Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

KONSEP DASAR TEORI

2.1 Pengertian Acute Coronary Syndrom


Acute Coronary Syndrom (ACS) adalah iskemia miokard yang
berkepanjangan atau terjadinya oklusi total arteri coroner yang didalamnya
termasuk adalah infark miokard, dapat terjadi kerusakan miokard yang
irreversible. Infark miokard menyebabkan kejadian yang berpotensial fatal,
yang disebut derangan jantung ( Sue&Kathryn. 2017).
Acute Coronary Syndrom (ACS) adalah kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner yaitu suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak
Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-
Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ)
dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat
dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil. Sindrom Koroner Akut
(SKA) tersebut merupakan suatu sindrom yang terdiri dari beberapa
penyakit koroner yaitu angina tak stabil (unstable angina), infark miokard
non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris
pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan ditandai
dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai
akibat dari iskemia miokardium.

2.2 Anatomy kardiovaskular


Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri otot. Cara bekerjanya
menyerupai otot polos yaitu di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan
saraf otonom). Kerja Fungsi jantung adalah mengatur distribusi darah ke
seluruh bagian tubuh. Bentuk jantung menyerupai jantung pisang, besarnya
kurang lebih sebesar kepalan tangan pemiliknya. Bagian atasnya tumpul
(pangkal jantung) dan disebut juga basis kordis. Di sebelah bawah agak
runcing yang disebut apeks kordis.
Letak jantung di dalam rongga dada sebelah depan (kavum
mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada,
diatas diafragma, dan pangkalnya terdapat di belakang kiri antara kosta V
dan VI dua jari di bawah papilla mamae. Pada tempat ini teraba adanya
denyutan jantung yang disebut iktus kordis. Ukurannya kurang lebih sebesar
genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram.
2.2.1 Lapisan Jantung
Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung
yang tersusun secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus
interkalatus Lapisan jantung itu sendiri terdiri dari Perikardium,
Miokardium, dan Endokardium. Berikut ini penjelasan ketiga lapisan
jantung yaitu
1. Perikardium (Epikardium) merupakan suatu membran tipis di
bagian luar yang membungkus jantung. Terdiri dari dua lapisan :
a) Perikarduim fibrosum (viseral), merupakan bagian kantong
yang membatasi pergerakan jantung terikat di bawah sentrum
tendinium diafragma, bersatu dengan pembuluh darah besar
merekat pada sternum melalui ligamentum sternoperikardial.
b) Perikarduim serosum (parietal), dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Perikardium parietalis membatasi perikarduim fibrosum
sering disebut epikardium, dan Perikarduim fiseral yang
mengandung sedikit cairan yang berfungsi sebagai pelumas
untuk mempermudah pergerakan jantung.
2. Miokardium merupakan lapisan tengah yang terdiri dari otot
jantung, membentuk sebagian besar dinding jantung. Serat-serat
otot ini tersusun secara spiral dan melingkari jantung. Lapisan
otot ini yang akan menerima darah dari arteri koroner.
3. Endokardium adalah lapisan tipis endothelium, suatu jaringan
epitel unik yang melapisi bagian dalam seluruh sistem sirkulasi
peredaran darah
2.2.2 Ruang-Ruang Jantung
Jantung terdiri atas 4 ruang, yaitu 2 ruang yang berdinding
tipis disebut dengan atrium, dan 2 ruang yang berdinding tebal yang
disebut dengan ventrikel. Atrium dan ventrikel jantung ini masing-
masing akan dipisahkan oleh sebuah katup, sedangkan sisi kanan dan
kiri jantung akan dipisahkan oleh sebuah sekat yang dinamakan
dengan septum. Septum atau sekat ini adalah suatu partisi otot
kontinue yang mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung.

2.3 Etiologi
Menurut Sue&Kathryn (2017), ada beberapa etiologi pada Acute
Coronary Syndrom (ACS), diantaranya:
1. Hipertensi
Hipertensi bertanggung jawab untuk peningkatan dua kali hingga tiga
kali lipat risiko penyakit aterosklerosis kardiovaskular. Hipertensi
berkontribusi terjadinya kerusakan endotel, yang berperan penting dalam
aterogenesis. Hipertensi juga menyebabkan hipertrofi otot jantung, yang
meningkatkan kebutuhan otot jantung terhadap aliran coroner. Aktivitas
yang berlebihan dari SNS dan RAAS biasanya ditemukan pada hipertensi
yang juga berkontribusi pada perkembangan PJK.
2. Merokok
Peroko aktif dan perokok pasif dapat meningkatkan risiko PJK. Merekok
berefek langsung pada sel endotel dan pembentukan oksigen radikal
bebas yang berkontribusi pada aterogenesis. Nikotin merengsang
pelepasan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), yang meningkatkan
detak jantung dan kontriksi pembuluh darah perifer. Akibatnya tekanan
darh meningkat, begitu juga pada beban jantung dan kebutuhan oksigen.
Merokok berkaitan dengan peningkatan LDL dan penurunan kadar HDL.
3. Diabetes mellitus
Resistensi insulin dan diabetes mellitus merupakan factor resiko PJK
yang sangat penting. Resistensi insulin dan diabetes mellitus memiliki
banyak efek pada system kardiovaskuler termasuk kerusakan
endothelium, penebalan dinsing pembuluh darah, peningkatan inflamasi,
peningkatan thrombosis, glycation dari protein pembuluh darah, dan
penurunan produksi vasodilator dari endotel seperti nitric oxide. Diabetes
mellitus juga berkaitan dengan dislipdemia.
4. Obesitas/ gaya hidup
Kombinasi antara obesitas, dislipdemia, hipertensi, dan resistensi insulin
disebut sindrom metabolic. Obesitas abdomen berkaitan paling kuat
dengan peningkatan resiko PJK dan berkaitan dengan inflamasi,
resistensi insulin, penurunan kadar HDL, peningkatan tekanan darah, dan
perubahan pada hormone yang disebut adipokin (leptin dan adiponectin).
Gaya hidup sedentary tidak hanya meningkatkan risiko obesitas tetapi
juga memberikan efek pada peningkatan risiko PJK. Aktivitas fisik dan
penurunan berat badan memberikan peran besar dalam penurunan factor
resiko PJK.
5. Diet atherogenic
Diet berperan secara kompleks dalam resiko aterogenik. Diet tinggi
garam, lemak trans, dan karbohidrat terlibat semua. Banyak rekomendasi
mengenai modifikasi diet untuk menurunkan resiko coroner, salah satu
yang paling efektif adalah diet mediterania. Diet mediterania merupakan
diet tradisional yang ditandai dengan asupan tinggi minyak zaitun, buah-
buahan, kacang-kacangan, sayur-sayurandan biji-bijian

2.4 Patofisiologi
Acute Coronary Syndrom (ACS) dimulai dengan adanya ruptur plak
arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan
trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini
terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis
(vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’.
Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor)
dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya
produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan
agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut
fase acute thrombosis. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage
dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak
serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap
destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan
menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan
dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya
leukositosis dan peningkatan kadar CRPmerupakan petanda inflamasi pada
kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic.
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel
(bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan
meningkatnya inaktivasi nitrit oksida (NO) oleh beberapa spesies oksigen
reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase
(eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada
hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal
jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk
radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan
P450monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH
oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh
darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte
chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis
yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada
keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni
endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung
menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel,
serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan,
TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas
miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.
Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya
fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan
hemodinamik stress mekanik.
Adapun mulai terjadinya Acute Coronary Syndrom (ACS), khususnya
IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni :
a. aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan),
b. stress emosi, terkejut,
c. udara dingin.
d. Keadaan-keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat.

2.5 Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
(2015) klasifikasi pada acut coronary sindrom berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan
marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif ACS, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

2.6 Manifestasi Klinis

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiograf, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
ACS, dan Definitif ACS
2.7.1 Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa
menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika
berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis ACS menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Pria
2) Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3) Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4) Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi
atau batuk)
2) Nyeri abdomen tengah atau bawah
3) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di
daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5) Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6) Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai
keluhan SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih
mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan
penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis
indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan
diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung
disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat
penyakit serebrovaskular.
2.7.2 Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga
(S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-
tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi
basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
ACS. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding ACS.
2.7.3 Pemeriksaan elektrokardiograf.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG
awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam
10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul
kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen
ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40
tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead
V1-3 tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan
wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5
mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan
dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di
V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat
pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia.
Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG
Sadapan dengan Lokasi Iskemia atau
Deviasi Segmen ST Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran


EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai
dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks
QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan
segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina
Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-
V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan.
Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas
tinggi untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang
nondiagnostik.
2.7.4 Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun
tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan
ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin
T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah
awitan ACS, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah
awitan angina. Jika awitan ACS tidak dapat ditentukan dengan jelas,
maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan
pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas
lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif
jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif
atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif.
Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin ACS hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care
testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang
di laboratorium sentral.
Kemungkinan ACS adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau
tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-
darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI,
depresi ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan
iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
2.7.5 Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA.

2.8 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat ditemukan, antara lain :
1. Aritmia
2. Kematian mendadak
3. Syok kardiogenik
4. Gagal Jantung ( Heart Failure)
5. Emboli Paru
6. Ruptur septum ventikuler
7. Ruptur muskulus papilaris
8. Aneurisma Ventrikel

2.9 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan medis tahap awal dan cepat pengobatan pasien SKA
adalah:
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-
mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit
dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip
intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah
sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki
pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah
tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki
aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi
pertanyaan).
3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous
capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi
menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after
load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan.
Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah
menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi
platelet dan konstriksi arterial.
5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian
vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin
untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah
mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent coroner
dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan
pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x
250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan
menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan
menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila
dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia
dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin,
meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap
1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan
tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi
dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah
pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian
CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA,
stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Selain diatas penanganan Sindrom Koroner akut (SKA) meliputi:
1. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-
preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia)
dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun
dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir
(1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam
maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk
pasien dengan berat badan < 70 kg.
2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada
APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih
lama; high bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai
tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak
mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio
antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor
jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan
aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin,
dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu
antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85
iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical
Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
3. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran
bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan
secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin
dengan Aspirin saja sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi
Warfarin dengan Asparin.
4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan
pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan
bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Efek
GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide
yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni
Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena
jelas menurunkan kejadian coroner dengan segera, namun pemberian
peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan
mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat
digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian
besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi
dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti
dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi
perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia)
meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila
jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti
efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi
pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga
karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang
kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya
trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas
Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara
intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram
untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
5. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang
berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang
bermakna terhadap mortalitas 17,28.
6. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek
sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan
NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi
dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang
diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri coroner dan mortalitas
ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama
saja.
7. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi
jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak
memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan
pembuluh darah coroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang
disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat
kembali mengalir menjadi normal.

2.10 Konsep Asuhan Keperawatan


Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada pasien ACS
1. Anamnesa:
a) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama
penanggung jawab, hubungan dengan pasien, alamat.
b) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat ,
terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan
punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10
menit)
c) Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika
beristirahat, terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan
kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung
± 10 menit)
d) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok,
pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM,
hipertensi, ginjal).
2. Pemeriksaan fisik
a) Breathing
Pada pasien dengan ACS biasanya didapatkan tanda dan gejala
dyspnea karena beban kerja jantung yang meningkat.
b) Blood
Denyut nadi biasanya takikardi, terdapat nyeri dada (chest pain) dan
kaji apakah ada suara jantung tambahan.
c) Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya dapat mengalami penurunan
kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil
terhadap cahaya
d) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu
perawat perlu memonitor adanya oliguria karena pada penderita
ACS biasanya ditemukan gejala oliguria.
e) Bowel
Dikaji apakah ada penurunan berat badan, mual, muntah bising usus,
bagaimana pola eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus.
f) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik.
3. Pemeriksaan Penunjang:
a) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau
tanpa gelombang Q patologik)
b) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas
normal, terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih
spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2
ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

2.11 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisiologis (iskemia)
2. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantung
3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
4. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dan kebutuhan
5. Ansietas b/d krisis situasional
6. Nausea b/d gangguan biokimia
7. Defisist perawatan diri b/d kelemahan
2.12 Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisiologis (iskemia)
Mandiri:
a) Kaji ulang nyeri sesuai kategori
b) Observasi lokasi nyeri, intensitas nyeri (skala1-10), lamanya,
kualitasnya (tajam/tumpul), respon verbal dan non verbal.
c) Kaji riwayat nyeri sebelumnya sesuai penyebabnya
d) Beritahu pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera.
e) Pertahankan lingkungan yang tenang dan suasana yang nyaman.
f) Bantu/ajarkan tekhnik relaksasi, seperti: nafas dalam, distraksi,
visualisasi, bimbingan imajinasi.
g) Observasi nyeri pasien setelah 30 menit pembeian obat nyeri (pain
killer).
Kolaborasi:
a) Beri O2 sesuai indikasi.
b) Beritahu petugas pain managemen bila skor > 3 (nyeri sedang)
c) Pemberian terapi analgesic sesuai indikasi
d) Persiapkan intervensi angioplasty PTCA
e) Persiapkan intervensi bedah

2. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantung


Mandiri:
a)
3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
4. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dan kebutuhan
5. Ansietas b/d krisis situasional
6. Nausea b/d gangguan biokimia
7. Defisist perawatan diri b/d kelemahan

7.1 Pelaksanaan Keperawatan


7.2 Evaluasi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai