Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur

superfisial yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan

daerah perineum.1 Tinea kruris masuk ke dalam golongan dermatofitosis dimana

infeksi ini disebabkan oleh jamur dermatofita.1

Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis

dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. 2

Dermatofit tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di negara

berkembang. Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%),

tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan

sebanyak 1% tipe lainnya.3 Didapatkan data di Unit Penyakit Kulit dan Kelamin

RS. dr. Cipto Mangunkusumo, golongan mikosis superfisial berturut ditempati

oleh golongan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, dan kandidosis. Pada tahun

2002-2004 di RS. Dr. Sardjito, data 10 besar penyakit di Poli Kulit dan Kelamin

menunjukkan bahwa dermatofitosis menduduki peringkat kedua, sedangkan dari

bagian jamur sendiri menduduki peringkat pertama atau kasus yang paling sering

dijumpai. Pada tahun 2011 di Rumah Sakit (RS) Dr.M.Djamil Padang tinea kruris

merupakan dermatofitosis terbanyak (72%), berdasarkan data rekam medis selama

tahun 2010 ditemukan 288 orang penderita baru dematofitosis dengan 207 orang

penderita baru tinea kuris.2,3 Suhu dan kelembaban yang tinggi menjadi salah satu

faktor yang mendukung penyebaran infeksi ini.4

1
Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan

penyakit yang berlangsung seumur hidup.1 Tinea kruris lebih sering menyerang

pria dibandingkan wanita.1

Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah

tampak kurang aktif, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif. 3 Faktor-faktor

yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial

ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit

sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, Higiene juga berperan untuk

timbulnya penyakit ini.2

Berikut dilaporkan sebuah kasus Tinea Kruris pada seorang laki-laki

berusia 58 tahun yang dirawat di irina C3 Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou

Manado pada bulan Agustus 2018.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : ADN
Umur : 58 Tahun 2 Bulan
TTL : Manado, 25 Juni 1960
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Poigar 2 Jaga II Lingk. V Sinonsayang
Suku : Bolaang
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
Tanggal Konsul : 31 Agustus 2018
No. HP : 085241771820

B. Anamnesis
Keluhan utama:
Bercak merah kehitaman bersisik disertai gatal di paha kiri, pinggang,
bokong sejak 5 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluhkan ada bercak merah kehitaman bersisik disertai gatal
di paha kiri, pinggang, bokong sejak 5 tahun yang lalu. Awalnya muncul
bercak merah kecil di bokong yang lama kelamaan membesar dan meluas ke
bokong dan paha kiri. Pasien saat ini dirawat di irina C3 dengan Congestive
Heart Failure ec Hipertensive Heart Disease fc II-III dan Hipertensi.

Riwayat Pengobatan:
Pasien mengatakan bahwa pasien menggunakan kalpanax dan juga
minum CTM untuk mengobati keluhan kulitnya.

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien memiliki riwayat Hipertensi, Asam urat, Kolesterol. Tidak ada
riwayat Diabetes dan penyakit jantung

Riwayat Alergi:
Pasien memiliki riwayat alergi makanan seperti telur, daging ayam, ikan
cakalang.

Riwayat Atopi:
Pasien memiliki riwayat alergi makanan, tidak memiliki riwayat asma
ataupun riwayat bersin-bersin pada pagi hari.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Hanya pasien yang memiliki keluhan seperti ini di keluarganya.

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien merupakan Ayah dari 3 orang anak. Pasien tinggal dirumah
permanen milik sendiri. Rumah pasien beratap seng, berdinding beton,
berlantai keramik dan memiliki ventilasi yang baik. Mempunyai 3 kamar
tidur dengan kamar mandi di dalam rumah.

Riwayat Kebiasaan:
Pasien mandi sebanyak 3x sehari dengan menggunakan sabun mandi. Pasien
sering melakukan aktivitas yang menghasilkan banyak keringat yaitu pasien
bekerja sebagai petani. Pasien sehari-hari bekerja sebagai tani di sawah
milik pribadi.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis

Keadaan Umum : sakit ringan

4
Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

Tensi : 140/90 mmHg

Nadi : 86 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,7°C

Tinggi Badan : 169 cm

Berat Badan : 90 kg

Status Gizi : Obese menurut IMT. IMT = 31,5

Kepala

Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)

Hidung : Sekret (-).

Mulut : Karies gigi (-)

Leher

Trakea : Letak tengah, pembesaran Thyroid (-),


pembesaran KGB(-)

Thoraks

Simetris, retraksi (-)

Cor : SI-II Reguler, bising (-), murmur (-)

Pulmo : Sp. Vesikuler, Rh -/- , Wh -/-

Abdomen

Datar, lemas, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-).

5
Hepar / Lien : Tidak teraba.

Inguinalis

Pembesaran KGB : (-)

Ekstremitas

Akral hangat, edema (-), CRT <2 detik.

Status Dermatologis :

R. Femur sinistra, R. Inguinalis, R. Gluteus, R. Thorakalis posterior:


Makula eritem hiperpigmentasi, ukuran plakat, batas tegas, tepi aktif (+),
central healing (+)

Gambar 1. Lesi pada regio femur sinistra

6
Gambar 2. Lesi pada regio gluteus

D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
mikroskopik kerokan kulit dengan pewarnaan KOH 20%.
Dari hasil mikroskopik didapatkan hifa panjang dan
bersepta.

Pemeriksaan mikroskopik preparat dengan KOH 20%

 Letakkan skuama diatas gelas objek, kumpul menjadi satu di bagian


tengah gelas objek.
 Teteskan larutan KOH 20%
 Tutup dengan gelas penutup
 Panaskan diatas api Bunsen sampai timbul gelembung pertama.
 Lihat di mikroskop dengan pembesaran 40x
 Hasil : Hifa
panjang dan
bersepta.

7
Gambar 3. Pengambilan sampel

Gambar
4. Gambaran mikroskopik

E. Diagnosis
Tinea Kruris

F. Diagnosis Banding
- Psoriasis Vulgaris
- Pityriasis Rosea
- Kandidiasis Inguinalis

G. Penatalaksanaan
- Miconazole 2% cream 2 x oles setiap hari
- Cetirizine 10 mg 1x1

8
H. Edukasi
Oleskan salep secara teratur 2 kali sehari, setelah mandi
dioleskan secara tipis dan merata pada keseluruhan lesi.
Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh pada lesi,
konsisten, dan tekun untuk menghindari kekambuhan. Merubah
pola hidup lebih higienis. Ganti pakaian, handuk, sprei yang
digunakan, dan cuci teratur. Hindari penggunaan pakaian, handuk,
seprai bersama anggota keluarga serumah. Kontrol kembali ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado setelah pasien rawat jalan.

I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB III

PEMBAHASAN

9
Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang

menyerang jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada

epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita.

Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi. 5,6

Tinea kruris sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur superfisial yang

mengenai kulit pada daerah genitokrural saja atau bahkan meluas ke daerah

sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. 1

Dermatofitosis dibagi atas beberapa bentuk. Pembagian berdasarkan

lokasi, yaitu tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis et manum, tinea

unguium, dan tinea korporis. Selain 6 bentuk tinea, masih dikenal istilah yang

mempunyai arti khusus, yaitu : tinea imbrikata; tinea favosa atau favus; tinea

fasialis, tinea aksilaris; tinea sirsinata, arkuata. Keempat istilah tersebut dapat

dianggap sebagai tinea korporis.1

Tinea Kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum

diseluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia. 7

Penyakit ini merupakan salah satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan ditemui

terutama pada musim panas dengan kelembapan tinggi.8 Berdasarkan urutan

kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris

(10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya. 3 Pada

tahun 2011 di Rumah Sakit (RS) Dr.M.Djamil Padang tinea kruris merupakan

dermatofitosis terbanyak (72%), berdasarkan data rekam medis selama tahun 2010

ditemukan 288 orang penderita baru dematofitosis dengan 207 orang penderita

baru tinea kuris.2,3 Tinea menduduki peringkat kelima sari sepuluh penyakit

terbanyak tahun 2014 di Poliklinik Dermatologi Infeksi Rumah Sakit Umum

10
Pusat DR. Moh. Hosein Palembang, dan tinea kruris menduduki peringkat ketiga

dari seluruh pasien tinea.

Suhu dan kelembaban yang tinggi menjadi salah satu faktor yang

mendukung penyebaran infeksi ini.2,3 Penyakit ini dapat bersifat akut atau

menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. 1

Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali lebih sering

terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.3 Orang dewasa lebih sering

menderita tinea kruris bila dibandingkan dengan anak-anak.5

Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum dan

Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang paling

sering menyebabkan terjadinya epidemi. Tinea kruris yang disebabkan oleh E.

floccosum paling sering menunjukkan gambaran central healing, dan paling

sering terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian pertengahan paha atas. T.

Mentagrophytes dan T. verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea

Kruris seperti halnya tinea korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun

kontak dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi

karena adanya oklusi dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab.3

Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,

penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon penjamu.9 Pertama

adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil

fregmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa

pertahanan penjamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea

yang bersifat fungiastik dan kompetisi dengan flora normal. 2 Dalam beberapa jam,

11
secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora

mulai berlangsung.

Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini

dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi

nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke

keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam dinding sel

dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan espon imunitas

seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.10

Proses ketiga adalah perkembangan respon penjamu. Derajat inflamasi di

pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi

hipersensitivas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang

peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari

reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon

imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit kronis dan

berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga

berpengaruh terhadap kronisitas.8,9

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan status

dermatologis dari pasien ini mengarah pada tinea kruris. Hal ini juga diperkuat

dengan ditemukannya hifa panjang dan bersepta pada kerokan kulit dengan KOH

20%. Temuan ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa

pemeriksaan penunjang tinea adalah pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH dan

akan tampak hifa panjang, bersepta dan bercabang, serta spora berderet

(artrospora).1

12
Pada anamnesis pasien ada keluhan bercak merah kehitaman bersisik

disertai gatal di paha kiri, pinggang, bokong sejak 5 tahun yang lalu. Awalnya

muncul bercak merah kecil di bokong yang lama kelamaan membesar dan meluas

ke pinggang dan paha kiri. Pasien mengeluh gatal terutama saat berkeringat

ataupun setelah makan telur ayam. Pasien sudah sering oles obat kalpanax dan

minum CTM untuk mengurangi keluhan pada kulitnya. Hal ini sesuai dengan

kepustakaan yang menyatakan bahwa pasien memiliki gejala klinis berupa gatal.

Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) dari pada bagian

tengah dan ini sesuai dengan keluhan pasien yang menyatakan tepi lesi berwarna

merah. Adapun gejala khas dari tinea adalah tepi lesi aktif dan central healing.1

Pasien juga sering melakukan aktivitas yang menghasilkan banyak

keringat yaitu dengan berkerja sebagai petani, dan berganti pakaian hanya saat

selesai mandi setelah beraktivitas dan berkeringat seharian. Menurut kepustakaan

berbagai faktor resiko yang mempengaruhi pertumbuhan dari tinea korporis antara

lain: higienitas diri yang buruk, obesitas, iklim yang panas dan lembab, sering

berkeringat, kontak langsung dengan sumber infeksi, atau beberapa penyakit

sistemik seperti penyakit diabetes mellitus, penyakit Cushing, terapi

kortikosteroid oral, serta penyakit infeksi kronis yang menyebabkan penurunan

sistem imun tubuh seperti HIV/AIDS.5

Pada pemeriksaan status dermatologis Regio Femur sinistra, Regio

Inguinalis, Regio Gluteus, Regio Thorakalis posterior: Makula eritem

hiperpigmentasi, ukuran plakat, batas tegas, tepi aktif (+), central healing (+).

Adapun gambaran khas tinea berupa tepi aktif dan central healing.1

13
Untuk pengobatan tersedia bermacam pengobatan topikal maupun

sistemik untuk berbagai tipe dermatofitosis. Terapi kombinasi merupakan prinsip

pengobatan yang diakui memiliki keunggulan dalam bidang mikologi. Obat yang

dipilih biasanya terdiri dari sistemik dan topikal. Mekanisme kerja obat pada

target yang berbeda akan meningkatkan keberhasilan terapi. Selain itu tujuan

pemberian terapi topikal juga untuk membantu mempercepat eradikasi

dermatofita dari kulit pasien sehingga mengurangi penyebaran ke bagian tubuh

lain atau kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Anti jamur yang dapat

digunakan adalah golongan azole dan allylamine. Yang merupakan obat pilihan

sistemik untuk tinea yaitu Griseofulvin. Pengobatan dengan azole yang

direkomendasikan adalah ketoconazole, econazole, oxiconazole, clotrimazole, dan

miconazole. Diberikan 1-2 kali sehari, lama pengobatan bergantung pada lokasi

penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh

klinis pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu. Untuk mempercepat waktu

penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian obat

topikal tambahan seperti miconazole cream. Hal ini sesuai dengan

penatalaksanaan kasus, yakni diberikan obat topikal miconazole cream 2% 2 kali

oles sehari serta diberikan edukasi pada pasien yaitu meningkatkan tingkat

kebersihan tubuh, tidak boleh menggunakan pakaian secara bersamaan dengan

orang lain dan menghindari pakaian yang tidak menyerap keringat dan terlalu
7.8
ketat, serta pakaian dicuci bersih. Seorang individu dengan infeksi tinea

korporis jika diobati dengan benar memiliki prognosis yang baik.

BAB IV

KESIMPULAN

14
Seorang laki-laki 58 tahun datang ke RSUP Prof. Kandou Manado dengan

keluhan bercak merah kehitaman. Bercak terdapat di paha kiri, pinggang, dan

bokong yang timbul sejak 5 tahun lalu. Bercak dirasakan semakin gatal kalau

sedang berkeringat. Awalnya muncul bercak merah kecil dibokong yang disertai

rasa gatal, kemudian lama kelamaan bercak dirasakan membesar dan meluas ke

pinggang dan paha kiri. Rasa panas dan nyeri pada bercak disangkal. Pasien

memiliki pekerjaan sebagai petani. Pasien mempunyai alergi makanan seperti

telur, daging ayam, ikan cakalang. Riwayat penderita yang sama dalam keluarga

disangkal. Pasien mengatakan bahwa pasien menggunakan kalpanax untuk

mengobati keluhan kulitnya dan meminum CTM bila dirasakan gatal-gatal.

Setelah diobati keluhan berkurang namun kembali dirasakan lagi beberapa saat

kemudian. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit ringan,

kesadaran compos mentis tanda vital dalam batas normal dan pada status

dermatologis pada region femur sinistra, regio inguinalis, regio gluteus, regio

thorakalis posterior: Makula eritem hiperpigmentasi, ukuran plakat, batas tegas,

tepi aktif (+), central healing (+). Pada pemeriksaan mikroskopik preparat dengan

KOH 20% didapatkan hasil hifa panjang dan bersepta. Berdasarkan hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosa dengan Tinea

Kruris. Pasien diterapi dengan medikamentosa dan non medikamentosa, pada

medikamentosa diberikan miconazole 2% cream 2 x oles selama 4 minggu dan

Cetirizine 10mg 1x1. Pasien juga diberikan edukasi untuk mengoleskan salep

secara teratur 2 kali sehari, setelah mandi dioleskan secara tipis dan merata pada

keseluruhan lesi. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh pada lesi,

konsisten, dan tekun untuk menghindari kekambuhan. Merubah pola hidup lebih

15
higienis. Kontrol kembali ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D.

Kandou Manado setelah rawat jalan.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta; 2009.

2. Agustine R. Perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan

sediaan langsung koh 20% dengan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi pada

tinea kruris. [Tesis]. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas;

2012.

3. Yadav A, Urhekar AD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit KG.

Optimization and isolation of dermatophytes from clinical samples and in

vitro antifungal susceptibility testing by disc diffusion method. Journal of

Microbiology and Biotechnology. 2013; 2(3)19-34.

4. Vander SMR et al. Cutaneus infections Dermatophytosis, onchomycosis

and tinea versicolor. Infectius Disease Clinics of North America.

Cleveland.2003.

5. Adiguna MS. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.

Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011.

6. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds.

Ilmu Penyakit Kulit da Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2010. Hal. 89-100

7. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In:

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New

York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97

8. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrew’s Diseases of the Skin,

Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelohia: Saunders Elsevier; 2011.

17
9. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach

S, Cox N, Griffiths C, eds. In: Rook/s Textbook of Dermatology. 8 th Ed:

Volume 2. Australia: Blackwell Publishing. p 36,20-34

10. Kurniati CRSP. Etipatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin, 20(3):2008, Hal 243-50

18

Anda mungkin juga menyukai