CRS Fix Tika
CRS Fix Tika
EPILEPSI
EPILEPSI
Disusun Oleh :
Atika Sevtira, S.Ked
G1A2170
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang
berjudul “Epilepsi” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dian Angraeni, Sp.A, M. Kes yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
laporan BST ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Atika Sevtira
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan
epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik yang
berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak. Epilepsi merupakan serangan kejang
paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan
lebih dari 24 jam, akibat lepas muatan listrik berlebihan di neuron otak.1
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,
yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguantumbuh-
kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi.2
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada
anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan
neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan
pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak
antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut,
benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic epilepsy.2
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan
ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh gambaran
bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan
anak dan lanjut usia.2
Epilepsi merupakan kasus yang sering dijumpai pada anak-anak. Beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat
kehamilan jelek dan kejang demam. Sekitar 0,5 – 12% kejang demam berulang merupakan
faktor predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari.3
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya
adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf
pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar selsel otak, bersifat
sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau
psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja,
serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures
misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus
serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan
dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi,
dan gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik
neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk
masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang
berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta mengarah
pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri.3
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien diantar kedua orang tuanya dengan keluhan kejang sebanyak 15x sejak 9 jam
smrs. pasien kejang dengan mata melihat ke atas, mulut menutup rapat, tangan
menggenggam dan kaki menghentak-hentak, sebelum kejang pasien sadar, saat kejang
pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar. Demam tinggi terjadi setelah kejang.
Awalnya, kejang pertrama kali 4 bulan yg lalu, kejang kedua 6 hari yg lalu, kejang
ketiga 9 jam yg lalu. Pasien rutin minum obat. Riwayat obat: asam valproat syr 2x1
cth/hr.
Kejang awalnya timbul saat usia 3 tahun pada saat sesudah jatuh dari tangga, setelah
itu langsung kejang yang pertama dengan semua serempak seluruh tubuh, mata ke arah
atas dan bibir berwarna biru. Pasien di urut ibunya dan sadar tidak dibawa kemana-
mana. Setelah 3 bulan kemudian, pasien jatuh lagi dan kejang yang kedua kalinya
kejang seluruh badan, sadar dan tidak dibawa kemana-mana. Dan, 1 minggu kemudian,
demam tinggi, kejang seluruh badan, dan dibawa kebidan dan diberi obat
paracetamol,di kasih obat kejang dari bidan. Tetap panas dan dibawa kerumah. Tiga
hari dirumah kejang ke 3 kalinya dan dibawa kerumah sakit. Jarak 13 hari pasien
kambuh lagi dan dirawat lagi dan pulang. Saat dirumah kejang 15x setelah minum obat.
Saat dirawat pasien ada kejang lagi.
2.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa
penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam, akibat lepas muatan listrik
berlebihan di neuron otak. Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan
kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.2
Suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi kriteria klinis dan
elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom epilepsi dapat didiagnosis pada saat anak
baru satu kali mengalami bangkitan kejang, misalnya Benign Rolandic Epilepsy.1
Istilah yang dianjurkan adalah resolved, yang berarti seseorang tidak mengidap epilepsi
lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa epilepsi akan muncul kembali. Epilepsi dianggap
sebagai resolved apabila bebas serangan selama 10 tahun, dengan minimal 5 tahun tanpa obat
atau bila seseorang telah melewati masa sindrom epilepsi yang tergantung umur.1
B. Etiologi
Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40% diseluruh dunia.
Penyebab abnormalitas neuroanatomi maupun neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi
idiopatik terjadi pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang
normal dan tidak ada riwayat kelainan medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat
predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki distribusi autosomal
dominan yang mengakibatkan adanya gangguan pada kanal ion.10
Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak yang
mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari. Yang termasuk
kategori ini adalah kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat genetik maupun
didapat, dan juga kondisi yang didapat. Sebagai contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi
desak ruang, gangguan peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan
neurodegeneratif.8,10
Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih belum dapat
diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.8
C. Epidemiologi
Di negara berkembang, insidensi epilepsy pada anak lebih tinggi disbanding Negara maju,
berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi yang pasti untuk epilepsy pada
anak sulit ditemukan. 7
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas,
sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. 2
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsy dengan pertambahan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak anak.
Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan
neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan
pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak
antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantile (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut,
benign rolandic epilepsy dan juvenile myoclonic epilepsy.2
D. Patofisiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi
genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus)
inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.3
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak.
Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler,
bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada
reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. 3
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal
ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. 3
E. Klasifikasi epilepsi
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain: 7
1. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari
neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak
dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
2. Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan
kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini penderita merasakan
beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama
pengedipan mata.
3. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regoi setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak.
Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan fungsional.
b. Bangkitan Umum
1) Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita
diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh
ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan
peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran
yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit
secara menyeluruh.
2) Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan
fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti
oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3) Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
4) Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat
serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa
sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan
merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
5) Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
6) Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.
F. Manifestasi klinis
Kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan
muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau
kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di
bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah
dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak
menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami déjà vu
(merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).9
Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilangnya kontak penderita
dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan
lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara
yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.10
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah
otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak
yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis
epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang
konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-
sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan
hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala,
linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa
yang terjadi selama kejang.10
Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun.
Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal. Penderita hanya menatap,
kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita
tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun
menyentak-nyentak.
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus
menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernafas sebagaimana
mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas.10
Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan
penderita bisa meninggal.
G. Faktor risiko9
Faktor Risiko untuk epilepsy meliputi:
• Bayi yang lahir kurang bulan.
• Bayi yang mengalami kejang pada satu bulan pertama setelah dilahirkan.
• Bayi yang lahir dengan struktur otak yang abnormal.
• Perdarahan didalam otak.
• Pembuluh darah abnormal didalam otak
• Trauma otak berat atau kurangnya oksigen otak
• Tumor otak
• Infeksi pada otak, abses meningitis atau ensefalitis
• Serebal palsy.
Faktor yang dapat memicu terjadinya kejang yaitu:
• Lupa minum obat
• Kurang tidur
• Sakit (dengan atau tanpa demam)
• Stress psikologi yang berat
• Pengguuna alkhohol yang berat
• Penggunaan kokain atau ekstasi
• Kurangnya nutrisi seperti vitamin dan mineral
• Siklus menstruasi
H. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam
penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:5
1. Anamnesis
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.
Selama bangkitan/ iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau
kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat
bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
Pasca bangkitan/ post- iktal:
- Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s
paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
Jenis obat antiepilepsi
Dosis OAE
Jadwal minumOAE
Kepatuhan minum OAE
Kadar OAE dalam plasma
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Akan tetapi EEG bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna
jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
I. DIAGNOSIS BANDING
Gambar 4 Diagnosa banding epilepsi pada anak (Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside
Practical Guide to Epilepsy. 2017. USA: International League Against Epilepsy.)
4.
J. TATALAKSANA
Pengobatan Epilepsi bertujuan untuk:
Mengatasi kejang
Mencari faktor penyebab sindrom epilepsy
Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
Psikososial: memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang perawatan anak
dengan epilepsy
Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis serendah
mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari
Tabel 3.3 Pilihan obat antiepilepsi pediatric (Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside
Practical Guide to Epilepsy. 2017. USA: International League Against Epilepsy (ILAE).
Jenis obat yang sering diberikan yaitu:
1. Karbamazepin
- Indikasi: bangkitan partial dan umum
- Dosis: 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis
- Efek samping: diploplia, ataksia, mengantuk, pusing, icterus, anemia, SSJ
2. Asam valproate
- Indikasi: semua jenis epilepsy
- Dosis: 10-60mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
- Efek samping: nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis
3. Difenilhidantoin
- Indikasi: bangkitan partial dan umum
- Dosis: 4-10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
- Efek samping: hyperplasia gusi
4. Fenobarbital
- Indikasi: bengkitan partial umum, tonik
- Dosis: 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis
- Efek samping: mengantuk, gangguan sifar berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.
Tabel 3.4 Pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan jenis bangkitan (Harsono. Buku Ajar
Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005. 3 :119-145.)
Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang
bangkitan pertama kedua dipertimbangkan dihindari
Bangkitan Sodium Clobazam Clonazepam
umum tonik Valproat Levetiracetam Phenobarbital
klonik Lamotrigine Oxcarbazepine Phenitoin
Topiramate Acetazolamide
Carbamazepine
Bangkitan lena Sodium Clobazam Carbamazepine
valproat Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
mioklonik Valproat Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
tonik valproat Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik valproat Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Phenytoin
Bangkitan Carbamazepine Clobazam Clonazepam
fokal Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
dengan/tanpa Sodium Levetiracetam Acetazolamide
umum valproate Phenytoin
sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
J. Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress emosional.
Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:9
• Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual
• Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada
hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda)
• Kepribadian keras : agresif dan defensive
K. Pencegahan
Jika kejang berhubungan dengan kondisi medis tertentu, identifikasi dan terapi pada
kondisi medis tersebut adalah kunci dari pencegahan terjadinya kejang. Jika pengobatan anti
kejang telah diberikan oleh dokter, minum obat sesuai jadwal yang telah direkomendasikan
oleh dokter dan tidak lupa minum obat adalah hal yang penting dalam pencegahan kejang.9
• Beberapa orang dengan epilepsy sensitive terhadap alkhohol. Mungkin ada beberapa
orang yang mengalami kejang setelah meminum sedikit alkhohol sehingga kunci utama
dalam pencegahan kejang adalah dengan menghindari alkhohol.
• Kurang tidur dan stress mungkin meningkatkan frekuensi terjadinya kejang pada
beberapa orang tertentu.
L. Prognosis
Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin
untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe epilepsy
yang diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.
Hampir seperempat pasien yang bebas kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang
setelah menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap.
Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa
perkembangan pada kejang. 9
BAB IV
ANALISA KASUS
Anamnesa:
Fakta Teori
RPD: Epilepsi merupakan kejang yang tidak
Kejang awalnya timbul saat usia 3 tahun diprovokasi. Terjadi secara berulang
pada saat sesudah jatuh dari tangga, setelah ulang dalam 24 jam.
itu langsung kejang yang pertama dengan Terdapat 2 macam kejang epilepsy
semua serempak seluruh tubuh, mata ke menurut ILAE yakni kejang parsial
arah atas dan bibir berwarna biru. Pasien di
(terdiri dari kejang simple parsial, kejang
urut ibunya dan sadar tidak dibawa kemana-
parisal kompleks dan kejang tonik klonik
mana. Setelah 3 bulan kemudian, pasien
generelized sekunder) dan kejang umum
jatuh lagi dan kejang yang kedua kalinya
(kejang absens, kejang tonik, kejang
kejang seluruh badan, sadar dan tidak klonik, kejang myoklonik, kejang tonik
dibawa kemana-mana. Dan, 1 minggu klonik generalized primer dan kejang
kemudian, demam tinggi, kejang seluruh atonik)
badan, dan dibawa kebidan dan diberi obat Kejang Tonik-Klonik
paracetamol,di kasih obat kejang dari bidan. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
Tetap panas dan dibawa kerumah. Tiga hari
saat tonik, kaku umum pada otot
dirumah kejang ke 3 kalinya dan dibawa
ektremitas, batang tubuh, dan wajah,
kerumah sakit. Jarak 13 hari pasien kambuh
yang langsung kurang dari 1 menit.
lagi dan dirawat lagi dan pulang. Saat
Dapat disertai dengan hilangnya control
dirumah kejang 15x setelah minum obat.
kandung kemih dan usus.
Saat dirawat pasien ada kejang lagi.
Tidak adan respirasi dan sianosis
Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik
pada ekstremitas atas dan bawah.
Penderita tidak memberikan respon
terhadap sekitarnya tetapi tidak
terjatuh, pingsan maupun menyentak-
nyentak.
Pasien segera sadar kembali setelah
kejang.
Analisis
Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesa yang sesuai dengan manifestasi klinik dari
epilepsi umum tipe tonik-klonik atau grand mal. Dimana diperoleh adanya penurunan
kesadaran disertai gerakan tonik maupun klonik dari anggota tubuh.
Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal) merupakan jenis bangkitan yang paling
dramatis, terjadi pada 10% populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase, yaitu fase tonik, fase klonik,
dan fase pasca keja. Fase tonik merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke
satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah
dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, pupil dilatasi. Sedangkan, fase klonik hanya terjadi kejang kelojot dan dijumpai
terutama sekali pada anak.
Fakta Teori
Obat: Obat anti epileptic :
Asam Valproat syr 2x5 ml Sodium Valproate
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine
Analisis
Jenis bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua OAE yang
dipertimbangkan
Bangkitan umum Sodium Valproate Clobazam Clonazepam
tonik-klonik Lamotrigine Levetiracetam Phenobarbital
Topiramate Oxcarbazepine Phenytoin
Carbamazepine Acetazolamide
Selain memberikan terapi farmakologis hendaknya orang tua pasien diberikan edukasi
mengenai epilepsi mengenai pengertian epilepsi, etiologi, lamanya gangguan kejang, efek
samping obat epilepsi, serta akibat sosial dan akademik. Orangtua harus didorong untuk
mengobati anaknya senormal mungkin. Pada kebanyakan anak dengan epilepsi, pembatasan
aktifitas fisik tidak diperlukan kecuali bahwa anak harus diikuti oleh orang dewasa yang
bertanggung jawab sementara anak sedang mandi dan berenang. Nasehat harus meliputi cara
pertolongan pertama yang digunakan jika kejang berulang. Untungnya, kebanyakan orangtua
dan anak dengan mudah menyesuaikan diri pada gangguan kejang dan pada kebutuhan
antikonvulsan jangka panjang. Kebanyakan anak dengan epilepsi yang terkendali baik
dengan obat, mempunyai intelegensi normal, dan dapat diharapkan mengarah pada kehidupan
normal. Namun anak ini memerlukan pemantauan yang cermat karena ketidakmampuan
belajar adalah lazim pada anak dengan epilepsi daripada pada populasi umum. Kerjasama dan
pengertian pada orangtua, dokter, guru, dan anak memperbesar harapan penderita dengan
epilepsi
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik didalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan oleh epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu sepeti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang
pada epilepsy, setiap tipe kejang digolongkan menurut gejala yang terjadi. Kejang dapat
digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak
yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy (SUDEP). Status epileptikus terjadi jika terdapat kejang lebih
dari 30 menit tanpa adanya masa pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah
kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi, hanya
satu diantara seribu orang dengan epilepsy simtomatik (penyebab diketahui) yang mengalami
SUDEP.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan obat anti kejang. Hampir delapan dari sepuluh
orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol dengan baik oleh
obat antikejang. Pada umumnya, pertama kali dokter akan memulai pengobatan dengan
menggunakan satu jenis anti kejang, jika kejang tetap tidak bisa dikontrol baru digunakan dua
atau lebih kombinasi obat anti kejang.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. DAFTAR PUSTAKA
2.
3. Pusponegoro H. First Unprovoked Seizure dalam Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB). IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia): Jakarta. 2015. Hal 1-6
4. I Gusti Ngurah Made Suwarba. Journal, Insidens dan karaterisitik klinis epilepsi pada
anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. 2011.
5. Jan Sudir Purba, Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter,
Departemen Neurologi/RSCM, FK UI, Medicinus; Jakarta. 2008.
6. Rugg-Gun F.J et al. Epilepsy 2017 from bench to bedside Practical Guide to Epilepsy.
2017. USA: International League Against Epilepsy.
7. Jkhdfj Catrinel ILIESCU, Dana CRAIU. Diagnostic Approach of Epilepsy in
Childhood and Adolescence. Maedica (Buchar). 2013 Jun; 8(2): 195–199.
8. Alberto Verrotti, Alessandra Cicconetti, dkk. Neuropsychiatr Disease and Treatment.
2013 Apr; 4(2): 365–370.
9. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran
Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .2002
10. Jerome Engel. Seizures and Epilepsy. OUP USA. 2013
11. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis E.
Emergency Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.2005
12. Blaise F. Bourgeois, MD, Edwin Dodson, MD. Pediatric Epilepsy: Diagnosis and
Therapy. Third Edition. 2007.
13. World Health Organization. Epilepsy. Updated February 2017. [Cited 2017
September 5] Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/
14. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.p.19-32
15. Dadiyanto Dwi W, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2011.