Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN HEUTAGOGI DENGAN POLA ASUH PERSUASIF

SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN ABAD XXI

I Gede Sarya
SMP Negeri 4 Abang
gdesarya09@gmail.com

ABSTRAK

Penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan pendekatan heutagogi


dengan pola asuh persuasif sebagai alternatif dalam proses pembelajaran abad ke-21.
Era Revolusi Industri 4.0 merupakan era yang menuntut perubahan secara cepat.
Pada era ini, dunia industri menuntut tersedianya sumber daya manusia yang dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan dan tantangan yang ada. Hal ini tentu menjadi
tantangan besar khususnya bagi dunia pendidikan dalam menyiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Heutagogi merupakan suatu pendekatan pembelajaran
yang ditentukan secara mandiri oleh pembelajar, sebagai suatu perkembangan
alamiah dari metodologi pendidikan sebelumnya terutama dari pengembangan
kemampuan dan pendekatan optimal untuk belajar di abad dua puluh satu. Dalam
proses menetapkan atau memilih sendiri materi pelajaran perlu pendampingan dari
guru dengan mengikuti pola asuh persuasif yaitu pola pembinaan secara
kekeluargaan yang berempati.

Kata Kunci: Heutagogi, Pola Asuh Persuasif


1. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat telah


menimbulkan kompleksnya kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti ini menuntut
semakin terspesialisasikannya kemampuan seseorang dalam melakukan tugas-tugas
tertentu, termasuk tugas sebagai guru dalam melaksanakan aktivitas pendidikan.
Untuk terselenggaranya proses belajar mengajar secara optimal, guru memiliki
kedudukan yang strategis. Guru memegang peran yang sangat strategis, baik dalam
kapasitasnya sebagai perencana pengajaran, pelaksana pengajaran, hingga sampai
pada proses menilai hasil belajar siswa. Bahkan lebih jauh lagi, melalui balikan yang
diperoleh pada saat proses berlangsung maupun balikan yang didapatkan lewat
rekaman hasil belajar yang dipetik lewat proses evaluasi yang memadai, diharapkan
pula guru dapat memodifikasi rancangan dan pelaksanaan pengajarannya untuk
target meningkatkan capaian belajar sesuai yang diharapkan.
Atas dasar itu penempatan guru pada posisi strategis tersebut di atas, pada
hakikatnya memiliki sekaligus dua implikasi. Pada satu sisi karena guru sebagai
profesi menuntut kepada penyandangnya untuk memiliki dasar kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan serta memiliki kepribadian yang mantap sebagai
persyaratan bagi performansinya untuk target kemaslahatan bagi orang lain.
Sedangkan pada sisi yang lain, dalam rangka penyiapan sumber daya insani yang
bermutu, peran guru tidak dapat diabaikan, sebab melalui kegiatan pendidikan yang
bermutu yang diusahakan oleh guru, dapat mengkontribusi keluaran (out-put)
pendidikan yang bermutu pula.
Era Revolusi Industri 4.0 merupakan era yang menuntut perubahan secara
cepat. Era ini ditandai dengan adanya sistem cyber-fisik, Internet of Things (IoT)
yang semuanya terkait dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan big
data. Pada era ini, dunia industri menuntut tersedianya sumber daya manusia (SDM)
yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan tantangan yang ada. Hal ini
tentu menjadi tantangan besar khususnya bagi dunia pendidikan dalam menyiapkan
SDM yang berkualitas tersebut.
Revolusi Industri 4.0 memiliki dua sisi, di samping menawarkan kemudahan
tentu terdapat banyak tantangan besar. Demikian halnya dalam bidang pendidikan.
Dunia pendidikan memegang peranan penting dalam menyiapkan generasi yang siap
bersaing dan menjawab tantangan zaman. Era Revolusi Industri 4.0 telah banyak
mengubah berbagai lini kehidupan. Pertanyaan yang sering muncul di era Revolusi
Industri 4.0 ini adalah akankah keberadaan guru dapat digantikan oleh mesin?
Kekhawatiran ini layak muncul ketika banyak aplikasi belajar yang menjamur dan
mudah diakses oleh peserta didik kapan pun dan di mana pun. Selain aplikasi berupa
media pembelajaran, tersedia pula layanan bimbingan belajar secara online. Peserta
didik cukup mendaftar sebagai anggota sehingga dapat mengakses berbagai fasilitas
mulai dari e-book, video pembelajaran, latihan soal hingga konsultasi dengan
pengajar secara online. Namun keberadaan layanan ini tidak dapat menggantikan
posisi guru sepenuhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Dian Arif Noor Pratama
(Pratama, 2019) bahwa era Revolusi Industri 4.0 ini merupakan era disruption
sehingga penanaman karakter dan transfer of value kepada peserta didik perlu
dilakukan.Penanaman karakter inilah yang tak dapat digantikan oleh mesin. Artinya,
sampai kapan pun keberadaan guru sangat diperlukan.
Respon dunia pendidikan terhadap kehadiran Revolusi Industri 4.0 adalah
munculnya gagasan Education 4.0 di mana visi pendidikan adalah memotivasi
peserta didik untuk belajar tidak hanya pengetahuan dan keterampilan melainkan
mengidentifikasi sumber belajar pengetahuan dan keterampilan tersebut. Ada
Sembilan langkah yang ditempuh dalam melaksanakan Education 4.0 antara lain:
pertama, pembelajaran dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun melalui model
pembelajaran e-learning yang memungkinkan terjadinya pendidikan jarak jauh.
Kedua, pembelajaran sesuai dengan kebutuhan individu menurut tingkatan masing-
masing. Anak akan mendapat tugas yang sulit setelah mencapai penguasaan tingkat
tertentu. Selain itu dilakukan praktik untuk memberikan pengalaman kepada peserta
didik serta membangkitkan kepercayaan diri mereka. Ketiga, memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan bagaimana mereka akan belajar.
Keempat, peserta didik belajar dengan berbasis proyek. Kelima, peserta didik akan
dihadapkan pada belajar langsung melalui pengalaman lapangan. Keenam, peserta
didik diharapkan mampu mengintepretasikan data dengan menerapkan pengetahuan
teoritis dan keterampilan penalaran dalam menyusun kesimpulan logis. Ketujuh,
menilai kemampuan peserta didik baik pengetahuan faktual maupun penerapan
pengetahuan saat pelaksanaan proyek. Kedelapan memperhatikan pendapat peserta
didik dalam rangka perbaikan kurikulum dan terakhir membuat peserta didik lebih
mandiri melalui pembelajaran mereka sendiri (Hussin, 2018).
Untuk melaksanakan sembilan langkah Education 4.0, perlu suatu
pendekatan yang cocok dalam proses pembelajaran. Pendekatan tersebut adalah
Heutagogi dengan pola asuh persuasif. Bagaimanakah pendekatan heutagogi
tersebut? Bagaimanakah proses pembelajaran heutagogi dengan pola asuh persuasif?

2 Pembahasan
Pada bagian ini dipaparkan mengenai pendekatan heutagogi, pola asuh
persuasif, dan pendekatan heutagogi dengan pola asuh persuasif dalam
pembelajaran.

2.1 Pendekatan Heutagogi


Heutagogi didefinisikan oleh Hase dan Kenyon pada tahun 2000 sebagai
studi pembelajaran yang ditentukan sendiri/ mandiri. Heutagogi menerapkan
pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dengan
belajar sebagai proses aktif dan proaktif, dan peserta didik melayani sebagai agen
utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai akibat dari
pengalaman pribadi (Lisa, 2012). Seperti dalam pendekatan andragogi, Instruktur
atau pendidik pada heutagogi juga memfasilitasi proses pembelajaran dengan
memberikan bimbingan dan sumber daya. Namun, sepenuhnya pemilihan
kepemilikan jalur pembelajaran dan proses untuk belajar, yang melakukan negosiasi
belajar, menentukan apa yang akan dipelajari, dan bagaimana hal itu akan dipelajari
adalah sepenuhnya ditentukan oleh peserta didik (Lisa, 2012).
Sebuah konsep kunci dalam heutagogi adalah putaran ganda pembelajaran
dan refleksi diri (Lisa, 2012). Dalam putaran ganda pembelajaran, peserta didik
mempertimbangkan masalah dan tindakan yang dihasilkan dan hasil, selain
merefleksikan proses pemecahan masalah dan bagaimana hal itu mempengaruhi
keyakinan dan tindakan pelajar itu sendiri.
Pendekatan heutagogi merupakan perkembangan dari pedagogi ke andragogi
untuk heutagogi, dengan peserta didik juga maju dalam kedewasaan dan otonomi.
Peserta didik yang lebih dewasa membutuhkan lebih sedikit kontrol dari instruktur
dan dapat lebih mandiri dalam belajar mereka, sementara peserta didik yang kurang
matang membutuhkan lebih banyak bimbingan instruktur (Tilaar, 2011). Dengan
dasar dari andragogi, heutagogi lebih lanjut memperluas pendekatan andragogi dan
dapat dipahami sebagai sebuah kontinum andragogi.
Dalam andragogi, kurikulum, pertanyaan, diskusi, dan penilaian dirancang
oleh pendidik sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sedangkan pada heutagogi,
peserta didik menetapkan program pembelajaran, merancang dan mengembangkan
peta belajar, dari kurikulum untuk penilaian (Lisa, 2012). Heutagogi menekankan
pengembangan kemampuan selain kompetensi.
Heutagogi sebagai Continuum dari Andragogi
Andragogi (self-directed) ► Heutagogi (self-ditermined)

Single-loop learning (satu lingkaran Double-loop learning (dua



belajar lingkaran pembelajaran

Competency development Capability development


(pengembangan kompetensi) ► (pengembangan kemampuan)

Linear design and learning approach Non-linier design and learning


► approach

Instructor-learner directed Learner –directed



Getting Student to learn (content) Getting student to understand how
► they learn (process)

Ciri-ciri dan kontinum dari andragogi ke heutagogi memerlukan


pertimbangan lebih lanjut, apa yang dapat diturunkan dari perbandingan ini,
bagaimanapun, bahwa heutagogi adalah pendekatan didirikan pada andragogi dan
dapat dianggap sebagai perluasan dari konsep yang ada. Pendidikan secara
tradisional nyaris selalu dilihat sebagai hubungan pedagogis antara guru dan pelajar.
Guru yang selalu memutuskan apa yang pelajar harus ketahui dan bagaimana
pengetahuan dan ketrampilan yang harus diajarkan. Hasil penelitian puluhan tahun
terakhir memang telah cukup untuk melahirkan sebuah revolusi dalam pendidikan
mengenai bagiamana orang belajar dan hasil dari itu membuat guru dapat bekerja
lebih lanjut tentang cara pengajaran dan hasil yang diperoleh (Sudarwan Danim,
2010).
Dengan adanya perubahan dalam masyarakat yang sangat pesat atau dikenal
dengan era ledakan informasi, maka diperlukan adanya sebuah pendekatan
pendidikan dalam belajar dimana peserta didik sendiri yang menentukan apa dan
bagaimana belajar itu dilakukan. Heutagogi merupakan suatu studi tentang
pembelajaran yang ditentukan secara mandiri oleh pembelajar, dapat pula dilihat
sebagai suatu perkembangan alamiah dari metodologi pendidikan sebelumnya
terutama dari pengembangan kemampuan dan mungkin menyediakan pendekatan
optimal untuk belajar di abad dua puluh satu.

2.2 Pola Asuh Persuasif


Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal
orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang
situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1993). Penelitian kontemporer pada
gaya pola asuh berasal dari penelitian terkenal Baumrind (1991) dalam anak dan
keluarganya. Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan
tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada
konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah
satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari
konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan
kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak
merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai
karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi
keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1993).
Dengan demikian kebiasaan cara/gaya orang tua ketika mereka berinteraksi
dengan anak-anaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting. Perkembangan
mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi orangtua untuk
meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional (Bornstein, 2002).
Pola asuh orangtua yang autoritarian adalah orangtua yang memberikan
batasan-batasan tertentu dan aturan yang tegas terhadap anaknya, tetapi memiliki
komunikasi verbal yang rendah. Pola asuh ini merupakan cara yang membatasi dan
bersifat menghukum sehingga anak harus mengikuti petunjuk orangtua dan
menghormati pekerjaan dan usaha orangtua. Contoh orangtua yang authoritarian
akan berkata : “Kamu melakukan hal itu sesuai dengan cara saya atau orang lain“.
Dalam hal ini nampak sekali orangtua bersikap kaku dan banyak menghukum anak-
anak mereka yang melanggar, karena sikap otoriter orangtua. Biasanya pola asuh ini
memiliki kontrol yang kuat, sedikit komunikasi, membatasi ruang gerak anak, dan
berorientasi pada hukuman fisik maupun verbal agar anak patuh dan taat. Ada
ketakutan yang tinggi dalam diri orangtua terhadap anaknya karena adanya
pertentangan dalam kemauan dan keinginan. Jadi anak-anak ini sering sekali tidak
bahagia, ketakutan dan cemas dibandingkan dengan anak lain, gagal memulai suatu
kegiatan, menarik diri karena tidak puas diri dan memiliki ketrampilan komunikasi
yang lemah.
Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak.
Orangtua yang permisif membuat beberapa aturan dan mengijinkan anak-anaknya
untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat
peraturan biasanya mereka menjelaskan alasan terlebih dahulu, orang tua
berkonsultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil dan jarang menghukum.
Pada pola ini orangtua sangat terlibat dengan anaknya tetapi sedikit sekali
menuntut atau mengendalikan mereka. Biasanya orangtua yang demikian akan
memanjakan, dan mengizinkan anak untuk melakukan apa saja yang mereka
inginkan. Gaya pola asuh ini menunjukkan bagaimana orangtua sangat terlibat
dengan anaknya, tetapi menempatkan sedikit sekali kontrol pada mereka. Hal ini
berkaitan dengan ketidakmampuan sosial, terutama dalam kontrol diri.
Pola asuh permisif mengutamakan kebebasan, dan anak diberikan kebebasan
penuh untuk mengungkapkan keinginan dan kemauannya dalam memilih. Pada
dasarnya orangtua dalam pola ini akan menuruti kehendak anak, dan kerangka
pemikiran psikoanalitis melandasi pandangan orangtua yang memandang bahwa
setiap manusia dilahirkan sudah memiliki kebutuhan dasar pribadi yang menuntut
untuk dipenuhi. Oleh karena itu apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka akan
terjadi halangan perkembangan dan timbul penyimpangan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Oleh karena itu anak harus diberikan kebebasan penuh serta
dihindari penekanan terhadap keinginan dan kemauan anak, dan dibiarkan
berkembang dengan apa adanya.
Pola asuh yang bergaya autoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap
orangtua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan komunikasi dua arah
yang bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial. Hal
ini disebabkan karena orang tua dapat merangkul dan mencarikan alasan untuk
solusi di masa depan. Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna
apabila anak mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri
dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini anak diberi
kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta
menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan.
Dalam pendekatan pola asuh persuasif, lebih banyak mengadopsi tipe pola
asuh autoritatif, yaitu menekankan pada adanya kontrol yang diimbangi dengan
pemberian dukungan dan semangat serta adanya tujuan yang ingin dicapai dalam
bentuk kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung
jawab terhadap lingkungan masyarakat. Pendekatan pola asuh persuasif
menggunakan pola pembinaan secara kekeluargaan yang berempati, dimana yang
dibina tidak merasakan adanya tekanan, namun merasakan adanya siraman rohani
yang menyejukkan.

2.3 Pendekatan Heutagogi dengan Pola Asuh Persuasif dalam Pembelajaran


Heutagogi menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik, dengan belajar sebagai proses aktif dan proaktif, dan
peserta didik melayani sebagai agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri.
Peserta didik menetapkan program pembelajaran, merancang dan mengembangkan
peta belajar, dari kurikulum untuk penilaian. Dalam proses menetapkan atau
memilih sendiri materi pelajaran perlu pendampingan dari guru dengan mengikuti
pola asuh persuasif yaitu pola pembinaan secara kekeluargaan yang berempati.
Beberapa langkah-langkah pendekatan heutagogi dengan pola asuh persuasif dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut.
1. Sebelum proses pembelajaran siswa diajak berbicara oleh guru seperti
keluarga, tanpa ada istilah bawahan maupun atasan. Pembicaraan
menyangkut keinginan siswa dan ketertarikan siswa pada suatu materi
pembelajaran.
2. Guru menyediakan bahan-bahan ajar yang akan dipilih oleh siswa.
3. Siswa menentukan materi-materi yang diminati dan guru mendampingi
serta memberikan arahan mengenai manfaat dari materi yang dipilih.
4. Siswa mempelajari dan mengekplorasi materi-materi tersebut melalui
internet, guru menjadi teman diskusinya dan mengarahkan agar tujuan
dapat tercapai secara optimal.
5. Guru secara persuasif mengajak siswa untuk menampilkan hasil
belajarnya.

3. Penutup
Dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan heutagogi
dengan pola asuh persuasif, siswa diberikan kebebasan dalam memilih materi
pembelajaran sesuai dengan minat dan bakatnya, namun guru tetap mendampingi
dan memfasilitasi sebagai teman diskusinya untuk pencapain hasil yang optimal.
Pendampingan oleh guru dilakukan dengan penuh kekeluargaan dan kehangatan
sehingga penanaman karakter lebih mendalam pada diri siswa.

Daftar Rujukan

Baumrind, D. 1991. The influence of parenting style on adolescent competence and


substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.

Bornstein, M. H. (Ed.). 2002. Handbook of Parenting: Practical Issues in Parenting


(2nd ed., Vol. 5). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Darling, N., & Steinberg, L. 1993. Parenting style as context: An integrative model.
Psychological Bulletin, 113(3), 487-496.

Hussin, A. A. 2018. Education 4.0 Made Simple: Ideas For Teaching. International
Journal of Education & Literacy Studies (IJELS) Volume:6 Issue: 3, 92-98.

Lisa Marie Blaschke 2012, Heutagogy and Lifelong Learning: A Review of


Heutagogical Practice and Self-Ditermined Learning. The International
Review of Research open and distance Learning. Vol 13. No.1 Januari 2012

Pratama, D. A. 2019. Tantangan Karakter Di Era Revolusi Industri 4.0 Dalam


Membentuk Kepribadian Muslim. Al-Tanzim : Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam March 2019, Vol. 03 No. 01, p. 198-226, 198-226.

Sudarwan Danim. 2010. Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi. Bandung; Penerbit


Alfabeta

Tilaar, Jimmy Ph Paat dan Lody Paat. 2011. Pedagogik Kritis. Perkembangan,
Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.

Anda mungkin juga menyukai