Anda di halaman 1dari 52

BAB I

ISI

1.1 Prenatal
1.1.1 Gangguan Perkembangan Embrio

Kelainan bawaan atau kelainan kongenital atau cacat bawaan adalah


kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan
hasil konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran,
pada saat kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah kelahiran.
Kelainan bawaan dapat disebabkan oleh keabnormalan genetika, sebab-
sebab alamiah atau faktor-faktor lainnya yang tidak diketahui.

Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus,


lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital
yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alami
terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan
dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi
berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa
kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat,
kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.

Etiologi Kelainan Kongenital

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.


Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.

Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya


kelainan kongenital antara lain:

1
1. Kelainan Genetik dan Kromosom

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan


berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-
kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula
diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant
traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal
ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu
keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya. Dengan adanya
kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran , maka telah dapat diperiksa
kemingkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah
dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh
kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma down
(mongolism). Kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma turner.

2. Faktor Mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat


menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas
organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri
akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh
deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus,
talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot).

3. Faktor infeksi

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang


terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama
kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat
menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada
trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat
pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi
virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama
dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan

2
pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung
bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat
menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus
sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang
mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf
pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.

4. Faktor Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester
pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya
kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui
dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat
mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-
jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik
diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital,
walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari
pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini
kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus
minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit
tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat
dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum
kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.

5. Faktor Umur Ibu

Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-


bayi yang dilahirkan oleh ibuyang mendekati masa menopause. Di bangsal
bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-
1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100
kelahiranhidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok
ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1:
5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu

3
berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan
1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.

6. Faktor hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian


kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu
penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan
pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

7. Faktor Radiasi

Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat


menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang
cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi
pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital
pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau
terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada
hamil muda.

8. Faktor Gizi

Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan


dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-
penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada
binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic
acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital.

9. Faktor-faktor Lain

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor


janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi
faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia

4
diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan
kongenitai tidak diketahui.

Macam-macam Anomali

1.    Malformasi
Terjadi selama pembentukan struktur (organogenesis). Malformasi dapat
disebabkan faktor lingkungan dan genetik. Kebanyakan malformasi berawal
dari minggu ketiga sampai minggu kedelapan kehamilan. Anomali ini dapat
menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh struktur organ dan/atau
perubahan-perubahan konfigurasi normal.
2.    Disrupsi
            Mengakibatkan perubahan morfologi struktur organ setelah
pembentukannya. Penyebabnya adalah proses-proses yang merusak, seperti
kecelakan pada pembuluh darah yang menyebabkan atresia usus dan cacat
yang ditimbulkan pita amnion.
3.    Deformasi
            Disebabkan oleh gaya-gaya mekanik dalam jangka waktu yang
lama. Deformasi sering kali mengenai sistem kerangka otot. Anomali ini
dapat sembuh setelah lahir.
4.    Sindrom
Sekelompok cacat yang terjadi secara bersamaan, memiliki etiologi yang
spesifik dan sama. Istilah ini menunjukkan telah dibuat sebuah diagnosis dan
risiko terjadinya kembali telah diketahui.

Tabel 1. Perbedaan Antara Malformasi, Deformasi dan Disruption


Malfor Deform Disr
masi asi uption
Periode Tahap - Ta Peri
waktu embryonal hap fetal ode
terjadinya s/d 8 intra uterin fetal
minggu - Se
intra uterin telah lahir

5
Level Organ Regional Organ
gangguan
Mortalita + - ?
s perinatal
Koreksi - + -
spontan
Koreksi - + -
melalui
postur
Embriolo Organ - -
gis

1.1.2 Bahan Teratogen

Setiap ibu ingin melahirkan anak-anaknya ke dunia dengan sempurna. Akan


tetapi, banyak juga ibu yang melahirkan bayi-bayi dengan cacat saat bayi
dilahirkan. Hal ini dapat terjadi karena hanya sedikit ibu hamil yang tahu
bahwa cacat janin dapat disebabkan oleh berbagai bahan atau zat di sekitar
kita. Bahan-bahan yang secara kedokteran dapat memberikan efek gangguan
pada janin dan menimbulkan kecacatan dikenal sebagai bahan teratogenik.
Bahan teratogenik adalah bahan-bahan di alam ini yang dapat menyebabkan
terjadinya cacat lahir atau cacat fisik pada bayi yang terjadi selama bayi
dalam kandungan. Bahan teratogenik dapat menimbulkan bayi lahir dengan
cacat lahir berupa cacat fisik yang nampak maupun tidak nampak. Contoh
kecacatan fisik yang nampak contohnya bibir sumbing (cleft lips), kelainan
bentuk ekstremitas, kelainan bentuk kepala, tubuh maupun organ lain yang
nampak dari luar. Sedangkan, cacat lahir yang tidak nampak misalnya
kelainan otak, penurunan kecerdasan (IQ), kelainan bentuk jantung,
pembentukan sekat jantung yang tidak sempurna, gangguan reaksi
metabolisme tubuh, kelainan ginjal atau bahkan kelainan organ reproduksi.

6
Gambar. Syndrom kaki duyung

Gambar. Bayi dengan kelainan pada wajah

7
Gambar. Bayi dengan kelainan microcephalus

Adanya kecacatan pada bayi secara fisik dapat menyebabkan bayi tumbuh
tidak sempurna, gangguan pada masa pertumbuhan, kecacatan, dan bahkan
kematian. Apabila bayi dapat tumbuh dewasa, kecacatan yang dibawanya
sejak lahir tentu akan mempengaruhi penampilan dirinya, misalnya
kecerdasan lebih rendah, kurang berprestasi, kurang percaya diri dan bahkan
ketergantungan mutlak kepada orang lain.

Gangguan Proses Pembentukan Organ Tubuh


Janin akan berkembang dari satu sel menjadi banyak sel. Proses
pembentukan jaringan dan organ tubuh selama janin dalam kandungan
dikenal dengan istilah organogenesis. Proses ini berlangsung terutama pada
saat kehamilan trisemester pertama dan akan selesai pada awal trisemester ke
dua atau sekitar 16 minggu. Adanya bahan-bahan yang bersifat teratogenik
akan menimbulkan gangguan pada sel-sel tubuh janin yang sedang
melakukan proses pembentukkan organ tersebut. Akibat adanya gangguan
tersebut, maka sel tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana
seharusnya dan menimbulkan berbagai cacat lahir yang dapat terjadi pada
organ luar maupun organ dalam.
Bahan teratogenik tidak hanya dapat menyebabkan kecacatan fisik. Bahan
tersebut juga dapat menimbulkan kelainan dalam hal psikologis dan
kecerdasan. Hal ini berhubungan dengan adanya gangguan pada

8
pembentukan sel-sel otak bayi selama ia dalam kandungan. Bila bayi terlahir
dengan cacat fisik yang nampak dan mungkin diperbaiki atau diterapi dengan
cara pembedahan (misalnya bibir sumbing dan kelainan katup jantung) maka
mungkin kecacatan anak dapat tertutup begitu anak menginjak dewasa dan
mencegah terjadinya gangguan-gangguan yang mungkin muncul saat bayi
dewasa. Namun hingga kini belum ditemukan cara untuk membalikkan
gangguan yang terjadi pada sel-sel otak, maupun kelainan pada metabolisme
anak sehingga bila sudah terjadi gangguan otak atau gangguan metabolisme
maka akan sulit bagi bayi untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Gambar. Cleft Lips


Menghindari Paparan Dengan Bahan Teratogen
Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk mengobati efek yang timbul
akibat paparan bahan teratogenik pada ibu hamil. Satu-satunya jalan yang
dapat dilakukan oleh ibu hamil dalam mencegah efek bahan teratogenik
adalah dengan menghindari paparan bahan tersebut pada dirinya. Untuk itu
perlu bagi ibu hamil untuk mengetahui dan memahami bahan-bahan apa saja
yang dapat memberikan efek teratogenik. Bahan teratogenik dibagi menjadi 3
kelas berdasarkan golongannya yaitu :
1. Bahan teratogenik fisik
Yaitu bahan yang bersifat teratogen dari unsur-unsur fisik misalnya radiasi
nuklir, sinar gamma dan sinar-X (sinar Rontgen). Bila ibu terkena radiasi
nuklir (misalnya pada tragedi chernobil) atau terpajan dengan agen fisik
tersebut maka janin akan lahir dengan berbagai kecacatan fisik. Tidak ada
tipe kecacatan fisik tertentu pada paparan ibu hamil dengan radiasi, karena

9
agen teratogenik ini sifatnya tidak spesifik karena mengganggu berbagai
macam organ.
Untuk menghindari terpajan agen teratogen fisik, maka ibu sebaiknya
menghindari melakukan foto Rontgen apabila ibu sedang hamil. Foto
Rontgen yang terlalu sering dan berulang pada kehamilan kurang dari 12
minggu dapat memberikan gangguan berupa kecacatan lahir pada janin.

2. Bahan teratogenik kimia


Bahan berupa senyawa-senyawa kimia yang bila masuk dalam tubuh ibu
pada saat kritis pembentukan organ tubuh janin dapat menyebabkan
gangguan pada proses tersebut. Kebanyakan bahan teratogenik adalah bahan
kimia. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati beberapa
penyakit tertentu juga memiliki efek teratogenik.
Alkohol merupakan bahan kimia teratogenik yang umum terjadi terutama di
negara-negara yang konsumi alkoholnya tinggi. Konsumsi alkohol pada ibu
hamil selama kehamilannya terutama di trisemester pertama, dapat
menimbulkan kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang dikenal
dengan fetal alkoholic syndrome. Konsumsi alkohol ibu dapat turut masuk
kedalam plasenta dan memperngaruhi janin sehingga pertumbuhan otak
terganggu dan terjadi penurunan kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga
dapat menimbulkan bayi mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh
dan anggota gerak bayi begitu ia dilahirkan.
Paparan rokok dan asap rokok pada ibu hamil terutama pada masa
organogenesis juga dapat menimbulkan berbagai kecacatan fisik. Ada
baiknya bila ibu berhenti merokok (bila ibu seorang perokok) dan
menghindarkan diri dari asap rokok. Ada baiknya bila sang ayah yang
perokok tidak merokok selama berada didekat sang ibu dalam kehamilannya.
Asap rokok bila terpapar pada janin-janin yang lebih tua (lebih dari 20
minggu) dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, atau
bayi kecil.
Obat-obatan untuk kemoterapi kanker umumnya juga bersifat teratogenik.
Beberapa jenis obat antibiotik dan penghilang rasa nyeri juga memiliki efek

10
gangguan pada janin. Obat-obatan yang menimbulkan efek seperti narkotik
dan obat-obatan psikotropika bila dikonsumsi dalam dosis besar juga dapat
menimbulkan efek serupa dengan efek alkohol pada janin. Untuk itu ada
baiknya bila selama kehamilan terutama trisemester pertama agar ibu berhati-
hati dalam mengkonsumsi obat dan hanya mengkonsumsi obat-obatan yang
dianjurkan oleh dokter.

Gambar. Bahan teratogen


Beberapa polutan lingkungan seperti gas CO, senyawa karbon dan berbagai
senyawa polimer dalam lingkungan juga dapat menimbulkan efek
teratogenik. Oleh karena itu, ada baiknya bila ibu membatasi diri dalam
bepergian ke tempat-tempat dengan tingkat polusi tinggi atau dengan
mewaspadai konsumsi makanan dan air minum tiap harinya. Hal ini karena
umumnya bahan tersebut akan mengendap dan tersimpan dalam berbagai
makanan maupun dalam air minum harian.

3. Bahan teratogenik biologis


Agen teratogenik biologis adalah agen yang paling umum dikenal oleh ibu
hamil. Istilah TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes
Simpleks) merupakan agen teratogenik biologis yang umum dihadapi oleh
ibu hamil dalam masyarakat. Infeksi TORCH dapat menimbulkan berbagai

11
kecacatan lahir dan bahkan abortus sampai kematian janin. Selain itu,
beberapa infeksi virus dan bakteri lain seperti penyakit sifilis juga dapat
memberikan efek teratogenik.
Ada baiknya bila ibu sebelum kehamilannya melakukan pemeriksaan
laboratorium pendahuluan untuk menentukan apakah ia sedang menderita
infeksi TORCH, infeksi virus atau bakteri lain yang berbahaya bagi dirinya
maupun kehamilannya. Bila dari hasil dinyatakan positif, ada baiknya bila
ibu tidak hamil lebih dulu sampai penyakitnya disembuhkan dan telah
dinyatakan fit untuk hamil.

1.1.3 Intrauterin Molding

Cedera nyata pada kelahiran dibagi menjadi dua kategori utama,


yaitu intrauterine molding dan trauma mandibula selama proses kelahiran.

Tekanan yang terjadi saat perkembangan wajah pada waktu


prenatal dapat mengakibatkan ditorsi area wajah. Pada suatu kasus, lengan
bayi menekan wajah bayi pada saat intrautero dan setelah lahir tampak
defisiensi maksila pada bayi tersebut.

Ketika kepala janin tertekuk terlalu keras ke arah dada pada saat
intrautero dapat menghambat perkembangan wajah, yaitu membuat
mandibula tidak tumbuh ke arah depan secara normal. Tidak normalnya
pertumbuhan mandibula ini akan mengakibatkan sangat kecilnya mandibula
bayi, dan kemungkinan juga disertai oleh celah palatum karena retriksi
ketika proses pada saat menutupnya palatum. Hal ini berkaitan dengan
berkurangnya volume cairan amnion.

Defisiensi mandibula saat lahir yang ekstrem ini dinamakan Pierre-


Robin anomaly. Sindrom ini mempunyai etiologi yang kurang jelas, bahkan
penyebab multipel dapat menuntun pada sequnce yang sama pada kejadian
yang menyebabkan deformitas. Berkurangnya volume pada rongga mulut
dapat membuat kesulitan bernafas saat lahir dan hal ini penting untuk

12
melakukan tracheostomy sehingga bayi dapat bernafas. Perpanjangan
mandibula melalui distraksi osteogenesis dapat membuat rongga saluran
nafas menjadi cukup dan tracheostomy dapat ditutup.

Oleh karena adanya tekanan terhadap wajah yang disebabkan


masalah pertumbuhan tidak akan ada setelah kelahiran, ada kemungkinan
pertumbuhan normal setelah itu dan mungkin nantinya pemulihan
menyeluruh. Beberapa anak dengan sequence sindrom Pierre-Robin saat
lahir memiliki pertumbuhan mandibula yang menguntungkan setelahnya,
tetapi beberapa anak lainnya membutuhkan pembedahan.

Telah diestimasikan bahwa sekitar satu pertiga dari pasien sindrom


Pierre-Robin mempunyai kecacatan pada formasi tulang rawan dan dapat
dikatakan menderita sindrom Stickler. Kelompok ini memiliki potensial
pertumbuhan yang terbatas. Menyusul pertumbuhan kebanyakan seperti
ketika masalah murni yaitu restriksi pertumbuhan mekanik yang tidak ada
lama setelah lahir.

Tekanan pada saat intrauteri dan tekanan pada jalur lahir diteliti
juga dapat menyebabkan tidak simetrinya wajah. Tetapi hal ini biasanya
dapat kembali normal secara berangsur-angsur selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan.

1.1.4 Missing Teeth Congenital

Nama Lain:

Hypodontia: Dipakai
dalam skala kecil
saat jumlah gigi yang
hilang hanya 1 atau
sedikit (1-6 gigi
termasuk molar
ketiga)

13
– O l i g o d o n t i
gigi tanpa molar
ketiga)

– Anondontia: kasus yang parah menunjukkan kekurangan gigi


seluruhnya

– Aplasia / absence / agenesis / lack of teeth

Tidak adanya gigi secara kongenital berasal dari gangguan selama initial
stages pada proses pembentukan gigi, inisiasi dan proliferasi. Anodontia
adalah kehilangan seluruh gigi, merupakan bentuk ekstrem. Oligodontia
merupakan ketiadaan kongenital dari banyak gigi, tetapi tidak seluruhnya,
sedangkan istilah hypodontia yang jarang digunakan menggambarkan
keadaan kehilangan sebagian kecil atau hanya beberapa gigi. Karena benih
gigi susu menimbulkan benih gigi permanen, tidak akan ada gigi permanen
jika pendahulunya atau benih gigi susunya hilang. Namun, mungkin saja
gigi susu bisa muncul dan beberapa atau seluruh gigi permanen tidak
muncul.

14
Anodontia atau oligodontia biasanya berhubungan dengan abnormalitas,
ectodermal dysplasia. Seseorang dengan ectodermal dysplasia memiliki
rambut yang tipis dan jarang serta tidak memiliki kelenjar keringat di
samping mengalami kehilangan gigi yang khas. Namun, terkadang
oligodontia terjadi pada pasien yang tidak memiliki masalah sistemik yang
jelas atau sindrom kongenital.

Anodontia dan oligodontia jarang terjadi, tetapi hypodontia adalah yang


relatif umum ditemukan. Penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa
etiologi model multifaktor polygenic merupakan penjelasan terbaik dalam
etiologi. Secara umum, jika hanya satu atau beberapa gigi hilang, gigi yang
hilang pasti gigi yang paling distal, dari berbagai tipe yang diberikan. Jika
gigi molar hilang secara kongenital, gigi yang hilang hampir selalu molar
ketiga. Jika gigi incisivus yang hilang, gigi yang hilang hamper selalu gigi
lateral. Jika premolar yang hilang, hampir selalu premolar ke dua dibanding
premolar pertama. Jarang sekali jika hanya gigi caninus yang hilang.

Anomali Dental yang Berhubungan dengan Kehilangan Gigi Kongenital

1. Formasi dan erupsi gigi yang tertunda

2. Reduksi ukuran dan bentuk gigi

3. Ektopia (timbul dijaringan yang abnormal) kaninus maksila

4. Ektopia erupsi gigi lain

5. Akar gigi yang pendek

6. Taurodontism

7. Rotasi gigi premolar dan atau insisiv lateral maksila

8. Hipoplasia enamel, hipokalsifikasi

Etiologi

1. Faktor lingkungan

15
 Trauma : fraktur, prosedur oembedahan pada rahang dan ekstraksi
gigi sulung sebelumnya

 Perkembangan gigi dipengaruhi oleh agen kemoterapi dan terapi


radiasi

 Anak-anak setelah terapi penyakit ganas diumur yang muda


memperlihatkan perkembangan akar yang terhenti dengan bentuk akar
V, akar dengan penutupan prematur apikalnya, hipoplasia enakmel,
mircrodontia dan hypodontia

 Prosedur radiasi lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan


agen kemoterapi

 Kehilangan gigi secara kongenital juga ditemukan pada beberapa


kasus bayi yang ibunya mengonsumsi thalidomide semasa
kehamilan.

 Tidak ditemukan hubungan antara hypodontia dan penyakit


sistemik atau gangguan endokrin

2. Faktor genetik

Walaupun agenesis gigi kadang kala disebabkan oleh faktor lingkungan,


sebagian besar kasus hipodontia disebabkan karena dasar genetik.

Pada hipodontia turunan, diturunkan melalui autosomal dominan dengan


penetrasi yang tidak sempurna dan hasilnya bervariasi. Autosomal resesif
juga mungkin terjadi. Mutasi pada transkripsi faktor MSX1 dan PAX9
diidentifikasikan dalam suatu keluarga dengan oligodontia autosomal
dominan. Mutasi missense ditemukan dalam sebuah keluarga dengan
premolar kedua dan molar ketiganya tidak ditemukan. Padahal seluruh
individu yang terpengaruh memiliki gigi sulung yang lengkap.

16
1.1.5 Malformasi Gigi

1.1.5.1 Germinasi

Geminasi adalah bergabungnya dua gigi dari organ enamel yang sama. Hasil
yang khas adalah pembelahan parsial dengan munculnya dua mahkota dan
hanya mempunyai satu saluran akar. Kadang terjadi pembelahan lengkap
atau kembar yang menghasilkan dua gigi dari satu tooth germ. Pada
geminasi, jumlah gigi normal tetapi ada satu gigi yang mahkotanya terlihat
lebih besar.

Prevalensi

Pada gigi sulung. Lebih sering terjadi pada incisivus.

Penatalaksanaan :

Pada gigi yang fusi, terdapat


groove pada bagian belakang gigi
(palatal / labial / lingual) yang
berpotensi untuk terjadinya karies
sehingga membutuhkan
penambalan. Jika gigi yang
anomali tidak tanggal pada
waktunya, dapat mengganggu
erupsi gigi permanen sehingga
membutuhkan ekstraksi gigi
sulung yang anomali atau yang
mengganggu erupsi gigi permanen.

1.1.5.2 Fusi

Fusi adalah suatu kondisi di mana dua gigi tumbuh bergabung menjadi satu
gigi, bersatu pada sementum, dentin, dan enamel. Pada fusi, terlihat adanya
dua pulpa dan dua saluran akar. Dapat terjadi fusi lengkap dan tidak
lengkap. Fusi lengkap yaitu bergabungnya dua gigi di sepanjang panjang

17
gigi. Fusi tidak lengkap yaitu bergabungnya dua gigi di sebagian panjang
gigi (misal : apakah akarnya saja, atau mahkotanya saja).

Penggabungan juga dapat terjadi karena menyatunya dua tunas gigi yang
normal, menjadi supernumerary teeth. Akan tetapi, pada kasus fusi yang
sebenarnya, jumlah gigi lebih sedikit dari jumlah gigi normal jika gigi yang
anomali dihitung sebagai satu gigi.

Penyebab

Tidak diketahui secara pasti. Trauma dapat menjadi penyebab fusi.

Prevalensi

Pada gigi sulung. Lebih sering terjadi pada incisivus.

Penatalaksanaan

Pada gigi yang fusi, terdapat groove pada bagian belakang gigi (palatal /
labial / lingual) yang berpotensi untuk terjadinya karies sehingga
membutuhkan penambalan.

Jika gigi yang anomali tidak tanggal pada waktunya, dapat mengganggu
erupsi gigi permanen sehingga membutuhkan ekstraksi gigi sulung yang
anomali / yang mengganggu erupsi gigi permanen.

Gambar. Fusi antara 1.1 dengan 1.2

18
1.1.5.3 Twinning

Istilah-istilah seperti double teeth, double formations, joined teeth, fused


teeth, atau twinning sering digunakan untuk mendeskripsikan fusion ataupun
germination, yang keduanya adalah abnormalitas dalam pertumbuhan gigi.

Fusion adalah penggabungan dua gigi yang sedang tumbuh menjadi satu
gigi, sehingga jumlah keseluruhan gigi lebih sedikit satu gigi dari jumlah
normal.

Gemination adalah gigi terlihat memiliki dua mahkota, tetapi setelah


dihitung jumlah keseluruhan, jumlahnya normal. Apabila gigi yang terlihat
memiliki dua mahkota tersebut dihitung dan ternyata jumlah keseluruhan
gigi lebih banyak daripada jumlah normal gigi, maka situasi seperti ini
disebut dengan twinning

Jadi dapat disimpulkan bahwa twinning adalah pembelahan lengkap satu


benih gigi menjadi dua gigi dan memiliki dua buah kamar pulpa. Twinning
terjadi karena adanya kelainan pada perkembangan embriologi gigi.
Sehingga gigi yang seharusnya tumbuh menjadi satu gigi mengalami
pembelahan dan menjadi dua gigi yang terpisah.

Situasi seperti ini dapat juga disebut gigi supernumerer. Gigi supernumerer
sendiri adalah gigi berlebih yang terjadi karena gangguan pada tahap
perkembangan inisiasi dan proliferasi gigi.

Gambar. Twinning pada regio anterior Rb (pada gigi 4.1)

19
Gambar diatas menunjukkan gigi supernumerer pada regio anterior rahang
bawah yang terjadi akibat benih gigi insisif 1 kanan bawah membelah
menjadi dua.

1.1.5.4 Concrescence

Definisi

Mengacu pada tipe fusi yang mana gigi yang terbentuk merupakan
penyatuan hanya sebatas garis sementum.

Etiologi

Kelainan ini terjadi sbelum atau sesudah erupsi, dan kausa lainnya yang juga
banyak terjadi disebabkan oleh karena trauma lokal, dental crowding, dan
dislokasi gigi selama pembentukan.

Epidemiologi

Jarang terjadi pada anak-anak. Predileksi terjadi kebanyakan pada gigi molar
kedua dan ketiga rahang atas.

Gambaran klinis

Perubahan yang terjadi pada gigi dapat dilihat dari gambaran radiografi

Treatment

20
Tidak memerlukan perawatan tertentu, karen gigi yang terkena bersifat
asimtomatik.

1.1.5.5 Mikrodontia

Mengacu pada gigi yang muncul dengan ukuran yang lebi kecil daripada
ukuran normal gigi. Terdapat beberapa pengertian mengenai mikrodonsia
ini, antara lain :

- Pseudomikrodonsia : gigi yang muncul lebih kecil dari gigi norma akibat
perluasan dimensi rahang.

- True microdontia : gigi yang ukurannya lebih kecil pada rahng yang
normal.

Etiologi

Multifaktorial. Dimana mirodosia ini jarang terjadi dan kalau terjadi


berhubungan dengan congenital hypopituarism, eksposure dari radioterapi
atau kemoterapi pada saat perkembangan gigi. Lebih umum terjadi pada
kasus mikrodonsia yang diikuti dengan hypodonsia.

Dapat juga dilihat pada beberapa sindrom seperti trisomi 21, sindrom
ektodermal dysplasia, Marshall1, Rieger, hypoplasi dermal fokal, dan
lainnya. Juga bisa ditemukan pada kasus celah bibir dan palatum.

Gambaran klinis

Muncul dengan bentuk mahkta yang biasa atau terkadang berbentuk


tappered (peg shape namun ukurannya lebih kecil dari variasi normalnya.

21
Mikrodontia pada seluruh gigi

Bentuk kerucut pada incisor lateral

Gambaran Radiografi Mikrodonsia

22
Epiemiologi

Presentasi kasus ini jarang pada gigip rimer sekitar 1%, lebih umum pada
gii permanen sekitar 2,5%, dan banyak terjadi pada wanita dibandingkan
pria. Predileksiya banyak pada gigi lateral atas dan molar ketiga atas.

Treatment

Perawatan microdontia biasanya meliputi pemberian restorasi estetik untuk


memperbaiki bentuk dan ukuran gigi, misalnya dengan pemasangan
mahkota tiruan (crown) atau dengan penambalan.Juga bisa dilakukan
perawatan orthodonti (pemakaian kawat gigi) untuk merapatkan ruangan
antar gigi-geligi bila diperlukan.

1.1.5.6 Makrodontia

Mengacu pada gigi yang ukurannya lebih besar dari variasi normal. Gigi
yang terkena bisa beberapa ataupun semuanya.

- Generalized macrodontia : kondisi gigi lebih besar dari normalnya yaitu


pada gigantisme

- Relative generalized microdontia : kondisi gigi lebih besar pada rahang


yang kecil

- Macrodontia of single teeth : kondisi ini jarang terjadi namun bisa dilihat
dengan etiologi yang belum diketahui. Gigi muncul dengan normal
kecuali pada ukurannya.

Gambaran Klinis

Ukuran gigi lebih besar dari normal. Biaanya tidak disertai kelainan
fisik. Namun dapat juga menyebabkan hipertrofi wajah.Jika terjadi secara
unilateral biasanya tidak menyebabkan hipertrofi wajah.

23
Incisor sentral lebih besar dari normal

Etiologi

Multifaktorial. Biasanya kasus mikrodonsia ini bisa ditemukan pada kasus


ptituary gigantism, orang dengan rahang yang kecil. Makrodonsia yang
terlokalisir biasanya ditemukan pada kasus uilateral facial hyperplasia
sebagai hasil dari perkembangan yang berlebihan dari benih gigi.

Makrodonsia juga bisa berhuungan dengan congenitalhemifacial hypertrofi


dan beberapa sndrom genetik lainnya seperti : carnifacial dysostosis,
otodental syndrom, Sturge-Weber sindrom.

Epidemiologi

Jarang terjadi pada anak-anak. 1,1, % pada primary dentition. Predileksi ada
gigi premolar kedua bawah, molar ketiga bawah, insisiv sentral atas, dan
biasanya bilateral simetris.
1.1.5.7 Gigi Supernumerer

Kondisi dimana munculnya gigi supernumerari pada lengkung rahang.

Morfologi giginya bisa normal maupun anomali, dan dilihat dari bentuk dan

ukurannya juga irregular.

Etiologi

24
Kelainan terjadi karena abnormalitas daripada proses kontinuitas dental

lamina. Etiologinya juga bersifat multifaktorial, bisa ditemukan jga pada

kasus sindrom lainnya seperti Gardner’s syndrom, cleidocranial dysplasia,

dan lain-lain.

Epidemiologi

Primary dentition : 0,3-0,6 % dan Permanent dentition : 1 – 3,5%,

kebanyakan terjadi pada maksila dengan ratio 9:1, supernumerary pada

primary dentition diikuti juga pada supernumerary permanen dentition

sebanyak 30-50% kasus. Lebih sering mengenai pria dibanding wanita

dengan rasio 2:1, dan variasi pada etnik yang ada.

Lokasi

bisa

terjadi

pada

midline regio incisal pada maksila (mesiodens), dan pada area molar ketiga,

dan premolar.

Gambaran klinis

Bentuknya suplemental, conical, turbulate atau seperti dontoma. 75%

gigi dapat tinggal dalam tulang dan impaksi, bisa dilihat secara radiografis.

25
Treatment

Bisa dilakukan dengan menghilangkan gigi supernumerari lalu diikuti

dengan orthodontik pada area yang terkena.

1.1.6 Gangguan Pertumbuhan Skeletal

1. Hipoplasia Maksila
Hipoplasia maksila merupakan kondisi tidak berkembangnya tulang
dari rahang atas. Kondisi ini memberikan kesan wajah cekung atau concave
dan membuat rahang bawah terlihat seperti protrusi walaupun tidak ada
kelainan anatomi.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan genetik atau anomali
perkembangan, seperti celah bibir dan langit-langit, biasanya lebih sering
pada celah bilateral. Seiring degnan berjalannya pertumbuhan wajah anak,
rahang atas gagal mengikuti progres pertumbuhan dari rahang bawah, dan
geligi pada rahang atas terposisi di belakang geligi rahang bawah.
Hipoplasia maksila juga bisa didapat pada usia tertentu, biasanya
akibat dari pencabutan gigi dengan rencana yang kurang baik. Bila gigi
dicabut dari rahang atas, maka rahang atas akan gagal berkembang dan
dapat menjadi cekung.
Hal yang dikhawatirkan dari kondisi ini dapat dilihat dari sisi estetik.
Penampilan wajah cekung dapat mengundang perhatian yang tidak
diinginkan dan dapat membuat pasien tidak nyaman. Selain itu, kondisi ini
juga dapat menyebabkan kesulitan makan dan dapat menyebabkan berbagai
akibat lain kedepannya. Oleh karena itu, pembedahan direkomendasikan
sebagai bentuk terapi koreksi. Hal ini perlu dikonsultasikan dengan dokter
gigi spesialis orthodonti yang dapat melakukan reposisi gigi pada mulut.
Tatalaksana pembedahan hipoplasia dapat bervariasi, bergantung
kepada jenis kasusnya. Dengan prinsip pembedahan orthognatik, maxilla
dapat dimajukan ke depan sehingga hubungan dengan rahang bawah, antar

26
bibir, dan dengan hidung dapat normal kembali. Pembedahan ini biasanya
dilakukan pada usia remaja setelah pertumbuhan rahang selesai.

Gambar Pasien hipoplasia maksila akibat cleft sebelum dan sesudah

2. Hipoplasia Mandibula
Hipoplasia mandibula merupakan kondisi tidak berkembangnya rahang
bawah. Kondisi ini sering juga disebut mikrognatia, yaitu kondisi dimana
mandibula memiliki ukuran kecil.
Hipoplasia mandibula sering kali merupakan kondisi kongenital, namun
dapat juga akibat dari trauma atau injury. Penyebab dari kondisi kongenital
biasanya sulit diketahui, namun biasanya merupakan defek kelahiran. Area
lain yang terpengaruhi meliputi telinga, rahang atas, dan hidung.
Secara klinis, kondisi ini terlihat sebagai penyimpangan bentuk dagu
dengan penampakan wajah sekitar yang asimetris. Komplikasi dapat terjadi
dan tergantung dari keparahan kondisi, termasuk kesulitan bernafas,
menelan, dan mengunyah, yang akan menyebabkan sleep apnea atau snoring
(mengorok) dan pengurangan berat badan akibat kegagalan perkembangan
pada bayi.
Hipoplasia mandibula dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan klasifikasi
Pruzansky:
1. Grade 1
Mandibula kecil walaupun bentuknya normal.

27
2. Grade 2
Mandibula hipoplastik atau tidak berkembang dan mengalami malformasi.
3. Grade 3
Mandibula mengalami hipoplastik dan malformasi yang parah.
Tatalaksana untuk hipoplasia mandibula meliputi pembedahan rekonstruktif.
Pembedahan ini tergantung dari keparahan bentuk rahang bawah dan tulang
dan otot wajah sekitar. Pada intinya, mandibula dibuat kembali dengan
cangkok tulang. Pembedahan biasanya dilakukan oleh dokter bedah
maxillofacial atau bedah mulut. Pembedahan ini cukup kompleks, karena
fungsi dari rahang bawah yang bermacam-macam selain dari fungsi estetik.

Gambar Mandibula normal dan hipoplasia

1.1.7 Dental Anomaly

Amelogenesis Imperfecta

Amelogenesis imperfect merupakan kondisi herediter yang mengenai email


gigi. Keadaan ini dibagi menjadi tiga subdivisi berdasarkan tanda klinis,
jenis gangguan, asal dari gangguan baik dari gen autosomal resesif atau
berhubungan dengan gen X.

Tipe amelogenesis imperfecta yang berhubungan dengan kerusakan tahap –


tahap ini yaitu :

1. Tipe hypoplastic (focal atau generalized)

28
yang menunjukkan penurunan pembentukan matriks email disebabkan
gangguan fungsi ameloblasts. Terdapat penurunan jumlah matriks email
selama pada saat proses pembentukan gigi. Pengurangan ketebalan email
ini dapat menghasilkan bentuk mahkota yang abnormal.
2. Tipe hypocalcified (hypomineralised)
yang menunjukkan defek yang lebih berat
dalam mineralisasi matriks enamel.
Ketebalan email sama pada kasus ini,
namun matriksnya tidak termineralisasi
dengan normal. Ketika gigi pertama
erupsi, emailnya lunak dan oleh karena itu
mudah aus oleh keadaan mulut yang buruk. Tampilan warna email adalah
coklat kekuningan hinga oranye dan kemudian berubah coklat kehitaman
setelah erupsi karena adanya sisa makanan
3. Tipe hypomaturation
yang menunjukkan perubahan yang lebih ringan dalam mineralisasi
kristalit enamel yang immature dimana letaknya focal atau generalized.
Kadang sulit dibedakan dengan tipe hypomineralised. Tanda dan gejala
yang sama yaitu lebih lunak dan tampak perubahan warna. Ketebalan
enamel normal namun kekerasannya tidak normal dan translusen.
Radiodensitas enamel sama dengan dentin

Dentinogenesis Imperfecta

Abnormalitas pada dentin biasanya


dilatar belakangi oleh kelainan herediter
pada gen autosomal dominan. Pada
umumnya, terdapat kegagalan pada
pembentukan dentin setelah proses insial
deposisi lapisan dentin. Akibat dari ini,
menghasilkan abnormalitas berupa akar pendek atau tanpa akar. Terdapat
dua kelainan dentin yaitu deninogenesis imperfect dan dentinal dysplasia.

29
Terdapat tiga tipe berbeda dari dentinogenesis imperfecta, yaitu sebagai
berikut:

1. Tipe I dentinogenesis imperfecta yang terjadi bersamaan dengan


osteogenesis imperfect.

2. Tipe II dentinogenesis imperfecta yang terjadi tidak bersamaan dengan


osteogenesis imperfecta

3. Tipe III dentinogenesis imperfecta yang terjadi pada populasi


Brandywine di Maryland Selatan, Amerika.

Tipe I dan II memiliki tampilan klinis yang serupa dan hanya bisa
dibedakan jika disebutkan ada tidaknya osteogenesis imperfect. Pada
dentinogenesis imperfect ini, mahkota gigi mengalami perubahan warna
dan memiliki bentuk ovoid dikarenakan adanya konstriksi. Dapat terjadi
fraktur pada lapisan email dikarenakan adanya pelemahan lapisan dentin.

Dentinal Dysplasia

Displasia dentin merupakan suatu kelainan herediter dari dentin yang


ditandai oleh perubahan-perubahan dalam bentuk pulpa dan radiolusensi-
radiolusensi idiopatik dari apeks akar.

Terbagi menjadi 2 tipe, yaitu :

1. Tipe I, baik gigi sulung maupun


permanen memiliki bentuk normal,
namun secara radiografis pada akar
terdapat abnormalitas, yaitu akar
pendek atau bahkan tidak ada akar.
Begitu juga dengan pulpa dan
kanalisasi akar dipenuhi oleh masa dentin
2. Tipe II, dentinal dysplasia tipe ini menyerang gigi sulung saja
sedangkan gigi permanen memiliki bentuk yang normal namun dapat
memiliki cacat pada saluran akal dan pulpa.

30
Untuk menegakkan diagnostik maka diperlukan foto radiografi, baik
penyinaran intraoral Xrays atau foto panoramic, keduanya sama-sama
sangat berguna. Sehingga kontur dan penampilan dari akar dan saluran
pulpa dapat jelas terlihat.

Hipoplasia Enamel

Enamel hypoplasia merupakan gangguan pembentukan gigi yang


berakibat cacat pada permukaan email yang terlihat secara makroskopis.
Walaupun jika dilihat secara definisi, bentuk hypoplastik dari
amelogenesis imperfecta juga termasuk, namun dalam konteks enamel
hypoplasia hanya untuk lesi pada email yang terjadi seiring dengan
gangguan sistemik.

Jika pada amelogenesis imperfect tipe hipoplastis, pada seluruh gigi


menunjukkan abnormalitas, namun pada hipoplasia enamel ini, hanya
beberapa gigi yang menunjukkan abnormalitas.

Lingkungan dan faktor genetik yang mengganggu pembentukan gigi


dianggap bertanggung jawab atas EH. Ini termasuk trauma pada gigi dan
rahang, intubasi bayi prematur, infeksi selama kehamilan atau masa
kanak-kanak, miskin pra-natal dan post-natal gizi, hipoksia, paparan
bahan kimia beracun dan berbagai kelainan herediter. Sering, penyebab
EH di anak tertentu sulit untuk ditentukan. Penyebab umum terjadinya
enamel hypoplasia ini ialah overdosis fluoride. Tetracycline juga dapat
menyebabkan enamel hypoplasia.

Gambar enamel
hipoplasia pada gigi posterior

31
1.1.8 Disproporsi Ukuran Gigi dengan Rahang
Crowding
PERAWATAN
• Dilakukan sesuai dengan kasusnya, penyebabnya krn faktor rahang /
gigi,disesuaikan pula dengan usianya
• Ekstraksi gigi
• Memaks. perkembangan rahang ( saat pertumbuhan cepat, ± 8 thn )
• Alat orto lepasan / cekat + kontrol ke drg

Diastema

Bishara (1972) menyatakan bahwa diastema adalah celah atau


ruang antara gigi geligi yang dapat terjadi pada gigi geligi atas dan bawah.
Secara ortodontik, diastema dibagi menjadi dua kategori, yaitu diastema
yang bukan disebabkan oleh perawatan ortodonti dan diastema yang
terdapat pada perawatan ortodonti.

Pada kategori pertama, diastema dapat terjadi pada periode gigi


geligi sulung. Hal ini umumnya normal terjadi di sebelah distal gigi insisif
kedua atas dan gigi kaninus bawah.

Pada periode gigi geligi bercampur, diastema dapat terjadi pada


masa perkembangan gigi geligi anatara usia 7-12 tahun, dan hilang setelah
erupsi gigi kaninus. Diastema karena pengaruh faktor genetika umumnya
terjadi pada antara gigi insisif pertama dan atau gigi insisif kedua atas.

32
Pada kategori kedua, diastema antara gigi kaninus dan premolar
kedua dapat terjadi pada perawatan ortodonti dengan pencabutan gigi
premolar pertama. Diastema dapat terjadi juga antara gigi insisif kedua
dan kaninus, hal ini dpat terjadi karena ketidaksesuaian besar gigi yang
dicabut pada satu rahang atau antar rahang.

Menurut pendapat lain, diastema terdapat dua macam, yaitu:

a. Lokal, jika terdapat di antara 2 atau 3 gigi.


b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi.

Gambar: Diastema pada periode gigi geligi sulung.

Gambar: Diastema sentral pada gigi dewasa.

Etiologi diastema bermacam-macam, diantaranya:

a. Frenulum labial yang terlalu menonjol dan terlalu meluas ke


proksimal, sehingga akan menahan pergeseran gigi insisif sentral untuk
saling mendekat pada saat erupsi.

33
b. Kehilangan gigi secara kongenital.
c. Gigi yang bentuknya lebih kecil dari normal.
d. Ketidakcocokan antara ukuran gigi dengan tempat yang tersedia
pada lengkung rahang.
e. Faktor genetika.
f. Pengaruh kebiasaan buruk, seperti menghisap jari.

Perencanaan tatalaksana untuk diastema, yaitu pertama-tama


menghilangkan atau memperbaiki faktor penyebab diastema, seperti
dilakukannya frenoktomi untuk menghilangkan bagian frenulum yang
menyebabkan diastema, membuatkan gigi tiruan pada gigi yang bentuknya
lebih kecil dari normal, dan menghilangkan kebiasaan buruk pasien.

Selanjutnya, untuk beberapa kasus diastema, jika dibiarkan


diastema akan menutup dengan sendirinya. Namun, dapat juga dilakukan
prosedur perawatan, antara lain perawatan ortodonti atau penutupan celah
dengan komposit.

1.1.9 Disproporsi Ukuran Rahang Atas dan Rahang Bawah

Maloklusi adalah oklusi abnormal yang ditanda dengan tidak


benarnya hubungan antar lengkung di setiap bidang spatial atau anomaly
abnormal dalam posisi gigi. Maloklusi adalah kondisi oklusi intercuspal
dalam pertumbuhan gigi yang diasumsikan sebagai kondisi yang tidak
reguler. Keadaan ini dikenal dengan istilah maloklusi.. Maloklusi sering
pula tidak mengganggu fungsi gigi secara signifikan dan termodifikasi
pemakaian gigi.
Hubungan rahang satu sama lain bervariasi pada ketiga bidang
ruang, dan variasi pada setiap bidang bisa mempengaruhi oklusi.

Hubungan posisional antero-posterior dari bagian basal rahang atas


dan bawah, satu sama  lain dengan gigi-gigi berada dalam keadaan oklusi,

34
disebut sebagai hubungan skeletal. Keadaan ini kadang-kadang disebut
juga sebagai hubungan basis gigi atau pola skeletal.

Maloklusi Skeletal adalah penyimpangan hubungan rahang atas dan


rahang bawah terhadap kranium yang disebabkan oleh disproporsi ukuran,
bentuk atau posisi rahang.
Maloklusi skeletal dibagi menjadi 3 kelas yaitu:
Kelas I skeletal
Rahang berada pada hubungan antero-posterior yang ideal pada keadaan
oklusi.

Kelas II skeletal
Rahang bawah pada keadaan oklusi, terletak lebih ke belakang dalam
hubungannya dengan rahang atas, dibandingkan pada Klas 1
skeletal.retrognathic adalah profil wajah Klas II karena memiliki mandibula
yang lebih ke distal.

Kelas II Skeletal

35
Ciri-ciri dari maloklusi Klas II skeletal adalah meningkatnya konveksitas
atau bertambah besarnya sudut ANB.Pasien maloklusi skeletal Klas II yang
masih dalam tahap pubertas dapat dirawat secara ortopedik namun untuk
pasien yang telah melewati tahap pubertas, perawatan hanya dapat dilakukan
dengan pembedahan.
Maloklusi skeletal Klas II dapat disebabkan oleh maksila prognasi yaitu
bertambahnya maxillary depth atau sudut yang dibentuk antara bidang
Frankfurt dengan garis N-A.Maloklusi skeletal Klas II juga dapat
disebabkan oleh mandibula retrognasi yaitu berkurangnya facial depth atau
sudut yang dibentuk antara bidang Frankfurt dengan bidang fasial, N-
Pog.Kombinasi antara maksila prognasi dan mandibula retrognasi juga
merupakan maloklusi skeletal Klas II.Maloklusi Klas II skeletal dapat
dideteksi dengan mudah dengan melihat profil wajah pasien.Pada maloklusi
skeletal Klas II yang mandibulanya kecil atau maksilanya besar dapat
menyebabkan profil wajah yang konveks atau retrognathic.

Kelas III skeletal


Kelas III Skeletal (mesioklusi, oklusi prenormal) memiliki ciri khas yaitu
prognatik mandibula dan/atau defisiensi maksila, relasi Kelas III Molar, dan
letak insisivus mandibula lebih labial dibanding insisivus maksila. Pada
orang dewasa, perawatan dilakukan untuk kamuflase dan meningkatkan nilai
estetik dan fungsi. Seringnya dilakukan tindakan operasi pada kasus Kelas
III Skeletal yang berat.

Kelas III Skeletal

36
Protrusi bimaksila merupakan kondisi displasia skeletal dengan posisi
rahang atas dan rahang bawah terletak lebih ke anterior terhadap profil dan
basis kranial (Moyers,1998). Protusi bimaksila merupakan kelainan skeletal
kelas I divisi IV. Protrusi bimaksila merupakan protrusi yg berkaitan dengan
skeletal. Protrusi bimaksila berhubungan dengan ketidakseimbangan otot
orofacial. Sehingga, pada pasien yang menderita protrusi bimaksila
ditemukan bahwa bibirnya terbuka (lip incompeten) karena ketidak
seimbangan hubungan antara otot lidah dan bibir. Terdapat Protrusi
bimaksila dento-alveolar yang melibatkan a gigi rahang bawah dan atas
serta tulang rahang atas dan bawahnya lebih ke anterior (protrusif), tetapi
keadaan giginya merupakan hubungan kelas I.
Etiologi terjadinya protrusi bimaksila adalah adanya faktor genetik dan
lingkungan. Kebiasaan buruk seperti meghisap jari dan bernafas melalui
mulut merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi protrusi
bimaksila. Perawatan yang dilakukan untuk protrusif bimaksila bisa
menggunakan alat ortodonti cekat sedangkan untuk protrusif bimaksila
dento-alveolar dilakukan ekstraksi gigi premolar pertama rahang atas dan
bawah, baru dilakukan pemasangan alat ortodonti.

37
Normal Protrusif bimaksila

Protrusif bimaksila dento-alveolar

38
1.1.10 Postnatal
1. Intrinsik
a.Premature Loss
Ketika sebuah unit dalam lengkung gigi hilang, lengkung cenderung
mengkerut dan ruang akan menutup. Pada suatu waktu, penutupan ruang ini
disebabkan karena mesial drift dari gigi-gigi posterior, yang yakin dianggap
akan mengganggu oklusi. Dari pengamatan sementara, mesial drift adalah
fenomena yang terjadi hanya pada molar permanen. Alasan terbesar gigi ini
bergerak kearah mesial ketika sebuah ruangan terbuka adalah inklinasi
mesialnya. Data eksperimen mengatakan bahwa adanya kekuatan dari oklusi
akan menghambat mesial drift. Dengan kata lain, molar permanen akan
bergeser ke mesial lebih cepat pada ketidakhadiran kontak oklusal daripada
terdapat kontak oklusal.
Pergeseran dari molar 1 permanen karena terjadinya premature loss pada
molar kedua sulung dapat berkontibusi secara signifikan dalam
perkembangan crowding pada bagian posterior lengkung gigi. Hal ini
merupakan penyebab yang signifikan dari crowding dan ketidaksejajaran
dari premolar . untuk alasan ini, mempertahankan ruang setelah molar kedua
sulung tanggal diindikasikan.

Ketika molar 1 sulung atau kaninus tanggal sebelum waktunya, juga


cenderung menyebabkan ruang menutup. Hal ini terjadi biasanya karena
pergerakan ke distal dari gigi insisior, bukan karena mesial drift dari gigi
posterior. Dorongan untuk distal drift memiliki 2 sumber : kontaraksi aktif
dari serat transeptal gingival dan tekanan dari bibir dan pipi. Kemungkinan
dorongan dari serat transeptal gingival adalah kontibutor yang lebih
konsisten,sedangkan tekanan bibir menambahkan komponen variable.

39
Apabila caninus sulung atau molar pertama mangalami premature lost hanya
pada satu sisi, gigi permanen bergeser ke distal hanya pada sisi itu,
menyebabkan oklusi yang asimetris dan juga kecenderungan menuju
crowding.

Dari deskripsi ini, jelas early loss dari gigi sulung dapat
menyebabkan crowding dan ketidaksejajaran dalam lengkung dental.
Apakah hal ini merupakan penyebab utama dari masalah crowding kelas I?
pengaruh flouridasi dan pencegahan karies lainnya pada prevalensi
maloklusi tidak menunjukan indikasi. Walaupun flouridasi menurunkan
karies dan early loss gigi sulung secara signifikan, terdapat sedikit atau
tidak ada pengaruh terhadap prevalensi maloklusi.

Kehilangan gigi premature dapat disebabkan krena berbagai sebab,


yang terpenting adalah kecelakaan, ekstraksi akibat karies dan letak benih
gigi pengganti yang salah. Akibatnya kadang-kadang berupa munculnya
lebih awal gigi pengganti, tetapi lebih sering berupa penundaan erupsi dan
gangguan posisi gigi.

Karies parah dan ekstraksi premature gigi-gigi molar sulung


menyebabkan ruang yang disediakan untuk gigi premolar terancam,
terutama karena gigi-gigi molar bermigrasi ke mesial dan gigi kaninus ke
distal ( jarang ).

Hilangnya gigi molar pertama sulung sebelum waktunya pada maksila


dapat menyebabkan gigi kaninus atas kekurangan ruang. Jika molar kedua
sulung maksila hilang premature, dapat menyebabkan gigi premolar
pengganti tidak muncul, atau muncul kea rah lingual dari lengkung gigi.

b.Persistensi

Gigi sulung akan tanggal beberapa saat sebelum gigi permanen erupsi.
Namun sering dijumpai kasus dimana gigi sulung tidak tanggal walaupun
gigi permanen pengganti sudah erupsi yang disebut persistensi. Persistensi

40
gigi sulung adalah suatu keadaan dimana gigi sulung belum tanggal
walaupun waktu tanggalnya sudah tiba. Keadaan ini sering dijumpai pada
anak usia 6-12 tahun. Persistensi dapat terjadi karena berbagai faktor
penyebab, merupakan gangguan yang disebabkan multifaktor, salah satu
penyebabnya adalah gangguan nutrisi, trauma dan lain-lain. Gangguan
nutrisi dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan gigi. Gangguan
akan konsumsi vitamin A dapat menyebabkan terganggunya proses
kalsifikasi dari dentin dan enamel . Adanya persistensi dapat menyebabkan
gangguan erupsi gigi permanen, sehingga dapat menimbulkan bermacam-
macam anomali. Anomali yang disebabkan persistensi dapat diatasi dengan
perawatan ortodontik. Perawatan anomali dilakukan untuk mendapatkan
oklusi yang ideal serta estetis yang baik.

2. Ekstrinsik

a.Kebiasaan buruk

Thumb Sucking dan Finger Sucking

Walaupun sebagian besar anak-anak normal terlibat dalam non-


nutritive-sucking, kebiasaan menghisap yang terlalu lama dapat
menyebabkan maloklusi. Sesuai prinsip dasar, kebiasaan menghisap selama
masa gigi sulung sedikit yang memiliki efek jangka panjang. Jika kebiasaan
ini bertahan melebihi waktunya sampai gigi permanen mulai erupsi,
bagaimanapun, maloklusi ditandai dengan bagian yang merenggang dan
ruang pada incisor maxilla, incisor bawah kea rah lingual, anterior open bite,
dan lengkung atas sempit akan dihasilkan. Karakteristik maloklusi berkaitan
dengan sucking timbul dari sebuah kombinasi dari arah tekanan pada gigi
dan perubahan dalam pola pipi dalam keadaan istirahat dan tekanan bibir.

Ketika anak menempatkan jempol atau jari diantara gigi, biasanya posisi
berada pada sudut sehingga menekan incisor bawah kearah lingual dan
insisir atas kearah labial. Arah tekanan ini mungkin akan menyebabkan
displacement gigi incisor. Jumlah gigi yang berubah posisi berkorelasi
dengan berapa jam perhari sucking dilakukan daripada dengan besarnya

41
tekanan. Anak-anak yang menghisap dengan sangat kuat tetapi intermitten
mungkin tidak menggeser incisor terlalu parah, sedangkan yang lain yang
melalukan sucking 6 jam atau lebih dengan tekanan, terutama pada anak-
anak yang tidur dengan menghisap jari setiap malam, dapat mengakibatkan
maloklusi yang signifikan.

Anterior open bite berkaitan dengan thumbsucking timbul karena


sebuah kombinasi dari adanya gangguan pada erupsi normal dari incisor dan
erupsi berlebihan dari gigi posterior. Ketika jempol atau jari lain
ditempatkan diantara gigi anterior, mandibula harus diposisikan lebih
menurun untuk mengakomodasi hal itu. Jari tersebut akan menghambat
erupsi incisor. Pada waktu yang sama, pemisah rahang mengubah
equilibrium vertical pada gigi posterior, dan hasilnya, terdapat erpsi berlebih
dari gigi posterior yang sebaliknya mungkin terjadi. Karena geometri dari
rahang , elongasi 1 mm di posterior membuka gigitan sekitar 2 mm di
anterior, jadi hal ini dapat menjadi contributor kuat pada perkembangan
anterior open bite.

Walaupun tekanan negative dihasilkan dalam mulut selama sucking,


tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa hal ini menyebabkan
penyempitan lengkung maksila yang biasanya berhubungan dengan
kebiasaan menghisap. Bentuk lengkung dipengaruhi oleh perubahan dalam
keseimbangan tekanan pipi dan lidah. Jika jari diletakkan diantara gigi, lidah
harus lebih kebawah, dimana menurunkan tekanan lidah melawan sisi
lingual dari gigi posterior atas. Pada saat yang sama. Tekanan pipi melawan
gigi ini meningkatkan kontraksi otot buccinators selama sucking. Tekanan
pipi paling besar pada sudut mulut, dan ini mungkin menjelaskan mengapa
lengkung maksila cenderung membebtuk V-shaped, dengan penyempitan
lebih besar pada caninus daripada molar. Seorang anak yang menghisap
dengan kuat lebih memiliki lengjung maksila yang sempit dibandingkan
anak yang hanya menempatkan jarinya diantara gigi.

42
Walaupun kebiasaan menghisap dapat menjadi contributor kuat untuk
maloklusi, sucking dapat tidak menimbulkan kelainan maloklusi berat
kecuali jika kebiasaan tersebut bertahan baik hingga masa gigi campuran.
Mild displacement dari incisor sulung sering terjadi pada usia 3-4 tahun dari
seorang thumbsucker, tetapi jika sucking dihentikan pada usia ini, tekanan
pipi dan bibir normal nantinya akan mengembalikan gigi ke posisi normal.
Jika kebiasaan ini bertahan setelah incisor permanen erupsi, perawatan
ortodontik mungkin mutlak untuk mengatasi tooth displacement.
Penyempitan lengkung maksila. Pada beberapa anak, jika lengkung maksila
diperluas secara transversal, maka protusi incisor dan open bite anterior akan
membaik dengan spontan. Tidak ada nilai untuk memulai terapi ortodontik,
tentu saja, sampai kebiasaan tersebut dihentikan.

Wajah asimetris juga dapat disebabkan karena selalu tidur pada satu sisi
dari wajah.

Tounge Thrusting

Tounge thrust swallow dapat menjadi factor etiologi dalam maloklusi.


Didefinisikan sebagai menempatkan ujung depan lidah diantara gigi incisor
selama penelanan.

Penelitian mengindikasikan seseorang yang menempatkan ujng depan


lidahnya ketika menelan biasanya tidak memiliki kekuatan lebih pada lidah
melawan gigi daripada orang yang menjaga lidahnya tetap dibelakang.
Istilah tounge thrusting oleh karena itu merupakan sesuatu yang keliru, sejak
hal ini menyiratkan bahwa lidah memiliki kekuatan lebih untuk mendorong
kedepan. Menelan bukan merupakan kebiasaan yang dipelajari, tetapi
diintegrasikan dan dikontrol secara fisiologis pada level dibawah sadar
(subconscious). Orang dengan anterior open bite maloklusi menempatkan
lidahnya diantara gigi anterior ketika menelan sementara orang dengan
hubungan incisor normal tidak melakukannya.

Karena pergerakan terorganisasi pada lidah posterior dan elevasi


mandibula cenderung berkembang sebelum protrusi ujung lidah diantara

43
gigi-gigi insisif menghilang, yang disebut “tounge thrusting” pada anak-
anak adalah biasanya tahap transisi normal pada penelanan. Selama transisi
dari penelanan infantil menjadi mature, seorang anak bisa diperkirakan
melewati sebuah tahap dimana penelanan dilakukan oleh aktivitas muskular
untuk menyatukan bibir, memisahkan gigi-geligi posterior, dan protrusi
kedepan oleh lidah diantara gigi-gigi. Ini juga merupakan deskripsi
penelanan “tounge thrust” klasik. Penundaan pada transisi penelanan normal
dapat diperkirakan ketika seorang anak memiliki kebisaan sucking.

Ketika ada sebuah open bite anterior dan atau protrusi insisif atas,
sebagaimana seringnya terjadi dari kebiasaan sucking, lebih sulit untuk
mengunci bagian depan mulut selama makan untuk mencegah makanan atau
cairan keluar. Menyatukan bibir dan menempatkan lidah diantara gigi-
anterior yang terpisah adalah langkah yang berhasil untuk menutup bagian
depan mulut dan membentuk segel anterior. Dengan kata lain, penelanan
“tounge thrust” adalah adaptasi fisiologis yang berguna jika anada memilki
open bite, yang mana mengapa seseorang dengan open bite biasanya juga
memiliki penelanan “tounge thrust”. Tapi tidak terjadi sebaliknya, tounge
thrust juga ada pada anak-anak dengan oklusi anterior yang baik. Setelah
kebiasaan sucking berhenti, open bite anterior biasanya cenderung menutup
spontan, taoi posisi lidah diantara gigi anterior bertahan walaupun openbite
sudah tertutup. Hingga open bite menghilang, segel anterior oleh ujung lidah
tetap penting.

Sudut pandang modern adalah bahwa tounge thrust terlihat secara primer
dalam 2 tahap: pada anak kecil dengan oklusi normal yang wajar, yang mana
menunjukan hanya tahap transisional pada maturasi fisiologis normal; dan
pada orang-orang disegala usia dengan displacement insisif, yang mana
merupakan adaptasi terhadap jarak antara gigi. Keberadaan overjet dan
anterior openbite pada anak-anak atau orang dewasa sering menyebabkan
penempatan lidah diantara gigi anterior. Sebuah penelanan tounge thrust
harus dianggap hasil dari displacement insisif, bukan penyebabnya.

44
Memperbaiki posisi gigi dapat menyebabkan perubahan pada pola
penelanan, dan ini biasanya terjadi.

Respiratory Pattern

Pernafasan dapat menjadi penentu utama dari postur rahang dan lidah.
Oleh karena itu, terlihat seluruhnya masuk akal bahwa pola pernafasan yang
berubah, seperti bernafas melalui mulut daripada melalui hidung, dapat
mengubah postur dari kepala, rahang dan lidah. Perubahan ini dapat
mengubah keseimbangan dari tekanan pada rahang dan gigi dan
mempengaruhi posisi pertumbuhan rahang dan gigi. Apabila postur ini
perubahan ini dipertahankan, peninggian wajah akan meningkat, dan gigi
posterior akan terjadi super-erupt,
kecuali bila ada pertumbuhan vertikal
yang tidak biasa pada ramus,
mandibula akan ber rotasi kebelakang
dan kebawah, pembukaan gigitan
secara anterior dan peningkatan
overjet, dan peningkatan tekanan dari
pipi yang meregang akan dapat
menyebabkan arkus dental maksila
lebih sempit. Tipe maloklusi ini sering diasosiasikan dengan bernafas
melalui mulut.

Selama kondisi
istirahat, bernafas melalui
hidung lebih sering terjadi dari
pada bernafas melalui mulut.
Peningkatan kerja untuk
pernapasan nasal adalah secara
fisiologis diterima dan
sesungguhnya pernapasan lebih efisien dengan resistensi sederhana pada

45
sistem pernapasan. Apabila hidung terjadi obstruksi, kerja ketika bernapas
melalui hidung meningkat, dan pada level tertentu dari resistensi pada
alitran udara pada hidung, individu akan berpindah menjadi bernapas
melalui mulut. Pembengkakan dari mukosa hidung menimbulkan rasa
dingin umum kadang menjadikan seseorang bernapas melalui mulut sebagai
dampak dari mekanisme ini.

Penutupan pernafasan kronik dapat dihasilkan oleh peradangan yang


diperpanjang pada mukosa nasal dihubungkan dengan infeksi kronis. Juga
dapat dihasilkan oleh penutupan mekanis dimanapun diikuti dengan system
pernafasan nasal., dari nares ke choanae nasal posterior. Dibawah kondisi
normal, ukuran dari nostril adalah factor pembatas pada jalur udara hidung.
Tonsil faringeal normalnya besar pada anak-anak, dan penutupan sebagian
dari sumber ini dapat mengkontribusi ke pada bernafas melalui mulut pada
anak-anak. Seseorang yang memiliki penutupan nasal kronis dapat berlanjut
ke bernafas secara sebagian melalui mulut walaupun setelah penutupan
dihilangkan. Pada pengertian ini, bernafas melalui mulut bisa kadang-
kadang di sadari sebagai kebiasaan.

Pernafasan memberikan efek pada rahang dan gigi, ini akan terjadi
dikarenakan perubahan postur yang terjadi secara lama dan memberikan
tekanan pada jaringan lunak. Rahang akan terjadi perubahan perpindahan,
sebanyak oleh elevasi dari maxilla karena kepala memiring ke belakang
karena proses depresi mandibula. Ketika penutupan nasal di hilangkan,
postur asli pun secara langsung akan kembali. Respon fisiologi ini terjadi
pada derajat yang sama., tetapi, pada individu yang memiliki penutupan
nasal, dimana mengindikasikan bahwa itu bukan merupakan hasil total dari
pernafasan mendesak.

Terdapat hanya beberapa bukti kasus pada pertumbuhan fasial pada


anak-anak dengan jangka panjang total penutupan nasal, tetapi itu terlihat
bahwa dibawah hal ini pola pertumbuhan diubah pada jalur yang akan
diprediksi. Karena total obstruksi nasal pada manusia termasuk sangat
jarang, pertanyaan klinis yang penting adalah apakah obstruksi nasal

46
seb`agian, pada tipe yang terjadi sekali-sekali untuk waktu sebentar pada
setiap orang dan secara kronis pada anak-anak, dapat mengisyaratkan
maloklusi.

Pertanyaan yang menjadi sulit untuk dijawab, karena kita tidak bisa
mengetahui pola pernafasan sebenarnya pada setiap manusia.

Lip Sucking and Lip Biting

Menghisap dan menggigit bibir dapat muncul sendiri atau dapat disertai
dengan kebiasaan menghisap jempol. Pada kebanyakan kasus, biasanya bibir
bawah yang terlibat dalam sucking / kebiasaan menghisap, walaupun
kebiasaan menggigit bibir atas juga dapat terjadi. Bibir mandibula yang
berulang kali tertahan oleh gigi anterior maksila dapat menghasilkan
labioversi rahang, open bite, dan terkadang linguoversi gigi incisive
mandibula.

Sikap Tubuh/Postur

Orang dengan sikap tubuh yang tidak sesuai biasanya memiliki postur
mandibula yang tidak sesuai pula. Kedua hal ini merupakan ekspresi
kesehatan umum yang buruk. Di samping itu, orang yang suka menahan
postur tubuhnya tegak dan menarik kepala, menempatkannya pada kolom
tulang belakang hampir secara reflex memposisikan dagunya maju juga.
Postur / sikap tubuh merupakan ekspresi reflex otot yang dapat diubah /
dikoreksi.

Nail Biting

47
Menggigit kuku sering menjadi penyebab malposisi gigi. Ketegangan
dan rasa takut pada anak-anak biasanya akan menampilkan kebiasaan ini,
dan tidak jarang berhubungan juga dengan hubungan social dan
ketidakmampuan penyesuaian psikologis merupakan sesuatu yang penting
adalm klinis dibandingkan kebiasaan yang hanya merupakan gejala dari
dasar masalah. Hal ini terlihat secara umum lebih berdampak pada kuku
orang tersebut, dibandingkan efek pada giginya.

Other Habits

Kebiasaan mempertahankan posisi bayi telentang pada permukaan yang


datar dan keras dapat mencetak dan membentuk kepala dengan occiput yang
datar atau menghasilkan asimetri fasial. Kebiasaan meletakkan kepala di
atas bantal dan tidur dengan alas tangan, bagaimanapun juga dianggap
menambah. Kebiasaan menghisap pensil, dot, dan benda lain yang keras
dapat menjadi perusak pertumbuhan fasial seperti kebiasaan menghisap jari.
Postur kepala dan morfologi kraniofacial secara ekstensif diteliti. Solow dan
tallgren menemukan bahwa angulasi craniocervical menunjukkankorelasi
yang paling komprehensif dengan morfologi kraniofacial dan angulasi
craniofacial tersebut berhubungan dengan keterjalan mandibular plane.

b. Trauma

Sebagian besar anak-anak jatuh dan membentur gigi mereka selama dalam
usia pertumbuhan. Kadang-kadang, pengaruhnya sangat besar untuk
menghancurkan atau pergeseran parah pada gigi sulung atau permanen.
Dentral trauma dapat mengawali perkembangan maloklusi melalui tiga cara
yaitu :

1. Merusak benih gigi permanen dari kecelakaan pada gigi sulung


2. Penyimpangan ( drift ) dari gigi permanen setelah premature loss gigi
sulung
3. Cedera langsung pada gigi permanen
Trauma pada gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen dibawahnya.
Ada 2 hasil yang mungkin terjadi. Pertama, jika trauma terjadi ketika

48
pembentukan mahkota gigi permanen, pembentukan email akan terganggu
dan akan terjadi kelainan pada mahkota gigi permanen. Kedua, jika trauma
terjadi ketika mahkota sudah lengkap, mahkota mungkin akan bergeser
relative kea rah akar. Pembentukan akar dapat terhenti, meninggalkan akar
permanen yang pendek. Lebih sering, pembentukan akar berlanjut, tapi sisa
akar kemudian terbentuk pada ujung dari pergeseran mahkota yang
mengalami trauma. Distorsi akar ini disebut dilaserasi, diartikan sebagai
distorsi pembentukan akar. Dilacerasi dapat dihasilkan dari gangguan
mekanik bersamaan dengan erupsi, tapi kasus yang sering terjadi, terutama
gigi incisor permanen, trauma pada gigi susu yang juga menyebabkan
displace pada benih gigi permanen.
Jika distorsi posisi akar cukup parah, hampir tidak mungkin untuk
mahkota berada ada posisi yang tepat, mungkin karena akar memanjang
keluar melewati tulang alveolar. Untuk alasan ini, mungkin diperlukan
ekstraksi pada gigi yang mengalami dilacerasi parah. Trauma yang
menyebabkan displasment gigi permanen pada anak-anak harus di reposisi
sedini mungkin. Segera setelah kecelakaan, gigi yang utuh biasanya dapat
digerakkan kembali ke posisi semula dengan cepat dan mudah. Setelah
penyembuhan ( 2 sampai 3 minggu ), sulit untuk mereposisi gigi, dan
ankylosis dapat terjadi.

c. Penyakit Sistemik

Penyakit febril diketahui mengganggu perkembangan gigi selama


masa kehamilan dan masa awal pertumbuhan anak. Untuk kebanyakan
bagian, penakit sistemik lebih menimbulkan efek dibandingkan dengan
perkembangan gigi geligi. Maloklusi dapat jadi hasil sekunder dari
beberapa neuropati dan kelainan neuromuscular dan dapat jadi salah satu
hambatan pengobatan beberapa kelainan seperti skoliosis dengan
penggunaan alat dalam waktu panjang untuk tulang spinal yang
immobilisasi. Dokter gigi harus berkonsultasi dengan dokter anak sewaktu
anak dengan maloklusi memiliki masalah sistemik yang dapat

49
mempengaruhi terapi ortodontik. Tidak ada maloklusi yang diketahui akan
jadi pathognomonik pada penyakit anak yang lazim.

Resorpsi Tulang
Resorpsi tulang adalah proses remodeling tulang dimana osteoklas
melarutkan mineral-mineral tulang sehingga menimbulkan rongga kecil
pada tulang.
Pengaruh hormon terhadap resorpsi tulang
Hormon dan kalsium saling berkaitan dalam memperngaruhi struktur
tulang ; kepadatan tulang, remodeling tulang. Pada saat tulang mengalami
pertumbuhan, hormon pertumbuhan (Growth Hormon) atau somatotropin
disekresikan oleh lobus anterior hipofisis. Kemudian hormon tersebut
merangsang hati untuk menghasilakan hormon pertumbuhan mirip insulin
(Insulin-like Growth Hormon) atau somatomedin. Somatomedin memiliki
efek pertumbuhan umum.
Hormon lain yang juga berperan dalam mempengaruhi struktur tulang
yaitu Paratiroid Hormon (PTh) dan Kalsitonin. Kedua hormon ini bekerja
secara antagonis.
Ketika kadar kalsium di darah kurang, maka PTh akan memicu osteoklas
(sel penghancur tulang) yang berada di dalam tulang untuk bekerja. Sel
tersebut mengeluarkan zat yang bersifat asam yang kemudian akan
mengubah Kalsium yang disimpan dalam tulang menjadi bentuk ion yang
kemudian akan mengalir ke peredaran darah. Keadaan yang sebaliknya
ketika kadar kalsium berlebih di dalam darah, maka sel parafolikuler di
dalam tiroid akan menyekresikan hormon kalsitonin. Hormon ini akan
menghambar kerja osteoklas dan memicu osteoblas untuk memasukkan
kembali ion Ca ke dalam kolam kalsium di tulang. Kerja kedua hormon
inilah yang mempengaruhi struktur kepadatan tulang.
Estrogen mampu memperbaiki absorpsi kalsium, mengatur produksi
interleukin 1 dan 6 yang merupakan faktor dalam resorpsi tulang, mengatur
bahan-bahan yang merangsang pembentukan tulang seperti IGF (Insulin

50
Growth Factor) I dan II, serta Growth factor beta. Estrogen juga merangsang
sintesis kalsitonin yang dapat menghambat resorpsi tulang dan
meningkatkan reseptor vitamin D di osteoblas. Penambahan progesteron
pada terapi kombinasi memperlihatkan hasil yang lebih baik, namun
memiliki kemungkinan untuk menghasilkan efek samping tromboemboli.
Pemberian kombinasi estrogen dan progesteron mampu menurunkan risiko
terjadinya osteoporosis dan efek samping terapi.

Vitamin terhadap Metabolisme tulang

1. Vitamin D
Vitamin D sangat penting untuk kesehatan tulang, yaitu membantu
pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium dan fosfor tersedia di
dalam darah untuk di endapkan pada proses pengerasan tulang. Vitamin D
meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus sehingga cukup tersedia
kalsium untuk tulang. Vitamin D juga berpengaruh langsung pada tulang
dengan merangsang pembentukan sel-sel yang membentuk tulang.
Pada orang yang mengalami defisiensi vitamin D, terdapat penurunan
dalam absorbsi kalsium dalam usus. Konsentrasi ion kalsium menjadi turun,
diketahui dari sensor kalsium dalam kelenjar paratiroid, dimana terjadi
peningkatan produksi hormone paratiroid. Hormon paratiroid ini berfungsi
untuk mengimbangi penurunan absorbsi kalsium dalam usus dengan cara
meningkatkan mobilisasi kalsium yang tersimpan dalam tulang dan
meningkatkan reabsorpsi kalsium pada ginjal.
2. Vitamin C
Vitamin C berfungsi untuk membantu untuk pembentukan tulang,
dimana dapat membantu absopsi kalsium dengan menjaga agar kalsium
berada dalam bentuk larutan dan membantu pertumbuhan osteoblas. Fungsi
vitamin C yang lain yaitu berperan dalam berbagai reaksi hidrolisis yang
dibutuhkan untuk sintesis kolagen, karnitin dan seronin. Kolagen merupakan
senyawa protein yang mempengaruhi integritas struktur sel di semua
jaringan ikat.

51
Residual Ridge Resorption

Residual ridge resorption adalah resorpsi tulang alveolar yang terjadi


akibat tidak adanya gigi pada tulang alveolar.

52

Anda mungkin juga menyukai