganut sufis yang mengandalkan jawaban filosofis
pada kemampuan retorika, Socrates mengembangkan metode dialog yang
kemudian berkembang menjadi dialektika.
Socrates adalah perintis Filsafat Klasik Yunani, meskipun ajaran-ajaran
dan pendapatnya belum merupakan suatu sistem filosofi yang bulat, murid-
muridnya Plato kemudian Aristoteles yang selanjutnya mengembangkan
dan melengkapi filsafat Socrates dan menjadi dasar filsafat Klasik. Sikap
Socrates sebagai filsuf besar yang selalu menempatkan diri pada posisi “tidak
tahu” dan mencari jawaban atas ketidaktahuannya melalui diskusi-diskusi
yang tajam adalah orang yang sederhana dalam kepribadian, jujur berkawan
dengan semua orang. Karena ketazaman fikirannya dan kejernihan jawaban-
jawabannya, ia seringkali memojokkan pengikut-pengikut Sofis yang
menganggap bahwa kebenaran itu berdasar pada kemampuan berdebat
melalui kepiawaian retorika, sehingga karena cecaran pertanyaan-pertanyaan
logis Socrates, para Sofis kehabisan argumentasinya, dan mengakui akan
keterbatasan pengetahuannya.
Karena kesederhanaan dan kejujurannya, selain ia menjadi panutan
orang-orang muda Athena, ia juga mengumpulkan musuh-musuh terutama
dari kaum Sofis dan Politik. Hingga akhirnya Socrates harus menjalani

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


117

hukuman mati dengan meminum racun (Widagdo, 2000). Socrates dituduh


tidak mengakui dewa-dewa dan menyebarkan pengaruh sesat kepada kaum
muda. Ketegarannya terhadap kebenaran dipertahankan sampai akhir
hayatnya. Adalah Plato yang mampu menggambarkan dengan kongkrit,
jelas, dan indah, saat-saat akhir Socrates melalui tulisan-tulisannya,
Apologie, Kriton, dan Phaidon.
Apologie yang berarti pembelaan, berisi pembelaan diri Socrates
ketika menghadapi para hakim Athena, di sini Socrates memaparkan
sikapnya tentang hak-hak manusia sebagai pribadi dan warga negara, dan
tentang kebenaran dalam wacananya dengan otoritas negara, hukum, dan
politik. Dalam Kriton diuraikan pendapat Socrates yang lebih menonjolkan
kewajiban-kewajiban sebagai warga negara yang harus patuh pada hukum
yang berlaku, karena pra-syarat pengakuan seorang warga negara untuk
tunduk pada otoritas negara adalah pengakuannya terhadap hukum yang
berlaku di negara itu, ia menganggap seseorang dapat meninggalkan
negaranya bila ia merasa tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di negara
itu.
Tulisan Plato pada bukunya Phaidon dianggap sebagai tulisan terindah
Plato. Phaidon menggamabrkan secara detail, plastis, dan mengharukan
saat-saat terakhir Socrates, sebelum ajalnya dengan meminum racun sebagai
bentuk hukuman matinya. Socrates yang di kelilingi oleh murid-muridnya
memberikan wejangan-wejangan terakhir tentang filsafatnya dalam
diskusinya dengan para murid yang menungguinya. Socrates menyampaikan
pandangannya tentang apakah kematian itu, dan apakah jiwa dan tubuh
itu, bagaimana hubungannya dengan kehidupan manusia, ia paparkan pula
hubungan keduanya dengan kematian. Ia menganggap jiwa itu langgeng,
ada dan hadir sebelum manusia lahir dan sesudah kematian manusia
dan tubuh itu tidak langgeng, tidak tetap, dan pada saatnya tubuh akan
musnah. Pemisahan antara jiwa dan tubuh ini kemudian menumbuhkan
wacana ilmiah baru dan lahir disiplin-disiplin ilmu baru, seperti Psikologi,
Fisiologi, dan lain-lain. Filsafat Socrates ini kemudian dikembangkan oleh
Plato dengan teorinya tentang dunia bertubuh dan tak bertubuh.

Sejarah Intelektual
118

Keluhuran budi, integritas moral, dan sikap konsekuen yang


dipertahankan sampai ajalnya menjadi tuntunan dan contoh pada umat
manusia. Ia kemudian dapat dikatakan sebagai Bapak “Teori Metode
Berpikir” yang pertama, ia tidak hanya mengembangkan teori metode
berpikir tetapi juga mempraktekkannya. Tujuannya bukan hanya
mengumpulkan pengetahuan dan mengelompokkan dalam sistem ilmu
pengetahuan saja, tujuannya terutama untuk mengetahui hakekat suatu
masalah dan bagaimana cara sampai pada pengetahuan tersebut, sehingga
di sini “metode” menjadi sangat penting, bila kita ingat pada teori Jaspers
tentang pengertian Sains seperti telah dibahas pada uraian sebelumnya,
maka dapat disimpulkan, pemikiran Socrates yang metodis ini adalah dasar
berpikir Saintifik.
Socrates sebenarnya tidak pernah sengaja mengajar ilmu filosofi
sebagai bidang ilmu, melainkan hidup berfilsofi. Filosofinya bukan ilmu
pengetahuan, tetapi filsafat sebagai alat pencari kebenaran. Sebagai ilustrasi,
Karl Jaspers dalam memberikan kuliah-kuliah filsafatnya tidak pernah
menggunakan teks, karena ia menganggap (mengacu pada Kant), bahwa
filsafat tidak dapat diajarkan, yang dilakukan adalah mengajarkan berfilsafat.
Sehingga kuliah filsafat tidak berarti mengetengahkan pemikirannya saja,
tetapi fikiran ikut berkembang dalam proses penyampaian pendapatnya dan
mengajak pendengarnya untuk ikut aktif dalam proses berpikir (Jaspers:
Chiffren der Transendenz).
Karena Socrates tidak pernah menuliskan ajarannya, maka murid-
muridnya yang kemudian menulis ajaran-ajarannya, dan tidak dapat
dihindari pendapat pribadi murid-muridnya mewarnai tulisan-tulisan
tentang filsafat Socrates. Dari berbagai tulisan murid-muridnya terutama
catatan Plato yang dapat menjadi sandaran untuk mempelajari filsafat
Socrates. Tujuan filsafat Socrates terutama mencari kebenaran yang berlaku
umum dan selama-lamanya yaitu kebenaran yang absolut. Hal ini berbeda
dengan filsafat kaum Sofis yang mendahuluinya yang menganggap tidak
ada yang absolut, semua relatif dan subjektif dan orang harus menghadapi
persoalan di dunia ini dengan sikap skeptis.

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


119

Socrates tetap berpendirian bahwa kebenaran itu ada, dan harus tetap
dicari. Socrates mengembangkan metode diskusi, dikembangkan suatu
teknik mengajukan pertanyaan yang membuat partner diskusinya berpikir.
Ia menolong orang mengeluarkan pendapat dan fikirannya, mengeluarkan
apa yang ada pada jiwa orang ; dasarnya adalah teknik menemukan
pertanyaan yang tepat untuk mendapatkan pengertian masalah atau
mengidentifikasi masalah dengan tepat.
Pertanyaan mengenai “apa” harus lebih didahulukan dari “apa sebab”.
Dengan teknik diskusi ia bangun dialektika, timbul pemikiran yang kritis,
dengan cara induksi mendapatkan definisi. Hal ini diuji terus dengan
perbandingan yang kritis, dibuat perbandingan dan persamaan dari gejala
umum, diuji dengan saksi lawan saksi.
Socrates selalu berbicara dengan semua orang, ia bertanya tentang apa
yang diketahui orang itu tentang profesinya, bertanya pada prajurit apakah
keberanian itu, kepada pelukis ia tanyakan apakah keindahan itu. Pertanyaan
yang disusul dengan pertanyaan lain akan membawa lawan bicaranya, untuk
mempertanggungjawabkan pengetahuannya, dan memaksa lawannya untuk
mengatakan yang benar. Tujuannya adalah mengajar orang mencari kebenaran.
Socrates sendiri menamakan metodenya “Maeutik” (Seni Kebidanan),
dalam arti membidani lahirnya pemikiran baru. Arti induski dalam metode
Socrates berbeda dengan pengertian sekarang yang memberi makna induski
sebagai memperhatikan atau mengamati gejala yang khusus, dibentuk,
dan dikembangkan untuk mendapatkan pengertian yang berlaku umum.
Induski metode Socrates adalah membandingkan secara kritis definisi yang
satu dibandingkan definisi yang lain, dengan uji ulang didapatkan definisi
baru yang lebih mendekati kebenaran.
Pengertian sebagaimana dengan metode di atas sama dengan yang
disebut Kant dengan prinsip regulatif adalah dasar menyusun suatu masalah
untuk menemukan kebenaran yang sifatnya tidak subjektif dan berlaku
umum. Hal lain yang menjadi inti ajaran Etika Socrates adalah tentang
watak atau budi manusia. Menururt ajarannya, “budi” dan “tahu” saling
terikat. Orang berbuat jahat karena “tidak tahu”, bukan karena disengaja.

Sejarah Intelektual
120

Socrates percaya bahwa pada dasarnya semua manusia itu, “baik”,


karena budi adalah tahu, maka orang yang tahu akan selalu berbuat baik,
sebaliknya orang berbuat jahat karena tidak mempunyai pertimbangan
dan pandangan yang benar. Menurutnya tidak ada orang yang khilaf atas
kemauannya sendiri.
Pandangan filsafat dan etika rasional Socrates menganggap bahwa
semua yang hadir di dunia ini selalu ada tujuannya, dan makna dari tujuan
itu adalah sisi kebaikan dari kehadirannya. Makna dari tujuan kehadiran
sebuah pohon, sebuah meja, binatang dan manusia adalah sifat-sifat baik
dari unsur-unsur di atas. Bila kita simak aktualitas pendapat ini maka dapat
dimengerti kalau Socrates dianggap sebagai seorang filsuf yang utama dalam
sejarah kemanusiaan.
Bila dilihat proses berpfikir dalam metode ilmiah modern. Bahwa dalam
menghadapi sebuah persoalan ilmiah selalu harus dijawab pertama-tama
apakah hakekat benda itu yang kemudian didekati dengan analisa pengertian
masalah kemudian diidentifikasi masalahnya, dan tahap selanjutnya adalah
menyusun definisi masalah, maka terlihat relevansi metode Socrates dengan
pendekatan perumusan masalah. Identifikasi masalah selalu dimulai dengan
pertanyaan “apa” (what) baru kemudian “apa sebab” (why). Dalam aktifitas
dunia ilmiah selalu ditekankan pentingnya “proses” dan bukan saja “hasil.
Proses ilmiah memang sangat penting untuk mencapai hasil kebenaran
ilmiah itu sendiri, dan dengan demikian pendekatan didaktis ini tidak
dapat melepaskan diri dari sisi historis.

B. Plato (427 – 347 SM)


Filsafat Plato yang disimak di sini dilihat dari dua sisi, pertama
pendapatnya tentang pengertian-pengertian filosofisnya dan kedua tentang
metodologi berfikirnya. Pada dasarnya di dunia ini terdapat dua unsur
utama, yaitu yang tidak tetap dan yang tetap. Yang tidak tetap adalah
yang dialami dan dilihat sehari-hari, ia tidak tetap dan selalu mengalir dan
berubah (kaum sofis), ia bisa difahami lewat pengalaman, sementara yang
kedua adalah yang tetap yaitu yang harus dicari lewat proses pemikiran.
Pengertian yang dicari lewat pemikiran adalah idea. Idea tidak tergantung

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


121

dari pandangan dan pendapat orang banyak. Idea tumbuh karena kecerdasan
berfikir, jadi pengertian yang dicari dengan proses berfikir adalah Idea. Idea
pada hakekatnya sudah ada, tinggal kecerdasan fikir manusia untuk mencari
dan menemukannya.
Plato memberi contoh tentang keindahan fisik, atau sesuatu benda
atau makhluk yang dikategorikan indah, sebenarnya pendapat keindahan
karena melihat hal indah ini hanya ingatan manusia saja terhadap idea yang
sudah ada dalam fikirannya. Sebenarnya yang dikatakan indah adalah hanya
gambaran yang tidak sepenuhnya dari idea yang sudah ada.
Contoh lain yang diambil dari filosofi bahasa, kata-kata tidak pernah
dapat menggambarkan pengertian yang sebenarnya, karena kata-kata
yang membentuk pengertian itu sebenarnya hanya bunyi, dan bunyi itu
merupakan simbol dari pengertian yang ada di belakangnya. Keinsyafan
manusia didasarkan atas bunyi-bunyi yang didengar bahwa ada arti di
belakang bunyi tadi.
Hanya fikiran yang dapat menangkap logika di belakang rangkaian
bunyi yang menjadi kata tadi. Berfikir dan mengalami adalah dua hal
yang berbeda, pengetahuan yang dicapai dengan jalan berpikir lebih tinggi
nilainya dari pada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Apakah
dan bagaimana hubungan pikiran dan pengalaman?
Sebagaiman telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa Plato
mempunyai teori tentang dua dunia ; dunia yang bertubuh dan dunia
yang tidak bertubuh. Dunia bertubuh adalah dunia lahiriah yang terdiri
atas unsur-unsur yang dapat dilihat dan dialami yang dapat berubah
karena waktu atau sebab-sebab lain. Dunia yang tidak bertubuh adalah
yang tidak kelihatan, yang abstrak, dia adalah dunia idea, dunia yang
immaterial, bersifat tetap dan tidak berubah, namun dunia idea bukanlah
suatu kontsruksi atau rekayasa fikiran manusia, ia adalah realita, bersifat
permanen dan mempunyai validitas dan kebenaran universal. Dua dunia
tadi tidak terpisah, dunia tidak bertubuh, dunai idea memberi arti pada
dunia bertubuh. Sebagai contoh dapat diambil dari dunia matematika.
Matematika diungkapkan dengan simbol-simbol, seperti segitiga,

Sejarah Intelektual
122

lingkaran, kubus, bola, yang tidak terdapat dalam dunia lahir, semua
itu adalah gambaran dari idea yang hidup dari dunia idea. Matematika
bagi Plato adalah simbol dari realitas yang sebenarnya, dengan demikian
segala pengetahuan adalah tiruan dari yang sebenarnya yang timbul dalam
jiwa manusia sebagai ingatan pada dunia asal. Jiwa adalah penghubung
dari kedua dunia ; jiwa selalu ingin kembali ke asalnya. Inilah yang
ia namakan gerak filosofi. Dengan kata lain gerak etos dan cinta pada
ilmu pengetahuan, berfilsafat, dapat memberikan dorongan untuk lebih
mengetahui.
Plato menganggap dunia idea sudah tersusun dengan sistem
Teleologi (logika yang tersusun dan menjurus pada satu tujuan yang sudah
ditentukan). Sebagai idea tertinggi adalah “kebaikan” karena kebaikan
dinggap sumber dari segala-galanya. Kebaikan adalah penggerak dinamika
dunia (baca Socrates). Kemudian dalam sistem hierarki teleologis pada
lapisan di bawahnya adalah ide keindahan atau ide estetika. Estetika adalah
bayangan dari ide kebaikan. Estetika di dunia nyata merupakan tujuan yang
melekat dalam upaya manusia menuju kebaikan.
Estetika adalah penghubung antara dunia lahir dengan dunia yang
tidak kelihatan (kembali kepada contoh matematika yang mempunyai
sifat abadi atau permanen. Estetika adalah terjemahan dari fisik dari dunia
idea). Keterangan di atas menunjukkan bahwa estetika sudah menjadi titik
sentral dalam filosofi Yunani dan membantu untuk sedikit menguak rahasia
tentang apakah estetika itu sebenarnya.
Bila kita sandingkan pendapat Jaspers di bawah ini, kelihatan adanya
paralel antara pemikiran Plato dengan Jaspers sebagai berikut :
1. Isyarat Ketuhanan diberikan melalui simbol-simbol (Chiffre) yang
tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
2. Seni menolong manusia dalam membaca chiffre, karena seni dapat
mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan dan hal-
hal yang tidak diungkapkan dengan cara lain. Seni memberikan
penglihatan pada pemikiran spekulatif, sehingga yang buta dapat
melihat transendensi.

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


123

Metode Berpikir Plato merumuskan tentang dialektika yang berarti


ketajaman analisis mencari hubungan antara berbagai pengertian di mana
dikelompokkan pada jenisnya masing-masing dan diurai sampai pada
komponen terkecil yang tidak dapat diurai lagi. Metode ini dinamakan Diairesis
(mengurai ide) sebagai metode yang masih dasar analisis untuk membentuk
definisi dan menyusun struktur masalah yang kompleks sehingga lebih
mudah dimengerti, dan yang kompleks menjadi jernih. Dalam proses ilmiah,
ketajaman dan kemampuan melihat masalah dan keterkaitannya dengan
komponen-komponen lain dan merinci masalah sampai pada komponen-
komponen terkecil yang membentuk sistemnya akan menentukan kualitas
ilmiah. Kemampuan mengurai masalah dan melihat dari berbagai sisi adalah
syarat pertama dan paling utama dalam proses pendekatan teoretis sebelum
menginjak pada tahap pemecahan masalahnya.

C. Aristoteles (384 – 322 SM)


Salah satu murid Plato yang cemerlang di Akademinya adalah
Aristoteles. Aristoteles kemudian memiliki keyakinan filosofis sendiri yang
dalam beberapa wacananya berbeda dengan pendapat Plato. Aristoteles
membuka sekolahnya sendiri, Lyceum di mana di dalamnya terdapat seorang
murid yang bernama Alexander Agung (Alexander The Great). Filsafatnya
seperti Plato meliputi bidang pengetahuan yang luas dengan cara dan watak
pendekatan yang berbeda. Bila Plato adalah filsufnya filsuf (pendekarnya
filsuf ), maka Aristoteles memiliki pendekatan yang lebih metodis,
bersistem, dan ilmiah. Dasar-dasar logika yang ia letakkan mempengaruhi
cara berpikir Barat, terutama sampai pada tahun 1600-an. Keyakinan akan
kebenaran ajaran Aristoteles dipercaya penuh, baru setelah adanya temuan-
temuan ilmiah baru beberapa pendapat Aristoteles dievaluasi kembali antara
lain dibuktikan bahwa Fisika Aristoteles tentang gerak, ternyata tidak benar
(lihat Newton). Juga prinsip ilmu Aristotels yang menyebutkan bahwa ilmu
seharusnya bersifat analitis dan tidak sintesis, direvisi oleh ilmuan-ilmuan
zaman pencerahan 1000 tahun kemudian. Akan tetapi bagaimanapun
dasar-dasar logika Aristoteles yang telah diletakkan lebih 2000 tahun yang
lalu masih menjadi metode berpikir rasional sampai saat ini.

Sejarah Intelektual
124

Aristoteles adalah orang pertama yang menyelidiki tentang hakekat


dan metode ilmu pengetahuan dan membagi filsafat dalam tiga kategori,
yaitu Logika. Fisika, dan Etika. Menurut logikanya, dalam proses berfikir
logis untuk mencapai kesimpulan yang benar, selalu ditumpu oleh tiga
dasar yang tidak terpisahkan, pertama adalah mengerti, kedua menilai,
dan ketiga mengambil kesimpulan, inilah tiga prosedur logika yang masih
berlaku hingga sekarang.
Dasar logikanya terutama tertumpu pada tiga hukum dasar berfikir
yang untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Aristoteles (Garry Stevens),
masing sebagai berikut :
1. Hukum identitas: A adalah A
2. Hukum Non Kontradiksi: Tidak ada yang dapat sekaligus menjadi
dua-duanya, sebagai A dan tidak sebagai A.
3. Hukum “Excluded Middle”, Semuanya bisa menjadi A atau tidak
menjadi A, dan tidak kemungkinan ketiga.
Contoh untuk variabel pertama, hukum identitas, “Katak adalah katak”,
untuk variabel ketiga, “Benda ini sebuah kubus atau bukan kubus”, tidak ada
kemungkinan ketiga. Kalimat-kalimat di atas menunjukkan bahwa untuk semua
pertanyaan harus didasarkan pertama-pertama pada, “sebuah asumsi pada satu
fakta yang sahih”, tanpa landasan ini, maka tidak ada kebenaran yang dapat
dicapai.
Prestasi Aristoteles dalam bidang logika adalah pengembangan
pemikiran tentang deduksi yang berarti menentukan gejala yang khsusus
ditarik dari kesmpulan dari gejala-gejala umum dan induksi, menentukan
gejala yang umum yang ditarik dari gejala-gejala yang khusus. Sebagai
pembuktian ilmiah Aristoteles berpendapat metode deduksi dianggap lebih
sesuai, karena dari gejala-gejala keseluruhan dan gejala-gejala yang umum
dapat ditarik kesimpulan tentang gejala yang khusus.
Logika yang dibangun atas dasar pendekatan deduktif ini, ia sebut
sebagai syllogismus. Contoh yang sering disebut adalah:

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


125

Semua bakal mati


Socrates adalah orang
Socrates bakal mati.
Baris pertama dan kedua merupakan “premis dan ketiga “konklusi”
atau “kesimpulan”. Contoh logika deduktif di atas menunjukkan hal-hal atau
gejala-gejala yang berdasar pada kenyataan umum, secara logis darinya dapat
ditarik kesimpulan atas kenyataan yang bersifat khusus yang utama dalam
deduksi ini adalah logika dari premis-premisnya. Logika tidak bertujuan
membenarkan atau menyalahkan sesuatu tetapi struktur pernyataan masalah
yang runut akan membawa pada kesimpulan yang logis. Jadi bila premisnya
benar, urutannya logis, maka konklusinya dengan sendirinya benar.
Aristoteles menganggap logika adalah cara berpikir yang bersistem
teratur, dan bertahap, ilmu yang murni, sifatnya apriori. Hakekat logika
sama dengan matematika, hasil kesimpulannya bersifat bebas nilai dan tak
terbantahkan. Selain itu, Aristoteles juga membedakan antara pengetahuan
ilmiah atau pengetahuan tentang kebenaran dengan pengetahuan biasa
yang didapat melalui proses pengalaman atau pengetahuan empiris, dari
pengalaman empiris dapat ditemukan bukti-bukti melalui pembuktian
ilmiah dapat ditemukan kebenaran-kebenaran dan sebab-sebab yang lebih
dalam. Pengalaman menunjukkan “apa yang terjadi” tetapi pembuktian
ilmiah membuktikan “alasan dan sebab-sebab dari apa yang terjadi”.

D. Archimedes (285 – 212 SM)


Archimedes adalah ahli matetmatika dan fisika. Metodenya adalah
penggunaan model untuk membayangkan masalah tertentu yang kemudian
dibuat analisis matematika-nya. Yang terkenal dari Archimedes adalah
teriakannya “Hereuka” (saya telah menemukan), karenanya ia dianggap
sebagai Bapak metode berfikir “Heuristik”.
Metode pemecahan masalah ini berlawanan dengan cara berfikir
logika, karena di dalamnya digunakan Analogi dan Hipotesa. Dengan
demikian sejak zaman antik telah dikenal alternatif metode pemecahan
masalah yang bila sudah diketahui bahwa soal yang dihadapi tidak dapat
diselesaikan melalui jalan berfikir logika atau matematika.

Sejarah Intelektual
126

Dalam proses, metode heuristik adalah elemen yang sangat penting dan
seringkali digunakan. Metode ini bertolak dari kreatifitas dan kemampuan
menemukan ide. Cara ini dapat dianggap sebagai pelengkap dari metode
analisis dan logis yang dalam ilmu desain digunakan untuk membaca
kecenderungan, prilaku konsumen, atau pengembangan pasar, dan hal-hal
yang bersifat kuantitatif.
Dalam sejarah, metode heuristik merupakan tulang punggung dalam
penelitian sejarah. Tanpa memahami dan mendalami metode ini, niscaya
para peneliti sejarah atau para sejarawan akan kehilangan jejaknya dalam
melakukan tugas profesionalnya. Heuristik dalam sejarah diartikan sebagai
mencari, menyeleksi, dan menemukan sumber yang menunjukkan pada
pristiwa sejarah. Setelah proses heuristik dicapai, tahap berikutnya adalah
kritik yang meliputi kritik interen dann eksteren. Kritik eksteren adalah
meneliti dan mendalami autentisitas sumber yang ada, sementara kritik
interen adalah meneliti dan menyeleksi terhadap nilai kepercayaan isi
sumber atau juga disebut nilai kredibilitasnya. Tahapan ini juga disebut
dengan analisis sejarah. Setelah tahapan kritik interen dan ekteren
dilewati, sejarawan memasuki tahap sintesa sejarah yaitu penafsiran untuk
menghubungkan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain yang saling
berhubungan dan kait-mengait. Tahapan terakhir adalah penulisan sejarah
atau yang dikenal dengan istilah historiografi.
Tanpa disadari bahwa Archimedeslah yang pertama sekali memperkenal
metode heuristik, walaupun untuk dipakai dalam ilmu matematika dan
fisika, dan bukan untuk sejarah, namun kemudian metode heuristik ini
kemudian dikembangkan dan disempurnakan dalam metode sejarah.

E. Al-Kindi
Filsuf yang pertama dan secara sistematis mempopulerkan filsafat Yunani
adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (wafat 257 H/870 M). Al-Kindi secara
khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (filsuf al-Arab), tidak saja dalam
pengertian etnis, tapi juga dalam pengertian kultural. Ia menghidangkan
filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah pikiran-pikiran asing dari arah
barat itu “diislamkan”, jika tidak boleh disebut “diarabkan”.

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


127

“Al-Kindi diketahui sebagai seorang penulis yang ensiklopedis


dalam firasat dan ilmu pengetahuan. Banyak dari karyanya yang hilang,
tapi dari yang tersisa sebagiannya telah diterbitkan. Sampai di mana al-
kindi berhasil menjinakkan pikiran pagan dari Yunani itu, dapat sepintas
lalu kita ketahui dari dua risalah pendeknya yang dijelaskan dalam
tulisan ini. Risalah pertama jelas dibuat untuk menopang jaran pokok
Islam tentang Tauhid, tapi dengan sepenuh-penuhnya menggunakan
sistem argumentasi filsafat. Namun dari situ juga kita ketahui bahwa
al-Kindi, sejalan dengan pikiran Islam yang ada khususnya dalam
bentuk sistematisnya terwakili dalam ilmu Kalam Mu’tazilah, dengan
tegas menolak faham Aristoteles tentang keabadian alam. Sementara
risalahnya yang kedua menurut tulisan paling dini oleh pemikir Muslim
mengenai akal atau intelek. Dalam risalah ini al-Kindi mengatakan
sebagai hanya menuturkan pendapat “orang-orang Yunani Kuno yang
terpuji”, khusunya Aristoteles mengenai akal itu.
Jangka waktu sekitar dua ratus tahun sejak pertengahan abad kedua
Hijri adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku
ajaran Islam seperti yang kita kenal sekarang. Selain munculnya Ilmu
Kalam oleh kaum Mu’tazilah serta Falsafah oleh adanya gelombang masuk
Hallenisme, masa itu juga mencatat adanya proses konsolidasi faham
kebanyakan Ummat, yaitu faham Jama’ah dan sunnah. Bidang jurisprudensi
(fiqh) telah semakin mantap pembakuannya, berkat kegiatan intelektual
sarjana-sarjana besar hukun Islam, khususnya sebagaimana tercermin
dalam empat aliran (mazhab) yang diakui sama-sama sah. Empat aliran
jurisprudensi itu ialah mazhab Hanafi (oleh Abu Hanifah, wafat 15oH/767
M), mazhab Maliki (oleh Anas ibn Malik, wafat 179 H/795 M), mazhab
Syafi’i (oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, wafat 204H/819 M), mazhab
Hanbali (oleh Ahmad Ibn Hanbal, wafat 241 H/855 M). Pengakuan
mazhab-mazhab itu sebagai sama-sama benar mengukuhkan kembali
faham dasar kaum Jama’ah yang mengenal relativisme internal Islam, dan
karena itu menyiapkan sikap-sikap yang lebih toleran dibanding dengan
kelompok-kelompok Islam lainnya, khususnya kaum Syi’ah, Khawarij dan
bahkan dengan kaum Mu’tazilah sendiri.

Sejarah Intelektual
128

Selain bidang jurisprudensi, tradisi Nabi (sunnah) sebagai sumber


data penyimpulan hukum dan ajaran agama pun mengalami pembakuan
pencatatannya. Tidak lagi dibiarkan beredar bebas tanpa pengawaan, data
tentang cerita dan anekdot (Hadits) mengenai Rasulullah SAW. Itu kini
di letakkan di bawah pengkajian yang kritis menurut metode penelitian
ilmiah saat itu. Metode dan teori tentang hadits itu memungkinkan
klasifikasi data tersebut menjadi sejak dari yang demikian otentiknya
sehingga dianggap mendekati nilai al-Qur’an, sampai kepada yang palsu,
hasil bikinan. Meski pun dapat mengesankan danya semacam anakronisme
dalam sejarah jurisprudensi Islam menurut teori, fiqh dan ajaran-ajaran lain
harus berdasarkan sunnah sesudah al-Qur’an, tetapi kenyataanya mazhab-
mazhab fiqh telah tumbuh terlebih dahulu. Pembakuan kodifikasi Hadits
itu merupakan tonggak utama konsolidasi kaum Sunnah. Kodifikasi itu
menstabilkan faham golongan terbesar Ummat, yang sejak itu dengan tegas
terbedakan dari golongan Islam lainnya dengan sebutan mantap sebagai
kaum Jam’aah dan Sunnah atau secara populer kaum sunni. Kini, selain al-
Qur’an pada mereka itu terdapat pegangan dasar tertulis baku lagi sebagai
sumber sah pemahaman agama yaitu kitab-kitab kumpulan hadits. Yang
paling penting dari kitab-kitab itu ialah yang terkenal sebagai al-Kutub al-
Sittah (kitab yang enam), yaitu berturut-turut oleh al-Buchari (wafat 256
H/870 M), Muslim (wafat 261 H/875 M), Ibn Majah (wafat 273 H/886
M), Abu Dawud (wafat 275 H/886 M), Al-Tirmidzi (wafat 279 H/892
M), dan al-Nasa’i (wafat 303 H/916 M). Dari semuanya itu, kodifikasi al-
Bukhari dianggap paling otentik, menyusul kemudian kodifikasi muslim,
dan keduanya secara bersama terkenal sebagai “Dua yang Otentik” (al-
Shahihain).
Selain fiqh dan Hadits, konsolidasi kaum Sunni juga terjadi di bidang
pemikiran teologis. Meskipun sampai dengan saat itu Ilmu Kalam terutama
merupakan kesibukan kaum Mu’tazilah, namun lama kelamaan golongan
Sunni pun menyertainya, karena keperluan mereka kepada pemikiran
sistematis dan rasional tentang pokok-pokok faham keagamaan mereka.
Bahkan desakan itu tidak saja mendorong mereka berpartisipasi dengan
golongan lain dalam Ilmu Kalam, tetapi juga dalam pemikiran kontemplatif

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


129

filsafat. Dalam bidang teoligia ini konsolidasi kaum Sunni diwakili oleh
karya-karya intelektual besar islam, Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 300 H/
915 M ).

F. Al-Asy’ari
Al-Asy’ari sendiri, sesungguhnya, dari segi latihan inteletual dan
fahamnya, adalah seorang Mu’ tazilah. Tapi, karena kecewa oleh beberapa
nukhtah dalam pemikiran Mu’tazilah itu, pada sekitar umur 40-an al-
Asy’ari meninggalkan aliran tersebut dan memeluk aliran umum Ummat,
yaitu faham Jama’ah dan Sunnah.
Sesungguhnya begitu, jalan di depan al-Asy’ari dalam kariernya
sebagai pemikir tidaklah licin dan lempang. Sebagai bekas Mu’tazilah, dan
karena tetap menggunakan metode-metode filsafat dan Ilmu Kalam dalam
argumentasi-argumentasinya, al-Asy’ari tetap mencirikan bagi kebanyakan
Ummat yang sering menuduhnya menyeleweng atau malah kafir. Salah satu
risalahnya yang terkenal akan memberi kita gambaran betapa al-Asy’ari
membela diri dari serangan berbagai kalangan, dan bagaimana dalam
perjuangannya mengkonsolidasi faham kaum Sunni itu ia menyerukan
pentingnya mempelajari metode Ilmu Kalam, disiplin berpikir saingan
utama mereka, kaum Mu’ tazilah.
Reformasi al-Asy’ari tercatat sebagai slah satu yang amat sukses, dalakm
sejarah pemikiran Islam. Pertama ia berhasil melumpuhkan gerakan kaum
Mu’tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri. Kemudian dengan
sistem teologianya itu, ia menjadi pendekar Ummat dalam menjawab
tantangan gelombang pertama Hellenisme. Boleh dikata bahwa ia tidak saja
telah mengukuhkan faham Sunni, tapi bahkan menyelamatkan Islam itu
sendiri dari bahaya Hellenisasi total.
Dengan sistematika al-Asy’ari, Ilmu Kalam mulai memperoleh
kedudukannya yang mantap dalam bangunan intelektual Islam. Seperti
tercermin dari usahanya utnuk membuat semacam modus vivendi antara
faham Jabariyyah dan Qadariyyah, Asy’arisme juga merupakan penengahan
antara dogmatisme kaum sunni konservatif dan rasionalisme sistem kaum

Sejarah Intelektual
130

Mu’tazillah. Dalam analisis terakhir, Asy’arisme, seperti halnya dengan Ilmu


Kalam pada umumnya adalah suatu buah kegiatan intelektual orang-orang
Islam dalam usaha mereka untuk memahami secara lebih sistematis, dalam
bentuk “suatu teologika alami yang dibangun di atas metodologi skolastik
dan Aristotelian, dan disusun mengikuti berbagai ketentuan yang jelas
merupakan problematika yang ebrsifat Hellenik-Patristik.
Justru karena hakikatnya yang merupakan jalan tengah antara
dogmatime dan liberalisme itu maka Ilmu Kalam Asy’ari cepat menjadi
sangat populer di kalangan Ummat, kemudian diterima sebagai rumusan
ajaran pokok agama (ushul al-adin) yang sah atau ortodoks di seluruh dunia
Islam secara hampir tanpa kecuali, sampai detik ini. Keadaan itu begitu rupa
sehingga memberi kesan bahwa Ilmu Kalam, salah satu warisan intelektual
Islam yang sungguh pun sangat mengagumkan dunia pemikiran manusia,
adalah seolah-olah suatu panacea yang sempurna abadi.
Tetapi sebenarnya dunia pemikiran dalam Islam dan kegiatannya
khususnya falsafah, sama sekali tidak berhenti dan tuntas dengan tampilan
al-Asy’ari. Berbeda dengan Ilmu Kalam yang merupakan intelektualisme
memasyarakat, falsafah tetap merupakan kesibukan pribadi-pribadi dalam
suatu gaya yang elitis. Para filsuf gemar memandang diri mereka sebagai
golongan al-khawwash (orang-orang istimewa) yang berbeda dari golongan
al-awwam, yakni orang umum atau publik dari kalangan Ummat. Dan
justru pada saat al-Asy’ari yang hebat itu sedang sibuk mengkonsolidasi
metodologinya, falsafah memperoleh momentumnya yang baru oleh
tampilnya al-Farabi (Muhammad Abu Nashr al Farabi, wafat 340 H/950
M).

G. Al-Farabi
Sebagai seorang filsuf, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-
Kindi, namun dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir, dan
tingkat sofistifikasi yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai
seorang filsuf muslim pertama, al-Farabi disepakati sebagai peletak dasar
pitamida falsafah dalam Islam. Maka setelah Arstoteles sebagai sang guru
pertama, al-Farabi merupakan guru kedua dalam dunia intelektual Islam.

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


131

Al-Farabi adalah ahli logika pertama dan metafisika pertama yang


terkemuka dalam Islam. Tetapi lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin
ialah tulisan-tulisannya dalam filsafat politik. Dalam filsafat politiknya
itulah tercermin dengan baik sekali suatu perwujudan Neoplatonisme
Islam. Seperti halnya dengan raja filsuf dari Plato, al-Farabi menghendaki
seorang kepala negara yang mempunyai kualitas, kecerdasan, kekuatan
ingatan, ketajaman hati, kecintaan kepada pengetahuan, kesederhanaan
berkenaan dengan makan, minum, dan seks, kecintaan kepada kebenaran,
keanggunan, kehematan, kecintaan kepada keadilan, keteguhan atau
keberanian, sebagaimana juga kemantapan fisik dan kefasihan, yang tidak
pernah disebut-sebut oleh Plato.
Dalam antologi ini kita cuplik sebuah karya al-Farabi yang diharap
dapat mewakili filsafat politik “Guru kedua” itu secara sepintas. Karena
sekalipun seorang Neoplatonis namun tetap muslim, al-Farabi dalam filsafat
politiknya sampai kepada kesimpulan bahwa penguasa yang paling baik
ialah para nabi, dan di antara mereka itu Nabi Muhammad SAW. adalah
yang paling ideal, seorang raja-filsuf yang benar-benar berkuasa dan telah
memberi manusia tatanan hukum paling utama, yakni syariat.
Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi
dilanjutkan pembangunannya oleh para penerusnya dan karya intelektual
“Guru Kedua” itupun mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam
untuk mengalami sekali lagi serbuan Hellenisme yang kini semakin dahsyat.
Segera setelah wafatnya sarjana besar itu, dan tidak lama sejak wafatnya al-
Asy’ari yang hebat tadi, gelombang kedua Hellenisme melanda dunia Islam,
yang terjadi sekitar tahun 340 hingga 660 Hijri, (antara tahun 950 hingga
1260 M).
Jika gelombang pertama Hellenisme terjadi pada saat-saat kemunduran
Rezim Umawiyyah di Damaskus dan permulaan kebangkitan kaum
Abbasiyyah, maka gelombang kedua ini berlangsung ketika kekuasaan
Baghdad itu mulai merosot dan situasi politik interen dunia Islam menjadi
tidak menentu. Kekhalifaan di Baghdad semakin merunun pamornya,
untuk kemudian berubah fungsinya menjadi sekedar lambang kesatuan

Sejarah Intelektual
132

ummat, namun tanpa kekuasaan politik yang efektif. Kekuasaan politik itu
telah terbagi-bagi di antara para amir dan a’yan (semacam kelas priyayi)
diberbagai tempat. Pertentangan antara bermacam-macam ideologi,
khususnya antara Paham sunnah dan paham syi’ah, semakin memperburuk
situasi sosial-politik Ummat, dan di tangan para amir dan a’yan itu ideologi-
ideologi tersebut menjadi alat pembenaran ambisi kekuasaan masing-
masing. Sebagian dari mereka, seperti misalnya rezim Ghaznawi dan Bani
Saljuk, memperjuangkan paham sunnah sedangkan sebagian lagi, seperti
misalnya rezim Fathimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan
Universitas Al-Azhar itu, amat giat mempropagandakan paham syi’ah
isma’iliyyah.

H. Ibn Sina
Secara mengejutkan, dunia dalam keporak-porandaan politiknya
itu tidak pernah berhenti berpikir. Justru berbagai kegiatan intelektual
dan ilmiah berkembang bagaikan cendawan di musim hujan, berkat
dorongan dan lindungan para amir dan a’yan yang saling bersaing dan
saling mengungguli. Para penguasa lokal itu berlomba menarik hati kaum
sarjana dan ilmuwan, dan mereka yang tersebut terakhir ini mendapati
keadaan tidaklah terlalu buruk, jika bukan sangat menguntungkan, bagi
terlaksananya banyak keinginan mereka di bidang ilmu pengetahuan. Kini
peradaban Islam tidak lagi memusat pada beberapa kota tertentu seperti
Baghdad, Basrah, dan Kuffah di lembah sungai-sungai Dajlah dan Furat itu,
melainkan menyebar sampai ke banyak kota kecil dunia Islam. Diantaranya
ialah bukan tempat di tepi pantai Selatan laut Kaspia, di kawasan Bukhara
di mana seorang bocah tertentu, setelah selesai menghafal al-Qu’ran,
mengusai Nahu-sharaf (gramatika bahasa Arab) dan mendalami fiqih,
seperti biasanya anak muslim berpendidikan yang rajin dan cerdas saat
itu kemudian belajar ilmu logika kepada seorang guru falsafah setempat,
hanya untuk mengejutkan orang banyak dan gurunya sendiri karena dalam
usianya yang amat muda itu ia mampu dengan sangat cepat menguasi ilmu
yang pelik tersebut, malah melebihi sang guru. Disitulah ibnu Sina (Abu’
Ali al-Husayn ibn’ Abdullah ibn Sina, wafat 428 H/1037 M).

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


133

Seperti yang mendapatkan ilmu ladunni (pengajaran gaib), dan


bagaikan dalam kehausan belajar yang tak pernah terpuaskan, Ibn Sina
mempelajari apa saja yang teraih oleh tangannya dan menguasainya dengan
sempurna. Pada usia 17 tahun ia telah memahami seluruh teori kedokteran
yang ada pada saat itu melebihi siapapun juga, yang membuatnya diangkat
sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Hanya saja; oleh suatu sebab yang
masih harus dikaji, meskipun, katanya sendiri dalam otobiografinya, telah
diulang membacanya sampai 40 kali. Ia akhirnya tertolong hanya oleh
sebuah risalah pendek al-Farabi tapi anekdok itu justru melukiskan bahwa
Ibn Sina adalah seorang pewaris tulen teradisi falsafah Islam rintisan al-
Kindi dan peletakan pondasi al-Farabi.
Ibn Sina adalah seorang penulis yang luasr biasa produktif, dan
karenanya ia adalah yang terbesar di antara sekalian pemikir yang menulis
karya filsafatnya dalam bahasa Arab. (perlu diingat bahwa pada masa itu,
sampai dengan akhir-akhri ini, bahasa Arab adalah bahasa karya keilmuwan
para sarjana dalam lingkungan dunia Islam, termasuk bagi mereka yang
bukan Arab, seperti orang-orang Persia dan Turki, atau bukan Muslim,
seperti orang Kristen, lebih-lebih lagi orang-orang Yahudi. Pada Ibn Sina
falsafah mencapai puncaknya yang tertinggi, dan karena prestasinya itu
“Ibn Sina memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syaikh al-Ra’is” (kiyai
utama).
Ibn Sina, seperti halnya dengan al-Farabi sebelumnya, menegakkan
bangunan Neoplatonis di atas dasar kosmologi Aristoteles-Ptolemi, yang
dalam bangunan itu digabungkan konsep pembagian alam wujud menurut
paham emanasi. Dan seperti halnya dengan semua filsuf muslim ibn Sina
beruaha membulktikan dimungkinkannya adanya nabi. Berbeda dengan al-
Farabi yang mengaitkan nubuwwat dengan suatu bentuk imajinasi tertinggi,
Ibn sina mengkaitkannya dengan bagian tertinggi sukma, yaitu akal.
Risalahnya yang amat masyhur, yang termuat dalam antologi ini, memberi
gambaran tentang pendirian Ibn sina sekaligus menunjukkan kepada kita
bagian-bagian dari pahamnya, di samping dalam banyak sekali karya-
karyanya yang lain, yang menjadi sasaran kritik para sarjanan sesudahnya
khususnya dalam kalangan kaum agamawan ortodoks.

Sejarah Intelektual
134

I. Al-Gazali
Satu generasi setalah Ibn Sina, tampil al-Gazali (Abu Hamid ibn
Muhammad al-Gazali, wafat 505 H/1111 M), seorang pemikir yang
dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat khususnya Neoplatonisme al-
Farabi dan Ibn Sina. Diakui sebagai salah seorang pemikir paling hebat dan
paling original tidak hanya dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual
manusia, al-Gazali di mata banyak sarjana muslim maupun bukan muslim
adalah orang terpenting sesudah Nabi Muhammad SAW, ditinjau dari
segi pengaruh dan peranannya menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran
keagamaan.
Sekalipun al-Gazali menolak falsafah, namun ia mempelajari seni itu
sedalam-dalamnya. Ini membuat bahwa kritik-kritiknya dilakukan dengan
kompetensi yang tidak bisa dipersoalkan lagi. Justru ia berhasil, karena ia
menggunakan metode falsafah itu sendiri yang ia pinjam terutama dari
Ibn Sina. Tujuan al-Gazali dengan Tour de force-nya itu ialah membela dan
menggiatkan kembali kajian keagamaan, sehingga karya utamanya pun
berjudul Ihya Ulum al-Din (“menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”)
dan begitu pula, bahwa ia menulis karya polesmisnya yang besar dan
abadi, Tahafut al-Falasifah (“kekacauan para filsuf ”), adalah katanya sendiri
karenan terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang
banyak membuat orang meninggalkan ibadat. Meskipun ia sendiri seorang
pemikir sistematis dan rasional besar yang pada intinya menggabu8ngkan
falsafah dengan ilmu kalam, namun ia dengan jelas melihat keterbatasan
ilmu kalam itu dan meyakini bahwa agama haruslah terutam berupa
pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupajn suhud dan
seorang sufi.
Dalam banyak hal al-Gazali adalah penerus langsung peranan al-Asy’ari
hanyab dengan kapasitas intlektual yang jauh lebih besar sebagaimana al-
Asy’ari dengan meinjam metode mu’tazilah berhasil , merumuskan dan
mengkonsolidasi paham sunni, al-Gazali juga dengan meminjam metode
lawan-lawannya yaitu Neoplatonisme dan aristotelianisme, berhasil
membangun lebih kokoh lagi sunnisme itu dan membuatnya sebegitu jauh
tak terpatahkan. Al-Gazali telah mebendung bahay gelombang Hellenisme

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


135

yang kedua sebagaimana sebelumnya al-Asy’ari mengekang daya serang


gelombang pertamanya, maka tidaklah terlalu berlebihan ia digelari “Hujat
al-Islam” (argumentasi Islam) dan menjadi simbol kaum sunni.
Sekalipun begitu pengalaman al-Asy’ari yang mula-mula ditolak dan
diurigai ummat berulang pada al-Gazali. Meskipun ia dengan sepenuh-
penuhnya membela agama, tapi pembelaannya itu dilakukan dengan
memperkenalkan berbagai cara berpikir dan metode yang saat itu dirasakan
sebagai heterodoks dan bid’ah karena menyalahi tradisi pemikiran keagamaan
yang dikenal menarik sekali mengetahui bagaimana al-Gazali membela diri
dari tuduhan-tuduhan menyeleweng dan membuat bid’ah itu sebagaimana
terlukiskan dalam sebuah risalah pendeknya yang dimuat dalam buku ini.
Sesungguhnya berkat pikiran-pikiran al-Gazali itulah maka asy’arisme
mendapatkan kemenangannya yang terakhir, yang kemudian menjadi ciri
utama paham sunni juga karena karya-karya al-Gazali maka kesenjangan
natar sufisme dan bidang-bidang agama lainnya, khususnya ‘aqidah dan
syari’ah mejadi semakin menciut. Bahkan al-Gazali telah berhasil memberi
tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam itu dalam keseluruhan paham
keagamaan yang dianggap sah atau ortodoks.
Pemnyelesaian yang ditawarkan oleh al-Gazali begitu hebatnya,
sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-
oleh ternius tak sadarkan diri. Menurut lukisan seorang sarjana, al-Gazali
sedimikian komplitnya memberi penyelesaian maslah-masalah keagamaan
Islam itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan
telah menciptakan sebuah kamar untuk ummat yang walaupun sangat
nyaman tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan aktivitas intelektual
Islam, konon sampai sekarang.
Bahwa sejak itu ummat Islam terkunkung dalam kamar sel nyaman
Gazaliisme, memang banyak yang mengatakan begitu. Gejala-gejala pada
ummat pun banyak yang bisa ditunjuk sebagai mendukung penilaian
demikian. Dan menurut pandangan itu, umat Islam tidak akan mendapatkan
kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil memecahkanj kamar sel
Gazaliisme itu.

Sejarah Intelektual
136

Betapapun seperti telah disinggung, al-Gazali amat berjasa dalam


menstabilkan pemahaman umat kepada agamanya. Berkat al-Gazali,
berbagai kekacauan pemahaman itu teratasi. Hanya saja, justru stabilitas
inilah yang mengesankan keterpenjaraan dan kemandekan. Walaupun
demikian masih merupakan tanda tanya besar, benarkah ummat secara
keseluruhan dan sama sekali terkuasai oleh sistem pemahaman yang
dibangunnya? Masih memerlukan pengkajian selanjutnya.

J. Ibn Rusyd
Ibn Rusyd bernama lengkap Abu al-Walid ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn Rusyd (wafat 595 H / 1198 M). Ia diakui sebagai ahli Aristoteles yang
terakhir dan terbesar dalam Islam. Karyanya yang paling terkenal ialah
kritiknya terhadap buku al-Gazali, Tahafut al-Falasifut (kekacauan para
Filsuf ). Ibn Rusyd dengan cerdik dan tendensius memberi judul karyanya
dengan Tahfut at-Tahafut (Kekacauan buku Kekacauan). Buku al-Gazali
sebelumnya merupakan kritik terhadap filsafat Ibn Sina yang Neoplatonis,
sehingga Ibn Rusyd membalas dengan ungkapan bahwa a-lGazali bersifat
Aristotelian.
Justru Ibn Rusyid juga membuat kritik-kritik tandas tersendiri kepada
filsafat al-Farabi dan Ibn Sina, dan berusaha menunjukkan dalam filsafat
terdahulu itu unsur-unsur Neoplatonisnya. Ibn Rusyid terutama dilihat
dari sudut pandang sejarah filsafat Eropa Barat, dianggap sebagai penafsir
Aristoteles terbesar sepanjang masa. Ibn Rusyid menjadi sumber utama
Aristotelianisme Eropa abad pertengahan dan untuk jangka waktu lama
Ibn Rusyid mempengaruhi jalan pikiran Eropa antara lain seperti tercermin
dalam apa yang dikenal dengan Averroisme Latin.
Tapi dunia intelektual Islam mempunyai sudut penilaian tersendiri
terhadap Ibn Rusyid. Memang disadari bahwa Ibn Rusyid adalah seorang
aristotelian yang dapat dikatakan “fanatik” (Ibn Rusyid misalnya, adalah
seorang pengagum ilmu manthiq Aristoteles dan menganggapnya suatu
sumber besar kebahagiaan sehingga ia menyesali mangapa Socrates dan Plato
dulu tidak mengenalnya!). Kekhususan Ibn Rusyid yang lebih mengesankan
dunia pemikiran Islam ialah usahanya untuk menggabungkan agama dan

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


137

falsafah secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, lebih bersungguh-sungguh


daripada al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Dari risalahnya, kita bisa
mengetahui pendirian pokok Ibn Rusyid, di mana ia mengajukan argumentasi
bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meskipun
dinyatakan dalam lambang yang bebeda-beda. Tapi sesungguhnya Ibn Rusyid
juga membela pandangan bahwa kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis
dan bagi yang mampu agama haruslah diinterpretasikan secara demikian.
Konsekuensinya, Ibn Rusyid dengan kuat sekali berpegang kepada pendirian
bahwa ada pemahaman agama menurut kaum al-khawwash terutama pada
filsuf dan ada yang menurut kaum al-awwam. Pemahaman khawas tidak
boleh sama sekali diberikan kepada seseorang yang kemampuannya hanyalah
menangkap pengertian awam, sebab katanya akan membawa kepada kekafiran.
Sebaliknya, seorang yang mampu berfikir filosofis dan tidak menafsirkan
kebenaran agama yang demikian adalah juga kafir. Dengan begitu Ibn Rusyid
menggarisbawahi elitisme para filsuf.
Meskipun demikian, Ibn Rusyid tetap dinilai sebagai filsuf yang
paham keagamaanya paling mendekati golongan ortodoks. Dan di antara
para filsuf, tidak ada yang manyamai Ibn Rusyid dalam keahliannya di
bidang fiqh. Bukunya hidayat al-Mujtahid diketahui sebagai karya dengan
sistematika yang terbaik di bidang juriprudensi Islam, berkat latihan
intelektualnya sebagai seorang filsuf.
Ibn Rusyid tampaknya tidak lepas dari pengamalan-pengamalan
pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu, bahkan
lebih buruk lagi. Penguasa Islam Spanyol, yaitu Abu Yusuf Ya’qub al-
Mansyur, yang saat itu berkedudukan di Seville pernah memerintahkan
untuk mambakar semua karya Ibn Rusyid kecuali yang murni bersifat ilmu
pengetahuan (science) seperti kedokteran, matematika dan astronomi, atas
tuduhan telah membuat bid’ah. Sangat menyedihkan bahwa tindakan amir
itu, konon semata-mata hanya berdasarkan perhitungan politis. Namun tak
luput peristiwa tersebut mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan
intelektual Islam yang amat merugikan. Hal itu mencerminkan, untuk
kesekian kalinya ketidakmampuan kesebagian umat khususnya kaum
ortodoks untuk menerima tradisi intelektual falsafah. Sepanjang mengenai

Sejarah Intelektual
138

ujung barat dunia Islam, kekolotan kaum ortodok itu tidak saja harus
dibayar dengan hancurnya Aristotelianisme Islam Ibn Rusyid dan tradisi
keintelektual falsafah pada umunya. Bahkan jika negeri Andalusia yang
muslim itu sendiri pun akhirnya harus lepas ke tangan musuh. Secara
menakjubkan pikiran-pikiran Ibn Rusyid yang coba dipadankan oleh
para penguasa dengan bantuan para tokoh keagamaan kolot itu, ternyata
hidup di kalangan orang-orang Yahudi dan kristen Eropa Barat. Kemudian
bangkit kembali dengan segarnya di Universitas Paris, lalu berkembang
menjadi salah satu bahan pokok kebangkitan intelektual dan seterusnya
ikut menentukan warna dan bentuk hubungan lebih lanjut antara dunia
Barat yang kristen dengan dunia Timur yang Islam.
Kekalahan Ibn Rusyid dan kegagalannya membangkitkan
Aristotelianisme Islam, sepanjang mengenai implikasinya yang negatif pada
usaha memelihara dan mengembangkan tradisi berfikir logis dan rasional umat
adalah memang patut disesalkan. Tetapi dari segi pencarian dan penemuan
kebenaran itu sendiri, falsafah dan kalam memang banyak mengandung
problema. Pada zaman moderen ini tidaklah terlalu sulit mengenali segi-segi
Neoplatonisme dan Aristotelianisme yang merupakan titik-titik kelemahannya.
Banyak dari Neoplatonisme itu yang Islam maupun yang bukan Islam, yang
lebih mirip dengan dongeng dan khayal seorang yang amat pandai, seperti
misalnya emansionismenya dalam kosmologi demikian pula dengan logika
formal Aristoteles yang mengingtakan seseorang kepada seni permainan kata-
kata kosong. Kosmologi Neoplatonis boleh dikata seluruhnya telah dengan
tuntas terbantah oleh ilmu pengetahuan mereka. Sedangkan logika Aristoteles
telah lama tumbang oleh sistem-sistem logika yang dikembangkan oleh
misalnya Mill, Leibniz, dan Russel.

K. Ibn Taimiyyah
Suatu hal yang amat menarik dalam sejarah intelektual Islam bahwa
pada abad ke-14 yakni sekitar masa satu generasi sesudahnya padamnya
gelombang kedua Hellenisme, Ibn Taimiyyah (Taqi al Din Ahmad
ibn Taimiyyah, wafat 728 H/1328 M) seorang pemikir pembaharu
dari Damaskus, telah secara sangat dini menyadari kesalahan prinsipil

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


139

keseluruhan bangunan falsafah dan kalam, dan dengan sangat kompeten


membongkar kepalsuan logika Aristoteles yang banyak menguasai jalan
pikiran para sarjana Islam, termasuk misalnya al-Gazali yang menolak filsafat
itu. Ibn Taimiyyah sering digambarkan sebagai seorang pemikir fanatik
dan reaksioner. Dalam tinjauan moderen, Ibn Taimiyyah semakin banyak
mendapatkan perlakuan yang lebih simpatik disebabkan antara lain oleh
kesadaran baru para sarjana akan kompetensi ibn Taimiyyah dalam falsafah
dan kalam yang dikritiknya. Dalam usahanya membongkar otoritas falsafah,
misalnya Ibn Taimiyyah telah menulis berbagai karya khusus. Salah satunya
yang besar ialah bukunya, al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin (bantahan kepada
para ahli logika), yang dihargainya sangat tinggi oleh para sarjana moderen
dan yang membuatnya dapat dianggap sebagai peletak dasar pertama bagi
sistem logika John Stuart Mill dan pendahulu filsafat David Hume. Sebuah
karya lainnya ditulis Ibn Taimiyyah sebagai kritik yang ditujukan khusus
kepada filsafat Ibn Rusyid dalam bukunya al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah
(penyingkapan berbagai metode pembuktian).
Sekalipun begitu, tidaklah berarti bahwa Ibn Taimiyyah hendak
meninggalkan kehausan berpikir logis. Dalam kritiknya kepada logika
formal, Ibn Taimiyyah antara lain menolak kebenaran demontyrasi yang
menurut anggapan para filsuf merupakan bentuk bukti tertinggi. Ibn
Taimiyyah tidak mempersoalkan prsoses silogistis yang dapat menghasilkan
bukti tak terbantah, tetapi ia perhatikan bahwa demontrasi itu sangat
hampa. Justru dalam mengritik metode Ijma’ dalam mazhab Syafi’i, ia
menekankan pentingnya qiyas syar’i yang benar. Di sinilah ia bertemu lagi
dengan ilmu logika yang pada analisis terakhirnya masih erat kaitannya
dengan Aristoteniamse Islam. Bukunya al-Qiyas fi al-Syar’i al-Islami (qias
dalam hukum Islam) ia mulai dengan penegasan, bahwa qias syar’i yang
benar ialah yang didasarkan silogisme yang berusaha menemukan faktor
penyebab, bukan kesaman-kesamaan dangkal.
Namun begitu, positifisme Ibn Taimiyyah adlah lebih dominan dalam
pandangan-pandangannya. Ketika ia menolak demonstrasi, ia mengatakan
bahwa sebagai bentuk bukti tertinggi demonstrasi harus mengandung
universal-universal (al-kulliyat) yang terdapat hanya dalam pikiran.

Sejarah Intelektual
140

Tetapi karena kenyataan yang ada ini semuanya adalah bersifat fartikulal
(juz’i) maka berarti bahwa demonstrasi tidak dapat mengahasilkan suatu
pengetahuan positif tentang wujud ini pada umumnya dan tentang Tuhan
pada khususnya. Pengetahuan yang benar tentang wujud ini dapat diperoleh
hanya jika seseorang meneliti langsung apa yang ada sebagai partikular-
partikular (al-Juz’iyyat) bukannya pada abstraksi-abstraksi filosofis. Hal
yang sama juga berlaku untuk pengetahuan tentang Tuhan, yang hanya bisa
diperoleh dengan sikap percaya kepada wahyunya, dan dengan menghayati
wahyu itu menurut bahasa apa adanya melalui partisipasi dalam dinamika
al-Qur’an yang bahasa fuitiknya manurupakan suatu unsur mukjizat itu
seorang akan mampu menangkap sumber vitalitas keagamaan, bukannya
lewat teologi dan pemikiran spekulatif.
Dapat dilihat bahwa dalam penerapannya terhadap bidang keagamaan,
positifisme Ibn Taimiyyah itu telah mendorongnya kepada literalisme
dalam kitab suci, dan membuatnya menolak dengan keras interprestasi-
interprestasi rasional khususnya interprestasi yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan asing (bukan Islam) seperti Hellenisme, baik
pada Kalam maupun falsafah. Inilah pangkalnya Ibn Taimiyyah menolak
dnegan keras kedua tradisi inelektual Islam itu. Dalam hal ini ia hanya
bertindak sepenuhnya selaku pelanjut metode Ahmad Ibn Hanbal (wafat
241 H/855 M) plus Dawud Khalaf “Literalis” (al-Dhahiri, wafat 269
H/882 M) tetapi dengan argumentasi dan sistematika yang lebih unggul
anatar lain seperti halnya dnegan al-Gazali yang mendahuluinya, justru
berkat kajian dan pendalamannya tentang falsafah dan kalam yang menjadi
sasaran utama kritik-kritiknya itu.
Ibn Taimiyyah adalah seorang egalitarianis radikal, yang metodelogi
pemahamannya kepada agama menolak otoritas mana saja kecuali al-
Qur’an dan al-Sunnah. Implikasi dari metodologinya itu ialah antara lain
bahwa ia menjadi amat kritis kepada hampir semua pemikiran Islam yang
mapan, terutama falsafah dan kalam tersebut diatas, tapi juga banyak segi
syariat tasauf dan lain-lain. Nama Ibn Taimiyyah selalu dengan sangat
kuat dikaitkan dnegan eprlawanan yang gigih, malah boleh dikata fanatik
terhadap metode pengikutan tidak kritis (taqlid). Oleh akrena keharusan

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


141

memenuhi tantangan zaman yang senantiasa berubah, Ibn Taimiyyah


berpendirian tetap dibukanya pintu ijtihad untuk selama-lamanya. Dalam
usaha menjabarkan ide-idenya itu, Ibn Taimiyyah menulis berbagai karya
secara amat giat dan dengan kesuburan yang luar biasa. Risalahnya yan
dicatumkan dalam buku ini merupakan keterangan dasar metodologinya
itu, dan emmberi gambarana tentang implikasinya dalam bentuk kritik
hampir kepada semua orang tanpa kecuali.
Sesungguhnya ibn Taimiyyah secar asangat tidak lumrah juga
mengkritik tokoh-tokoh yang oleh kaum muslimin, paling tidak kalangan
kaum sunni dipandang tanpa salah seperti Umar ibn al-Khattab. Ibn
Taimiyyah kadang-kadang dengan cara yang cukup berimbang juga
mambela tokoh ummat yang umumnya menganggap sangat kontroversial,
seperti Muawiyyah (pendiri rezim Bani Umayyah) dan anaknya Yazid.
Namun yang paling mengejutkan ialah konsepnya yang mengenai ‘ishmah
(keadaan tak bisa salah, infallibility) para nabi. Ibn Taimiyyah dinilai
sebagai sangat cenderung kepada pendapat bahwa nabi itu ma’shum (tak
bisa salah, infallible) hanyalah berkenaan dengan tugasnya menyampaikan
wahyu (tabliq) dari Tuhan saja. Di luar tugas itu, para nabi sebagai manusia
biasa dapat malah sebagian dari mereka benar-benar telah melakukan
kesalahan. Hanya saja menurut Ibn Taimiyyah, seorang nabi bila ternyata
tidak bertindak salah akan segera melakukan taubat nasuha (taubat yang
tulus ikhlas). Justru taubat nasuhanya itulah yang membuat kedudukan
para nabi amat mulia. Ia mengemukakan contoh-contoh untuk ini, seperti
pelangaran nabi Daud, kelalaian nabi Yunus, dan juga eberapa kelengahan
nabi Muhammad sendiri yang kesemuanya itu direkam dalam al-Qur’an.

L. Ibn Khaldun
Abd al-Rahman Ibn Khaldun (Ia lahir di Tunisia sekitar tahun 732 H
(1332 M. dan wafat 808 H/1406 M). Ibn Khaldun adalah seorang ilmuwan
Islam yang sangat cemerlang dan termasuk yang paling dihargai oleh dunia
intelektual moderen. Keterampilan Ibn Khaldun terjadi setelah perjalanan
sejarah intelektual Islam, seperti disinggung di atas, memberi penilaian
kurang menguntungkan kepada falsafah-falsafah berkenaan dengan

Sejarah Intelektual
142

pertikaiannya dengan aqidah untuk mendapatkan tempat yang permanen


dalam sistem pemikiran keislaman. Maka sesuai dengan atmosfir umum
saat itu, Ibn khaldun juga menolak keras falsafah. Seperti Ibn Taimiyyah,
Ibn Khaldun dalam beberapa hal juga sangat terpengaruh al-Gazali. Tapi
oleh suatu sebab yang kurang jelas, Ibn Khaldun tampaknya tidak begitu
mengenal fikiran-fikiran Ibn Taimiyyah.
Dalam petikan Magnum Opus Ibn Khaldun, al-Mukaddimah, di mana
ia membuat catatan untuk kita tentang persepsinya mengenai pembagian
ilmu pengetahuan saat itu, dan tentang bagaimana ia secara fundamental
mengritik falsafah. Ibn Khaldun menyanggah kebenaran kosmologi
Neoplatonis karena, menurut dia pembagian wujud yang berakhir kepada
akal pertama itu adalah tanpa dasar dan bersifat sewenang-wenang.
Sedangkan alam kenyataan ini jauh lebih bervariasi daripada yang dikira oleh
para filsuf yang ia gambarkan sebagai berpandangan picik itu. Tambahan
lagi, akal pertama gagasan filsuf itu telah meredusir Tuhan menjadi suatu
kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat
bukan pribadi (impersonal). Ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama,
tapi juga membuat faham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai
sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu falsafah tidak
saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia.
Dalam penerapannya untuk gejala alam, Ibn Khaldun berpendapat
bahwa falsafah lebih-lebih lagi tidak bisa diandalkan untuk menjelaskan
hakikat objek-objek material. Seperti Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun
menampik klaim falsafah atas dasar postulat bahwa sesuatu yang benar secara
filosofis seharusnya tidak saja memang benar, tapi juga dapat dibuktikan
dalam alam kenyataan. Tetapi Ibn Khaldun mengatakan persoalannya ialah
argumentasi-argumentasi filosofis itu termasuk ke dalam sistem proposisi
umum (universal) sedangkan kenyataan serta gejala fisik dan material
adalah tergolong kategori-kategori khusus (partikular) yang kenyataan
kebendaannya bersifat terperinci. Karena itu kata Ibn Khaldun lebih lanjut
satu-satunya cara untuk membuktikan kecocokan antara kekhususan-
kekhususan material itu dengan proposisi filosofis yang menggambarkannya
ialah pemeriksaan empiris.

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


143

Sekalipun begitu, Ibn Khaldun tidak tertarik kepada ilmu pengetahuan


alam (yaitu apa yang kini termasuk ke dalam cakupan istilah “science”
dalam pengertian sempitnya). Lebih dari itu, sejalan dengan tradisi al-
Gazali, Ibn Khaldun menggalangkan ilmu kebendaan itu sebagai sesuatu
yang sedikitnya tidak bermanfaat untuk keagamaan seseorang, jika tidak
malah membahayakannya. Perhatian Ibn Khaldun lebih banyak tertuju
pada permasalahan sosial, sebagaimana permasalahannya itu terwujud
dalam sejarah ummat manusia. Dalam bidang inilah Ibn Khaldun memberi
sumbangan keilmuawan yang tiada taranya, tidak saja sepanjang sejarah
intelektual Islam, tapi juga sepanjang warisan keilmuwan ummat manusia
pada umumnya. Segi yang paling mengesankan dari Ibn Khaldun ialah
kreativitas dan originalitas ilmiahnya. Hanya sedikit saja ia terpengaruh
oleh pikiran para pemikir terdahulu, baik muslim maupujn bukan muslim,
dan tampaknya hanya al-Gazali satu-satunya pemikir yang berpengaruh
lumayan kepada wawasan keilmuan Ibn Khaldun. Selebihnya pemikiran
keilmuwan Ibn Khaldun itu hampir praktis seluruhnya original dalam bersifat
kepeloporan. Kini semakin banyak sarjana moderen yang memandang Ibn
Khladun sebagai bapak sesungguhnya bagi ilmu-ilmu sosial, khususnya
filsafat sejarah dan sosilogi, tapi juga ilmu politik dan ekonomi. Arnold
Toynbee, misalnya menghargai Ibn Khaldun sedemikian tingginya sehingga
ia berpendapat bahwa nama-nama Plato, Aristoteles, Augustin, dan lain-
lainnya tidak pantas disebut sejajar dengan nama Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun beranggapan bahwa ilmu sejarah dan sosiologi adalah
dua ilmu yang berasal sama. Mempelajari sosiologi adalah penting
sebagi pengantar kepada kajian tentang sejarah. Ibn Khaldun tampaknya
mengingkari determinisme Tuhan dalam sejarah manusia. Ia berpendapat
bahwa seorang sejarawan tidak boleh terpengaruh oleh pertimbangan-
pertimbangan spekulatif ataupun teologis. Sejarah baginya harus
diterangkan semata-mata berdasarkan bukti-bukti empiris, menurut hasil
observasi dan penelitian dilaksanakan secara objektif Ibn Khaldun sangat
menyadari adanya hukum-hukum sosiologis yang menguasai perjalanan
sejarah. Boleh dikata bahwa dia adalah orang yang pertama dengan mantap
menyatakan adanya hukum-hukum serupa itu.

Sejarah Intelektual
144

Dari beberapa uraian di atas dapat dilihat bahwa, dalam sikap mereka
terhadap filsafat terdapat persamaan yang cukup mengesankan antara Ibn
Khaldun, Ibn Taimiyyah, dan al-Gazali. Ketiga-tiganya mengemukakan
kemustahilan filsafat, khususnya metafisika sebagai usaha memahami
kebenaran final. Tetapi sementara mengkritik habis filsafat, mereka
mempelajarinya dengan penuh tanggungjawab dan lebih lanjut dengan
caranya masing-masing masih menunjukkan penghargaan kepada segi-segi
positif tertentu filsafat, terutama yang bersangkutan dengan disiplin berfikir
teratur. Maka al-Gazali dikutip sebagai mengatakan bahwa pengetahuan
seseorang yang tidak pernah belajar logika adalah tidak bisa diandalkan.
Telah disinggung bahwa Ibn Taimiyyah dalam kritiknya terhadap metode
ijma’, mengemukakan pentingnya apa yang ia namakan sebagai metode al-
qiyas al-Syar’iy al-Sahih yang pada analisa terakhir masih berpciri Aristotelian
juga. Agak berlainan dengan Ibn Khaldun, Ibn Taimiyyah sebagaimana ia
isyaratkan dalam risalahnya, masih menghargai pengetahuan alam pada
filsuf. Sedangkan pada Ibn Khaldun, meskipun mengemukakan segi-segi
kekurangan ilmu logika warisan Aristoteles, namun ia masih menghargai
sebagai metode yang ia katakan terbaik sepanjang pengetahuan saat itu
untuk melatih berfikir sistematis. Hanya saja ia berpendapat bahwa seorang
muslim tidak dibenarkan mempelajarinya kecuali setelah matang ilmu
keagamaannya.
Pada ketiga pemikir itu, metode positifis mereka berkenaan dengan
agama juga membawa pada kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa kebenaran
yang final tidak bisa diapahami kecuali dengan bersandar kepada sumber-
sumber yang sah ajaran keagamaan serta melalui pengalaman kerohanian
positif tertentu. Maka seperti halnya dengan al-Gazali tapi sedikit berbeda
dengan Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun juga menunjukkan apresiasi yang
tinggi kepada sufisme komvensional. Ia bahkan menulis sebuah karya yang
cukup besar mengenai sufisme.
Karena semangat keagamaannya itu empirisisme Ibn Khaldun
sesungguhnya tetap diliputi jiwa ketuhanan. Hukum sosiologis dalam
sejarah, yang ia berpendapat harus dipelajari dengan menggunakan metode
penelitian obyektif, baginya berasal dari Tuhan juga, dan hukum itulah

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


145

apa yang dalam al-Qur’an dinamakan Sunnah Allah (tradisi Tuhan). Justru
menurut Ibn Khaldun, Sunnah Allah itu tidak akan bisa dipahami untuk
kemudian dapat dipedomani dalam hidup pribadi dan sosial, karena itu
Sunnah Allah tidaklah sama dengan determinisme ketuhanan. Sebab
sementara Sunnah Allah itu tetap memberi ruang bagi adanya hubungan
logis dan mencerminkan keadilan Tuhan, determinisme adalah pada
dasarnya bersifat sewenang-wenang.
Juga patut disebutkan bahwa dalam keadaan sedemikian jauhnya
perbedaan antara Ibn Khaldun dan Ibn Rusyid, seorang filsuf Arirtotelian
tulen, dua ahli fikir Islam dari sebelah Barat (al-Maghribi) inipun mempunyai
kemiripan amat menarik dalam segi keagamaan tertentu. Tidak saja kedua-
duanya bermazhab Maliki suatu mazhab yang umum di Afrika Utara (dulu)
dan Spanyol, tapi mereka juga sama-sama ahli fiqh mazhab itu dan sama-
sama pernah memegang berbagai jabatan tinggi kesyariatan. Maka kedua-
duanya, meskipun dalam banyak hal dapat disebut sebagai ilmuwan duniawi,
namun tetap beranggapan bahwa syariat adalah aturan terbaik hidup manusia
yang bakal menjamin kebahagiaan dunia sampai akhirat.
Kajian moderen tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya
berakhir dengan Ibn Khaldun. Kebetulan atau tidak, kenyataannya ialah
bahwa dunia Islam tidak seberapa lama sesudah kepergian pemikir besar
itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntungkan dengan dunia
luar Islam khususnya Eropa Barat. Kehebatan prestasi Ibn Khladun itu
dikontraskan dengan situasi dunia Islam dalamn konteks global yang
kurang beruntung memang dapat menimbulkan kesan amat kuat tentang
mandeknya kegiatan intelektual kaum muslimin sesudah pemikir besar itu.
Melambangkan kemandekan itu ialah secara cukup ironis, bahwa dengan
ketajaman analisis sejarahnya dan keluasan pengetahuan itu namun Ibn
Khaldun, seperti dapat diketahui dari sebuah pernyataan dalam kutipan
karyanya amat sedikit mengetahui keadaan dunia intelektual Eropa yang
ada di seberang laut ke sebelah utara. Padahal Eropa itulah yang kelak
dengan amat menentukan mengubah jalan sejarah dunia Islam, bukan
dalam pengertian positif, tetapi dalam bentuk hubungan antarbangsa yang
penuh dengan kejadian tragis.

Sejarah Intelektual
146

Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah terbesar pada zamannya. Dia
pencetus konsepsi fisolofis dan sosiologis tentang sejarah. Kepiawaiannya
di bidang sejarah mendapat pengakuan sejarawan sesudahnya. Sebelum
dia, sejarah hanya berkisar pada sederetan peristiwa yang dicatat dengan
sederhana tanpa adanya perbedaan antara fakta dan rekaan. Tetapi Ibnu
Khaldun telah memberlakukan sejarah sebagai ilmu yang penulisannya
digarap sejarah kritis dan analitik sehingga menempatkan sejarah sebagai
karya ilmiah. Ilmu yang penulisannya digarap secara kritis dan analitik
sehingga menempatkan sejarah sebagai karya ilmiah. Nama lengkap Ibnu
Khaldun adalah Abu Zaid Abdal Rahman Abu Zaid Ibnu Muhammad
Ibnu Khaldun. Moyangnya berasal dari Hadramaut yang hijrah ke Andalus
berbarengan dengan tersebarnya agama Islam di Andalausia. Menjelang
kejatuhan Islam ke tangan bangsa Spanyol (baca: Nasrani), moyang
Khaldun hijrah ke Tunisia yang ketika itu merupakan pusat kebudayaan
Islam di Afrika Utara. Pendidikan formalnya di tempuh hingga Ia berusia
18 tahun. Berbagai macam ilmu dipelajarinya, diantaranya Al Quran
berikut tafsirnya, hadits, fiqih (mazhab malik), filsafat, matematika, bahasa
Arab, dan sebagainya. Guru-gurunya adalah ulama-ulama kondang saat itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Ibnu Khaldun
hidup bermasyarakat. Karirnya bermacam-macam, mulai dari sekretaris
kerajaan, qadhi,guru hingga diplomat. Dalam karirnya di bidang politik
ia pernah dipercayakan penguasa Granada, Sultan Muhammad V untuk
menemui Pedro, penguasa Castille yang terkenal kejam; tujuannya untuk
mengadakan perjanjian damai antara kedua negara yang berseteru itu.
Ibnu Khaldun berhasil menjalankan tugasnya.
Merasa jenuh dan letih terhadap karir politiknya, pada tahun 1375
Ibnu Khaldun bersama keluarganya mengasingkan diri di pinggiran kota
Tunis. Di tempat pengasingannya ini Ibnu Khaldun mendapt kesempatan
luas untuk melakukan penyelidikan ilmiah. Pengalaman politik dan
hidup bermasyarakat yang telah dialaminya selama bertahun-tahun, telah
memperkaya persepsinya tentang urgensi pengetahuan yang mendetail
dalam soal-soal politik dan kemasyarakatan. Besarnya perhatian Ibnu
Khaldun dalam kedua bidang ini oleh karena kedua bidang ilmiah yang

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


147

paling digelutinya. Hasil penyelidikannya itu dituangkan dalam bukunya


Mukkadimah dan Al-Ibar.
Sebenarnya Mukkadimah Cuma merupakan introduksi dari kitab
induknya Al-Ibar, akan tetapi ia selalu disebutkan secara terpisah dan lebih
dikenal dari pada Al-Ibar. Hal ini dikarenakan Mukkadimah merupakan
Inseklopedia sintesis mengenai metodologi sains kebudayaan yang sangat
penting dan sangat membantu sejarawan dalam pengkajian ilmiah tentang
sejarah.
Keistimewaan lain dari Mukkadimah adalah isinya yang mengandung
filsafat sejarah yang cukup tinggi yang belum pernah diciptakan para
sejarawan sebelum dan sesudahnya. Buku inilah yang mendorong sejarawan
sesudahnya menjuluki “ Ibnu Khaldun sebagai “Bapak Filsafat Sejarah”.
Setelah menulis Mukkadimah, Ibnu Khaldun hijrah ke Mesir. Selain
bertugas sebagai guru besar di Universitas Zahiriyah ia juga diangkat sebagai
Qadhi oleh penguasa Mesir ketika itu. Di sinilah Ibnu Khaldun wafat pada
tahun 808 H (1406 M) dan di makamkan di pemakaman orang Sufi di
Kairo.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun sejarah mempunyai dua sisi, yakni
sisi dalam dan sisi luar. Dari sisi luar, sejarah merupakan rekaman perputaran
kekuasaan masa lampau, sedangkan dari sisi dalam, sejarah merupakan
penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu
eksplanasi tentang sebab-sebab dan geneologis segala sesuatu; suatu ilmu
yang komprehensif tentang bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi.
Definisi sejarah ini telah menjelaskan kepada kita bahwa Ibnu Khaldun
cenderung memasukkan sejarah ke dalam filsafat. Oleh karena itu kita
dapat memahami, mengapa Ibnu Khaldun merasa perlu untuk mngkritik
karya sejarawan sebelumnya.
Sedikitnya ada tujuh kelemahan yang melekat pada karya historiografi;
hal inilah yang dikritik oleh Ibnu Khaldun; (1) sikap memihak kepada
pendapat-pendapat dan mahzab-mahzab tertentu; (2) terlalu percaya
kepada sumber-sumber seseorang; (3) tidak memahami maksud yang
sebenarnya; (4) salah paham terhadap kebenaran; (5) kebodohan dalam

Sejarah Intelektual
148

mencocokkan tentang keadaan dan kejadian yang sebenarnya; (6)


kesukaan kepada mendekatkan diri kepada penguasa dan orang-orang yang
berpengaruh; (7) Tidak mengetahui kepada hukum-hukum watak dan
perubahan masyarakat. Kelemahan-kelemahan tersebut menyebabkan ilmu
sejarah kurang diminati. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menganjurkan agar
sejarawan meneliti kembali semua berita dari sumbernya dan harus benar-
benar selektif di dalam memilih dokumen dan menolak sesuatu yang di luar
batas kemungkinan.
Bagi Ibnu Khaldun, antara sejarah dan filsafat saling bertautan. Jika
sejarah memberikan inspiratif dan intuitif kepada filsafat, maka filsafat
memberikan kekuatan logika kepada sejarah. Teori ini telah membawa ilmu
sejarah ke tempat yang terhormat. Eksistensi ilmu sejarah semakin luas
bukan hanya sekedar sains sebagaimana yang dikatakan Charles A. Beard.
Dengan Mukadimahnya, Ibnu Khaldun membuktikan keluasan wawasan
kajian sejarah. Dalam karyanya yang akbar itu ia melakukan sesuatu hal
yang belum pernah dilakukan oleh sejarawan sebelumnya, yaitu metode
kritis dan multi dimensional approach.
Perlu diketahui bahwa motivasi Ibnu Khaldun menyusun Mukkadimah
adalah karena ia merasakan adanya kekurangan pada ilmu sejarah ketika itu.
Ilmu sejarah ketika itu hanya sekedar tarikh dan cerita-cerita yang dijadikan
bahan baku dakwah para da’i. Ia ingin mendapatkan apa yang sekarang ini
disebut hukum-hukum sejarah. Akhirnya ia menciptakan konsepsi tentang
sejarah atau teori tentang sejarah dalam menginterpretasikan sejarah, yaitu
tentang filsafat sejarah. Di samping itu juga Ibnu Khaldun bermaksud
membangun bentuk logika yang realistik. Hal ini dapat dilihat melalui
caranya dalam membaca tingkah laku manusia secara obyektif dan kritus.
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah dan peradaban (tamaddun)
merupakan satu kesatuan yang saling menopang. Sejarah menentukan
peristiwa-peristiwa luaran sementara tamaddun menerangkan aspek-aspek
dalam yaitu sifat semula bagi suatu peristiwa dalam bentuk kebudayaan.
Teori ini dijelaskan Ibn Khaldun secara mendalam dalam Mukaddimah.
Ibnu Khaldun menyebut teorinya ini dengan Al-Imran, yaitu ilmu tentang

5 - Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani dan Islam


149

pergaulan manusia atau ilmu tentang peradaban. Ia menghendaki ilmu


barunya ini hanya dipakai dalam penulisan sejarah. Hukum-hukum sosial
yang terdapat di dalamnya hanyalah aturan untuk memeriksa data sejarah.
Pada bagian akhir dari Mukkadimah, Ibn Khaldun membahas tentang
evolusi dan sejarah berbagai ilmu pengetahuan hingga masanya. Inilah hasil
pertama dari kalangan Islam yang melihat ilmu pengetahuan dari sudut
pandangan historis dan menyajikan setiap peristiwa sejarah secara terpisah.

Sejarah Intelektual
BAB VI
KEBANGKITAN PEMIKIRAN
ABAD PERTENGAHAN

Bangkit kembalinya ilmu pengetahuan pada Abad pertengahan


dikenal dengan istilah Renaissance yang berarti suatu periode peralihan
gerakan umum yang meliputi seluruh bidang kehidupan, suatu yang
kemudian mengantarkan proses perkembangan kehidupan Eropa dan
untuk selanjutnya dapat mengubah pemikiran dunia ke arah perkembangan
peradaban modern.
Pengertian renaissance ini sangatlah kompleks, ia bukan saja sesuai
dengan artinya “melahirkan kembali” ilmu pengetahuan dan kebudayaan
klasik, tetapi juga sekurang-kurangnya sangat berpengaruh terhadap
munculnya paham-paham baru di bidang agama, bidang politik, bidang
sosial, bidang ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Salah satu gejala
yang ditimbulkan oleh Zaman Ranaissance adalah suatu paham yang
terkenal dalam proses perkembangan Eropa menjadi peradaban modern
yaitu “Individualisme” sebuah cirikhas yang dapat dianggap sebagai dasar
perkembangan ke arah dunia modern dewasa ini.
Walaupun pembahasan ini terbatas pada satu aspek yaitu Individualisme,
namun akan diketengahkan dan disinggung juga aspek-aspek lainnya, oleh
karena itu perubahan-perubahan penting yang menyebabkan munculnya
renaissance ini berpokok pangkal pada cara atau perubahan pandangan
hidup manusia. Oleh karena pandangan hidup (Men’s outlook) ini bertalian
erat dengan proses pemikiran, maka dengan sendirinya seluruh perubahan
152

yang terjadi itu bermuara pada apa dan bagaimana peranan individu, baik
sebagai manusia perorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itu, dianggap penting memulai peninjuan tentang proses muncul dan
berkembangnya individualisme, karena paham ini merupakan penggerak
utama yang menunjukkan dirinya pada masa Renaissance. Individualisme
adalah kekuatan utama yang menentukan proses perjalanan sejarah Eropa,
sehingga mampu memberikan corak tertentu yang membedakannya dari
zaman-zaman sebelumnya.
Pembahasan sejarah pemikiran modern yang lahir di Eropa tidak dapat
lepas dari kepentingan meninjau kembali zaman (babakan waktu) sebelum
munculnya renaissance itu sendiri yaitu Abad Pertengahan (Midlle Ages)
suatu zaman yang disebut oleh pendukung-pendukung renaissance sebagai
suatu zaman Kegelapan (Dark Ages). Apakah Abad Pertengahan benar-benar
penuh dengan kegelapan, tentu menghendaki pembahasan dan penyelidikan
tersendiri. Sesuai dengan proses sejarah, Abad Pertengahan sangat penting
dijelaskan sebagai dasar dan bahan bandingan. Mengapa dan bagaimana jiwa
renaissance mempengaruhi kehidupan masyarakat pada waktu itu. Uraian-
uraian perkembangan indiviualisme dalam zaman Renaissance akan lebih
banyak ditekankan kepada peranannya serta akibat yang ditimbulkannya
terhadap bidang-bidang hidup dan kehidupan masyarakat Eropa.

A. Tumbuhnya Inividualisme
1. Eksistensi Individualisme
Secara umum individualisme dapat diartikan sebagai suatu paham
yang mengutamakan kepentingan perseorangan (individu). Jadi suatu
cara memandang selalu diawali dengan dan ditujukan kepada titik pusat
perseorangan (individu). Dalam kamus The Advanced Leaner’s Dictionary
of Current English karangan A. S. Hornby, Individualisme adalah
“The Social theory that favours the face action and complete of believe of
individualism”. Menurut Beerling, individualisme mempunyai bermacam-
macam pengertian antara lain:
a. Pengetahuan sifat perseorangan tersendiri sebagai nilai yang
tertinggi.

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


153

b. Sebagai kekuasaan, di mana individu dapat berpusat pada dunia


dalam dan dunia luar
c. Sebagai otonomi kesusilaan dan intelektual (kebebasan).
d. Individualisme menurut Beerling, dapat diartikan dalam berbagai
aspek yaitu, persona, berdiri sendiri, kekuasaan, dan kebebasan.
Di samping itu, pengertian individualisme dapat juga dihubungkan
dengan bermacam-macam nafsu yang ada pada manusia. Menurut teori
ilmu jiwa, jiwa manusia terdiri atas susunan “dasbewuszte” (alam sadar)
dan “das Unbewuszte” (alam tak sadar). Pada alam tak sadar, ditemukan
beberapa nafsu, seperti nafsu ingin menonjolkan diri, nafsu ingin tahu,
ingin berkuasa, mempertahankan diri, dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan manusia, ternyata bahwa tindakan-tindakan
manusia, di samping mendapat pengaruh alam sekitarnya juga banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam dirinya sendiri jadi manusia
selalu bertindak, di samping sesuai dengan alam sadarnya, dengan
pengawasan dan tuntutan moralnya (faktor religius, etika, dan sebagainya),
ia secara tak sadar banyak pula dipengaruhi oleh pelbagai nafsu, antara lain
seperti yang telah disebutkan tadi.
Berkembangnya faktor-faktor endogen yang ternyata menghasilkan
beberapa tindakan manusia dalam kehidupannya, tidak terlepas pula dari
pengaruh faktor-faktor dari luar. Dan peranan nafsu-nafsu manusia tadi
dapat terlihat, umpamanya dalam:
a. Nafsu ingin berkuasa menghasilkan peranan individu dalam
bidang kekuasaan, baik dalam kekuasaan politik (pemerintahan)
maupun dalam segi-segi hidup lainnya.
b. Nafsu ingin tahu; menyebabkan peranan individu untuk
mengadakan penelitian-penelitian, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan.
c. Nafsu mempertahankan diri; menjadikan individu mengambil
peranan dalam usaha mempertahankan diri dari bahaya sekitarnya.
Ini erat hubungannya dengan nafsu mempertahankan diri dan
melanjutkan keturunan.

Sejarah Intelektual
154

d. Nafsu ingin memiliki; membawa individu kepada peranan dalam


idang ekonomi yang condong ke monopoli perdagangan.
2. Timbulnya Individualisme
Renaissance adalah nama (istilah) suatu zaman, yang oleh para
ahli sejarah Barat di tempatkan di antara dua masa yaitu Zaman Abad
Pertengahan dan Zaman Baru. Para ahli Sejarah Barat umumnya membagi
Sejarah Dunia atas tiga Zaman:
a. zaman Kuno (0 - 500)
b. zaman Pertengahan (500 M - 1.500 M)
c. zaman Baru (1.500 M - sekarang)
Dalam periodisasi ini Renaissance merupakan zaman peralihan
ditempatkan di antara abad pertengahan dan zaman baru. Renaissance berarti
“lahir kembali”, yaitu melahirkan kebudayaan Yunani dan Romawi Klasik yang
oleh W.N. Weech disebut sebagai “The Rebirth of learning and art” dan menurut
C. Brinton: “one of the great periode of cultural and intelectual achievement in the
west, a literary, artistic and phylosophycal flowering that filled the medical to the
modern world.
Istilah Renaissance ini berasal dari golongan Humanis yang memuja
tinggi zaman Yunani dan Romawi Klasik dan menganggap zaman
kegelapan (Dark Ages). Pandangan golongan Romantis dan golongan
Agama yang justru menilai tinggi dan menganggap Abad Pertengan sebagai
zaman kecemerlangan hidup keagamaan. Lahirnya kembali pengetahuan
dan kesenian klasik pada zaman Renaissance, mula-mula ditemukan para
ahli-ahli pikir dan para ahli seni. Renaissance bermula di Italia, didorong
dan dibantu oleh sisa-sisa peradaban Romawi yang masih berkembang di
ibukota Constantinopel melalui kota-kota dagang (bandar-bandar) seperti
Venesia, Florence, Napoli, dan lain-lain.
Sebagaimana diketahui bahwa kerajaan Romawi Timur jatuh ke
tangan Kesultanan Turki pada 1453 M, dan ibukota Constantinopel
diganti namanya Istambul. Banyak para cerdik pandai meninggalkan
Constantinopel lari ke Italia, ke kota-kota dagang (bandar-bandar). Dari

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


155

merekalah bermula istilah Renaissance ini. Ciri yang membedakan Abad


Pertengahan dan Renaissance terletak pada adanya perbedaan-perbedaan
yang tajam dalam proses perkembangan Individualisme dari ke dua zaman
ini.
Dalam Abad Pertengahan, hampir dapat dikatakan bahwa
individualisme tidak punya peranan apa-apa, barulah pada zaman
Renaissance, individualisme ini mulai menampakkan dirinya, mulai
memperoleh arti tersendiri, berperan aktif sehingga mengubah, baik secara
berangsur-angsur maupun secara radikal pola pemikiran masyarakat pada
waktu itu. Tepatlah seperti apa yang dikatakan Jacob Burckhardt, bahwa
“Renaissance adalah suatu zaman di mana manusia menemukan kembali
kepribadiannya”.

B. Perkembangan Individualisme
Sejarah mencatat bahwa seluruh Abad Pertengahan bercirikan dua
kekuasaan yang sangat menentukan, yaitu kekuasaan feodal (feodalisme)
yang menguasai seluruh hidup perekonomian, dan kekuasaan gereja yang
menguasai kehidupan rohani serta kehidupan politik. Pada umumnya
dalam Abad Pertengahan itu terdapat suatu mentalistas yang bercorak
duniawi melainkan corak atau usaha yang diarahkan kepada kesejahteraan
dan kebahagiaan akhirat.
Kekuasaan dalam Abad Pertengahan ini dipegang terus oleh kedua
golongan ini (feodalisme dan golongan gereja), sampai menjelang akhir
Abad Pertengahan, di saat mana muncullah gejala-gejala kemunduran kuasa
gereja dan feodal yang diakibatkan oleh adanya sekularisasi. Sekularisasi atau
“penduniawan” ini adalah suatu perubahan secara radikal dari pandangan
hidup Abad Pertengahan yang serba religius. Ini terjadi pada kira-kira akhir
Abad Pertengahan (abad ke 13 sampai abad ke 14). Masa-masa mulainya
sekularisasi inilah yang sering dinamakan Zaman Renaissance, dengan ciri-
cirinya antara lain, penggalian kembali kebudayaan Yunani dan Romawi
Klasik, dan kembalinya Individualisme memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat.

Sejarah Intelektual
156

Langkah pertama perubahan ini dirintis oleh kaum “humanis” yang


terdiri atas orang-orang Borjuis yang sudah kaya dan makmur. Kehidupan
yang serba makmur ini memberi kesempatan kepada mereka untuk
memenuhi salah satu kebutuhan batinnya, nafsu “ ingin tahu”, yang erat
hubungannya dengan anugerah belajar. Usaha golongan humanis ini
mendapat sokongan pula dari ahli-ahli pengetahuan Yunani dan Romawi
Klasik yang banyak menyingkir ke Italia tatkala Turki menduduki
Constantinopel, ibukota Kerajaan Romawi Timur. Rasa tidak puas para
kaum humanis terhadap sekelilingnya yang berabad-abad dipengaruhi
oleh golongan gereja dan membatasi segala geraknya mendorong mereka
untuk mulai membuka kembali rahasia kehidupan manusia Yunani/
Romawi.
Kagum melihat cara hidup manusia dulu yang penuh dengan
kebebasan, tidak dirintangi oleh dogma agama dan mereka merasa perlu
untuk mempelajari bahasa Latin dengan pengetahuan yang berbahasa
Latin, mereka lalu mengerti isi Kitab Injil yang selama Abad Pertengahan
hanya dimonopoli golongan atau aktifis Gereja saja.
Terbukalah mata mereka dengan menyadari bahwa selama ini
telah terjadi penyelewengan-penyelewengan oleh golongan gereja dalam
melaksanakan ajaran Agama. Hal ini telah mengakibatkan munculnya
tokoh-tokoh reformasi atau yang dikenal juga dengan protestantisme. Jadi
Individualisme memang telah ada pada Abad Pertengahan, tapi peranannya
belum begitu berarti oleh karena pola hidup dan cara berfikir manusia
pada waktu itu terikat oleh dogma ajaran Gereja. Kuatnya dominasi Gereja
dalam Abad Pertengahan ini disebabkan karena Gereja telah mengalami
perkembangan berabad-abad, sejak kira-kira dari Abad ke-4 sewaktu Kaisar
berkembang bebas di Kerajaan Romawi.
Sebelum Konstantin berkuasa, penganut agama Kristen diburu-buru,
oleh karena kepercayaan Kristen bertentangan dengan kepercayaan negara
yang menganggap kaisar selaku dewa. Dengan diterimanya agama Kristen
sebagai agama resmi dalam kerajaan Romawi maka mulailah agama Kristen
mendapat pengaruh kebudayaan Yunani/Romawi.

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


157

Menurut Jan Romein, suatu yang istimewa berasal dari Romawi


adalah “jiwa organisasi Romawi”. Jiwa organisasi inilah yang memberikan
corak baru dalam tata susunan agama Kristen sehingga membentuk hirarki
Gereja, dikepalai oleh Paus yang berkedudukan di Roma. Pauslah yang
dapat menentukan segala segi kehidupan orang-orang Kristen, baik dalam
lapangan agama, politik, maupun sosial.
Di samping itu, Abad Pertengahan tidak menghiraukan duniawi, tetapi
hanya mementingkan persiapan untuk alam baqa’, namun bukanlah berarti
bahwa pada Abad Pertengahan individualisme atau peranan perseorangan
tidak ada. Kalau kita teliti baik-baik, sebenarnya individualisme inipun kita
telah temukan dalam Abad Pertengahan, tidak menghiraukan duniawi,
tetapi hanya untuk mementingkan persiapan untuk alam ‘akhirat’ hanya
saja prosesnya seakan-akan tidak ada, berhubung terikat oleh dogma
ajaran Gereja. Dalam lingkungan pejabat-pejabat agama terlihat peranan
individualisme pada aspek-aspek ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi:
a. Dalam aspek ilmu pengetahuan individualisme berpengaruh ke
arah sentralisasi agama, dengan tokoh-tokoh sarjananya anatara
lain Thomas Aquinas dan Augus Comte. Untuk menuntut ilmu
pengetahuan, dikenal “sekolah-sekolah biara” yang mementingkan
pengajaran bahasa latin dan nyanyian-nyanyian Gereja untuk
kepentingan agama. Sesudah “Perang Salib” beberapa tempat
seperti Salerno dan Bologna di Italia, muncul akademi-akademi
tempat-tempat menuntut ilmu pengetahuan.
b. Dalam aspek kekuasaan politik Gereja pula yang memegang
kekuasaan. Otoritas gereja ini berdasarkan pada adanya hierarkhi
yang kuat dan Gereja pemegang kekuasaan baik duniawi maupun
Ukhrowi (keagamaan).
c. Oleh karena dasar perekonomian abad pertengahan bersifat agraris
maka yang dipentingkan hanyalah pemakaian (komsumtif ), belum
memperhatikan untuk mempergiat hasil produksi oleh karena
perdagangan pada waktu itu belum begitu maju. Lagipula sifat
perdagangan adalah keduniawian, sedangkan pandangan hidup

Sejarah Intelektual
158

yang dianut pada waktu itu adalah pandangan hidup keagamaan,


sehingga etikanya tidak mengizinkan sistem perdagangan yang
sangat memburu laba. Etika agama tidak pula membenarkan
pembungaan uang, akibatnya usaha perdagangan antara daerah
mengalami stagnasi.
Sesuai dengan situasi masyarakat yang statis, konservatif, dan tertutup,
maka perdagangan hanya dijumpai di kota-kota dan bersifat kedaerahan
sehingga untuk menjaga persaingan antara mereka sendiri, terbentuklah
gilda. Gilda kemudian mengalami kemunduran pada akhir Abad
Pertengahan dengan munculnya kota-kota yang bebas dan didiami oleh
golongan Borjuis yang berfaham liberal.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan ini, dapat diketahui bahwa peranan
individualisme pada Abad Pertengahanmemang telah ada, namun sebagai
mana diuraikan sebelumnya, bahwa peranan itu masih terikat dengan pola
pikir yang umum pada waktu itu. Hal ini terus berjalan sampai menjelang
akhir Abad Pertengahan pada saat mana mulai tampak gejala-gejala
kemunduran kuasa Gereja akibat munculnya sekularisme. Merosotnya
kekuasaan Gereja disebabkan karena di dalam lingkungan pejabat-pejabat
agamapun telah dirembesi oleh semangat hidup keduniawian. Di kalangan
mereka banyak yang menjadi kaya raya oleh hasil pembayaran pajak rakyat
pada Gereja. Anggapan umum pada masa itu, dengan menderma pada
Gereja, merupakan salah satu cara untuk persiapan amal bagi kehidupan
Akhirat nanti.
Pengaruh kekayaan ini menyebabkan prestise mereka selaku
pejabat-pejabat agama merosot di mata rakyat umum. Akibat pengaruh
golongan humanis yang banyak bergerak dalam ilmu pengetahuan,
prestise Gereja mulai merosot di mata rakyat umum dan berangapan
bahwa peranan individu dalam kehidupan masyarakat adalah wajar dan
tak dapat diabaikan. Dengan demikian golongan humanis seperti apa
yang telah diuraikan di atas adalah pelopor bangkitnya individualisme
menjelang akhir Abad Pertengahan, dijumpai istilah-istilah Renaissance,
Humanisme, dan Reformasi.

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


159

Renaissance dan reformasi adalah dua hal yang sejalan. Renaissance


meliputi pembaharuan dengaan pemberian kebebasan individu dalam
lapangan kesenian dan kebudayaan (termasuk humanisme) dan reformasi
meliputi pembaharuan dan pemberian peranan individu dalam lapangan
agama. Nafsu baru berbau sekularisme ini dapat pula terlihat nyata dalam
tiga aspek besar yaitu di bidang ilmu pengetahuan, kekuasaan, dan ekonomi.
a. Sebagai akibat sekularisme, maka peranan individu dalam abad
pertengahan yang bermuara ke universalisme berubah dalam
zaman modern menjadi bermuara ke spesialisasi, seperti apa
yang dikatakan Beerling, “pada zaman Renaissace, orang-orang
di Eropa membebaskan diri dari berbagai ikatan yang berlaku,
sudah sejak turun temurun dari dahulu menjadi dasar dalam
hal menafsirkan Tuhan, manusia dan dunia. Manusia mendapat
dunia dan menyelami diri sendiri tetapi dengan latar belakang
proses yang terutama bersifat keagamaan dan metafisika”. “Jiwa
Renaissance memandang manusia bukan lagi semata-mata sebagai
alat kehendak Tuhan, tidak lagi menganggap manusia yang terus-
menerus itu, melainkan manusia dianggap sebagai individu
dengan kemungkinan-kemungkinan individual dan tanggung
jawab individual pula.
Menyelami diri sendiri dan mendapatkan dunia adalah
pengaruh dari tipe kehidupan orang-orang Yunani dan Romawi,
sedangkan pegangan pada keagamaan yang bersifat metafisika
adalah hal yang dipertahankannya dari corak Abad Pertengahan.
Bukti bahwa pada zaman Renaissance baru condong ke arah
spesialisasi, oleh karena menurut penilaian orang pada masa itu,
manusia yang memiliki tipe ideal dalam ilmu pengetahuan adalah
orang-orang yang “Homo Universales”, artinya yang serba bisa,
ahli dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Contohnya
Leonardo Davinci, di samping sebagai pelukis, pemahat, juga
arsitek (insinyur).
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan (penyelidikan-
penyelidikan dan percobaan-percobaan) hanya mungkin
jika ada kegiatan-kegiatan individu untuk memenuhi nafsu

Sejarah Intelektual
160

keingintahuannya, anugerah belajarnya, rasa tak puasnya


yang dalam mempergunakan rasionya tanpa dikekang oleh
tali penghambat seperti ke adaan pada Abad Pertengahan.
Mengutamakan penggunaan alat sebagai warisan zaman Yunani-
Romawi digunakan untuk menyelidiki hukum-hukum alam,
membongkar rahasia alam yang kemudian dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
b. Dalam aspek kekuasaanpun mengalami perkembangan, yang
dahulunya bermuara ke otoritas Gereja, kini menuju ke arah
perkembangan demokrasi. Kekuasaan dalam pemerintahan bukan
lagi monopoli Gereja, tapi kini beralih ke tangan rakyat umum
(demokrasi). Hak memerintah rakyat ini mengandung pengertian
hak menentukan dirinya sendiri, jadi mengandung pula pengertian
“kemerdekaan”.
Adapun pertumbuhan demokrasi ini telah mengalami masa
yang cukup lama, karena sejak zaman Yunani/Romawi Klasik,
demokrasi sudah dikenal, hanya saja pengertian demokrasi waktu
itu tidak sama dengan pengertian sekarang. Yang dimaksud
dengan rakyat pada zaman Yunani/Romawi dulu hanya terbatas
pada golongan bangsawan, hartawan, dan orang-orang bebas,
sedangkan budak dan kaum perempuan tidak masuk hitungan.
Golongan Borjuislah yang mula-mula mempraktekkan demokrasi
ini dalam cara-cara pemerintahan kotanta (Paura). Hal ini
kemudian berkembang dan merupakan salah satu reaksi golongan
Borjuis untuk memperbesar golongan beragama.
Keterlibatan dan turut campurtangannya golongan Borjuis
dalam pemerintahan, maka lambat laun faham demokrasi
meresap pula dalam lembaga pemerintahan raja-raja. Sebagai
titik puncak perkembangannya di Eropa Daratan, terlihat nyata
dengan meletusnya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Terkenal
pada waktu itu seorang tokoh Humanis dalam lapangan ke
tatanegaraan yaitu Nicolo Machiavelli yang mengemukakan teori
bagaimana seharusnya pemerintahan rakyat dan oleh siapa dalam
bukunya “Il Principe”. Menurutnya, bahwa kesejahteraan negara,

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


161

menghalalkan segala tindakan dan dalam kehidupan umum serta


pribadi, terdapat ukuran yang berbeda.
Selanjutnya Machiavelli mengatakan, “sekali-kali perlu juga
apabila keadaan menghendaki seorang negarawan bertindak
keras dan penuh kedustaan untuk kepentingan umum, meskipun
kalau dilakukan hubungan secara pribadi, tindakan itu amat
jelek dan tercela hingga boleh dikatakan bersifat pidana”. Jadi
yang dipentingkannya adalah “Kuasa”, kekuasaan absolut raja
(Pangeran). Di sini terlihat penonjolan tokoh individu (Raja)
untuk memegang kekuasaan kembali, suatu hal yang bertentangan
dengan ototritas gereja, sebagaimana terjadi pertentangan yang
berlarut-larut antara gereja dan raja-raja, antara Paus do Roma
dengan raja-raja Inggris, Perancis, Jerman, Italia, serta antararaja-
raja dan tuan-tuan tanah feodal.
c. Dalam bidang ekonomi terjadi juga perubahan pandangan
dari Abad Pertengahan yang sifatnya sekedar untuk kebutuhan
kesifat produktif. Abad pertengahan, perekonomiannya tertutup,
perdagangan dalam arti sebenarnya belum menonjol, teknik belum
maju terutama teknik perhubungan, uang belum menjadi alat
tukar, keamanan kurang akibat perang antara kaum bangsawan,
ditambah kuatnya etika gereja.
Setelah kota-kota berkembang pesat akibat perdagangan
antara daerah, lebih-lebih setelah terjadi hubungan dagang
dengan Asia, maka golongan penduduk kota (paura) semakin
bertambah kaya, dan muncullah golongan baru, golongan Borjuis
dengan sifat perdagangan yang dinamis dan liberal. Paham liberal
yang bermula dalam perdagangan, menjalar pengaruhnya ke
bidang-bidang politik dan sosial. Hal ini merupakan sebab utama
berubahnya pandangan terhadap dunia yang menimbulkan bibit-
bibit yang kelak berkembang ke arah “Penduniawian”.
Demikianlah kita lihat adanya reaksi yang berbau keduniawian di
kota-kota, hal mana ikut pula menyebabkan merosotnya kuasa gereja. Telah
diuraikan bahwa kuasa gereja diperoleh berkat adanya sistem organisasi
yang kuat, diwarisi oleh jiwa organisasi Romawi. Kuasa Gereja (Paus)

Sejarah Intelektual
162

makin diperbesar ketika Raja Charles dari Kerajaan Frankia pada Abad ke-8
memberikan daerah di sekitar Roma untuk dijadikan daerah Gereja yang
kelak terkenal dengan “ Negara Gereja”. Sebagai tanda terima kasih, Paus
lalu menobatkan Charles di Roma sebagai Kaisar. Kebiasaan inilah yang
memperkuat kedudukan Paus dan Gereja.
Pada sekitar Abad ke-11, terjadi pertikaian antara Paus dan Heinrich
IV, Kaisar Jerman yang memperebutkan derajat mana yang lebih tinggi, Paus
ataukah Kaisar. Konflik ini diselesaikan secara damai di Worms. Kemudian
pada abad ke-13 timbul lagi perselisihan soal pajak antara Paus dan raja
Edward I dari Inggris dan Raja Phillippe dari Perancis. Kedua raja ini dalam
menghadapi perlawanan golongan feodal menuntut pajak 1/5 dari milik
pribadi pegawai Gereja. Tuntutan ini dijawab oleh Paus Bonifacius VIII
dengan Billnya yang terkenal dengan “Clericis Laicos”, melarang pejabat-
pejabat Gereja untuk membayar pajak kepada pejabat duniawi (Raja) dan
mengenakan eksomunikasi bagi raja-raja. Raja Phillippe membalas dengan
melarang eksport uang mas dan perak dari Perancis, sehingga terputuslah
salah satu sumber pemasukan Paus. Paus akhirnya mengalah dan memenuhi
tuntutan kedua raja tersebut. Setiap raja-raja bersengketa dengan Paus,
selalu golongan borjuis berada di pihak raja. Ini tidak mengherankan
oleh karena golongan Borjuis ingin merebut posisi baik dalam bidang
pemerintahan maupun dalam bidang perdagangan. Dan dengan peristiwa
Paus dan Bonivacius VIII ini jelas menunjukkan kekuasaan Paus sudah
mulai merosot.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya perlawanan terhadap
otoritas gereja, adalah rasa benci di kalangan rakyat oleh sebab tanah-tanah
Gereja dibebaskan dari pajak. Ini dirasakan sebagai suatu hal yang tidak
adil. Belum lagi kejadian “Schisma” (perpecahan tentang penentuan siapa
yang menjadi Paus).
Perang 100 tahun (1350 - 1450) yang menyebabkan kerusakan bagi
Perancis dan kelelahan bagi Inggris. Semuanya ini menurunkan prestise
gereja, bahkan “Perang 100 tahun” ini menimbulkan gejala tumbuhnya rasa
kebangsaan (nasionalisme) bagi Perancis. Pembaharuan yang di lakukan

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


163

oleh Martin Luther di Jerman dengan aksinya di Gereja Wittenburg (1517


M) diikuti pula oleh gerakan Calvin di Perancis dalam waktu yang hampir
bersamaan. Pembaharuan atau kejadian ini terkenal dalam sejarah dengan
“Reformasi”.
Ajaran Luther dan Calvin mengemukakan bahwa dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, tak perlu ada perantara seperti yang diajarkan
oleh pejabat-pejabat agama yang berpusat di Roma Agar umum mengerti
tentang Injil, mereka terjemahkan dalam bahasa Latin ke setiap bahasa
daerah, agar umum lebih menginsafi banyaknya penyelewengan dan
kecurangan-kecurangan yang dibuat oleh kalangan gereja.
Usaha menerjemahkan Kitab Injil ini merupakan pula suatu unsur
nasionalisme, karena dengan demikian setiap kerajaan memajukan bahasa
nasionalnya masing-masing dan melepaskan diri dari bahasa umum, bahasa
Latin yang melambangkan kuasa sentralisme agama di Roma. Usaha
Luther dan Calvin inipun suatu usaha untuk berperannya individu secara
umum, terutama dalam hal “menyembah Tuhan”. Masing-masing individu
bertanggung jawab atas dirinya dan atas segala hal yang dilakukannya.
Berhasilnya reformasi itu mendirikan gereja baru, tidaklah semata-mata
karena kekuatan senjata, tapi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan
reformasi itu menyesuaikan diri dengan golongan massa.
Demikianlah perkembangan dan peranan indiviadualisme yang
mencapai puncaknya pada akhir Abad Pertengahan, dapat mengubah
struktur masyarakat Abad Pertengahan yang telah berabad-abad dikuasai
oleh dua kekuasaan besar yaitu, kuasa Gereja dan kekuasaan Golongan
Feodal. Hal inilah yang mengubah secara keseluruhan masyarakat Eropa
dari masyarakat tertutup, konservatif dan feodallistis itu, ke masyarakat
bebas terbuka sebagai ciri dunia modern.

C. Beberapa Peranan Individualisme


1. Peranan Individualisme pada zaman Yunani/Romawi Klasik.
Sebagimana telah dikemukakan, bahwa golongan humanislah yang
pertama kali memberikan istilah Renaissance. Mula-mula yang dipelajari

Sejarah Intelektual
164

kembali adalah seni kesusasteraan klasik, kemudian menyusul seni klasik,


seni bangunan, seni pahat, dan sebagainya. Dari penggalian hasil-hasil seni
dan kebudayaan klasik itu golongan humanis pada umumnya menemukan
semangat baru, suasana baru, yang banyak memberikan peluang bagi tokoh-
tokoh perseorangan untuk mulai berperan dalam suasana kebebasan.
Dalam seni lukis dan pahat misalnya, pandangan seniman-seniman
klasik bersifat perspektif, memperhatikan ukuran panjang, lebar dan dalam.
Cara memandang seperti ini dicontoh pula oleh manusia Renaissance
untuk memandang dunia dan alam ini. Alam diteliti dengan seksama dan
dijadikan obyek penyelidikan secara empiris dan deduktif, suatu cara yang
berlawanan dengan cara Abad Pertengahan.
Sejauh manakah Individualisme ini mempengaruhi zaman
Yunani/Romawi Klasik? Agaknya penting juga hal ini diselidiki untuk
dihubungkan dengan mengapa manusia Renaissance condong ke arah
menghidupkan kembali kesenian dan kebudayaan Yunani/Romawi itu.
Individualisme merupakan paham yang berasal dan berkembang dari
diri pribadi manusia, dan sebagai mahluk individu dan sosial tentunya
tak dapat terlepas dari situasi masyarakat, demikian halnya pada zaman
Yunani/Romawi.
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, Individualisme pada zaman ini
mengarah ke universalisme”. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan
ilmu pengetahuan di sini adalah filsafat, karena cabang ilmu pengetahuan
tercakup dalam ilmu filsafat, berhubung belum ada spesialisasi pada saat
itu. Oleh karena itu ahli filsafat adalah juga ahli dalam bidang-bidang ilmu
lainnya sehingga digelarilah mereka sebagai “homo universales”. Cerdik
pandai Homo Universales inilah yang menjadi tipe ideal orang-orang
pandai pada zaman renaissance.
Peranan individualisme ini dapat terlihat dari cara untuk menjadi
manusia sempurna ialah dengan jalan:
a. Penyelidikan sendiri
b. Pengendalian hawa nafsu
c. Otak tajam, dan

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


165

d. Keteguhan hati berbuat budi.


Jelasnya kita ketahui lewat ucapan-ucapan para filosof Yunani antara lain
oleh Herakleitos: “Seseorang yang berpengetahuan, lebih berharga dari pada
seribu orang yang tidak berpengetahuan”. Sedangkan Socrates mengatakan:
“Kenalilah akan dirimu sendiri”. Juga Syrene, salah satu aliran filsafat
penganut Socrates berpendapat: “Apa yang dapat saya capai mungkin orang
lain tidak dapat”. Semboyan mereka yang terkenal: “saya memilikinya dan
saya bukan miliknya”. Aliran ini juga yakin bahwa “religi yang dicapai dengan
jalan pikiran sendiri akan mendatangkan kebahagiaan sendiri”.
Dalam lapangan politik/pemerintahan terdapat pula adanya unsur
demokrasi, tetapi sifat dan pelaksanaannya agak lain dengan pengertian
demokrasi sekarang (mengarah ke oligarki). Pada sekitar 594 SM pada masa
pemerintahan Salon, ditentukan bahwa “setiap warga negara mempunyai
hak bicara mengeluarkan suara jika ada pemungutan suara”, sehingga yang
menjadi pelaksana pemerintahan adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat.
Jadi dalam perkembangan kekuasaan di bidang politik, kita lihat
bahwa pada masa itu, individu sudah ikut juga mengambil bagian, turut
aktif menggunakan haknya. Ini merupakan bentuk dasar dan permulaan
Demokrasi Yunani. Satu Abad kemudian, Plato (428 SM) mengemukakan
pula idenya tentang masyarakat manusia yang baik dalam hasil karyanya
“Republik”. Plato sangat mementingkan pendidikan umum, karena hanya
orang yang telah sempurna pendidikannya dalam bidang kesusasteraan,
gimnastik, musik, matematika, dan filsafat dapat menjadi pemegang
pemerintahan yang baik. Menurut plato bahwa: “Kebahagiaan sempurna
hanya mungkin didapat pada masyarakat di mana filosof yang menjadi
penguasa”. Selanjutnya dikemukakan pula dua prinsip kenegaraan yang
membuktikan betapa pentingnya penonjolan hak-hak individu pada masa
itu, yaitu:
a. Masyarakat dapat dibangun dengan baik, hanya dengan dasar
spiritual.
b. Tugas pokok negara ialah pendidikan bagi warga negara yang baik
dan sempurna.

Sejarah Intelektual
166

Ajaran Plato ini dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles yang


mengemukakan lima (5) macam pemerintahan; aristokrasi, politeia, oligarki,
tirani, dan demokrasi yang dijadikan ukuran bentuk-bentuk pemerintahan
tersebut ialah kriteria jumlah orang, karakter, dan keadaan perekonomiannya.
2. Peranan Individualisme pada zaman Renaisance.
Meskipun orang-orang Renaissance banyak meniru cara-cara hidup
zaman Yunani/Romawi, tidaklah berarti semua dari zaman klasik tersebut
diambil alih begitu saja, melainkan mereka tidak mengherankan oleh
karena ciri manusia Renaissance mulai mementingkan dan menghargai
rasio, dan tradisi mulai diabaikan akibat penemuan daerah baru (Asia),
turut mempengaruhi segi kehidupan, terutama dalam hal perdagangan dan
hubungan internasional. Tidak sesuatu yang lebih revolusioner membalikkan
pikiran manusia dari pada penemuan daerah baru yang mengakibatkan
Renaissance ini merupakan abad-abad harapan, optimisme untuk masa
depan menggantikan pessumisme Abad Pertengahan. Di samping itu uang
yang memegang peranan penting turut mengubah mental pada zaman
Renaissance itu.

a. Bidang Politik
Dalam bidang politik raja-raja dengan pemerintahannya berkembang
ke arah kekuasaan monarki absolut. Ini sebagai realisasi teori ahli
ketatanegaraan yang termasyhur pada zaman Renaisance di Italia, yaitu
Nicolo Machiavelli denga bukunya “Il Principe” yang terkenal itu.
Dalam pemerintahan absolut monarki ini, tokoh dan pribadi rajalah yang
menentukan kuat tidaknya wibawa seseorang raja terhadap rakyatnya.
Pemerintahan yang absolut inilah yang kelak didobrak oleh golongan
Borjuis yang berpaham demokrasi liberal yang menginginkan hak-hak
politik untuk kepentingan golongannya. Malah sekitar Abad Ke-14
golongan Borjuis ini dapat turut mengirim wakil-wakilnya dalam “Dewan
Pemerintahan Raja”. Inilah yang merupakan bibit sistem parlementer yang
berkembang dalam zaman modern.
Penonjolan individu menuju Demokrasi Parlementer pada zaman
modern di Eropa terlihat pada ajaran tokoh-tokoh seperti : John Locke,

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


167

dengan: “separasion of power” nya, untuk menjaga jangan sampai timbul


kuasa absolut diktator yang mengharuskan hak-hak individu secara umum.
J. J. Rousseau, dengan: “Teori kedaulatan rakyat” nya, yang kemudian
meletak hak-hak dasar manusia dan tercantum kemudian kelak pada
konstitusi Perancis sesudah revolusi Perancis.
Jelas terlihat di sini kekuasaan berada di tangan rakyat, yang terdiri
atas individu dan bukannya berada di tangan seorang penguasa absolut.
Roseau antara lain mengatakan “Men are boron and remain egul and right.
Social distinctions can only be foundet upon the general good ……. Law
is the expression of the general will, every sitizen has a right to take part,
personally of through his representative, in its formation. It must be the
same for all…… society has the right to require of every public agent on
account of his administrasion”.

b. Bidang Agama
Dalam bidang agama peranan individualisme ini menuju ke arah
kemerdekaan individu secara bathiniah. Dengan munculnya kesadaran
dan keinsyafan akan harga diri selaku manusia yang dapat bertanggung
jawab atas dirinya sendiri, maka muncullah tokoh-tokoh agama untyuk
memperbaiki keaadan gereja. Muncullah Martin Luther yang menjadi
perombak secara radikal ikatan dogma gereja Romawi.
Luther ingin mengembalikan agama Kristen ke ajarannya yang
murni, dan mengajarkan bahwa manusia itu adalah mahluk indiviual yang
bertanggung jawab kepada perbuatannya sendiri. Dianjurkannya agar setiap
orang membaca dan mengartikan sendiri isi kitab Injil. Luther sebenarnya
hanya bermaksud untuk memperbaiki seremoni atau tata cara ajaran agama
dan bukan bermaksud untuk mendirikan ajaran baru. Paham Luther ini
banyak mendapat sokongan dari raja-raja kecil di Jerman. Terbukti suatu
Kaisar Charles V mengulangi perintah Luther dari Jerman, maka banyaklah
raja-raja kecil di Jerman yang memprotesnya. Dan dari sinilah awal
timbulnya istilah “Protestant”.
Tokoh pembaharu lainnya adalah Calvin, seorang perancis yang
banyak mendapat pengikut dari warga kota (Paura). Ajarannya berintikan

Sejarah Intelektual
168

“Pemilihan”, yaitu menganggap bahwa Tuhan telah menentukan nasib


seseorang manusia sejak lahir. Ia berpendapat bahwa Tuhan telah
menentukan siapa-siapa yang akan termasuk sholeh dan siapa siapa
yang tidak. Ini disebut “Predestination”. Sudah jelas para pengikutnya
menganggap bahwa merekalah yang termasuk dalam bilangan terpilih. Etika
ajarannya bertentangan dengan Ethika Katholik. Calvin menganjurkan
penganutnya agar giat bekerja untuk mencapai kesejahteraan di dunia, oleh
karena penganut-penganutnya sudah ditentukan “kesejahteraannya” kelak
di dunia baqa’.
Rahmat Tuhan pada pengikut Calvin direalisasikan dalam bentuk apa
saja yang merupakan hasil dari usahanya. Ini berarti “harus berusaha dengan
dinamik”, sesuai dengan cara-cara hidup golongan pedagang dan penduduk
kota. Di sini terlihat nyata Individualisme terlihat dengan jelas ditonjolkan.
Pembaharu lainnya adalah Zwingli dari Swiss, kemudian pada Abad ke-
16 pengaruh ajaran Calvin sampai pula ke Scotlandia dan menimbulkan
gereja Plesbeterian yang melepaskan diri dari pusat gereja Roma. Di Inggris,
ajaran Calvin ini banyak penganutnya pada masa raja Hendrik VIII, yang
mendirikan gereja Inggris dan yang menjadi kepala gereja adalah raja. Gereja
yang melepaskan diri dari Roma ini disebut gereja Anglican.

c. Bidang Ekonomi.
Dalam bidang perekomian individualisme ini memegang peranan
penting. Dasar perkembangan individualisme ini mengalami kemajuan,
paham kebebasannya semakin menonjol akibat tersebar luasnya ajaran
Calvin. Etika ajaran Calvin mengajarkan bahwa hasil yang diperoleh dari
gereja adalah “Rahamat Tuhan”. Untuk ini dianjurkannya kerja keras dan
hidup sederhana. Dengan ini timbullah akumulasi kapital yang merupakan
awal mula fase perindustrian yang dipercepat dengan penemuan-penemuan
baru di bidang mesin-mesin, alat-alat perhubungan (komunikasi), dan
munculnya pabrik-pabrik besar. Semuanya ini ditunjang pula oleh
penemuan Copernicus dengan teori buminya mengelilingi sumbunya dan
bukan dunia dikelilingi oleh planet-planet lain seperti anggapan umum
Abad Pertengahan. Demikian pula halnya dengan Newton, dengan hukum

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


169

gaya beratnya serta ahli-ahli lain yang menjadi peletak dasar penemuan
hukum-hukum alam yang memungkinkan penyelidikan-penyelidikan
dan percobaan-percobaan sehingga menghasilkan penemuan-penemuan
baru tersebut. Akibat industri yang semakin produktif, perlu daerah-
daerah tempat pelemparan hasil-hasil serta perlunya daerah-daerah sebagai
sumber bahan mentah. Timbullah hasrat untuk mengadakan ekspansi yang
menimbulkan imperialisme kolonialisme.

d. Bidang Ilmu Pengetahuan


Dalam bidang ilmu pengetahuan, sampai Abad ke-17, tipe homo
universales masih diketemukan, terkenal antara lain Newton, di samping
ahli ilmu alam, kimia, juga seorang Tabib. Dengan kebebasan individu
untuk mengadakan eksperimen dan dengan pengalaman-pengalaman
untuk menyelidiki sesuatu ilmu pengetahuan, di tambah dengan adanya
perubahan cara memandang kepada alam dan manusia (hal ini diabaikan
dalam abat pertengahan), maka muncullah tokoh-tokoh seperti Leonardo
da Vinci dan Dante dan lain-lain pada awal Renaissance, serta disusul
dengan Copernicus, Keppler, Galileo, Newton, dan lain-lainnya pada masa-
masa awal zaman modern.
Seiring dengan kemajuan di bidang perekonomian maka dalam cabang
ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena ada
saling kerja sama yang erat di antara keduanya. Cara memandang secara
prespektif pada alam ditambah peran rasio dan pengalaman serta pemakainan
rumus-rumus dasar, makin pesatlah perkembangan ilmu pengetahuan itu.
Terkenallah Abad ke-17 yang merupakan abad matematika, perkembangan
ilmu kimia pada Abad ke-18, ilmu hayat pada Abad ke-19.
Ilmu pengetahuan kini cenderung ke arah spesialisasi, dan
berkembanglah segala kemampuan manusia untuk memenuhi hasrat yang
timbul dari dirinya serta menjawab tantangan yang datang dari sekitarnya
dengan mempergunakan kemampuan fisik, akal budi dan pengalamannnya.
Sumbangan renaissance pada dunia modern ialah adanya keyakinan bahwa
manusia sebenarnya baik dan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan
individuil dan tanggung jawab individual.

Sejarah Intelektual
170

Dengan kebebasan individu, mengakibatkan munculnya pandangan


yang subjektif dalam cara memandang alam, agama, serta ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan Kebudayaan Barat itu berdasarkan
“Subjektivisme”, yang kelak menjadi pokok kemajuan peradaban
Barat. Dasar-dasar kemajuan Barat telah diletakkan dan berasal dari
perubahan pandangan hidup dalam zaman Renaissance, zamn pendorong
individualisme kearah pertumbuhan Dunia Modern Eropa.

D. Pokok-Pokok Pemikiran Abad Pertengahan


Sebagai penutup tulisan ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1) Renaissance adalah suatu zaman peralihan antara Dunia lama (Abad
Pertengahan) dengan dunia Moern merupakan proses sosial yang mebawa
perubahan pada seluruh bidangkehidupan serta sebagai dasar perkembangan
ke arah dunia modern. 2) Zaman Renaissance yang memuja tinggi kesenian
dan kebudayaan Yunani/Romawi Klasik, memberi tempat pada manusia
selaku anggota kelompok manusia sosial. Merubah cara berpikir dan sikap
hidup manusia secara berangsur-angsur serta memberikan kepastian dalam
menentukan corak baru pada wajah sejarah peradaban dunia Barat yang
statis, konservativ dan feodalis. 3) dunia abad pertengahan yang bercirikan
dua kekuasaan; Pertama, kekuasaan gereja yang menguasai kehidupan
rohaniah dan kehidupan politik; dan Kedua, Kekuasaan Feodalisme yang
menguasaihidup perekonomian, mengikat hidup dan kehidupan manusia.
Akibatnya peranan individu atau aktivitas manusia bahkan hampir tidak
ada sama sekali.
Dalam bidang mental, pada zaman Renaissance, mulai menyadari
betapa pentingnya peranan individu, sehingga renaissance dengan segala
kemungkinan individualnya mulai meninggalkan pola pandangan abad
pertengahan yang religiusvieu ke arah sikap penduniawian (sekularesasi).
Perubahan ini melahirkan geraan yang condong ke arah penonjolan diri,
gerakan pembaharuan di bidang hidup keagamaan dengan munculnya
reformasi atau yang terkenal dengan Protestantisme. Sedangkan dalam
bidang kekuasaan politik, muncullah nation state, perjuangan ke arah suatu
masyarakat negara yang demokratis hasil perjuangan golongan borjuis

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


171

dalam menentukan kekuasaan Abad pertengahan. Serta perkembangan di


bidang perekonomian dan perdagangan akibat kemajuan teknologi yang
merupakan tiang pokok kemajuan peradaban barat, membawa pengaruh
ke arah perekonomian liberal (Liberalisme), menyediakan jalan bagi
perkembangan kapitalisme yang memberi dinamika baru bagi Eropa ke
arah imperialisme Modern.
Manusia sesuai hakekatnya, baik sebagai individu maupun sebagai
mahkluk sosial jika hanya mementingkan individunya saja maka perjalanan
hidup manusia akan berat sebelah. Meskipun pada awal perkembangannya
menujukkan kurva yang menaik dengan munculnya liberalisme, demokrasi
liberal, kapitalisme yang mengarah ke Imperialisme modern, tetapi
akhirnya akan menimbulkan reaksi terhadap dirinya sendiri. Demikian pula
sebaliknya dengan mengabaikan individu dan mementingkan masyarakat
saja, juga tidak akan membawa keseimbangan dalam kehidupan.
Maka sebagai makhluk yang berciri hakikat individu dan berada
bersama (masyarakat), hendaklah kedua masalah ini bersama-sama
memegang peranan, sama-sama berkembang seiring dan saling menopang
sehingga dengan demikian kehidupan manusia akan sejalan dengan apa
yang memang telah ditakdirkan baginya.

E. Peranan Kaum Bourjuis


Seluruh Abad Pertengahan pada umumnya dikuasai oleh golongan
Gereja dan golongan feodal yang memberikan ciri tertentu bagi zaman
itu. Gereja yang menguasai kehidupan rohaniah dan kehidupan politik
(pemerintahan) dengan ikatan dogma ajarannya, boleh dikatakan
mempengaruhi golongan feodal (feodalisme) berkuasa pula atas kehidupan
perekonomian. Tanah pertanian yang menjadi dasar perekonomian pada
masa itu dipegang oleh tuan-tuan tanah, mengakibatkan petani-petani kecil
banyak menggantungkan nasibnya pada mereka. Keadaan perekomonian
yang agraris statis ini turut pula mempengaruhi sruktur sosial dan politik
pada masa itu. Abad Pertengahan adalah zaman di mana manusia kurang
menghiraukan duniawi, tetapi lebih banyak mementingkan persiapan
untuk kehidupan dunia baqa’. Sikap mental diliputi “semangat agama” dari

Sejarah Intelektual
172

manusia Abad Pertengahan inilah yang memungkinkan besarnya kekuasaan


Gereja di samping karena Gereja telah mengalami perkembangan yang
berabad-abad.
Dalam Abad Pertenghan itu, terdapat suatu mentalitas, yang tidak
bercorak duniawi, melainkan corak atau usaha yang diarahkan pada
kesejateraan dan kebahagian akhirat. Ilmu pengetahuan pada Abad
Pertengahan itu disebut Scholastik, tujuannya yang terutama adalah untuk
membuktikan kekebalan ajaran Gereja. Penyelidikan dan eksperimen,
kedua tiang pengetahuan zaman kita, yang juga menjadi sandaran bangsa
Yunani, tidak atau hampir tidak dikenal orang dalam Abad Pertengahan
itu.
Tetapi lambat laun dalam tubuh kedua kekuasaan itu tumbuh suatu
tenaga baru yang boleh dikatakan tidak disadari, suatu penyakit yang
tidak dirasakan , tetapi kian lama kian bertambah parah. Tenaga baru itu
adalah kaum Borjuis, yang makin sadar akan golongannya, yang kemudian
dapat berbangga akan hasil usahanya, kekayaan dan kota-kotanya dengan
corak hidupnya yang berbeda dengan corak kehidupan umum pada Abad
Pertangahan itu. Di samping itu tumbuh pula suatu gerakan baru, yaitu
gerakan raja-raja yang keuasaannya telah hilang terpecah-pecah pada
bangsawan-bangsawan (kaum feodal), yang menginginkan kembalinya
kekuasaan mereka, ingin membentuk “nation states”. Hastrat dan keinginan
ini tersalur dan mendapat sokongan dari kaumBorjuis tadi, sehingga
ternyata kerja sama diantara keduanya ini kelak mempercepat keruntuhan
kekuasaan dalam Abad Pertengahan itu.
Demikianlah kita lihat situasi hingga akhir Abad pertengahan itu,
kekuasaan lama yang menguasai hidup dan kehidupan masyarakat ditantang
dengan munculnya kekuatan baru, kekuatan kaum Borjuis yang dipersubur
dengan gerakan raja–raja, tumbuh subur secara perlahan–lahan tetapi
pasti, dalam tubuh kekuasaan Abad pertengahan. Dengan demikian jadilah
kaum Borjuis ini sebagai suatu kekuatan yang meletakkan dasar – dasar
bagi perkembangan ke arah permulaan dunia moderm yang membedakan
dirinya dari zaman–zaman sebelumnya.

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


173

1. Tumbuhnya Kekuatan Borjuis


Pada umumnya ahli–ahli sejarah menggambarkan Abad pertengahan
dan zaman modern (dunia modern), sebagai dua pola yang berbeda, bahkan
lebih dari itu, biasa digambarkan sebagai dua pola yang berlawanan sifatnya,
akan tetapi tujuan sejarah tidak hanya puas dengan memberikan gambaran
yang berbedabahkan bertentangan itu; lebih jauh sejarah menghendaki
latar belakang atau sebab mengapa timbul perbedaan atau perlawanan sifat
kedua pola itu. Untuk iitu perlu kiranya dikemukakan berapa pendapat :
a. F. Mayer mengemukakan adanya perubahan dalam bidang
filsafat yang disebabkan oleh “Scientific Spirit”. Perkembangan
filsafat modern dipercepat oleh perkembangannya logika
baru pada Zaman Renaissance, melalui Galileo, Bacon, dan
Descrates.
b. H.J. Randal mengemukakan juga suatu perubahan dalam pikiran
manusia : “tak ada sesuatu yang lebih revolusioner membalikkan
pikiran-pikiran manusia dari pada “the discovery of the word”.
Yang dimaksudkannya adalah penemuan daerah baru. Sebagai
akibat penemuan daerah baru itu dijelaskannya adanya “new
hope” dan perubahan dalam nilai uang.
c. Bertrand Russel ditinjau dari segi mental zaman modern dan
Abad Pertengahan itu berbeda dalam banyak hal. Ada dua faktor
yang sangat penting : surutnya kekuasaan Gereja dan timbulnya
kekuasaan science (authority of science).
d. R.f. Beerling mengatakan : “tumbuhya kepercayaan pada diri
sendiri. Dasar kepercayaannya itu bersifat rasionil, yaitu ilmu
pengetahuan, dengan latar belakang kemasyarakatan, dimana
pekerja tenaga-tenaga ekonomi sosial dan politik. Sebagai
penganjurnya ialah wakil-wakil golongan penduduk yang insyaf
dalam masyarakat “kapitalisme muda”.
e. Jan Romein menjelaskan bahwa: “latar belakangnya adalah suatu
krisis yang terjadi dalam abad ke 14 dan ke 15”. Masyarakat feodal
mengalami akhirnya. Bersama-sama dengan Raja,golongan paura

Sejarah Intelektual
174

(Borjuis) menempuh jalan kearah negara baru. Kedua pendukung


kekuasaan duniawi yaitu Paus dan Kaisar “Kerajaan Roma Suci
Bangsa Jerman” itu, kekuasaannya telah berkurang.
Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
timbulnya perbedaan itu disebabkan oleh perubahan dalam bidang
mental dan kekuasaan. Dengan kata perubahan mengandung pengertian
“pergantian” dan dari kata pergantian ini terselip pula pengertian “lama”
dan ”baru”, artinya yang lama digantikan oleh yang baru. Dengan
sendirinya pergantian itu hanyalah mungkin, apabila yang lama itu
lemah atau kurang sempurna dan yang baru itu lebih kuat atau lebih
sempurna.
Jika dunia Abad Pertengahan disebut yang lama dan dunia Modern
disebut yang baru, maka tentulah timbulnya dunia modern disebabkan
oleh runtuhnya (merosotnya) dunia Abad Pertengahan. Jadi itulah sebabnya
oleh karena runtuhnya kekuasaan Abad Pertengahan, yaitu kekuasaan
Gereja dan kekuasaan feodal. Kekuasaan Gereja dimaksudkan, kekuasaan
dalam bidang politik/pemerintahan, sedangkan kekuasaan Feodal adalah
kekuasaan dalam bidang ekonomi.
Dalam struktur masyarakat Abad Pertengahan, kaum Borjuis yang
munculnya menempatitingkat ketiga akan tetapi kemudian sesudah Abad
Pertengahan tampak bahwa kaum Borjuis (middle class) itulah yang
mempelopori jalannya sejarah Modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan
: “Mengapa demikian, atau dengan kata-kata lain, faktor apa yang
menyebabkan sehingga kaum Borjuis ini dapat mengembangkan dirinya
menjadi suatu kekuasaan yang nyata dalam sejarah ?”.
2. Situasi Abad Pertengahan
Dalam masyarakat Abad Pertengahan sebagai warisan Zaman Yunani
timbul suatu pendapat umum bahwa : “bekerja dan berjual beli itu,
hanyalah patut bagi hamba-hamba saja.” Mungkin pendapat ini timbul,
sebagai akibat adanya strukutur masyarakat yang bertingkat-tingkat yang
disebabkan oleh sistem perekonomiannya yang agraris tadi. Sistem ekonomi
yang semacam ini hanya dapat bertahan dalam daerah yang masih sedikit

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


175

penduduknya. Apabila penduduk makin bertambah, maka tenaga untuk


mengerjakan tanah-tanah itupun berkelebihan.
Kemana tenaga yang berlebihan itu akan bekerja? Soal inilah yag
mendorong orang-orang yang tidak mendapat bagian tanah sebagai petani-
petani kecil sewaan di bawah tekanan feodalis-feodalis, untuk menempuh
jalan lain terpaksa melakukan pekerjaan yang dianggap hina itu dalam
perdagangan masyarakat Abad Pertengahan. Selain itu, pada diri kaum
Borjuis tumbuhlah suatu pendapat umum yang oleh Jan Romein disebutnya
“penyucian kerja” bekerja adalah suatu keharusan sebagai hukuman Tuhan
atas dosa manusia. Kemudian kerja menjadi erat hubungannya dengan
kebajikan bahkan suatu hasil kerja menjadi erat hubungannya dengan
kebajikan bahkan suatu hasil kerja dipandangnya sebagai rrahmat Tuhan.
Dengan demikian, kerja dipandang sebagai tugas suci untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan tempat beramal”.
Inilah senjata yang tidak ampuh itu, yang memberikan hasil kebanggan,
kekayaan, mendorong mereka itu ke arah kesadaran diri dan kelompok.
Jadi situasi Abad Pertengahan itu cenderung menimbulkan lawannya yang
kemudian ia sendiri diruntuhkannya. Masyarakat feodalistis mengandung
bibit lawannya-Borjuis yang mencita-citakan demokrasi (kebebasan),
dengan mana kaum Borjuis ini kemudian dapat berbangga dengan kekayaan
dan kota-kotanya yang makmur penuh dinamika kemajuan.
Situasi selanjutnya berupa revolusi puritan, perang-perang saudara dan
berbagai-bagai revolusi di Eropa merupakan sebagian sebab-sebab perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan Eropa yang mencapai puncaknya pada
pertengahan Abad ke 17, lebih-lebih memberikan kesempatan bagi
pertumbuhan kekuatan Borjuis dalam membantu raja-raja mendirikan
“Nation States”.
3. Runtuhnya Kekuasaan Gereja
Kekuasaan Politik Peranan Borjuis dalam pembentukan Nation States.
Pada mulanya nasionalisme itu tumbuh di kalangan raja-raja, seperti apa
yang dikemukakan oleh Jan Romein bahwa, pada mulanya raja sama
dengan bangsa, sedangkan hingga Abad ke 14 kedudukan raja di antara

Sejarah Intelektual
176

kaum bangsawan tak lebih dari para primus interpares saja. Yang menjadi
persoalan adalah, mengapa justeru baru pada Abad ke 14 (menurut Jan
Romein tadi) timbul gerakan raja-raja yang hanya primus ineterprares itu
untuk memulihkan kembali seluruh kekuasaannya?. Soal ini dijawab oleh
Ferguson Bruun sebagai berikut:
Perang-perang besar antara negara (seperti perang 100 tahun) sejak
Abad ke 14, 15 dan permulaan Abad ke 16, memainkan peranan penting
dalam pembentukan sentimen nasional karena peperangan selalu merupakan
kekuatan pendorong ke arah tumbuhnya patriotisme.
Akibat kekacauan yang lama itu, timbullah kesadaran dan kebutuhan
bahwa negara sekarang adalah suatu “ kesatuan yang penting dari segalanya”
dan pemerintahnya adalah suatu “kekuasaan di mana semua orang berlindung
dan diperintah”. Hal lain yang timbul yang merupakan tantangan bagi cita-
cita dan gerakan pemulihan kekuasaan ini dalam prosesnya menghadapi
rintangan-rintangannya adalah soal “perongsokan perang”.
Dari manakah raja-raja yang hanya lambang itu untuk memperoleh
uang guna maksud tersebut?. Dulu memang raja-raja dibantu oleh kaum
bangsawan. Jika timbul peperangan harus dilucuti kembali kekuasaannya.
Raja-raja hanya melihat satu kemungkinan saja, yaitu minta bantuan pada
kaum Borjuis yang sudah kaya itu yang juga memerlukan sesuatu. Jelasnya
di pihak raja sangat memerlukan bantuan pada kaum Borjuis yang sudah
kaya itu yang juga memerlukan sesuatu. Jelasnya di pihak raja sangat
memerlukan bantuan perongkosan dan itu hanya ada pada kaum Borjuis,
sedangkan kaum Borjuis membutuhkan kelancaran perdagangannya yang
hanya mungkin dengan adanya hukum yang sama dalam suatu negara,
serta lancarnya lalulintas.
Itulah sebabnya kota-kota (borjuis) menyokong dengan uangnya raja-
raja untuk memulihkan kembali kekuasaannya dan tumbuhlah negara-
negara sentral yang kuat. Dengan tumbuhnya “centralized tertitorial states”
yang menjatuhkan kekuasaan dan prestise Gereja dalam lapangan politik di
mana peranan Borjuis dalam membantu mendirikan negara-negara sentral
itu penting sekali.

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


177

Dengan ini mulailah kaum Borjuis memasuki bidang politik


(pemerintahan) sebagai balas jasa dari raja, dan bermulalah usaha kaum
Borjuis ke arah pendirian “demokrasi”. Negara-negara sentral ini bertumbuh
pula suatu bibit yang kelak akan menjadi racun baginya, yang akan menjadi
lawannya, itulah demokrasi, yang menjadi idaman kaum Borjuis. Dan paham
demokrasi ini lalu berkembang ke dua arah, ke arah Evolusi (sebagaimana
terlihat dalam sistem parlementer di Inggris) dan ke arah revolusi (seperti
yang terjadi pada revolusi Perancis), mengakhiri pemerintahan absolut.
4. Borjuis Mendukung Protestantisme.
Suatu hal yang mengherankan juga adalah mengapa gerakan Protestan
atau biasa disebut dengan reformasi itu dapat berhasil merebut beberapa
daerah bahkan beberapa negara ( kerajaan) dari kuasa Paus. Hingga timbulnya
reformasi itu, umat Kristen Eropa sudah berabad-abad lamanya memandang
dan mengamalkan bahwa iman (agama), gereja, dan politik (negara) itu
rapat hubungannya, bahkan menjadi satu, sehingga gerakan reformasi yang
menentang gereja Katolik, dipandang juga sebagai tantangan terhadap
raja (negara). Reformasi tidaklah dimulai dengan organisasi yang khusus
menentang gereja, meskipun kemudian ternyata menjadi konflik bersenjata.
Adapun reformasi itu dalam peninjauan sejarah sebenarnya merupakan proses
politik kultural, sosial ekonomi, bukan sebagai proses religius.
Berhasilnya reformasi itu mendirikan gereja baru, tidaklah semata-
mata karena kekuatan senjata tetapi lebih banyak ditentukan oleh
kemampuan reformasi itu dalam menyesuaikan diri dengan massa, seperti
yang dikemukakan oleh C. Brinton bahwa “di mana Protestantisme itu
menyesuaikan diri dengan perasaan kelompok yang kuat (dominant in
group feeling nationalism) disitulah protestantisme itu berakar kuat (Inggris,
Perancis, Irlandia, Jerman), terutama pada golongan Borjuis”. Beberapa
penyebab sehingga kaum borjuis simpati dan mendukung gerakan reformasi;
a. Gereja dan negara serta kaum Foedal, merupakan satu kesatuan.
Negara bersifat Teokrasi. Dalam masyarakat abad pertengahan
kaum Borjuis telah sadar bahwa tekanan atas dirinya adalah
disebabkan oleh individualisme-indiviualisme besar, yaitu negara-

Sejarah Intelektual
178

negara Teokrasi absolut yang memulai membangun kompeni-


kompeni dagangnya di samping itu golongn rakyat jelata telah
sadar pula, bahwa kemerdekaan mereka hanya dapat dicapai bila
hak-hak feodal itu dan penjualan budak-budak itu dilenyapkan.
b. Kaum Borjuis yang tujuannya dipusatkan pada bagaimana
mengembangkan perdagangannya untuk menimbun kekayaan dan
kemewahan yang hanya dapat dicapai dengan melipat gandakan
keuntungan, sedangkan Gereja tidak memperbolehkan perbuatan
itu. Jadi mereka tetap membutuhkan sesuatu, yaitu kebebasan dari
larangan itu.
c. Dalam bidang kerohanian, ajaran Scholastik tak dapat memberikan
kepuasan kepada golongan rakyat biasa, karena sukarnya dimengerti
oleh mereka, terutama logika Aristoteles yang didasarkan pada
Syllogisme.
Jadi kedua golongan ini (Borjuis dan raja-raja) tidak mendapatkan
kepuasan dalam menghadapi situasi yang berlaku. Untunglah bagi mereka
dan angin baru bertiup, gerakan Protestan yang dipelopori oleh Marthen
Luther, Calvin dan kawan-kawannya, menentang Gereja dan tentunya
dengan negara dan kaum feodal, karena ketiganya merupakan kesatuan.
Kedua golongan ini merasa lega dan menaruh simpati bahkan segera
mendukung gerakan itu, walaupun dengan dasar yang tidak semata-mata
karena iman. Dengan demikian, semangat Protestantisme tersebar ke mana-
mana karena gerakan baru ini dapat memberi kepuasan kepada golongan-
golongan yang merasa membutuhkan sesuatu daripadanya.
“Potestantisme memberikan etika baru, membolehkan orang
mengumpulkan harta milik asalkan dengan jalan jujur. Tetapi sanksi
“asalkan dengan jalan jujur” tidaklah merupakan penghalang bagi kaum
Borjuis untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan
pengejaran keuntungan yang tak terbatas ini bersama-sama dengan faktor
lain memberikan suatu sifat agresif bagi Eropa dalam hubungannya dengan
dunia luarnya yang dikenal sebagai imperialisme modern, terutama ke
Asia-Afrika. ”Protestantisme memberikan juga ajaran tentang bagaimana

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


179

mencapai keselamatan akhirat yaitu, hanya dengan iman (dikemukakan


oleh Marthen Luther) dan anugrah (dikemukakan oleh Calvin) sedang
Gereja Katolik mengajarkan hanya dengan iman dan amal saleh.
Bagi rakyat jelata dan hamba sahaya, diberi juga penghiburan dan
harapan sebesar dengan mengajarkan bahwa manusia itu sama di hadapan
Tuhan, tiap manusia mempunyai bakat-bakat tertentu dari Tuhan ; bekerja
sesuai dengan bakatnya masing-masing, itulah yang dikehendaki Tuhan.
Dengan sendirinya ajaran demikian tidak mengakui adanya penggolongan-
penggolongan dari masyarakat, membagi manusia dalam tingkatan-
tingkatan. Menurut mereka apa yang disebut bangsawan, kelas menegah
dan hamba-hamba itu, palsu belaka dan tidak dikehendaki Tuhan.
Penganut gerakan baru itu menjadi besar, bahkan beberapa raja-raja
menganut faham baru itu. Gereja Katolik banyak kehilangan penganut dan
daerahnya, karena raja-raja yang sudah menganut ajaran baru itu merasa
berkewajiban untuk mengembangkan gerejanya. Itulah sebabnya raja-raja
itu kadang-kadang terpaksa menentukan, Protestanlah yang harus diakui
sebagai agama resmi negara apabila dalam negaranya terjadi konflik agama,
demikian pula sebaliknya, raja-raja yang bergama katolik, kadang-kadang
menetapkan agama Katoliklah agama resmi negara jika hal itu terjadi.
Jadi berhasilnya gerakan Protestan merebut sebahagian daerah dan
penganutnya dan mendirikan sesuatu yang baru, adalah sebagian ditentukan
oleh sokongan kaum Borjuis dan rakyat jelata yang kemudian diperkuat
oleh raja-raja penganut gerakan itu, yang merasa bahwa agama dan urusan
kenegaraan tak dapat dipisahkan, meskipun tidak semata-mata karena iman.
5. Kekuasaan Rohaniah
Secularisasi (saecum = dunia) penduniawian ini adalah perombakan
secara radikal pandangan hidup Abad Pertengahan yang serba “religius
view”. Habis abad ke 17 tumbuhlah suatu proses yang tak dapat ditahan lagi,
yang dinamakan Saeculariasering. Segala perbuatan dan pikiran manusia
makin lama makin bertalian dengan dunia. Dunia minta segala perhatian
dan tenaga manusia. Dalam dunia, manusia mencari dan mendapatkan
tujuan hidupnya.

Sejarah Intelektual
180

Jika dalam abad pertengahan arah pandangan ditujukan ke dunia atas


(akhirat), sedang dunia Modern mengarahkan pandangannya ke dunia
bawah (saecularisasi) yaitu dunia kita ini, maka timbul pertanyaan, apa
yang menyebabkan penyimpangan itu? Dari segi pandangan intelektual
jatuhnya ajaran scholastik itu, merupakan suatu perubahan penting yang
antara lain disebabkan oleh “proses sekularisasi” metode scholastik yang
tak dapat dipakai dengan seksama dalam perkembangan dari pada prinsip-
prinsip keilmuan aksioma-aksioma, khususnya logika Aristoteles yang
didasarkan pada syllogisme, sebagaimana dikatakan oleh F. Mayer di atas.
Jadi sekularisasi itu terisi adalah disebabkan oleh sulitnya untuk menerima
ajaran Scholastik itu dan sukar untuk di praktekkan dalam kehidupan
praktis, dan barangkali juga psikologis bahwa manusia pada umumnya
lebih cenderung pada hal-hal yang sulit yang bersifat teoritis dan abstrak
yang seolah-olah lepas dari kegunaan hidup sehari-hari.
Suatu ajaran, ide-ide kekuatan penguasaannya atas masyarakat
lebih banyak tergantung pada kesanggupan dari masyarakat itu untuk
menerimanya. Dengan ini tidaklah dimaksudkan bahwa tidak sanggupnya
masyarakat menerimanya, maka ajaran agama, ide-ide dan lain-lain itu
sendiri yang lemah. Yang lemah dalam hal ini, terutama dalam agama (dalam
arti yang sesungguhnya) adalah metodenya, dan bukanlah agama itu sendiri.
Oleh karena itu manusia (kaum Borjuis khususnya) lebih-lebih tertarik
perhatiannya kepada dunia yang dipandangnya sebagai tantangan itu.
Telah dikemukakan di atas bahwa Gereja dan Negara adalah satu, maka
dengan demikian Gereja mempunyai dua aspek kekuasaan, kekuasaan politik
dan rohaniah. Kekuasaan politik berarti turut menentukan haluan negara,
menjaga keamanan negara dan masyarakat. Kekuasaan rohaniah berarti
kekuasaan dalam menentukan ajaran atau kekuasaan dalam mengajarkan
agama dan memelihara ajaran itu. Dalam hal ini tidak jelas lagi batas-batas
antara tugas dan kekuasaan, tugas disertai atau disamakan dengan kekuasaan.
Gereja abad pertengahan mempraktekkan macam-macam
kekuasaannya itu dalam bentuk yang dapat dinamakan bentuk diktator yang
mengandung cara-cara berfikir bebas, pikiran-pikiran yang menyimpang

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


181

dari bentuk-bentuk yang sudah ditentukan (dari scholastik itu), orang-


orangnya diburu dan dikucilkan dari gereja, maka timbullah kebencian atas
Gereja, terutama ahli-ahli pikir baik dari golongan gerejani maupun dari
golongan-golongan Borjuis, yang mulai syak akan segala ajaran-ajaran yang
tidak dapat diterima, tradisi-tradisi yang mengikat itu. Tetapi yang agak
aneh adalah bahwa kebencian bukan saja ditujukan kepada kekuasaan gereja
dengan ajaran scholastiknya, bahkan menolak sama sekali agama kristen.
Seperti Beerling berkata, “sebahagian ahli pemikir pada abad ke 18 tak ber-
Tuhan tetapi sebagian besar mempertahankan deisme. Mereka memandang
dunia sebagai suatu sistem menurut sebab-sebab alam. Dunia itu debentuk
oleh Tuhan, tetapi ia tidak campur tangan lagi dengan pertumbuhan dunia
selanjutnya.
Sebab yang lebih menentukan dalam proses sekularisasi ini ialah
“revolusi dalam dasar-dasar berpikir”. Sebelum Copernicus mengemukakan
teorinya, Dunia abad Pertengahan berpendapat bahwa alam semesta
ini berpusat pada bumi kita ini dan matahari, bintang-bintang, planet -
planet lainnya beredar mengelilingi Jarusalem sebagai pusatnya. Tiba – tiba
Copernicus mengemukakan teorinya (pada waktu itu dekat meninggalnya),
bahwa bukanlah bumi yang menjadi pusat alam semesta dan matahair adalah
pusat, dan bumi serta planet-planet lainnyalah yang beredar mengelilingi
matahari: di samping itu bumi ini berputar pada sumbunya sendiri. Gereja
menentang pikiran baru ini, bahkan Giordano Bruno (1600), karena berani
mempertahankan pikiran Copernicus ini dihukum bakar. Akibat revolusi
ini, ialah bahwa ajaran gereja sangat digoncangkan, dan orang sudah mulai
ragu akan kebenaran tradisi Gereja serta orang mulai berusaha melepaskan
diri dari ikatan-ikatan tradisi Gereja yang mudah goncang itu.
Akibat penemuan daerah baru, mempengaruhi pula segala segi
kehidupan Eropa. Terutama perdagangan dan hubungan internasional antara
negara-negara lah yang pertama-tama dipengaruhi, tetapi juga pemikiran
dan angan-angan hati lebih-lebih digiatkan. Lebih jauh lagi Randall
mengatakan bahwa “tak ada sesuatu yang lebih revolusioner membalikkan
pikiran manusia dari pada penemuan daerah baru yang mengakibatkan;
1) Abad-abad sejak renaissance dan selanjutnya, merupakan abad-abad

Sejarah Intelektual
182

harapan. Dunia Abad Pertengahan merupakan dunia tertutup dan terbatas


yang di dalamnya perluasan pikiran-pikiran manusia sedikit sekali. Dengan
semakin lebarnya pemandangan akibat penemuan daerah baru itu, suasana
mental dirubah sama sekali sampai ke-dasar-dasarnya; optimisme untuk
masa depan menggantikan pessimisme Abad Pertengahan; 2) Cita-cita
mulai mengembangkan pikiran-pikiran. Perubahan itu bukan saja, tetap,
tetapi kuat teguh; Perubahan dasar dalam nilai uang; 3) Uang memegang
peranan yang penting sekali dan mengendalikan jalannya perekonomian.
Turun naiknya nilai uang menentukan kehidupan perekonomian dan
uang menentukan kehidupan perekonomian dan uang menjadi tujuan
usaha dan cita-cita manusia”. Dengan penemuan daerah baru lebih-lebih
lagi mendorong kaum Borjuis untuk menaklukkan dunia ini. Sekularisasi
tambah dikuatkan untuk menaklukkan dunia ini. Dunia baru menjadi
tantangannya untuk menggali segala kemungkinan yang terkandung di
dalamnya. Dan dengan sekularisasi yang makin luas menempati alam
kejiwaan kaum Borjuis itu makin sempitlah pula ruangan yang dilowongkan
untuk hidup kerohanian (keTuhanan), bahkan materilah yang di pandang
sebagai Tuhan hidupnya. Dengan ini jelas menentukan hidupnya. Dengan
ini jelas bahwa kaum borjuislah yang pertama-tama menyimpang dari pola
kebudayaan Eropa; dan 4) Sikap Toleransi.
Selain itu sebagai akibat hubungan dagang antara kota-kota dagang
Italia dengan pedagang-pedagang Islam (dari Levant) dan juga dengan
Byzantium, maka tumbuhlah proses baru yaitu sikap toleransi (yang dimiliki
Islam), juga diterima oleh orang-orang Kristen Italia itu, yang melemahkan
rasa kedaerahan dan rasa keistimewaan kerajaan kristen, bagi mereka.
Sikap toleransi dapat diartikan sebagai pengakuan yang mempunyai aspek-
aspek pengertian, antara lain; Pengakuan akan adanya yang lain (orang,
kumpulan, kepercayaan dan lain-lain) sendiri dan Pengakuan bahwa yang
lain itu, setidak-tidaknya sederajat dengan (diri, kumpulan, kepercayaan
dan lain-lain) sendiri. Jadi mengurangi superioritas, egoisme, subyektivisme
diri (kumpulan, bangsa, ras, kepercayaan) sendiri. Barangkali sikap inilah
yang diperlihatkan oleh kaum Kristen Borjuis Eropa pada waktu itu, yang
dibarengi oleh sikap membolehkan yang lain itu hidup berdampingan

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


183

dengannya. Sejalan dengan sikap hidup berdampingan terdapatlah sikap


menyesuaikan diri dengan yang lain itu. Kemungkinan bahwa sikap
toleransi yang dimiliki oleh kaum Borjuis itu mengandung maksud-maksud
tertentu, misalnya karena menyangkut soal laba rugi dalam perdagangan.
Tetapi satu hal yang sudah dapat dipastikan bahwa dengan sikap
toleransi ini, yaitu sikap yang mengurangi atau melemahkan superioritas
kerajaan Kristen, seperti yang dikemukakan J. Burckhardt di atas tadi,
merupakan suatu dasar yang lemah sekali. Hal ini ternyata kemudian akibat
sekularisasi, kaum borjuis bukan saja lemah superioritas kerajaan Kristen
tetapi lebih daripada itu merekapun menjadi lemah dalam beriman, “bahkan
Tuhan kaum Borjuis yang khas Tuhan kaum terpelajar, Tuhan rasional”.

F. Kelumpuhan Feodalisme
Telah dikemukakan di atas, bagaimana kaum Borjuis itu bertumbuh
sampai menciptakan suatu masyarakat baru yang sumber hidupnya bukan
lagi pertanian tetapi dari perdagangan, yaitu masyarakat kota-kota yang
bertumbuh sekitar tahun 1000 M sebagai akibat tumbuhnya kembali
perdagangan dan industri. Pertumbuhan kota-kota ini merupakan secara
keseluruhan masyarakat Eropa dari masyarakat tertutup ke masyarakat
bebas terbuka sebagai ciri dunia modern. Tetapi soal penting sekali
adalah “bagaimana prosesnya perubahan itu”? terjadinya perubahan itu
tentunya disebabkan karena kemenangan masyarakat kota dalam proses
pertumbuhannya menghadapi masyarakat feodalistis itu salah satu dari
sebab kemenangan itu adalah karena dalam masyarakat Feodalistis itu
timbul semacam masa krisis.
Pada Abad ke-14 dan ke-15 di Eropa terjadi suatu krisis di mana
masyarakan Feodal mengalami kemerosostan dan mulai lenyap. Krisis ini
disebabkan oleh; kemenangan raja-raja dalam menciptakan “nation states”
yang dipusatkan. Berhasilnya raja-raja ini mencapai maksudnya adalah
berkat bantuan dari pada kaum borjuis, yang haus akan keamanan dan
kelancaran perdagangannya. Raja-raja ini dalam usahanya mengkonsolidasi
dan mempertahankan batas daerahnya perlu uang yang banyak. Salah satu
jalan yang ditempuhnya ialah menaikkan pajak-pajak kepada tuan-tuan

Sejarah Intelektual
184

tanah Feodalist itu. Bagi tuan-tuan tanah kenaikan pajak ini tidak menjadi
soal besar karena mereka dapat saja menaikkan pula pajak-pajak bagi
petani-petani sewanya itu, jika mungkin lebih banyak dari yang dibebankan
pada mereka. Bersamaan dengan itu terjadi pula krisis ekonomi, inflasi
mengamuk, nilai uang merosot dan harga kebutuhan hidup naik akibat
dari faktor ini (pajak dan harga kebutuhan hidup naik) ialah bahwa, petani-
petani itulah akhirnya yang terjepit benar-benar lalu menuntut kenaikan
upah. Hal ini menimbulkan maslah yang paling sulit bagi tuan-tuan tanah.
Jika upah petani dinaikkan sedang produksi relatif tetap, maka
kerugianlah yang akan mengancam, tetapi jika tidak, maka mungkin petani-
petani itu tidak akan tahan, lalu merekapun meninggalkan pertanian-
pertaniannya lari ke ota-kota, untuk mencari lapangan hidup baru. Demi
mempertahankan prestise dan penghidupannya maka tidak ada jalan lain
yang ditempuh oleh tuan-tuan tanah feodal itu selain menaikkan pajak
bagi para petani. Akibatnya petani-petani mulai melarikan diri ke kota-kota
dan terjadilah urbanisasi yang mengakibatkan beberapa daerah pertanian
dikosongkan (rotten boroughs). Bagi masyarakat feodal, urbanisasi ini
menimbulkan kelumpuhan yang besar yang akhirnya petani berangsur-
angsur lenyap, mula-mula di Inggris, kemudian di Perancis (Revolusi
Perancis 1789) dan terakhir di Rusia (1917).
Jadi tampaklah bahwa berakhirnya bentuk masyarakat Feodalistis
itu adalah disebabkan oleh faktor krisis ekonomi, di mana kaum Borjuis
memegang peranan yang sangat penting, yang dengan jiwa yang sangat
dinamis akibat perdagangannya, telah menciptakan lapangan hidup baru
yang memungkinkan petani-petani itu dapat melanjutkan hidupnya. Dan
andai kata tidak ada kota-kota tempat pelarian para petani itu mungkinlah
jarum jam sejarah Eropa tidak seperti yang sudah terjadi.
Dunia abad pertengahan dengan pandangan umumnya terhadap nilai
kerja “secara tidak sadar cenderung ke arah menumbuhkan lawannya”.
Dunia Abad Pertengahan sebagai warisan zaman klasik Yunani, berpendapat
bahwa “kerja itu hanya bagi hamba-hamba saja”. Pendapat yang berlaku
umum ini, menyebabkan kekuasaan dalam Abad Pertengahan itu lengah

6 - Kebangkitan Pemikiran Abad Pertengahan


185

(tidak memperhatikan situasi yang sedang tumbuh); dan memberikan


kesempatan, yang kemudian menjadikan semangat pendorong segolongan
kecil manusia yang rela menerima resiko menurunkan harga dirinya bila
dipandang dari sudut “pandangan umum” itu.
Mereka mendirikan masyarakat baru, masyarakat kota-kota dan
mengembangkan diri dalam “ekonomi keuangan”, yang menjadikan mereka
kaya. Dengan kekayaannya itu, mereka menggali fundamen masyarakat
Feodal, secara tidak langsung menolong petani-petani bangkit dari
pertaniannya (petani-petani sewaan) dan menolong raja-raja memulihkan
kembali kekuasaannya dari baron-baron; lalu bersama-sama meruntuhkan
kekuasaan Abad Pertengahan, menggantikannya dengan kekuasaan yang
dipusatkan dalam tangan raja dalam apa yang disebut “nation states”.
Dengan kerja sama dengan raja-raja atas dasar kekayaannya, kaum borjuis
memperoleh kesempatan baru dalam lapangan politik, memulai perjuangan
baru ke arah “suatu masyarakat negara yang demokratis”; dengan jalan
“evolusi” (melalui jalan parlementer, seperti di Inggris) dan “revolusi”
(dengan kekuatan senjata, seperti antara lain pada Revolusi Perancis), untuk
mengahiri kekuasaan “absolut” dari raja-raja yang pernah dulu dibantunya.
Di lapangan ekonomi kaum Borjuis menyediakan jalan bagi
perkembangan “Kapitalisme” yang memberikan dinamika baru bagi Eropa
ke arah “Imperialisme Modern”, menyebabkan Benua Asia dan Afrika
meringkuk di bawah kekuasaan Eropa. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa,
kaum Borjuis dengan kekuasaan ekonominya, merombak tata susunan lama
(Abad Pertengahan), dan mendirikan tata susunan baru yang demokratis,
Dunia Modern, serta menyebabkan penyimpangan Eropa dari pola umum
Abad Pertengahan itu, sehingga mengaburkan pandangan dunia luar
terhadap dasar-dasar kebudayaan Eropa.

Sejarah Intelektual
BAB VII
KAUM INTELEKTUAL
DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

A. Dunia Kita
Negara berkembang adalah belahan umat manusia yang setelah
Perang Dunia II bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan
Barat. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan terhadap rempah-
rempah Nusantara terutama Maluku, dikembangkan melalui pengacak-
acakan seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang
berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami
perkosaan pelembagaan budaya, Iebih dari itu adalah pemiskinan
yang sistematis. Pada pihak Iain Barat semakin membengkak dengan
kemajuan, kekuasaan, keilmuan, dan teknologi dengan bangsa-
bangsa jajahan sebagai Iandasan percobaan. Doktrin-doktrin yang
membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan
pihak bangsa-bangsa yang dijajah.
Kita menyaksikan Iahir dan berkembangnya imperium (empayar)
dunia: Portugis dan Spanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan
perak, Inggeris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta
perbudakan (perhambaan), dan Belanda yang dibangun di atas monopoli
rempah-rempah. Sebahagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh
Barat, yang dalam jumlah nisbah jauh lebih kecil, namun bagaimanapun
pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu
adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang
188

Barat. Dalam hal ini, dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada
keseluruhannya, terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-shek,
bahwa: tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa Iain tanpa bantuan
bangsa itu sendiri.
Produk (Kesan) penjajahan atas Dunia Ketiga secara budaya adalah:
mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi
bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, karena mentalitas
bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan kebudayaan bangsa kalah
demi survivalnya sebagai bangsa kalah. Tragedi pada Dunia Ketiga dengan
kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang
disadarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan
kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajah
adalah Demokrasi Parlementer, Hak-hak Asasi, yang dua-duanya memberi
jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas
namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk
mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah
hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa itu kehilangan jajahannya.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak
berlindung pada apa yang mereka namai kebudayaan asli dan kadang
kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang
menjualnya untuk pariwisata (pelancongan) dan bukan tanpa kebanggaan
nasional kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah
dikalahkan berabad.
Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan
penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga
memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai
keanehan hanya karena tidak sama dengan dirinya, hanya karena perbedaan
standar (taraf ) yang sulit mereka sadari, dan karena standar satu-satunya yang
mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C.J .Koch
The Year of Living Dangerously (terbitan Sphere Books United, London,
1981). Malah suatu gejala biasa bila Barat tidak mau mengerti bahwa

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


189

semua keterbelakangan (kemunduran) di Dunia Ketiga tidak Iain dari ulah


(tindakan) dunia Barat itu sendiri.
Penjajahan atas dunia non-Barat diawali oleh perlombaan
mendapatkan rempah-rempah Nusantara. Entah karena kebetulan, entah
karena rancangan sejarah, secara teori, Nusantara pula yang mengawali
putusnya penjajahan internasional sebagai tempat di mana mata rantai
imperialisme dunia paling Iemah dengan Iahirnya Republik Indonesia pada
17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyusul Vietnam. Sekali mata
rantai putus, kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia
ke daratan Asia merambat ke Afrika kemudian ke benua Amerika Latin.
Semua itu terjadi karena faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam
sebagai percobaan sejarah. Imperium Inggeris, yang kepayahan keluar dari
Perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di
Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi
payah Iagi. Sebaliknya Indonesia, yang karena rempah-rempahnya
membikin sebahagian terbesar umat manusia dijajah Barat, menyadari tugas
sejarahnya dengan mengadakan Kongres Asia Afrika di Bandung pada April
1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasai, bahkan memahami
sejarah bangsanya, bukan sekadar tahu tentang materi (isi) dan metode
keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah dengan pidato anti-
imperialismenya Let A New Asia and Africa Be Born telah mengangkatnya
menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau
tidak. Dengan Afro-Asian Conference, kekuasaan dan imbangan dunia
berubah, bergerak karena Iahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga
berarti juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai
guru musuh atau sahabat.
Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan
sebahagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan
fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat. Bapak
tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa
berpisahan satu sama Iain mempunyai posisi internasional yang berbeda.
Dalam jangka waktu tertentu itu, sekarang kita hidup, karena itu juga dapat

Sejarah Intelektual
190

menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat
terhadap Dunia Ketiga.
Sikap dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang
Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum merupakan sikap
umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju. Mereka mencoba
membébérkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga karena belum sampai
pada standar yang dimiliki Barat, dan nota bene (perhatikan) tidak Iain dari
warisan penjajahan Barat sendiri, di samping memperkenalkan produk Dunia
Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya
pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang Utara-Selatan
untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: kaya-miskin. Sebelum
yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: negeri/negara yang sedang
berkembang (membangun). Semua itu untuk menghindari persoalan nurani
antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang Ientur (Iunak)
dan dilenturkan ini tak Iain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa
Dunia Ketiga berterima kasih pada bantuan yang menguntungkan dari
Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat
keuntungan Iebih besar Iagi. Di sini kita sekarang berada.

B. Kaum Intelektual
Apa yang dimaksudkan dengan kaum intelektual masih kurang jelas
apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari
setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah
sarjana termasuk intelektual? Apakah setiap orang di antara kita intelektual
atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut (sifat) dari sebahagian
kecil nasion yang merasa diri berpikir Iebih daripada bagian selebihnya?
Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual
adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai
kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya
manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop,
Sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila
sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual ertinya penalarannya
belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


191

lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai


kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan
penalarannya sendiri sebagai: intelektual blanko (kosong). Sehubungan
dengan topik yang dikemukakan oleh Senat Mahasiswa FIS-UI jelas bukan
intelektual blanko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian
integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan
hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya.
Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga pada umumnya dan di Indonesia
khususnya, di mana semua mulai diawali, dibangun dan dikembangkan
seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan sekedar
mesin yang menari antara in- dan out-put. Pada mereka dituntut kejelian
(keelokan) kepiawaiannya untuk dapat melihat peran dari perkembangan
nasional, yang berarti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan
hari depan hanya dapat digalang dengan perhitungan dan amal hari ini.
Penalarannya menggunakan reflektor yang tertuju ke depan, bukan tertuju
ke belakang sebagai mana dalam kebudayaan purba, kebudayaan animis,
dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan kuburan.
Sebaliknya, kaum intelektual bukan sekedar bagian dari nasionnya.
Iapun nurani nasionnya, karena bukan saja dalam dirinya terdapat gudang
ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi
gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan,
memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam
memutuskannya atau tidak.
Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang
relevansinya masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmin.
Hanya bezanya kaum Brahmin moden menempati kedudukan sebagai
jambatan pada hari depan. Saya cenderung menempatkan kaum intelektual
Indonesia dan Dunia Ketiga dalam pengertian ini.

C. Sikap Dan Peran Intelektual


Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri, bicara
tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh.

Sejarah Intelektual
192

Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas.
Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh.
Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di
depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan : bagaimana
sebaiknya, karena itu soal operasional.
Berdasarkan materi yang telah dikedepankan, sikap yang sepatutnya
diambil adalah: Pertama, meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan
mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan
dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moden.
Kedua, tetap kritis terhadap potensi pengaruh budaya suku yang kalah dan
mengajak kalah. Ketiga, berlatih berani untuk mendapatkan keberanian
intelektual karena tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh
sebelum memutuskaben. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya
karena keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner
juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual
Indonesia. Keempat, sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah
pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia.
Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang
Dunia Ketiga ada karena diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual
Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas
dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan
sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, karena mereka
tanpa sadarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya
sendiri. Kelima, Barat menjadi bongkak kuasa, bongkak kemajuan dan
bongkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan
produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlimenter dan hak asasi
adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Keenam, dari
pengalaman sejarah ini, kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung
jawaban moral dengan konsekuensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum
intelektual Indonesia karenanya diajak pertanggungan jawaban historis.
Ketujuh, atas dasar ini Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan
menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus
menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


193

menggantinya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu


Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara
gading itu pula, bisa diharapkan Barat melepaskan pandangan. Baratnya dan
standar Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.
Kedelapan, kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat
keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu
membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk
menghadapi Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang
dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia
Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia
sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian
moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan
berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti
halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata
karena dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah
dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung,
terutama juga dengan budaya Barat. Kesembilan, praktiknya terus-menerus
yang menjamin Iahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan
bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikínnya
patut jadi penalaran dan nurani nasion. Kesepuluh, akibat dari sikap yang
diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa
lain pada menata kembali dan mengorganisasi secara sadar perasaan
pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam
segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual
Indonesia. Kesebelas, kekuatan peradaban Barat yang mampu berkembang
dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya
dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga
banyaknya. Sebaliknya kerasakan yang diakibatkannya pada Dunia Ketiga
juga tak terhingga banyaknya. Kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada
kekuatannya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh
oleh demekrasinya dan diayomi (dibantu) oleh hak-hak asasinya, yaitu
individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikannya sebagai aku... yang dari
kumpulannya terbuang, karena menolak pembebekan (sifat mengekor).

Sejarah Intelektual
194

Dari pelajaran Barat, Indonesia juga bisa kuat dengan individu manusia
Indonesia yang kuat, sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah
aku... yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan
pegangan dan medan oleh Pancasila. Keduabelas, terhadap Dunia Ketiga
sebagai jajaran sendiri, sebagai seperasaian (mempunyai nasib sama) dalam
sejarah, sebagai rakan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang
diwariskan oleh kesamaan historis, menanggalkan sikap tak acuhan yang
terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah
suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia Ketiga akan mempercepatkan
lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktik devide et
impera (pecah dan perintah) Barat bukan tidak menjadi watak peradaban
dalam menghadapi dunia non-Barat. Karena itu semangat Dunia Ketiga,
atau yang pernah juga disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi
semangat Asia-Afrika-Amerika Latin, bukan semestinya menjadi semakin
pudar untuk kerugian Dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya
waktu ia - bukan sekedar gagasan mencoba mewujudkan Ganefo dan Conefo,
tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-
Selatan, Dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin
mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan.
Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa
terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru. Ketigabelas, peran kaum
intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan
bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya
dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang
bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia
merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan
praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak
dicoba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-
roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi
munafik. Keempatbelas, kaum intelektual,sebagai nalar dan nurani nasion,
adalah berkasta Brahmin dalam pengertian modern. Dan moden selalu
senyawa dengan demokratis, dengan, demikian kehilangan kedudukannya
dari hierarki Hindu. Faal bernolar, berpikir dengan inteleknya secara

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


195

alami, tidak beza dari fungsi-fungsi kasta Iain dalam masyarakatnya, yakni
melakukan proses bio-kimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk
bisa tahu tentang paran sebelumnya, orang dituntut tahu tersangkarnya,
tentang asalnya, tentang historisnya.

D. Mengingkari Kebebasan
Intelektual biasanya dianggap sebagai manusia bebas dan kreatif yang
terus-menerus mencari kebenaran. Untuk mencapai tujuan mulianya,
intelektual tidak segan menempuh kehidupan yang tidak lazim dan menolak
menjadi bagian dari arus utama dalam masyarakat. Tanpa pamrih adalah
ciri yang lain karena bukan uang, pangkat dan kenikmatan duniawi yang
dicari. Akibatnya tidak jarang mereka terpaksa berjalan sendiri dan kesepian
seperti yang diungkap Arief Budiman dalam pidato di Melbourne University
beberapa tahun lalu.
Julien Benda, pemikir konservatif Perancis mungkin orang yang
paling sering dikutip untuk menggambarkan sosok intelektual tanpa
pamrih. Pengkhianatan Kaum Intelektual karyanya adalah kritik tajam
terhadap mobilisasi kebencian dalam kasus Alfred Dreyfus, kapten tentara
Perancis keturunan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara kepada
pasukan Jerman. Ia mengecam kesetiaan buta kaum intelektual terhadap
doktrin keamanan negara dan menuduh mereka berkhianat terhadap nilai
kebebasan dan hak-hak individu yang diperjuangkan Revolusi Perancis.
Tapi kenyataan sejarah memunggungi harapannya, termasuk
intelektual sebarisannya dalam kasus Dreyfus. Georges Clemenceau jurnalis
yang menjadi menteri dalam negeri 1906, menangkap para pemimpin
serikat buruh radikal CGT dan memerintahkan agar mereka dihukum
tembak. Semua itu atas nama “keamanan nasional”, persis seperti kaum
intelektual yang dituduhnya berkhianat dalam kasus Dreyfus. Sebuah
bukti bahwa kemerdekaan individu yang dijunjungnya selalu punya
pengecualian. Mungkin mirip dengan kebungkaman intelektual Indonesia
yang merayakan kemerdekaan berpikir di satu pihak tapi membiarkan
penindasan terhadap intelektual yang berlawanan di tahun 1960-an.

Sejarah Intelektual
196

Bagaimanapun karyanya tetap menjadi landasan bermacam pandangan,


fantasi dan ilusi tentang sosok intelektual bebas yang kadang terlihat naif
di hadapan kenyataan sejarah yang keras. Pembentukan pengetahuan dan
ilmu senantiasa terkait dengan kehidupan ekonomi dan politik. Sejarah
modern pun penuh dengan kisah persekutan intelektual dengan kekuasaan.

E. Pengabdian Intelektual
Intelektual adalah bagian tak terpisahkan dari penjajahan selama
berabad-abad. Nama-nama besar dalam berbagai bidang ilmu seperti John
Stuart Mill bersesakan dalam birokrasi rumah dagang dan negara kolonial.
Di Indonesia kita menjumpai Brandes, van Leur, Petrus-Blumberger dan
Gonggrijp. Mereka bekerja penuh pengabdian dan sekaligus mendapat
penghargaan karena pencapaian akademik, yang menunjukkan kedekatan
dunia ilmu pada umumnya dengan birokrasi negara. Sekalipun “bebas”
menulis tentang apa pun yang mereka mereka minati tugas utama adalah
menambah pengetahuan penguasa tentang daerah kekuasaannya, dan tak
seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.
Pada Abad ke-20 menghadirkan contoh-contoh yang lebih telak
lagi. Di Jerman semasa Nazi ribuan peneliti dan ilmuwan segala bidang
direkrut untuk mendukung proyek Aryanisasi Hitler. Kamp konsentrasi
seperti Buchwald dan Auschwitz disulap menjadi laboratorium raksasa
menggunakan penghuninya sebagai obyek eksperimen yang mengerikan.
Anak-anak disuntik dengan virus hepatitis untuk mempelajari cara kerjanya,
sementara tahanan dewasa dibiarkan merana kelaparan agar para peneliti
dapat mengamati batas daya tahan manusia. Di samping menjadi masukan
untuk kepentingan militer, hasil penelitian itu kadang diumumkan melalui
konperensi dan jurnal ilmiah yang bergengsi pada zamannya sebagai
pencapaian akademik.
Hubungan intelektual dengan rezim fasis hanya dalam bidang ilmu
alam atau kedokteran. Martin Heidegger, filsuf terkemuka yang juga
dikenal luas di Indonesia diketahui mendukung kekuasaan Nazi. Ia menjadi
rektor Universitas Freiburg dengan restu penguasa yang beberapa minggu
sebelumnya membakar ribuan buku di hadapan umum. Beberapa bulan

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


197

kemudian ia ikut menandatangani pernyataan sekelompok ilmuwan Jerman


yang mendukung kekuasaan Hitler, dan sesudah perang masih berbicara
tentang “kebenaran dan keagungan” eksperimennya di Jerman.
Intelektual yang mengabdi pada negara memiliki sejarah panjang.
Di Rusia hubungan itu diperkuat tahun 1725 saat negara membentuk
Akademi Ilmu yang mencakup semua bidang keahlian. Hampir semua
ilmuwan bergabung dalam lembaga penelitian atau perkumpulan ahli.
Setelah revolusi Bolshevik tradisi itu dilanjutkan, kali ini untuk melayani
kepentingan revolusi. Beberapa lembaga sempat berkembang pesat dan
menjadi masyhur di lingkungan akademik, seperti Institut Fisika-Teknik di
Ukraina yang didirikan 1928. Situasi berubah setelah Stalin berkuasa dan
sembilan tahun kemudian, hampir semua ahli asing yang bekerja di sana
diusir sementara rekan sejawatnya asal Soviet ditangkap atau disingkirkan
karena dianggap pembangkang politik.
Tentu banyak intelektual yang memilih tidak bergabung dalam
birokrasi atau lembaga tertentu. Rusia menyaksikan munculnya kaum
intellegentsia yang memilih berpihak pada perjuangan rakyat, sementara
di Perancis ada filsuf, ahli sejarah dan penulis yang bergabung dalam Front
Popular. Bekerja dalam lembaga tidak selalu berarti mengabdikan seluruh
karya dan pikiran pada kepentingan negara, seperti ditunjukkan oleh pendiri
dan pengikut Mazhab Frankfurt. Namun, pertentangan yang semakin
tajam antara kekuatan politik dan kelas sosial tidak memungkinkan mereka
berdiri netral di atas semua kepentingan dan mengabdi pada kebenaran
yang abstrak seperti yang diserukan Benda.

F. Ilmu Dan Kebudayaan


Berakhirnya perang dunia melahirkan perseteruan baru di antara negara
pemenangnya dan membawa bentuk hubungan intelektual dan penguasa
yang berbeda. Amerika Serikat dan Uni Soviet yang pegang peran utama
sama-sama menggalang ribuan intelektual menjadi penasehat, pemberi
legitimasi atau perpanjangan tangan birokrasi yang memikirkan strategi dan
teknik penaklukan.

Sejarah Intelektual
198

Perlombaan senjata adalah prioritas utama dan pertarungan dimulai


untuk memperebutkan ilmuwan Jerman yang perang. Washington
melancarkan Operasi Paperclip untuk membawa sekurangnya 1.600 ilmuwan
dan keluarga mereka bekerja di AS. Seperti di masa perang, para ilmuwan ini
menggunakan serdadu AS sebagai obyek percobaan senjata kimia maupun
LSD dan obat-obatan psiko-kimia untuk menciptakan alat pengontrol
pikiran. Dimulai dari Universitas Stanford, politik Perang Dingin menjalar
ke univesitas bergengsi lain seperti Chicago, MIT dan Columbia.
Dalam proses itu sebagian besar intelektual kiri (sebagian berpindah
haluan) tersingkir dan memberi jalan bagi pembentukan intellectual
establishment baru yang konservatif. Badan pemerintah, termasuk lembaga
intelijen seperti CIA dan FBI, mendukung dengan menyalurkan dana,
tenaga dan aktif melakukan intervensi serta pengawasan. Keyakinan
ideologis bercampur dengan kebutuhan mencari sumber dana mendorong
para pemimpin universitas membuka lebar pintu kampusnya untuk proyek
dan program baru yang sejalan dengan kepentingan pemerintah.
Politik luar negeri menjadi sangat menentukan dan untuk itu para
penguasa perlu pengetahuan cukup tentang keadaan negeri lain. Universitas
Harvard membuka Pusat Penelitian Rusia sebagai think-tank politik luar
negeri dan intelijen mengenai Uni Soviet. Lembaga kajian wilayah lainnya
dibentuk melibatkan intelektual terkemuka seperti Walt W. Rostow dan
Samuel Huntington. Sebagian meniti karir sebagai penasehat keamanan
dan politik luar negeri, tapi ada pula yang memilih bergerak di lapangan,
seperti sosiolog Talcott Parsons yang tahun 1948 berkeliling Eropa dengan
bantuan staf kedutaan, dinas intelijen dan militer AS merekrut para pelarian
Uni Soviet untuk bekerja di lembaga tersebut. Kalangan bisnis dan lembaga
dana berperan penting dalam proses pembentukan lembaga-lembaga
ini. Universitas Harvard mendapat bantuan $740 ribu dari Carnegie
Corporasion untuk mendirikan pusat penelitian tersebut, sementara
Ford Foundation memberi $270 juta kepada 34 universitas di seluruh AS
guna mendirikan pusat kajian wilayah dan bahasa antara 1953 dan 1966.
Sebagian dana diperoleh dari CIA yang menggunakan lembaga-lembaga
itu sebagai selubung kegiatannya. Tahun 1976 Kongres AS melakukan

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


199

investigasi yang mengungkap hampir separuh dari 700 paket hibah yang
disalurkan berbagai lembaga dana berasal dari dinas intelijen tersebut.
Kenyataan ini tidak berarti bahwa semua pusat kajian wilayah adalah
perpanjangan tangan CIA atau badan pemerintah lainnya. Seperti halnya
Moskow dan Beijing tidak selalu berhasil membangun “garis komando”
dengan organisasi, lembaga atau intelektual yang didukungnya, di AS pun
bermunculan lembaga yang relatif independen sekalipun mendapat dana
hibah semacam itu. Langkah yang tidak mudah dalam politik Perang
Dingin. George Kahin dari Cornell University misalnya membuka studi
Asia Tenggara di kampusnya dengan dukungan Ford Foundation di satu
pihak dan mata curiga Departemen Luar Negeri yang menganggapnya
terlalu dekat dengan gerakan kiri di Indonesia pada pihak lain.
Tapi terlepas dari variasi hubungan dan lembaga yang terbentuk masa
itu, Perang Dingin membawa dampak serius bagi perkembangan ilmu
dan kehidupan intelektual. Seiring dengan meningkatnya petualangan
intelijen ke seluruh dunia, ahli-ahli psikologi seperti Harold Lasswell tekun
mengembangkan teknik perang urat syaraf, sementara ahli bahasa melayani
kelas-kelas yang sesak dengan tentara dan agen dinas intelijen yang ingin
menguasai bahasa sasarannya. Ahli ekonomi dan politik berlomba mencari
rumus baru mengenai pembangunan negeri berkembang agar mengikuti
“garis politik” masing-masing negara.
Sekalipun hanya sebagian intelektual yang mengabdi pada kepentingan
strategis seperti itu, lanskap keilmuannya secara umum tetap sangat
terpengaruh. Mereka memang relatif bebas merancang, mengumpulkan
bahan dan meneliti, tapi akhirnya harus berhadapan dengan keinginan
lembaga dana serta ketiadaan kontrol terhadap penggunaan hasil karya
mereka. Banyak studi antropologi, proyek pemetaan, studi geografi
dan kajian sosial lainnya menjadi bagian dari operasi militer tertentu,
sementara studi sastra dan seni diolah menjadi senjata dalam pertarungan
kebudayaan. Meski tidak “berkhianat” dalam pengertian Julien Benda,
kemerdekaan berpikir dan mencipta terbentur oleh berbagai kepentingan
yang mengelilingi mereka.

Sejarah Intelektual
200

Mencegah menjalarnya komunisme adalah agenda pokok Washington


dalam perang tersebut. Intelektual kiri seperti Paul Baran dan Paul Sweezy
yang pernah bekerja dalam Kantor Dinas Strategis semasa perang melawan
Jerman, mulai digeser untuk membentuk intellectual establishment yang
anti-komunis. Sebaliknya di Uni Soviet negara memberi tugas baru kepada
kaum intelektual untuk menjaga dan menjamin “kemurnian ideologi”.
Intelektual yang tidak mendukung kebijakan negara, sekalipun tidak anti-
komunis, disingkirkan dari posisi mereka.
Berbagai lembaga penelitian baru dan sebuah pusat pengembangan
ideologi, Institut Marxisme-Leninisme dibentuk. Beberapa intelektual
Marxis seperti Georg Lukacs bergabung dalam lembaga itu untuk menyusun
buku-buku teks yang “meringkas” pikiran Marx, Engels, Lenin dan Stalin
untuk disebarkan ke lembaga-lembaga pendidikan sebagai bacaan wajib.
Penelitian dilakukan untuk menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai
induk dari segala ilmu. Dari teori kritis untuk memahami dan mengubah
masyarakat, Marxisme diubah menjadi gugus doktrin siap pakai untuk
membentuk “manusia sosialis seutuhnya”. Arti penting karya penelitian dan
pemikiran tidak lagi diukur berdasarkan pencapaiannya dalam menjabarkan
dan menjawab masalah, seperti yang dilakukan Marx sendiri, tapi seberapa
jauh karya itu sejalan dengan Marxisme versi Soviet. Seperti di AS, kedekatan
pada birokrasi adalah jalan bagi intelektual untuk mendapat posisi penting
di lembaga pendidikan atau bekerja dalam proyek penelitian. Pejabat partai
berkuasa atas pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, memastikan bahwa
tidak ada unsur liberal yang menyusup ke dalamnya.

G. Kekuasaan Bisnis
Saat ini praktis tidak ada kekuatan lain yang bisa mempengaruhi
kehidupan akademik dan intelektual seperti bisnis. Sejarahnya panjang
tapi pengaruhnya mulai semakin dirasakan pada 1990-an seiring dengan
berakhirnya Perang Dingin. Birokrasi di mana-mana menganggap nilai
strategis lembaga pendidikan, penelitian dan kumpulan intelektual semakin
berkurang. Universitas terkemuka kini harus hidup dengan dana publik
yang sangat terbatas dan kadang hanya cukup untuk menutup seperempat

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


201

kebutuhannya. Ini adalah pemandangan umum di negara industri maju


di Amerika, Eropa dan Asia yang memproduksi 84,3% dari seluruh karya
ilmiah di dunia.
Di Asia Tenggara yang hanya mengeluarkan 0,1% keadaannya
lebih mengenaskan lagi. Intelektual “bebas” yang selama ini berkeliaran
di perpustakaan, café dan ruang diskusi berdebat tentang segala hal kini
mengikuti disiplin kapitalisme untuk bertahan hidup. Sebagian mengasong
tenaga dan pengetahuannya dari proyek ke proyek, sementara lainnya
memilih lompat ke gerbong eksekutif menjadi bagian dari intellectual
establishment yang bersekutu dengan bisnis. Museum, perpustakaan,
pusat kebudayaan dan lembaga publik lain yang menjadi tempat berkarya
semakin tidak bersahabat pada intelektual dan seniman yang tidak dapat
mendatangkan dana.
Pemenggalan anggaran adalah jalan utama bagi masuknya bisnis ke
lembaga pendidikan dan kehidupan intelektual secara umum. Universitas
Berkeley tahun 1998 misalnya membuat kontrak dengan Novartis, raksasa
farmasi dari Swiss yang membayar $25 juta dengan imbalan hak istimewa
untuk mendaftarkan lisensi sepertiga penemuan ilmiah yang lahir dari
fakultas biologi di kampus itu. Di tempat-tempat lain industri dengan
teknologi lain semakin sering menggunakan kampus sebagai tempat
peluncuran produk terbaru untuk menekankan bobot ilmiahnya. Hal
serupa terjadi pada pusat-pusat kebudayaan ketika lembaga penyandang
dana (yang seringkali terkait dengan institusi bisnis) mulai menuntut
kerjasama yang mengutamakan kepentingan bisnis mereka. Restrukturisasi
dilakukan dengan menutup atau mengubah isi bidang studi yang tidak
menghasilkan uang. Sebagai gantinya dibuka bidang studi baru seperti
manajemen dan teknologi terapan yang senapas dengan kepentingan
bisnis dan nyata menghasilkan uang. Setiap tahun universitas-universitas
di Amerika menerima 320.000 mahasiswa asing untuk bidang studi seperti
itu dengan biaya kuliah yang mahal. Alasan lain untuk mengurangi jatah
bagi ilmu sosial, filsafat dan humaniora karena bidang-bidang ini berbicara
tentang nilai-nilai dasar dalam kehidupan masyarakat yang justru menjadi
sasaran invasi bisnis sekarang ini.

Sejarah Intelektual
202

Ilmu alam yang semula dipaksa mengikuti logika perang dan


penaklukan memasuki fase baru sebagai pelayan industri dengan efek
membunuh yang tidak kalah besarnya, seperti rekayasa genetik yang
banyak digunakan dalam industri pertanian. Di fakultas ekonomi
pengajar dan mahasiswa sudah melupakan filsafat moral yang menjadi
akar ilmu mereka dan memusatkan perhatian pada kuantifikasi
pertumbuhan dan strategi bisnis. Untuk melayani rakyat pekerja yang
tertekan oleh pekerjaan dan terkucil dari lingkungannya, ahli psikologi
berlomba membuat tulisan populer tentang cara mengatasi stress
dan mengembangkan kepribadian corporate. Sementara filsuf seperti
Fukuyama yang mendapat sambutan luas di sini merayakan semuanya
sebagai “akhir sejarah”. Sistem pengajaran pun semakin mengikuti
tuntutan bisnis.
Debat panjang dan diskusi mendalam dianggap tidak efisien.
Pelajaran bahasa yang semula mengandalkan tatap muka pengajar-
murid akan diganti oleh kursus “interaktif ” di laboratorium komputer.
Bagi penyelenggaranya, skema itu sangat menguntungkan karena murid
tetap membayar uang sekolah yang sama sementara mereka hanya
perlu membayar gaji satu-dua asisten paruh-waktu. Cara kerja lembaga
pendidikan semakin menyerupai assembly-line di pabrik dan pengajar
menghadapi persoalan yang sama seperti buruh pabrik: pemecatan
massal, pengurangan jam kerja yang berakibat turunnya upah, tunjangan
dan fasilitas lainnya.
Kalangan bisnis dengan tangkas menangkap sentimen kesetaraan,
hak-hak dan nilai yang diperjuangkan kaum intelektual dan
mengolahnya untuk kepentingan bisnis. Perusahaan minuman Coca-
Cola misalnya memakai slogan multikulturalisme untuk menawarkan
produknya ke seluruh dunia. Intelektual penganjur multikulturalisme
sebaliknya dengan hati-hati merumuskan pikirannya agar tidak
bertentangan dengan prinsip ekspansi pasar dan membatasi diskusinya
pada kesetaraan ras, etnik atau agama, tanpa bicara perbedaan kelas
yang semakin hebat.

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


203

H. Nilai Kebebasan
Di zaman modern gejolak politik dan ekspansi modal semakin
mempersempit jalan sepi intelektual yang ingin berpikir bebas, mandiri, dan
lepas dari segala kepentingan. “Segala yang padat larut dalam udara, segala
yang suci dibumikan, dan manusia akhirnya didesak untuk menghadapi
kenyataan hidup dan hubungan sesamanya dengan pikiran jernih,” demikian
Marx. Sebagian intelektual bereaksi dengan mengurung diri dalam menara
gading yang semakin sempit dan ringkih, menjadi pandita tanpa umat. Tapi
banyak yang memilih jalan lain untuk membebaskan diri dari kekangan.
Tahun 1948 berlangsung Kongres Intelektual Dunia untuk Perdamaian
di Wroclaw, Polandia. Setahun kemudian di bawah pimpinan intelekutal
Perancis peraih Nobel Frederic Joliot Curie dibentuk Dewan Perdamaian
Dunia yang menghimpun ribuan intelektual dan sarjana dari seluruh dunia
termasuk Indonesia. Dimulai dari dari kampanye menuntut penghapusan
senjata atom, dewan ini terus mengecam perlombaan senjata nuklir serta
petualangan militer negara-negara besar di berbagai belahan dunia. Jurnalis
dan pengarang Dunia Ketiga di tahun 1950-an membentuk berbagai
perhimpunan sebagai tindak lanjut politik non-blok yang dicanangkan
Soekarno. Gerakan mahasiswa dan intelektual yang melanda Amerika dan
Eropa 1960-an, invasi Soviet ke Hungaria 1956 dan Cekoslovakia dua
belas tahun kemudian mendorong munculnya berbagai arus pikiran dan
formasi intelektual baru yang menolak polarisasi ilmu dan kebudayaan
akibat Perang Dingin. Di Afrika dan Amerika Latin gerakan pembebasan
melahirkan tokoh-tokoh seperti Franz Fanon, Amílcar Cabral dan Paulo
Freire. Mereka memilih bersekutu dengan rakyat negerinya ketimbang
doktrin liberal Washington atau Marxisme Soviet. Keberpihakan memang
tak terhindarkan. Intelektual hanya bebas menentukan di sisi mana mereka
akan berdiri dan berkarya.

I. Tipologi Intelektual
Sejarah pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang
dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan
gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau

Sejarah Intelektual
204

kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum.
Istilah “pemikir” itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja
yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan
lain untuk “intelektual” dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih
keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher,
thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned
man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan
yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher -- karena faktor
sejarahnya -- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan
tingkat kejeniusan seseorang.
Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum
terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat
keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan kebenaran.
Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf
berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa,
karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok
tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit
dengan massa.
“Filsuf ” adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir
yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya
berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas.
Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah
scholar (sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan
tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai
jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy),
tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi,
sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh ‘Ali Syari’ati, pemikir
asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa
adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula
saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari’ati
menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


205

yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara
sederhana sebagai “intelektual”, karena istilah tersebut biasa merujuk
kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi
kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-
Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para
cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam
bahasa Inggris disebut intelektual. Seorang intelektual biasanya tidak
hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat
dan berinteraksi dengan mereka.
Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti ‘Ali Syari’ati
adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani.
Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid
Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu
dianggap sebagai “thinker”, “philosopher” dan “reformer”, padahal ia adalah
intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih
filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti
Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars)
yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai
filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat, karena,
seperti telah saya katakan, istilah “pemikir” itu sendiri ambigious, bisa
diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas keintelektualan yang
berbeda-beda. Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada
dikotomi yang jelas antara “pemikir elit” (mufakkir nukhbah) dengan
“pemikir massa” (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir nukhbah
adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing dari massa
dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah
para pemikir elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf,
intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat,
dan mereka adalah milik massa. Dalam tulisannya yang lain, walau ia
mengakui sulitnya membuat perbedaan antara “pemikir” (mufakkir)
dengan “intelektual” (mutsaqqaf ), tak pelak, ia juga membuat perbedaan
tersebut. Tak jauh berbeda dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk

Sejarah Intelektual
206

di atas, Hanafi menganggap pemikir sebagai genus, sedangkan intelektual


sebagai species. Karena itu, “seluruh pemikir adalah intelektual, tetapi
tidak seluruh intelektual adalah pemikir.
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala cognate-nya yang saya
berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan acuan dan batasan
tentang pemikir dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam
galeri pemikiran Arab kontemporer seperti yang akan diperlihatkan dalam
tulisan ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-
tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada
pemikir yang hanya terkenal sebatas dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan (‘ashr al-nahdlah) biasanya
selalu dibedakan antara “modern” dan “kontemporer”. Istilah modern-
kontemporer merujuk kepada dua era yang tidak mempunyai penggalan
pasti. Kontemporer, seperti yang pernah dikatakan oleh Qunstantine
Zurayq--tokoh modernis Arab bernama--adalah lahir dari modernitas (al-
’ashriyah walladat al-hadatsah). “Kontemporer” adalah kekinian atau kini,
sementara modern adalah “kini” yang sudah lewat tapi masih mempunyai
citra modern. Karena tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran,
modern yang telah lewat dari kekinian tidak lagi disebut kontemporer.
Dalam hubungannya dengan pemikiran Arab, istilah modern-kontemporer
merujuk kepada pemikiran Arab modern sejak masa kebangkitan, dimulai
dengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798, kemudian
dalam berdirinya negeri-negeri independen yang mengatasnamakan
nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul,
sampai sekarang. Perbedaan paling jelas antara yang modern dengan yang
kontemporer adalah bahwa yang pertama merujuk kepada era modernisasi
secara umum, sedangkan kontemporer merujuk kepada era sekarang
atau yang berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan
modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri. Batasan
sejarah pemikiran Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang.
Sedangkan batasan pemikiran Arab kontemporer, tidak diketahui secara
pasti. Hanya kebanyakan para pemikir Arab sendiri menganggap waktu
kontemporer (mu’ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel

7 - Kaum Intelektual di Negara-Negara Berkembang


207

tahun 1967, karena kekalahan tersebut merupakan titik yang menentukan


(watershed) dalam sejarah politik dan pemikiran Arab modern, di mana
sejak saat itulah seperti yang dikatakan Issa J. Boullata orang Arab sadar
akan dirinya dan kemudian kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di
sana-sini.

Sejarah Intelektual
BAB VIII
WACANA INTELEKTUAL:
KRITIK TERHADAP PARADIGMA
MODERN

Pasca perang dingin, berbagai spekulasi wacana mencoba menangkap


berbagai akar permasalahan sosial yang akan muncul. Huntington, dengan
keras kepala, menawarkan paradigma peradaban dalam upaya menganalisis
akar konflik dunia. Sebagai tanggapan terhadap tesis Fukuyama, bahwa
sejarah telah berakhir, Samuel Huntington beranggapan bahwa manusia-
manusia di masa mendatang akan mati-matian membela eksistensi
kebudayaannya.
Memang tidak dapat disangkal, bahwa berbagai konflik yang muncul
belakangan ini bersumber dari perbedaan keyakinan individu-individu
dalam peradaban tertentu. Wacana terorisme berawal dari asumsi tersebut.
Akan tetapi, memunculkan dan mendramatisir problem peradaban bukan
berarti menyelesaikan ataupun menguraikan berbagai problem sosial,
melainkan akan semakin mengaburkan makna dari tugas intelektual dalam
mengupayakan perubahan sosial.
Alih-alih memperjuangkan kemerdekaan individu yang tertindas,
wacana-wacana intelektual modern bahkan semakin mendorong kekuasaan
untuk melucuti dan memperkosa kebebasan individu-individu melalui
simbol-simbol baru. Atas nama agama, negara, ras, bangsa maupun
ideologi bahkan melalui jargon demokrasi maupun hak asasi manusia, para
210

penggerak wacana modern telah melupakan tugas kaum intelektual sebagai


agen pembebasan.
Awal mula kegamangan ini, terutama, bermula dari belenggu pandangan
universalisme serta kolektivisme dalam memandang permasalahan sosial.
Kita hampir tidak pernah mempertanyakan, sudah tepatkah paradigma
filosofis yang telah kita pakai sekarang ini?

A. Paradigma Modern: Universalisme Dan Kolektivisme


Belakangan ini telah muncul dari berbagai pandangan epistemologis,
baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeneutika, materialisme
historis sampai dengan postmodernisme. Semua aliran epistemologis
tersebut telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Seperti kaum
muda, berbagai alternatif pilihan tersebut telah menjadi “jalan keluar” bagi
pencarian intelektual yang tidak akan kunjung berakhir. Di tangan kaum
intelektual mudalah, ke depan, berbagai paradigma keilmuan tersebut akan
tumbuh dan tersebar luas sebagai paradigma modern.
Apa fungsi berbagai paradigma tersebut? Yang jelas, paradigma tidak
lain adalah kacamata kita dalam upaya memandang dunia. Sebuah paradigma
adalah alat bagi kaum intelektual untuk membaca segala problem keilmuan
serta kemanusiaan. Paradigma memberikan dasar pandangan, asumsi, cara
kerja serta kriteria mengenai bagaimana kebenaran ilmiah seharusnya diraih.

B. Meneguhkan Konsep Individu Dan Tindakan Dalam


Kesatuan Kolektif
Sekali lagi perlu diingat, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kita
membicarakan manusia serta masyarakat. Apa yang diabaikan paradigma
modern ialah bahwa dirinya telah melupakan individu yang sebenarnya
membentuk kolektif yang disebut keluarga, masyarakat, negara, bangsa dan
bahkan peradaban. Paradigma modern berspekulasi mengenai hal-hal yang
bersifat universal. Mereka melupakan arti penting tindakan individu.
Apabila dicermati, kasus wacana yang dilontarkan Huntington serta
wacana-wacana sosial lainnya, masih terbelenggu oleh wacana universalisme

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


211

dengan sarana analisa argumentasi historis. Seolah-olah apa yang terjadi di


masa lalu akan terjadi di masa mendatang. Setiap argumentasi berdasar
pada data historis. Mereka barangkali lupa, bahwa sebuah kejadian sejarah
diakibatkan oleh tindakan-tindakan individu baik secara khusus, kebetulan
ataupun secara khas.
Jika ditelusuri, cara pandang yang demikian memang tidak lepas dari
pengaruh pandangan filosofis tertentu. Studi historis yang dipakai untuk
memprediksi masa depan telah menjadi ciri khas mazhab Jerman. Pandangan
ini telah menyebar ke berbagai belahan dunia dan sudah menjadi keyakinan
kebenaran bagi kaum intelektual modern.
Tanpa mengabaikan makna sejarah, kita patut menengok penemuan-
penemuan terbaru dalam bidang yang lebih spesifik. Dalam bidang
genealogi, Steve Olson dalam karyanya yang berjudul Mapping Human
History, menyimpulkan bahwa pada dasarnya asal-asul manusia itu sama,
yang membedakan ialah susunan DNA manusia yang telah termutasi.
Mutasi adalah kunci untuk merekotruksi sejarah genetic manusia. Dengan
kata lain, kesimpulan Olson adalah bahwa kita sebenarnya berasal dari
nenek moyang yang sama. Perubahan-perubahan susunan DNA lah yang
membuat kita berbeda. Jadi berbagai bentuk perbedaan warna kulit, budaya
dan kecerdasan adalah perbedaan-perbedaan yang hanya bersifat topeng.
Perbedaan tersebut tidak lain merupakan akibat dari faktor lingkungan,
bukan akibat dari asal-usul genetik yang berbeda.
Penemuan Olson tersebut jelas-jelas telah mematahkan wacana-
wacana sosial yang cenderung bersifat rasial termasuk wacana Huntington.
Akan kemanakah alur sejarah ke depan, memang tidak akan pernah
pasti. Untuk menganilisis permasalahan ke depan, kita tidak bisa hanya
menyederhanakan permasalahan dengan cara membagi antara Barat dan
Timur, Islam dan Kristen, fundamentalis dan liberal, dan menaruh jawaban
konflik sosial ke dalam kotak hitam dan putih.
Sebaliknya, sebuah bangunan masyarakat, bangsa, ataupun peradaban
hanya bisa dianalisis satu-per-satu melalui tindakan-tindakan individu.
Tanda-tanda tindakan individu yang sebenarnya akan membentuk pola,

Sejarah Intelektual
212

apakah kesatuan kolektif tersebut akan runtuh, tetap eksis atau bahkan
akan berbenturan. Hanya dengan konsep tindakan, tujuan serta cara-
cara individu dalam kesatuan kolektif kita akan mendapatkan pola-pola
kemanakah bangunan sosial itu akan menuju. Hal ini tersirat bahwa,
untuk menganalis masyarakat, kita harus beralih ke dalam pandangan dari
sudut pandang manusia. Dalam melihat manusia, maka kita tidak dapat
mengabaikan sifat dasar manusia yaitu bertindak. Setiap tindakan memiliki
tujuan dengan cara-cara tertentu.
Contoh yang ekstrim terhadap konsep tindakan, tujuan dan cara,
bisa dicermati dari laporan terbaru dari ahli Primatologi, Jill Pruetz. Pruetz
meneliti selama empat tahun terhadap kehidupan simpanse Fongoli di
Afrika. Penemuan Fruetz memang membuat “merinding” sebagian ahli
antropologi. Karena dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa,
selain manusia, ternyata kelompok simpanse Fongoli telah lama memiliki
“budaya” tersendiri. Dalam temuan Fruetz, simpanse menggunakan stik
(sebatang kayu yang digunakan dengan cara lembing) untuk menohok
bush baby. [4] Dalam menyebarluaskan penemuannya, Pruetz memang
mendapati pengabaian dari ahli primatologi sejawat. Tapi bukankah kasus
yang demikian sudah biasa dalam penemuan ilmiah.

C. Tantangan Baru Dalam Memerdekakan Individu


Berlawanan terhadap asumsi universalianisme, bahwa konflik
mendatang ialah konflik antara kesatuan kolektif yang satu terhadap kesatuan
kolektif yang lain. Akan tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
kita ialah konflik yang sebenarnya terjadi antara individu dengan berbagai
konsep-konsep kolektif yang meresap dalam dirinya sendiri. Dengan kata
lain, berbagai bentuk dogma, doktrin, keyakinan, dan bahkan kultus yang
membabi butalah sebenarnya akar dari berbagai permasalahan sosial. Dengan
demikian, konsep-konsep kolektif sebenarnya bukan mewakili dari cita-cita riil
individu dalam sebuah kolektif. Konsep tersebut tidak lain adalah konstruksi
kekuasaan–baik itu kekuasaan ideologis maupun kekuasaan intelektual.
Sungguh sangat ironis, bahkan menyedihkan, kalau di jaman sekarang
ini telah dianggap merdeka, masih terdapat individu-individu yang benar-

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


213

benar percaya bahwa dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan atas


nama keyakinan telah menjadikannya sebagai sosok yang suci dan merasa
dirinya telah berjuang di atas kebenaran, dan dia adalah wakil dari pembela
kebenaran absolut tertentu. Dengan meyakini hal tersebut, nyawa individu
lian tidak akan memiliki arti apabila dibandingkan dengan kepentingan
idealisme kesatuan kolektif yang telah menjadi keyakinannya.
Sebagian besar masyarakat kita memang masih hidup di atas kultus
dan dogma. Jalan satu-satunya untuk melepaskan itu semua adalah melalui
program pembebasan. Artinya, bagi kaum intelektual, tugas sebenarnya
ialah merumuskan visi yang lebih jauh mengenai kemerdekaan individu.
Perjuangan untuk membela kebebasan individu, hak kepemilikan, pasar
bebas dan meminimalkan segala bentuk campur tangan pemerintah adalah
visi sesungguhnya dari intelektual bebas.
Walaupun ajaran pembebasan telah lama muncul, akan tetapi sedikit
sekali yang mampu melaksanakan ataupun menyebarluaskan dengan visi
yang benar-benar menggugah. Ajaran Tao yang telah muncul abad ke-6
SM atau tokoh Prancis Etienne de La Boitie yang hidup di pertengahan
abad ke enam belas. Sedangkan, dalam bidang pedagogi pembebasan
modern kita akan mendapati tokoh-tokoh seperti Paulo Freire, Ivan Illich,
sampai dengan Mahatma Gandhi dari India.[6] Manusia-manusia tersebut
merupakan sekelumit intelektual bebas yang tidak henti-hentinya berjuang
memberikan pencerahan terhadap umat manusia.
Kembali ke wacana paradigma intelektual modern, yang juga
menjadi alasan adanya tulisan ini, yaitu makin maraknya serta
simpang siurnya berbabagai gagasan yang yang sekarang muncul.
Memang tidak dapat disangkal, bahwa peran media massa, baik cetak
maupun elektronik, dan bahkan blog, memang sangat membantu bagi
pendidikan masyarakat modern. Hampir di setiap sudut jalan, kantor
dan rumah, kita tidak dapat mengelak dari keberadaan media. Namun
demikian, di satu sisi media sangat membantu bagi intelektual untuk
menyebarkan gagasannya, di sisi lain kekuasaannya juga sangat rentan
untuk menyalahgunakannya.

Sejarah Intelektual
214

Dengan kata lain, apa yang menjadi problem sekarang dan di


masa depan tidak lagi permasalahan sarana bagaimana intelektual bebas
menyebarluaskan gagasannya. Tetapi yang lebih penting serta krusial terhadap
hambatan program pembebasan adalah makin maraknya perselingkuhan
kekuasaan dengan intelektual gadungan. Artinya, bahaya terbesar ke depan
adalah melencengnya arah berbagai agen-agen yang selayaknya berdiri
bebas melakukan fungsi sosial masing-masing tetapi malah menjadi penjilat
terhadap segala bentuk kekuasaan. Akhir kata, seteru abadi dan terbesar
perjuangan pembebasan tidak hanya kekuasaan yang berada mengintari
kita, tapi juga yang bersemayam di dalam pikiran kita.
Dalam ilmu hadits kita mengenal adanya persyaratan yang sangat ketat
menyangkut siapa periwayatnya dan bagaimana hadits (berita) itu dapat
saling terhubung dari satu guru ke murid atau dari satu orang ke orang lain.
Namun demikian, tidak sembarang orang bisa memberikan dan menerima
hadits, ada persyaratan sangat ketat menyangkut intelektual dan moral dari
orang-orang itu (perawi), didalamnya terdapat penilaian terhadap kekuatan
hafalan, kecerdasan, bahkan menyangkut aspek moral dan kredibilitas
seperti kejujuran, tidak pernah disaksikan melakukan dosa kecil maupun
besar, memiliki keshalihan dan lain-lain. Semua daftar nama dan kredibilitas
perawi tersebut terrekam dalam buku bernama “rijalul hadits”.
Namun bagaimana dengan para intelektual barat? Apa ada semacam
persyaratan akhlaq untuk mengukur kredibilitas pemikir? Nampaknya tidak
ada atau tidak merasa perlu. Untuk urusan ilmu-ilmu sains mungkin boleh
jadi kriteria kredibilitas akhlaq tidak begitu penting, meski bagaimanapun
tetap saja ada unsur filosofis dalam ilmu-ilmu seperti itu yang sepatutnya
menuntut kredibilitas akhlaq. Untuk urusan ilmu-ilmu sosiologi, filsafat,
pemikiran, dan apalagi ideologi, kredibilitas akhlaq pemikir tentulah
merupakan unsur penting yang harus dipersyaratkan. Dalam buku berjudul
“intellectual”, kehidupan para pemikir besar diuraikan.
Membaca buku “intellectuals” karya Paul Johnson, seperti sebuah
tohokan telak ke arah ulu hati yang membuat kita sukar menarik nafas dan
berdiri. Buku ini mengupas sisi gelap kehidupan para intelektual tingkat

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


215

dunia yang pemikirannya dianut bahkan dipuja banyak manusia. Betapa


tidak, dalam keilmuan islam sikap tidak etis seperti pembohongan akan
menggugurkan tingkat intelektualitas dan moralitas manusia, apalagi jika
seseorang itu melakukan kejahatan, pengecut, pemabuk, dan paling kecil
tak bisa mengurus hidupnya sendiri.
Nama-nama yang tertera dalam buku Intellectuals, hampir seluruhnya
adalah ama-nama besar yang mengubah, atau setidaknya mewarnai sejarah
baik dalam kategori sosial, intelektual dan filsafat, bahkan sprititual dunia.
Ada Rosseau, Shelley, Karl Marx Henrik Ibsen, Tolstoy, Ernst Hemingway,
Bertolt Brecht, Bertrand Russel, Sartre, Edmund Wilson, Victor Gollancz
dan Lillian Hellman.
Jika menjelajah dunia intelektual modern, nama-nama yang terjajar di
atas begitu mudah ditemukan, dan seolah-olah mengepung pemikiran dunia.
Namun sayangnya kebesaran itu hanyalah fatamorgana bagi kehidupannya
sendiri, sebab di balik kehidupannya terdapat perilaku yang menyimpang.
Meski bukan yang pertama disebutkan dalam Intellectuals, nama
Ernst Hemingway dipilih untuk dikupas. Dibanding pemikir dan filusuf,
nama sastrawan ini banyak dikagumi oleh publik. Karyanya bertumpuk dan
diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia. Mulai dari Three Stories &
Ten Poems karya pertamanya hingga Old Man and The Sea karyanya yang
fenomenal, atau True At First Light yang lair di tahun yang sama dengan
tahun kematiannya pada 1999. Penghargaan di bidang sastra diraihnya pada
1954 dan Pulitzer pada 1953. Jutaan orang telah menjadikannya idola dan
model dalam sastra. Nilai-nilai luhur bertebaran dalam karyanya seperti cinta,
kemanusiaan dan kebiadaban perang saat ia menjadi serdadu medis pada PD
I. Tapi apakah kata-kata bijaknya menjadi nasihat untuk dirinya sendiri?
Hemingway lahir dan dibesarkan dalam keluarga Kristen yang
fanatik. Ayahnya seorang dokter terpandang. Ibunya perempuan terdidik
dengan berbagai bakat, menulis, bermusik juga melukis. Dari keduanya
Hemingway mewarisi kekuatan intelektual. Tak hanya itu dari orangtuanya
pula tertanam nilai-nilai luhur seperti larangan berdusta dan menyumpah.
Jika Hemingway kecil melanggarnya, mulutnya akan dibersihkan dengan

Sejarah Intelektual
216

sabun sebagai hukuman dan pelajaran agar mulutnya tetap bersih dari kata-
kata kotor dan dusta. Tapi justru Hemingway tumbuh menjadi pendusta
yang luar biasa. Di usianya yang muda, di depan orang tuanya Hemingway
mengucapkan doa-doa sebagaimana umat Kristen yang taat, namun diam-
diam ia memploklamirkan diri sebagai seorang Atheis, bahkan mengatakan
bahwa Tuhan adalah ancaman bagi kebahagiaan manusia.. Ucapannya
tersebut tergambar jelas dalam perilakunya. Isteri Hemingway bersaksi bahwa
suaminya hanya dua kali berlutut dalam altar sepanjang hidupnya yakni
saat menikah dan saat anaknya dibaptis. Kebohongan menjadi kemahiran
Hemingway, bahkan ibunya merasa tidak tahan dengan perilakunya
ini, selain pemalas dan jual tampang. Paul Johnson mendeksripsikan
kemampuan Ernest Hemingway dalam berbohong dengan kalimat yang
indah : “He thought, and sometimes boasted, that lying was part of his training
as a writer. He lied both consciously and without thinking ”.
Lain Hemingway, lain lagi JJ Rousseau, yang dikenal sebagai pemikir
besar yang dikenal sebagai pemikir yang mempengaruhi semua teori
pemikiran sekuler, demokrasi dan intelektual modern, bukunya yang terkenal
adalah Du Contract Sociale. Tapi siapa sangka Rousseau adalah laki-laki
“gila” yanng begitu mencintai dirinya lebih dari apapun. Dalam bahasanya
sendiri, Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking
cintanya pada dirinya sendiri ia tak peduli dan membuang anak-anaknya ke
foundling home, yakni rumah penampungan bagi yatim-piatu atau anak yang
kehilangan orangtuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur
tentang anak-anak yang ditulis dalam sebuah buku berjudul Emile.
 Bertrand Russell, lain lagi, filusuf dan pemikir bijak yang banyak
dirujuk dan dikagumi dunia ini adalah seorang dengan sosok pribadi yang
bertolak belakang degan pemikirannya. Ia adalah karakter dengan arogan,
kasar dan penuh skandal. Ia tumbuh sebagai seorang yatim dan besar
sebagai penulis brilian yang tak mengakui Tuhan. ‘Kami tak percaya pada
Tuhan, tapi yakin atas supremasi kekuatan manusia’, begitu ikrarnya. Salah
satu karyanya yang fenomenal adalah Why I am Not a Christian. Ia adalah
tokoh penentang perang, namun di saat yang sama menjadi penasihat
pemerintah Amerika untuk menyerang Kremlin.

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


217

Kita mungkin pernah mendengar istilah Cogito Ergo Sum,


pencetusnya adalah Jean Paul Sartre yang juga tidak jauh berbeda dengan
Russell. Seorang pesohor dan intelektual yang bukunya banyak terjual lebih
dari 2 juta copy hanya di Perancis saja. Namun ternyata ia seorang egois dan
tergila-gila pada empat kombinasi yaitu : whiski, jazz, perempuan nakal dan
pertunjukkan kabaret. Lalu kira-kira apa yang ia maksud sebagai “Cogito
Ergo Sum” ?
Apabila selama ini kaum intelektual dipandang “suci” dari politik,
itu merupakan penilaian yang sama sekali keliru. Wilayah kampus tidak
sekedar berbicara tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kaepada
masyarakat. Kampus tidak pernah steril dari gejolak politik praktis.
Kenyataan tersebut dapat disimak pada sejumlah intelektual yang
sengaja terlibat aktif dalam beberapa partai politik. Kiprah intelektual dalam
kepartaian tentu saja dimaksudkan untuk merebut kekuasaan. Banyak pula
kaum intelektual yang menduduki kursi direktur jendral, staf ahli, bahkan
menteri. Semua itu bukti bahwa kaum intelektual sangat lekat dengan
kekuasaan politis. Pengilmiahan (saintisasi) politik dan teknokratisasi
kekuasaan pasti merengkuh kaum intelektual. 
Lebih dari itu, ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diajarkan
intelektual pun mengandaikan keterlibatan dalam pertarungan politik.  Ilmu
pengetahuan tidak sekedar berbicara tentang ontologi (bentuk dan sifat dasar
realitas) atau epistimologi (relasi ilmuwan dengan objek yang dikajinya),
namun juga membahas aksiologi (sikap dan tindakan ilmuwan dalam
konteks sosial dan politik). Masalah aksiologis ini membuka pertanyaan
tentang keterlibatan kaum intelektual dalam politik. Apakah mereka harus
melakukan perubahan atau sekedar menjaga status quo (kemapanan)?

D. Saling Berkelindan
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling berkelindan. Bukan saja
knowledge is power (pengetahuan ialah kekuasaan) yang memberikan
peluang kepada manusia (ilmuwan) untuk mengendalikan alam semesta
serta manusia-manusia lain sesuai dengan kehendaknya, melainkan power is

Sejarah Intelektual
218

knowledge (kekuasaan merupakan pengetahuan). “Kekuasaan memproduksi


pengetahuan” kata filsuf Michel Foucault (1926-1984). Kekuasaanlah yang
menentukan jenis-jenis ilmu yang boleh dikaji dan disebarkan. Serentak dengan
itu pula, ilmu pengetahuan mennyajikan basis legitimasi moral bagi kekuasaan
tidak mungkin bisa dijalankan serta diterima aktor-aktor sosial politik. Jalinan
relasional kekuasaan dan ilmu pengetahuan menunjukkan intelektual memang
tidak pernah bisa terlepas dari tarik-menarik kepentingan politis. 
Problem yang layak dibicarakan adalah peran intelektual dalam rezim
politik. Dalam kondisi semacam ini, terdapat beberapa jenis intelektual.
Zygmund Bauman mengontraskan intelektual sebagai legislator dengan
intelektual sebagai interpreter (penerjemah). Sebagai legislator, intelektual
melegislasikan nilai-nilai universal dalam wujud memberikan pelayanan
kepada lembaga-lembaga negara. Sebagai penerjemah, kaum intelektual
menafsirkan teks-teks, peristiwa-peristiwa publik, dan artifak-artifak lain,
serta mengerahkan pengetahuan tertentu untuk menjelaskannya kepada
masyarakat.
Gagasan Bauman itu membuka cara pandang bahwa intelektual dapat
bersikap partisan, memihak negara atau masyarakat. Inilah pilihan etis
yang harus digariskan. Berpihak kepada negara berarti memapankan rezim
politik yang sedang berkuasa. Memihak masyarakat bermakna melakukan
perubahan. Selalu ada kaum intelektual yang berwatak konservatif. Ada
pula kaum intelektual yang memilih sikap progresif. Baik-buruk atas
keberpihakan itu adalah risiko yang harus ditanggung. Sebab, negara tidak
selalu berbuat keliru. Masyarakat pun tidak selalu bertindak benar.

E. Fungsi Sosial
Pandangan keterlibatan intelektual dalam kekuasaan secara jelas
dikemukaan Antonio Gramsci (1891-1937). Menurut Gramsci, semua manusia
pada prinsipnya merupakan intelektual karena memiliki kemampuan berpikir
dan rasional. Hanya, semua manusia tidak mempunyai fungsi sosial intelektual.
Intelektual modern tidak sekedar berbicara, melainkan harus mengarahkan dan
mengorganisasikan masyarakat melalui perangkat aparatus ideologis, seperti
media massa dan pendidikan.

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


219

Gramsci lantas membagi intelektual menjadi dua jenis, tradisional dan


organis. Intelektual tradisional adalah kelas yang terpisah dari masyarakat.
Intelektual organis mengartikulasikan -melalui bahasa kebudayaan-
perasaan-perasaan serta berbagai pengalaman massa rakyat yang tidak
mampu disuarakan. Intelektual organis adalah kaum terpelajar yang
memihak rakyat dengan merombak dan menunjukkan sikap kritis terhadap
kemapanan.
Persoalan yang dihadapi kaum intelektual di Indonesia saat ini lebih
kompleks. Sebab, semua pasangan calon presiden-wakil presiden mengklaim
sebagai pembela rakyat. Dalam situasi itu, intelektual organis yang langsung
mendukung dan memberdayakan kaum tertindas sulit diidentifikasi. Alih-alih
berperan sebagai organ yang membela rakyat, intelektual justru bisa terjebak
sebagai kaum oportunis. Mereka memanfaatkan setiap peluang meraih
jabatan atau kepentingan jangka pendek lainnya, yakni sekedar mengapai
capaian finansial. Memperkaya diri dengan berdalih membela rakyat. “Betapa
sulit mencari kaum intelektual organis. Lebih gampang menemukan kaum
intelektual oportunis”.
Dalam masa modern, salah satu kecenderungan penafsiran Alquran
adalah keterkaitannya dengan gagasan tentang pembaharuan pandangan
dunia, wacana, dan praktik kaum Muslimin, agar mereka mampu
menghadapi dan meresponi tantangan dunia modern dan modernitas.
Membaca buku “Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an” terlihat
bagaimana kalangan intelektual Muslim di berbagai penjuru Dunia Islam
memahami dan menafsirkan aspek-aspek tertentu Alquran.
Alquran, tidak ragu lagi, merupakan sumber utama dan pertama
Islam, yang tidak pernah kering. Ia juga menjadi sumber intelektual dan
refleksi spiritual sepanjang sejarah. Karena itu, berbagai tafsir Alquran,
apakah lengkap 30 juz atau sebagian juz, surat atau bahkan kumpulan ayat-
ayat dalam bidang tertentu-terus bermunculan, ditulis kalangan tertentu
ulama dan intelektual Muslim. Kenyataan bahwa tafsir-tafsir Alquran terus
tetap ditulis sampai sekarang ini, dan pasti juga di masa-masa berikutnya,
merupakan indikasi adanya hasrat yang kuat dari para penulis tafsir untuk

Sejarah Intelektual
220

menjelaskan makna dan tafsir Alquran dalam bahasa dan konteks yang bisa
dimengerti masyarakat mereka.
Jika itu berhasil, maka ajaran-ajaran dan pesan-pesan Alquran
dapat tetap relevan, hidup dan aktual dalam masa modern. Dalam istilah
Ahmad Syafii Maarif, agar Alquran tetap membumi dalam berbagai aspek
kehidupan. Tetapi, jelas masa modern menghadirkan banyak tantangan
yang sangat kompleks, yang dalam hal-hal tertentu sangat berbeda dengan
tantangan yang dihadapi para penafsir (mufassir) di masa silam, apalagi di
masa-masa klasik dan abad pertengahan yang juga menghasilkan banyak
tafsir Alquran. Berbagai tantangan pada setiap masa, latar belakang keilmuan
dan kecenderungan intelektual keagamaan setiap mereka yang mencoba
memahami dan menafsirkan Alquran pada gilirannya menghasilkan
perbedaan-perbedaan tertentu dalam penafsiran, khususnya pada ayat-ayat
yang bisa mengandung arti lebih dari satu; inilah ayat-ayat yang biasa disebut
sebagai ayat-ayat mutasyabihat, ghayr muhkamat, atau zhanny al-dilalah.
Dalam masa modern, salah satu kecenderungan penafsiran Alquran
adalah keterkaitannya dengan gagasan tentang pembaharuan pandangan
dunia, wacana, dan praktik kaum Muslimin, agar mereka mampu
menghadapi dan meresponi tantangan dunia modern dan modernitas.
Pembaharuan itu dalam terminologi umum biasa dikenal sebagai tajdid
(pembaruan) dan islah (reformasi).
Pembaharuan seperti itu pada dasarnya mempunyai dimensi ganda;
pertama sebagai upaya untuk mengungkapkan kembali dimensi otentik
wahyu dalam rangka menghadapi tantangan sejarah; dan kedua, untuk
membawa atau sedikitnya membimbing realitas historis yang ada dan
berkembang agar sesuai dengan ukuran-ukuran universal dan transenden
yang terkandung dalam Alquran. Meski tajdid dan islah bertitik tolak
dari kerangka yang absah seperti itu, kemunculannya tetap menimbulkan
perdebatan di kalangan kaum Muslimin.
Paradigma, wacana, dan praksis tajdid dan islah baik langsung
maupun tidak berarti mempertanyakan, menantang dan bahkan menolak
status quo pemikiran dan praktik Islam tertentu. Dan, perdebatan dan

8 - Wacana Intelektual: Kritik terhadap Paradigma Modern


221

kontroversi yang bukan tidak sering berujung pada konflik masih saja terus
berlangsung di kalangan kaum Muslimin. Wacana tajdid dan islah itu di
kalangan ulama, intelektual, dan pemikir Muslim modern jelas juga tidak
monolitik; terdapat banyak perbedaan di antara mereka, termasuk juga
dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Alquran. Dan
boleh jadi, satu pemahaman dan penafsiran tertentu dipandang sebagian
Muslim sebagai sudah menyimpang.
Dalam konteks kajian ilmiah dan akademis, perbedaan-perbedaan
tersebut menarik untuk disimak. Membaca buku Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (ed. Suha Taji-Farouki, Oxford: Oxford
University Press, 2006), saya dapat melihat bagaimana kalangan intelektual
Muslim di berbagai penjuru Dunia Islam memahami dan menafsirkan
aspek-aspek tertentu Alquran. Mereka ini memang pada dasarnya bukanlah
mufassir. Tetapi lebih sebagai intelektual yang menawarkan pemahaman
dan penafsiran tertentu atas pandangan dunia kaum Muslimin terhadap
Alquran, atau pendekatan tertentu untuk memahami Alquran dalam
konteks tantangan dunia modern. Maka, misalnya menarik membaca
pembahasan tentang tawaran Fazlur Rahman tentang kerangka bagi
pemahaman kandungan etika-legal Alquran; atau Nurcholish Madjid
tentang pemahaman Alquran dalam konteks keragaman keagamaan
dan toleransi. Selain itu, ada juga diskusi tentang pemikiran beberapa
intelektual Muslim lain tentang Alquran, sejak dari Mohammed Arkoun,
Nasr Hamid Abu Zayd, Mohamad Mojtahed Shabestari, Mohamed Talbi,
sampai Mohammad Shahrour dan Sadiq Nayhum. Sebagian pemikir ini
bagi kalangan Muslim dipandang kontroversial, dan juga ada nama-nama
yang belum dikenal di Indonesia. Selain itu, secara intelektual berakar
pada tradisi pemikiran Islam, jelas juga dipengaruhi berbagai wacana
pemikiran lain, khususnya Barat. Tetapi, seperti dikemukakan Taji-Faruki
dalam pengantarnya, mereka berangkat secara sadar dari tradisi kultural
dan tekstual Islam; dan berdaya upaya untuk berpegang pada kerangka
kerja Islam. Namun, mereka sangat boleh jadi menimbulkan kontroversi
ketika banyak memberikan tekanan pada pendekatan interpretatif terhadap
Alquran.

Sejarah Intelektual
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku
Bertens, 1976. K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Bambang Sugiharto, 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Beerling, R. F. 1967. Pertumbuhan Dunia Modern I, (Terjemahan S.
Djajadiningrat), Jakarta: Djambatan.
-------------, 1969. Pertumbuhan Dunia Modern II, Terjemahan S.
Djajadiningrat, Jakarta: PT. Djambatan.
Bertens, K., 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
-------------, 1990. Ringkasan sejarah filsafat. Yogyakarta: Ikapi
Brinton C., 1945. The Shaping of the Renaissance in Italy, New York.
-------------, 1958. The Shaping of Modern Mind, New York.
-------------, 1960. A History of Civilization, New Jersey.
Burckhardt, J. 1954. The Civilization of the Renaissance in Italy, New York.
Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Cremers, A. 1997. Antara Alam dan Mitos, Memperkenalkan Antropologi
Struktural Levi-Strauss. Flores : Nusa Indah.
Donny Gahral Adian, 2001. Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta:
Julusutra.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Efferin, Henry. “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili: Suatu Sorotan dari
Segi Metodologi,” Jurnal Pelita Zaman 14/1 (1999).
Groothius, Douglas. Truth Decay: Defending Christianity Against the
224

Challenging of Postmodernism. Downers Grove: InterVarsity,


2000.
Grenz, Stanley. A Primer on Postmodernism. Yogyakarta: Andi, 2001.
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Bandung: Mizan, 2002.
George Ritser, Douglas, Godma, 2005. Terori Sosiologi Modern, Jakarta:
Prenada Media
Giyanto, Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak Vol. II, Edisi 28, 05 Mei
2008.
Hatta, Moh. 1956. Alam Pemikiran Yunani, Jakarta : Penerbit Tinta Mas.
Hille, Rolf. “From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn
of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 (2000).
Harianto GP. “Postmodernisme dan Konsep Kekristenan,” Jurnal Pelita
Zaman 15/1 (2001).
Hariyono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitektur. Jakarta:Bumi
Akasara.
Jacob, T, 1988. Manusia, ilmu, dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara wacana.
Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada media,
2008.
Kohn, Hans. 1958. Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, (Terjemahan S.
Martodipuro), Jakarta: Pustaka Sarjana.
Kattsoff, L.O., Pengantar filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Kleden, Ignas, 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.
Loytard, J.F, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
Manchester: Mancester University Press, 1984.
Mayer, F. 1951. A History of Modern Philosophy, New York.
Madjid, N., 1984. Khazanah intelektual Islam, Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang.
McGrath, Alister, 1996. A Passion for Truth: The Intellectual Coherence
of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity.
Melsen, AGM van, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita,
Jakarta:Gramedia, 1985.

Sejarah Intelektual
225

Memmi, Albert, “The Colonizer Who Refuser,” dalam: The Colonizer and
the Colonized, Boston: Beacon, 1965.
Melani Budianta, Oposisi Biner Dalam Wacana Kritik Pascakolonial,
Mareti kursus Pascakolonial di Yogyakarta oleh Realino tanggal
15-29 juli 2001.
Melani Budianta, “Transition from Modernity to Post-Modernity: A
Theological Evaluation,” Evangelical Review of Theology 25/2
(2001).
Muller, H.J. 1960. The Uses of the Past, London: Oxford University Press.
Nainggolan, R.E. 1989. Sekelumit Pemikiran Sejarah Barat, Palu: Badan
Penerbit Universitas Tadulako.
Noeng Muhadjir, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin.
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
1975.
Perguso, W.K. & Brun G., 1947. A Survey of European Civilization, Boston:
Mc. Millan Ltd.
Peursen, C.A. van, Orientasi di Alam Filsafat, (Terj. Dick Hartoko), Jakarta:
Gramedia, 1985.
Philips, Timothy R. dan Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in
the Postmodern World. Downers Grove: InterVarsity, 1995.
Robert, Downs. 1959. Buku-buku Yang Mengubah Dunia. (Terjemahan A.
Sani) Jakarta: PT. Pembangunan.
Romein, Jan, 1956. Aera Eropa, (Terjemahan. N. Toegiman) Jakarta: N. V.
Ganaco.
Randall, H.J. 1968. The Creative Centuries, London: Oxford University
Press.
Russel, Bertrand, 1988. Pergolakan Pemikiran, Jakarta: Gramedia.
Suhartono, Suparlan, 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Makassar: Materi
Dasar Perkuliahan Program Pascasarjana UNHAS.
---------, 1994. Bunga Rampai Sejarah Pemikiran Moderen (Tidak
Diterbitkan) Makassar: Untuk Kalangan Sendiri.

Juraid Abdul Latief


226

---------, 2004. Dasar-Dasar Filsafat Credo ut intelligam Saya Percaya, Supaya


Mengerti, Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Sudarminta, J. 1990. Beberapa Gagasan Pokok Metafisika Heidegger. Makalah
Extension Course Filsafat. STF Driyarkara.
Suprihadi. 1984. Ilmu Budaya Dasar. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
Surya, Kalvin. “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi
Kekristenan,” dalam http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.
html. 1998.
Tiro, M. A. 2002. Mencari Kebenaran: Suatu Tinjauan Filosofis. Makassar:
Andira Publisher.
Van Peursen, C.A. 1985. Orientasi di Alam Filsafat, (Terj. Dick Hartoko),
Jakarta: Gramedia.
Veith, Gene Edward. “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran”
disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A
Christian Guide to Contemporary Thought and Culture.
Ward, 1974. Barbara dan rene Dubos, Hanya Satu Bumi, Jakarta: Gramedia.
Widagdo, 2000. Desain dan Kebudayaan, Jakarta: Direktoral Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Wisnu Arya Wardhana. 2005. Melacak Teori Einstein Dalam AlQur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasraf Amir Pilliang, 1999. Hiper Realitas Kebudayaa, Yogyakarta: LkiS.

2. Internet
www.inkribs.org/index.php/karangan/filsafat-manusia. Diakses tanggal 19
Maret 2010.
www.pptphadli23.multiply.com/journal/item/10/filsuf. Diakses tanggal 20
Maret 2010.
www.pengkolan.net/ngelmu/filsafat. Diakses tanggal 20 Maret 2010.
www.kompasiana.com/filsafat-dan-manusia. Diakses tanggal 22 Maret
2010.
www.staff.ui.ac.id/internal/090603089/material/FilsafatManusia.diakses

Sejarah Intelektual
227

tanggal 22 Maret 2010.


www.hirekaeric.wordpress.com/category/filsafat manusia. diakses tanggal
22 Maret 2010.
Hyperlink reference not valid. Diakses tanggal 16 Maret 2010.
http://loshe.ngeblogs.com/2010/01/08/peranan–sains–dan–agama–
dalam–kehidupan/diakses tanggal 18 Maret 2010.
http://www.ntu.edu.sg/home2003/REYH0001/cahaya.htm diakses tanggal
18 Maret 2010.
http://yan99.blogspot.com/2008/06/kesimpulan-metode-ini-
menghasilkan-ilmu.html diakses Tgl. 18 Maret 2010skip to main
| skip to sidebar.
http://rezaantonius.wordpress.com/2009/07/ diakses tanggal 18 Maret
2010
http://muji-rachman.blogspot.com/2010/01/filsafat-dan-agama.html.
diakses tanggal 18 Maret 2010
http://ramadan.okezone.com/read/2009/08/24/333/250684/333/ibnu-
sina-ilmuwan-semua-bidang-dari-bukhara diakses tanggal 18
Maret 2010.
http://www.gurumuda.com/galileo-galilei/ diakses tanggal 26 Maret 2010
http://pwmjatim.org/BERITA/November/Teori%20Relativitas%20
Persamaan%20Al%20Kindi%20dan%20Einstein.htm diakses
tanggal 30 Maret 2010
http://meilanikasim.aliran-rasionalisme-descartes. Diakses. Tgl. 17 Maret
2010.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com. Diakses Tgl. 20 Maret 2010.
http://masdiloreng.wordpress.com. Diakses. Tgl. 20 Maret 2010.
http://masdiloreng.wordpress.com. Diakses. Tgl. 20 Maret 2010.
http://paisnews.blogspot.com. Diakses. Tgl. 20 Maret 2010.
http://robbani.wordpress.com. Diakses Tgl.16 Maret 2010.
http://www.fisip.undip.ac.id. Diakses. Tgl. 30 Agustus 2009.
http://www.akaldankehendak.com. Diakses Tgl. 30 Agustus 2009.

Juraid Abdul Latief


GLOSARIUM

Abstrak : Tidak nyata.


Analogi : Pengandaian sesuatu.
Aufasung : Pencerahan.
Argumentasi : Pendapat-pendapat.
Atheisme : Suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan
atau dewa-dewa.
Borjuis : Kelompok ekonomi kelas atas
Clear and Distinct : Jelas dan terpisah-pisah.
Cogito Ergo Sum : Saya Berpikir, Maka Saya Ada.
Hasil pemikiran penting dari Rene’ Descartes.
Commonwealth :
Persatuan atau mempersatukan orang banyak.
Istilah ini sekarang dipergunakan Inggris untuk
mempersatukan negara-negara bekas jajahan, negara-
negara Persemakmuran.
Dark Ages : Zaman Kegelapan.
Empirisme : Aliran pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa
pengalaman itu adalah sumber pengetahuan, baik
pengalaman batiniyah maupun lahiriayah. Akal
bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi bertugas
untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman secara inderawi.
Eksplanasi : Penjelasan tentang sesuatu dengan menggunakan
analisis.
230

Ekspansi : Penyerangan ke wilayah tertentu oleh negara lain


dalam bentuk pemikiran, ekspansi diartikan sebagai
gerak menyebarluaskan pemkiran filosofis dari
seorang filsuf.
Empirikos : Asal dari kata empeiria. Kata ini mengalami
perubahan dalam Bahasa Inggris menjadi Empirik
yang berarti pengalaman.
Evolusi : Perubahan yang lambat
Fleksiel : Berubah dengan cepat dan tidak merugikan yang
lain.
Heuristik : Pencarian sumber, atau menemukan sesuatu.
Hipotesis : Dugaan sementara. Kata ini biasa digunakan dalam
sebuah penelitian untuk menguji sesuatu (teori dan
konsep).
Humanisme : Paham yang menjadikan manusia sebagai titik sentral
dalam kehidupan.
Hule : Sebuah keragaman, artinya sesuatu yang membedakan
dari yang lainnya.
Ide : Defenisi atau pengertian yang didapatkan dari
pemikiran.
Kausalitas : Sebab-akibat, sebuah hukum sejarah.
Kritisisme : Kritik yang dilakukan Immanuel Kant untuk
menjembatani antara pemikiran rasionalisme dan
empirisme. Kant bermaksud memberi penegasan
tentang pembedaan pengenalan yang murni dan
tidak murni.
Leviathan : Monster yang mengerikan.
Maeutik : Seni kebidanan, dalam arti membidani lahirnya
pemikiran baru. Maeutik adalah metode induksi
yang diperkenalkan oleh Socrates.
Magnum Opus : Karya utama atau karya terbesar.
Mitologis : Cara berpikir yang mewarnai kehidupan pada masa
awal perkembangan manusia.

Sejarah Intelektual
231

Mitos : Ketidakmampuan manusia menjelaskan realitas.


Metafisika : Alam di luar alam nyata.
Morfe : Dasar kesatuan sebuah benda; inti, sesuatu yang
menyatukan.
Partikular : Unik.
Pemikiran mistis : Pemikiran yang tampak pada kebudayaan masyarakat
primitif, di mana tingkah laku manusia secara
langsung melibatkan diri dengan para dewa sebagai
sumber kekuatan alam yang serba misterius.
Reformasi : Pembentukan kembali.
Rasionalisme : Pemikiran yang memandang rasio sebagai sumber
dan pangkal dari segala pengertian, pengetahuan,
dan budi yang memegang pimpinan dalam bentuk
“mengerti”.
Revolusi : Perubahan cepat, perubahan secara besar-besaran.
Silogisme : Keputusan atau kesimpulan yang didasari oleh tiga
hal yang bertentangan, namun kita dapat mengambil
sesuatu darinya. Ada tesa, anti tesa dan sintesa.
Subjektif : Kebenaran individual yang memiliki kelemahan
objektifikasi. Terkadang subjektif itu tidak
berdasarkan fakta yang jelas.
Survival of the fittest : Bertahan untuk tetap lebih baik (hidup).
Strugle for live : Perjuangan untuk hidup.
Obyektif : Kebenaran yang berlaku umum.
Verstehen : Memahami sesuatu

Juraid Abdul Latief


INDEX

A.
B. S. Hornby 94
Antonio Gramsci 158
Arab 34
Aristoteles 9, 10, 12, 13, 34,
Asi 102
Asia Afrika 120
Avenarius 31
Auguste Comte 34, 46, 48, 98
Augustinus 34,

B
Bacon 34
Barkeley 22
Beerling 94, 100
Berterns 38
Bertolt Brecht 155
Bertrand Russel 155, 156
Bologna 98
Bonald 48
Buchner 54
C
Cambridge 49
Calvin 104, 109
Charles 103
Chiang Kai-shek 129
Comte 34, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,
Condorcet 48
Constantinopel 96, 97
Cordova (Spanyol)) 34
234

D
Darwin 53
David Hume 36
De Maistre 48
Descartes 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 36
Dreyfus 137

E
Ecole Polytechnique 48
Edmund Wilson 155
Emile Durkheim 46, 50
Emile Meyerson 50
Eropa 54, 93, 100, 101
Ernst Hemingway 155, 156

F
F. W. J. Schelling 44
Fazlur Rahman 161
Feuerbach 54, 55
Ficthe 45
Florence 96
Francis Barin 34

G
G. H. Lewes 49
G. W. F. Hegel 44
Gabriel Marcel 57
George Berkeley 31
Gilda 99

H
H. Cohen 56
H. Taine 46

Sejarah Intelektual
235

Hegel 45, 46, 54,


Heinrich IV 103
Henri de Saint-Simon 48
Henry Sidgwich 49
Heraklitus 9, 10
Herbert Spencer 53
Hume 36, 37, 39, 48

I
Ibn al-Haytham 47
Indonesia 130, 131, 134, 135, 136
Imanuel Kant 32, 33, 35, 38, 40, 41, 42, 43, 46
Inggris 46, 48, 49, 102, 103, 119, 129, 131
Irlandia 119
Italia 96, 98, 102
Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte 48
Istambul 96

J
J. G. Ficthe 44
Jacob Burckhardt 96
Jerman 32,102, 119
John Austin 49
John Morley 49
Jhon Locke 21, 24, 27, 28, 31, 108
Jhon Stuart Mill 46, 49
Julius Caesar 31

K
Kaisar 103
Kant 33, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 48, 56
Kant Yaspers 57
Karl Marx 54, 55, 56, 155

Juraid Abdul Latief


236

Kathleen M. Heggins 19
Kerajaan Frankia 103
Kierkegaard 56, 57

L
Lametterie 54
Leonardo Davinci 101
Lewes 50
Lilian Hellman 155
Luther 104
Lycee Joffre 48

M
Mach 31
Maluku 129
Martin Luther 104
Max Horkheimer 50
Mill 50
Mohammad Arkoun 161
Mohammad Mojtahed Shabestari 161
Mohammad Shahrour 161
Mohammad Talbi 161
Monstesquieu 48
Montpellier Prancis 48

N
N. Machiavelli 34
Napoli 96
Nasr Hamid Abu Zayd 161
Newton 42, 47
Nicolo Machaivelli 102
Nurcholish Madjid 161
Nusantara 129

Sejarah Intelektual
237

P
P. Natorp 56
Parmenides 9, 10
Paris 48
Paul Tannery 50
Paus 103
Paus Bonifacius VIII 103
Paus do Roma 102
Perancis 50, 54, 101, 102, 103, 119, 137, 139
Plato 9, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 34, 48, 106
Portugis 129, 152

R
Raja Charles 103
Raja Edward I 103
Raja Phillippe 103
Rene Descartes 36,
Robert C. Slomon 19
Roma 103
Romawi 90, 96, 97, 98 101
Romawi Timur 96

S
Sadiq Nayhum 161
Salerno 98
Sartre 57, 155
Shelling 45
Saint-Simon 48
Socrates 34
Spanyol 129
Spencer 53
Suparlan Suhartono 4

Juraid Abdul Latief


238

T
Thomas Aquinas 34, 89, 98
Thomas Hobes 21, 22, 24, 25, 26, 35,
Thomas More 34
Tolstoy 155
Turgot 47, 48
Turki 97

V
Van Peursen 33
Venesia 96
Victor Gollancz 155

W
W. N. Weech 95
Worms 103

Y
Yunani 97
Yunani-Romawi 35

Z
Zygmund Bauman 158

Sejarah Intelektual
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1.
1. Nama
Nama Lengkap
Lengkap :: Prof.
Prof. Dr.
Dr. H.
H. Juraid
Juraid Abdul
Abdul Latief,
Latief, M.Hum.
M.Hum.
2.
2. Tempat
Tempat tanggal
tanggal lahir
lahir :: Bima,
Bima, 3030 November
November 1958
1958
3. Pekerjaan
3. Pekerjaan :: Dosen
Dosen Tetap Jurusan IPS FKIP
Tetap Jurusan IPS FKIP Universitas
Universitas
Tadulako
Tadulako
4.
4. Pangkat/Golongan
Pangkat/Golongan :: Pembina
Pembina Utama
Utama // IV
IV EE
5.
5. Alamat
Alamat :: Jalan
Jalan Banteng
Banteng Blok
Blok C1
C1 No.
No. 44 Palu
Palu Selatan
Selatan
6.
6. Riwayat
Riwayat Pendidikan
Pendidikan ::
SD
SD :: SDN
SDN Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1971
1971
SMP
SMP :: SLTP
SLTP didi Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1974
1974
SLTA
SLTA :: SMA
SMA di di Bima,
Bima, Tahun
Tahun 1977
1977
S1
S1 :: Fakultas
Fakultas Sastra
Sastra UNHAS,
UNHAS, Tahun
Tahun 1983
1983
S2 S2 :: Program
Program Pascasarjana
Pascasarjana UGM,
UGM, Tahun
Tahun 1996
1996
S3 S3 :: Program
Program Pascasarjana
Pascasarjana UNHAS,
UNHAS,TahunTahun 2004
2004
240

7. Pengalaman Jabatan : a. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial


FKIP Universitas Tadulako (1999-
2001.
b. Anggota Penjaminan Mutu FKIP
(2009-2013)
c. Anggota Dewan Pertimbangan Untad
(2011-2014)
d. Wakil Ketua Dewan Profesor Untad
(2012- Sekarang)
e. Ketua Prodi S2 Pendidikan IPS PPS
Untad (2014---)
8. Karya Imiah :
a. Buku 1). Manusia, Filsafat, dan Sejarah (Bumi
Aksara, 2001)
2). Dunia Militer di Indonesia (Gama
Press, 2001)
3). Pemberontakan Tolitoli: Sarekat Islam
dan Perjuangan Kaum Tertindas
(Untad Press, 2002).
4). Naskah I Lagaligo sebagai Karya Sastra
Dunia (Devisi Sosial Humaniora Unhas,
2003)
5). Sejarah Intelektual (Tadulako University
Press, 2004)
6. Pendidikan Pancasila (Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2005)
7. Aspek Sosial Budaya dalam Pengembangan
Pendidikan Multikultural (World Vision
Indonesia, 2012).
b. Tulisan di Jurnal Ilmiah
1). Pemberontakan Petani Tolitoli 1919,
Majalah Gagasan Universitas Tadukako
(1996).

Sejarah Intelektual
241

2). Konsep Demokrasi dalam Budaya


Bugis Makassar, Majalah Kebudayaan
Depbikbud di Jakarta (1997)
3). Alternatif Baru dalam Pengajaran
Sejarah di Era Globalisasi, Jurnal
Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1998)
4). Pengaruh Film terhadap pembentukan
kepribadian Kaum Muda, Jurnal
Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1999).
5). Kondisi dan Kinerja Program Studi
Sejarah dan Program Studi PPKn
pada Jurusan IPS FKIP Universitas
Tadulako, Jurnal Imiah Kreatif Univ.
Tadulako (2000).
6). Faktor-Faktor yang mempengaruhi
tingkat Partisipasi Anak Usia Sekolah
di daerah terpencil di Sulawesi
Tengah, Jurnal Nasional Vidya Karya,
UNLAM Banjarmasin (2005)
7). Peran Agama dalam Perubahan Sosial
dan Politik di Tolitoli pada`Awal
Abad XX, Jurnal Nasional Sosial
dan Humaniora UNHAS Makassar
(2005)

Penulis dapat dihubungi di:


(Mobile :082194455555 e-mail : juraidalatief@yahoo.com)

Juraid Abdul Latief


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai