Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KOMUNIKASI TERAPEUTIK

By: Anak Oggie On: Tuesday, 15 January 2013 - 20:48 Respons: 0 comments

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok ini. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini yang tentunya jauh dari
kesempurnaan. Karena itu kelompok kami selalu membuka diri untuk setiap saran dan kritik
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan karya kami selanjutnya.
Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak. Untuk
itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu,baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Akhirnya semoga sumbangan amal bakti semua pihak tersebut mendapat
balasan yang setimpal dari- Nya. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
kelompok kami khususnya dan masyarakat pecinta ilmu pengetahuan pada umumnya.

                                                                Parepare, 15 Januari  2013
                                                                                                            

                                                                                                      Penyusun

DAFTAR ISI
           
Kata Pengantar  ..........................................................................             i
Daftar Isi  ....................................................................................             ii   
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang  .........................................................             1
1.2 Rumusan Masalah  ....................................................             1
1.3 Tujuan  ......................................................................             1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik  ..........................             2
2.3 Fase-Fase Komunikasi Terapeutik  ...........................             4
2.3 Tekhnik-Tekhnik Komunikasi Terapeutik  ................             9
2.4 Faktor-Faktor Komunikasi Terapeutik  .....................           14
2.5 Proses Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan      16

BAB III PENUTUP 


3.1  Kesimpulan  ..............................................................           19
3.2  Saran  ........................................................................           19
DAFTAR PUSTAKA  .............................................................           20

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar
manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan
metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Pengalaman ilmu untuk
menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang besar
(Abdalati, 1989).
Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup ketrampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku
“caring” atau kasih sayang / cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Perawat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan
mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal,
memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra
profesi keperawatan serta citra rumah sakit, tetapi yang paling penting adalah mengamalkan
ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama manusia.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian komunikasi termasuk “therapeutic
use of self” dan “helping relationship” untuk praktek keperawatan, sikap dan tehnik serta
dimensi hubungan dari komunikasi terapeutik.

1.2   RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud dengan komunikasi terapiutik?
2.    Apa fase-fase dalam melakukan komunikasi terapiutik?
3.    Apa teknik-teknik dari komunikasi terapiutik?
4.    Bagaimana proses komunikasi terapiutik dalam keperawatan?

1.3      TUJUAN MAKALAH
1.    Membekali perawat pada saat akan melekukan tindakan kepada pasien
2.    Agar perawat dan pasien terjalin komunikasi yang baik
3.    Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada
hal yang diperlukan.
4.    Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK


Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat klien yang
bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien yang mempengaruhi perilaku pasien.
Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman
dengan menggunakan berbagai tekhnik komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah
positif seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif perawat
harus mempunyai keterampilan yang cukup dan memahami tentang dirinya.
Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen,
1987, hal. 111) karena :
1.      Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik. Dalam proses
komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran.
2.      Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan
intervensi keperawatan bergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan
untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang normal.
3.      Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik tidak
mungkin dicapai tanpa komunikasi.
Dalam membina hubungan terpeutik dengan klien, perawat perlu mengetahui proses
komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien memecahkan
masalahnya.
Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan, penerima
pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu pengirim dan penerima adalah
komunikasi yang akan member efek pada perilaku. Pesan yang disampaikan dapat berupa
verbal dan nonverbal. Bermain merupakan cara berkomunikasi dan berhubungan yang baik
dengan klien anak.
Perawat dapat menyampaikan atau mengkaji secara nonverbal antara lain : Vokal;
nada, kualitas, keras ato lembut, kecepatan, yang semuanya menggambarkan suasana emosi.
1.      Gerakan; reflex, postur, ekspresi muka, gerakan yang berulang, atau gerakan-gerakan yang
lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat diartikan sebagai suasana hati.
2.      Jarak (space)
Jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain menggambarkan keintiman.
3.      Sentuhan : dikatakan sangat penting, namun perlu mempertimbangkan aspek budaya dan
kebiasaaan.
Agar perawat dapat berperan efektif dalam terapeutik ia harus menganalisa dirinya :
kesadaran diri klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang bertanggung jawab.
Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui kondisi klien jika tidak ada kemampuan
menghargai keunikan klien.
Komunikasi terapeutik tidak dapat berlangsung sendirinya, tetapi harus di rencanakan,
di pertimbangkan dan di lakukan secara profesional. Pada saat pertama kali perawat
melakukan komunikasi terapeutik proses komunikasi umumnya berlangsung singkat,
canggung, semu dan seperti di buat-buat.hal ini akan lebih membantu untuk mempersepsikan
masing-masing hubungan pasien karena adanya kesempatan untuk mencapai hubungan antar
manusia yang positif sehingga akan mempermudah pencapaian tujuan terapeutik.

2.2  FASE – FASE KOMUNIKASI TERAPEUTIK


1.    Tahap Persiapan (Prainteraksi)
Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi
dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini perawat juga mencari
informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama
dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh seorang perawat untuk memahami dirinya,
mengatasi kecemasannya, dan meyakinkan dirinya bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan
klien (Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a.       Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan
klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani,
2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan interaksi yang akan
dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani, 2005).
b.      Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting
dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada
saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai
kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang lain,
keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya dalam
membuka pembicaraan dengan klien dan membina hubungan saling percaya
(Suryani, 2005).
c.       Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan
mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien. Paling tidak
perawat bisa mengetahui identitas klien yang bisa digunakan pada saat memulai
interaksi (Suryani, 2005).
d.      Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Perawat perlu
merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal yang direncanakan mencakup
kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk pertemuan pertama
tersebut (Suryani, 2005).

2. Tahap Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak
dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus memperkenalkan
dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan
memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan
akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini adalah
untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat
ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a.       Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka.
Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak
mungkin akan terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak. Hubungan yang dibina
tidak bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J
dalam Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan
saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa
adanya, menepati janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005).
b.      Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting
untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005).
Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi
peran-peran perawat dan klien agar tidak terjadi kesalah pahaman klien terhadap
kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk menghindari adanya harapan yang
terlalu tinggi dari klien terhadap perawat karena karena klien menganggap perawat
seperti dewa penolong yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani,
2005). Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan
kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri (Suryani, 2005).
c.       Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini
perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan
memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat mendorong klien untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi masalah
klien.
d.      merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi
bersama klien karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan
ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.
Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan
seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah
dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan mengevaluasi hasil tindakan yang lalu.
Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama klien (Cristina, dkk,
2002).

     3. Tahap Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien
bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap
kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap
perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan
tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal
maupun nonverbal klien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active
listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi,
bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien.
Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-
hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan
ide yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik
menyimpulkan adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional yang
penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005)
4.  Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina,
dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien,
setelah terminasi sementara, perawat akan bertemu kembali dengan klien pada
waktu yang telah ditentukan.Terminasi akhir terjadi jika perawat telah
menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a.       Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini
juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan
menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau
menyimpulkan.
b.      Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan
perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui
bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Apakah klien
merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien merasa
bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan
masalah baru bagi klien.
c.       Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga
disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan harus
relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir
interaksi klien sudah memahami tentang beberapa alternative mengatasi marah.
Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta klien untuk mencoba salah
satu dari alternative tersebut.
d.      Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar
terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya.
Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses
terminasi perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan,
sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi
dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut sangat
dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap
kebutuhan klien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.

2.3  TEHNIK-TEHNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK


1.      Bertanya
Bertanya (questioning) merupakan tehnik yang dapat mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Tehnik berikut sering digunakan pada
tahap orientasi.
a.       Pertanyaan fasilitatif dan nonfasilitatif
Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya perawat
sensitif terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung berhubungan dengan
masalah klien, sedangkan pertanyaan nonfasilitatif (nonfacilitative question) adalah
pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan pertanyaan yang tidak fokus pada
masalah atau pembicaraan, bersifat mengancam, dan tampak kurang pengertian
terhadap klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005).

b.      Pertanyaan terbuka dan tertutup


Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan
jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu
mendorong klien mengekspresikan dirinya (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan
jawaban yang singkat.

c.       Inapropriate quantity question


Inapropriate quantity question yaitu pertanyaan yang kurang baik dari sisi jumlah
pertanyaan, yang mengakibatkan klien bingung dalam menjawab. Terlalu banyak
pertanyaan merupakan tindakan yang tidak tepat karena menimbulkan kebingungan
klien untuk menjawab (Long, L dalam Suryani, 2005).

d.      Inapropriate quality question


Inapropriate quality question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan pada klien
dan biasanya dimulai dengan kata “why” (mengapa). Why question ini
dipertimbangkan tidak tepat karena :

1)      Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah diintimidasi (Sturat,


G.W dalam Suryani, 2005). Hal ini bisa menghambat keterbukaan klien terhadap
perawat.

2)      Tidak akan dapat menggali perasaan klien yang sebenarnya karena why question
mengiring klien untuk menjawab secara rasional atau mengemukakan alasan dari
suatu perbuatan atau keadaan, bukan bagaimana perasaanya terhadap kejadian
(Gerald, D dalam Suryani, 2005).

2.      Mendengarkan
Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi
terapeutik (Keliat, Budi Anna, 1992). Mendengarkan adalah proses aktif (Gerald, D
dalam Suryani, 2005) dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang
terhadap pesan yang diterima (Hubson, S dalam Suryani, 2005).
         Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibacakan klien
dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak
memotong pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai
waktu untuk mendengarkan (Purwanto, Heri, 1994).

3.      Mengulang
Mengulang (restarting) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien.
Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat
mengikuti pembicaraan klien (Keliat, Budi Anna, 1992). Restarting (pengulangan)
merupakan suatu strategi yang mendukung listening (Suryani, 2005).

4.      Klarifikasi
Klarifikasi (clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang
tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya (Gerald, D
dalam Suryani, 2005).
Pada saat klarifikasi, perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang
dikatakan klien, juga tidak boleh menambahkan informasi (Gerald, D dalam Suryani,
2005). Apabila perawat menginterpretasikan pembicaraan klien, maka penilaiannya
akan berdasarkan pandangan dan perasaannya. Fokus utama klarifikasi adalah pada
perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam
memahami klien.
5.      Refleksi
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan,
dan isi pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian
perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan
penghargaan terhadap klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Tehnik-tehnik refleksi terdiri dari: (Keliat, Budi Anna, 1992)
a.       Refleksi visi, yaitu memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang
diekspresikan klien dengan pengertian perawat.
b.      Refleksi perasaan, yaitu memberi respon pada perasaan klien terhadap isi
pembicaraan, agar klien mengetahui dan menerima perasaanya.
Gunanya adalah untuk :
a.  Mengetahui dan menerima ide dan perasaan.
b.  Mengoreksi.
c.  Memberi keterangan lebih jelas.
Ruginya adalah :
a.  Mengulang terlalu sering dan sama.
b.  Dapat menimbulkan marah, iritasi, dan frustasi

6.      Memfokuskan
Memfokuskan (focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk
membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Dengan demikian akan terhindar dari
pembicaraan tanpa arah dan penggantian topik pembicaraan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam mengguanakan metode ini adalah usahakan untuk tidak
memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting (Suryani, 2005).
7.      Diam
Tehnik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien
sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan
kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikiran masing-masing (Stuart &
Sundeen dalam Suryani, 2005). Tehnik ini memberikan waktu pada klien untuk
berfikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat
menyampaikan dukungan, pengertian, dan penerimaannya. Diam juga
memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada
saat klien harus mengambil keputusan (Suryani, 2005).

8.      Memberi Informasi
Memberikan tambahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan
kesehatan klien. Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau
pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan
penyembuhan klien. Informasi yang diberikan pada klien harus dapat memberikan
pengertian dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu
dalam memberikan alternatif pemecahan masalah (Suryani, 2005).

9.      Menyimpulkan
Menyimpulkan (summerizing) adalah tehnik komunikasi yang membantu klien
mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-klien. Tehnik ini membantu
perawat dan klien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri
pertemuan. Poin utama dari menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi
yang telah dilakukan (Murray, B & Judith dalam Suryani, 2005).
Manfaat dari menyimpulkan antara lain : (Suryani, 2005)
a.       Memfokuskan pada topik yang relevan.
b.      Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi.
c.       Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami perasaannya.
d.      Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan membuat tambahan atau
koreksi terhadap informasi sebelumnya.
10.  Mengubah Cara Pandang
Tehnik mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk memberikan
cara pandang lain sehingga klien tidak melihat sesuatu atau masalah dari aspek
negatifnya saja (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaan
terutama ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau memandang sesuatu
dari sisi negatifnya. Seorang perawat kadang memberikan tanggapan yang kurang
tepat ketika klien mengungkapkan masalah, misalnya menyatakan : “sebenarnya
apa yang anda pikirkan tidak seburuk itu kejadiannya”. Reframing akan membuat
klien mampu melihat apa yang dialaminya dari sisi positif (Gerald, D dalam Suryani,
2005) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

11.  Eksplorasi
Eksplorasi bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam
masalah yang dialami klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005) supaya masalah
tersebut bisa diatasi. Tehnik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan
gambaran yang detail tentang masalah yang dialami klien.

12.  Membagi Persepsi
Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2005) menyatakan, membagi persepsi
(sharing peception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat
rasakan atau pikirkan. Tehnik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat
ada perbedaan antara respos verbal dan respons nonverbal klien.

13.  Mengidentifikasi Tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus
mampu manangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah untuk
meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting (Stuart & Sadeen dalam
Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk
memfokuskan pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.

14.  Humor
Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florence
Nightingale dalam Anonymous (1999) dalam Suryani (2005) pernah mengatakan
suatu pengalaman pahit sangat baik ditangani dengan humor. Humor dapat
meningkatkan kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah
dan nadi.
Dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan :
a.       Pada saat klien mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa
menurunkan kecemasan klien.
b.      Jika relevan dan konsisten dengan sosial budaya klien.
c.       Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.

15.  Memberikan Pujian
Memberikan Pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang
didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk
meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien (Gerald, D dalam Suryani,
2005). Reniforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat
nonverbal.
2.4  FAKTOR-FAKTOR KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Faktor – faktor penghambat dalam proses komunikasi terpeutik adalah :
(Purwanto, Heri, 1994)
a.    Kemampuan pemahaman yang berbeda.
b.    Pengamatan/penafsiran yang berbeda karena pengalaman masa lalu.
c.    Komunikasi satu arah.
d.   Kepentingan yang berbeda
e.    Memberikan jaminan yang tidak mungkin
f.     Memberitahu apa yang harus dilakukan kepada penderita
g.    Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi
h.    Menuntut bukti, tantangan serta penjelasan dari pasien mengenai tindakannya
i.      Memberikan kritik mengenai perasaan penderita
j.      Menghentikan/mengalihkan topik pembicaraan
k.    Terlalu banyak bicara yang seharusnya mendengarkan.
l.      Memperlihatkan sifat jemu, pesimis.

Faktor penghambat komunikasi : (Kariyoso, 1994)


a.    Kecakapan yang kurang dalam berkomunikasi
b.    Sikap yang kurang tepat
c.    Kurang pengetahuan
d.   Kurang memahami sistem sosial
e.    Prasangka yang tidak beralasan
f.     Jarak fisik, komunikasi menjadi kurang lancar bila jarak antara komunikator dengan
reseptor berjauhan
g.    Tidak ada persamaan persepsi
h.    Indera yang rusak
i.      Berbicara yang berlebihan
j.      Mendominir pembicaraan, dan lain sebagainya

Faktor yang mempengaruhi komunikasi : (Suryani, 2005)


a)      Kredibilitas
Kredibilitas (credibility) terdapat dan berpengaruh pada sumber atau komunikator.
Kredibilitas komunikasi sangat mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi,
karena hal ini mempengaruhi tingakat kepercayaan sasaran atau komunikasi
terhadap pesan yang disampaikan.
b)      Isi pesan
Pesan yang disampaikan hendaknya mengandung isi yang bermanfaat bagi sasaran.
Hasil komunikasi akan lebih baik jika isi pesan besar manfaatnya bagi kepentingan
sasaran.
c)      Kesesuaian dengan kepentingan sasaran
Kesesuaian dengan kepentingan sasaran (context) terdapat dan berperan pada
pesan. Pesan yang disampaikan harus berhubungan dengan kepentingan sasaran.
d)     Kejelasan
Kejelasan (clarity) terdapat dan berperan pada pesan. Kejelasan pesan yang
disampaikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
e)      Kesinambungan dan konsistensi
Kesinambungan dan konsistensi (continuity and consistency) terdapat pada pesan.
Pesan yang akan disampaikan harus konsistensi dan berkesinambungan.
f)       Saluran
Saluran (channel) terdapat dan berperan pada media. Media yang digunakan harus
disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan.
g)      Kapabilitas sasaran
Kapabilitas sasaran (capability of the audience) terdapat pada komunikan. Dalam
menyampaikan pesan, komunikator harus memperhitungkan kemampuan sasaran
dalam menerima pesan.
h)      Psikologis (Rahmat, J dalam Suryani, 2005)
Seperti sikap, pengalaman hidup, motivasi, kepribadian, dan konsep.
i)        Sosial (Ellis, Gates & Kenwarthy dalam Suryani, 2005)
j)        Seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, suku, bahasa, kekuasaan, dan peran sosial.
2.5    PROSES KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PERAWATAN
1.      Proses komunikasi : (Mubarak, Wahid Iqbal, dkk, 2007)
a.    Reference, stimulus yang memotifasi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Dapat berupa pengalaman, ide atau tindakan.
b.    Pengirim/ sumber/ encorder, disebut juga komunikator. Bisa perorangan atau kelompok.
c.    Pesan/ berita, informasi yang dikirimkan. Dapat berupa kata-kata, gerakan tubuh atau
ekspresi wajah.
d.   Media/ saluran, alat atau sarana yang dipilih pengirim untuk menyampaikan pesan pada
penerima/ sasaran.
e.    Penerimaan/ sasaran/ decoder, kepada siapa pesan yang ingin disampaikan tersebut dituju.
f.     Umpan balik/ feed back/ respons, reaksi dari sasaran terhadap pesan yang disampaikan.

2.      Komunikasi Terapeutik dalam Perawatan.


a.    Pengkajian (Purwanto, Heri, 1994)
1)   Menentukan kemampuan seseorang dalam proses informasi.
2)   Mengevaluasi data tentang status mental pasien untuk menentukan batas intervensi.
3)   Mengevaluasi kemampuan pasien dalam berkomunikasi secara verbal.
4)   Mengobservasi apa yang terjadi pada pasien tersebut saat ini.
5)   Mengidentifikasi tingkat perkembangan pasien sehingga interaksi yang diharapkan bisa
realistik.
6)   Menentukan apakah pasien memperlihatkan sikap verbal dan nonverbal yang sesuai.
7)   Mengkaji tingkat kecemasan pasien sehingga dapat mengantisifasi intervensi yang
dibutuhkan.

b.   Diagnosa keperawatan (Potter & Perry, 1999)


1)   Analisa tertulis dari penemuan pengkajian.
2)   Sesi perencanaan tim kesehatan.
3)   Diskusi dengan klien dan keluarga untuk menentukan metoda implementasi.
4)   Membuat rujukan.
c.    Rencana tujuan (Purwanto, Heri,1994)
1)   Rencana asuhan tertulis (Potter & Perry, 1999).
2)   Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
3)   Membantu pasien agar dapat menerima pengalaman yang pernah dirasakan.
4)   Meningkatkan harga diri pasien.
5)   Memberikan support karena adanya perubahan lingkungan.
6)   Perawat dan pasien sepakat untuk berkomunikasi secara lebih terbuka.

d.   Implementasi (Purwanto, Heri, 1994)


1)   Memperkenalkan diri kepada pasien.
2)   Memulai interaksi dangan pasien.
3)   Membantu pasien untuk dapat menggambarkan pengalaman pribadinya.
4)   Menganjurkan kepada pasien untuk dapat mengungkapkan perasaan kebutuhannya.
5)   Menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri pasien.

e.    Evaluasi (Purwanto, Heri, 1994)


1)   Pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan
sendiri.
2)   Komunikasi menjadi lebih jelas, lebih terbuka dan berfokus pada masalah.
3)   Membantu menciptakan lingkungan yang dapat mengurangi tingkat kecemasan.

BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
1.         Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan kepekaan
serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam
dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi yang
terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi perawat.
2.         Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaanya
diperhatikan sikap dan tehnik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting
diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan factor penunjang yang sangat
berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.

3.2    SARAN
1.         Dalam melayani klien hendaknya perawat selalu berkomunikasi dengan klien untuk
mendapatkan persetujuan tindakan yang akan di lakukan.
2.         Dalam berkomunikasi dengan klien hendaknya perawat menggunakan bahasa yang mudah di
mengerti oleh klien sehingga tidak terjadi kesalahpahaman komunikasi.
3.         Dalam menjalankan profesinya hendaknya perawat selalu memegang teguh etika
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami,Ermawati.2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta : Trans


     Info Media
http://dhanwaode.wordpress.com/2010/10/09/komunikasi-dalam-proses-
pembangunan-
dalam-proses-keperawatan/

Anda mungkin juga menyukai