Bab 2
Bab 2
2.3 Etiologi
Menurut Sue&Kathryn (2017), ada beberapa etiologi pada Acute
Coronary Syndrom (ACS), diantaranya:
1. Hipertensi
Hipertensi bertanggung jawab untuk peningkatan dua kali hingga tiga
kali lipat risiko penyakit aterosklerosis kardiovaskular. Hipertensi
berkontribusi terjadinya kerusakan endotel, yang berperan penting dalam
aterogenesis. Hipertensi juga menyebabkan hipertrofi otot jantung, yang
meningkatkan kebutuhan otot jantung terhadap aliran coroner. Aktivitas
yang berlebihan dari SNS dan RAAS biasanya ditemukan pada hipertensi
yang juga berkontribusi pada perkembangan PJK.
2. Merokok
Peroko aktif dan perokok pasif dapat meningkatkan risiko PJK. Merekok
berefek langsung pada sel endotel dan pembentukan oksigen radikal
bebas yang berkontribusi pada aterogenesis. Nikotin merengsang
pelepasan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), yang meningkatkan
detak jantung dan kontriksi pembuluh darah perifer. Akibatnya tekanan
darh meningkat, begitu juga pada beban jantung dan kebutuhan oksigen.
Merokok berkaitan dengan peningkatan LDL dan penurunan kadar HDL.
3. Diabetes mellitus
Resistensi insulin dan diabetes mellitus merupakan factor resiko PJK
yang sangat penting. Resistensi insulin dan diabetes mellitus memiliki
banyak efek pada system kardiovaskuler termasuk kerusakan
endothelium, penebalan dinsing pembuluh darah, peningkatan inflamasi,
peningkatan thrombosis, glycation dari protein pembuluh darah, dan
penurunan produksi vasodilator dari endotel seperti nitric oxide. Diabetes
mellitus juga berkaitan dengan dislipdemia.
4. Obesitas/ gaya hidup
Kombinasi antara obesitas, dislipdemia, hipertensi, dan resistensi insulin
disebut sindrom metabolic. Obesitas abdomen berkaitan paling kuat
dengan peningkatan resiko PJK dan berkaitan dengan inflamasi,
resistensi insulin, penurunan kadar HDL, peningkatan tekanan darah, dan
perubahan pada hormone yang disebut adipokin (leptin dan adiponectin).
Gaya hidup sedentary tidak hanya meningkatkan risiko obesitas tetapi
juga memberikan efek pada peningkatan risiko PJK. Aktivitas fisik dan
penurunan berat badan memberikan peran besar dalam penurunan factor
resiko PJK.
5. Diet atherogenic
Diet berperan secara kompleks dalam resiko aterogenik. Diet tinggi
garam, lemak trans, dan karbohidrat terlibat semua. Banyak rekomendasi
mengenai modifikasi diet untuk menurunkan resiko coroner, salah satu
yang paling efektif adalah diet mediterania. Diet mediterania merupakan
diet tradisional yang ditandai dengan asupan tinggi minyak zaitun, buah-
buahan, kacang-kacangan, sayur-sayurandan biji-bijian
2.4 Patofisiologi
Acute Coronary Syndrom (ACS) dimulai dengan adanya ruptur plak
arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan
trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini
terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis
(vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’.
Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor)
dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya
produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan
agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut
fase acute thrombosis. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage
dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak
serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap
destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan
menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan
dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya
leukositosis dan peningkatan kadar CRPmerupakan petanda inflamasi pada
kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic.
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel
(bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan
meningkatnya inaktivasi nitrit oksida (NO) oleh beberapa spesies oksigen
reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase
(eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada
hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal
jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk
radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan
P450monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH
oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh
darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte
chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis
yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada
keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni
endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung
menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel,
serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan,
TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas
miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.
Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya
fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan
hemodinamik stress mekanik.
Adapun mulai terjadinya Acute Coronary Syndrom (ACS), khususnya
IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni :
a. aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan),
b. stress emosi, terkejut,
c. udara dingin.
d. Keadaan-keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat.
2.5 Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
(2015) klasifikasi pada acut coronary sindrom berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif ACS, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.
2.8 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat ditemukan, antara lain :
1. Aritmia
2. Kematian mendadak
3. Syok kardiogenik
4. Gagal Jantung ( Heart Failure)
5. Emboli Paru
6. Ruptur septum ventikuler
7. Ruptur muskulus papilaris
8. Aneurisma Ventrikel