Anda di halaman 1dari 10

Konsep Loss And Grieving

2.1  Konsep Kehilangan

2.1.1        Definisi Kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005).

2.1.2        Jenis-jenis Kehilangan

Ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu :

1. Kehilangan Objek Eksternal

Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat,
dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap
benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda motor, kehilangan
uang, kehilangan rumah.

2. Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal

Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu/kepindahan secara permanen. Contoh : pindah rumah baru dan alamat baru atau yang
ekstrim lagi dirawat di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah kerumah perawatan.

3. Kehilangan Orang Terdekat

Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti orangtua, pasangan, anak-anak,
saudara sekandung, guru, dll. Contoh : pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau
mutasi, melarikan diri, dan kematian.

4. Kehilangan Aspek Diri

Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.
Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan situasi.
Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu, mengalami kehilangan
kedudukan, mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. Contoh :
kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan lalu lintas, menderita kanker
organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV/ AIDS.

5. Kehilangan Hidup

Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi kematian sampai dengan terjadinya
kematian. Hal ini sering menyebabkan kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut,
bergantung pada orang lain, putus asa dan malu. Contoh : pasien yang divonis menderita kanker
otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter.

2.1.3        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan

1. Faktor Perkembangan
1. Anak-anak

 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.


 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.

2. Orang dewasa

 Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup.


 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.

2. Faktor Keluarga

Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan


sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.

3. Faktor Sosial Ekonomi

Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan
orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu
kelangsungan hidup.

4. Faktor Kultural

Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap kesedihan adalah
sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak
ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus
dengan berteriak dan menangis keras-keras.
5. Faktor Agama

Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian
sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.

6. Faktor Penyebab Kematian

Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan goncangan jiwa
yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian
akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut.

1. Harapan

Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan dan
kesakitan.

2. Partisipasi

Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.

3. Dukungan

Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan penyangkalan. Dukungan
bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang terjadi.

4. Kebutuhan Spiritual

Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari Tuhan.

2.1.4        Rentang Respon Kehilangan

Berikut penjelasan skema rentang respon kehilangan.

Denial, Anger, Bergaining, Depression, Acceptance

1. Fase Denial (Penyangkalan)

Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada. Selalu ada verbalisasi “itu
tidak mungkin”, “saya tidak percaya itu terjadi” yang tercantum dalam otaknya. Terjadi
perubahan fisik seperti letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah.
2. Fase Anger (Kemarahan)

Mulai sadar akan kenyataan. Marah diproyeksikan pada orang lain. Terjadi reaksi fisik seperti
muka merah, nadi cepat, gelisah, sudah tidur, tangan mengepal. Berperilaku agresif.

3. Fase Bargaining (Tawar Menawar)

Adanya tawar menawar seperti verbalisasi “kenapa harus terjadi pada saya?“ dinetralkan menjadi
“seandainya saya berhati-hati, pasti tidak terjadi pada saya”. Maksud disini adalah adanya suatu
mekanisme pertahanan diri untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

4. Fase Depression (Depresi)

Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa. Gejala yang timbul adalah
menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5. Fase Acceptance (Penerimaan)

Pikiran pada objek yang hilang berkurang. Verbalisasi ”apa yang dapat saya lakukan agar saya
cepat sembuh?” dan juga “yah, akhirnya saya harus operasi”.

2.1.5        Dampak Kehilangan

Kehilangan bisa mengakibatkan dampak dalam hidup seseorang seperti berikut ini.

1. Pada masa anak-anak

Kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang akan timbul regresi serta
rasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian.

2. Pada masa remaja atau dewasa muda

Kehilangan dapat menyebabkan disintegrasi dalam keluarga atau suatu kehancuran


keharmonisan keluarga.

3. Pada masa dewasa tua

Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan
menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.
2.2  Konsep Berduka

2.2.1        Definisi Berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan ketika seseorang mengalami suatu kehilangan
yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain sebagainya.

2.2.2        Jenis-jenis Berduka

Ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :

1. Berduka Normal

Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misal : kesedihan,
kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.

2. Berduka Antisipatif

Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya
terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan
dan menyesuaikan diri dengan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya tiba.

3. Berduka yang Rumit

Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal.
Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.

4. Berduka Tertutup

Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Misal : kehilangan
pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika bersalin.

5. Berduka Disfungsional

Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat
individu kehilangan secara aktual maupun potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/ kekacauan.

2.2.3        Rentang Respon Berduka

Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (1997), respon berduka seseorang terhadap
kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut.
Denial à Anger à Bergaining à Depression à Acceptance

1. Tahap Denial (Penyangkalan)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau
mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada
tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.

2. Tahap Anger (Kemarahan)

Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan
kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan,
bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara
lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.

3. Tahap Bargaining (Tawar Menawar)

Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat
mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan
tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan
memohon kemurahan Tuhan.

4. Tahap Depression (Depresi)

Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat
menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul
keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dan
lain-lain.

5. Tahap Acceptance (Penerimaan)

Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada
objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih pada objek
yg baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai,
maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke proses
ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

2.2.4        Teori Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori
berduka hanyalah alat yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional
seseorang dan keluarganya, serta rencana intervensi untuk membantu mereka memahami
kesedihan dan cara mengatasinya. Berikut penjelasan teori proses berduka dari beberapa pakar.
1. Teori Engels

Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada
seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut beberapa fase yang dilalui.

 Fase I (shock dan tidak percaya)

Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau
pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

 Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/ kosong, karena
kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

 Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa
bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

 Fase V

Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari. Sehingga pada fase ini
diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

1. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut.

 Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak
akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan.
 Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

 Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.

 Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut.
Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.

 Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.

1. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang
tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Berikut penjelasannya.

 Lahir sampai usia 2 tahun

Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa kehilangan dan dukacita.
Pengalaman ini menjadi dasar untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan dan dukacita.

 Usia 2 sampai 5 tahun

Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat kematian sebagai sesuatu dapat
hidup kembali. Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dalam kemampuannya untuk membuat
suatu hal terjadi.

 Usia 5 sampai 8 tahun

Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian akan terjadi pada dirinya. Melihat
kematian sebagai hal yang menakutkan. Mencari penyebab kematian.
 Usia 8 sampai 12 tahun

Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat dihindari. Mungkin tak mampu
menerima sifat akhir dari kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian sendiri.

 Usia remaja

Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa. Harus menghadapi implikasi
personel tentang kematian. menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius mencari makna
tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan.

1. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori seperti penjelasan berikut.

 Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

 Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

 Akomodasi

Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

Berikut tabel perbandingan teori proses berduka.

PERBANDINGAN TEORI PROSES BERDUKA


ENGELS (1964) KUBLES-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Syok dan tidak Menyangkal Syok dan tidak Penghindaran
percaya percaya
Berkembangnya Marah Kerinduan dan Konfrontasi
kesadaran protes
Restitusi (ganti rugi) Tawar-menawar Kesedihan yang Akomodasi
mendalam,
disorganisasi, putus
asa
Idealisasi Depresi Identifikasi  
kehilangan
Reorganisasi (hasil) Penerimaan Reorganisasi dan  
restitusi (ganti rugi)

DAFTAR PUSTAKA

Wahdaniah. 2010. Konsep Kehilangan. http://wahdaniah-ns.blogspot.com/2010/10/konsep-


kehilangan.html. Diakses pada tanggal 16 November 2011

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan, Kematian, dan
Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta: ECG

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC

Niven Neil. 2003. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan
Lain edisi 2. Jakarta : EGC

Faikanto. 2009. Metode Koping pada Orang yang Kehilangan, Kematian, dan Dukacita.
http://faikanto.multiply.com/journal/item/3/METODE_KOPING_PADA_ORANG_YANG_KE
HILANGAN_KEMATIAN_DAN_DUKA_CITA. Diakses pada tanggal 16 November 2011

Anda mungkin juga menyukai