Anda di halaman 1dari 39

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS
Nama Pasien : Ny. E
Umur : 25 tahun
No. DM : 31 72 28
Jenis Kelamin : Perempuan
Kawin/Tidak kawin : Kawin
Alamat : Sarmi
Pendidikan : SMA
MRS : 26 November 2015

1.2. DAFTAR MASALAH

NO Masalah Aktif Tanggal NO Masalah Inaktif Tanggal


1, Meningoencefalitis 26/11/2015 - - -
suspect viral
2. Encefalopati  1 26/11/2015 - - -

3. Kaku Kuduk  1 26/11/2015 - - -

3. Kejang tonik  1 26/11/2015 - - -

4. Hemiparese dextra 26/11/2015 - - -


spastik  1
5. Ulkus dimulut 26/11/2015 - - -
6. Butterfly rash 26/11 2015 - - -

1.3.. SUBYEKTIF

Anamnesis : (Tgl : 26 November 2015)

Laporan Kasus 1
1. Riwayat Penyakit Sekarang
I. Keluhan Utama : Kejang
II. Riwayat penyakit sekarang
 Lokasi : Intrakranial
 Onset : ± 1 Hari SMRS
 Kualitas : Kesan bagian kanan lemah
 Kuantitas : ADL (Activity Daily of Living )
Dependen
 Kronologis : Awalnya pasien merasakan nyeri kepala
yang hebat, demam (+), Kejang (+) 1 hari Sebanyak 3x.
selama > 5 menit. Sebelumnya belum pernah kejang. Kaku
semua bagian tubuh. Mulut tidak bisa terbuka, kemudian pasien
sulit berbicara (Afasia).
 Faktor yang memperberat : Tidak ada
 Faktor memperingan : Tidak ada
 Gejala Penyerta : Nyeri kepala,demam, kejang,
dan kaku kuduk positif.

2. Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat diabetes mellitus tidak ada.
 Riwayat trauma tidak ada.
 Riwayat Paru disangkal.
 Riwayat jantung tidak ada.
 Riwayat malaria (-)

3. Riwayat Kebiasaan
 Minum-minuman beralkohol (-)
 Riwayat merokok (-)

Laporan Kasus 2
 Riwayat makan pinang (+)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Pada keluarga pasien tidak ada yang mengalami sakit seperti pasien

5. Riwayat Sosial :
Pasien adalah Ibu rumah tangga (IRT)

1.4. OBYEKTIF

1. Status Presens :
Kesadaran : Apatis
GCS : kesan motorik eksremitas kanan lebih
lemah dari pada ekstremitas kiri
Tekanan darah : 100/60 mmhg
Suhu : 36,3 oC
Tinggi badan : 150 cm
Kepala : Normosefal
Leher : Simetris, Pembesaran kelenjar limfa (-)
Dada
 Jantung : Suara Jantung I, II normal ; bising (-)
 Paru : Sonor, Suara nafas vesikuler normal,
Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)
 Perut : Supel, Bising usus (+) Normal, H/L( tak
teraba besar).

2. Status Psikis
Cara berpikir : Sulit dinilai
Perasaan Hati : Sulit dinilai
Tingkah laku : Sulit dinilai
Ingatan : Sulit dinilai
Kecerdasan : Sulit dinilai

Laporan Kasus 3
3. Status Neurologis
Kepala : Bentuk : Normosefal
Nyeri tekan : Sulit dinilai
Simetris : (+)
Leher : Sikap : Baik
Pergerakan : Sulit digerakan
Kaku kuduk : Positif (+)

4. Nervus Kranialis

N.I ( Olfaktorius )
Subyektif : Sulit dinilai
Dengan Bahan : Sulit dinilai

N.II ( Optikus )
Tajam Penglihatan : Sulit dinilai
Lapang Penglihatan : Sulit dinilai
Melihat Warna : Sulit dinilai
Fundus Okuli : Sulit dinilai

N III (Okulomotorius), N IV (Throchlearis) dan N VI


(Abducens)
Pergerakan Bulbus : dalam batas normal
Strabismus : Tidak
Nistagmus : dalam batas normal
Eksoptalmus : -
Diameter Pupil : 3 mm/3 mm
Bentuk : bulat, isokor
Refleks Cahaya : +/+
Refleks Konsensual : Sulit dinilai
Refleks Konfergensi : Sulit dinilai
Diplopia : -

Laporan Kasus 4
Gerakan Bola mata :
(Kesegala Arah)

N V ( Trigeminus )
Membuka mulut : Sulit dinilai
Mengunyah : Sulit dinilai
Menggigit : Sulit dinilai
Refleks kornea : Sulit dinilai
Sensibilitas : Sulit dinilai

N VII ( Fasialis )
Mengerutkan dahi : Sulit dinilai
Menutup mata : dalam batas normal
Memperlihatkan gigi : Sulit dinilai
Bersiul : Tidak dilakukan
Sensorik 2/3 depan lidah : Tidak dilakukan

N VIII ( Vestibulochoclearis )
Tes Schwabach : Tidak dilakukan
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan

N IX ( Glosofaringeus )
Perasaan Lidah
(1/3 bgn belakang) : Sulit dinilai
Sensibilitas faring : Sulit dinilai

N. X ( Vagus )
Arcus pharingeus : Tidak dilakukan

Laporan Kasus 5
Berbicara : Afasia
Menelan : dalam batas normal
Nadi : 76 x/menit

  N. XI ( Accessorius )
Mengangkat bahu : simetris
Memutar kepala : sulit dinilai

N.XII ( Hypoglossus )
Mengulur lidah : dalam batas normal
Tremor lidah : Tidak ada
Artikulasi : Afasia

5. Badan dan anggota Gerak :


a. Badan
Respirasi : 24 x/m
Bentuk Kolumna Vertebralis : dalam batas normal
Pergerakan Kolumna Vertebralis : sulit dinilai
Reflex kulit perut atas : Tidak dilakuka
Reflex kulit perut tengah : Tidak dilakukan
Reflex kulit perut bawah : Tidak dilakukan

b. Anggota gerak atas


Motorik kanan kiri
Kekuatan : 0 5
Atrofi : - -
Lingkar lengan atas : 0 5
Lingkar lengan bawah : 0 5
Tonus : Normal Normal

Refleks
Biseps : + +

Laporan Kasus 6
Triseps : + +
Hoffman/tromner : - -
Radius : Tidak dilakukan
Ulna : Tidak dilakukan
Sensibilitas
Traktil : Tidak dilakukan
Nyeri : Sulit dinilai
Suhu : 36.3◦C
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Lokalis : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan

c. Anggota gerak bawah


Motorik
Kekuatan : 0 5
Pergerakan : 0 5
Tonus : lemah baik
Lingkar tungkai atas : Tidak dilakukan
Lingkar tungkai bawah : Tidak dilakukan

Refleks
Patella : +/+
Achilles : +/+
Babinsky : +/+
Chaddock : +/+
Schaefer : +/+
Oppenheim : +/+
Gordon : +/+
Gonda : +/+

d. Koordinasi Gait dan Keseimbangan

Laporan Kasus 7
 Cara berjalan : Tidak dilakukan
 Tes Romberg : Tidak dilakukan
 Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
 Atksia : Tidak dilakukan
 Rebound Phenomen : Tidak dilakukan
 Dismetri : Tidak dilakukan

e. Gerakan – gerakan abnormal


 Tremor : -
 Athetose : -
 Mioklonik : -
 Korea : -

f. Alat vegetatif
 Miksi : + (kateter)
 Defekasi : +

1.5. RESUME
Keluhan Utama : Kejang
 Kejang (+) 1 hari Sebanyak 3x. selama > 5 menit. Sebelumnya
belum pernah kejang. Kaku semua bagian tubuh. Mulut tidak
bisa terbuka, kemudian pasien sulit berbicara (Afasia).

Obyektif
Kesadaran : Apatis

Laporan Kasus 8
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 76 x/mnt
Pernafasan : 24 x/mnt
Nervus Kranialis : dalam batas normal
Motorik : 0 5 Hemiparese dextra spastik
0 5

1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG di IGD ( 26 November 2015)

Laboratorium (26 November 2013)


Darah Rutin : HB : 5,7 gr %
Lekosit : 6.790/mm3
Hct : 21,6 %
DDR : Negatif (-)

1.7. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : - Hemiparese dextra spastik
- Kaku kuduk (+)
- Kejang tonik
Diagnosis Topis : Meningen dan encephalon
Diagnosis Etiologi : Meningoencefalitis suspect viral

1.8. PLANNING
Program :
- Foto Thorax AP ( telah dilakukan)
- Darah Lengkap, Kimia Lengkap, Urin lengkap
- Pemeriksa sputum BTA
- Lumbal pungsi
- MRI
- Konsultasi paru
- Konsultasi kulit

Laporan Kasus 9
1. farmakologi :
 IVFD NaCl 0,9 % : D5% + Methilprednisolon 125 gram
+ Neurobion 1 Amp / 12 jam
 Inj Ranitidin 4 x 1 amp (iv)
 Inj Alinamin F 2x1 amp (iv)
 Inj Paracetamol 3 x 1 drips (iv) (Kalau perlu)
 Inj ceftriaxone 1 x 2 gram (iv)
 Albumin 100 ml 1x1 -> 3 hari (iv)
 Transfusi PRC 250 cc

2. Non farmakologi
 Pemasangan O2 2-3 liter/menit
 Pemasangan Kateter
1.9. PROGNOSIS

 Ad Vitam : Dubia
 Ad sanationam : Dubia
 Ad fungsionam : Dubia

1.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis
Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan
a. Uji Hematologi
Leukosit 6,79 ribu / Ul ♂ : 4 – 10 ribu / uL
Hemoglobin 5,7 g /Dl ♂ : 13,2 – 17,3 g/dL
Hematokrit 21,6 % ♂ : 40-52 %
Trombosit 459 ribu / Ul 150 – 440 ribu / uL
b. Kimia Klinik
Gula Darah
81 mg/dl ≤200 mg%
Sewaktu
Ureum 2,6 mg/dl 10 – 50 mg%
Kreatinin 0,8 mg/dl ♀ : 0,5 – 0,9 mg/dl
Protein 6,8 mg/dl ♀ : 2,6 – 6,0 mg/dl
Albumin 2,7 mg/dl 3,5 - 5,6 mg/dl
Kalium 3,8 mmol/L 3,5 – 5,5 mmol/L
Natrium 140 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Clorida 109 mmol/L 95 – 108 mmol/L

Laporan Kasus 10
c. Mikrobiologi
+ : 1 – 10 parasit / 100 lp
Malaria Negatif ++ : 11 – 100 parasit / 100 lp
+++ : 1 – 10 parasit / lp
++++ : >10 parasit / lp

1.11. FOLLOW UP RUANGAN

Tindakan Keterangan
Tanggal Catatan

27 S: - - O2 2-3 liter/menit Pada tanggal 28

November - Pemasangan IVFD NaCl 0,9 november 2015


Kesadaran: Apatis (sadar
2015 kontak inadekuat) % : D5%+ - Pemeriksaan widal :
Methilprednisolon 125 gram S. Thyposa (Negatif)
O: TTV: TD: 110/70, N:72
Sampai x/m, R: 22 x/m, SB: 36,0 oC + Neurobion 1 Amp / 12 - Pemeriksaan toraks
jam AP (infiltrat pada
02
Status Neurologis : - Inj Ranitidin 4 x 1 amp (iv) paru)
Desember Rangsang Meningeal : KK
(+), L/K (+/+), Brudz I,II,III - Inj Alinamin F 2x1 amp (iv)
2015
(-/-/-) - Inj Paracetamol 3 x 1 drips Pada tanggal 30

Reflek fisiologi : Bicep (+/ (iv) (Kalau perlu) november 2015


+), tricep (+/+), Patella - Inj ceftriaxone 1 x 2 gram - konsul. Dokter
(+/+), Achilles (+/+)
(iv) Kulit dan Paru
- Albumin 100 ml 1x1 -> 3
Reflek Patologi : Babinsky
(-/-), chaddock (-/-), gonda hari (iv)
(-/-), Gordon (-/-), - fucilex 5 gram
Oppenheim (-/-),
schaeffer (-/-) - Transfusi PRC 250 cc
- Pemasangan Kateter

Status Interna
Kepala/Leher : Ca (+/+),
SI (-/-), KGB : (-)
Thorax : Simetris, ikut
gerak napas , SN.
Vesikuler, Rho: -/-, Whz:
-/-, BJ I-II Reguler, Mur-
mur (-), Gallop (-)

Abdomen : Datar, supel,


BU (+), Nyeri tekan (-),

Laporan Kasus 11
hepar/lien(tidak teraba/tidak
teraba)

Ekstremitas : Akral
hangat, udema (-),CRT < 2
SO : Mata : pupil bulat
isokor,  ODS : 2,5 mm, RC
(+/+), GBM : baik ke segala
arah

Wajah : Simetris, Nampak


bekas varisela

Motorik : Hemiparese
dextra spastik
0 5

0 5

Vegetatif : Ma/Mi ( +/+ ),


Bab/Bak ( +/+ )

A: Meningoencefalitis
suspect viral

03 S: - - Pemasangan IVFD NaCl 0,9

Desember % : D5%+
Kesadaran: Apatis( sadar
2015 kontak inadekuat) Methilprednisolon 125 gram
+ Neurobion 1 Amp / 12
O: TTV: TD: 100/60, N:76
x/m, R:24 x/m, SB:36,5 oC jam
- Inj Ranitidin 4 x 1 amp (iv)
Status Neurologis : - Inj Alinamin F 2x1 amp (iv)
Rangsang Meningeal : KK
(+), L/K (+/+), Brudz I,II,III - Inj Paracetamol 3 x 1 drips
(-/-/-) (iv) (Kalau perlu)

Reflek fisiologi : Bicep (+/ - Inj ceftriaxone 1 x 2 gram


+), tricep (+/+), Patella (iv)
(+/+), Achilles (+/+)
- fucilex 5 gram
- Pemasangan Kateter

Reflek Patologi : Babinsky


(-/-), chaddock (-/-), gonda
(-/-), Gordon (-/-),
Oppenheim (-/-), schaeffer

Laporan Kasus 12
(-/-)

Status Interna
Kepala/Leher : Ca (+/+),
SI (-/-), KGB : (-)

Thorax : Simetris, ikut


gerak napas , SN.
Vesikuler, Rho: -/-,
Whz: -/-, BJ I-II Reguler,
Mur-mur (-), Gallop (-)

Abdomen : Datar, supel,


BU (+), Nyeri tekan (-),
hepar/lien(tidak teraba/tidak
teraba)

Ekstremitas : Akral
hangat, udema (-),CRT < 2”

SO : Mata : pupil bulat


isokor,  ODS : 2,5 mm, RC
(+/+), GBM : baik ke segala
arah

Wajah : Simetris
, Nampak bekas varisela

Motorik : Hemiparese
dextra spastik

0 5

0 5

Vegetatif : Ma/Mi ( +/+ ),


Bab/Bak ( +/+ )

A: Meningoencefalitis
suspek viral

Laporan Kasus 13
04-05 S: - - Pemasangan IVFD NaCl 0,9

Desember % : D5%+
Kesadaran: CM (mulai
2015 bicara lancar) Methilprednisolon 125 gram
+ Neurobion 1 Amp / 12
O: TTV: TD:110/70, N: 68
x/m, R:36,7 x/m, SB: oC jam
- Inj Ranitidin 4 x 1 amp (iv)
Status Neurologis : - Inj Alinamin F 2x1 amp (iv)
Rangsang Meningeal : KK
(-), L/K (-/-), Brudz I,II,III - Inj Paracetamol 3 x 1 drips
(-/-/-) (iv) (Kalau perlu)

Reflek fisiologi : Bicep (+/ - Inj ceftriaxone 1 x 2 gram


+), tricep (+/+), Patella (iv)
(+/+), Achilles (+/+)
- fucilex 5 gram
Reflek Patologi : Babinsky - Pemasangan Kateter
(-/-), chaddock (-/-), gonda
(-/-), Gordon (-/-),
Oppenheim (-/-), schaeffer
(-/-)

Status Interna
Kepala/Leher : Ca (+/+),
SI (-/-), KGB : (-)

Thorax : Simetris, ikut


gerak napas , SN.
Vesikuler, Rho: -/-,
Whz: -/-, BJ I-II Reguler,
Mur-mur (-), Gallop (-)

Abdomen : Datar, supel,


BU (+), Nyeri tekan (-),
hepar/lien(tidak teraba/tidak
teraba)
Ekstremitas : Akral
hangat, udema (-),CRT < 2”

SO : Mata : pupil bulat


isokor,  ODS : 2,5 mm, RC
(+/+), GBM : baik ke segala
arah

Wajah : Simetris, nampak


bekas varisela

Laporan Kasus 14
Motorik : Hemiparese
dextra spastik

0 5

2 5

Vegetatif : Ma/Mi ( +/+ ),


Bab/Bak ( +/+ )

A: Meningoencefalitis
suspect Viral

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Meningoensefalitis1


Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama
lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.

Laporan Kasus 15
Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang
disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi
secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak
yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia,
atau virus.Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus
atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut
meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator
radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam
parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada
ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan
menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala
yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi
dapat menyerang meningen maupun otak misalnya enterovirus.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan
yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis
purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan
piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii,
Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah
araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumonia pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok),Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeuruginosa.

2.2. Etiologi Meningoensefalitis2


Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
Tabel 2.1. Etiologi Penyebab Meningoensefalitis
Agen Penyebab
1.Virus
Togaviridae

Laporan Kasus 16
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela

Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan

Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon

Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza

Morbilivirus
Virus Campak

Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik

Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A

Laporan Kasus 17
Koksakivirus B
Ekhovirus

Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado

Rhabdoviridae
Virus Rabies

Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2

Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2

Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr

Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus

2. Bakteri
Haemophilus influenza

Laporan Kasus 18
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Mycobacterium tuberkulosa

3.Parasit
Protozoa
Plasmodium falciparum,
Toxoplasma gondii,
Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis),
Granulomatous amebic encephalitis

Helminthes
Taenia solium,
Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)

4.Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus
Paracoccidiodes

Laporan Kasus 19
Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung,
titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin
penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari
sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak
yang lebih erat dengan penderita agar utara terjadi penularan Mumpsvirus,
bila dibandingkan dengan penularan virus Measles atauVaricella-zoster.
Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan
invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak.
Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk
yang mengandung Togavirus.
Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak
strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya
kelinci,tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak
melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga
menimbulkan nekrosis neuron yang luas. Ensefalitis virus dibagi dalam 3
kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus
kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan
Arbovirus.
Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan
ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi
penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes
zooster, Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa. Virus penyebab
meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara
berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1), virus
gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr.
Di Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern
and Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis
California. Di Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah
endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling
banyak pada neonatus.
Ensefalitis Di Asia, Ensefalitis utara Jepang adalah penyebab
ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur

Laporan Kasus 20
tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis
pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan
dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi
Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster.
Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu
orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang
terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang
disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus. Pada umumnya
invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi
di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya
sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial, baik
di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang
besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses. Penyebab
karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan memperbanyak
diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada
komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H.
influenzae eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk
memulai infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcusdapat menyebabkan
meningitis pada semua kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari
40 tahun merupakan agen penyebab yang paling sering.

2.3. Anatomi dan fisiologi3


2.3.1. Anatomi Otak
Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan
jaringan yang terdapat di kepala. Otak terdiri atas otak besar atau
serebrum (cerebrum), otak kecil atau cerebelum (cerebellum) dan
batang otak (trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus oleh tiga

Laporan Kasus 21
selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang tengkorak dan
mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak
yang lembek dan halus sebagai penyerap goncangan akibat
pukulan dari luar terhadap kepala.

2.3.2. Histologi Susunan Saraf Pusat


Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari
susunan saraf pusat, akan terlihat adanya jaringan dengan warna
berbeda. Sebagian tampak berwarna putih dan sebagian lagi
berwarna agak gelap (kelabu). Atas dasar itu, susunan saraf pusat
dibagi menjadi substansia grisea yang berwarna kelabu dan
substansia alba yang berwarna putih. Warna kelabu ini disebabkan
oleh banyaknya badan sel saraf di bagian tersebut, sedangkan
warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut saraf yang
bermielin, sel saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat juga
dapat dibagi menjadi sel saraf dan sel penunjang. Sel penunjang
merupakan sel jaringan ikat yang tidak berfungsi untuk
menyalurkan impuls.
Pada sel saraf serabut dengan diameter besar ditandai
dengan nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk yang lebih
kecil dan gamma untuk yang lebih kecil lagi pada ujung-ujung
saraf yang membentuk sinaps, ternyata terdapat gelembung yang
menghasilkan macam-macam zat kimia. Karena demikian
banyaknya sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak
dapat dianggap sebagai sebuah kelenjar yang sangat besar.

2.3.3. Anatomi Selaput Otak


Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea
yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh
darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga
lapis, yaitu:
a. Lapisan Luar (Durameter)

Laporan Kasus 22
Durameter disebut juga selaput otak keras atau
pachymeninx. Durameter dapat dibagi menjadi durameter
cranialis yang membungkus otak dan durameter spinalis yang
membungkus medula spinalis. Di samping itu, durameter
masih dapat dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
meningeal yang lebih dekat ke otak (lapisan dalam) dan
lapisan endostium yang melekat erat pada tulang tengkorak.

b. Lapisan Tengah (Araknoid)


Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang
memisahkan durameter dengan piameter, membentuk sebuah
kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter dan
araknoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan
jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat
pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem
otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan
serebrospinal, bagian ini dapat dimanfaatkan untuk
pengambilan cairan otak yang disebut lumbal fungsi.

c. Lapisan dalam (Piameter)


Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya
akan pembuluh darah kecil yang menyuplai darah ke otak
dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini utara melekat erat
pada permukaan luar otak atau medula spinalis. Ruangan di
antara araknoid dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi
radang ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan
serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.

Laporan Kasus 23
Gambar. Struktur meningen dari luar

2.4. Epidemiologi Meningoensefalitis1


Distribusi Frekuensi Meningoensefalitis
a. Orang/Manusia
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium
tuberkulosa varian hominis dapat terjadi pada segala umur, yang
tersering adalah pada anak umur 6 bulan - 5 tahun. Insiden
meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada laki-laki yaitu
sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan
40% berusia di atas 15 tahun. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh
Japanese B encephalitis virus banyak menyerang anak berusia antara 3
tahun dan 15 tahun. Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada semua
umur, paling banyak kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun.
Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan
pengobatan dan 70-80% tanpa pengobatan. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas
itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes
simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan
mukokutaneus antara mulut dan hidung.
Infeksi - infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus
tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks
atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari

Laporan Kasus 24
ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat
berkembang menjadi viremia. H. influenzaepenyebab yang paling
sering di Amerika Serikat, mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000
anak di bawah 5 tahun. Insiden ini jauh lebih tinggi pada anak-anak
Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-masing 173 dan
409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin
juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa
cara tidak diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap
mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae juga empat
kali lebih besar pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih.

b. Tempat
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang
Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah
pedesaan.40 Sekitar 20.000 kasus ensefalitis terjadi di Amerika Serikat
setiap tahun, dengan ensefalitis herpes simpleks menyebabkan sekitar
10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Tick born
encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa (1-5%).
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar
luas di Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan
Kepulauan Pasifik Barat.
Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan
kasus pertama dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun 2002
ada 4.161 kasus yang dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500
kasus dilaporkan pada tahun 2003.20 Infeksi Plasmodium falciparum
tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara. Taenia Solium
tersebar di Amerika Latin dan Rickettsia di Amerika bagian tenggara.

c. Waktu
Meningoensefalitis arbovirus sebagian besar terjadi selama
bulan-bulan musim panas karena penularan virus terjadi oleh

Laporan Kasus 25
arthropoda seperti nyamuk atau kutu yang aktif selama waktu itu.
Infeksi virus parotitis lebih sering pada akhir musim dingin dan awal
musim semi. Infeksi herpes virus dan virus imunodefisiensi manusia
terjadi sporadis selama setahun.19 Infeksi dengan mumps virus bersifat
endemik sepanjang tahun. Di daerah 4 musim, puncak periode terjadi
pada musim dingin dan musim semi.
Bakteri dengan penyebab N. meningitidis dan S. pneumoniae
yang memuncak pada bulan-bulan musim dingin, H.influenzae
memperlihatkan penyebaran bifasik yang memuncak pada permulaan
musim dingin dan musim semi, dan L. monocytogenes yang terjadi
paling sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan atas pola
musiman ini terletak pada cara penularan organisme; Meningokokus,
Pneumokokus, dan Haemofilus menyebar melalui jalur pernapasan
biasa, dan Listeria didapat akibat kontaminasi melalui makanan atau
akibat berkontak dengan hewan ternak.

2.5. Patofisiologi Meningoensefalitis4

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui


peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan
kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam
bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain didekat otak.
Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi
telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi
peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah,
dan agregasi leukosit yang sudah mati.
Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan,
dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah
kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul
yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit
polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian

Laporan Kasus 26
pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui
virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam
tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus
melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin.
Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan
binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi
melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus.
Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui
kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau
secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes
simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus
menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus
dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali
rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil,
trombosis, dan mikroglia.
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk,
oleh karena Parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di
alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada
waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat. Infeksi yang
disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan
ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan
daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat
bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf
pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus
dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan
otak, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma
kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam kandungan, neonatus
menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll.

Laporan Kasus 27
2.6. Gejala Klinis5,6
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher,
vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-
kadang tanda neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keperawatan. Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat
kesadaran : compos mentis, incompos mentis (apatis, delirium,
somnolen, sopor, coma).
- Compos mentis : Sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun
lingkungan.
- Apatis : Sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera
menjawab bila ditanya.
- Delirium : Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak
gelisah, disorientasi dan meronta-ronta.
-Somnolen: Mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi
rangsangan, tetapi saat rangsangan dihentikan, pasien
tertidur lagi.
- Sopor : Penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya
dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang
nyeri yang hebat dan berulang-ulang
- Coma : Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respon terhadap nyeri.

Laporan Kasus 28
Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi,
lekas marah, dan kaku kuduk. Neonatus memiliki gambaran klinik
berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada
neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang,
konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia,
78% oleh streptokokus dan 10% oleh infeksi meningokokus. Gangguan
kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak
(usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah
terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol,
kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan
remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh
perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi,
halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan
Brudzinski positif.
Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit
juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali,
malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya
dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya
terjadi kaku kuduk, opistotonus,dapat terjadi renjatan, hipotensi dan
takikardi karena septikimia. Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus
ditandai dengan anoreksia dan malaise, diikuti pembesaran kelenjar
parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat. Pada meningitis
yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan timbulnya ruam
kulit makulo papular yang tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher,
dada dan badan.
Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala,
demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang
disebabkan oleh infeksi Famili Togavirus (memiliki gejala yang sangat

Laporan Kasus 29
bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya sindrom
demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf
pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan
infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa
letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang
tidak tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah,
yang sesudah sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang
berat. Gejala yang mungkin tampak dengan penyebab Japanese B
encephalitis virus adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang
menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis.
Pemeriksaan laboratorium berupa uji serologis misalnya ELISA
terhadap bahan atau cairan serebrospinal menunjukkan adanya IgM. Uji
fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang meningkat 4 kali lipat.
Tanda Kernig positif, Ketika klien dibaringkan dengan paha
dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan
sempurna. Tanda Brudzinski, tanda ini didapat apabila leher klien
difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi
pasif pada ekstremitas yang berlawanan.
Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak
saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat
4 jenis atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:

2.5.1 Bentuk Asimtomatik


Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis
hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.

2.5.2. Bentuk Abortif


Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti
infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal

Laporan Kasus 30
2.5.3. Bentuk Fulminan
Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
yang berakhir dengan kematian. Pada stadium akut terdapat
demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk,
sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma
yang dalam.

2.5.4. Bentuk Khas Ensefalitis


Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri
kepala ringan, demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas.
Kemudian muncul tanda radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti
kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur.
Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi
kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi,
gangguan bicara, gangguan mental.
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur
Cryptococcus neoformans berupa nyeri kepala akut atau
subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang ditemukan
defisit neurologis fokal. Gejala awal pada amuba
meningoensefalitis adalah radang hidung dan sakit tenggorokan
yang diikuti oleh demam dan sakit kepala, muntah, kaku kuduk
dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh kematian
penderita 1 minggu kemudian.

2.7 Diagnosis3, 7
A. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Pungsi lumbal
a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang

Laporan Kasus 31
merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang
mati dan bakteri.
b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan
serebrospinal, biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein,
dan kadar glukosa yang normal.
c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan
cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih,
tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.
d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis
yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan
trofozoit amuba.Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat
protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun.
Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau
meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.
Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema
papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial.Pada kasus
seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan
massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan
atau MRI kepala.

2. Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis
leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta
didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit.18
Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu
hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti
Diuretic Hormon) yang menurun.

b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai


500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan

Laporan Kasus 32
pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000,
dan test tuberkulin sering positif.

3. Pemeriksaan Radiologis
a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat
menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema
otak.
b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks,
diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus
dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.
c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti
disfungsi otak difus.

2.8. Pencegahan Meningoensefalitis1


2.8.1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor
resiko meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor
resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan terhadap
infeksi dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau aktif.
Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui
terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta
imunisasi aktif. Imunisasi aktif terhadap H. influenzae telah
menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasif, dengan
pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut. Imunisasi
untuk pencegahan infeksi Haemophilus influenzae (menggunakan
vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara
rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan.
Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup dalam kolam
renang dapat dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam
secara teratur, hindari berenang pada kolam air tawar yang
mempunyai temperatur di atas 250 C. Meningoensefalitis dengan
penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi

Laporan Kasus 33
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya
memenuhi syarat kesehatan, tidak over crowded (luas lantai > 4,5
m2/orang), dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan untuk Virus
Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif diberikan pada anak-
anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus.
Selain itu dilakukan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan
dilakukan prosedur pengamanan tindakan dan pekerjaan laboratorium.

2.8.2. Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit
sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat
pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Deteksi
dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangat penting
karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di
kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal
kelainan neurologik, pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian
integral yang tidak dapat dipisahkan.

2.8.3. Pencegahan Tersier


Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah
kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit
berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan
kelemahan dan kecacatan, dan membantu penderita untuk melakukan
penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis
jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu
fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi kecacatan,

2.9. Komplikasi1

Laporan Kasus 34
Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus,
epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang
disarafi N.III, N.IV, N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis
purulenta adalah efusi subdural, abses otak, hidrosefalus, paralisis
serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik.

2.10. Pengobatan1
Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan
ensefalitis. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg
iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks.
Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat
yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain
pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan
klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.
Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah
E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan
aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai.
Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis
tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan
etambutol. Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir
intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba
meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara
intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat
mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak
berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba
lainnya.

2.11. Prognosis Meningoensefalitis8


Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan
ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula
mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan
mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis

Laporan Kasus 35
(tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya
50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga
tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang
diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau
sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya.46,27
Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-
20% untuk campak, dan 1% untuk gondok.
Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala
sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus,
palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi.36
Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang
bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen,
dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang
terinfeksi oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala
neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien;
kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat seperti
hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari
50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari
rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam
implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan
kehilangan pendengaran.

BAB III

PEMBAHASAN

Laporan Kasus 36
Berdasarkan Anamnesis dan pemeriksaan fisik baik dalam status
interna dan neurologis di dapatkan, pasien an. Ny. E, umur 25 tahun masuk
rumah sakit dengan diagnosa Meningoensefalitis. Dari anamnesa yang
didapatkan pasien mengalami kejang, demam, nyeri kepala hebat, penurunan
kesadaran yang merupakan gejala utama dari meningoencefatitis. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan status interna dalam batas normal, status
neurologis di dapatkan kesadaran Apatis, rangsangan meningeal positif (kaku
kuduk) dan hemiparese dextra. Berdasarkan teori yang telah di bahas di Bab
II, di dapat pasien Ny.E berdasarkan Etiologi Ny.E mengalami peradangan
otak dan meningen, yang disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, atau protozoa
yang terjadi secara akut dan kronis.
Kejang yang dialami pasien adalah kejang tonik, dimulai dari fase
fleksi yang hebat, kemudian diikuti fase ekstensi yang lebih lama, disertai
gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata terbuka, bola
mata terputar keatas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan badan
(dada tertekuk ke pelvis). Fase fleksi menyebar keseluruh ekstremitas pada
seluruh tubuh, meliputi lengan lebih tampak daripada tungkai, dan otot-otot
proksimal lebih tampak dari otot-otot distal. Fase ekstensi mulai dengan
perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher. Mulut tertutup rapat
(lidah mungkin tergigit). Kejang yang dialami pasien durasinya 10-30 detik,
sampai pasien tidak dapat berbicara (afasia).
Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Banyak permasalahan
yang terjadi jika mengalami afasia salah satunya adalah pada pasien ini
mengalami kelemahan separuh badan sebelah kanan.
Pada pasien Ny.E didapatkan tanda dan gejala hemiparese dextra
spastik, penurunan kesadaran, rangsangan meningeal positif (kaku kuduk),
demam, nyeri kepala dan kejang tonik.

Penatalaksanaan pada kasus ini, pasien diberikan pengobatan metil


prednisolone (kortikosteroid) untuk menangani perdangan atau inflamasi
dalam berbagai penyakit, kemudian diberikan ranitidine untuk mengatasi
produksi asam lambung yang lebih, diberikan neurobion (vitamin B kompleks)
untuk melindungi sel-sel saraf, diberikan Paracetamol untuk menurunkan

Laporan Kasus 37
demam, diberikan ceftriaxone (antibiotik) untuk mengobati beberapa kondisi
akibat infeksi bakteri, diberikan alinamin F (vitamin B1 dan B2) merupakan
zat-za penting untuk saraf dan metabolisme karbohidrat, diberikan albumin
100 ml untuk memelihara tekanan onkotik, diberikan transfusi PRC 250 cc
untuk pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya
anemia hemolitik, diberikan salep fucilex 5 gram untuk infeksi kulit pada
wajah pasien.
Prognosis pada pasien ini baik Vitam, Sanationam dan Fungtionam
adalah dubia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in :


http://www.emedicine.com

Laporan Kasus 38
2. Swart, M.N. Meningitis: bacterial, viral, and other. Bakterial
meningitis. Goldman: cecil medicine, 23rd ed 2007.
3. Baehr M, Frotscher M.Diagnosis Topik Neurologi DUSS Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 4. Jakarta : EGC,2010.
4. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1.EGC : Jakarta.2006.
5. Razonable,R.Meningitis Overview. Mayo Clinic C ollege Of Medicine.
2009. Available in: http://www.medscapeemedicine.com/meningitis
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat; 2004.
7. Tsumoto, S. Guide to Meningoenchepalitis Diagnosis. JSA KKD
Chalenge 2001.
8. Van de beek, D. Clinical Features And Prognostic Factors Adult with
Bacterial Meningitis. NEJM.2004.

Laporan Kasus 39

Anda mungkin juga menyukai