Anda di halaman 1dari 5

A.

Manajemen Hearing Loss

1. Kesulitan dalam pengobatan hearing loss


Tingginya angka kejadian MDR-TB terkait dengan HIV sangat umum
terjadi infeksi kronis telinga tengah , infeksi telinga luar dan perforasi
membran timpani. Hal ini dapat mempersulit pemeriksaan serta
interpretasinya. Apabila terbukti ditemukan infeksi pada telinga tengah
pasien harus diresepkan antibiotik dan perlu evaluasi dalam 1 hingga 2
minggu.
Didaerah yang memiliki pasien mayoritas MDR-TB tinggal, sumber
daya yang terbatas pengujian tes pendengaran sulit dilakukan. Pada
fasilitas kesehatan tidak dirancang atau dibangun dengan tepat, kedap
suara buruk dengan tingkat kebisingan terlalu tinggi untuk pengujian
yang optimal.
2. Penilaian Standar Pendengaran
Penting untuk dilakukan penilaian pendengaran terstandar pada pasien
dengan MDR-TB. Hal itu dapat membantu manajemen kasus klinis
dalam program TB. Standarisasi harus mencakup jadwal dan durasi
pengujian serta metodologi pengujian pendengaran. Untuk perawatan
klinis individu, frekuensi, lateralisasi , amplitude dan etiologi ( konduksi
atau sensorineural) harus dicatat dan dipantau seiring waktu dengan
perbandingan yang dibuat dibandingkan pemeriksaan pertama kali.
Hasil ini dapat memberikan informasi klinis dan membantu pengelolaan
selanjutnya. Baik derajat gangguan pendengaran absolute dan perubahan
pendengaran dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh obat ototosik
sangat penting. Penting untuk kepentingan penelitian, dokumentasi
individu, dan untuk mengklasifikasikan kehilangan pendengaran secara
sistematis menggunakan grading. Idealnya, tes pendengaran perlu
dilakukan sebelum ada obat otottoksik yang dberikan untuk menjadi
dasar. Seperti contohnya, pasien dengan MDR-TB yang sebelumnya
diberikan rejimen pengobatan yang terkadang berulang, gangguan
pendengaran awal karena pengguaan streptomycin sering terjadi. Pada
pasien dengan kehilangan pendengaran dari awal masih penting untuk
secara teratur diperiksa untuk mendeteksi kerusakan lebih lanjut.
Setelah penilaian awal, tes pendengaran harus dilakukan setiap bulan.
Jika kelainan terdeteksi, perlu dipertimbangkan pengujian setiap 2
minggu. Pengujian tetap harus dilakukan setiap bulan selama durasi
pasien menggunakan pengobatan dan dilanjutkan 6 bulan setelah
menyelesaikan suntikan. Meskipun tidak ada intervensi untuk
memperbaiki efeknya saat obat telah dihentikan, gangguan pendengaran
tetap dapat berlanjut. Pada setiap penilaian, otoskopi dan timpanometri
seharusnya dilakukan. Jika pasien dapat bekerja sama maka audiometric
dapat dilakukan. Untuk studi penelitian, kami menyarankan bahwa
gangguan pendengaran harus memenihi criteria ASHA ( penurunan
20dB pada satu frekuensi, 10 dB berkurang pada dua frekuensi yang
berdekatan atau hilangnya respon pada tiga tes berturut-turut dimana
sebelumnya ditemukan adanya respon) pasien dapat diklasifikasikan
memiliki gangguan pendengaran. Pada pasien anak yang tidak dapat
diajak bekerja sama, harus dilakukan penilaian OAE menurut pedoman
ASHA. Dilakukan dan dilakukan tes skrinning kemudian dilaporkan
sebagai berhasil atau gagal. Tetapi hasil gagal tidak sepenuhnya berarti
terjadi kehilangan pendengaran. Tetapi tidak dapat dipastikan apakah
pendengaran pasien normal.
3. Manajemen Kehilangan Pendengaran
Baru-baru ini sejumlah gen telah diidentifikasi menunjukkan adanya
asosiasi yang kuat dengan gangguan pendengaran yang diinduksi
aminoglikosida. Namun, gen-gen ini jarang ditemukan. Meskipun
kurang praktis dilakukannya pengujian pada awal terapi, tetapi mungkin
pada masa depan lebih maju dibandingkan saat ini. Jika gen spesifik
terdeteksi, dokter mungkin dapat mempertimbangkan obat lain sebagai
pilihan pengobatan atau pemantauan yang rutin. Kerusakan pada sel
rambut koklea yang disebabkan oleh oksigen reaktif, secara teoritis
dapat mengurangi efek ini dengan zat besi atau pemberian bersama
dengan anti oksidan. Baru-baru ini penelitian di Cina menunjukkan efek
proteksi dari efek aspirin pada orang dewasa yang diobati dengan
gentamicyn. Tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengobati pasien. Pilihan yang tersedia jika penurunan pendengaran
terdeteksi adalah menghentikan obat, mengurasi dosis, menambah
interval dosis , atau mempertahankan terapi dengan meningkatkan
frekuensi pemantauan pendengaran untuk mengidentifikasi kerusakan
lebih lanjut. Pilihannya tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan
respon, durasi berapa banyak obat yang sudah diberikan, yaitu resistensi
obat dan ketersediaan alternatif obat. Selain itu, sifat gangguan
pendengaran dan kecepatan terjadinya harus dipertimbangkan. Salah
satu faktor akhir yang perlu dipertimbangkan adalah pemantauan
konsentrasi obat dalam darah. Pemantauan obat terapeutik harus
memainkan peran yang penting dalam manajemen pasien MDR-TB
yang menjalani terapi injeksi. Dalam sebagian besar konteks dimana
pasien sedang dirawat dengan MDR-TB, pasien menerima injeksi secara
intramuscular.
4. Kesimpulan
Sebagian besar pasien yang dirawat dengan MDR-TB mengalami
penurunan pendengaran, keadaan buruk yang signifikan yang dapat
mengganggu kualitas hidup. Efeknya pada perkembangan anak-anak
sangat dalam. Selain itu, WHO baru merekomendasikan untuk
memperpanjang durasi penggunaan obat suntik dari 6 bulan menjadi 8
bulan, semakin lama penggunaan terapi injeksi ditemukan sangat terkait
dengan hasil pengobatan yang maksimal. Dokter harus dapat melakukan
penilaian resiko deimana resiko gangguan pendengaran dibandingkan
dengan kegagalan pengobatan atau tidak menggunakan obat suntik.
Pasien harus diberi edukasi tentang resiko pengobatan dan resiko tidak
dapat menggunakan pengobatan injeksi dan diizinkan untuk memilih
pengobatan. Pengobatan alternative baru sangat dibutuhkan segera.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai intervensi obat
terhadap kejadian tuli yang diinduksi oleh obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee KJ. Otolaryngology and Head Neck Surgery, New York ; Elsevier,
1989 : 20 - 3, 67 - 9.
2. Shambaugh GE. Surgery of the Ear, 4h ed, Tokyo ; WB Saunders
Company, 1990:5-7,210-1.
3. Wright A. Anatomy and Ultrastructure of the Human Ear, Basic
Science, Dalam : Scott- Brown's Otolaryngology, 6"' ed, Vol I,
Oxford ; Butterworth- Heinemann Ltd, International Editions : 1/1/1 - /
11.
4. Heim SW, Maughan KL. Foreign Body in the Ear, Nose, and Throat.
University of Virginia School of Medicine, Charlottesville, Virginia.
Am Fam Physician. 2007, Oct 15; 76(8): 1185-89. Diunduh dari:
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html pada tanggal 5 Januari
2020.
5. Cunha JP. Objects or insects in Ear.
http://www.medicinenet.com/objects_or_insects_in_ear/article.htm.
Diunduh pada 5 Januari 2020.
6. Mattox DE, Et all. Congenital Aural Atresia ; Embryology, Pathology,
Classification, Genetic and Surgical Management. Dalam : Paparella
MM. Otolaryngology. ed 3. Vol 3. Wb. Saunders : 1191 – 4
7. Russel JD, Et all : What Cause Acute Otitis Externa ? Dalam : the
Journal of Laringology and Otology, Vol 107, No. 10, 1993: 898 -
900.
8. Boies. Penyakit Telinga Luar. Buku Ajar Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, ed 6, Alih Bahasa Dr. Caroline Wijaya, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta, 1994: 78 - 80. 28. Maqbool M. Textbook
9. Sherwood Laurale; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8.
2013. Jakarta: EGC.
10. Hall, JE, Guyton, A. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.
2010. Publisher: Saunders.

Anda mungkin juga menyukai