Anda di halaman 1dari 4

Nama : Faranita Meutia

NIM : 1707101030083

Sisi Farmakologi Dalam Praktek Kedokteran Keluarga


Penggunaan obat secara rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM) adalah
apabila pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis
yang sesuai dengan kebutuhan, dan dalam periode waktu yang sesuai serta biasa yang
terjangkau oleh dirinya dan kabanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu
kebutuhan klinis, dosis, waktu serta biaya yang sesuai. Menurut Kementrian RI (2011),
penggunaan obat dikatakan rasional jika: (1)
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan dengan dosis yang tepat. Jika
diagnosis penyakit ditegakkan tidak benar, maka pemilihan obat akan mengacu
pada diagnosis yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan akan tidak sesuai
dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spectrum terapi yang spesifik. Contohnya antibiotik
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Oleh karenanya, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien dengan gejala akibat dari infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
secara benar. Dengan demikian obat yang nantinya dipilih harus memiliki efek
terapi yang sesuai dengan spektrum penyakit.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara serta lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat.
Pemberian dosis obat secara berlebihan khususnya obat yang memiliki rentang
terapi yang sempit memiliki resiko efek samping yang besar. Sebaliknya dosis yang
terlalu kecil akan menjamin tidak tercapainya kadar terapi yang diinginkan.
a. Tepat Cara Pemberian
Obat antasida seharusnya dikonsumsi dengan dikunyah terlabih dahulu baru
ditelan. Demikian pula dengan antibiotik tidak boleh diminum menggunakan
selain air putih atau bening. Contohnya tidak boleh diminum dengan susu
karena akan membentuk ikatan sehingga enjadi tidak dapat diabsorbsi dan
menurunkan efektivitasnya.
b. Tepat Waktu Interval Pemberian
Cara pemberian obat harusnya dibuat sesederhana mungkin agar lebih mudah
ditaati oleh pasien, Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4
kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus
diminum 3 kali sehari artiya obat tersebut harus diminum dengan interval setiap
8 jam
c. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya masing-masing.
Untuk tuberculosis dan kusta, lama pemberian paling singkat yaitu 6 bulan.
Lama pemeberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusya
berpengaruh terhadap hasil dari pengobatannya.
5. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak
diharapkan yang akan timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah yang timbul setelah pemberian atropine bukan alergi melainkan efek
samping yang timbul akibat vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
6. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal Ini lebih jelas terlihat pada
beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida
7. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi
8. Tepat Tindak Lanjut
Pada saat memutuskan pemberian terapi, mampu mempertimbangkan upaya tindak
lanjut yang dibutuhkan, misalnya jika pasien tidak sembuh setelah diberikan obat
atau muncul efek samping
9. Tepat Penyerahan Obat
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerahan obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen
10. Pasien oatuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhakan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter,
dokter gigi, dokter hewan yang telah diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat,
meracik serta menyerahkan obat kepada pasien. (2)
Resep terdiri dari enam bagian, antara lain: (3)
1. Inscriptio, yang terdiri dari nama, alamat, nomor izin praktek (SIP) dokter, tanggal
penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota provinsi.
Format dari inscription resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan denga resep
dari praktik pribadi
2. Invocatio adalah berupa tanda R/ pada sisi bagian kiri dari resep. Permintaan
tertulis dokter dalam singkatan latin “R/” yang artinya “resipe” atau memiliki arti
ambilah atau berikanlah.
3. Prescriptio/ordonatio terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan obat,
dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
4. Signatura yaitu petunjuk penggunaan obat untuk pasien yang terdiri dari cara
pemakaian, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu pemberian.
5. Subscriptio merupakan tanda tangan atau paraf dokter penulis resep yang sifatnya
legalitas dan keabsahan resep tersebut
6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien
Drug Related Problems (DRPs) merupakan situasi yang tidak diinginkan yang dialami
oleh pasien akibat dari terapi obat sehingga dapat berpotensi menimbulkan masalah bagi
keberhasilan penyembuhan yang dikehendakinya. (4)
Contohnya yaitu salah satu golongan pasiem yang sering mengalami kejadian DRPs
yaitu hipertensi. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja dan dalam berbagai kelompok
umur, salah satunya pada usia lanjut. Hipertensi masih sering merupakan faktor resiko utama
untuk stroke, gagal jantung, dan penyakit koroner. Berdasarkan penelitian di Instalasi rawat
inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2006 dengan penderita hipertensi dan komplikasi.
Presentasi kejadian DRPs kategori pemberia obat yang salah sebesar 12,04% sedangkan
kategori dosis lebih 1,85% dan dosis kurang sebanyak 0,93%.
Berdasarkan mekanismenya, interaksi obat dibagi menjadi interaksi dalam aspek
farmakokinetika dan interaksi respon farmakodinamik.
1. Interaksi Farmakokinetik
Merupakan interaksi yang terjadi apabila satu obat dapat mengubah absorbs,
distribusi, biotransformasi atau emilinasi obat lain. Absorbsi dapat diubah jika
obat pengubah pH diberikan secara bersamaan seperti pengobatan antitukak
atau antidiare tertentu (tetrasiklin dan kation divalent, kolestiramin dan obat
anion). Perubahan distribusi disebabkan oleh kompetisi untuk ikatan protein
(ikatan obat sulfa dan bilirubin pada albumin). Pada perubahan biotransformasi
atau metabolism, sebagai contoh induksi digambarkan dengan pengobatan
antikonvulsan utama seperti fenitoin, karbamazepin, atau barbiturate, sedangkan
inhibisi ditimbulkan oleh antimikroba kuinolon, makrolida, dan golongan azol.
Pada perubahan ekskresi dapat dimodifikasi oleh obat pengubah pH urin, seperti
inhibitor karbonat anhydrase atau mengubah jalur sekresi dan reabsorbsi seperti
yang disebabkan oleh probenesid. (5)
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi dari farmakodinamik terjadi antara obat-obatan yang memiliki efek
samping serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada
reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologi yang sama. Karena itu dokter akan menghindarinya bila dokter
mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan.
Contohnya yaitu pasien lanjut usia yang menggunakan obat karena penyakit
kronik yang dideritanya serta banyaknya penyakit yang diderita. Jika obat tidak
diberikan secara benar maka akan menyebabkan efek samping dari penggunaan
obat yang dikonsumsinya. (6)
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur suatu biaya yang dikeluarkan serta hasil
yang diperoleh yang kemudian dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan
kesehatan. Farmakoekonomi juga didefinisikan dengan deskripsi dan analisis dari biaya
terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. (7)
Tujuan dari farmakoekonomi ialah untuk membandingkan obat yang berbeda namun
untuk tujuan serta pengobatan dengan kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan
pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Farmakoekonomi diperlukan karena
sumber daya yang terbatas. Dengan kata lain memberikan obat yang efektif dengan dana
yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien
dimana dari sudut pandang pasien dengan biaya seminimal mungkin. (7)

Daftar Pustaka

1. Kemenkes RI, 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Bina Pelayanan Kefarmasian.
Jakarta
2. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004. Standar
Pelayanann Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004
3. Jas A. Perihal Resep & Diagnosis serta Latihan Menulis & Resep. Edisi ke-2. Medan:
Universitas Sumatera Utara Press; 2009. hlm 1-15
4. Cipolle R. J., Stand L. M and Morley P.C,. 2004, Pharmaceutical Care Practice The
Clinician’s Guide, 2nd ed., McGraw-Hill Education, New York
5. Ashraf, Mozayani., Lionel, P, Raymon. 2012. Handbook of Drug Interaction: A
Clinical and Forensic Guide. EGC: Jakarta
6. Ganiswara, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, ed. IV, 271—288 dan 800-810. Jakarta:
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7. Vogenberg, F. R., 2001, Introduction to Applied Pharmacoeconomics, McGraw-Hill
Companies, USA

Anda mungkin juga menyukai