Anda di halaman 1dari 11

 PENERAPAN PANCASILA DARI MASA KE MASA

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dalam
perwujudannya banyak sekali mengalami pasang surut. Bahkan sejarah bangsa kita
telah mencatat bahwa pernah ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup bangsa dengan ideologi lainnya. Upaya ini dapat
digagalkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Meskipun demikian, tidak berarti ancaman
terhadap Pancasila sebagai dasar negara sudah berakhir. Tantangan masa kini dan
masa depan yang terjadi dalam perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia
internasional, dapat menjadi ancaman bagi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup.

1. Masa Orde Lama


Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk penerapan Pancasila terutama dalam
sistem kenegaraan. Terdapat 3 periode penerapan Pancasila yang berbeda, yaitu
periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

Periode 1945-1950
Pada periode 1945-1950 ada upaya-upaya mengganti Pancasila dengan ideologi yang
lain. Upaya-upaya tersebut terlihat dari munculnya gerakan-gerakan pemberontakan
yang tujuannya menganti Pancasila dengan ideologi lainnya. Ada dua
pemberontakan yang terjadi pada masa tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Pemberontakan PKI di Madiun terjadi pada tanggal 18 September 1948 yang
dipimpin oleh Muso. Tujuan utamnay adalah mendirikan negara Soviet
Indonesia yang berideologi komunis yang berarti pemberontakan tersebut
akan mengganti Pancasila dengan paham komunis. Pemberontakan ini pada
akhirnya bisa digagalkan.
2. Pemberontakan DI/TII  yang dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
Pemberontakan ini ditandai dengan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII)
pada tanggal 17 Agustus 1949. Tujuan utama didirikannya NII adalah untuk
mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan syari’at islam.
Kartosuwiryo bersama para pengikutnya baru bisa ditangkap pada tanggal 4
Juni 1962.

Periode 1950-1959
Pada periode ini dasar negara tetap Pancasila, akan tetapi dalam penerapannya lebih
diarahkan seperti ideologi leberal. Hal tersebut dapat dilihat dalam penerapan sila
keempat yang tidak lagi berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara
terbanyak (voting). Sehingga penerapan Pancasila selama periode ini adalah
Pancasila diarahkan sebagai ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas
pemerintahan.

Pada periode ini muncul pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin
melepaskan diri dari NKRI. Namun dalam bidang politik pemilu 1955 dianggap
sebagai pemilu paling demokratis. Namun anggota Konstituante hasil pemilu tidak
dapat menyusun Undang-Undang Dasar sehingga menimbulkan krisis politik,
ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit
Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Periode 1959-1965
Periode ini dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin karena demokrasi bukan
berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila
tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Akibatnya Soekarno
menjadi pemimpin yang otoriter, misalnya beliau diangkat menjadi presiden seumur
hidup, dan menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak
cocok bagi NKRI.

Pada periode ini terjadi Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 yang
dipimpin oleh D.N Aidit. Tujuan pemberontakan ini adalah kembali mendirikan
Negara Soviet di Indonesia serta mengganti Pancasila dengan paham komunis,
namun pemberontakkan ini dapat digagalkan.

2. Masa Orde Baru


Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat
yaitu antara tahun 1966-1968. Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik
Indonesia. Visi utama pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Indonesia.

Presiden Soeharto sebagai tokoh utama Orde Baru dianggap sebagai sesosok yang
mampu mengeluarkan bangsa ini keluar dari keterpurukan. Beliau berhasil
membubarkan PKI dan berhasil menciptakan stabilitas keamanan negeri. Itulah
beberapa anggapan yang menjadi dasar kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan
Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena, sebenarnya tidak ada
perubahan yang subtantif dari kehidupan politik Indonesia. Dalam perjalanan politik
pemerintahan Orde Baru, kekuasaan Presiden merupakan pusat dari seluruh proses
politik di Indonesia. Lembaga Kepresidenan merupakan pengontrol utama lembaga
negara lainnya baik yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK dan MA)
maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, Partai Politik, dan sebagainya).

Selain itu juga Presiden Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang tidak dimiliki
oleh siapapun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak
Pembangunan dan Panglima Tertinggi ABRI.

3. Masa Reformasi
Pada masa reformasi, penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa terus menghadapi berbagai tantangan. Penerapan Pancasila tidak lagi
dihadapkan pada ancaman pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengganti
Pancasila dengan ideologi lain, akan tetapi lebih dihadapkan pada kondisi kehidupan
masyarakat. Beberapa tantangan yang dihadapi pada masa reformasi antara lain
sebagai berikut.
1. Adanya kebebasan berbicara, berorganisasi, berekspresi dan sebagainya di
satu sisi dapat memacu kreativitas masyarakat, namun di sisi lainya
berdampak negatif yang merugikan bangsa Indonesia sendiri. Banyak hal
negatif yang timbul sebagai akibat penerapan konsep kebebasan yang tanpa
batas, seperti munculnya pergaulan bebas, pola komunikasi yang tidak
beretika yang dapat memicu terjadinya perpecahan, dan sebagainya.
2. Tantangan lainnya adalah menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara
sesama warga yang ditandai dengan adanya tawuran pelajar,dan  tindak
kekerasan yang dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan
dan sebagainya.
3. Bangsa Indonesia dihadapkan pada perkembangan dunia yang sangat cepat
dan mendasar, serta berpacunya pembangunan bangsa-bangsa. Dunia saat
ini sedang terus dalam gerak mencari tata hubungan baru, baik di lapangan
politik, ekonomi maupun pertahanan keamanan. Sehingga kewaspadaan dan
kesiapan harus kita tingkatkan untuk menanggulangi penyusupan ideologi
lain yang tidak sesuai dengan Pancasila.

LEBIH LENGKAPNYA TENTANG PENERAPAN PANCASILA DARI MASA KE MASA

1. MASA ORDE LAMA

               Pelaksanaan Pancasila Orde Lama.


Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang
pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi
politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya
berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi
Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam
bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi
Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode
1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi
lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai
persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin
mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat
diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat
yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab
demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya
berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945
yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat
diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila
keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak
(voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat
dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan
diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan
terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota
Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal
ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan
pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante,
UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik
dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai
ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1959-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi
bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai
Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah
berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik
konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak
cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang
tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan
Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno
melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk
memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh
UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan
kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional
dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan
yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideologi otoriter, konfrotatif
dan tidak memberi ruang pada demokrasi bagi rakyat. kesimpulan orde lama periode
1959-1965
pancasila telah diarahkan sebagai ideologi otoriter,konfrotatif dan tidak memberi
ruang pada demokrasi bagi rakyat hingga nilai-nilai Pancasila pada masyarakat
melemah.
 
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional
dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang
memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang
mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948,
Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan
Pemberontakan PKI 1965.
 
Sejarah Perkembangan Pancasila Orde Lama

Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah
dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya
pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api
pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang
diawali oleh kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada
persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk
membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang
dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah( nekolim,
neokolonialisme ) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas
bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia. Namun sayangnya kehendak
luhur tersebut dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar
pancasila.
Setelah menetapakan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan
dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin.
Adapun yang dimaksud dengan demokrasi terpimpin oleh Soekarno adalah
demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang.
Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertetu.
Penyimpangan-Penyimpangan Orde Lama
Penyimpangan-penyimpangan di era Orde Lama itu antara lain
1. Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955 dan membentuk
DPR Gotong Royong. Hal ini dilakukan karena DPR menolak rancangan
pendapaan dan belanja Negara yang diajukan pemerintah.
2. Pimpinan lembaga-lembaga Negara diberi kedudukan sebagai menteri-
menteri Negara yang berarti menempatkannya sebagai pembantu
presiden.
3. Kekuasaan presiden melebihi wewenang yang ditetapkan didalam UUD
1945. Hal ini terbukti dengan keluarnya beberapa presiden sebagai
produk hukum yang setingkat dengan UUD tanpa prsetujuan DPR.
Penetapan ini antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Penyederhanaan kehidupan partai-partai politik dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden nomer 7 than 1959
b) Pembentukan Front Nasional dengan PEnetapan Presiden nomer 13
tahun 1959.
c) Pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota MPRS, DPA dan
MA oleh presiden.
4. Hak budget DPR tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan
rancangan undang-udang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR..
 
Pengamalan Pancasila Di Era Orde Lama

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering
terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu
belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control
yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk
puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G 30 S/PKI yang
sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
19669(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
 
Berakhirnya Orde Lama

Setelah turunnya presiden soekarno dari tumpuk kepresidenan maka berakhirlah


orde lama.kepemimpinan disahkan kepada jendral soeharto mulai memegang
kendali.pemerintahan dan menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde baru
konsefrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi
menitipberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang
pembangunan nasional.untuk mencapai titik-titik tersebut dilakukanlah upaya
pembenahan sistem keanekaragaman dan format politik yang pada prinsipnya
mempunyai sejumlah sisi yang menonjol.yaitu;
4. adanya konsep difungsi ABRI
5. pengutamaan golonga karya
6. manifikasi kekuasaan di tangan eksekutif
7. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga pendidikan pejabat
8. kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca
9. mengembang (flating mass)
Karal kehidupan pers konsep diaturfungsikan ABRI pada masa itu secara
inplisit sebelumnya sudah ditempatkan oleh kepala staf angkatan darat.
Mayjen A.H.Nasution tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah
prinsipnya menegaskan bahwaperan tentara tidak terbatas pada tugas
profesional militer belaka melainkan juga mempunyai tugas-tugas di bidang
sosial politik dengan konsep seperti inilah dimungkinkan dan bhakan menjadi
semacam kewajiban jikalau militer berpartisipasi di bidang politik penerapan,
konjungsi ini menurut pennafsiran militer dan penguasa orde baru
memperoleh landasan yuridi konstitusional di dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945
yang menegaskan majelis permusyawaratan rakyat.
4. ORDE BARU

Perkembangan Pancasila pada Orde Baru


Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman
sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari pancasila serta
UUD 1945. Demi kepentingan kekuasaan akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah
tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu pancasila
tetap pada posisinya sebagai alat pembenar, rezim, otoritarian di bawah Soeharto.

Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme Negara. Sehingga
pancasila oleh rezim orde baru ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan
dan memperkuat otoritarianisme Negara. Makadari itu pancasila perlu
disosialisasikan sebagai doktrin komperehensif dalam diri masyarakat Indonesia
guna memberikan legitimasi atas ;segala tindakan pemerintah yang berkuasa dalam
diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanannya upaya indoktrinisasi
tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan pancasila sampai
dengan penataran p4.

Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna


memperoleh kontrol sepenuhnya atas pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde
baru menempatkan pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga
tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi pancasila sebagai ideology
terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada ditangan Negara.
Pengkultusan pancasila juga tercermin dari penetapan dan kesaktian pancasila setiap
tanggal 1 oktober sebagai peringatan atas kegagalan G30/PKI dalam upayanya
menggantikan pancasila dengan ideologi komunis.

Pancasila pada orde baru 1945-1998 terlaksananya dengan dasar “super semar” dan
TAP MPRS  XXXVII/MPRS/1968 periode ini disebut juga demokrasi pancasila, karena
segala bentuk penyelenggaraan Negara berlangsung berdasarkan nila-nilai pancasila.
Ciri-ciri pancasila:
1. Mengutamakan musyawarah dan mufakat [Mengutamakan kepentingan
Negara dan masyarakat]
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
3. Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
4. Adanya rasa tanggungjawab dalam melaksanakan hasil keputusan
musyawarah
5. Dilakukan dengan akal sehat sesuai dengan hati nurani yang luhur
6. Keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan.

Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia


yang sangat plural kemudian diseragamkan. Gagasan mengenai pluralisme tidak
mendapat tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai puncaknya, pada tahun
1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila
sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga Negara
yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila
sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa orde baru tidak hanya monopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan Negara dalam prakteknya diperlukan sebagai pelaku tindak criminal atau
subversife.
Pada era orde baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila,
pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP
MPR NO II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila
(p4) disekolah dan masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-
lembaga Negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari P4
antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi
Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka
opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah orde
baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman
terhadap UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran
P4 sendiri menjadi tanggungjawab dari badan penyelenggara pelaksaan pedoman
penghayatan dan pengamalan Pancasila (BP7).
Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda,
berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam
penataran P4, ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna
nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan
yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Setiap hari para
pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD 1945,
tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa
yang mereka katakana, perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk
bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara,
karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat)
tetapi buka atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila
hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap
pemerintah yang sedang berkuasa.

Kecenderungan orde baru dalam memandang pancasila sebagai doktrin yang


komperehensif terlihat pada anggapan bahwa ideology sebagai sumber nilai dan
norma karena itu harus ditangani melalui upaya indoktrinasi secara terpusat. Pada
akhirnya, pandangan tersebut bermuara pada keadaan yang disebut dengan
perfeksionisme Negara. Negara perfeksionis adalah Negara yang merasa tahu apa
yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya. Dan kemudian melakukan
usaha-usaha sistematis agar kebenaran dan kepahaman Negara itu dapat
diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga permulasi kebenaran yang kemudian
muncul adalah sesuatu yang dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendak penguasa.
1. ERA REFORMASI

PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pancasila Pada Masa Reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki
kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan
dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite
politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih
kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan
kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa
dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan
politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan
bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, nampak sekali
bahwa bangsa Indonesia sudah berada di ambang krisis degradasi moral dan
ancaman disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada
kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari
banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya
akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang
tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial.
Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak
(BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan pokok lainnya. Upaya pemerintah
untuk mengurangi beban masyarakat dengan menyediakan dana sosial belum dapat
dikatakan efektif karena masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses
penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan pelaku politik seakan tidak peduli
den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan
bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat
akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa
kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki
kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan
hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3)
adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
B. Pelaksanaan Pancasila dalam Bidang Ekonomi
Hampir semua pakar ekonomi Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya
moralitas kemanusiaan dan ketuhanan sebagai landasan pembangunan ekonomi.
Namun dalam praktiknya, mereka tidak mampu meyakinkan pemerintah akan
konsep-konsep dan teori-teori yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Bahkan tidak
sedikit pakar ekonomi Indonesia yang mengikuti pendapat atau pandangan pakar
Barat (pakar IMF) tentang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi: (1) ekonomika etik dan ekonomika
humanistik (dasar), (2) nasional ekonomi dan demokrasi (cara/metode
operasionalisasi), dan (3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan). Kontekstualisasi dan
implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di
atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan
oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (a) Barang dan jasa
apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya; (b) Bagaimana pola atau cara
memproduksi barang dan jasa itu, dan (c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan,
dan bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai
Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan
penyadaran agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik,
bukan sebaliknya mengajarkan keserakahan dan mendorong persaingan yang saling
mematikan untuk memuaskan kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi
ajaran yang mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai
manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya
sebagai makhluk sosial (homo socius), dan makhluk beretika (homo ethicus).
Relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan
ekonomi negara di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem
ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator
rendahnya inflasi (di bawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku
bunga (di bawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari
ideologi yang pernah “tercoreng”, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan
utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena
“salah urus” dan bukannya “salah sistem”, apalagi dikait-kaitkan dengan “salah
ideologi” atau “salah teori” ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang ikut memberi
sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia
juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan
liberalisme ekonomi yang “kebablasan”. Akibatnya, kebijakan, program, dan
kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori
kapitalisme-liberal.
Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila, sebagai “media” untuk mengenali (detector)
bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari
negara kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.
Pembangunan politik memiliki dimensi yang strategis karena hampir semua
kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan
publik yang dikeluarkan pemerintah mengecewakan sebagian besar masyarakat.
Beberapa penyebab kekecewaan masyarakat, antara lain:
(1) kebijakan hanya dibangun atas dasar kepentingan politik tertentu,
(2) kepentingan masyarakat kurang mendapat perhatian,
(3) pemerintah dan elite politik kurang berpihak kepada masyarakat,
(4) adanya tujuan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan elite politik.
Keberhasilan pembangunan politik bukan hanya dilihat atau diukur dar
terlaksananya pemilihan umum (pemilu) dan terbentuknya lembaga-lembaga
demokratis seperti MPR, Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan harus diukur dari
kemampuan dan kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Persoalan terakhirlah yang
harus menjadi prioritas pembangunan bidang politik. Hal ini sesuai dengan
kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara dan karena itu
pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan karena tidak ada kemauan dari elite politik
sebagai pemegang kebijakan publik dan kegagalan pembangunan bidang politik
selama ini.
Pembangunan politik semakin tidak jelas arahnya, manakala pembangunan bidang
hukum mengalami kegagalan. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi tidak
dapat ditegakkan oleh hukum. Hukum yang berlaku hanya sebagai simbol tanpa
memiliki makna yang berarti bagi kepentingan rakyat banyak. Pancasila sebagai
paradigma pembangunan politik juga belum dapat direalisasikan sebagaimana yang
dicita-citakan. Oleh karena itu, perlu analisis ulang untuk menentukan paradigma
yang benar-benar sesuai dan dapat dilaksanakan secara tegas dan konsekuen.
Pancasila sebagai paradigma pambangunan politik dan hukum kiranya tidak perlu
dipertentangkan lagi. Bagaimanakah melaksanakan paradigma tersebut dalam
praksisnya? Inilah persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan
politik dan hukum di masa-masa mendatang.
Apabila dianalisis, kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa persoalan seperti:
1.      Tidak jelasnya paradigma pembangunan politik dan hukum karena tidak adanya
blue print.
2.      Penggunaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan masih bersifat parsial.
3.      Kurang berpihak pada hakikat pembangunan politik dan hukum.
Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
telah membawa implikasi yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia
Indonesia. Pembangunan bidang ini boleh dikatakan telah gagal mendidik
masyarakat agar mampu berpolitik secara cantik dan etis karena lebih menekankan
pada upaya membangun dan mempertahankan kekuasaan. Implikasi yang paling
nyata dapat dilihat dalam pembangunan bidang hukum serta pertahanan dan
keamanan.
Pembangunan bidang hukum yang didasarkan pada nilai-nilai moral (kemanusiaan)
baru sebatas pada tataran filosofis dan konseptual. Hukum nasional yang telah
dikembangkan secra rasional dan realistis tidak pernah dapat direalisasikan karena
setiap upaya penegakan hukum selalu dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh
karena itu, tidak berlebihan apabila pembangunan bidang hukum dikatakan telah
mengalami kegagalan. Sementara, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan
juga telah menyimpang dari hakikat sistem pertahanan yang ingin dikembangkan
seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri republik tercinta ini. Pembangunan
pertahanan dan keamanan lebih diarahkan untuk kepentingan politik, terutama guna
mempertahankan kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai