PENDAHULUAN
1
pada bayi dan anak-anak dapat disebabkan karena massa, hemorrhage, infeksi,
peningkatan tekanan sinus venous ( achondroplasia, craniostenoses ), iatrogenik,
idiopatik. Acquired hydrocephalus pada dewasa dapat disebabkan karena
subarachnoid hemorrhage (SAH), idiopatik, tumor, congenital aqueductal
stenosis, meningitis ( Espay, 2010 )
Pada makalah ini kami akan membahas tentang manajemen terapi
hidrosefalus obstruktif. Hidrosefalus tipe obstruktif memiliki insiden sebesar 99%
pada anak ( Loebis, 2009 ). Oleh karena insidennya yang besar maka perlu
dibahas manajemen terapi yang tepat dalam menangani hidrosefalus tipe
obstruktif. Terapi dapat dilakukan dengan medikamentosa maupun dengan
pembedahan. Dengan diketahuinya manajemen terapi yang tepat pada
hidrosefalus obstruktif maka diharapkan dapat dilakukan pencegahan terhadap
kerusakan otak lebih lanjut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Ventrikel tertius merupakan suatu celah ventrikel yang sempit di antara
dua paruhan diencephalons. Atapnya dibentuk oleh tela choroidea yang tipis,
suatu lapisan ependim, dan piamater dari suatu pleksus choroideus yang kecil
membentang ke dalam lumen ventrikel ( De jong, 2004 )
Ventriculus quartus membentuk ruang berbentuk kubah di atas fossa
rhomboidea, antara cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang recessus
lateralis pada kedua sisi. Masing-masing recessus berakhir pada foramen Luscka,
muara lateral ventriculus quartus. Ventrikel keempat membentang di bawah obeks
ke dalam canalis centralis sumsum tulang belakang ( Sitorus, 2004 )
4
2.2.2 Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal
rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel 1.
Cairan Penampilan Tekanan Sel (per ul) Protein Lain-lain
mm air
Lumbal Jernih dan 70-180 0-5 15-45 mg/dl Glukosa 50-
tanpa warna 75 mg/dl
Ventrikel Jernih dan 70-19 0-5 (limfosit) 5-15 mg/dl Nitrogen non
tanpa warna protein 10-35
mg/dl. Tes
Kahn dan
wasserman
(VDRL)
negatif
LCS terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan
antara keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen
Luscka) dan apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Volume
CSS normal pada dewasa adalah 120 ml. CSS diproduksi oleh pleksus choroid
pada tingkat 0.20-0.35 ml/min; bagian internal (ventricular) dari system menjadi
kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi
dan direabsorpsi setiap hari ( Saanin, 2004 )
2.2.3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air,
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan.
Takanan meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya,
pada tumor), volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal
(pada hidrosefalus) karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku
dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume
tanpa kenaikan tekanan ( Sri, 2006 ).
2.2.4. Sirkulasi LCS
5
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus
lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii
masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor
cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus
quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah
dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga subarachnoid. Dari sini
cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid
spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh
kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot
arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah –
kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum
harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi
cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan
produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang (Sitorus, 2004).
2.3 Hydrocephalus
6
2.3.1 Definisi
Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebro spinalis (Liquor Cerebrospinalis/LCS) tanpa atau
pernah dengan tekanan intracranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran
ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal (ventrikel). Pelebaran ventrikel
ini berpotensi menyebabkan kerusakan pada jaringan otak . Hidrosefalus dapat
disebabkan gangguan dari formasi, aliran, penyerapan cerebrospinal ( CSS ).
(Ashish, 2005).
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi hydrocephalus di dunia cukup tinggi, di Amerika sekitar 2
permil pertahun, sedangkan di Indonesia mencapai 10 permil pertahun, sumber
lain menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia berkisar antara 0,2- 4 setiap
1000 kelahiran. Insiden hidrosefalus kongenital adalah 0,5- 1,8 pada tiap 1000
kelahiran dan 11% - 43% disebabkan oleh stenosis aquaductus serebri (Maliawan,
2004).
2.3.3 Klasifikasi
1. Hidrosefalus Obstruktif
Bila ada obstruksi terhadap aliran CSS melalui sistem ventrikel. Obstruksi dapat
terjadi pada ventrikel lateral, ventrikel 3, aquaductus sylvii, dan ventrikel 4.
2. Communicating Hidrosefalus
Bila tidak ada obstruksi terhadap aliran CSS dalam sistem ventrikel. Penyebab
communicating hydrosefalus yang paling umum adalah infeksi, perdarahan
subarachnoid, carcinomatous meningitis, dan papiloma pleksus choroid
( Yadav, 2009 )
7
subarachnoid karena terdapat obstruksi pada salah satu atau kedua foramen
interventricular, aquaductus cerebrum atau pada muara keluar dari ventrikel
keempat. Hambatan pada setiap tempat ini dengan cepat menimbulkan dilatasi
pada satu atau lebih ventrikel. Produksi cairan cerebrospinal terus berlanjut dan
pada tahap obstruksi yang akut, mungkin terdapat aliran cerebrospinal
transependim. Girus-girus memipih pada bagian dalam tengkorak. Jika tengkorak
masih lentur, seperti pada kebanyakan anak di bawah usia 2 tahun, maka kepala
dapat membesar.
8
• gagal tumbuh kembang
• peningkatan lingkar kepala
• Fontanelle anterior menegang
• suara 'cracked pot' pada perkusi tengkorak
• ketika parah, terjadi penurunan kesadaran, dan muntah
• ‘sun set’ phenomen
• kulit kepala tipis dengan pembuluh melebar (vena ectasy)
2.3.6 Diagnosis
9
Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan radiologis. Perlu ditanyakan pada anamnesis adalah keluhan utama
pasien, pada anak anak dapat ditanyakan: sejak kapan terjadinya pembesaran
kepala, riwayat kehamilan dan persalinan (apa ibu menderita sakit selama hamil,
meminum obat-obatan, dan apakah ada riwayat trauma dan persalinan yang sulit),
apakah didapatkan kelainan lain seperti spina bifida, dll. Pemeriksaan fisis
dilakukan dengan cara mencari adanya gejala klinis seperti yang telah dijelaskan
diatas. Pemeriksaan radiologis, yang paling penting adalah CT scan atau MRI
otak yang akan menunjukkan adanya ventrikel yang membesar. Jika ventrikel
lateral dan ventrikel ke-3 semua sangat melebar, dan ventrikel ke-4 sempit,
kemungkinan halangan adalah pada tingkat aquaduktus Sylvius. CT scan atau
MRI akan membantu menentukan penyebabnya, dengan menentukan adanya
tumor yang menghalangi. Pada hidrosefalus komunikan semua ventrikel
membesar (Kaye, 2005). Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering
menunjukkan adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat
terjadi di atas ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar.
Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS. Dalam bidang sagital MRI sangat
membantu dalam menunjukkan stenosis aquaduktus dan lesi di ventrikel ke-3
menyebabkan hydrocephalus obstruktif (Kaye, 2005).
Ultrasonography melalui fontanelle anterior yang masih terbuka sangat
berguna dalam menilai ukuran ventrikel pada bayi dan mungkin tidak perlu untuk
CT scan ulang. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel
yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG ternyata tidak
mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini
disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem
ventrikel secara jelas, (Kaye, 2005).
Plain tengkorak X-ray. Dapat menunjukkan erosi tulang penopang sekitar
tuberculum sellae atau ‘copper beaten appearance’ ke bagian dalam calvarium
(Kaye, 2005). Selain itu pada plain x-ray didapatkan gambaran tulang tipis,
disproporsi kraniofasial, dan sutura melebar.
2.3.7 Diagnosis Banding
10
Kondisi yang menyerupai hydrocephalus namun bukan karena absorpsi
CSF yang inadekuat antara lain (Greenberg, 2001):
1. Atrofi otak
2. Hydraencephaly
3. Kelainan perkembangan yang menyebabkan pembesaran ventrikel,
misalnya agenesis dari corpus callosum dan septo optic displasia
2.3.8 Pengobatan
Pengobatan hydrocephalus dapat dilakukan antara lain:
2.3.8.1 Medikamentosa
Pemakaian terapi medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorpsinya . Pada dasarnya obat-obatan yang diberikan
adalah duretika seperti asetazolamid dan furosemid. Cara ini hanya efektif pada
hidrosefalus tipe non obstruktif dimana terjadi sekresi CSS atau hambatan
absorpsi CSS seperti pada kasus-kasus oklusi sinus, meningitis, atau perdarahan
intraventrikuler pada neonatal (Greenberg, 2001).
Pemberian terapi diuretik dapat diberikan pada bayi prematur dengan
perdarahan pada CSF (selama tidak terjadi hydrocephalus aktif) sambil menunggu
apakah terjadi absorpsi CSF secara normal kembali.Namun hal ini harus tetap
diingat hanya sebagai terapi tambahan saja bukan sebagai terapi definitif. Diuertik
yang diberikan adalah (Greenberg, 2001):
- Acetazolamide: 25mg/kg/hari per oral 2x1, ditingkatkan 25mg/kg/hari
tiap hari sampai 100mg/kg/hari tercapai.
- Furosemide: 1mg/kg/hari per oral
11
Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus.
Terdapat 2 metode operasi populer yang biasa dilakukan sebagai terapi definitif
pada kasus hidrosephalus yaitu operasi pintas (shunting) dan endoscopic third
ventriculostomy (ETV).
A. Operasi pintas/”Shunting”
Ada 2 macam :
a. Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus
tekanan normal.
b. Internal
CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.
Ventrikulo-Sisternal,
CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
Ventrikulo-Atrial,
Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam atrium kanan jantung melalui v.
jugularis interna (dengan thorax x-ray ® ujung distal setinggi 6/7). Prosedur
ini biasanya merupakan pilihan utama bagi pasien yang tidak dapat dipasang
distal abdominal catheters seperti pada pasien dengan multiple operation,
baru mengalami sepsis abdominal, kavum peritoneal yang malabsorptive dan
pseudokista abdominal. Prosedur ini memiliki lebih banyak resiko dan
komplikasi jangka panjang yang serius seperti gagal ginjal, dan great vein
thrombosis. Panduan Fluoroskopik diperlukan untuk mencegah terjadinya
trombosis kateter (short distal catheter) atau cardiac arrhythmias (long distal
catheter).
Ventrikulo-Sinus,
CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
Ventrikulo-Bronkhial,
Ventrikulo-Mediastinal,
Ventrikulo-Peritoneal,
12
Terapi definitif hidrosefalus gold standart adalah Ventrikulo-
Peritoneal ( VP ) shunting. Kateter ditempatkan ke ventrikel lateral dan
dihubungkan katup subkutan yang dilekatkan ke kateter secara subkutan
menuju perut dan dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Tempat drainase
alternatif seperti atrium, rongga pleura dan saluran kencing sekarang telah
sebagian besar ditinggalkan, kecuali dalam keadaan tertentu. Insisi kecil
lengkung dibuat di daerah parieto-oksipital dan penutup kulit diangkat.
Rongga peritoneum dibuka, baik melintang melalui rektus membelah insisi di
hypokondrium kanan atau melalui sayatan garis tengah. Sebuah burrhole
dilakukan, ventrikel lateral dikanulasi dan kateter ventrikular dimasukkan ke
ventrikel lateral sehingga terletak di ujung tanduk frontal dari ventrikel
lateral, anterior ke pleksus choroid. Penyisipan kateter dengan cara ini
meminimalkan komplikasi utama lain, obstruksi shunt. Sebagai salah satu
penyebab utama terhalangnya kateter ventrikular adalah sumbatan oleh
pleksus choroid oleh karena itu, sebaiknya menempatkan tempat masuk dari
kateter ke tanduk frontal. Peritoneum kateter dapat dijahit secara subcutan
diantara perut dan tengkorak menggunakan satu dari sekian banyak
perangkat. Setiap kateter digabungkan ke katup, yang kemudian dijahit pada
tempatnya. Setelah memeriksa bahwa sistem berfungsi dengan baik, kateter
peritoneal ditempatkan dalam rongga peritoneal. Ada banyak sistem shunt
dan jenis shunt digunakan, situasi klinis tertentu dan para ahli bedah saraf
mempunyai preferensi sendiri dalam banyak modifikasi sistem dasar ini
menanamkan sebuah ventriculoperitoneal shunt (Kaye, 2005).
13
• Infeksi pada shunt
Infeksi pada shunt adalah komplikasi yang mengakibatkan konsekuensi yang
buruk, khususnya pada pasien yang dependent terhadap shunt. Pencegahan
komplikasi ini dilakukan dengan cara:
a. Teknik steril, termasuk menggunakan teknik 'tidak sentuh' dari shunt
dan menghindari kontak kulit dengan shunt secara total.
b. Profilaksis antibiotik intraoperative. Penggunaan antibiotik profilaksis
intraoperatif terbukti bermanfaat. Meskipun kelanjutan dari antibiotik
selama 24-36 jam pascaoperasi belum terbukti efektif. Shunt yang
terinfeksi hampir selalu perlu dilepas dan diganti dengan shunt yang
baru , lebih disukai di posisi yang berbeda dari sebelumnya dan
diberikan antibiotik yang sesuai.
Obstruksi
Shunt mungkin gagal untuk bekerja memuaskan disebabkan antara
lain oleh sumbatan dari kateter ventrikel, kerusakan atau penyumbatan
katup atau terhalangnya kateter peritoneum.
Perdarahan intrakranial
Hematom intraserebral terjadi karena lewatnya kateter ventrikel.
Haematoma subdural sangat mungkin terjadi pada pasien dengan
hidrosefalus berat yang lama.
14
perbaikan klinis 100 % dan perbaikan radiologis 73%. Pada infantil hidrosefalus
keberhasilan mencapai 46%, sedangkan untuk penderita dengan usia di atas 2
tahun keberhasilannya mencapai 64 – 74%. Jika terjadi kegagalan pada ETV
biasanya terjadi 6 bulan setelah operasi. Jika dilakukan dengan benar, ETV
merupakan metode yang aman, simple, dan pilihan terapi yang efektif dengan
komplikasi yang masih dapat diterima ( Maliawan, 2008 ).
15
setelah itu, pertahun 4-5% dan setiap komplikasi berarti harus dilakukan revisi.
Setiap VP shunting memiliki kemungkinan risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10
tahun pasca operasi.
Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar
ventrikel III ke sisterna basalis yaitu ruang subarakhnoid di belakang sela tursika.
Pada teknik ETV tidak ada alat yang dipasang, sehingga aliran CSS dibuat hampir
mendekati aliran fisiologis menuju sistem penyerapan pada vili arakhnoid.
Keuntungan teknik ETV lainnya adalah sekali tindakan saja, berarti tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut, biaya murah dan sederhana Teknik ETV
hanya dilakukan pada hidrosefalus obstruktif (HO). Di Indonesia masalah utama
adalah harga alat yang relatif mahal apalagi kalau terjadi penggantian waktu
revisi, akan sangat membebani keluarga penderita.
Maliawan pada tahun 2007 mengadakan penelitian yang membandingkan
efektivitas metode VP shunt dengan metode ETV pada kasus hidrosefalus
obstruktif dengan salah satu parameter berupa perbaikan klinis. Pada penelitian
ini luaran klinis diamati dalam kurun waktu setelah operasi, enam bulan pasca-
operasi dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas juga dilakukan pengamatan
saat praoperasi. Didapatkan bahwa luaran klinis berupa diplopia, sunset
phenomena, membuka mata, spastisitas otot, respon motorik dan verbal paska
operasi pada teknik VP shunting dan ETV tidak memberikan perbedaan yang
bermakna. Tidak demikian halnya dengan luaran klinis enam bulan pasca operasi
pada teknik ETV memberikan luaran klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
teknik VP shunting utamanya untuk longterm outcome klinis. Hal ini akibat dari
teknik VP shunting selalu diikuti revisi sebagai konsekuensi dari tidak
berfungsinya implan.
BAB III
16
PENUTUP
Kesimpulan
Pada hydrocephalus obsruktif terapi medikamentosa hanya bersifat
penunjang, sehingga perlu dilakukan terapi definitif berupa tindakan operatif,
diantaranya adalah dengan teknik ventrikuloperitoneal (VP) shunt dan endoscopic
third ventriculostomy (ETV). Setiap metode memilki kelebihan dan kelemahan
tersendiri.
Prinsip dari prosedur VP shunt ini adalah membuat saluran baru antara
aliran likuor dengan kavitas drainase yaitu cavum peritoneal. Prosedur ini
memiliki banyak komplikasi dan risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10 tahun pasca
operasi.
Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar
ventrikel III ke sisterna basalis. aliran CSS dibuat hampir mendekati aliran
fisiologis. Keuntungan teknik ETV lainnya adalah sekali tindakan saja, biaya
murah dan sederhana Selain itu ETV memberikan luaran klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik VP shunting untuk longterm outcome karena tidak
selalu membutuhkan revisi seperti VP shunt. Teknik ETV hanya dilakukan pada
hidrosefalus obstruktif (HO).
17