REPORT THIS AD
Keberadaan Penyidik PPNS tersebut sejalan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Pengemban fungsi
kepolisian adalah Polri dibantu dengan Kepolisian Khusus (Polsus), Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk Pamswakarsa”. Dimana dalam mengemban fungsi
kepolisian, PPNS diberikan kewenangan berdasarkan isi pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan juga berdasarkan pada Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebagaimana kita ketahui, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahapan penyidikan ini dapat
dikatakan bahwa tindak pidana telah terjadi. Keberadaan VCD/DVD bajakan sendiri
merupakan wujud kejahatan terhadap Hak Cipta, dimana kejahatan tersebut melibatkan
serangkaian tindakan melawan hukum melalui perbuatan menjual, memperbanyak,
menyiarkan, ataupun mengedarkan.
Pada UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, kejahatan VCD/DVD bajakan ini bukan
lagi merupakan kejahatan delik aduan, melainkan dikategorikan sebagai delik biasa atau delik
formil. Selanjutnya juga perlu dipahami bahwa tipologi dari kejahatan Hak Cipta tersebut
terdiri dari unsur pelaku, motif, alat yang digunakan, waktu, tempat, korban/sasaran,
pemasaran/pelimpahan, sifat, dan ciri-cirnya, seperti: menyerupai sebagian atau seluruhnya
sebagaimana yang telah terdaftaar di Ditjen HKI), kualitasnya lebih rendah, dan harganya
lebih murah (Supanto, 2000). Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pada kasus
VCD/DVD bajakan ini tidak memerlukan adanya laporan pengaduan terlebih dahulu, artinya
penyidik Polri dapat melakukan proses penyidikan berdasarkan temuan yang dilakukan.
Gbr 1. Alur Penyidikan Polri
Dari gambar diatas dapat kita lihat, bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Polri dapat
langsung dilakukan tanpa harus menunggu adanya laporan pengaduan dari masyarakat.
Kondisi ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk langsung melakukan proses
penyidikan ketika menemukan VCD/DVD bajakan yang beredar dan diperjual belikan di
masyarakat. Tetapi pada kenyataanya, seringkali proses penegakan hukum tersebut hanya
menyentuh kalangan penjual semata, Polri masih dinilai belum maksimal dalam melakukan
penegakan hukum sampai ke hilir dari alur kejahatan VCD/DVD bajakan ini.
Belum maksimalnya penegakan hukum oleh Polri tersebut menunjukan bahwa kejahatan
VCD/DVD bajakan ini semakin meluas dimasyarakat. Polri seakan-akan kesulitan untuk
mengungkap peranan distributor dari para penjual yang sebagian besar merupakan lapak-
lapak pedagang kaki lima ini. Pada titik inilah peranan Penyidik PPNS diperlukan untuk ikut
serta membantu tugas Polri dalam memerangi kejahatan tersebut.
REPORT THIS AD
REPORT THIS AD
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyidikan Kejahatan Berupa Penjualan VCD/DVD
Bajakan oleh PPNS Ditjen HKI
Kemajuan teknologi secara nyata telah memberikan dampak pada berkembangnya kejahatan
Hak Cipta khususnya dalam hal penjualan VCD/DVD bajakan ini. Alat pengganda di bidang
hak cipta misalnya ”Apparatus for high speed recording (alat perekam berkecepatan tinggi)”
dapat digunakan untuk memperbanyak suatu karya musik atau karya perangkat lunak
komputer dalam tempo satu menit dengan hasil VCD/DVD bajakan 300 (tiga ratus) keping.
Hal ini terjadi disebabkan hak cipta berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta tidak menyebutkan bahwa hak cipta tidak wajib didaftarkan oleh pemegang hak
cipta namun hak cipta ini dilindungi oleh Undang-undang No. 19 Tahun 2002 sejak
pemegang hak cipta mengumumkan hasil ciptaannya pertama kali. Belum diaturnya
kewajiban hak cipta untuk didaftarkan di Ditjen Haki dan ancaman tindak pidana hak cipta
hanya dikenakan pada pelaku usaha (pengganda dan pedagang produk bajakan) dalam
Undang-undang No. 19 Tahun 2002, maka pelanggaran terhadap hak cipta dapat ditemui
dalam setiap kegiatan masyarakat seperti adanya penggandaan cakram optik bajak dan
berbagai transaksi jual beli hak cipta bajakan antara produsen dan konsumen dengan harga
yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk yang berlisensi.
Sehingga hal ini menjadikan hambatan dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana
hak cipta dan instansi yang pertama kali bertanggung jawab terhadap terlaksananya
penerapan UU Hak Cipta adalah Ditjend Haki melalui PPNS Ditjend Haki. Dalam
pelaksanaan tugasnya, PPNS pada Ditjend Haki bekerjasama dan senantiasa berkoordinasi
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada proses penyidikan khususnya
yang dilakukan oleh PPNS Ditjen HKI. Faktor-faktor yang mempengaruhi mempengaruhi
penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta yaitu faktor internal
dan eksternal sebagai berikut:
1. Faktor Undang-undang
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum mengatur kewajiban
pemegang hak cipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya kepada Ditjen Hak Cipta, hal
tersebut yang menjadi hambatan bagi PPNS dalam melakukan proses penyidikan tindak
pidana hak cipta, karena proses penyidikan pidana atas perkara hak cipta yang dilaporkan
harus menunggu putusan pengadilan niaga tentang kepemilikan hak atas ciptaan tersebut.
Kemudian dalam undang-undang tersebut juga belum mengatur sanksi pidana bagi konsumen
(pengguna) produk hak cipta bajakan, maka hal tersebut menjadikan hambatan bagi PPNS,
sehingga Undang-undang tersebut belum memberikan general detterent (efek jera) terhadap
pelaku maupun calon pelaku baik pelaku usaha maupun konsumen.
2. Faktor aparat penegak hukum
Penegak hukum disini tentu saja mengarah kepada penyidik Polri dan penyidik PPNS Ditjen
Hak Cipta. Dimana belum tercipta koordinasi secara intensif dengan Korwas PPNS, sehingga
proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta atas perkara
hak cipta yang dilaporkan diselesaikan melalui pengadilan niaga dan akhirnya kasus di SP3.
Padahal, ketentuan dan kedudukan Polri sebagai korwas PPNS sangat jelas, dan keberadaan
tersebut sesungguhnya dapat memudahkan proses penegakan hukum dalam menangani
kejahatan VCD/DVD bajakan.
3. Faktor sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang masih minim sehingga menghambat kelancaran proses penyidikan
tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS, hal ini disebabkan belum adanya
anggaran untuk mengadakan sarana dan prasarana penyidikan. Sedangkan anggaran yang
diterima oleh para PPNS didasarkan pengajuan kasus tindak pidana hak cipta yang ditangani
oleh PPNS. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS Ditjen HKI, tanpa dukungan tersebut tentu saja proses penyidikan yang dilakukan dan
akan dilakukan dapat terhambat.
4. Faktor masyarakat
Masyarakat sebagai konsumen dari produk hak cipta bajakan yang masih menggunakan
produk-produk bajakan disebabkan harga yang murah jika dibandingkan dengan membeli
produk yang berlisensi, maka hal ini telah menjadikan semakin maraknya pelanggaran hak
cipta. Disadari atau tidak, keberadaan masyarakat yang justru lebih memilih membeli barang
bajakan daripada barang yang asli (original) memberikan pengaruh besar dalam penyidikan,
karena semakin banyak permintaan konsumen maka alur perdagangan VCD/DVD bajakan
akan semakin meningkat.
5. Faktor budaya organisasi
Budaya organisasi seringkali juga menjadi salah satu faktor penghambat penegakan hukum
tindak pidana hak cipta sehingga masih masih terdapat arogansi dari masing-masing institusi
sehingga penggalangan koordinasi dalam upaya penegakan hukum tindak pidana hak cipta
menjadi tidak terwujud dengan baik.
REPORT THIS AD
Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang ada, sangat disadari bahwa penyidikan
terhadap tindak pidana hak cipta memerlukan sinergitas dari instansi terkait, terutama dalam
hal melakukan tindakan represif terhadap para pelaku tindak pidana hak cipta, baik pelaku
utama maupun orang yang turut serta melakukan tindak pidana hak cipta. Dalam melakukan
tindakan represif ini, instansi terkait juga perlu memperhatikan adanya faktor-faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhi proses penyidikan terhadap tindak pidana hak cipta,
adanya peluang dan ancaman dalam melakukan penyidikan tindak pidana hak cipta.
Disamping itu, rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlindungan hak cipta
sehingga masyarakat banyak yang melanggar UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
seperti melakukan penggandaan hak cipta melalui cakram optik bajakan dan membeli produk
hak cipta bajakan, maka hal ini perlunya para PPNS Hak Cipta memberikan kesadaran
hukum kepada masyarakat melalui sosialisasi dan pemberian suritauladan yang nyata kepada
masyarakat melalui penggunaan berbagai jenis produk yang berlisensi resmi.
Di samping itu, terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan perlu adanya
penindakan secara tegas melalui sanksi pidana, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
general detterent (efek jera) terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan. Mengingat
belum diaturnya dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 mengenai kewajiban untuk
mendaftarkan hak cipta pada Ditjen Haki, maka perlunya merevisi Undang-undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan menambahkan pasal tentang hasil ciptaan seseorang
agar didaftarkan pada Ditjen Haki yang berwenang, hal ini dilakukan agar tidak adanya
tumpang tindih para pemegang hak cipta karena hasil ciptaan seseorang telah terdokumentasi
dengan baik dan mempunyai legalitas secara hukum atas hasil ciptaannya.
Lebih lanjut, perlu ditambahkan pasal tentang sanksi pidana bagi para konsumen (pengguna)
produk atas hak cipta bajakan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberikan efek jera
bagi para konsumen (pengguna) produk atas hak cipta bajakan yang saat ini masih marak dan
konsumen bebas membeli produk atas hak cipta bajakan karena produk atas hak cipta bajakan
sangat mudah ditemui seperti di mall-mall, terminal, pasar dan tempat publik lainnya. Dalam
proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Dit. Hak Cipta
pertanggung jawaban pidananya hanya diakukan terhadap orang per orang walaupun tindak
pidana hak cipta dilakukan oleh suatu perusahaan (PT) seperti melakukan penggandaan
cakram optik dalam bentuk pembajakan hak cipta berbagai jenis lagu, software dan lain-lain.
Oleh karena itu, perlu adanya rumusan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam
pelanggaran ketentuan pidana Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta.
Sehingga tidak hanya pengurusnya saja yang dapat dijatuhi hukuman tetapi korporasipun ikut
bertanggung jawab dengan bentuk ancaman pidana tertentu seperti penghentian kegiatan
perusahaan untuk sementara waktu maupun bentuk hukuman lainnya.
Dalam hal penyidikan hak cipta yang dilakukan para PPNS Ditjen Haki perlu adanya
petunjuk teknis penyidikan terhadap pelanggaran hukum hak cipta disertai dengan
pelaksanaan berbagai bentuk peningkatan koordinasi dengan Korwas PPNS dan pelatihan
karena didalam proses pembuktiannya membutuhkan keterampilan khusus. Selama ini
penegakan hukum hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta belum memiliki standar
yang sama sehingga menimbulkan keluhan dari masyarakat atas penyidikan yang dilakukan
PPNS Ditjen HKI.
Di samping itu, perlu diadakan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dari
Pimpinan Ditjen HKI terhadap penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan PPNS Hak
Cipta agar penyidikan tindak pidana hak cipta dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan
(efektif dan efisien). Pelaksanaan penyidikan bukanlah sebuah perkara yang mudah
dilakukan, hal ini dirasakan sendiri oleh penulis yang pernah melakukan proses penyidikan
ini. Koordinasi antara penyidik PPNS dan Polri tidak sebatas pada penanganan perkara
semata, namun juga lebih dibutuhkan adanya pembinaan dan proses pembelajaran mengenai
cara melakukan penyidikan yang baik, profesional, efektif dan efisien sangat dibutuhkan.
Pada akhirnya diharapkan koordinasi yang tercipta dapat memaksimalkan penegakan hukum
terhadap kejahatan VCD/DVD bajakan tersebut.
Diperkirakan tahun 2030 merupakan puncak dari perubahan demografi Indonesia dan akan
membawa Indonesia menuju "Windows Of Opportunity."Peningkatan jumlah penduduk usia
produktif dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dikarenakan adanya tingkat konsumsi
yang tinggi, investasi, produktivitas, dan menurunnya angka ketergantungan. Hal ini disebut
sebagai Bonus Demografi dimana penduduk usia produktif mendominasi jumlah penduduk
Indonesia.
Menurut catatan BPS, data pada periode Agustus 2016 sampai dengan Agustus 2017
menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 2,62 juta orang
dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 0,33%. Namun, jumlah
penduduk pengangguran juga mengalami peningkatan sebanyak sepuluh ribu orang pada
tahun 2017 menjadi sebanyak 7,04 juta. Diketahui bahwa pada tahun 2017 terdapat 121,02
juta orang yang bekerja, bertambah sebanyak tiga juta dari tahun 2016 dengan total 118,41
juta orang yang bekerja.
Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor tingginya angka
pengangguran di Indonesia. Tercatat pada tahun 2016, menurut data Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, lebih dari satu juta anak putus sekolah pada jenjang SD dan tidak
melanjutkan ke jenjang SMP. Sekitar 4,3 juta anak tidak mengenyam pendidikan dasar
sembilan tahun. Hal ini mengakibatkan sebanyak kurang lebih 40% dari total angkatan kerja
adalah lulusan SD sehingga dapat menghambat upaya Indonesia dalam bersaing dengan
perekonomian dunia dikarenakan banyaknya tenaga kerja dengan keterampilan rendah.
Bonus demografi dapat menjadi bencana apabila tidak dimaksimalkan. Dengan tingginya
jumlah penduduk usia produktif, apabila tidak tersedia lapangan kerja maka dapat menambah
jumlah angka pengangguran dan menurunkan tingkat produktivitas masyarakat dan negara.
Dapat dilihat dari data tahun 2017 yang menunjukan tingginya jumlah pengangguran, hal ini
tidak dapat dibiarkan berlanjut sampai akhirnya kita menyia-nyiakan bonus demografi yang
tidak datang setiap saat. Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan tenaga kerja di
Indonesia dengan membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat meningkatkan
keterampilan mereka.
Dampak dari tingginya angka pengangguran adalah terbuangnya sumber daya manusia secara
sia-sia dan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat. Terlalu banyak pengangguran juga
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi, turunnya standar kehidupan, serta
pajak negara yang menurun. Dari segi sosial, tingkat pengangguran tinggi dapat
menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Banyaknya pengangguran dapat
meningkatkan tindak kriminalitas yang meresahkan masyarakat serta cenderung
menyebabkan kekacauan seperti demonstrasi dan perebutan kekuasaan.
Dilihat dari keadaannya, Indonesia dapat dinilai belum siap menyambut bonus demografi.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakatnya akan
pentingnya bonus demografi untuk masa depan kesejahteraan Indonesia.
Seperti yang tercantum pada pasal 27 UUD 1945 yang berbunyi " Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka pemerintah wajib menyediakan
lapangan kerja dan melindungi hak-hak tenaga kerja," maka pemerintah wajib memberikan
solusi dan pemecahan dari masalah pengangguran dengan menciptakan lapangan pekerjaan
seluas-luasnya, meningkatkan kualitas tenaga kerja, mengadakan proyek magang bagi para
calon pekerja agar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan sekaligus memberikan
pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja tersebut.
Pemerintah juga dapat mengembangkan sektor informal karena untuk bekerja di sektor
informal tidak diperlukan tingkat pendidikan yang tinggi, selain itu juga karena pesatnya
pertumbuhan penduduk menyebabkan beberapa perusahaan pada sektor formal mengalami
kendala dalam menyediakan lapangan pekerjaan.
Selain upaya dari pemerintah, masyarakat juga perlu ikut berkontribusi dalam upaya
memaksimalkan bonus demografi dengan mendukung program-program pemerintah.
Masyarakat juga dapat ikut serta dengan berwirausaha dan meningkatkan kesadaran akan
pentingnya pendidikan dan pengetahuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Apabila angka penangguran menurun dan tenaga kerja Indonesia memiliki keterampilan yang
baik, maka bonus demografi dapat dirasakan manfaatnya dengan meningkatnya tingkat
perekonomian masyarakat dan negara. Pasar Indonesia akan menjadi besar dan lebih luas
cakupannya serta menarik lebih banyak investor, sumber daya alam dan sumber daya
manusia juga akan dimanfaatkan dengan maksimal sehingga hasil yang didapat akan
memberikan keuntungan yang banyak untuk kesejahteraan hidup masyarakat, serta
berpengaruh pada tingkat migrasi penduduk ke negara lain untuk bertukar informasi, ilmu,
dan ide yang nantinya dapat diterapkan untuk memajukan negara Indonesia.
Hukuman yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor di Indonesia dinilai tidak
sebanding dengan uang yang dikorupsi. Perlu ada inovasi jenis hukuman
sebagai efek jera terhadap perampok uang rakyat.
ads
Menurut ICW tren hukuman makin ringan ini mungkin terjadi karena
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menggunakan pidana
minimum. Hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimum yang
terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Hukuman minimal Pasal 2
UU Tipikor adalah 4 tahun dan Pasal 3 UU Tipikor adalah 1 tahun penjara .
Pada faktanya vonis yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi rata rata
masih tergolong rendah. Bahkan untuk kelas korupyor kelas kakap,
mereka ya mendapatkan ganjaran hukuman yang ringan. Sehingga
tentunya mereka tidak merasa jera dan kapok atas perbuatan yang telah
mereka lakukan dimana merugikan negara dan rakyat.
Sponsors Link
Di indonesia sendiri, hukuman yang berlaju bagi para pelaku korupsi hanya
berupa hukuman pemenjaraan. Padahal dibandingkan dipenjara, mereka
bahkan lebih takut ketika harus dimiskinkan seumur hidup. Bagi mereka
tidaklah menjadi masalah ketika harus mendekam hingga puluhan tahun
dibalik jeruji besi, asalkan harta dan uang mereka masih tersimpan
dengan aman.
Tentu saja hal ini membuat para koruptor masih dapat merasa tenang
meskipun harus dipenjara seperti pada contoh pelanggaran ham di
masyarakat . Apalagi meskipun didalam penjara mereka masih dapat
menikmati fasilitas yang terbilang mewah, yang tentunya berbeda dengan
mereka narapidana pada umumnya. Bahkan mereka bisa merasakan
kemewahan ala hotel berbintang meski telah berada di salam penjara.
4. Hukuman Subsider
Lagi lagi hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka lebih taku jika
harus kehilangan uangnya ketimbang mendekan di penjara. Seharusnya
juga hukuman subsider ini ditiadakan, agar tentunya para koruptor dapat
merasakan dampak darinperbuatan mereka dan menebusnya lewat jeruji
besi dan juga denda yang wajib dibayarkan kembali kepada negara.
Mereka dapat memasukkan televisi, alat gym, membawa uang tunai dalam
jumlah besar, bahkan masih dapat membawa alat komunikasi dan
terhubung dengan internet. Tentu saja hal ini tidak sejalan dan melanggar
undang undang yang berlaku.
Satu rlagi fenomena yang cukup lucu, teruatma saat ini bertepatan dengan
momentum menjelang pemilu legislatif, dimana para mantan koruptor
diperbolehkan untuk mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Tentu saja
hal inu menjadi sebuah peristiwa yang cukup membuat kita semua miris.
Dimana seorang manyan korudptor masih dengan pervaya dirinya menjadi
calin wakil rakyat, mungkin mereka lupa bahwa mereka yang lebih
dahulu menghianati kepercayaan rakyat. dan kini mereka meminta
kembali untuk dipercaya menjadi wakil rakyat. Alangkah lucunya para
koruptor kini.
Dalam hukum yang berlaku, bagi koruptor dapat tidak dikenai tindakan
penahaman dan pencekalan. Sehingga tentunya hal ini membuka peluang
bagi mereka untuk kabur keluar negeri. Jika sudah terjadi demikian maka
siapa yang mau disalahkan. Pada faktanya hukum yang beelaku bagi para
koruptor masih dianggap memiliki celah celah untuk dapat meringankan
mereka sebagimana contoh pelanggaran demokrasi yang pernah terjadi di
indonesia .
Sehingga dengan demikian maka hal ini masih dianggap meringankan dan
memberi ruang bagi koruptor untuk berkelit dari tanggung jawab atas
perbuatan yang mereka lakukan.
Menurut Budi, anak-anak jalanan saat ini lebih memilih bekerja menjadi
anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah menggiring mereka
sekolah, mestinya ada upaya sekolah yang mendatangi komunitas
mereka.
Tidak bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam, itu bukan
dunia anak-anak jalanan. Jadi sekolah perlu sektor non-formal, kemudian
jemput anak-anak ke kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan
lainnya.
Kondisi lalu intas di Indonesia, terutama di kota-kota besar saat ini jauh dari kata tertib.
Contohnya banyak kendaraan yang tidak taat pada rambu-rambu lalu lintas, seperti halnya
sering kita jumpai di kota-kota besar banyak sekali pengendara motor atau mobil sering kali
menrobos lampu merah di saat tidak ada polisi yang sedang menjaga, mengemudi kendaraan
sambil bermain HP atau menelpon, lalu pengemudi yang tidak memiliki Surat Ijin
Mengemudi (SIM ), mengemudikan kendaraan melawan arah, dan pelanggaran-pelanggaran
lainnya. Kurangnya kesadaran masyarakat membuat pemerintah bingung akan menangani
ketertiban dalam berlalu lintas. Sehingga pemerintah membuat peraturan seputar lalu lintas
dan jalan raya, yaitu UU NO.22 TAHUN 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peraturan ini diharapkan biasa membuat masyarakat tertib dalam berlalu lintas dan ramah
bagi para pengguna jalan dan mengerti terhadap sanksi yang di berikan. Tetapi pada pada
praktik keseharian masih banyak masyarakat yang melanggar lalu lintas.
Apakah peraturan saat ini sama dengan yang ada di undang-undang tentang lalu
lintas,ataukah yang seharusnya sama, tapi kenyataannya berbeda?
Kebiasaan masyarakat saat ini sangat sulit untuk dirubah sehingga banyak sekali hal-
hal yang perlu dilakukan dalam melakukan perubahan termasuk peenetapan UU tentang lalu
lintas. Pada saat ini angka kecalakan di Indonesia semakin meninggkat itu dikarnakan banyak
pengguna transportasi melanggar hukum lalu lintas. Seperti halnya :
1. Banyak pengemudi yang bermain HP pada saat mengemudi.
Mengemudi dengan bermain HP sangat jelas dilarang dan dalam undang-undang
NO.22 TAHUN 2009,Pasal 283 “Mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan
lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi : Sanksi
pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 750.000-.(tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah), undang-undang ini begitu jelas tetapi banyak orang yang masih
melakukannya dikarnakan kurangnya partispasi masyarakat dalam membantu para penegak
hukum. Juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap keselamatan sesama.
2. Kendaraan yang berbelok tidak menyalakan lampu sein
Di Negara ini kedisiplinan dalam berlalu lintas masih sangat rendah, khususnya di
daerah perdesaan atau perkotaan. Hal ini terlihat masih banyak kendaraan yang sering
berbelok tanpa menghidupkan lampu sein terlebih dahulu. Padahal tidak memberikan tanda
ketika akan berbelok itu sangat berbahaya dan bias menyebabkan kecelakaan. Hal ini juga di
atur dalam UU NO. 22 TAHUN 2009, Pasal 294 “Berbelok atau berbalik arah tanpa memberi
isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan:sanksi pidana kurungan paling lama
1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 100.000.- (seratus ribu rupiah).
3. Tidak memiliki surat ijin mengemudi (SIM ).
Sekarang saat ini banyak sekali anak-anak yang sudah bisa mengemudi, yaitu
mengemudi motor atau mobil. Tapi pada dasarnya banyak juga anak-anak sekolah yang saat
ini dengan lincahnya mengemudi mereka tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM), tidak
hanya anak-anak saja tetapi juga orang dewasa maupun orang tua. Dalam UU NO.22
TAHUN 2009, Pasal 281 “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor dijalan
yang tidak memiliki surat ijin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) di
pidana kurungan paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000 (satu
juta rupiah). Dalam undang-undang ini sudah sangat jelas setiap orang yang tidak memiliki
surat iji mengemudi (SIM) dapat terkena sanksi. Tapi dalam kehidupan sehari-hari masih
banyak pengemudi yang tidak memiliki SIM, dan juga terkait sanksi yang di undang-undang
tidak sama dengan yang di praktikan dalam keseharian. Seperti halnya yang pernah saya
alami dan mungkin masyarakat lain juga pernah mengalaminya,” Ketika saat saya pulang
kuliah pada waktu sore hari saya melihat ada banyak polisi dan polisi tersebut sedang
melakukan razia kelengkapan kendaraan, pada saat itu saya belum memiliki SIM dan
akhirnya saya kena tilang oleh polisi tersebut, tetapi sanksi yang di berikan kepada saya tidak
sama dengan yang ada di undang-undang lalu lintas.” Hal ini sering kali terjadi dalam ke
hidupan keseharian kita.” Kenapa yang seharusnya di lakukan oleh penegak hukum itu tidak
sama dengan kenyataanya? Hal yang terus saya fikirkan saat itu.
4. Tidak memakai Helm saat berkendara sepeda motor.
Tidak memakai helm adalah hal yang sangat fatal karena helm bertujuan untuk
melindungi kepala kita yang lunak, tapi sering kali hal ini masih terjadi di masyarakat,
banyak sekali pengendaran yang tidak memakai helm pada saat mengemudi motor, dan
kebanyakan orang hanya memakai helm di saat mereka akan bepergian ke kota-kota ataupun
bepergian jauh, tetapai ketika mereka hanya bepergian ketempat yang tidak jauh terkadang
mereka tedak memakai helm, dan juga ketika banyak penumpag tidak memakai helm.
Menurut UUN NO. 22 TAHUN 2009, Pasal 291 “Tidak menggunakan helm SNI; sanksi
pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000.-(dua ratus
lima puluh ribu rupiah): membiarkan penumpang tidak menggunakan helm sanksi pidana
kurungan paling lama 1(satu)bulan dan denda Rp. 250.000.-(dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
5. Melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan.
Melihat motor atau mobil yang melanggar rambu-rambu atau marka jalan bukan
pemandangan yang asing di kota ini. Mereka tampak biasa saja dan tidak mempedulikan
keselamatan diri sendiri ataupun orang lain, yang penting mereka bisa lebih cepat sampai kea
rah tujuan mereka. Kecelakan lalu lintaspun meningkat padahal peraturan yang ada
melanggar rambu-rambu lalu lintas merupakan suatu pelanggaran hukum, tindakan
melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan adalah perbuatan yang melanggar UU
NO. 22 TAHUN 2009. Pasal 287 “Melanggar lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat
lalu lintas. Sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp.
500.000-, (lima ratus ribu rupiah). Hal tersebut sudah jelas termuat dalam undang-undang
tapi masih banyak para pengendara yang dengan santainya melanggar rambu-rambu lalu
lintas.
Meski berbagai aturan sudah dikeluarkan untuk membuat situasi lalu lintas tetap
kondusif, pada kenyataannya masih saja banyak pengguna jalan yang tidak mengindahkan
aturan-aturan tersebut. Berbagai pelanggaran kerap dilakukan. Ironisnya, kelalaian tersebut
tak jarang merugikan orang lain. Seringkali terjadi kecelakaan yang membuat orang lain
terluka atau bahkan tewas.
Dalam beberapa hal tersebut, mentaati lalu lintas sangat penting dalam kehidupan kita,
meskipun apa yang sudah di tuliskan di undang-undang mengenai sanksi dan sebabnya belum
terlihat nyata dalam Negara ini, dan terkadang masyarakat biasa, tidak tahu mengenai sanksi
dan pelanggaran yang kita langgar, dan akhirnya sanksi ya ng di berikan tidak sesui dengan
undang-undang. Akan tetapi ketertiban merupakan salah satu yang mencerminan sikap
kedisiplinan kita, keselamatan merupakan hal yang paling penting dalam diri kita. Meskipun
saat ini di perdesaan ataupun di kota besar penertiban lalu lintas sangatlah berbeda, dimana di
kota-kota besar banyak sekali rambu-rambu dan di jaga oleh polisi atau penegak hukum,
sedangkan di desa sebaliknya.
ualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan
pemerintah.