Anda di halaman 1dari 39

CRS (Case Report Session)

*Kepanitraan Klinik Senior/G1A217077/Maret 2019


** Pembimbing dr. Dian Angraeni, Sp. A, M. Kes

EPILEPSI

Atika Sevtira, S.Ked*


dr. Dian Angraeni, Sp.A, M. Kes**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

EPILEPSI

Disusun Oleh :
Atika Sevtira, S.Ked

G1A2170

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada 24 Maret 2019

PEMBIMBING

dr. Dian Angraeni, Sp. A, M. Kes


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang
berjudul “Epilepsi” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dian Angraeni, Sp.A, M. Kes yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
laporan BST ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, 24 Maret 2019

Atika Sevtira
BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan
epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik yang
berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak. Epilepsi merupakan serangan kejang
paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan
lebih dari 24 jam, akibat lepas muatan listrik berlebihan di neuron otak.1
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,
yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguantumbuh-
kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi.2
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada
anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan
neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan
pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak
antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut,
benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic epilepsy.2
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan
ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh gambaran
bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan
anak dan lanjut usia.2
Epilepsi merupakan kasus yang sering dijumpai pada anak-anak. Beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat
kehamilan jelek dan kejang demam. Sekitar 0,5 – 12% kejang demam berulang merupakan
faktor predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari.3
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya
adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf
pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar selsel otak, bersifat
sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau
psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja,
serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures
misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus
serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan
dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi,
dan gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik
neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk
masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang
berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta mengarah
pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri.3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : An. S
Usia : 3 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : RT 12 desa lumahan Tanjabar
Berat Badan : 12 kg
Tinggi Badan : 74 cm
MRS : 21 Maret 2019
2.2. Anamnesis
Anamnesis dan alloanamnesis : ibu pasien
Keluhan utama : Kejang
Keluhan tambahan : (-)
Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien diantar kedua orang tuanya dengan keluhan kejang sebanyak 15x sejak 9 jam
smrs. pasien kejang dengan mata melihat ke atas, mulut menutup rapat, tangan
menggenggam dan kaki menghentak-hentak, sebelum kejang pasien sadar, saat kejang
pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar. Demam tinggi terjadi setelah kejang.
Awalnya, kejang pertrama kali 4 bulan yg lalu, kejang kedua 6 hari yg lalu, kejang
ketiga 9 jam yg lalu. Pasien rutin minum obat. Riwayat obat: asam valproat syr 2x1
cth/hr.

Kejang awalnya timbul saat usia 3 tahun pada saat sesudah jatuh dari tangga, setelah
itu langsung kejang yang pertama dengan semua serempak seluruh tubuh, mata ke arah
atas dan bibir berwarna biru. Pasien di urut ibunya dan sadar tidak dibawa kemana-
mana. Setelah 3 bulan kemudian, pasien jatuh lagi dan kejang yang kedua kalinya
kejang seluruh badan, sadar dan tidak dibawa kemana-mana. Dan, 1 minggu kemudian,
demam tinggi, kejang seluruh badan, dan dibawa kebidan dan diberi obat
paracetamol,di kasih obat kejang dari bidan. Tetap panas dan dibawa kerumah. Tiga
hari dirumah kejang ke 3 kalinya dan dibawa kerumah sakit. Jarak 13 hari pasien
kambuh lagi dan dirawat lagi dan pulang. Saat dirumah kejang 15x setelah minum obat.
Saat dirawat pasien ada kejang lagi.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat jatuh dari tangga 4 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat keluarga (-)

Lingkungan dan sosioekonomi

 Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara


 Ayah pasien bekerja sebagai tani dan ibu sebagai ibu rumah tangga

2.3. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan : aterm
Partus : spontan (pervaginam)
Ditolong oleh : bidan
Tanggal : 15 Februari 2016
BBL : 2700 gram
PB : 50 cm
 Riwayat imunisasi
BCG : +
Polio : +
DPT : +
Campak : +
Hepatitis B : +
Kesan : imunisasi dasar pasien lengkap
 Riwayat perkembangan fisik
Gigi pertama : 7 bulan
Tengkurap : ibu lupa
Balik badan : ibu lupa
Merangkak : ibu lupa
Duduk : ibu lupa
Berdiri : ibu lupa
Berjalan : 1 tahun
Berbicara : 1 tahun
 Status gizi
Seorang anak perempuan, berusia 3 tahun dengan berat badan 12 kg dan tinggi
badan 74 cm.
Berdasarkan usia maka penilaian status gizi menggunakan kurva WHO :
BB/U : 0 SD s/d -2 SD
PB/U : < - 3 SD
BB/PB : 3 SD s/d 2 SD (gizi lebih)

 Riwayat penyakit yang pernah diderita :


- Parotitis : - - Batuk Pilek : +
- Pertusis : - - Asma : -
- Difteri : - - Cacingan : -
- Tetanus : - - Patah tulang : -
- Campak : - - Jantung : -
- Varicella : - - Sendi bengkak : -
- Thypoid : - - Kecelakaan : -
- Malaria : - - Operasi : -
- DBD : - - Keracunan : -
- Demam menahun : - - Sakit kencing : -
- Radang paru : - - Sakit ginjal : -
- TBC : - - Alergi : -
- Kejang : - - Perut kembung : -
- Lumpuh : - - Otitis media : -
- Muntah – berak : -

2.4. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 74 cm
Lingkar kepala : 49 cm
b. Tanda – tanda vital
Nadi : 108 x / i, reguler, kuat angkat
RR : 29 x/i, reguler, thoracoabdominal
Suhu : 36,8`C (axilla)
SpO2 : 98%
c. Kepala
Bentuk : normocephal
Rambut
Warna : hitam
Tebal/tipis : tebal
Distribusi : normal
Mata
Palpebra : edema (-/-), cekung (-/-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Pupil : isokor
Refleks cahaya : (+/+)
Kornea : jernih
Telinga
Bentuk : simetris
Sekret : (-/-)
Serumen : (+/+)
Nyeri : (-/-)
Hidung
Bentuk : simetris
Massa : (-/-)
Sekret : (-/-)
Epistaksis : (-/-)
Mulut
Bentuk : simetris
Bibir : sianosis (-), pucat (-), mukosa kering (-)
Gusi : mudah berdarah (-)
Lidah
Bentuk : simetris
Pucat : (-)
Kotor : (-)
Warna : hiperemis (-)
Faring
Hiperemis : (-)
Edema : (-)
Tonsil
Warna : merah muda
Pembesaran : T1 – T1
Leher
Pembesaran KGB : (-)
Massa : (-)
d. Thoraks
Jantung
Inspeksi  Ictus cordis : terlihat
Palpasi  Apeks : dapat diraba, kuat angkat
Thrill :-
Perkusi  Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi  Suara dasar : S1 – S2 reguler
Suara tambahan : gallop (-)
Bising : murmur (-)
Paru
Inspeksi  Bentuk : simetris
Retraksi : (-)
Dispnea : (-)
Sternum : ditengah
Gerakan paru yang tertinggal : (-)
Pelebaran sela iga : (-)
Palpasi  Fremitus taktil : getaran sama antara kanan dan
kiri
Krepitasi : (-)
Nyeri tekan : (-)
Perkusi  Sonor : (+/+)
Auskultasi  Suara nafas dasar : vesikuler (+/+) normal
Suara nafas tambahan : rhonki (-/-), wheezing (-/-)
e. Abdomen
Inspeksi  Bentuk : datar
Umbilikus : tidak menonjol
Turgor : kembali cepat
Auskultasi  Bising usus : (+) normal, 12 kali/menit
Palpasi  Nyeri tekan : (-)
Nyeri lepas : (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Massa : tidak teraba
Perkusi  Timpani (+)
Pekak (-)
Asites (-)
f. Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema (-)
Inferior : akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema (-), sianosis (-), deformitas (-),
pembengkakan sendi (-)
g. Genitalia : tidak diperiksa
2.5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 20 Maret 2019

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 12.3 10.8 – 15.6 g/dL
Hematokrit 37.5 33 – 43 %
Leukosit 10.28 5.0 – 14.5 10 /mm3
3

Trombosit 225 181 – 521 103/mm3


Eritrosit 4.76 3.8 – 5.8 103/mm3
MCV 78.8 69 – 93 µm3
MCH 25.8 22 – 34 pg
MCHC 328 32 – 36 g/dL

b. Pemeriksaan Elektrolit tanggal 20 Maret 2019

Hasil Nilai normal unit


Natrium 136.63 135-148 Mmol/L
Kalium 4.19 3.5-5.3 Mmol/L
Chlorida 107.07 98-110 Mmol/L
Calcium 1.19 1.19-1.23 Mmol/L

Pemeriksaan KimiaDarah ( 20 maret 2019 )

Hasil Normal Satuan


SGOT 28 < 40 U/L
SGPT 16 < 41 U/L
Gula darah 77 < 200 Mg/dl
sewaktu

2.6. Diagnosa Kerja


Epilepsi
Diganosa Banding
Status Epileptikus
Epilepsi parsial/fokal
2.7. Terapi
- IVFD D5 ¼ NS 500 cc/hr
- Inj. Phenitoin 2x1 mg
- PCT syr 3x5 cc
- Depaken Syr 2x3 cc

2.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa
penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam, akibat lepas muatan listrik
berlebihan di neuron otak. Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan
kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.2
Suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi kriteria klinis dan
elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom epilepsi dapat didiagnosis pada saat anak
baru satu kali mengalami bangkitan kejang, misalnya Benign Rolandic Epilepsy.1
Istilah yang dianjurkan adalah resolved, yang berarti seseorang tidak mengidap epilepsi
lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa epilepsi akan muncul kembali. Epilepsi dianggap
sebagai resolved apabila bebas serangan selama 10 tahun, dengan minimal 5 tahun tanpa obat
atau bila seseorang telah melewati masa sindrom epilepsi yang tergantung umur.1

B. Etiologi
Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40% diseluruh dunia.
Penyebab abnormalitas neuroanatomi maupun neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi
idiopatik terjadi pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang
normal dan tidak ada riwayat kelainan medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat
predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki distribusi autosomal
dominan yang mengakibatkan adanya gangguan pada kanal ion.10
Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak yang
mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari. Yang termasuk
kategori ini adalah kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat genetik maupun
didapat, dan juga kondisi yang didapat. Sebagai contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi
desak ruang, gangguan peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan
neurodegeneratif.8,10
Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih belum dapat
diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.8

C. Epidemiologi
Di negara berkembang, insidensi epilepsy pada anak lebih tinggi disbanding Negara maju,
berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi yang pasti untuk epilepsy pada
anak sulit ditemukan. 7

Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas,
sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. 2
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsy dengan pertambahan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak anak.
Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan
neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan
pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak
antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantile (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut,
benign rolandic epilepsy dan juvenile myoclonic epilepsy.2

D. Patofisiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi
genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus)
inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.3
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak.
Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler,
bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada
reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. 3
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal
ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. 3

1. Gambar 1 Patofisiologi epilepsi


Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-
ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-
ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan
juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja
reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter
seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan
epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap
memori dan proses belajar. 3
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi
bila ada rangsangan yang memadai. 3
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih
dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat
hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.5
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia,
yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik.
Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya
dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi
epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit
mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.5

E. Klasifikasi epilepsi
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain: 7
1. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari
neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak
dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
2. Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan
kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini penderita merasakan
beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama
pengedipan mata.
3. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regoi setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak.
Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan fungsional.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan


menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi.1,5,8,9
1. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
a. Bangkitan Parsial: Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
1) Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
• Dengan gejala motorik
• Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
• Dengan gejala autonom
• Dengan gejala psikis
Kejang ini sangat berbeda pada setiap orang, tergantung pada bagian otak dimana
kejang ini berawal. Satu hal yang umum terjadi pada setiap penderita bahwa mereka
tetap terjaga dan dapat mengingat apa yang terjadi. Dokter sering membagi kejang
parsial sederhana kedalam beberapa kategori tergantung pada jenis gejala yang dialami
oleh pasien.
• Kejang motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh , seseorang
mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak atau kekakuan
pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh
(berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada kedua sisi. Contoh yang
lain adalah kelemahan dimana dapat berpenagruh pada saat berbicara. Penderita mungkin
bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
• Kejang sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang sensori mungkin
mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi
berdetak, bordering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau
merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa (kebas). Kejang mungki terasa
sangat menyakitkan pada beberapa pasien. Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka
juga mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka mungkin percaya bahwa mobil
yang sedang diparkir bergerak pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika
seharusnya terdengar jelas.
• Kejang autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang secara otomatis
mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi perasaan asing atau tidak
nyaman pada perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan pernafasan,
berkeringat.
• Kejang psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman akan sesuatu.
Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang terbalik saat berbicara,
ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa takut, depresi atau
bahagia dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka
berada diluar tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).
2) Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
• Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
• Dengan automatisme
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
• Dengan gangguan kesadaran saja
• Dengan automatisme
3) Parsial yang menjadi umum sekunder
a) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

b. Bangkitan Umum
1) Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita
diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh
ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan
peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran
yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit
secara menyeluruh.
2) Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan
fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti
oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3) Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
4) Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat
serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa
sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan
merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
5) Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
6) Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.

2. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989


a. Berkaitan dengan letak fokus
1) Idiopatik
• Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
• Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2) Simptomatik
• Lobus temporalis
• Lobus frontalis
• Lobus parietalis
• Lobus oksipitalis
b. Epilepsi Umum
1) Idiopatik
• Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
• Benign myoclonic epilepsy in infancy
• Childhood absence epilepsy
• Juvenile absence epilepsy
• Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
• Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
• Other generalized idiopathic epilepsies
2) Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
• West’s syndrome (infantile spasms)
• Lennox gastaut syndrome
• Epilepsy with myoclonic astatic seizures
• Epilepsy with myoclonic absence
3) Simtomatik
• Etiologi non spesifik
• Early myoclonic encephalopathy
• Specific disease states presenting with seizures
2. Gambar 2. Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2017
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang dimaksud
sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya sekumpulan gejala dan klinis
yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur
onset, dan berat penyakit. Dikenal 4 kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi
dengan sindrom epilepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:5
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan
Serangan epilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu
sebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip
sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan berkedut-kedut, badan
melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi disebabkan oleh lesi organik struktural
dan prognosis jangka panjangnya buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada
kelompok ini.
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun
Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini sangat peka
terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi merupakan
faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada kelompok
ini adalah sindrom Spasme Infantile atau Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau
epilepsi mioklonik.
a. Sindrom Lennox-Gestaut.
1) Sindrom Lennox Gestaut ( SLG ) merupakan salah satu bentuk epilepsi yang berat,
biasanya terjadi pada anak balita dan manifestasinya berupa beberapa jenis serangan
dan keterlambatan perkembangan serta pertumbuhan.
2) SLG meliputi 3 - 11 % dari penderita epilepsi golongan anak-anak, muncul pertama
kali pada umur 1 - 14 tahun, rata-rata 3 tahun.
3) Jenis serangan yang terdapat pada satu penderita meliputi serangan tonik, atonik,
mioklonik dan absence tidak khas. Munculnya serangan dipermudah oleh rasa
mengantuk atau bahkan tanpa rangsanganpun dapat muncul serangan.
4) Beberapa faktor penyebab adalah 25 % bersifat kriptogenik, simtomatik meliputi 75%
pada populasi, cedera kepala yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
prematuritas dan asfiksia, infeksi otak, malformasi perkembangan otak dan penyakit
metabolik yang menyangkut otak.
b. Sindrom West.
1) Sindrom ini dikenal pula sebagai spasmus infantile. Usia awitan berkisar 3 - 12 bulan
dengan puncak pada umur 4 - 7 bulan.
2) Secara umum serangan epilepsi jenis ini dicirikan oleh serangan tonik secara
mendadak, bilateral dan simetris.
3) Faktor penyebab antara lain 10 - 15 % bersifat kriptogenik dan 85 - 90 % bersifat
simtomatik. Faktor prenatal meliputi infeksi intrauterin (CMV = citomegalo virus),
disgenesis serebral dan malformasi serebral, penyebab pasca natal antara lain hipoksia
serebral, trauma kepala dan infeksi (meningitis dan ensefalitis).

3. Kelompok umur 4 - 9 tahun


Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi umum primer
terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik
heriditer. Jenis epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign epilepsy of
childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17 tahun anak dengan BECRS dapat
bebas serangan tanpa menggunakan obat.
4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.
a. Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau epilepsi umum
lesionik.
b. Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor.
Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap dilanda bangkitan epileptik
pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul pada kelompok ini.

F. Manifestasi klinis
Kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan
muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau
kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di
bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah
dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak
menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami déjà vu
(merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).9
Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilangnya kontak penderita
dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan
lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara
yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.10
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah
otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak
yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis
epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang
konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-
sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan
hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala,
linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa
yang terjadi selama kejang.10
Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun.
Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal. Penderita hanya menatap,
kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita
tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun
menyentak-nyentak.
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus
menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernafas sebagaimana
mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas.10
Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan
penderita bisa meninggal.

G. Faktor risiko9
Faktor Risiko untuk epilepsy meliputi:
• Bayi yang lahir kurang bulan.
• Bayi yang mengalami kejang pada satu bulan pertama setelah dilahirkan.
• Bayi yang lahir dengan struktur otak yang abnormal.
• Perdarahan didalam otak.
• Pembuluh darah abnormal didalam otak
• Trauma otak berat atau kurangnya oksigen otak
• Tumor otak
• Infeksi pada otak, abses meningitis atau ensefalitis
• Serebal palsy.
Faktor yang dapat memicu terjadinya kejang yaitu:
• Lupa minum obat
• Kurang tidur
• Sakit (dengan atau tanpa demam)
• Stress psikologi yang berat
• Pengguuna alkhohol yang berat
• Penggunaan kokain atau ekstasi
• Kurangnya nutrisi seperti vitamin dan mineral
• Siklus menstruasi

H. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam
penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:5
1. Anamnesis
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.
Selama bangkitan/ iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau
kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat
bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
Pasca bangkitan/ post- iktal:
- Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s
paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
 Jenis obat antiepilepsi
 Dosis OAE
 Jadwal minumOAE
 Kepatuhan minum OAE
 Kadar OAE dalam plasma
 Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
b. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada
anak adalah sebagai berikut:
 Lingkar kepala
 Mencari tanda-tanda dismorfik
 Kelainan kulit
 Pemeriksaan jantung dan organ lain
 Gangguan respirasi(hiperventilasi)
 Evaluasi psikologis
 Defisit neurologis
 Pemeriksaan funduskopis

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Akan tetapi EEG bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna
jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.

Gambar 3. Gambaran EEG pada bangkitan umum13


Gambar 4. Gambaran EEG pada bangkitan parsial13

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

3. Gambar 3 Indikasi dilakukan MRI


Pemeriksaan radiologis/pencitraan otak berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik
diotak. MRI beresolusi tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,
malformasi kavernosus, DNET ( dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous
sclerosiss.4
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon
Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik
dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.4
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus
kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan
pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi structural
penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena
teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif.
Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi
sensitivitas dalam menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT
scan kepala.5
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar
gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping OAE

I. DIAGNOSIS BANDING
Gambar 4 Diagnosa banding epilepsi pada anak (Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside
Practical Guide to Epilepsy. 2017. USA: International League Against Epilepsy.)
4.
J. TATALAKSANA
Pengobatan Epilepsi bertujuan untuk:
 Mengatasi kejang
 Mencari faktor penyebab sindrom epilepsy
 Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
 Psikososial: memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang perawatan anak
dengan epilepsy
 Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis serendah
mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari

Tabel 3.3 Pilihan obat antiepilepsi pediatric (Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside
Practical Guide to Epilepsy. 2017. USA: International League Against Epilepsy (ILAE).
Jenis obat yang sering diberikan yaitu:
1. Karbamazepin
- Indikasi: bangkitan partial dan umum
- Dosis: 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis
- Efek samping: diploplia, ataksia, mengantuk, pusing, icterus, anemia, SSJ
2. Asam valproate
- Indikasi: semua jenis epilepsy
- Dosis: 10-60mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
- Efek samping: nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis
3. Difenilhidantoin
- Indikasi: bangkitan partial dan umum
- Dosis: 4-10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
- Efek samping: hyperplasia gusi
4. Fenobarbital
- Indikasi: bengkitan partial umum, tonik
- Dosis: 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis
- Efek samping: mengantuk, gangguan sifar berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.

Tabel 3.4 Pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan jenis bangkitan (Harsono. Buku Ajar
Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005. 3 :119-145.)
Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang
bangkitan pertama kedua dipertimbangkan dihindari
Bangkitan Sodium Clobazam Clonazepam
umum tonik Valproat Levetiracetam Phenobarbital
klonik Lamotrigine Oxcarbazepine Phenitoin
Topiramate Acetazolamide
Carbamazepine
Bangkitan lena Sodium Clobazam Carbamazepine
valproat Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
mioklonik Valproat Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
tonik valproat Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik valproat Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Phenytoin
Bangkitan Carbamazepine Clobazam Clonazepam
fokal Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
dengan/tanpa Sodium Levetiracetam Acetazolamide
umum valproate Phenytoin
sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigine

Penghentian pemberian OAE


Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2
tahun bebas serangan.
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
• Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
• Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
• Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama

J. Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress emosional.
Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:9
• Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual
• Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada
hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda)
• Kepribadian keras : agresif dan defensive

Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:


• Aspirasi atau muntah
• Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
• Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
• Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang tanpa
kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe
kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin
menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin fatal.
Komplikasi meliputi:
• Aspirasi
• Kardiakaritmia
• Dehidrasi
• Fraktur
• Serangan jantung
• Trauma kepala dan oral

5. Gambar 5 Tatalaksana status epileptikus

Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP)


SUDEP terjadi pada sebagian kecil orang dengan epilepsy . Dengan alasan yang
sangat sulit untuk dimengerti, orang sehat dengan epilepsy dapat meninggal secara
mendadak. Ketika hal ini terjadi, orang dengan epilepsy simtomatik memiliki risiko yang
lebih tinggi.
Dari hasil autopsy tidak ditemukan penyebab fisik dari SUDEP. Hal ini mungkin terjadi
karena edem pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko yang lebih tinggi
dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum tonik klonik yang tidak dapat
dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien yang menggunakan dua atau lebih obat anti
kejang mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi untuk SUDEP.

K. Pencegahan
Jika kejang berhubungan dengan kondisi medis tertentu, identifikasi dan terapi pada
kondisi medis tersebut adalah kunci dari pencegahan terjadinya kejang. Jika pengobatan anti
kejang telah diberikan oleh dokter, minum obat sesuai jadwal yang telah direkomendasikan
oleh dokter dan tidak lupa minum obat adalah hal yang penting dalam pencegahan kejang.9
• Beberapa orang dengan epilepsy sensitive terhadap alkhohol. Mungkin ada beberapa
orang yang mengalami kejang setelah meminum sedikit alkhohol sehingga kunci utama
dalam pencegahan kejang adalah dengan menghindari alkhohol.
• Kurang tidur dan stress mungkin meningkatkan frekuensi terjadinya kejang pada
beberapa orang tertentu.

L. Prognosis
Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin
untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe epilepsy
yang diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.
Hampir seperempat pasien yang bebas kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang
setelah menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap.
Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa
perkembangan pada kejang. 9

BAB IV
ANALISA KASUS
Anamnesa:

Fakta Teori
RPD:  Epilepsi merupakan kejang yang tidak
Kejang awalnya timbul saat usia 3 tahun diprovokasi. Terjadi secara berulang
pada saat sesudah jatuh dari tangga, setelah ulang dalam 24 jam.
itu langsung kejang yang pertama dengan  Terdapat 2 macam kejang epilepsy
semua serempak seluruh tubuh, mata ke menurut ILAE yakni kejang parsial
arah atas dan bibir berwarna biru. Pasien di
(terdiri dari kejang simple parsial, kejang
urut ibunya dan sadar tidak dibawa kemana-
parisal kompleks dan kejang tonik klonik
mana. Setelah 3 bulan kemudian, pasien
generelized sekunder) dan kejang umum
jatuh lagi dan kejang yang kedua kalinya
(kejang absens, kejang tonik, kejang
kejang seluruh badan, sadar dan tidak klonik, kejang myoklonik, kejang tonik
dibawa kemana-mana. Dan, 1 minggu klonik generalized primer dan kejang
kemudian, demam tinggi, kejang seluruh atonik)
badan, dan dibawa kebidan dan diberi obat Kejang Tonik-Klonik
paracetamol,di kasih obat kejang dari bidan.  Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
Tetap panas dan dibawa kerumah. Tiga hari
saat tonik, kaku umum pada otot
dirumah kejang ke 3 kalinya dan dibawa
ektremitas, batang tubuh, dan wajah,
kerumah sakit. Jarak 13 hari pasien kambuh
yang langsung kurang dari 1 menit.
lagi dan dirawat lagi dan pulang. Saat
 Dapat disertai dengan hilangnya control
dirumah kejang 15x setelah minum obat.
kandung kemih dan usus.
Saat dirawat pasien ada kejang lagi.
 Tidak adan respirasi dan sianosis
 Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik
pada ekstremitas atas dan bawah.
 Penderita tidak memberikan respon
terhadap sekitarnya tetapi tidak
terjatuh, pingsan maupun menyentak-
nyentak.
 Pasien segera sadar kembali setelah
kejang.

Analisis
Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesa yang sesuai dengan manifestasi klinik dari
epilepsi umum tipe tonik-klonik atau grand mal. Dimana diperoleh adanya penurunan
kesadaran disertai gerakan tonik maupun klonik dari anggota tubuh.
Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal) merupakan jenis bangkitan yang paling
dramatis, terjadi pada 10% populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase, yaitu fase tonik, fase klonik,
dan fase pasca keja. Fase tonik merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke
satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah
dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, pupil dilatasi. Sedangkan, fase klonik hanya terjadi kejang kelojot dan dijumpai
terutama sekali pada anak.

Fakta Teori
Obat: Obat anti epileptic :
Asam Valproat syr 2x5 ml Sodium Valproate
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine

Analisis
Jenis bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua OAE yang
dipertimbangkan
Bangkitan umum Sodium Valproate Clobazam Clonazepam
tonik-klonik Lamotrigine Levetiracetam Phenobarbital
Topiramate Oxcarbazepine Phenytoin
Carbamazepine Acetazolamide

Selain memberikan terapi farmakologis hendaknya orang tua pasien diberikan edukasi
mengenai epilepsi mengenai pengertian epilepsi, etiologi, lamanya gangguan kejang, efek
samping obat epilepsi, serta akibat sosial dan akademik. Orangtua harus didorong untuk
mengobati anaknya senormal mungkin. Pada kebanyakan anak dengan epilepsi, pembatasan
aktifitas fisik tidak diperlukan kecuali bahwa anak harus diikuti oleh orang dewasa yang
bertanggung jawab sementara anak sedang mandi dan berenang. Nasehat harus meliputi cara
pertolongan pertama yang digunakan jika kejang berulang. Untungnya, kebanyakan orangtua
dan anak dengan mudah menyesuaikan diri pada gangguan kejang dan pada kebutuhan
antikonvulsan jangka panjang. Kebanyakan anak dengan epilepsi yang terkendali baik
dengan obat, mempunyai intelegensi normal, dan dapat diharapkan mengarah pada kehidupan
normal. Namun anak ini memerlukan pemantauan yang cermat karena ketidakmampuan
belajar adalah lazim pada anak dengan epilepsi daripada pada populasi umum. Kerjasama dan
pengertian pada orangtua, dokter, guru, dan anak memperbesar harapan penderita dengan
epilepsi
BAB IV

KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik didalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan oleh epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu sepeti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang
pada epilepsy, setiap tipe kejang digolongkan menurut gejala yang terjadi. Kejang dapat
digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak
yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy (SUDEP). Status epileptikus terjadi jika terdapat kejang lebih
dari 30 menit tanpa adanya masa pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah
kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi, hanya
satu diantara seribu orang dengan epilepsy simtomatik (penyebab diketahui) yang mengalami
SUDEP.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan obat anti kejang. Hampir delapan dari sepuluh
orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol dengan baik oleh
obat antikejang. Pada umumnya, pertama kali dokter akan memulai pengobatan dengan
menggunakan satu jenis anti kejang, jika kejang tetap tidak bisa dikontrol baru digunakan dua
atau lebih kombinasi obat anti kejang.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. DAFTAR PUSTAKA
2.
3. Pusponegoro H. First Unprovoked Seizure dalam Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB). IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia): Jakarta. 2015. Hal 1-6
4. I Gusti Ngurah Made Suwarba. Journal, Insidens dan karaterisitik klinis epilepsi pada
anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. 2011.
5. Jan Sudir Purba, Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter,
Departemen Neurologi/RSCM, FK UI, Medicinus; Jakarta. 2008.
6. Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside Practical Guide to Epilepsy.
2017. USA: International League Against Epilepsy.
7. Jkhdfj Catrinel ILIESCU, Dana CRAIU. Diagnostic Approach of Epilepsy in
Childhood and Adolescence. Maedica (Buchar). 2013 Jun; 8(2): 195–199.
8. Alberto Verrotti, Alessandra Cicconetti, dkk. Neuropsychiatr Disease and Treatment.
2013 Apr; 4(2): 365–370.
9. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran
Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .2002
10. Jerome Engel. Seizures and Epilepsy. OUP USA. 2013
11. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis E.
Emergency Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.2005
12. Blaise F. Bourgeois, MD, Edwin Dodson, MD. Pediatric Epilepsy: Diagnosis and
Therapy. Third Edition. 2007.
13. World Health Organization. Epilepsy. Updated February 2017. [Cited 2017
September 5] Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/
14. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.p.19-32
15. Dadiyanto Dwi W, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2011.

Anda mungkin juga menyukai