Anda di halaman 1dari 6

Sayap Sang Pengelana

Oleh Muhamad Hasan Ramdani


Alunan gendhing Jawa dari radio lawas menghiasi ketenteraman pagi itu. Hal itu sudah
menjadi makanan sehari-hariku sejak kecil. Eyang memang salah satu penggemar berat
tembang-tembang Jawa. Setiap akhir pekan, beliau selalu menyempatkan diri menonton
pagelaran wayang dari kaset yang dibelinya di pasar tradisional. Dilahirkan dari keluarga Jawa
yang masih memegang erat adat istiadat tidak membuatku terkekang, melainkan membuatku
bangga.
Beruntung aku memiliki kakek yang walaupun tidak tamat Sekolah Rakyat, tapi beliau
memiliki wawasan yang luas. Eyang selalu menyemangati dan mendorongku dalam hal
pendidikan. Bagi beliau, pendidikan itu nomor satu. Jika kualitas diriku bagus, maka Perempuan
yang kelak menjadi pendampingku pastilah tidak jauh berbeda denganku. Dengan begitu, akan
lahir generasi penerus yang berkualitas juga. Aku tersenyum geli memikirkan hal tersebut. Ya,
Eyang selalu mengajarkanku untuk berpikir ke depan. Walaupun aku baru memasuki dunia
perkuliahan, Eyang sudah banyak memberiku wejangan berbobot sebagai bekalku ke depan.
Namaku Kelana, yang aku tahu, semua orang pasti mempunyai mimpi. Baik itu mimpi
yang sekadar bunga tidur, atau mimpi yang hendak diwujudkan. Sayangnya, aku tidak memiliki
keduanya. Aku tidak punya mimpi, mungkin tidak berani bermimpi. Bukan, tepatnya aku takut
mengambil risiko. Hidupku berjalan monoton dan aku tidak pernah keluar dari zona nyamanku.
Aku selalu melakukan segalanya dengan pertimbangan tidak akan membawa masalah. Untuk
itulah aku ragu bermimpi.
Selama libur semester, kegiatanku hanya membaca buku dan tidur selama Eyang tidak
memergoki. Akhir pekan ini aku berhasil menamatkan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”
buku yang berisi kumpulan surat R.A. Kartini kepada teman-teman Belanda nya entah untuk
yang ke berapa kalinya. Buku ini adalah hadiah dari Eyang di ulang tahun ke-17 ku. Rasanya
selalu ada sensasi yang berbeda setiap kali selesai membacanya. Aku sangat mengagumi sosok
R.A. Kartini, terutama pada pemikiran-pemikirannya yang berhasil membuka pikiranku sebagai
agar menjadi sosok yang dapat membuat perubahan.

Terkadang, R.A. Kartini mengingatkanku pada diriku sendiri. Bagi lelaki Jawa apalagi
yang masih terikat adat istiadat, mimpi adalah sesuatu yang mewah. Masa 60 –an saat jaman
sudah merdeka.Namun,masih terikat dengan suatu larangan untuk pergi ke Belanda oleh
penduduk sekitar.
Bicara mengenai mimpi, jika aku boleh bermimpi, dan jika ini bisa disebut mimpi,
mimpiku sederhana, aku hanya ingin pergi ke Belanda. Alasannya, aku ingin meneruskan mimpi
R.A Kartini untuk bisa pergi ke negeri seberang. Aku ingin menghirup udara Belanda walau
hanya sebentar saja. “Nak, ada paket!” Eyang yang masih duduk di kursi goyang sambil
menikmati alunan gendhing Jawa berteriak memanggilku. “Iya, sebentar!” Aku yang belum
selesai menghayal, bergegas ke teras.
Kuterima kotak berukuran besar dari Pak Pos. Sepertinya dari luar negeri. Benar saja,
saat kubuka terdapat kartu pos bergambar kincir angin dan bunga tulip. Dari Belanda? ‘Sugeng
enjing... Piye kabare? Di sini lagi libur musim panas. Datang gih ke sini. Aku punya sesuatu buat
kamu. Dak enteni! Ik zal op je wachten!’’ Mataku memanas setelah membacanya. Ini bahkan
bukan surat pertama darinya. Aku tidak terharu, melainkan iri! Biar kuceritakan sebabnya. Aku
memiliki musuh bebuyutan saat masih kecil, namanya Wilis. Dulu, kami sering bertengkar, lalu
kami berpisah saat dia harus mengikuti ayahnya yang seorang ekspatriat, berpindah negara,

tepatnya ke Belanda. Hal yang kubenci darinya adalah dia merebut mimpiku. Mungkin aku yang
terlalu sensitif padanya. Wilis tahu bahwa aku ingin pergi ke Belanda, dan dia justru
mendahuluiku!
Sejak tahu Wilis juga melanjutkan studi di Belanda, angan yang mengabur mendadak
jelas. Kenapa dia yang tidak pernah bermimpi ke sana justru bisa pergi? Sementara aku yang
memimpikannya justru tidak bisa pergi ke sana. Aku pun menyadari kesalahanku. Aku terlalu
lama berjalan di tempat tanpa ingin mengambil risiko. Aku hanya mampu berangan tanpa mau
beraksi.
Untuk itulah, detik ini aku bertekad untuk melampaui batas zona nyamanku. Tak
berselang lama, sebuah panggilan video masuk ke gawaiku, tentu saja dari Wilis.
“Hai, masih mau ke sini?” Sapanya sambil memperlihatkan pemandangan Negeri Kincir
Angin.
“Buat apa?” Tanyaku pura-pura tidak peduli.
“Kuliah dong!” Jawabnya ringan.
“Jahat! Kamu ngerebut mimpi orang lain!”Rajukku.
“Hei, coba kamu pikir, kamu yang punya mimpi, tapi kenapa justru aku yang di sini?
Karena kamu selalu jalan di tempat. Kamu nggak berkembang. Saat ada orang lain yang bisa ke
sini, kamu justru menyalahkan mereka, padahal kamu yang salah. Nggak ada orang yang
merebut mimpi orang lain, semua tergantung kesempatan yang ada dan kemauan yang besar.
Tapi yang pasti adalah keberanian untuk mewujudkannya.”
Penjelasan panjang lebarnya tidak aku jawab. Aku terdiam dan semakin menyadari
kesalahanku. “Kel?” Teguran darinya menyadarkan lamunanku, “Sebaiknya kamu siap-siap.
Urus paspor dan visa secepatnya, kamu cuma punya waktu 2 minggu. HAHAHA”
Tawa membahananya seketika membuatku curiga. Rupanya, semakin dia tumbuh,
semakin besar ketidakjelasannya. “Udah datang belum?” Dia masih belum menyerah. “Surat?
Udah aku baca barusan.” Jawabku datar.
“Bukan! Tiket. Tiket!”
Astaga! Aku kembali membuka paket darinya, benar saja, ada amplop kecil di belakang
surat. Berisi tiket ke Belanda Kuarahkan tiket ke hadapannya, lebih tepatnya ke layar gawai.
“HAHAHA... Cepat urus paspor dan visa, oke?”
Panggilan video pun diputus.

***
Dua minggu berselang, hari yang tak pernah kusangka-sangka pun tiba. Selepas turun
dari pesawat, aku segera mencari sosok yang kukenal tapi lama tidak kutemui, di antara
kerumunan orang bertubuh tinggi besar. Tak perlu waktu lama untuk menemukan sosoknya,
cukup dengan mengenali wajah familiarnya, aku menghampiri sosoknya yang membawa kertas
besar bertuliskan Sugeng Rawuh.
“Akhirnya, si pengelana ke sini juga.” Ledeknya sambil mengacak rambutku pelan.
Aku hanya membalasnya dengan cibiran. Wilis segera mengambil alih koper yang
kugeret dan aku berjalan bersisian dengannya.

***
Petualanganku di Belanda, tepatnya di Leiden, aku habiskan dengan berjalan-jalan
sambil menuntun sepeda kayuh yang menjadi kendaraanku dan Wilis selama di perjalanan.
Rasanya masih seperti mimpi bisa sampai di Negeri Kincir Angin. Sepanjang jalan aku tak
hentinya takjub dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa yang dulu hanya bisa kulihat dari
gambar. Leiden terletak di antara dua kota penting, yaitu Amsterdam dan Den Haag, jaraknya
sekitar 20-30 menit dari Bandara Schiphol.
Yang baru kuketahui adalah kota ini menyimpan sejarah mengenai Indonesia, hal itu aku
dengar dari Wilis sepulang kami berjalan-jalan. Karena amat penasaran, aku memaksa Wilis
untuk segera berkeliling Kota Leiden dan hal itu terealisasikan keesokannya. Tempat pertama
yang kami kunjungi adalah Museum Volkenkunde. Museum ini menyimpan banyak koleksi
warisan budaya dari berbagai negara, salah satunya Indonesia. Suasana museum cukup
nyaman, aku dan Wilis langsung menuju ruangan yang khusus menyimpan warisan budaya
Indonesia.
Aku terperangah menyaksikan betapa lengkapnya koleksi mengenai Indonesia di sana.
Banyak sekali arca-arca zaman kerajaan, perhiasan tradisional, dan masih banyak lagi. Aku tidak
menyangka barang-barang bersejarah itu berada di negeri nun jauh. Bulu kudukku merinding
menyaksikannya. Setelah puas melihat koleksi-koleksi menakjubkan tersebut, lokasi selanjutnya
yang direkomendasikan Wilis adalah Perpustakaan Universitas Leiden. Di sini ada ribuan
literatur tentang Indonesia.
Wah, aku benar-benar takjub mengetahui fakta itu! Puas berkeliling, Wilis mengajakku
singgah di taman Universitas Leiden. Kami merebahkan tubuh sambil menatap langit sore itu.
Tidak kusangka teman masa kecilku yang sekarang ada di sampingku adalah mahasiswa salah
satu universitas terbaik di dunia.
“Ini beneran bukan mimpi, kan?” Tanyaku masih tidak percaya.
“Ini mimpi, mimpi yang menjadi nyata.” Jawab Wilis sekenanya.
“Kamu tahu? Setiap orang punya sayap untuk terbang menuju mimpinya.” Lanjut Wilis.
“Aku nggak punya sayap, mungkin aku belum menemukannya. Tapi, meskipun aku
nggak punya sayap, aku punya doa dan harapan yang mampu menerbangkan mimpimimpiku.”
Jawabku sambil memandang langit, mendadak aku teringat akan R.A. Kartini, aku berharap
beliau tersenyum melihat salah satu anak bangsa telah mewakili keinginannya untuk bisa
sampai di Belanda.

“Ya, jangan lupa untuk selalu terbang jauh, sayapmu bukan hanya untuk mendarat di
sarangmu, tapi juga untuk melanglang buana menembus cakrawala. Dunia terlalu luas untuk
dibiarkan begitu saja. Jangan pedulikan pandangan negatif orang lain. Kamu adalah kamu.
Buktikan dan jadilah agen perubahan!” Tanpa kuduga, Wilis bangkit dan memberikan kado, aku
pun ikut bangkit dan menerima kado darinya.
“Selamat ulang tahun yang ke-20, semoga bisa menjadi salah satu pelopor manusia
Indonesia masa kini.” Kado itu berisi sebuah buku usang yang telah dimakan usia. Saat kubaca
judulnya, aku hanya bisa terbelalak dan menutup mulut “ Door Duisternis tot Licht “ buku Habis
Gelap Terbitlah Terang cetakan pertama berbahasa Belanda! Tanpa kusadari, air mataku
menetes, tanganku pun gemetar. Teruntuk Pahlawan Indonesia, terima kasih telah menjadi
sayap untuk pengelana ini hingga dapat terbang menuju negeri yang kau damba.

Anda mungkin juga menyukai