Anda di halaman 1dari 29

PORTOFOLIO KASUS

NamaPeserta:dr. Anggie Widia Nanda Dea


NamaWahana: RSUD Indramayu
Topik: Tetanus Umun grade IV
Tanggal (kasus) : 4 Juli 2019
Tanggal Presentasi : 18 September 2019 Pembimbing : dr. Andi Suharso Sp.N
Pendamping: dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH

Tempat Presentasi : RSUD Indramayu


Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauanpustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Tetanus Umum Grade IV
Tujuan:
1. Pendekatan diagnosis tetanus
2. Penatalaksanaan dan edukasi pasien tetanus
BahanBahasan: Tinjauanpustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
Data Pasien: Nama: Tn. S, laki - laki, 57 tahun No.Registrasi:
Nama klinik Ruang rawat inap cengkir 1
Data utama untuk bahandiskusi:
• KeteranganUmum
 Nama : Ny. S
 Jenis Kelamin : Laki - laki
 Tanggal Lahir : 15 Juni 1967
 Umur : 32 tahun
 Alamat : Desa Tawang sari RT/RW 03/01 Kec. Arahan Kab.
Indramayu
 Pendidikan Terakhir : SD
 Pekerjaan : Petani
 Status Perkawinan : Kawin
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Tanggal MRS : 3 Juli 2019
 Tanggal Pemeriksaan : 4 Juli 2019

1
BAB I
STATUS PASIEN NEUROLOGI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.S
Usia : 57 tahun

2
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status Pernikahan: menikah
Tanggal Masuk : 3 Juli 2019
Tanggal Periksa : 4 Juli 2017

II. ANAMNESA
Autoanamnesa + Alloanamnesa kepada keluarga pada tanggal 4 Juli 2017 pukul 08.00
WIB di RSUD Indramayu.

KELUHAN UTAMA
Tidak bisa menelan dan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluarga ke IGD RSUD Indramayu dengan keluhan tidak
bisa menelan dan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS, keluhan tersebut
semakin memberat dan mengakibatkan pasien sulit makan dan minum serta
berkomunikasi. Selain itu pasien juga mengeluh lehernya kaku dan perutnya juga terasa
kaku seperti papan sejak 2 hari yang SMRS. Demam disangkal, nyeri kepala disangkal,
kejang disangkal, penurunan kesadaran disangkal, nyeri dan bengkak di daerah mulut
disangkal.
Setelah masuk perawatan os mengalami kejang >10x dalam 12 jam kejang
terutama di pengaruhi oleh gerakan, suara dan cahaya dan sering tanpa dipengaruhi
stimulus. Kejang berupa kaku pada tangan dan kaki dan perut namun pasien mengaku
dirinya masih sadar. Keluhan kejang disertai dengan demam.
Os mengaku 1 bulan yang lalu mengalami luka pada kaki kiri terkena keong
saat pasien bekerja di sawah, os mengaku tidak merawat luka dikakinya. Os tidak di
imunisasi, Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Pada saat dilakukan
anamnesis keluhan saat ini pasien merasa kejangnya semakin sering.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

3
Pasien mengatakan hal ini baru pertama kali dialami. Riwayat diabetes mellitus
disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal dan riwayat hipertensi disangkal, riwayat
epilepsi disangkal.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Pasien menyangkal di keluarga ada yang mempunyai penyakit hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung dan epilepsi disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS INTERNUS
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 38ºC
SpO2 : 97%
 Mata : konjungtiva anemis -/- , skelra ikterik -/-
 Mulut : trismus ±1 jari
 Leher : tidak ada perbesaran KGB
 Jantung : BJ I-II, regular, Gallop (-), Murmur(-)
 Paru : SN vesikuler kedua lapang paru, Rhonki (-)/(-),
Wheezing(-)/(-)
 Abdomen : Datar, opistotonus + pada seluruh lapang
abdomen, Bu + normal
 Ekstemitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT <2’,
Bekas luka pada digiti digiti 3 pedis sinistra
STATUS NEUROLOGIS
 Kesadaran : CM, E4M6V5, GCS 15
 Sikap Tubuh : Berbaring
 Cara Berjalan : Tidak dapat di nilai
 Gerakan Abnormal : Tidak ada

4
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kanan Kiri
 Kaku kuduk : (+)
 Laseque : >700 >700
 Kerniq : >1350 >1350
 Brudzinsky I : (-) (-)

 Brudzinsky II : (-) (-)

NERVI CRANIALIS
N I. Olfaktorius
Daya Penghidu : Normosmia / Normosmia

N II. Optikus
Ketajaman Penglihatan : Baik/baik
Pengenalan Warna : Dapat membedakan warna
Lapang Pandang : Sama dengan pemeriksa
Fundus : Tidak dilakukan

N III. Occulomotorius/ N IV. Trochlearis /N VI. Abduscen


Ptosis : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Exopthalmus : (-) (-)
Enopthalmus : (-) (-)
Gerakan Bola Mata
Lateral : Normal Normal
Medial : Normal Normal
Atas Medial : Normal Normal
Bawah Medial : Normal Normal
Atas : Normal Normal
Bawah : Normal Normal
Pupil

5
Ukuran : Ǿ3 mm Ǿ3 mm
Bentuk : Bulat Bulat
Iso/anisokor : Isokor
Posisi : Sentral Sentral
Reflek Cahaya Langsung : (+) (+)
Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+) (+)

N V. Trigeminus
Menggigit : (+)
Membuka Mulut : Simetris trismus ±1 jari
Sensibilitas Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)

Bawah : (+) (+)

N VII. Fasialis
Pasif
 Kerutan kulit dahi : Simetris kanan kiri
 Kedipan mata : Simetris kanan kiri
 Lipatan nasolabial : Simetris kanan kiri
 Sudut mulut : Simetris kanan kiri
Aktif
 Mengerutkan dahi : Simetris kanan kiri
 Mengerutkan alis : Simetris kanan kiri
 Menutup mata : Simetris kanan kiri
 Meringis : Simetris kanan kiri
 Menggembungkan pipi : Simetris kanan kiri
 Gerakan bersiul : Simetris kanan kiri
 Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak diperiksa
 Hiperlakrimasi : (-)
 Lidah kering : (-)

N VIII. Vestibulocochlearis

6
Mendengan suara gesekan jari tangan : (+) (+)
Mendengar detik jam arloji : (+) (+)
Tes swabach : Tidak dilakukan
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes webber : Tidak dilakukan

N IX. Glosopharingeus
Sulit dinilai

N X. Vagus
Denyut nadi : Kuat angkat, reguler, ekual
Arcus pharynx : sulit dinilai
Bersuara : Tidak bisa berbicara
Menelan : Tersedak

N XI. Accesorius
Memalingkan kepala : Kontraksi M. Sternocleidomastoideus
Kaku
Sikap bahu : Simetris
Mengangkat bahu : Kontraksi M. Trapezeus kaku
Kesan kuduk kaku

N XII. Hipoglosus
Menjulurkan lidah : Tidak ada deviasi
Kekuatan lidah : Baik
Atrofi lidah : Tidak ada
Artikulasi : Baik
Tremor lidah : Tidak ada
SISTEM MOTORIK
Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofii
Gerakan : Bebas Bebas
Bebas Bebas
Kekuatan : 5555 5555
7
5555 5555
Tonus : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus

SISTEM REFLEKS
REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks Tendon : Kanan Kiri
 Refleks Biseps : (+) (+)
 Refleks Triseps : (+) (+)
 Refleks Patella : (+) (+)
 Refleks Archilles : (+) (+)
Refleks Periosteum : Tidak dilakukan
Refleks Permukaan :
 Dinding perut : Simetris
 Cremaster : Tidak dilakukan
 Spinchter Anii : Tidak dilakukan

Refleks Patologis : kanan kiri


 Babinski : (-) (-)
 Chaddock : (-) (-)
 Openheim : (-) (-)
 Gordon : (-) (-)
 Schaefer : (-) (-)
 Rosolimo : (-) (-)
 Mendel Bechterew : (-) (-)
 Klonus paha : (-) (-)
 Klonus kaki : (-) (-)

SISTEM SENSIBILITAS
Eksteroseptif
Nyeri : Baik
Suhu : Baik
Taktil : Baik
8
Proprioseptif
Vibrasi : Tidak dilakukan
Posisi : Baik
Tekan dalam : Baik

FUNGSI OTONOM
Miksi
Inkontinensia : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Retensi : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Anuria : tidak dapat dinilai, terpasang kateter
Defekasi
Inkontinensia : (-)
Retensi : (-)

FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : Baik
Fungsi emosi : Cemas
Fungsi orientasi : Baik
Fungsi memori : Baik
Fungsi kognisi : Baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Jenis Pemeriksaan Hasil Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14 13.2 -17.3 g/dL
Hematokrit 41.4 40 – 52 %
Eritrosit 4.2 4.4 – 6.0 juta/µL
Leukosit 6300 4400 – 11300 /µL
Trombosit 324000 150000 – 400000 /µL
MCV 97 80 – 100 IL
MCH 32.8 28-33 pg
MCHC 33.7 33 -36 g/dL
KIMIA KLINIK
Ureum 61 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.91 0.5 – 1.5 mg/dL
Glukosa Darah (Sewaktu) 106 83 – 140 mg/dL

9
SGOT (AST) 26 <35 U/L
SGPT (ALT) 17 <40 U/L

V. DIAGNOSIS
 Diagnosis Klinis : convulsi parsial sederhana, trismus, opistotonus, kaku
kuduk
 Diagnosis Topis : Neuromuscular junction
 Diagnosis Etiologis : C. Tetanii
 Diagnosis Patologi : Infeksi

VI. TERAPI
Pada prinsipnya, penanganan dikerjakan dengan mempertahankan hemodinamik, memelihara
fungsi neuron dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada pasien ini terapi medikamentosa
yang diberikan berupa terapi cairan, anti toxin, anti kejang dan antibiotik berfungsi untuk
mencegah kekakuan lebih lanjut dan penyebaran infeksi yang luas.
1. Medikamentosa :
a. Oksigen 3 LPM
b. Puasa
c. Infus NaCl 0.9% 20 tetes per menit
d. Injeksi metronidazol 3x500 mg
e. Drip diazepam 8 ampul dalam NaCl 0.9% 500 cc/24 jam
f. Intramuskular Tetagram 20.000 IU
g. Injeksi ceftriaxon 1x2 gram
2. Non-Medikamentosa :
 Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada
pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.
 Tirah baring

VII. PROGNOSIS
 Ad vitam : Dubia
 Ad functionam : Dubia ad bonam
 Ad sanactionam : Dubia ad bonam
 Ad cosmeticum : Dubia ad bonam

10
VIII. FOLLOW UP

5 Juli 2019 6 Juli 2019


S : kejang >10x, demam, mulut sulit dibuka, Pada pukul 04.00 os dinyatakan meninggal
perut terasa kaku

O : kesadaran : CM lemas
TD : 120/80 mmHg
N : 102 x.mnt
RR : 26 x/mnt
S : 38 oC
kepala : normocephal, trismus 0.5 cm
abdomen : opistotonus (+) BU +

A : tetanus umum grade IV

P : O2 nassal canul 4 LPM


IVFD RL : D5% 3000cc/hari
Drip diazepam 8 amp dalam NaCl 0.9% 500
cc/24 jam
Inj metronidazole 3x500 mg
Inj paracetamol 3x1 gr
Inj ranitidine 2x50 mg
puasa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetanus

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan


kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi
pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula(1). Di
negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2).
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

11
utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih
tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian
tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan
baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan
antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).
2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai
oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering
progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi
dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan
kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf
perifer atau otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis
tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang(5).

2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
12
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel
saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin
berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti(6).

Mekanisme kerja toksin tetanus:


1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai
saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin
mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama
dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf


Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
13
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis(6).

Perubahan akibat toksin tetanus:


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin(6).
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia,
gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).

2. Aktifitas neuromuskular perifer


14
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus
terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme
terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd)
maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis
torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti
kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus,
namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan
dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
15
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal
dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik
seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat
terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung
dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu
ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
 Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
 Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
 Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder
seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :
 Kendala etik
 Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
 Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik

16
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem
imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya
antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada
penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin(7).
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya
demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin(8).
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis
ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang
17
otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas
kapiler pada organ tertentu.

2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis


1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan
penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9).
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa
trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal
jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya
jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas
18
atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari
mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan
dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru(9).

Gambar 1. Rhesus Sardonicus

19
Gambar 2. Gambaran kejang

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :


a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak
ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat
atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau
penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat
tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

20
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
 Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
 Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
 Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
 Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
 Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
 Enzim otot serum mungkin meningkat
 EKG dan EEG biasanya normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak
ditemukan. - Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas
kejang (> 3U/ml)

2.4 Diagnosis banding dan komplikasi


1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis
bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek
samping fenotiazin, Peritonsiler abses(10).

2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara
lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan

21
kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau
atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia,
aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan
fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan
asidosis metabolik(10).

2.5 Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.
Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol,
metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali
sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-
14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila
diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini
pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah,
perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus
sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan
dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10
hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).

22
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan
terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus
neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis
diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes
hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara
intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen.
Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang
disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)


Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis
3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984)
memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal.
Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul
gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya
diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum
debridemen luka.

23
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat
supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang
diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian
diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan
100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa
dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB,
kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme
berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4
kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan
diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan
darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125
ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus
dikerjakan.

24
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
a) Semua penderita dengan tetanus derajat IV
b) Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>
c) Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan
intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolol(10).

2.6 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas
pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan,
semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik
harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang
memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(10).
25
Tabel 1. Philip’s Score
Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 – 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 – 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 – 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 – 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 – 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak langsung) 8 Selalu apnea setelah kejang 8
Mengancam nyawa 10 Perlu trakeostomi 10

2.7 Pencegahan

26
Leavell dan Clark (1965) dalam bukunya Preventive medicine for the doctors in his
community, mengenalkan konsep tentang tindakan preventif untuk semua jenis penyakit yang
dinamakan 5 LEVELS OF PREVENTION atau 5 tingkatan/tahapan pencegahan. Tingkatan
tersebut dapat dilakukan pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha
pencegahan tersebut berupa mempertinggi nilai kesehatan (Health promotion), memberikan
perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific protection), mengenal dan
mengetahui jenis pada tingkat awal,serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera
(Early diagnosis and treatment), pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan
gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability limitation),
rehabilitasi (Rehabilitation). Pada kasus tetanus pencegahan bisa dilakukan pada masa
prepatogenesis yaitu :

1. Promosi Kesehatan (Health promotion)

Promosi kesehatan merupakan ujung tombak dari 5 tingkat pencegahan penyakit. Promosi


kesehatan adalah tahapan yang pertama dan utama dalam hal mencegah penyakit. Promosi
kesehatan adalah proses memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat
mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam hal ini pemberdayaan
masyarakat harus lebih kental, masyarakat harus lebih berpartisipasi aktif. Tujuan akhirnya
adalah agar masyarakat berubah perilakunya, dari perilaku yang tidak baik menjadi
baik. Dalam upaya memaukan masyarakat maka dipakai berupa pendidikan kesehatan.
Sedangkan dalam memampukan masyarakat, dilakukan intervensi lingkungan. Pendidikan
kesehatan dapat ditempuh melalui penyuluhan, konseling, konsultasi, dan lain-lain.
Adapun intervensi lingkungan adalah dengan mendesain lingkungan sedemikian rupa
agar masyarakat dapat terbantu hidup sehat. Contohnya lewat regulasi yang berlaku,
lewat organisasi, lewat UU, dan lain-lain.
Pada kasus tetanus promosi kesehatan bisa dilakukan dengan penyuluhan tentang penyakit
tetanus sendiri seperti :
a. Penyebab
b. cara penyebaran penyakitnya
c. gejala yang timbul
d. pencegahan berupa
a. melahirkan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas, pondok bersalin, RS dll
b. perawatan pada luka kotor
c. penggunaan sepatu boot pada petani saat bekerja, selalu menggunakan sandal
atau sepatu
d. mencuci tangan dengan sabun
e. cara menggosok gigi yang baik dan benar

2. memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific protection)


Perlindungan khusus yang dimaksud dalam tahapan ini adalah perlindungan yang
diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang beresiko terkena suatu penyakit tertentu.
Perlindungan tersebut dimaksudkan agar\ kelompok yang beresiko tersebut dapat bertahan dari
serangan penyakit yang mengincarnya. Oleh karena demikian, perlindngan khusus ini juga
dapat disebut kekebalan buatan. Pada kasus tetanus pencegahan bisa dilakukan berupa :
27
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka
kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium
salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal,
atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung
dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat
imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG
(Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7
tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua individu dewasa yang
imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi
untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35,
45 dan seterusnya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk
pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan
yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada
perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke
dalam punting tali pusat
3. Penggunaan alat pelindung diri

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Ningsih S, Witarti N. Tetanus. 2007. Available from:
www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 18 Agustus 2015.
2. Lubis UN. Tetanus Lokal pada Anak. 2004. Available from:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 18 Agustus 2015.
3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
6. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
7. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
8. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784
10. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

29

Anda mungkin juga menyukai