Anda di halaman 1dari 17

1.

PERMASALAHAN PEREDARAN VCD/DVD BAJAKAN YANG MELANGGAR


HAK CIPTA
Perkembangan kejahatan berupa penjualan VCD/DVD bajakan yang dirasakan semakin
meluas belakangan ini, menjadikan kejahatan ini mendapat perhatian cukup serius dikalangan
aparat penegak hukum. Pelanggaran atas hak kekayaan intelektual yang terjadi telah
mencapai taraf yang cukup memprihatinkan. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang
telah terjadi baik secara materil maupun imateril.
Dalam bagian pembahasan kali ini, penulis akan lebih mengerucutkan pembahasan kepada
dua persoalan pokok yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan. Permasalahan pokok
ini sangat terkait dalam upaya penegakan hukum guna mengurangi dampak buruk dari
perkembangan kejahatan berupa penjualan VCD/DVD bajakan dikalangan masyarakat.

A. Mekanisme Penyidikan Atas Kejahatan Terhadap HAKI Berupa Penjualan VCD/DVD


Bajakan
Kejahatan terhadap Hak Kekayaan Intelektual berupa penjualan VCD/DVD bajakan
memberikan dampak pada dunia ekonomi khususnya dalam hal perdagangan. Hal ini tentu
saja berkaitan erat dengan keinginan investor asing untuk menginvestasikan modalnya
kedalam perdagangan VCD/DVD itu sendiri.
Kondisi ini selaras dengan latar belakang yang menjadi alasan diberlakukannya Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dimana pada bagian
konsideran dikatakan bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi
telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan
Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Artinya,
dampak yang diberikan dari kejahatan atas Hak Cipta ini telah secara nyata menyerang
perkembangan sektor ekonomi sebuah negara secara makro.
Pelaku tindak pidana pelanggaran Hak Cipta ini tidak terbatas pada subjek hukum orang
perorang (naturlijke person) tapi juga subjek hukum bukan orang (recht person) bahkan recht
person (badan hukum) tersebut sudah membentuk jaringan (sindikat) yang sangat luas dan
cermat. Karena itu, kejahatan terhadap Hak Cipta sering pula dikategorikan sebagai kejahatan
terorganisir (organized crime), hal ini mengingat subjek pelaku kejahatan terhadap Hak Cipta
khususnya dalam penjualan VCD/DVD bajakan ini dijalankan dengan ‘cara’ atau modus
operandi yang rapih dan mengikutsertakan entitas yang terputus (sel terputus). Pernyataan ini
sejalan dengan pemikiran Prof.Nitibaskara yang menyatakan bahwa pengertian kejahatan
terorganisir (organized crime) lebih mengarah kepada Cara melakukan kejahatan atau Modus
Operandi.
1. Penyidikan Polri
Perlindungan yang diberikan pada keberadaan Hak Kekayaan Intelektual ini tentu saja
berkaitan erat dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas pokok untuk menegakan
hukum sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok ini tercantum jelas
didalam pasal 13 undang-undang tersebut, dimana dikatakan bahwa : Tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Secara garis besar, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta mengatur masalah penyidikan pada Bab VII (Penyidikan). Di katakan dalam Pasal 71
bahwa :
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang Hak Cipta;
b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang Hak Cipta;
c. meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang Hak Cipta;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang Hak Cipta;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak
Cipta; dan
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
Hak Cipta.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penyidik pejabat polisi negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

REPORT THIS AD

Keberadaan Penyidik PPNS tersebut sejalan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Pengemban fungsi
kepolisian adalah Polri dibantu dengan Kepolisian Khusus (Polsus), Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk Pamswakarsa”. Dimana dalam mengemban fungsi
kepolisian, PPNS diberikan kewenangan berdasarkan isi pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan juga berdasarkan pada Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebagaimana kita ketahui, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahapan penyidikan ini dapat
dikatakan bahwa tindak pidana telah terjadi. Keberadaan VCD/DVD bajakan sendiri
merupakan wujud kejahatan terhadap Hak Cipta, dimana kejahatan tersebut melibatkan
serangkaian tindakan melawan hukum melalui perbuatan menjual, memperbanyak,
menyiarkan, ataupun mengedarkan.
Pada UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, kejahatan VCD/DVD bajakan ini bukan
lagi merupakan kejahatan delik aduan, melainkan dikategorikan sebagai delik biasa atau delik
formil. Selanjutnya juga perlu dipahami bahwa tipologi dari kejahatan Hak Cipta tersebut
terdiri dari unsur pelaku, motif, alat yang digunakan, waktu, tempat, korban/sasaran,
pemasaran/pelimpahan, sifat, dan ciri-cirnya, seperti: menyerupai sebagian atau seluruhnya
sebagaimana yang telah terdaftaar di Ditjen HKI), kualitasnya lebih rendah, dan harganya
lebih murah (Supanto, 2000). Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pada kasus
VCD/DVD bajakan ini tidak memerlukan adanya laporan pengaduan terlebih dahulu, artinya
penyidik Polri dapat melakukan proses penyidikan berdasarkan temuan yang dilakukan.
Gbr 1. Alur Penyidikan Polri
Dari gambar diatas dapat kita lihat, bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Polri dapat
langsung dilakukan tanpa harus menunggu adanya laporan pengaduan dari masyarakat.
Kondisi ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk langsung melakukan proses
penyidikan ketika menemukan VCD/DVD bajakan yang beredar dan diperjual belikan di
masyarakat. Tetapi pada kenyataanya, seringkali proses penegakan hukum tersebut hanya
menyentuh kalangan penjual semata, Polri masih dinilai belum maksimal dalam melakukan
penegakan hukum sampai ke hilir dari alur kejahatan VCD/DVD bajakan ini.
Belum maksimalnya penegakan hukum oleh Polri tersebut menunjukan bahwa kejahatan
VCD/DVD bajakan ini semakin meluas dimasyarakat. Polri seakan-akan kesulitan untuk
mengungkap peranan distributor dari para penjual yang sebagian besar merupakan lapak-
lapak pedagang kaki lima ini. Pada titik inilah peranan Penyidik PPNS diperlukan untuk ikut
serta membantu tugas Polri dalam memerangi kejahatan tersebut.

REPORT THIS AD

2. Penyidikan PPNS Ditjen HKI


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya pada pasal 71
mengamanatkan bahwa penyidikan tidak hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian, melainkan
juga dapat dilakukan oleh Penyidik PPNS. Karena itulah, pembentuk Direktorat Penyidikan
yang dilakukan oleh Ditjen HKI dari Kementerian Hukum dan HAM dinilai sebagai sebuah
langkah yang positif.
Penyidikan oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk
PPNS pada tingkat kantor wilayah, surat perintah diberikan oleh Kepala Departemen
Kehakiman setempat. Kewenangan tugas PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi
wilayah hukum kantor bersangkutan. Sedangkan ditingkat Direktorat Hak Cipta (nasional),
surat perintah diberikan pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Kewenangan tugas penyidik tingkat ini meliputi seluruh wilayah Indonesia. Dalam
melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu: (1)
memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang
dimulainya penyidikan; (2) memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang
perkembangan penyidikan yang dilakukan; (3) meminta petunjuk dan bantuan penyidikan
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan; dan (4) memberitahukan
kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan
dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau
penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03
Tahun 1988. Hal ini dapat dimaklumi, karena hukum acara di Indonesia mengatur hal
tersebut. Artinya, penyidikan dalam hal ini kejahatan VCD/DVD bajakan dapat dilakukan
oleh Polri dan PPNS (KUHAP), namun untuk kewenangan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan tetap merupakan wewenang Polri (Pasal 7 ayat 1 KUHAP).
Untuk penyidik PPNS sendiri diatur dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP. Dalam pasal 71 ayat (2)
UU No.19/2002 menyebutkan mengenai kewenangan penyidik khususnya penyidik PPNS,
yakni melakukan pemeriksaan, pencatatan, dan meminta bantuan ahli. Sehingga dalam
pelaksanaan upaya paksa oleh PPNS Ditejen HKI tetap harus melakukan koordinasi dengan
penyidik Polri selaku Korwas PPNS, kecuali dalam situasi tertangkap tangan (caught in the
act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu)
hari dan segera menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih
berwenang.

REPORT THIS AD
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyidikan Kejahatan Berupa Penjualan VCD/DVD
Bajakan oleh PPNS Ditjen HKI
Kemajuan teknologi secara nyata telah memberikan dampak pada berkembangnya kejahatan
Hak Cipta khususnya dalam hal penjualan VCD/DVD bajakan ini. Alat pengganda di bidang
hak cipta misalnya ”Apparatus for high speed recording (alat perekam berkecepatan tinggi)”
dapat digunakan untuk memperbanyak suatu karya musik atau karya perangkat lunak
komputer dalam tempo satu menit dengan hasil VCD/DVD bajakan 300 (tiga ratus) keping.
Hal ini terjadi disebabkan hak cipta berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta tidak menyebutkan bahwa hak cipta tidak wajib didaftarkan oleh pemegang hak
cipta namun hak cipta ini dilindungi oleh Undang-undang No. 19 Tahun 2002 sejak
pemegang hak cipta mengumumkan hasil ciptaannya pertama kali. Belum diaturnya
kewajiban hak cipta untuk didaftarkan di Ditjen Haki dan ancaman tindak pidana hak cipta
hanya dikenakan pada pelaku usaha (pengganda dan pedagang produk bajakan) dalam
Undang-undang No. 19 Tahun 2002, maka pelanggaran terhadap hak cipta dapat ditemui
dalam setiap kegiatan masyarakat seperti adanya penggandaan cakram optik bajak dan
berbagai transaksi jual beli hak cipta bajakan antara produsen dan konsumen dengan harga
yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk yang berlisensi.
Sehingga hal ini menjadikan hambatan dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana
hak cipta dan instansi yang pertama kali bertanggung jawab terhadap terlaksananya
penerapan UU Hak Cipta adalah Ditjend Haki melalui PPNS Ditjend Haki. Dalam
pelaksanaan tugasnya, PPNS pada Ditjend Haki bekerjasama dan senantiasa berkoordinasi
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada proses penyidikan khususnya
yang dilakukan oleh PPNS Ditjen HKI. Faktor-faktor yang mempengaruhi mempengaruhi
penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta yaitu faktor internal
dan eksternal sebagai berikut:
1. Faktor Undang-undang
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum mengatur kewajiban
pemegang hak cipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya kepada Ditjen Hak Cipta, hal
tersebut yang menjadi hambatan bagi PPNS dalam melakukan proses penyidikan tindak
pidana hak cipta, karena proses penyidikan pidana atas perkara hak cipta yang dilaporkan
harus menunggu putusan pengadilan niaga tentang kepemilikan hak atas ciptaan tersebut.
Kemudian dalam undang-undang tersebut juga belum mengatur sanksi pidana bagi konsumen
(pengguna) produk hak cipta bajakan, maka hal tersebut menjadikan hambatan bagi PPNS,
sehingga Undang-undang tersebut belum memberikan general detterent (efek jera) terhadap
pelaku maupun calon pelaku baik pelaku usaha maupun konsumen.
2. Faktor aparat penegak hukum
Penegak hukum disini tentu saja mengarah kepada penyidik Polri dan penyidik PPNS Ditjen
Hak Cipta. Dimana belum tercipta koordinasi secara intensif dengan Korwas PPNS, sehingga
proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta atas perkara
hak cipta yang dilaporkan diselesaikan melalui pengadilan niaga dan akhirnya kasus di SP3.
Padahal, ketentuan dan kedudukan Polri sebagai korwas PPNS sangat jelas, dan keberadaan
tersebut sesungguhnya dapat memudahkan proses penegakan hukum dalam menangani
kejahatan VCD/DVD bajakan.
3. Faktor sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang masih minim sehingga menghambat kelancaran proses penyidikan
tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS, hal ini disebabkan belum adanya
anggaran untuk mengadakan sarana dan prasarana penyidikan. Sedangkan anggaran yang
diterima oleh para PPNS didasarkan pengajuan kasus tindak pidana hak cipta yang ditangani
oleh PPNS. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS Ditjen HKI, tanpa dukungan tersebut tentu saja proses penyidikan yang dilakukan dan
akan dilakukan dapat terhambat.
4. Faktor masyarakat
Masyarakat sebagai konsumen dari produk hak cipta bajakan yang masih menggunakan
produk-produk bajakan disebabkan harga yang murah jika dibandingkan dengan membeli
produk yang berlisensi, maka hal ini telah menjadikan semakin maraknya pelanggaran hak
cipta. Disadari atau tidak, keberadaan masyarakat yang justru lebih memilih membeli barang
bajakan daripada barang yang asli (original) memberikan pengaruh besar dalam penyidikan,
karena semakin banyak permintaan konsumen maka alur perdagangan VCD/DVD bajakan
akan semakin meningkat.
5. Faktor budaya organisasi
Budaya organisasi seringkali juga menjadi salah satu faktor penghambat penegakan hukum
tindak pidana hak cipta sehingga masih masih terdapat arogansi dari masing-masing institusi
sehingga penggalangan koordinasi dalam upaya penegakan hukum tindak pidana hak cipta
menjadi tidak terwujud dengan baik.

REPORT THIS AD

Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang ada, sangat disadari bahwa penyidikan
terhadap tindak pidana hak cipta memerlukan sinergitas dari instansi terkait, terutama dalam
hal melakukan tindakan represif terhadap para pelaku tindak pidana hak cipta, baik pelaku
utama maupun orang yang turut serta melakukan tindak pidana hak cipta. Dalam melakukan
tindakan represif ini, instansi terkait juga perlu memperhatikan adanya faktor-faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhi proses penyidikan terhadap tindak pidana hak cipta,
adanya peluang dan ancaman dalam melakukan penyidikan tindak pidana hak cipta.
Disamping itu, rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlindungan hak cipta
sehingga masyarakat banyak yang melanggar UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
seperti melakukan penggandaan hak cipta melalui cakram optik bajakan dan membeli produk
hak cipta bajakan, maka hal ini perlunya para PPNS Hak Cipta memberikan kesadaran
hukum kepada masyarakat melalui sosialisasi dan pemberian suritauladan yang nyata kepada
masyarakat melalui penggunaan berbagai jenis produk yang berlisensi resmi.
Di samping itu, terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan perlu adanya
penindakan secara tegas melalui sanksi pidana, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
general detterent (efek jera) terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan. Mengingat
belum diaturnya dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 mengenai kewajiban untuk
mendaftarkan hak cipta pada Ditjen Haki, maka perlunya merevisi Undang-undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan menambahkan pasal tentang hasil ciptaan seseorang
agar didaftarkan pada Ditjen Haki yang berwenang, hal ini dilakukan agar tidak adanya
tumpang tindih para pemegang hak cipta karena hasil ciptaan seseorang telah terdokumentasi
dengan baik dan mempunyai legalitas secara hukum atas hasil ciptaannya.
Lebih lanjut, perlu ditambahkan pasal tentang sanksi pidana bagi para konsumen (pengguna)
produk atas hak cipta bajakan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberikan efek jera
bagi para konsumen (pengguna) produk atas hak cipta bajakan yang saat ini masih marak dan
konsumen bebas membeli produk atas hak cipta bajakan karena produk atas hak cipta bajakan
sangat mudah ditemui seperti di mall-mall, terminal, pasar dan tempat publik lainnya. Dalam
proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Dit. Hak Cipta
pertanggung jawaban pidananya hanya diakukan terhadap orang per orang walaupun tindak
pidana hak cipta dilakukan oleh suatu perusahaan (PT) seperti melakukan penggandaan
cakram optik dalam bentuk pembajakan hak cipta berbagai jenis lagu, software dan lain-lain.
Oleh karena itu, perlu adanya rumusan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam
pelanggaran ketentuan pidana Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta.
Sehingga tidak hanya pengurusnya saja yang dapat dijatuhi hukuman tetapi korporasipun ikut
bertanggung jawab dengan bentuk ancaman pidana tertentu seperti penghentian kegiatan
perusahaan untuk sementara waktu maupun bentuk hukuman lainnya.
Dalam hal penyidikan hak cipta yang dilakukan para PPNS Ditjen Haki perlu adanya
petunjuk teknis penyidikan terhadap pelanggaran hukum hak cipta disertai dengan
pelaksanaan berbagai bentuk peningkatan koordinasi dengan Korwas PPNS dan pelatihan
karena didalam proses pembuktiannya membutuhkan keterampilan khusus. Selama ini
penegakan hukum hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta belum memiliki standar
yang sama sehingga menimbulkan keluhan dari masyarakat atas penyidikan yang dilakukan
PPNS Ditjen HKI.
Di samping itu, perlu diadakan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dari
Pimpinan Ditjen HKI terhadap penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan PPNS Hak
Cipta agar penyidikan tindak pidana hak cipta dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan
(efektif dan efisien). Pelaksanaan penyidikan bukanlah sebuah perkara yang mudah
dilakukan, hal ini dirasakan sendiri oleh penulis yang pernah melakukan proses penyidikan
ini. Koordinasi antara penyidik PPNS dan Polri tidak sebatas pada penanganan perkara
semata, namun juga lebih dibutuhkan adanya pembinaan dan proses pembelajaran mengenai
cara melakukan penyidikan yang baik, profesional, efektif dan efisien sangat dibutuhkan.
Pada akhirnya diharapkan koordinasi yang tercipta dapat memaksimalkan penegakan hukum
terhadap kejahatan VCD/DVD bajakan tersebut.

2.ANGKA PENGANGURAN YANG MASIH TINGGI DI INDONESIA


Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di dunia. Tercatat pada
bulan Juli 2017, jumlah penduduk Indonesia mencapai 262 juta jiwa. Badan Pusat Statistik
(BPS) memproyeksikan pada tahun 2019 akan terjadi peningkatan jumlah penduduk usia
produktif sebanyak 67% dari total seluruh penduduk dimana 45% dari 67% penduduk usia
produktif adalah penduduk berusia 15-34 tahun. 

Diperkirakan tahun 2030 merupakan puncak dari perubahan demografi Indonesia dan akan
membawa Indonesia menuju "Windows Of Opportunity."Peningkatan jumlah penduduk usia
produktif dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dikarenakan adanya tingkat konsumsi
yang tinggi, investasi, produktivitas, dan menurunnya angka ketergantungan. Hal ini disebut
sebagai Bonus Demografi dimana penduduk usia produktif mendominasi jumlah penduduk
Indonesia.

Menurut catatan BPS, data pada periode Agustus 2016 sampai dengan Agustus 2017
menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 2,62 juta orang
dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 0,33%. Namun, jumlah
penduduk pengangguran juga mengalami peningkatan sebanyak sepuluh ribu orang pada
tahun 2017 menjadi sebanyak 7,04 juta. Diketahui bahwa pada tahun 2017 terdapat 121,02
juta orang yang bekerja, bertambah sebanyak tiga juta dari tahun 2016 dengan total 118,41
juta orang yang bekerja.

Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor tingginya angka
pengangguran di Indonesia. Tercatat pada tahun 2016, menurut data Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, lebih dari satu juta anak putus sekolah pada jenjang SD dan tidak
melanjutkan ke jenjang SMP. Sekitar 4,3 juta anak tidak mengenyam pendidikan dasar
sembilan tahun. Hal ini mengakibatkan sebanyak kurang lebih 40% dari total angkatan kerja
adalah lulusan SD sehingga dapat menghambat upaya Indonesia dalam bersaing dengan
perekonomian dunia dikarenakan banyaknya tenaga kerja dengan keterampilan rendah.

Bonus demografi dapat menjadi bencana apabila tidak dimaksimalkan. Dengan tingginya
jumlah penduduk usia produktif, apabila tidak tersedia lapangan kerja maka dapat menambah
jumlah angka pengangguran dan menurunkan tingkat produktivitas masyarakat dan negara.
Dapat dilihat dari data tahun 2017 yang menunjukan tingginya jumlah pengangguran, hal ini
tidak dapat dibiarkan berlanjut sampai akhirnya kita menyia-nyiakan bonus demografi yang
tidak datang setiap saat. Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan tenaga kerja di
Indonesia dengan membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat meningkatkan
keterampilan mereka.

Dampak dari tingginya angka pengangguran adalah terbuangnya sumber daya manusia secara
sia-sia dan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat. Terlalu banyak pengangguran juga
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi, turunnya standar kehidupan, serta
pajak negara yang menurun. Dari segi sosial, tingkat pengangguran tinggi dapat
menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Banyaknya pengangguran dapat
meningkatkan tindak kriminalitas yang meresahkan masyarakat serta cenderung
menyebabkan kekacauan seperti demonstrasi dan perebutan kekuasaan.

Dilihat dari keadaannya, Indonesia dapat dinilai belum siap menyambut bonus demografi.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakatnya akan
pentingnya bonus demografi untuk masa depan kesejahteraan Indonesia.

Seperti yang tercantum pada pasal 27 UUD 1945 yang berbunyi " Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka pemerintah wajib menyediakan
lapangan kerja dan melindungi hak-hak tenaga kerja," maka pemerintah wajib memberikan
solusi dan pemecahan dari masalah pengangguran dengan menciptakan lapangan pekerjaan
seluas-luasnya, meningkatkan kualitas tenaga kerja, mengadakan proyek magang bagi para
calon pekerja agar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan sekaligus memberikan
pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja tersebut. 

Pemerintah juga dapat mengembangkan sektor informal karena untuk bekerja di sektor
informal tidak diperlukan tingkat pendidikan yang tinggi, selain itu juga karena pesatnya
pertumbuhan penduduk menyebabkan beberapa perusahaan pada sektor formal mengalami
kendala dalam menyediakan lapangan pekerjaan. 

Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di kota-kota besar, program transmigrasi dapat


membantu pemerintah dalam menyalurkan tenaga kerja ke daerah-daerah dengan kepadatan
penduduk rendah atau sedang sehingga dapat menyesuaikan dengan keahlian tenaga kerja
tersebut. Hubungan Indonesia dengan negara lain dapat meningkatkan investasi, dengan
meningkatnya investasi maka lapangan pekerjaan juga akan terbuka dan dapat menurunkan
angka pengangguran.

Selain upaya dari pemerintah, masyarakat juga perlu ikut berkontribusi dalam upaya
memaksimalkan bonus demografi dengan mendukung program-program pemerintah.
Masyarakat juga dapat ikut serta dengan berwirausaha dan meningkatkan kesadaran akan
pentingnya pendidikan dan pengetahuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Apabila angka penangguran menurun dan tenaga kerja Indonesia memiliki keterampilan yang
baik, maka bonus demografi dapat dirasakan manfaatnya dengan meningkatnya tingkat
perekonomian masyarakat dan negara. Pasar Indonesia akan menjadi besar dan lebih luas
cakupannya serta menarik lebih banyak investor, sumber daya alam dan sumber daya
manusia juga akan dimanfaatkan dengan maksimal sehingga hasil yang didapat akan
memberikan keuntungan yang banyak untuk kesejahteraan hidup masyarakat, serta
berpengaruh pada tingkat migrasi penduduk ke negara lain untuk bertukar informasi, ilmu,
dan ide yang nantinya dapat diterapkan untuk memajukan negara Indonesia.

3.RENDAHNYA KESADARAN WARGA NEGARA


DALAM MEMBAYAR PAJAK
Jalan raya, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, dan fasilitas umum lainnya merupakan
perwujudan dari pembangunan suatu negara. Semua itu diperuntukkan kepada seluruh
penghuni yang tercatat sebagai warga negara di negara tersebut. Pembangunan suatu negara
bergantung dari pajak pemerintah yang dibebankan kepada penduduknya. Demi
terlaksananya pembangunan yang juga diperuntukkan untuk rakyat ini, rakyat diwajibkan
membayarkan pajak yang dipilah-pilah khusus sesuai dengan tanggungannya masing-masing.
Pajak yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah akan dijadikan sebagai salah satu
sumber dana untuk membiayai pembangunan dan sumber investasi. Penghasilan pajak juga
digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan
masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia,
menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang
yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu
negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter(fungsi penerimaan), pajak juga
melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan
ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah.
Kebijakan pemerintah tentang perpajakan telah mengalami perubahan berkali-kali
sesuai dengan perkembangan ekonomi di negara ini. Langkah Pemerintah untuk menaikan
target pendapatan dari sektor pajak adalah hal yang wajar. Mulai tahun 2008 pemerintah telah
berusaha untuk terus meningkatkan penerimaan pajaknya melalui dua cara yaitu yang
pertama, Itensifikasi pemungutan pajak yaitu pajak yang diarahkan sebagai upaya
meningkatkan penerimaan dari sumber pajak yang telah ada. Kedua, extensifikasi yaitu upaya
pemerintah meningkatkan penerimaan pajak dengan jalan memperluas basis pajak. Kedua
cara ini baru berhasil apabila didukung oleh administrasi pajak yang baik dan meningkatnya
kesadaran dari masyarakat akan kewajibannya.
Kondisi perpajakan di Indonesia, adalah pada saat ini pajak menyumbang 75% porsi
penerimaan negara, kalau bukan dari masyarakat, siapa lagi yang bisa membiayai negara ini,
siapa yang membayar gaji para PNS yang jumlahnya ratusan ribu jiwa, siapa yang membiayai
pendidikan, subsidi BBM, melunasi hutang luar negeri, membangun sarana dan prasarana,
dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya di Indonesia yang sejak tahun 2005 memiliki
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) baru sekitar 7 juta orang. Bandingkan dengan jumlah
penduduknya yang mencapai 230 juta orang, itu artinya baru 3% penduduk Indonesia yang
memiliki kesadaran membayar pajak. Dari jumlah itu mungkin yang benar-benar melaporkan
pajaknya dengan jujur dan sesuai dengan kenyataannya hanya 50%nya saja. Jadi hanya 1,5%
penduduk Indonesia yang memang benar-benar sadar akan kepentingan pajak bagi negara.
Kurangnya kesadaran dalam pembayaran pajak ini dikuatkan oleh fakta yaitu Direktur
Jenderal Pajak, Muhammad Tjiptardjo menyampaikan bahwa penerimaan pajak sampai
dengan September ataupun triwulan ketiga di tahun 2009 ini sebesar Rp 377,8 triliun, ini baru
tercapai 92,82 persen dari target. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2008
lalu, pada kali ini terdapat penurunan. Sebab, pada tahun lalu mencapai Rp 412,8 triliun. Hal
ini dapat dikarenakan kecenderungan masyarakat yang merasa terpaksa untuk membayar
pajak. Tidak ada rasa sadar yang muncul dari diri sendiri untuk senantiasa membangun
negara. Orang baru terpikir untuk membayar pajak saat merasa butuh, misalnya butuh NPWP
untuk kepentingan tender, atau butuh NPWP agar tidak terkena fiskal. Sedikit sekali yang
mengurus NPWP karena merasa peduli terhadap nasib bangsa.
Temuan yang dilakukan oleh Widayati 2008 melalui penelitian  tentang kesadaran
membayar pajak menunjukkan kurangnya tingkat pemahaman responden terhadap beberapa
ketentuan yang tertuang di dalam Ketentuan Umum dan tatacara perpajakan KUP.
Ketidakpahaman wajib pajak terhadap berbagai ketentuan yang ada dalam NPWP
menjadikan wajib pajak tersebut memilih untuk tidak ber NPWP dengan berbagai alasan.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden menunjukkan bahwa kesadaran
responden untuk membayar pajak memang masih rendah. Selain itu kekhawatiran akan
penyalahgunaan uang pajak seringkali menjadi pemikiran masyarakat. Bagaimana pajak itu
akan dikelola dan ke mana uang pajak itu akan disalurkan, mengingat timbal balik yang
diberikan kepada masyarakat dianggap kurang.
Keadaan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Sejenak menengok
ke dalam sistem perpajakan di Negara Paman Sam. Sistem pembayaran pajak yang seolah-
olah merupakan sosok menakutkan menjadi semacam hal biasa yang memang sudah
seharusnya dipenuhi oleh setiap warga negara. Amerika Serikat merupakan salah satu negara
yang bukan hanya menjadikan setoran pajak yang penting, melainkan juga menjadikan
pembayar pajaknya (tax payer) selalu menjadi isu sentral. Jumlah pembayar pajak sangat
besar sekitar 130 juta, sedangkan seluruh penduduk baik warga negara maupun pemegang
kartu izin tinggal tetap secara otomatis akan memiliki nomor pokok pajak (SSN= social
security number). Bagi bayi yang baru dilahirkan akan menerima via pos kartu SSN dari
kantor pusatnya di Kota Baltimore, negara bagian Maryland (MD) setelah 2 minggu
kelahirannya. Demikian pula bagi para imigran dan yang berizin tinggal tetap lainnya, serta
mahasiswa internasional, memiliki kartu SSN merupakan top priority yang harus didapat.
Pembayar pajak selain melaksanakan kewajibanya, juga memperoleh jaminan
kesejahteraan dari uang yang dibayarkannya kepada negara. Dari pajak yang dibayarkan,
7,65% disisihkan dan dikelola oleh Social Security Administration untuk jaminan hari tua
(retirement benefits) dan asuransi kesehatan (medicare) bagi pembayar pajak. 4,2 %
dikumpulkan dan dikelola oleh pemerintah negara bagian untuk dana tunjangan hidup dan
biaya pelatihan saat terjadi PHK. Manfaat membayar pajak dapat juga dinikmati bagi yang
mengalami kecelakaan dan kematian/janda melalui program SDI (State Disability Insurance=
Asuransi Kecelakaan dari Negara Bagian). Melalui berbagai kebijaksanaan ini, maka
peraturan, penggunaan pajak dan pungutan benar-benar terarah dan dikelola secara jujur dan
profesional. Pemerintah dan rakyat saling percaya dan saling mendukung. Sangat terlihat
bagaimana pajak menjadicenter of country life yang memberikan nafas bagi seluruh aktifitas
negara. Betapa diagungkan dan sangat diistimewakan segala yang berkaitan dengan pajak
mulai dari pelayanan, peraturan perpajakan, distribusi, hingga ke pembayar pajak itu sendiri.
Belajar dari hal tersebut perlulah kiranya negara ini mencontoh kebijakan yang diterapkan
oleh negara lain dengan inovasi yang sedikit berbeda tentunya. Dengan harapan mampu
meningkatkan kesadaran masyarakat seutuhnya, sehingga tidak ada lagi adanya keterpaksaan,
ketidakpahaman terhadap prosedur, serta kekhawatiran akan penggunaan pajak itu sendiri
oleh pemerintah.

4.HUKUMAN YANG MASIH RENDAH BAGI PARA KORUOTOR

Hukuman yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor di Indonesia dinilai tidak
sebanding dengan uang yang dikorupsi. Perlu ada inovasi jenis hukuman
sebagai efek jera terhadap perampok uang rakyat.

ads

Tujuannya satu yaitu agar keuangan negara bisa dipulihkan. Berdasarkan


database putusan Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana
korupsi pada 2001-2009, tercatat sebanyak 549 kasus dengan jumlah 831
terdakwa. Pada 2001-2012, terdapat 1.289 kasus dan 1.831 terdakwa,
kemudian pada 2001-2013 terdapat 1.518 kasus dan 2.145 terdakwa.

Koruptor diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni koruptor kelas


gurem kurang dari Rp10 juta, koruptor kelas kecil Rp10-Rp99 juta,
koruptor kelas sedang Rp100-Rp999 juta, kemudian koruptor kelas besar
Rp1-Rp24,99 miliar, dan koruptor kelas kakap Rp25 miliar lebih.

Menariknya ustru intensitas hukuman yang diberikan kepada para


koruptor kelas kakap lebih rendah dari pada kelas gurem. Berdasar harga
konstan, korupsi yang berakibat kerugian negara Rp68 triliun hanya
mendapatkan hukuman finansial Rp 700 miliar atau 1,03 persen dari nilai
yang korupsi.

Tren vonis kepada koruptor makin ringan. Menurut pantauan Indonesia


Corruption Watch (ICW) pada Semester I 2016, hukuman untuk koruptor
didominasi hukuman kategori ringan. Selama periode Januari-Juni 2016,
ada 275 terdakwa atau alias 71,6 persen yang divonis antara 0-4 tahun.

Sedang hukuman 4-10 tahun ditimpakan kepada 37 terdakwa


sebagaimana dampak positif perang dingin dalam bidang politik . Hanya
tujuh orang yang diganjar hukuman lebih dari 10 tahun. Tidak ada koruptor
yang dihukum maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup.

Menurut ICW tren hukuman makin ringan ini mungkin terjadi karena
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menggunakan pidana
minimum. Hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimum yang
terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Hukuman minimal Pasal 2
UU Tipikor adalah 4 tahun dan Pasal 3 UU Tipikor adalah 1 tahun penjara .

Rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor tentu tidak


dapat memberikan efek jera sebagaimana dampak perang shiffin . Masih
menurut ICW setidaknya terdapat 7 penyebab yang menyebabkan koruptor
tidak merasa jera, penyebab tersebut antara lain sebagai berikut :

1.Vonis Tindak Pidana Korupsi Terlalu Ringan

Pada faktanya vonis yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi rata rata
masih tergolong rendah. Bahkan untuk kelas korupyor kelas kakap,
mereka ya mendapatkan ganjaran hukuman yang ringan. Sehingga
tentunya mereka tidak merasa jera dan kapok atas perbuatan yang telah
mereka lakukan dimana merugikan negara dan rakyat.

Rata rata hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor relatif tidak


sebanding dengan jumlah dan besarnya dana yang mereka korupsi.
Mereka bahkan masih bisa menikmati uang haram hasil korupsi saat
keluar dari penjara. Sungguh sesuatu yang sangat ironis terutama bagi
penegakan hukum di indonesia sebagimana contoh pelanggaran
kewajiban warga negara .

2. Proses Hukum Hanya Menjerat Pelaku Korupsi

Tahukan anda, bahwa sebenarnya yang menikmati dana yang


dikorupsikan oleh para koruptor tidak hanya mereka sendiri, ada kelaurga
bahkan juga rekan rekan yang ikut menikmati uang haram ini. Namun,
hukum yang berlaku di negara kita ini hanya dapat memberikan hukuman
kepada pelaku utama, sedangkan keluarga yang ikut menikmati harta
haram hasil korupsi dapat bebas dengan leluasa seperti pada perbedaan
pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban .

Meskipun mereka bukan pelaku pada kenyataannya mereka justru ikut


menikmati dana haram yang berasal dari uang rakyat. Maka seharusnya
mereka yang ikut menikmati juga haruslah mendapatkan hukuman sosial,
palingbtidak hukuman ini membuat koruptor dan keluarganya malu.

Sponsors Link

3. Hukuman Hanya Berupa Pemenjaraan

Di indonesia sendiri, hukuman yang berlaju bagi para pelaku korupsi hanya
berupa hukuman pemenjaraan. Padahal dibandingkan dipenjara, mereka
bahkan lebih takut ketika harus dimiskinkan seumur hidup. Bagi mereka
tidaklah menjadi masalah ketika harus mendekam hingga puluhan tahun
dibalik jeruji besi, asalkan harta dan uang mereka masih tersimpan
dengan aman.

Tentu saja hal ini membuat para koruptor masih dapat merasa tenang
meskipun harus dipenjara seperti pada contoh pelanggaran ham di
masyarakat . Apalagi meskipun didalam penjara mereka masih dapat
menikmati fasilitas yang terbilang mewah, yang tentunya berbeda dengan
mereka narapidana pada umumnya. Bahkan mereka bisa merasakan
kemewahan ala hotel berbintang meski telah berada di salam penjara.

4. Hukuman Subsider

Hukuman subsider merupakan hukuman pengganti, dimana denda yang


dijatuhkan kepada para koruptor dapat diganti dengan hukuman kurungan.
Tentu saja adanya hukuman subsider ini kian membuat para koruptor
memilih untuk dipenjara saja ketimbang harus membayar denda
sebagimana ciri ciri masyarakat hukum adat .

Lagi lagi hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka lebih taku jika
harus kehilangan uangnya ketimbang mendekan di penjara. Seharusnya
juga hukuman subsider ini ditiadakan, agar tentunya para koruptor dapat
merasakan dampak darinperbuatan mereka dan menebusnya lewat jeruji
besi dan juga denda yang wajib dibayarkan kembali kepada negara.

5. Kemewahan Bagi Para Koruptor

Mungkin kita sudah sering mendengar bahwa koruptor memiliki gaya


hidup yang mewah. Bahkan dipenjarapun mereka masih dapat menikmati
hal ini. Sebagaimana yang terjadindi oenjara sukamiskin yang haru baru
ini terkuak. Para koruptor kelas kakap bahkan dapat memiliki sel yang
mewah layaknya hotel bintang lima sebagaimana tindak pidana korupsi
dalam peraturan perundang undangan .

Mereka dapat memasukkan televisi, alat gym, membawa uang tunai dalam
jumlah besar, bahkan masih dapat membawa alat komunikasi dan
terhubung dengan internet. Tentu saja hal ini tidak sejalan dan melanggar
undang undang yang berlaku.

6. Koruptor Masih Bisa Nyaleg

Satu rlagi fenomena yang cukup lucu, teruatma saat ini bertepatan dengan
momentum menjelang pemilu legislatif, dimana para mantan koruptor
diperbolehkan untuk mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Tentu saja
hal inu menjadi sebuah peristiwa yang cukup membuat kita semua miris.
Dimana seorang manyan korudptor masih dengan pervaya dirinya menjadi
calin wakil rakyat, mungkin mereka  lupa bahwa mereka yang lebih
dahulu menghianati kepercayaan rakyat. dan kini mereka meminta
kembali untuk dipercaya menjadi wakil rakyat. Alangkah lucunya para
koruptor kini.

7. Koruptor Tidak Dikenai Penahanan dan Pencekalan

Dalam hukum yang berlaku, bagi koruptor dapat tidak dikenai tindakan
penahaman dan pencekalan. Sehingga tentunya hal ini membuka peluang
bagi mereka untuk kabur keluar negeri. Jika sudah terjadi demikian maka
siapa yang mau disalahkan. Pada faktanya hukum yang beelaku bagi para
koruptor masih dianggap memiliki celah celah untuk dapat meringankan
mereka sebagimana contoh pelanggaran demokrasi yang pernah terjadi di
indonesia .

Sehingga dengan demikian maka hal ini masih dianggap meringankan dan
memberi ruang bagi koruptor untuk berkelit dari tanggung jawab atas
perbuatan yang mereka lakukan.

5.ANGKA PUTUS SEKOLAH YANG MASIH TINGGI

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara


sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71 tahun kemerdekaan RI,
segenap masyarakatnya masih belum mempunya iaksesmengenyam
dunia pendidikan formal selayaknya.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat
menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah
dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). 
Begitu pula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat
provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak
tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal
dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan
pendidikankejenjangselanjutnya.
Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada
mereka?
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada,
mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan menarik.
Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena
masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua
dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan
nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilanlainnya.
Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar
berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki
ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9
persen. Hanya 6,1 persen yan menyatakan tidak memiliki rencana untuk
itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan
dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal
manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi
perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespons
perubahan komposisi demografi. 
Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window
of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai
dengan jumlah penduduk usia kerja serta
ditopangolehkualitasangkatankerjayangbaik.
Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling
mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus
sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan
menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat
pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.
peranpendidikannonformalkurang
Pada kesempatan terpisah Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan
Alternatif (Asahpena), Budi Trikorayanto yang dikutip dari media
radioidola.com, mengakui faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab
masih banyaknya anak putus sekolah. 
Namun masalah ekonomi yang seperti apa? Satu contoh, anak jalanan,
atau pemulung didorong untuk sekolah itu susah. Karena mereka sudah
bisa mencari uang, dan merasakan kemerdekaan di dunia jalanan dan itu
lebih menarik bagi mereka ketimbang duduk di sekolah, berseragam, dan
menerima pelajaran dari sekolah. Dan itu terlalu jauh dari apa yang
mereka rasakan sehari-hari. 

Menurut Budi, anak-anak jalanan saat ini lebih memilih bekerja menjadi
anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah menggiring mereka
sekolah, mestinya ada upaya sekolah yang mendatangi komunitas
mereka. 
Tidak bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam, itu bukan
dunia anak-anak jalanan. Jadi sekolah perlu sektor non-formal, kemudian
jemput anak-anak ke kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan
lainnya.

Dari beberapa kasus terungkap pula, banyaknya anak sekarang ini


enggan ke sekolah salah satunya karena faktor pengajarnya. Inilah
realitas yang sering terjadi di wilayah perkotaan.

6.PELANGARAN RAMBU-RAMBU LALU LINTAS

YANG MASIH SERING TERJADI

Kondisi lalu intas di Indonesia, terutama di kota-kota besar saat ini jauh dari kata tertib.
Contohnya banyak kendaraan yang tidak taat pada rambu-rambu lalu lintas, seperti halnya
sering kita jumpai di kota-kota besar banyak sekali pengendara motor atau mobil sering kali
menrobos lampu merah di saat tidak ada polisi yang sedang menjaga, mengemudi kendaraan
sambil bermain HP atau menelpon, lalu pengemudi yang tidak memiliki Surat Ijin
Mengemudi (SIM ), mengemudikan kendaraan melawan arah, dan pelanggaran-pelanggaran
lainnya. Kurangnya kesadaran masyarakat membuat pemerintah bingung akan menangani
ketertiban dalam berlalu lintas. Sehingga pemerintah membuat peraturan seputar lalu lintas
dan jalan raya, yaitu UU NO.22 TAHUN 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peraturan ini diharapkan biasa membuat masyarakat tertib dalam berlalu lintas dan ramah
bagi para pengguna jalan dan mengerti terhadap sanksi yang di berikan. Tetapi pada pada
praktik keseharian masih banyak masyarakat yang melanggar lalu lintas.

            Apakah peraturan saat ini sama dengan yang ada di undang-undang tentang lalu
lintas,ataukah yang seharusnya sama, tapi kenyataannya berbeda?

            Kebiasaan masyarakat saat ini sangat sulit untuk dirubah sehingga banyak sekali hal-
hal yang perlu dilakukan dalam melakukan perubahan termasuk peenetapan UU tentang lalu
lintas. Pada saat ini angka kecalakan di Indonesia semakin meninggkat itu dikarnakan banyak
pengguna transportasi melanggar hukum lalu lintas. Seperti halnya :
1.       Banyak pengemudi yang bermain HP pada saat mengemudi.
Mengemudi dengan bermain HP sangat jelas dilarang dan dalam undang-undang
NO.22  TAHUN 2009,Pasal 283 “Mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan
lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi : Sanksi
pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 750.000-.(tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah), undang-undang ini begitu jelas  tetapi banyak orang yang masih
melakukannya dikarnakan kurangnya partispasi masyarakat dalam membantu para penegak
hukum. Juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap keselamatan sesama.
2.       Kendaraan yang berbelok tidak menyalakan lampu sein
Di Negara ini kedisiplinan dalam berlalu lintas masih sangat rendah, khususnya di
daerah perdesaan atau perkotaan. Hal ini terlihat masih banyak kendaraan yang sering
berbelok tanpa menghidupkan lampu sein terlebih dahulu. Padahal tidak memberikan tanda
ketika akan berbelok itu sangat berbahaya dan bias menyebabkan kecelakaan. Hal ini juga di
atur dalam UU NO. 22 TAHUN 2009, Pasal 294 “Berbelok atau berbalik arah tanpa memberi
isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan:sanksi pidana kurungan paling lama
1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 100.000.- (seratus ribu rupiah).
3.       Tidak memiliki surat ijin mengemudi (SIM ).
Sekarang saat ini banyak sekali anak-anak yang sudah bisa mengemudi, yaitu
mengemudi motor atau mobil. Tapi pada dasarnya banyak juga anak-anak sekolah yang saat
ini dengan lincahnya mengemudi mereka tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM), tidak
hanya anak-anak saja tetapi juga orang dewasa maupun orang tua. Dalam UU NO.22
TAHUN 2009, Pasal 281 “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor dijalan
yang tidak memiliki surat ijin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) di
pidana kurungan paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000 (satu
juta rupiah). Dalam undang-undang ini sudah sangat jelas setiap orang yang tidak memiliki
surat iji mengemudi (SIM) dapat terkena sanksi. Tapi dalam kehidupan sehari-hari masih
banyak pengemudi yang tidak memiliki SIM, dan juga terkait sanksi yang di undang-undang
tidak sama dengan yang di praktikan dalam keseharian. Seperti halnya yang pernah saya
alami dan mungkin masyarakat lain juga pernah mengalaminya,” Ketika saat saya pulang
kuliah pada waktu sore hari saya melihat ada banyak polisi dan polisi tersebut sedang
melakukan razia kelengkapan kendaraan, pada saat itu saya belum memiliki SIM dan
akhirnya saya kena tilang oleh polisi tersebut, tetapi sanksi yang di berikan kepada saya tidak
sama dengan yang ada di undang-undang lalu lintas.” Hal ini sering kali terjadi dalam ke
hidupan keseharian kita.”   Kenapa yang seharusnya di lakukan oleh penegak hukum itu tidak
sama dengan kenyataanya? Hal yang terus saya fikirkan saat itu.
4.       Tidak memakai Helm saat berkendara sepeda motor.
    Tidak memakai helm adalah hal yang sangat fatal karena helm bertujuan untuk
melindungi kepala kita yang lunak, tapi sering kali hal ini masih terjadi di masyarakat,
banyak sekali pengendaran yang tidak memakai helm pada saat mengemudi motor, dan
kebanyakan orang hanya memakai helm di saat mereka akan bepergian ke kota-kota ataupun
bepergian jauh, tetapai ketika mereka hanya bepergian ketempat yang tidak jauh terkadang
mereka tedak memakai helm, dan juga ketika banyak penumpag tidak memakai helm.
Menurut UUN NO. 22 TAHUN 2009, Pasal 291 “Tidak menggunakan helm SNI; sanksi
pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000.-(dua ratus
lima puluh ribu rupiah): membiarkan penumpang tidak menggunakan helm sanksi pidana
kurungan paling lama 1(satu)bulan dan denda Rp. 250.000.-(dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
5.       Melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan.
Melihat motor atau mobil yang melanggar rambu-rambu atau marka jalan bukan
pemandangan yang asing di kota ini. Mereka tampak biasa saja dan tidak mempedulikan
keselamatan diri sendiri ataupun orang lain, yang penting mereka bisa lebih cepat sampai kea
rah tujuan mereka. Kecelakan lalu lintaspun meningkat padahal peraturan yang ada
melanggar rambu-rambu lalu lintas merupakan suatu pelanggaran hukum, tindakan
melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan adalah perbuatan yang melanggar UU
NO. 22 TAHUN 2009. Pasal 287 “Melanggar lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat
lalu lintas. Sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp.
500.000-, (lima ratus ribu rupiah). Hal tersebut sudah jelas termuat dalam undang-undang
tapi masih banyak para pengendara yang dengan santainya melanggar rambu-rambu lalu
lintas.

Meski berbagai aturan sudah dikeluarkan untuk membuat situasi lalu lintas tetap
kondusif, pada kenyataannya masih saja banyak pengguna jalan yang tidak mengindahkan
aturan-aturan tersebut. Berbagai pelanggaran kerap dilakukan. Ironisnya, kelalaian tersebut
tak jarang merugikan orang lain. Seringkali terjadi kecelakaan yang membuat orang lain
terluka atau bahkan tewas.
Dalam beberapa hal tersebut, mentaati lalu lintas sangat penting dalam kehidupan kita,
meskipun apa yang sudah di tuliskan di undang-undang mengenai sanksi dan sebabnya belum
terlihat nyata dalam Negara ini, dan terkadang masyarakat biasa, tidak tahu mengenai sanksi
dan pelanggaran yang kita langgar, dan akhirnya sanksi ya ng di berikan tidak sesui dengan
undang-undang. Akan tetapi ketertiban merupakan salah satu yang mencerminan sikap
kedisiplinan kita, keselamatan merupakan hal yang paling penting dalam diri kita. Meskipun
saat ini di perdesaan ataupun di kota besar penertiban lalu lintas sangatlah berbeda, dimana di
kota-kota besar banyak sekali rambu-rambu dan di jaga oleh polisi atau penegak hukum,
sedangkan di desa sebaliknya.

ualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan
pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai