Anda di halaman 1dari 15

Demam tifoid: masalah pemeriksaan laboratorium, pemilihan terapi & perhatian tatalaksana pada

negara berkembang

Multidrug-resistant yang terjadi pada Salmonella enterica subsp. Enterica serovar Typhi (resisten
terhadap ampicillin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol), mengalami penurunan secara signifikan
dengan meningkatnya penggunaan obat golongan fluroquinolone dan azhitromycin. Hal tersebut
menyebabkan penurunan rata-rata kejadian multidrug-resistant di India dengan peningkatan
penggunaan seftriakson dan azitromisin. Namun penggunan obat-obatan seperti seftriakson,
azitromisin, dan fluoroquinolone, pemberian dosis dan durasi pemberian obat yang diberikan
masih belum jelas. Percobaan manajemen demam tifoid yang sedang berlangsung, diharpkan
mampu merekomendasikan pemberian dosis dan durasi untuk hasil klinis yang lebih baik. Kami
membuat hasil kesimpulan terkait dengan pemeriksaan laboratorium, pemilihan terapi dan
kekhawatiran dalam praktek klinis yang terjadi pada negara berkembang.

Abstrak: Demam tifoid merupakan kasus dengan angka mortalitasnya tinggi pada negara
berkembang, dan merupakan kekhawatiran masalah kesehatan yang umum. Penggunaan obat-
obatan golongan sefalosporin dan azitromisin menjadi pilihan pengobatan pada demam tifoid
karena penurunan efektifitas penggunaan fluoroquinolone pada S. Thphi dan keagagalan klinis
dan mikrobiologi terkait kegagalan klinis dan mikrobiologi menjadi perhatian penting. Di
negara-negara bekembang penggunaan kombinasi terapi yaitu sefalosproin dan azitromisin telah
disarankan, yang mungkin dapat memiliki potensi lebih baik dalam mengobati infeksi S. Typhi
tanpa klomplikasi didaerah endemic. Review ini meringkas sebagian yang akan dibahas.

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica sub enterica servoar Typhi. Biasanya terjadi
akibat sanitasi yang tidak baik serta kurang tersedianya air bersih, yang merupakan masalah yang
paling sering terjadi di negara berkembang. Diperkirakan sebanyak 12 juta kasus menderita
demam tifoid dan 130.000 kasus yang mengalami kematian akibat demam tifoid, pada tahun
2010. Semakin meningkat sebanyak 100 kasis per 100.000 orang per tahun di negara Asia
Tenggara, dan memiliki tanggungan yang lebih besar ketimbang di negara India. Berdasarkan
penelitian riview sistematik dan studi meta-analisis diperkirakan prevalensi yang
mengkonfirmasi infeksi typhoid dan paratyphoid pada kasus di Indoa masing-masing 9,7% dan
0,9%.
Di daerah endemic, pasien dengan typhoid dipertimbangkan untuk rawat jalan dan menggunakan
antibiotic oral, dan jika perlu perawatan di Rumah Sakit jika terjadi terjadi komplikasi. Hal yang
penting untuk dipertimbangkan pada kasus typhoid ini termasuk relapse dari penyakit dan dapat
menyebabkan komplikasi; pembawa typhoid yang berasal dari tinja, yang menyebabkan penyakit
ini menjadi kronik serta dapat menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar. Pada tahun 1980,
penggunaan kloramfenikol selama 2-3 minggu merupakan pengobatan pilihan untuk demma
typhoid ini. Kemudian saat ini peningkatan angka strain dengan mediasi plasmid MDR terhadap
kloramfenikol, ampicillin dan kotrimoxazole telah dilaporkan. Penggunaan fluoroquinolone
(siprofloksasin dan ofloxasin) menjadi pilihan yang disukai diikuti dengan timbulnya strain yang
menyebabkan MDR. Walaupun flouroquinolon lebih unggul daripada obat golongan
sefalosporin, penggunaan siprofloksasin membatasi efektivitasnya, terutama di Asia.
Sefalosporin spektru luas (seftriaxon dan sefiksim) dan azitromisin merupakan altrnatif yang
cocok untuk mengurangi fluoroquinolone yang rentan terhadap S. Typhi. Kombinasi sefalosporin
dan azitromisin cukup sering digunakan pada pasien yang gagal berespon pada pengobatan
sebelumnya. Alasan umum untuk penggunaanya adalah untuk memperluas spectrum dari
aktivitas antimkroba tersebut, untuk memunculkan sinergi potensial antara obat-obatan dan
mengurangi kemungkinan perkembangan dari resistensi selama pengobatan.

Meskipun penderita typhoid terlihat dalam jumlah besar, kasus terjadinya demam tifoid ini
berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Diagnosis pasti demam tifoid ini memerlukan
diagnosis yang dikonfirmasi berdasarkan biakan darah atau sumsum tulang. Namun kultur darah
memiliki keterbatasan termasuk darah yang dibutuhkan (2-4 ml untuk balita dan 10-15 ml yang
berasal dari remaja dan dewasa) karena rendahnya tingkat bakteri yang berda dalam darah dan
penggunaan antibiotik sebelumnya. Selain itu seperti fasilitas laboratorium seperti itu terbatas
atau tidak ada di banyak negara Asia. Diagnosis demam tifoid yang akurat dan cepat
meningkatkan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotic yang tepat. Sensitivitas
kultur/biakan darah diperkirakan antara 40 – 60%. Sebagian hasil ini bisa jadi akibat peningkatan
penggunaan antibiotic oral yang diresepkan di masyarakat tanpa adanya hasil pemeriksaan
laboratorium.
Ulasan ini mernagkum tantangan dalam mendiagnosis demam tifoid dan siatuasi dari MDR S.
Typhi dan mengeksplorasi lebih lanut masalah resistensi antimikroba pada infeksi ini, masalah
manajemen dalam praktik klinis dan kombinasi obat-obatan pilihan untuk Salmonella typhoid.

Tantangan dalam mendeteksi Salmonella typhoid

Meskipun ada penurunan insidensi S. typhi ini, isolasi S. typhi yang sebenarnya dari kultur darah
masih sulit. Pasien yang dicurigai terkena demam tifoid ini diberikan antimikroba di masyarakat
dan kemudian dirujuk ke rumah sakit untuk kultur darah. Di India kombinasi ofloxacin seperti
ofloxacin dengan cefixime atau ofloxacin dengan azitrimisin paling banyak digunakan dan
tersedia di toko obat. Berdasrakan pusat dinamika penyakit ekonomi dna kebiijakan (center for
disease dynamics, economic and policy) tingkat penggunaan sefalosproin telah menigkat dari
1887 menjadi 7269 unit per 1000 orang dari tahun 2000 ke 2014. Demikian pula penggunaan
macrolide (azitromisin) mengalami peningkatan dari 1166 menjadi 1862 unit per 1000 populasi
dari tahun 2000 ke 2014. Hal ini menunjukan peningkatan penggunaan dari sefalosporin,
fluoroquinolone dan macrolides di lingkungan India. Oleh karena itu, pasien yang telah
menggunakan sefalosporin kombinasi (cefixim dengan ofloxacin) kemungkinan akan
menghambat kultur darah dan hasilnya menjadi negative palsu. Oleh karena itu penting untuk
mendapatkan kultur darah sebelum memulai terapi antimikroba karena setelah penggunaan
antimikroba ini akan mengurangi jumlah S. typhi yang terdapat pada kultur darah. Untuk
mengatasi hal ini, system kultur darah komersial telah memasukkan molekul resin sintetis ke
dalam botol untuk menetralkan antimikroba yang ada. Studi sebelumnya telah menunjukkan
netralisasi antimikroba dengan menggunakan botol kultur berbasis resin. Namun, antimikroba
tertentu belum dinetralkan oleh resin, karenanya ini masih terbatas. Termasuk penggunaan
flouroquinolon dan sefalosporin yang sering digunakan pada pasien suspek demam tifoid. Selain
itu belum ada penelitian yang diterbitkan tentang pemulihan S. typhi menggunakan kultur darah
yang dikumpulkan dari pasien dengan penggunaan antibiotic sebelumnya.

Mendiagnosis demam tifoid menggunakan kultur darah konvensional cukup menantang dan
memakan waktu sekitar 24 – 48 jam setelah dibotol kultur ditandai positif. Meskipun hal ini
merupakan metode gold standar untuk mendeteksi S. typhi dalam darah, waktu penyelesaian
memainkan peran penting dalam manajement. Tes aglutinasi WIDAL merupakan tes kedua yang
sering digunakan. Namun sensitivitas dan spesifitas yang buruk adalah keterbatasan dari tes
widal. Karena itu (RDTs) merupakan tes yang sangat menarik. Namun karena tingkat sensitivitas
dan spesifitas yang buruk, deteksi yang pasti masih terbatas. Typhidot-M, TUBEX-TM, dan test-
it merupakan tes yang berbasis serologi yang telah dievaluasi. Cara kerja tes ini terbukti buruk
dan bervariasi karena tingginya tingkat tanggungan penyakit di Asia yang merupakan tempat
endemic typhoid. Sebaliknya evaluasi yang telah dilakukan di Philipina menunjukan sensitivitas
dan spesifitas yag tinggi. Diantara 3 tes, kinerja TUBEX ditemukan lebih baik dengan 78%
sensitivitas dan 87% spesifitas. Karena keterbatasan ini WHO menerbitkan rekomendasi
penggunaan RDTs komersial. Meskipun RDTs menggunaan serum dan urin sebagai sampelnya,
selain darah, isolasi S. typhi yang berasal dari kultur darah dan sumsum tulang masih menjadi
gold standar pemeriksaan, karena tes yang berasal dari pemeriksaan serologis tidak dapat
disimpulkan kerentanan organisme yang terinfeksi .

MDR Salmonella typhi

Sekitar 65% rata-rata kejadian MDR tampak di India pada tahun 1990-1992 dengan 71% kasus
MDR di pusat India dan 55% dibagian selatan India. Karena tingginya rata-rata strain MDR,
penggunaan ampisilin, kloramfenikol dan kotrimoksazol telah dibatasi, akibatnya adanya
peningkatan penggunaan fluoroquinolone (ofloksasin dan siprofloksasin). Hal ini mengakibatkan
fenomena penurunan kerentanan siprofloksasin (DCS= decrease ciprofloxacin susceptibility)
sementara resistensi sefalosporin mulai meningkat. Baru-baru ini, tingkat MDR telah menurun
secara drastis dan angka ini telah menurun dari 26% pada tahun 2004 menjadi 1% saat ini.
Gambaran serupa juga dicatat di Christian Medical College (CMC), vellore India, dengan tingkat
MDR kurang dari 1% (V. Balaji, Unpublished Data) dan di New Delhi, serta semua bagian di
India. Selanjutnya, jaringan pengawasan resistensi antimikroba yang dilakukan antara tahun
2008 dan 2010 melaporkan kejadian MDR S. typhi kurang daari 5% di seluruh India. Selain itu
beban resistensi antimikroba yang dilaporkan studi di India telah dirangkup dalam tabel 1.
Mekanisme resistensi antimikroba yang terlihat pada S. typhi dan dilaporkan dalam literature
disebutkan pada tabel 2.

Fluoroquinolone

Fluroquinolon merupakan antibiotic spectrum luas yang menghambat sintesis DNA bakteri.
Siprofloksasin dan ofloksasin saat ini menjadi pilihan terapi pada hampir semua kasus demam
tifoid. Penggunaan fluoroquinolone ini telah terjangkau digunkanan pada daerah yang terbatas
sumber daya. Ofloksasin adalah pilihan antibiotic terbaik yang digunakan untuk mengobati
Salmonella typhoid, karena memiliki penetrasi plasma dan interaseluler yang sangat baik dengan
lebih banyak aktivitas bakterisidal. Namun, fenomena berkurangnya kerentanan terhadap
fluoroquinolone juga ikut berakibat pada pemberian ofloksasin. Untuk mengisolasi dengan MIC
lebih dari 0.25 µg/ml, meskipun durasi yang memanjang dan peningkatan dosis terapi telah
diberikan, kegagalan klinis pada pemberian obat tersebut sudah mulai tampak. Hal ini telah
diobservasi dengan randomized control trial (RCT)yang dilakukan antara pada tahun 1992 dan
2001. Penelitian ini memberikan bukti untuk kasus kegagalan klinis S. typhi ketika isolate MIC
ofloxacin ≥0,25 µg/ml. meskipun begitu dengan isolate MIC ≤0,125 µg/ml, 96% keberhasilan
klinis berhasil diobservasi. Karena ketidakkonsistenan dalam cutoff, Clinical and Laboratory
Standards Institute (CLSI, M100-S23) telah menghapus kriteria breakpoint difusi disk dan
merekomendasikan pengujian MIC untuk menentukan kerentanan, dan merevisi kisaran
interpretasi rentan dari ≤2 μg / ml pada tahun 2012 hingga ≤0,12 μg / ml pada tahun 2013 untuk
ofloksasin dan levofloksasin.

Untuk ciprofloxacin, CLSI telah merevisi poin-poin yang dibatasi untuk mengkategorikan isolat
klinis ≤ 0,06 μg / ml sebagai nilai rentan pada tahun 2012. Secara klinis, DCS dikaitkan dengan
kegagalan klinis ketika ciprofloxacin MIC berkisar antara 0,12 hingga 1 μg / ml, yang umumnya
terlihat di India. Isolat MDR dengan penurunan strain kerentanan siprofloksin di India terus
meningkat, dan ini membutuhkan pemantauan terus-menerus. Sebelumnya, ini tidak terjawab
karena ketergantungannya pada resistensi asam nalidiksat (NAR) menggunakan pengujian difusi
disk. Selain itu, pemantauan NAR tidak dilakukan dengan ciprofloxacin MIC.

Namun, baru-baru ini, peningkatan DCS dengan penurunan berkelanjutan pada Salmonella tifoid
MDR telah terlihat. Demikian pula, Singhal et al. melaporkan penurunan tingkat MDR dengan
meningkatnya insiden isolat DCS yang resistan terhadap asam nalidiksat di India Utara. Telah
dilaporkan penurunan MDR dengan peningkatan DCS paralel di antara S. Typhi. Ampisilin,
kloramfenikol atau kotrimoksazol kurang disukai karena durasi terapi yang lebih lama, ancaman
timbulnya kembali resistensi, efek samping, dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi.

Resistensi kuinolon disebabkan oleh mutasi pada gen kromosom seperti gyrA, gyrB, parC dan
parE dan plasma mediasi qnr, qepA dan aacs (6 ') - Ib-cr gen. Penelitian telah melaporkan bahwa
resistensi yang dimediasi oleh plasma menunjukkan penurunan kerentanan terhadap siprofloksin
(MIC 0,125 -1,0 μg / ml), yang tidak dapat diambil dengan uji asam nalidiksat. Oleh karena itu,
CLSI dan EUCAST merekomendasikan penanda pengganti skrining baru dari pefloksasin (5 μg)
diffusion disk untuk mendeteksi kedua kromosom dan resistensi yang dimediasi plasmid.
Pengamatan ini dibuktikan dengan pengujian pefloksasin, dimana 80% dari NAR dan
ciprofloksasin, isolat yang cukup rentan resisten terhadap pefloksasin. Oleh karena itu, tes
pefloksasin pada akhirnya akan membantu dalam identifikasi akurat, kerentanan quinolone untuk
tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik.

Gatifloxacin adalah antibiotik fluroquinolone murah dengan aktivitas in vitro yang sangat baik
terhadap S. Typhi. Gatifloxacin memiliki MIC terendah dengan MIC50 0,19 μg / ml terhadap S.
Typhi, dibandingkan dengan ciprofloxacin dan ofloksasin (MIC50, 0,75 μg / ml). Yang
mengejutkan, gatifloxin menunjukkan aktivitas melawan isolat dengan fenomena DCS. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan gatifloksin untuk menghindari mutasi titik pada gyrA (Ser 83 Phe,
Asp 87 Gly) yang berkontribusi pada DCS. Untuk isolat termasuk dari India, kisaran MIC
diamati masing-masing 0,006-0,25 dan 0,012-0,19 μg / ml untuk ciprofloxacin dan gatifloxacin.
Selain itu, dua uji coba telah melaporkan catatan tanggapan klinis yang baik dengan 7 hari terapi
(10 mg / kg per hari) dan menunjukkan bahwa gatifloxacin lebih efektif daripada agen lain.
Lebih penting lagi, waktu bebas demam adalah 92 jam untuk gatifloxacin, sementara 138 jam
untuk pasien yang telah menerima terapi dengan cefisxime, dengan 3,5 dan 37,6% kegagalan
pengobatan pada kelompok gatifloxacin dan cefixime. Disglikemia adalah masalah utama, yang
mana pemantauan gula sangat penting. Meskipun gatifloxacin memiliki kelebihan dibanding
kuinolon lainnya, penggunaannya dilarang di India.

Sefalosporin

Sefalosporin adalah kelas antibiotik β-laktam. Sefalosporin berikatan dengan protein pengikat
penisilin pada bakteri dan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang menyebabkan lisis dan
kematian sel. Dengan meningkatnya fenomena DCS, sefalosporin generasi ketiga seperti
cefixime dan seftriakson lebih disukai untuk pengobatan MDR dan isolat tahan asam nalidiksat,
untuk menghindari kegagalan klinis. Karena ada peningkatan penggunaan sefalosporin,
munculnya resistensi sedang diamati. Lebih lanjut, 113 kultur darah mengkonfirmasi bahwa
ceftriaxone resisten pada kasus S. Typhi telah dilaporkan dari Karachi, Pakistan. Mekanisme
resistensi disebabkan oleh produksi ESBLs seperti bla SHV dan bla CTX-M-15 . Penilaian uji klinis
prospektif di Asia menunjukkan bahwa prevalensi resistensi terhadap ceftriaxone adalah 0%,
dengan tingkat penyembuhan 72-97% dengan terapi 3-14 hari. Namun, tingkat kekambuhan
sekitar 0-17%, yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 7 hari atau kurang, sedangkan
pengobatan selama 8-14 hari tidak menunjukkan kekambuhan. Meskipun rute untuk memberikan
ceftriaxone adalah secara parenteral, itu membutuhkan rawat inap dan peningkatan biaya
perawatan kesehatan. Cefixime adalah pilihan yang lebih disukai di negara-negara berkembang
karena ketersediaan bentuk oral untuk demam tifoid tanpa komplikasi.

Azitromisin

Azitromisin, anggota kelas antibiotik makrolida, adalah alternatif yang efektif dan nyaman untuk
mengobati demam enterik ringan hingga sedang. Breakpoint MIC untuk kerentanan azitromisin
belum ditetapkan, tetapi data menunjukkan bahwa isolat dengan MIC ≤16 μg / ml umumnya
merespons dengan baik terhadap azitromisin dan dapat dianggap rentan. Data klinis atau
farmakokinetik / farmakodinamik (PK / PD) yang terdapat pada azitromisin terbatas. Khususnya,
tingkat nonsusibilitas azitromisin lebih rendah daripada agen lain. Di Asia, analisis dari 20 uji
klinis prospektif telah membuktikan bahwa tingkat kekambuhan adalah 0% dengan pengobatan
azitromisin, sementara tingkat penyembuhan sekitar 81-100% dengan 5-7 hari terapi. Sebuah
studi dari New Delhi melaporkan MIC90 untuk S. Typhi dan S. Paratyphi menjadi 24 μg / ml.
Setelah ini, 34 dan 38% resistensi terhadap azitromisin dilaporkan di masing-masing S. Typhi
dan S. Paratyphi A. Baru-baru ini, kasus kegagalan klinis dan mikrobiologis azitromisin
dilaporkan dari pasien dengan infeksi S. Typhi dengan MIC 4 μg / ml, dari India.

Demikian pula, S. Paratyphi A dengan kasus kegagalan klinis azitromisin dengan MIC 12 μg /
ml dilaporkan di Australia. Azitromisin adalah alternatif terapi yang berharga, karena konsentrasi
intraseluler yang lebih tinggi (100 kali lipat lebih tinggi daripada dalam serum), tingkat bebas
demam dini (4-5 hari), tingkat kekambuhan atau infeksi ulang yang lebih rendah dan 5-7 hari
terapi untuk penyembuhan total. Namun, azitromisin tidak disukai sebagai monoterapi pada
tifoid yang berat, karena mengakibatkan respons klinis yang buruk. Selain itu, penentuan MIC
untuk azitromisin dan pemantauan keberhasilan klinis sangat penting.

Terapi Demam tifoid: Tantangan Dalam Praktik Klinis


Untuk manajemen klinis demam tifoid, inisiasi dini terapi antimikroba yang efektif
mempersingkat durasi penyakit, dan mengurangi komplikasi dan mortalitas. Munculnya dan
sirkulasi berkelanjutan dari fluoroquinolone yang rentan rentan terhadap S. Typhi, peningkatan
stabil pada S. Typhi (NARST) yang resisten asam nalidiksat dan kasus kegagalan pengobatan
azitromisin menjadi perhatian. Biasanya, dalam kasus ini, resolusi demam yang lambat dan
peningkatan risiko kegagalan klinis dan mikrobiologis dijelaskan. Fluoroquinolon umumnya
digunakan untuk mengobati MDR S. Typhi yang menyebabkan demam enterik tanpa komplikasi.
Meluasnya penggunaan fluorokuinolon dalam layanan kesehatan primer berkontribusi terhadap
munculnya strain dengan peningkatan MIC untuk siprofloksasin dan oksoksasin di Asia dan
beberapa bagian Afrika. Terapi yang lebih disukai untuk penatalaksanaan demam tifoid
disebutkan pada Tabel 3.

Selain mencegah titrasi dosis berdasarkan berat badan, sebagian besar formulasi ini juga
mengandung dosis subterapeutik azitromisin. Sebuah tinjauan dari 22 merek kombinasi dosis
tetap (FDC) merek India yang mengandung azitromisin dengan ofloksasin atau cefixime
mengungkapkan bahwa formulasi sementara mengandung dosis fluorokuinolon atau sefalosporin
yang memadai, dosis azitromisin adalah 250 mg / tablet. Kuantitas ini adalah seperlima dari
dosis yang direkomendasikan WHO untuk 60 kg individu (1200 mg; 10 mg / kg per hari).
Pemberian lima tablet FDC di atas kepada individu 60 kg tidak hanya akan menghasilkan beban
pil yang tinggi dan tingkat kepatuhan yang buruk tetapi juga pada dosis toksik dari obat yang
menyertainya.

Meskipun Asosiasi Dokter India panel penasehat ahli typhoid dan WHO merekomendasikan
titrasi dosis antimikroba berdasarkan berat badan, ada kemungkinan bahwa pasien typhoid dapat
diresepkan antibiotik pada dosis standar. Untuk azitromisin, rekomendasi dosis sementara
bervariasi antara 10 dan 20 mg / kg per hari untuk 5-7 hari, dosis spesifik berdasarkan berat
badan dan pedoman durasi terapi belum ditentukan. Sebuah uji coba terkontrol secara acak oleh
Parry et al. membandingkan ofloksasin (20 mg / kg berat badan per hari selama 7 hari),
azitromisin (10 mg / kg per hari selama 7 hari) dan ofloksasin (15 mg / kg per hari selama 7 hari)
dikombinasikan dengan azitromisin (10 mg / kg per hari untuk 3 hari pertama) pada pasien MDR
dan NARST typhoid menunjukkan bahwa waktu penurunan suhu badan sampai yg normal untuk
pasien yang diobati azitromisin secara signifikan lebih pendek daripada pasien yang diobati
dengan ofloksasin-azitromisin dan ofloksasin saja. Tabel 4 merangkum studi tentang monoterapi
dan terapi kombinasi yang dilakukan untuk manajemen demam tifoid.

Fluoroquinolon dan azitromisin mencapai penetrasi jaringan yang lebih baik dan membunuh
bakteri dalam monosit / makrofag lebih efisien dibandingkan dengan sefalosporin generasi
ketiga, yang utamanya mencapai pembersihan bakteri aliran darah. Fakta ini telah eksplorasi
kemungkinan rejimen kombinasi dalam pengobatan tifoid. Studi yang menunjukkan keunggulan
terapi kombinasi dibandingkan dengan monoterapi, bagaimanapun, hasilnya terbatas. Sebuah
studi dari 37 orang dengan bakteremia NARST S. paratyphi A menunjukkan bahwa waktu untuk
penurunan suhu badan sampai yg normal lebih pendek pada pasien yang diobati dengan terapi
kombinasi ceftriaxone-azithromycin dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan
monoterapi ceftriaxone. Namun, secara signifikan temuan ini harus dikonfirmasikan dengan uji
klinis besar untuk keamanan dan kemanjurannya. Sebaliknya, sebuah penelitian perbandingan di
India terhadap 62 pasien demam tifoid gagal mengungkapkan perbedaan yang signifikan dalam
waktu untuk penurunan suhu badan sampai yg normal antara obat tunggal (fluoroquinolone atau
cephalosporin generasi ketiga) dan kelompok obat kombinasi (floroquinolone dengan
sefalosporin generasi ketiga).

Kepedulian dalam manajemen di negara-negara berkembang Di Asia Tenggara (SEA) dan


Afrika, dengan peningkatan MIC fluoroquinolones terhadap S. Typhi telah menunjukkan
peningkatan yang signifikan dan dikaitkan dengan durasi demam yang lebih lama. Ini
menegaskan bahwa fluoroquinolone tidak dianjurkan untuk pengobatan empiris demam tifoid.
Kegagalan pengobatan azitromisin dan munculnya resistensi sefalosporin menjadi perhatian.
Namun, resistensi antimikroba terhadap seftriakson / cefixime dan azitromisin tetap langka. Di
daerah di mana resistensi fluorokuinolon jarang terjadi, kuinolon adalah pengobatan pilihan
untuk semua kelompok umur. Pengobatan pada dosis yang disarankan maksimal (20 mg / kg per
hari) selama 7-10 hari telah berhasil pada 90-95% pasien. Hebatnya, strain S. Typhi yang
resisten kuinolon sedang meningkat dan oleh karena itu obat pilihan pada azitromisin atau
sefalosporin sangat terbatas dan harganya mahal.

Percobaan kontrol acak (RCT) sefalosporin generasi ketiga, terutama seftriakson / cefixime,
dalam mengobati demam tifoid telah melaporkan rata-rata bebas demam 7 hari, dengan tingkat
kegagalan pengobatan antara 5 dan 10%, tingkat kekambuhan 3-6% dan karier tinja kurang dari
3%. Demikian pula, RCT pada pengobatan tanpa komplikasi dengan azitromisin selama 5-7 hari
menghasilkan tingkat kesembuhan 95% dan penurunan demam 4-6 hari. Khususnya, tingkat
kambuh dan feses kurang dari 3%. Namun, pengobatan dengan sefalosporin menunjukkan
respons yang lambat dengan waktu rata-rata 5-7 hari atau durasi yang lebih lama dari penurunan
suhu badan sampai normal. Ini dapat dikaitkan dengan kemampuan penetrasi obat yang buruk ke
dalam sel, dan dengan demikian sulit untuk memberantas bakteri dari ceruk intraseluler.
Pendekatan terapi kombinasi sefalosporin-azitromisin telah disarankan berdasarkan pada
farmakokinetik individu. Tindakan pelengkap sefalosporin pada kompartemen ekstraseluler dan
azitromisin pada kompartemen intraseluler dapat bermanfaat dalam mengobati infeksi S. Typhi.

Kombinasi dosis tetap (FDC) dari cefixime-ofloxacin (200-200 mg) banyak digunakan di seluruh
India. Dengan penjualan pasar terbesar sekitar $ 46 juta, semakin tersedia sebagai resep yang
dijual bebas. Sebuah studi in vitro telah melaporkan bahwa tidak ada isolat S. Typhi yang diuji
menunjukkan antagonisme terhadap kombinasi ini. Beberapa FDC dilarang untuk penggunaan
klinis di India; ini termasuk cefixime-azithromycin, cefpodoxime-azithromycin dan ofloxacacin-
azithromycin. Azitromisin diketahui mengurangi keefektifan cefpodoxime oleh antagonisme PD.
Komite ahli dari badan Kepala Penasihat Narkoba India telah menganggap bahwa FDC ini tidak
rasional. Saat ini, dua uji klinis (clinicaltrial.gov: NCT02224040, NCT02708992) menggunakan
cefixime-azithromycin dan ceftriaxone-azithromycin untuk berbagai indikasi sedang
berlangsung. Dalam diferensial diagnosis penyakit demam, doksisiklin ditambah cefixime-
azitromisin diresepkan sebagai terapi empiris, terutama di Asia Tenggara di mana infeksi riketsia
sering terjadi. Namun, interaksi obat-obat menunjukkan bahwa doksisiklin mengurangi efek
ceftriaxone oleh antagonisme PD. Ada pasar besar yang tersedia untuk kombinasi ini di Asia
tenggara dan mereka sering diresepkan untuk infeksi peradangan panggul. Penyalahgunaan yang
lebih besar diharapkan dengan ketersediaan kombinasi cephalosporin-azithromycin ini, yang
mengkhawatirkan.

Secara kolektif, ini menegaskan bahwa dalam konteks pengurangan kerentanan fluorokuinolon,
sefalosporin generasi ketiga, seperti ceftriaxone / cefixime atau azithromycin, adalah pengobatan
pilihan untuk mengobati S. Typhi di negara-negara berkembang. Selain itu, bukti dari uji klinis
yang berkembang (clinicaltrial.gov: NCT02224040, NCT02708992), pada cefixime-azitromisin
dan ceftriaxone-azitromisin FDC dapat membuktikan mereka menjadi terapi alternatif yang
efektif untuk pengelolaan S.Typhi yang resisten kuinolon.

Produk alami dalam mengobati demam tifoid

Penggunaan tanaman obat untuk mengobati penyakit hampir universal dan lebih terjangkau
daripada membeli obat konvensional yang mahal. Tumbuhan alami mengandung
phytoconstituents yang mengandung sifat kimia yang mirip dengan antibiotik sintetis. Karena
masalah dengan keampuhan antibiotik monoterapi telah dilaporkan, menjadi penting untuk
mengevaluasi sifat biologis tanaman. Tulsi (Ocimum sanctum) memiliki aktivitas antibakteri
yang kuat terhadap S. typhi [FL1]. Studi in vitro telah menunjukkan sinergi yang signifikan
antara kloramfenikol dan trimetoprim dengan ekstrak daun O. sanctum terhadap S.Typhi.
Demikian pula, ekstrak daun mangga aseton ditunjukkan dengan efek penghambatan pada
konsentrasi 10-50 μg / ml terhadap MDR S. typhi. Nkuo-Akenji et al. telah melaporkan MIC
terendah 0,02-0,06 μg / ml terhadap S. Typhi dengan formulasi ekstrak daun metanol
Cymbogogon citratus, Carica pepaya dan Zea mays silk. Secara keseluruhan, penelitian telah
melaporkan aktivitas in vitro yang kuat dari berbagai ekstrak daun terhadap S. Typhi. Namun,
studi in vivo pada bioavailabilitas, PK / PD, interaksi antibakteri atau profil keamanan dari
produk alami ini terbatas. Akibatnya, dosis yang ditentukan dan aktivitasnya yang signifikan
dalam mengobati demam tifoid yang rumit tetap tidak pasti.

Kesimpulan

Mengingat munculnya fluoroquinolon dan azithromycin yang kurang peka terhadap strain S.
Typhi, menarik untuk dicatat bahwa telah terjadi penurunan berkelanjutan baru-baru ini pada
isolat MDR Salmonella typhi di India. Pengamatan ini menunjukkan kemungkinan reintroduksi
ampisilin, kloramfenikol dan kotrimoksazol sebagai opsi lini pertama. Sementara agen ini tidak
mahal dan mudah didapat, kerugian yang terkait dengan penggunaannya termasuk durasi terapi
yang lebih lama untuk mencegah kekambuhan, tingkat kambuh yang lebih tinggi dan efek
samping yang serius. Tingkat dan kemungkinan resistensi untuk antimikroba adalah fungsi dari
frekuensi penggunaannya, karena tekanan selektif berlebihan yang dihasilkan. Karena itu,
nampaknya penurunan tingkat MDR tidak akan bertahan jika obat lini pertama tradisional
tersebut direkrut ke dalam penggunaan lini pertama rutin.
Pada kasus demam tifoid yang parah, ceftriaxone IV (2 g per hari) selama 10-14 hari diberikan
diikuti oleh azitromisin (20 mg / kg per hari) selama 7 hari. Untuk DCS S. Typhi yang
menyebabkan demam tifoid tanpa komplikasi, terapi fluorokuinolon harus dihindari. Jika perlu,
dosis tinggi ciprofloxacin (20 mg / kg per hari) mungkin lebih efektif dalam mengobati kasus-
kasus khas demam tifoid ringan. Namun, dengan terapi fluorokuinolon, penundaan penurunan
demam, kekambuhan dan karier tinja dapat diharapkan. Oleh karena itu, pengobatan dengan
azitromisin (20 mg / kg per hari) selama 7 hari dianjurkan untuk mengobati kasus tifoid tanpa
komplikasi.

Perspektif masa depan

Peningkatan penggunaan sefalosporin atau azitromisin dalam mengobati fluoroquinolon S. Typhi


dapat menyebabkan peningkatan resistensi sefalosporin atau kegagalan pengobatan azitromisin.
Di era MDR, terapi kombinasi bisa menjadi alternatif untuk mengobati infeksi S. Typhi. Tujuan
dari artikel ini adalah untuk mengilhami penelitian lebih lanjut tentang FDC yang tersedia untuk
pengobatan S. Typhi. Pengujian kombinasi in vitro dari waktu-azitromisin dan ceftriaxone-
azitromisin akan memberikan wawasan terperinci mengenai efek antimikroba dan interaksi obat-
obat dari kombinasi ini. Hasil uji klinis yang sedang berjalan disambut dan ini bisa menjadi nilai
tambah untuk hasil penelitian. Selain itu, studi ekstensif tentang bioavailabilitas, dosis, efek
antibakteri, PK / PD dan profil keamanan produk alami dapat mengungkapkan alternatif untuk
antibiotik dalam mengobati infeksi S. Typhi.

Poin-poin Penting

 Mengurangi kerentanan fluoroquinolones dari Salmonella enterica subsp. enterica serovar


Typhi (S. Typhi) menjadi perhatian penting di negara-negara berkembang.
 Sefalosporin generasi ketiga (sefiksim, seftriakson) atau azitromisin adalah alternatif
untuk mengobati infeksi S. Typhi dengan penurunan kerentanan terhadap siprofloksasin.
 Pendekatan sefalosporin plus azitromisin dapat mengatasi kekurangan sefalosporin
termasuk yang respons buruk dan durasi yang lebih lama untuk penurunan suhu badan
sampai normal
 Kombinasi Cefixime-ofloxacin adalah kombinasi dosis tetap yang sangat dipasarkan di
India, untuk mengobati infeksi S. Typhi
 Bukti dari uji klinis yang sedang berlangsung (clinicaltrial.gov: NCT02224040,
NCT02708992) dapat menjadi nilai tambah informasi untuk menggunakan kombinasi
dosis tetap, sebagai praktik standar dalam mengobati S. Typhi, terutama di Asia dan
bagian dari Afrika.
Tabel 1. Tanggungan tingkat resistensi antimikroba yang dilaporkan dalam Salmonella typhi
dari penelitian di India selama 15 tahun terakhir
Antibiotik Salmonella typhi Salmonella paratyphi A
Ampisillin 5-72% 0-74%
Kloramfenikol 3-27% 0-23%
Kotrimoxazole 2,3-35% 0-36%
Asam Nadisilat 78-100% 63-100%
Siprofloksasin 0-97% 0-100%
Seftriakson 0-4% 0-6%
Klasifikasi MDR S. typhi berdasarkan resistensi dari penggunaan ampisilin, kloramfenikol dan
kotrimoxazole beberapa tahun terakhir menurun
Tingginya angka resistensi siprofloksasin akibat revisi batas penggunaan pada guideline CSLI
CSLI: Clinical and Laboratory Standards Institute; MDR: Multidrug-resistant

Tabel 2. Mekanisme Resistensi antimikroba yang dilaporkan pada Salmonella typhi


Kelas Antibiotik Mekanisme Resistensi Kemungkinan gen AMR
yang dipengaruhi
B-lactam (ampicillin) Hidrolisis enzim bla TEM, bla CTX-M, bla SHV
Kloramfenikol Hidrolisis enzim cat
Sulfonamid Hidrolisis enzim dfrA, sul1 dan sul2
(trimethropim/sulfametoxazol
)
Kuinolon (asam nadisilat, Perubahan target obat gyrA, gyrB, parC, pare
siprofloksasin, pefloksasin) (QRDR)
Hidrolisis enzim (PMQR)
Sefalosporin (seftriakson, AmpC B-lactamase ESBLs bla CMY, bla FOX, bla CTX-M-15
sefiksim)
Macrolide (azitromisin) Ekspresi berlebihan dari ereA, ereB, ermB, mefA,
pompa hidrolisis enzimatik mphA, mphB, dan mphD
ESBL: Extended spectrum beta-lactamase; PMQR: Plasmid-mediated quinolone resistance;
QRDR; Quinolone-resistance determining region

Tabel 3. Pemberian Terapi untuk Manajemen demam tifoid yang disarankan


Agen Antimikroba Jalur Pemberian Dosis Anak Dosis Dewasa
Seftriakson IM/IV 50mg/kgBB per hari 1-2gr per hari IV;
IV; selama 7-10 hari selama 7-10 hari
Siprofloksasin, Oral/IV - FQ diberikan dosis
levofloksasin atau FQ penuh yang sudah
lainnya direkomendasikan;
selama 7-10 hari
Azitromisin Oral Digunakan pada 500mg dua kali
kasus dengan sehari selama 5 hari
komplikasi
Cefixime-ofloksasin Oral - 200-200mg; selama
7-14 hari
Terapi dosis tinggi didasarkan pada profil kerentanan antimikroba dari strain Salmonella tifoid
yang terinfeksi, karena mayoritas tidak rentan terhadap kuinolon. Paling tidak disarankan
sebagai mayoritas dari isolat menunjukkan resistensi menengah terhadap kuinolon.
FQ: Fluoroquinolone; IM: Intramuskuler; IV: Intravena.

Anda mungkin juga menyukai