Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN
Perbankan di Indonesia kini makin diramaikan dengan adanya bank syariah, yang
menawarkan produk keuangan dan investasi dengan cara yang berbeda dibanding
bank konvensional yang sudah lama ada. Meskipun masih dianggap “newbie”,
perbankan syariah berkembang cukup pesat loh. Maklum saja, Indonesia kan negara
muslim terbesar di dunia dan jelas perbankan yang mengunakan hukum dan asas
Islam akan lebih diminati. Bahkan bank-bank konvensional di Indonesia kini ikutan
tren dengan mendirikan institusi syariah atau unit usaha syariah sendiri. Hal ini
dilakukan untuk mengaet lebih banyak nasabah yang tertarik dengan keunggulan bank
syariah. Pasti banyak yang bertanya-tanya tentang asal mula perbankan syariah di
Indonesia. Biar tidak penasaran, yuk kita napak tilas keberadaan perbankan yang satu
ini.
Perbankan Syariah kerap disebut juga Perbankan Islam, yaitu perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam atau syariat. Karena berdasarkan hukum
Islam, maka perbankan syariah tidak mengenal adanya “bunga pinjaman” alias interest
rate. Bunga pinjaman dianggap riba dan berdosa. Yang dikenal di perbankan syariah
adalah “sistem bagi hasil” atau Nisbah yang prosesnya sama-sama diketahui dan
disetujui oleh bank dan pihak nasabah. Pelopor berdirinya perbankan syariah di
Indonesia adalah Bank Muamalat pada tahun 1991. Bank ini dilahirkan oleh Majelis
Ulama Indonesia, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), pengusaha Muslim dan
juga pemerintah. Sayangnya bank tersebut kurang popular dan kinerjanya stagnan,
baru setelah krisis ekonomi dan reformasi, Bank Muamalat mulai dilirik nasabah.
Secara mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, maka hadirnya bank syariah
sudah menjadi obsesi banyak orang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sejarah
mencatat K.H Mas Mansyur, ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944
pernah menyatakan kalau umat Islam di Indonesia terpaksa mengunakan jasa bank
konvensional karena belum memiliki lembaga yang bebas riba.
Di tahun 1983 pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan “sistem bagi
hasil” dalam berkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.Saat itu
kondisi perbankan Indonesia memang parah-parahnya karena Bank Indonesia tidak
bisa mengendalikan tingkat suku bunga di bank-bank yang membumbung tinggi.

1
Sehingga pemerintah mengeluarkan deregulasi tanggal 1 Juni 1983 yang menimbulkan
kemungkinan bank mengambil untung dari bagi hasil sistem kredit.
Namun lima tahun kemudian, pemerintah menganggap bisnis perbankan
harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan. Dan tanggal 27 Oktober
1988, pemerintah pun mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober
(PAKTO) untuk meliberalisasi perbankan. Nah, meskipun lebih banyak bank
konvensional yang berdiri, beberapa bank daerah yang berasaskan syariah juga mulai
bermunculan.
Tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam
di Indonesia. Nah, ini merupakan cikal bakal lahirnya perbankan syariah di Indonesia.
Pada tahun 1991, bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat pun lahir.

B. PEMISAHAN (SPINOFF) UNIT USAHA SYARIAH MENJADI BANK UMUM SYARIAH


Perbankan syariah telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan
nasional dengan melaksanakan fungsi intermediasi keuangan dan menjaga stabilitas
keuangan nasional. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan industri perbankan syariah
bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15 persen pada beberapa tahun mendatang
(sekitar tahun 2022) apabila mampu mencapai pertumbuhan yang stabil. Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah)
merupakan payung hukum dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Keberadaan
UU Perbankan Syariah telah mendorong munculnya trend pembentukan bank syariah
melalui akuisisi dan konversi bank konvensional menjadi bank syariah.
Pengertian Unit Usaha Syariah terdapat dalam Pasal 1 angka 10 UU
Perbankan Syariah, yaitu unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah. BI telah mengeluarkan ketentuan mengenai perubahan
kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum yang melaksanakan

2
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum
konvensional. Kepala cabang bank konvensional yang telah memiliki unit usaha
syariah dibolehkan melayani transaksi perbankan syariah tertentu (office chanelling).
Dengan demikian, bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha baik secara
konvensional, secara syariah, atau kedua-duanya.
Pemisahan (spin-off) merupakan lembaga yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas)
dan UU Perbankan Syariah. Dalam UU Perseroan Terbatas, pemisahan didefinisikan
sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum
kepada satu perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih
karena hukum kepada satu perseroan atau lebih. Dalam konteks bank, lembaga spin-
off ini diartikan sebagai pemisahan usaha dari satu bank menjadi dua badan usaha atau
lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsep Pemisahan Usaha (Spin-Off) pengaturan tidak hanya dalam Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sebagaimana juga diberikan
rumusannya yang telah dibahas sebelumnya akan tetapi pengaturan tentang
Pemisahan juga terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang juga merumuskan pada Pasal 1 Angka 12, bahwa “Pemisahan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan Pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 2
(dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena
hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih”. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang PT, pada Pasal 135 ayat-ayatnya disebutkan sebagai berikut:
(1) Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
(2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan
seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua)

3
Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang
melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
(3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum
kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan
Perseroan yang melakukan Pemisahan tetap ada.
Ketentuan Pasal 135 ayat-ayatnya dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, diberikan penjelasannya pada ayat (1) huruf b, bahwa,
yang dimaksud dengan “Pemisahan tidak murni” lazim disebut Spin-Off. Ketentuan
Pasal 135 ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” adalah
beralih berdasarkan titel umum sehingga tidak diperlukan akta peralihan. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 135 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, maka dikatakan
‘pemisahan murni’ jika dari satu Perseroan yang telah ada dipecah menjadi dua
Perseroan baru, dengan Perseroan yang semula ada menjadi berakhir/bubar demi
hukum. Dengan kata lain bentuk ini merupakan lawan dari bentuk konsolidasi. Jika
dalam konsolidasi dari beberapa Perseroan yang ada kesemuanya bubar menjadi satu
Perseroan yang baru. Dalam ‘pemisahan tidak murni’ yang tadinya hanya ada satu
Perseroan asal, setelah di pisah terjadilah dua Perseroan yang terdiri dari satu
Perseroan asal yang ada ditambah satu Perseroan baru pecahan dari Perseroan yang
lama.”
Pada Spin off, sebagian aktiva dan pasiva suatu Perseroan beralih karena
hukum kepada suatu Perseroan baru (Perseroan yang memisahkan diri), maka entity
atau pemegang saham (owners) pada Perseroan yang melakukan pemisahan tersebut
adalah juga menjadi entity dan owners di Perseroan baru (yang memisahkan diri).
Pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) tidak ditujukan kepada Perseroan baru sebagai
suatu Bank Umum Konvensional, melainkan harus menjadi suatu Bank Umum Syariah
(BUS). Fenomena perubahan status Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Bank Umum
Syariah merupakan fakta yang dapat mendorong peningkatan kinerja perbankan
syariah pada umumnya, serta meningkatkan pula kinerja seperti aset pada suatu Unit
Usaha Syariah (UUS), sehingga diperlukan pemisahannya agar dapat lebih mandiri
bergerak sesuai dengan bisnis inti masing-masing.

4
Pasal 16 UU Perbankan Syariah menyatakan bahwa UUS dapat menjadi BUS
tersendiri setelah mendapat izin dari BI. Ketentuan ini menunjukkan bahwa secara
sukarela bank umum konvensional yang telah memberikan layanan syariah melalui
mekanisme Islamic windows dengan membentuk UUS pada kantor pusatnya dapat
melakukan pemisahan UUS dimaksud untuk dijadikan sebagai BUS yang merupakan
badan hukum mandiri. Selanjutnya Pasal 68 UU Perbankan Syariah mewajibkan bank
umum konvensional yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk melakukan
pemisahan UUS.
1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank
induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka
bank umum konvensional wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi
BUS.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan sanksi bagi bank umum
konvensional yang tidak melakukan pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 68 UU Perbankan Syariah kemudian ditindaklanjuti oleh BI
dengan membentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/10/PBI/2009 tentang
Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 15/14/2013 tentang
Perubahan atas PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (PBI tentang
UUS). Pasal 1 angka 14 PBI tentang UUS memberikan definisi pemisahan (spin-off)
sebagai pemisahan usaha dari satu bank umum konvensional menjadi dua badan usaha
atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pasal ini dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangundangan di bidang
perseroan terbatas berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam PBI tentang
UUS.
Pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) yang berada pada Bank Umum
Konvensional berarti akan dibentuk badan usaha sekaligus badan hukum baru dengan
nama Bank Umum Syariah yang secara formil maupun materiil mengacu pada
ketentuan hukum sebagaimana persyaratan pendirian Bank Umum Syariah, sehingga
terjadi pula perubahan terhadap nama, alamat, penganggaran dasar maupun anggaran

5
rumah tangga Bank Umum Syariah hasil konversi dari Unit Usaha Syariah (UUS).
Akibat hukum lainnya ialah status Bank Umum Konvensional yang semula memiliki
Unit Usaha Syariah (UUS) tidak bubar atau berakhir karena hukum sehubungan
dengan perbuatan hukum pemisahan (Spin-off) tersebut. Justru di dalam praktiknya
terdapat bentuk konglomerasi seperti PT BNI (Tbk) yang memiliki anak perusahaan PT
Bank BNI Syariah Tbk.
Proses Pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Bank Umum Syariah
merupakan bagian dari proses perubahan oleh karena bisnis inti Bank Konvensional
yang berbasis perbankan konvensional, akan berubah ketika terjadi Pemisahan
tersebut, yaitu Bank Umum Syariah hasil konversi dari Unit Usaha Syariah (UUS) lebih
berfokus pada bisnis intinya yakni sistem perbankan syariah. UUS sebagai bagian tidak
terpisahkan dari perseroan induknya dalam menjalankan kegiatannya selain tunduk
pada UU Perbankan Syariah juga tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Oleh karenanya
secara umum pelaksanaan spin-off UUS juga mengacu pada ketentuan tentang
pengalihan yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas. Proses dan proseduran yang
ditentukan oleh Hukum Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 diperlukan pula suatu keputusan dari RUPS Bank Umum Konvensional serta
penyusunan rancangannya.
Akibat hukum dari Pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sudah barang
tentu perlu memperhatikan ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yang menentukan pada Pasal 16 ayat-ayatnya, bahwa:
(1) Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah
mendapat izin dari Bank Indonesia;
(2) Izin perubahan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan ini sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
secara sukarela Bank Umum Konvensional yang telah memberikan layanan
syariah melalui mekanisme Islamic window dengan membentuk UUS pada kantor
pusatnya dapat melakukan pemisahan UUS dimaksud untuk dijadikan sebagai Bank
Umum Syariah yang merupakan badan hukum mandiri.

6
Ketentuan Pasal dan ayat-ayatnya ini hanya diberikan penjelasannya pada ayat
(2), bahwa pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia mencakup
antara lain:
a. Minimum kecukupan modal;
b. Persiapan sumber daya manusia;
c. Susunan organisasi dan kepengurusan; dan
d. Kelayakan usaha.
Status badan hukum pada proses Pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) dari
Bank Umum Konvensional juga beralih menjadi badan hukum mandiri, yakni sebagai
suatu PT, dalam arti kata berbeda dari status badan hukum PT yang disandang oleh
induknya semula, yakni Bank Umum Konvensional sehingga bentuk badan hukum
baru, dan dibuatkan dengan akta notaris yang menurut Undang-Undang No. 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, dirumuskan pada Pasal 1 Angka 7, bahwa “Akta Notaris, yang selanjutnya
disebut Akta, adalah akta autentik yang dibuat olehatau dihadapan Notaris menurut
bentuk dan tata cara yang ditetapkan, dalam Undang-Undang ini.”
Sebagaimana halnya bentuk badan hukum PT, maka perubahan sebagai akibat
PemisahanUnit Usaha Syariah (UUS) tersebut memperhatikan ketentuan Anggaran
Dasar menurut Pasal 15 ayat-ayatnya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, yang menentukan bahwa:
(1) Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. Nama dan tentang kedudukan Perseroan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. Jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk
tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai
nominal setiap saham;
f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;

7
h. Tata cara pengangkatan, penggantian, Pemberhentian anggota Direksi dan
Dewan Komisaris.
i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) tersebut dengan Bank Umum Syariah hasil konversi
dari Unit Usaha Syariah (UUS), juga memperhatikan ketentuan dalam Hukum
Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yang pada Pasal 109
ayat (1) menyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan
Pengawas Syariah.
Pelaksanaan pemisahan dilakukan oleh dewan direksi, tetapi untuk
memutuskan apakah pelaksanaan tersebut disetujui atau tidak adalah melalui
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi harus berkonsultasi dengan para
kreditur. Apabila kreditur berkeberatan dengan rencana tersebut, rencana
tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Selama
penyelesaian belum tercapai, maka pemisahan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini
dilakukan demi kepentingan kreditur karena dapat saja para pemilik perseroan
memiliki itikad tidak baik menggunakan lembaga pemisahan ini sebagai celah untuk
menghindari pembayaran kewajiban atau utang. Pemisahan juga dapat menjadi
jalan keluar dalam hal terjadi pertikaian antara para pemegang saham sehingga
masing-masing dapat memiliki perusahaan baru.
Ketentuan Pasal 68 UU Perbankan Syariah jo PBI tentang UUS juga mengatur
persyaratan spin-off, baik persyaratan yang bersifat mandatory maupun voluntary.
Persyaratan mandatory UUS sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) PBI tentang
UUS meliputi nilai aset telah mencapai 50% dari aset bank umum konvensional
induknya atau paling lama 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah, yaitu
pada 2023. Sedangkan persyaratan voluntary spin-off adalah spin-off UUS dapat
dilakukan sebelum kondisi pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) terpenuhi sepanjang
memenuhi persyaratan dalam PBI yang mengatur tentang UUS (Pasal 40 ayat (2) PBI
tentang UUS).
Dalam Pasal 45 PBI 11/10/PBI/2009 disebutkan modal disetor Bank
Umum Syariah hasil pemisahan paling sedikit sebesar Rp 500 miliar. Modal

8
tersebut kemudian wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling sedikit Rp 1
triliun dan harus sudah dipenuhi paling lambat 10 tahun setelah izin Bank Umum
Syariah diberikan oleh Bank Indonesia. Untuk saat ini, berdasarkan Pasal 4 PBI,
modal kerja Unit Usaha Syariah paling sedikit sebesar Rp 100 miliar dan harus
disisihkan dalam bentuk tunai. Apabila Bank Umum Konvensional tidak melakukan
pemisahan seperti yang diperintahkan Bank Indonesia, maka akan dikenakan
pencabutan izin usaha dari UUS yang dimiliki.
Tentu kondisi ini bukan hal yang mudah untuk Bank Umum Konvensional.
Untuk menambah modal sendiri saja mereka perlu merangkak, apalagi harus
menambah modal di Unit Usaha Syariah-nya. Dapat ditegaskan bahwa PBI ini menjadi
beban baru bagi Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, khususnya Bank
Umum Konvensional yang mempunyai aset tidak begitu besar. Namun demikian,
Bank Indonesia tetap memberi opsi kepada Bank Umum Konvensional. Ada dua
cara yang dimungkinkan, yakni pertama, mendirikan Bank Umum Syariah yang
baru; kedua, mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada Bank Umum Syariah (BUS)
yang telah ada.
Di sisi lain, Pasal 40 ayat (2) menyebutkan bahwa BUK yang
memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum ter-penuhinya kondisi sebagaimana
dimaksud dengan memenuhi persyaratan dalam PBI ini. Hal inilah yang penulis
sebutkan di atas sebagai pemisahan (spin-off) sukarela, yang mana telah dilakukan
oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan hendak dilakukan oleh PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk.Adapun alasan yang menjadi pen-dorong
dilakukannya pemisahan UUS Bank Umum Konvensional secara sukarela, dalam hal ini
Penulis mengambil contoh pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang
dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu
(1)Aspek Eksternal
(1)Terdiri dari aspek regulasi yang kian kondusif dengan dikeluarkan-
nya UUPS pada 16 Juli 2008, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara pada 7 Mei 2008, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/2009 tentang Bank Umum Syariah, Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/10/2009 tentang Unit Usaha Syariah, dan

9
adanya penyempur-naan ketentuan pajak termasuk pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap produk yang berdasarkan
prinsip jual beli serta kemudahan bank untuk melakukan pemisahan
unit syariahnya. Hal ter-sebut merupakan langkah strategis bagi
perkembangan industri perbankan syariah di masa depan.
(2)Di sisi pertumbuhan industri, dalam 5 tahun terakhir perbankan syariah
menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat signifikan dimana total
pembiayaan, dana, dan aset tumbuh sebesar 34% per tahun (CAGR
2004-2008). Hal ini jauh melampaui pertumbuhan angka perbankan
konvensional sebesar 19% dan 25% masing-masing untuk dana dan
kredit pada periode yang sama. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan potensi pasar yang ada, maka peluang pengembangan perbankan
syariah masih terbuka luas. Saat ini kontribusi pangsa pasar perbankan
syariah baru sekitar 2% dari total perbankan nasional.
(3)Aspek eksternal berikutnya adalah dari sisi kesadaran konsumen yang
semakin meningkat. Dari hasil survei yang dilakukan pada tahun
2000-2001 di beberapa provinsi di Jawa dan Sumatera, nasabah masih
meragukan kemurnian prinsip syariah terhadap bank syariah yang
dioperasikan secara Dual Banking System (UUS).Untuk menghindari
keragu-raguan dan persepsi masyarakat tersebut, maka ke
depannya pengelolaan usaha syariah oleh UUS seyogyanya dikonversi
menjadi BUS hasil pemisahan.
(2)Aspek Internal
Dari aspek internal, UUS BNI merupakan bagian dari proses
pemisahan. Oleh karenanya dalam pengembangan bisnisnya UUS BNI
telah memiliki infrastruktur dalam bentuk sistem, prosedur, dan
mekanisme pengambilan keputusan yang independen. Di sisi lain UUS BNI
juga telah memiliki sumber daya dalam bentuk jaringan, dukungan IT, serta
SDM yang memadai dan layak untuk dipisahkan kepada BUS hasil
pemisahan. Demikian halnya dengan kinerja yang dimiliki yang mampu

10
bersaing dengan BUS hasil pemisahan maupun UUS lainnya di dalam industri
perbankan syariah nasional.
Dengan adanya pemisahan UUS yang untuk kemudian dijadikan sebagai BUS
selaku badan hukum mandiri (separate legal entity), maka terciptalah hubungan
hukum berupa induk dan anak perusahaan (holding company and subsidiary).
Konsekuensi hukum menjadikan BUS hasil pemisahan sebagai anak perusahaan
dari BUK, yaitu perlu adanya pembagian tugas dan wewenang. Pembagian tugas
dan wewenang antara induk perusahaan dengan anak perusahaan adalah
sebagai berikut:
a.Tugas induk perusahaan, dalam hal ini BUK ialah sebagai koordinator,
konsultan, dan pengontrol perkem-bangan dan kesehatan anak per-
usahaan.
b.Wewenang induk perusahaan yaitu me-nentukan kebijakan-kebijakan umum
bagi perusahaan kelompok.
c.Tugas anak perusahaan, dalam hal ini BUS hasil pemisahan (spin-off) yaitu
menjalankan kegiatan operasional sesuai dengan bidang usahanya sesuai
dengan prinsip syariah.
Dengan pemisahan akan melahirkan sebuah badan hukum baru yang secara
yuridis mandiri, sehingga pengelolaannya secara keuangan, teknis, administratif,
dan organisatoris terpisah dari induknya. Oleh karena itu, BUS yang lahir karena
adanya pemisahan (spin off) UUS dimaksud kemudian akan lebih fokus dalam
mengelola dan mengembang-kan produk syariahnya secara lebih murni. Melalui
spin-off akan mampu meningkatkan efisiensi pengelolaan secara syariah,
penguatan modal BUS dengan adanya kewajiban untuk meningkatkan modal
secara bertahap menjadi paling sedikit Rp 1 triliun dan harus sudah dipenuhi
paling lambat 10 tahun setelah izin BUS diberikan oleh Bank Indonesia, serta
peningkatan ketaatan terhadap prinsip syariah. Ketaatan terhadap prinsip syariah
akan semakin optimal dengan adanya peningkatan pengawasan terhadap BUS yang
bersangkutan dan pemisahan SDM yang melakukan pengelolaan.

11
C. ANALISIS AD/ART BANK BNI SYARIAH
PT Bank BNI Syariah Tbk didirikan dengan Akta Pendirian Perseroan Terbatas
tertanggal 22 Maret 2010 nomor 160 dihadapan Notaris Aulia Taufani, selaku notaris
pengganti dari Sutjipto, S.H., M.Kn. PT Bank BNI Syariah didirikan oleh PT BNI (Tbk)
dan PT BNI Life Insurance sebagai hasil dari penandatanganan akta pemisahan unit
usaha syariah PT BNI (Tbk) ke dalam PT Bank BNI Syariah.
Pemisahan unit usaha syariah dari bank umum konvensional sebagaimana
diatur dalam pasal 41 ayat (1) PBI nomor 11/10/PBI/2009 dapat dilakukan dengan
cara mendirikan Bank Umum Syariah. Pemisahan tersebut mengakibatkan seluruh
aktiva dan passiva unit usaha syariah PT BNI (Tbk) beralih karena hukum kepada Bank
Umum Syariah yaitu PT Bank BNI Syariah, sebagai pihak yang menerima pemisahan.
Sebagian besar penyetoran modal yang dilakukan oleh PT BNI (Tbk) berasal dari hasil
pemisahan, dan pemisahan tersebut akan berlaku efektif terhitung sejak perseroan
melakukan kegaitan usahanya, yaitu selambat – lambatnya 30 hari sejak tanggal izin
usaha diterbitkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka pemisahan, Bank Indonesia telah
menerbitkan Persetujuan Prinisp, dengan surat nomor 12/2/DpG/DPbS tanggal 8
Maret 2010.
PT Bank BNI Syariah berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta Pusat.
Maksud dan tujuan pendirian perseroan sebagai ahsil dari pemisahan yaitu untuk
menyelenggarakan usaha perbankan berdasarkan prinisp syariah sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Sebelum spin off bank induk harus memiliki aset minimal lebih besar dari Rp 3
triliun, Non Performing Finance (NPF) nett 2-2,5 persen, Return on Assets (ROA) 0,9-
1,2 persen dan Finance to Deposit Ratio (FDR) 85-95 persen. Tingkat kesehatan bank
harus berada pada nilai komposit 2 selama 4 periode berturut-turut. Modal dasar PT
Bank BNI Syariah berjumlah Rp 4.004.000.000.000,00 (empat triliun empat miliar
rupiah), terbagi atas 4.004.000 (empat juta empat ribu) saham, masing – masing saham
bernilai nominal Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh adalah sebesar 25% atau
sejumlah 1.001.000 (satu juta seribu) saham dengan nilai nominal seluruhnya sebesar

12
Rp 1.001.000.000.000,00 (satu triliun satu miliar rupiah) oleh para pemegang saham.
Penyetoran modal dilakukan dengan cara:
- Sebesar Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) merupakan hasil dari akta
pemisahan unit syariah dari PT BNI (Tbk) sebagaimana dimaksud dalam akta
pemisahan
- Sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) disetor dengan uang tunai oleh PT
BNI Life Insurance.
Susunan pimpinan PT Bank BNI Syariah pada awal pendirian:
- Direktur Utama : Dr. Rizqullah, MBA
- Direktur : Bambang Widjanarko
- Direktur : Ir. H. Imam Teguh Saptono
- Dewan Komisaris : Achjar Iljas, S.E., M.A.
- Komisaris : Sofyan Syafri Harahap
- Dewan Pengawas Syariah : K.H. Ma’ruf Amin (Ketua)
Hasanuddin (Anggota)

13
DAFTAR PUSTAKA

 KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMISAHAN (SPINOFF) UNIT USAHA SYARIAH


MENJADI BANK UMUM SYARIAH Oleh: Rizky Bismar Ismail, Lex Administratum, Vol.
V/No. 1/Jan-Feb/2017
 PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH MELALUI PELAKSANAAN KEWAJIBAN
PEMISAHAN UNIT USAHA SYARIAH Oleh: Sulasi Rongiyati, NEGARA HUKUM: Vol. 6,
No. 1, Juni 2015
 PENINGKATAN KETAATAN SYARIAH MELALUI PEMISAHAN (SPIN-OFF) UNIT
USAHA SYARIAH BANK UMUM KONVENSIONAL Oleh: Khotibul Umam, MIMBAR
HUKUM, Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010.
 PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA, Oleh: Agus Marimin1 , Abdul
Haris Romdhoni2 , dan Tira Nur Fitria3, JURNAL ILMIAH EKONOMI ISLAM - Vol. 01,
No. 02, Juli 2015 STIE-AAS Surakarta.
 SEJARAH PERBANKAN SYARIAH Oleh: Abdul Muhith, ATTANWIR JURNAL KAJIAN
KEISLAMAN DAN PENDIDIKAN Volume 01, Nomor 02, September 2012
 https://www.cermati.com/artikel/sejarah-dan-perkembangan-bank-syariah-di-
indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai