PEMBAHASAN
a. Pengertian Hoax
Hoax atau berita bohong sengaja diciptakan untuk menipu banyak orang dengan cara
memanipulasi data dan menutupi fakta yang ada (kebenaran). Hoax bersifat menghasut
karena dalam cerita bohong tersebut telah di rekayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah
berita bohong tersebut seperti kenyataan.
a. Didistribusikan via email atau media sosial karena efeknya lebih besar.
Ada beberapa ciri-ciri yang bisa dijadikan cara untuk mengidentifikasi suatu berita
bohong antara lain:
1. Sumber beritanya berasal dari sumber yang tidak bisa dipercaya, sehingga tidak ada
tautan ke sumber resmi.
2. Isi berita tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3. Gambar, foto atau video merupakan hasil rekayasa atau editan.
4. Mengandung kalimat yang provokatif, sehingga mudah mempengaruhi pembacanya.
5. Biasanya mengandung unsur politis dan SARA.
Beberapa jenis kabar bohong yang sering kita jumpai di media sosial adalah :
1. Hoax Proper ini merupakan berita bohong yang memang sengaja dibuat dengan
maksud untuk menipu orang-orang dengan beritanya. Hoaks ini sengaja dibuat untuk
menyerang individu atau kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan pendapat si
pembuat.
2. Click Bait ini merupakan sebuah cara menarik pengunjung yang paling banyak
digunakan oleh banyak situs-situs nakal, mereka membuat sebuah judul heboh yang
dapat membuat orang merasa penasaran dan ingin membuka situs tersebut, namun
ketika sudah dibaca ternyata isinya tidak ada kaitannya dengan judul atau malah
terlalu dibesar-besarkan dalam artian tidak sesuai. Ini akan sangat menjadi buruk
karena sifat pengguna internet kita memiliki antusias baca yang rendah, sehingga
kebanyakan dari mereka langsung membuat asumsi atau kesimpulan dari judul berita
tanpa membaca isi berita tersebut.
3. Berita yang diangkat kembali Hoaks model seperti ini biasanya menuliskan
kembali berita yang pernah ditulis beberapa tahun yang lalu yang diangkat kembali,
sehingga menimbulkan asumsi bahwa kejadian tersebut baru saja terjadi. Berita
seperti ini dapat menyesatkan apabila pembaca tidak teliti untuk mengecek kembali
tanggal kejadian dari isi berita tersebut.
b. Pengertian Hate Speech
Ujaran kebencian dapat dimaknai sebagai perkataan, perilaku, dan tulisan yang dilakukan
oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan kepada individu
atau kelompok lain. Ujaran kebencian biasanya menyentuh banyak aspek mulai dari ras,
warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan, hingga agama dan
lain-lain (Teja,2017). Beranjak dari pemahaman semacam ini dapat dikatakan bahwa seluruh
ekspresi ujaran kebencian itu direalisasikan melalui bahasa baik verbal ataupun nonverbal
yang bertujuan untuk mendiskriminasikan, mengintimidasi, mendominasi dan menciptakan
permusuhan dan kekerasan.
Di Indonesia, setidaknya ada dua institusi yang dapat dirujuk untuk memahami definisi
tentang ujaran kebencian (hate speech).
Pertama, merujuk kepada surat edaran Kapolri Nomor : SE/6/X/2015 tentang ujaran
kebencian adalah keseluruhan perbuatan yang bersifat menghina, mencemarkan nama baik,
menista, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut atau menyebarkan berita
bohong.
Berdasarkan surat edaran Kapolri Nomor : SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian bahwa
tindakan penebaran Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain : a)
dalam orasi kegiatan kampanye : b) spanduk atau banner; Jejaring media sosial ; c)
penyampaian di muka umum (demonstrasi); d) ceramah keagamaan; e) Media massa cetak
maupun elektronik; dan f) Pamflet
Kedua, defisini yang diusulkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
bahwa yang dimaksud dengan ujaran kebencian adalah segala tindakan dan usaha baik
langsung maupun tidak langsung yang didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama,
aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender,
kaum difabel, dan orientasi seksual yang merupakan hasutan terhadap individu maupun
kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial
yang dilakukan melalu berbagai sarana (Komnas HAM, 2016).
Ketiadaan definisi yang bisa diterima secara universal membuktikan bahwa kasus-kasus
tindak ujaran kebencian menimbulkan dampak yang serius, dan praktiknya sulit untuk
diidentifikasi. Kesulitan mengidentifikasi tindakan ujaran dikarenakan bahwa ujaran
kebencian tidak selalu termanifestasikan melalui ekspresi kebencian atau emosi. Ujaran
kebencian sering tersirat dalam pernyataan yang dirasa normal namun jika dicermati terdapat
poin-poin yang dianggap sebagai ujaran kebencian (hate speech) terutama bagi korban atau
sasaran dari tindakan ini.
Menghina berarti; merendahkan martabat atau memandang rendah (hina atau tidak
penting) seseorang; misalnya, dilakukan dengan melontarkan kata-kata yang jorok, kotor,
atau tidaksenonoh, baik lisan maupun tulis. (kemdikbud)
Provokasi adalah yang disampaikan secara langsung ataupun tidak langsung yang
merupakan tantangan atau pancingan kepada lawan yang bertujuan untuk memanas – manasi
lawan. Menjatuhkan citra lawan serta untuk meningatkan dukungan dan citra kandidat yang
melancarkan aksi provokasi (Artha : 2009) Contoh: Merendahkan atau meremehkan orang
yang dimotivasi agar tergerak. Misal : “Masak… Anda yang memiliki kemampuan untuk
bersedekah, tidak mampu sedikitpun untuk bersedekah. Dimana letak kehebatan Anda itu”,
“Apa hebatnya Anda kalau tidak bisa berbuat apa-apa untuk negeri ini…”
Berita palsu atau hoax menjadi fenomena di Indonesia yang membuat masyarakat resah
setiap harinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa berita-berita bernuansa provokatif di media
massa banyak menarik perhatian masyarakat. Pemanfaatan media sosial menjadi tempat
masyarakat menyampaikan opini publik terhadap isu yang sedang berkembang dimasyarakat.
Dengan adanya internet masyarakat bias beropini melalui media sosial baik Twitter,
Facebook, Line, Instagram dan lain sebagainya. Pemerintah seharusnya mulai serius untuk
menangani fenomena penyebaran hoax dan hate speech di media sosial.
Setiap tahun angka laporan tentang tindak pidana hoax dan ujaran kebencian semakin
meningkat. Data menunjukkan bahwa dari tahun 2013 sampai 2014 terjadi kenaikan 53%
(Simangunsong, 2016). Pada tahun 2015, jumlah laporan yang berkaitan dengan ujaran
kebencian sebanyak 671 laporan. Tahun 2016, jumlah laporan mengenai hal itu juga tinggi.
Pada bulan februari sampai Mei 2017 Polri menyebutkan bahwa terdapat ribuan kasus ujaran
kebencian yang dilaporkan dari berbagai daerah di Indonesia. Angkanya mencapai 80% dari
seluruh laporan masyarakat tentang kejahatan siber.
Penyebaran berita hoax dan hate speech dapat dilakukan dimanapun, melalui media
apapun, dan oleh siapapun. Salah satu alat penyebaran berita hoax yang sedang marak saat ini
adalah media sosial. Media sosial dapat dengan mudah di akses melalui telepon genggam
atau telepon pintar (smartphone). Bukan hanya masyarakat Indonesia saja, hampir
masyarakat dunia saat ini memiliki akun media sosial nya masing-masing. Beberapa media
sosial yang menjadi sasaran empuk penyebaran berita hoax yaitu : Facebook, Instagram,
WhatsApp bahkan Youtube.
Mengingat media sosial adalah media yang paling banyak digunakan sehingga peluang
penyebaran berita bohong atau hoax semakin meningkat. Persoalan lainnya yang
menyebabkan penyebaran berita hoax semakin sulit di kendalikan adalah kebiasaan
masyarakat Indonesia yang cenderung ingin cepat berbagi informasi di dunia nyata maupun
dunia maya tanpa memperhatikan sumber berita sehingga enggan untuk mengecek ulang
sumber berita yang pertama kali membuat atau menyebarkan berita tersebut. Karena
kebiasaan inilah yang menjadikan seseorang langsung percaya tanpa memperdulikan
kebenarannya dan secara tergesa-gesa membagikan berita atau informasi tersebut kepada
pengguna media sosial lainnya.
Salah satu contoh berita bohong yang paling sering terjadi melalui media sosial adalah
mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang
atau kejadian yang sebenarnya. Baru-baru ini kasus hoax melalui media sosial yang paling
menggemparkan khususnya bagi masyarakat Indonesia adalah kasus hoax yang dibuat oleh
Ratna Sarumpaet. Kasus ini bermula ketika Ratna Sarumpaet mengunggah foto wajahnya
yang memar di akun Instagram miliknya dengan keterangan Ratna telah di keroyok
segerombolan orang yang tak dikenal. Ratna Sarumpaet merupakan salah satu anggota tim
sukses pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Oleh karena itu,
kasus ini dianggap cukup menarik dan menuai banyak kontroversi karena politisi Prabowo
Subianto yang seyogyanya capres Republik Indonesia membenarkan pernyataan yang telah
dibuat oleh Ratna Sarumpaet sehingga menimbulkan kritik dan fitnah yang menunjuk
kepada pihak tertentu.
Kasus ini tidak memerlukan waktu yang lama untuk tersebar di media sosial dan banyak
yang me-repost (mengunggah ulang) melalui media sosial lainnya seperti Facebook, Twitter,
Google, Youtube dan lain sebagainya. Hal ini menjadi contoh bahwa dengan mudahnya
berita hoax menyebar melalui media sosial. Selain pengguna media sosial yang banyak, fitur
membagi berita (share) tersebut sangatlah mudah.
Setelah kasus ini ditangani oleh pihak yang berwenang, Ratna mengaku ia melakukan hal
tersebut demi untuk menutupi rasa malunya pasca gagal operasi sedot lemak di wajahnya.
Tanpa mencari tahu kebenarannya, akibatnya banyak orang yang merasa tertipu ketika sudah
mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
1. Memahami budaya
Budaya Jawa selalu menekankan pada unggah-ungguh dalam bertutur kata dengan orang
lain, sehingga harus diberi penjelasan terlebih dahulu baru kemudian mengungkapkan
intinya. Sehingga mitra tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung dengan apa yang
dituturkan. Apalagi jika hal itu berisi kritikan. Meskipun demikian, ada orang yang tidak
menyukai hal yang tidak disampaikan secara langsung. Karena terkesan berputar-putar. Jadi
lebih baik jika kritik atau tutur kata disampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak
bertele-tele sehingga mitra tutur tidak merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang lebih sering secara langsung
mengungkapkan apa yang dipikirannya.
2. Pengendalian diri
Penutur ketika bertutur kerap didorong rasa emosi, hal itu kerap menimbulkan terjadi
perselisihan dalam berkomunikasi. orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya maka
dapat dipastikan pembicaraan akan berujung pada pertengkaran mulut. Jika demikian maka
tutur kata yang dikeluarkan oleh penutur adalah tuturan yang memiliki makna yang kurang
sopan dan cenderung kasar. Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik supaya dapat
mengendalikan tuturan yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling menyakiti.
3. Bertutur bijak
Bertutur bijak dalam bertutur sapa merupakan bentuk pencegahan disharmoni dengan
mitra tutur. Fenomena dialog interaktif yang dipertontonkan oleh para praktisi di berbagai
profesi, praktisi dengan latar belakang yang berbeda tersebut cenderung memiliki pendidikan
yang tinggi dari berbagai lembaga terbaik pula. Tetapi pendidikan yang tinggi bukan sebagai
indikator pengukur bijak bersikap dengan mitra tutur. Tidak jarang praktisi mempertontonkan
ketidakbijakan bersikap dan bertutur bijak di hadapan seluruh permirsa.
Every body has a right to my opinion, setiap orang tentu saja ingin membenarkan
pendapatnya. Cara pandang ini tanpa didukung fakta akan menimbulkan apriori. Seorang
yang bijak selayaknya harus didukung oleh fakta yang konkret, kalau tidak tentu akan
terjerumus pada jurang hoax. Hoax sebagai bentuk pembenaran tanpa data dan fakta. Penutur
yang bijak selayaknya perlu menghargai pendapat mitra tutur. Apalagi dengan sengaja
memojokkan mitra tutur dalam berdialog.
Menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk yang bijaksana dalam berkomunikasi
agar tidak terjadi jarak komunikasi antara penutur dengan mitra tuturnya. Begitu pula dengan
memberikan data dan fakta dalam berkomunikasi sehingga berkomunikasi berjalan dengan
baik.
Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur tanpa
berdasarkan fakta dan data tentu berdampak pada ketidaknyamanan dalam berkomunikasi.
Penutur dengan mitra tutur dalam berkomunikasi dan dalam kehidupan masyarakat selalu
berdasarkan pada baik sangka dengan memperkecil serta menghilangkan buruk sangka
sebagai asas kepercayaan dalam berkomunikasi.
Menjaga kepercayaan agar tidak hilang secara kontinu dijaga dan dibangun kepercayaan
pada semua orang, dengan demikian buruk sangka orang lain kepada penutur dan mitra tutur
berlangsung positif. Contohnya terjadi pada pergaulan dan pertemanan, apabila salah satu
pihak mengkhianati kepercayaan dari pihak lain maka pihak lain tersebut akan selalu
menaruh curiga. Orang tersebut tidak akan percaya dengan kata-kata rekannya dan tentu akan
menanggapinya dengan sinis. Sehingga kata-kata yang dikeluarkan juga menjadi kasar dan
sinis, yang disebabkan oleh buruk sangka.
Di Indonesia kita memiliki aturan yang ketat dalam menggunakan media sosial, hal ini
terbukti dengan adanya peran pemerintah melalui UU-ITE yang dibuat berdasarkan
keputusan anggota dewan yang menghasilkan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang
“Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE).”
Berdasarkan pasal UU-ITE tersebut berbunyi : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat di aksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan”.
Pasal-pasal yang mengatur tindakan Hate Speech terhadap seseorang semuanya terdapat
di dalam Buku I KUHP Bab XVI khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317,
dan Pasal 318 KUHP.
PASAL 310 (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis
dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan
fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 315 “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat penecmaran atau
pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan
atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat
yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 317 (1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu
kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 318 (1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu
persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam
karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pemerintah juga membuat beberapa cara agar hoax yang semakin mewabah bisa
teratasi, diantaranya :
Pemerintah menerbitkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) yang diperbarui dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang ITE
diterbitkan pemerintah karena menyadari pemanfaatan teknologi informasi, media dan
komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global.
Kemajuan teknologi dan informasi yang saat ini terjadi ibarat pedang bermata dua. Selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia,
kemajuan teknologi informasi juga menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. UU
ITE dalam pasal-pasalnya mengatur rambu-rambu terkait aturan dan larangan apa saja yang
harus dipatuhi masyarakat ketika mereka berinteraksi di dunia maya atau media sosial.
Termasuk juga apa yang boleh diposting ataupun dilarang ditampilkan di dunia maya karena
dikhawatirkan dapat mengganggu ketertiban umum.
Pasal 27, 28 dan 29 dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE memberikan sanksi yang
jelas bagi mereka yang melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang termaksud
dalam pasal-pasal tersebut diatas. Keberadaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik kini sudah direvisi mengingat semakin meningkatnya jumlah
pelanggaran yang dilakukan netizen di dunia maya. Pemerintah pun mengeluarkan UU No.
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Revisi ini dilakukan dalam koridor untuk memberikan jaminan atas
pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
yang demokratis. Hal lain yang mendorong dilakukannya revisi atas UU ITE adalah semakin
meningkatnya jumlah netizen yang terjerat UU ITE karena berbagai sebab khususnya
penyebaran konten-konten yang dianggap meresahkan dan bernuansa SARA.
Langkah lain yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi persebaran berita palsu
(hoax) dilakukan dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Komunikasi Publik. Instruksi pokok yang terkandung dalam Inpres itu antara
lain : memberikan kewenangan kepada seluruh instansi pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam
rangka menyerap aspirasi publik, dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan
dan program pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan komunikasi publik atau
dikenal dengan narasi tunggal ini berada dibawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan
Informatika.Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam prakteknya menyebarluaskan
kepada publik narasi tunggal dan data pendukung yang diperlukan agar diketahui publik.
Selain itu, narasi tunggal yang disampaikan baik itu kebijakan maupun program pemerintah
secara lintas sektoral dan lintas daerah kepada publik harus disampaikan melalui saluran
komunikasi kepada masyarakat secara tepat, cepat, obyektif, berkualitas baik, berwawasan
nasional, dan mudah dimengerti terkait dengan kebijakan dan program pemerintah. Dalam
instruksi tersebut juga disebutkan bahwa informasi yang disampaikan kepada masyarakat
dapat dibuat dalam bentuk iklan layanan masyarakat yang mampu menimbulkan respon
positif masyarakat dan tidak menayangkan kepentingan pribadi dan golongan.
Keluarnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik
selanjutnya ditindaklanjuti Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan mengeluarkan
widget Government Public Relation (GPR). Widget GPR yang dikeluarkan Kominfo ini
wajib dipasang di website setiap Kementerian/Lembaga/Pemda. Cara untuk mengakses
widget ini dilakukan dengan memberikan user name kepada pengelola informasi di masing-
masing Kementerian/Lembaga/Pemda agar mereka dapat mengakses informasi yang akan
disampaikan ke publik melalui aplikasi ini. Apabila informasi yang disampaikan dipandang
sudah memenuhi syarat untuk ditampilkan, pengelola widget GPR akan meneruskan
informasi tersebut di aplikasi GPR dan langsung bisa diakses oleh masyarakat melalui
website Kementerian/Lembaga/Pemda yang sudah memasang aplikasi Ini.
Keluarnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik
juga ditindaklanjuti Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan merekrut Tenaga
Humas Pemerintah pada tahun 2015. Tenaga Humas Pemerintah ini direkrut dari kalangan
profesional maupun PNS yang memiliki kompetensi dasar jurnalistik dan hubungan
masyarakat. Hasil rekrutmen Tenaga Humas Pemerintah selanjutnya didistribusikan di setiap
Kementerian/Lembaga yang dianggap membutuhkan. Di samping mencermati isu yang
berkembang setiap hari di media massa, para tenaga humas pemerintah juga melakukan
pemetaan dan melakukan counter terhadap isu yang bersinggungan dengan
Kementerian/Lembaga ditempatnya ditugaskan.
Dalam rangka menjamin proses aduan yang dilakukan masyarakat dapat terus berjalan,
pelapor aduan konten dapat menelusuri sampai sejauh mana proses pelaporan yang
dilakukannya telah ditindaklanjuti. Hal ini dikarenakan setiap aduan konten yang diterima
diberikan nomor tiket. Dengan nomor tiket tersebut, maka pelapor dapat mengecek status
aduannya melalui fasilitas yang tersedia.
a. Pornografi
b. Perjudian
c. Pemerasan
d. Penipuan
e. Kekerasan/Kekerasan Anak
i. Provokasi SARA
j. Berita Palsu
k. Terorisme/Radikalisme
Portal aduan konten ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Permenkominfo ini memuat aturan dasar mengenai tata cara pemblokiran situs internet
bermuatan negatif dengan melibatkan peran serta masyarakat dan penyelenggara jasa akses
internet dengan menyediakan daftar alamat situs yang bermuatan negatif yang disebut
TRUST Positif.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangkal sebaran berita palsu (hoax)
adalah menginisiasi Gerakan bersama Anti Hoax dengan komunitas masyarakat yang selama
ini konsen dengan penangkalan penyebaran berita palsu (hoax). Dalam acara yang digagas
awal Januari 2017 secara serentak di tujuh kota di Indonesia, di antaranya : Jakarta, Bandung,
Semarang, Solo, Wonosobo, Yogyakarta dan Surabaya, juga diluncurkan portal
TurnBackHoax.id. Gerakan Bersama ini pada prinsipnya mengajak seluruh masyarakat untuk
peduli dan secara bersama-sama memerangi persebaran informasi palsu (hoax) yang marak di
media sosial. Kementerian Komunikasi dan Informatika juga melakukan sejumlah langkah
konstruktif seperti merangkul tokoh-tokoh masyarakat untuk menjadi duta anti hoax,
penandatanganan Piagam Masyarakat Indonesia Anti Hoax, membentuk relawan dan
deklarasi relawan anti hoax di daerah.
Selain itu juga berkolaborasi dengan sejumlah komunitas berjejaring maupun lembaga
pemerintah seperti Kepolisian dalam rangka penegakan hukum. Kementerian Komunikasi
dan Informatika bersama Komunitas Anti Hoax juga mnyiapkan code of conduct tentang tata
cara berkomunikasi dengan cerdas di media sosial, termasuk mendorong gerakan literasi
media ke masyarakat, roadshow ke institusi pendidikan, seperti kampus, sekolah, pesantren,
ormas, ulama, pemuka agama, serta budayawan. Dalam rangka menangkal persebaran berita
palsu, Dewan Pers juga akan memberikan barcode untuk media-media yang sudah
terverifikasi sehingga memudahkan masyarakat membedakannya dengan media “abal-abal”
yang kerap menyebarkan berita palsu (hoax). Barcode yang diberikan oleh Dewan Pers itu
dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat mengenali media yang terpercaya dan
terverifikasi di Dewan Pers. Barcode tersebut nantinya akan ditempelkan pada media cetak
dan online serta dapat dipindai dengan ponsel yang akan terhubung dengan data Dewan Pers.
Dengan memindai barcode tersebut, pembaca bisa mengetahui informasi mengenai media
yang bersangkutan, misalnya alamat redaksi maupun nama pemimpin redaksi.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk
meminimalisasi sebaran berita palsu di media sosial tampaknya belum dianggap optimal.
Meski sudah dilakukan pemblokiran terhadap situs-situs berita palsu (hoax), namun
kemunculan berita palsu setiap hari kian massive. Hal ini kemudian mendorong pemerintah
melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bekerjasama dengan
Kementerian Pertahanan menggagas pembentukan Tim Sinergi Media Sosial Aparatur Sipil
Negara (SIMAN). Pembentukan SIMAN ini diawali dengan pelatihan Training of Trainer
(ToT) terhadap minimal dua orang perwakilan seluruh Kementerian/Lembaga. Para peserta
ToT ini diharapkan mampu memberikan pelatihan kepada minimal 50 orang pegawai dan
maksimal 100 orang pegawai di instansi masing-masing. Seluruh pegawai yang dilatih ini
nantinya akan menjadi tim penangkal berita palsu (hoax) dengan menyebarkan konten-konten
yang telah dipersiapkan narasinya oleh pemerintah. Tim yang dibentuk dengan pola seperti
ini diharapkan akan semakin banyak guna mendukung upaya pemerintah menanggulangi
berita palsu (hoax).
2.5 Contoh kasus Hoax dan Hate Speech
-Ratna Sarumpaet
Pemberitaan penganiayaan Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang pertama kali beredar
dalam Facebook tanggal 2 Oktober 2018 di akun Swary Utami Dewi. Unggahan itu disertai
tangkapan layar (screenshoot) aplikasi pesan WhatsApp yang disertai foto Ratna Sarumpaet.
Konten tersebut kemudian diviralkan melalui Twitter dan diunggah kembali serta
dibenarkan beberapa tokoh politik tanpa melakukan verifikasi akan kebenaran berita tersebut.
Direktur Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Nico Afinta mengatakan
Ratna telah melakukan perjanjian operasi pada 20 September 2018 dan tinggal hingga 24
September. Polisi juga menemukan sejumlah bukti berupa transaksi dari rekening Ratna ke
klinik terssebut
Afurwan Devine pemilik akun facebook Afurwan Febian Devine menangis meminta maaf, di
Mapolres Tanjung Pinang karena menyebarkan ujaran kebencian di media sosial. Afurwan
mengakui perbuatannya telah mencemarkan Islam lewat status facebooknya pekan lalu.
"Saya menyampaikan permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya, saya menyesal apa
yang telah dilakukan ternyata salah," ujar Afurwan di Mapolres Tanjungpinang.
Dia berjanji tidak akan pernah mengulangi perbuatan serupa. Menurut dia, tidak ada gunanya
memposting sana-sini terkait ujaran kebencian yang didapat hanya nama jelek, usaha
mungkin berdampak, dan tidak bisa bertemu keluarga karena ditahan di Mapolres Tanjung
Pinang.
Diketahui, Afurwan memposting ujaran kebencian yang menjelekkan nama baik umat Islam
dan birokrasi pada Kamis (24/1/2019) sekira pukul 21.30 WIB. Dalam postingan itu Afurwan
menulis kata-kata ajakan untuk berperang habis-habisan melawan dan menang terhadap
golongan kanan sayap radikal, kaum kapitalis biadad, birokrat goblok, dan Islam Dongok.
Melihat postingan itu beberpa perwakilan umat Islam langsung melaporkan ke Mapolres
Tanjungpinang.
Riswandi, sebagai pelapor dari perwakilan umat Islam Tanjungpinang menyampaikan terkait
permintaan maafnya itu diterima, karena umat Islam selalu mamaafkan. Namun, untuk proses
hukum tetap berlanjut yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian.
Kasatreskrim Polres Tanjung Pinang AKP Efendri Alie menyampaikan, dengan adanya
testimoni semacam pendingin di tengah masyarakat. Untuk proses hukumnya, kata Alie, tetap
dilaksanakan. Dalam kasus ini pelaku melanggar Pasal 45 huruf a UU ITE 11/2008 dengan
ancaman 6 tahun penjara. Alie mengimbau kepada masyarakat Tanjungpinang dan agar
berhati-hati dan bijak menggunakan media sosial. "Kalau tidak suka lebih baik didiamkan
jangan sampai merugikan diri sendiri, apalagi sampai melanggar undang-undang informasi
dan transaksi elektronik," tutup Alie.
Dampak ujaran kebencian tentu saja sangat besar, karena banyaknya massa yang tidak terima
dengan pendapat yang memilukan hati, dan tidak sesuai dengan kaidah kaidah yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ujaran kebencian dapat dimaknai sebagai perkataan, perilaku, dan tulisan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan
kepada individu atau kelompok lain. Ujaran kebencian biasanya menyentuh banyak aspek
mulai dari ras, warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan,
hingga agama dan lain-lain (Teja,2017). Dapat dikatakan bahwa seluruh ekspresi ujaran
kebencian itu direalisasikan melalui bahasa baik verbal ataupun nonverbal yang bertujuan
untuk mendiskriminasikan, mengintimidasi, mendominasi dan menciptakan permusuhan
dan kekerasan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Ujaran Kebencian , Hoaks dan
mencegah disharmonisasi sosial dengan berbahasa santun yaitu dengan ; (1) memahami
budaya, (2) pengendalian diri, (3) bertutur bijak, (4) menghargai pendapat orang lain , (5)
menghilangkan buruk sangka