Sejarah Lembaga Dakwah
Sejarah Lembaga Dakwah
Mathla’ul Anwar
Dosen Pengampu :
Hj. RINI SETIAWATI, S.AG., M.SOS.I.
Disusun Oleh :
Azzahra Putri Fadilla 1841030076
MANAJEMEN DAKWAH A
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal Deandeles,
praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten memaksa
perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi
kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat,
pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas, serta tekanan militer
yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari
apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang sistematis
dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan
keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk
harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga
masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system
idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai
berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam
kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda
menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan
yang tak jarang melahirkan peperangan local.
Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten. Kekacauan
politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan marginalisasi
masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah
pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi
yang teramat anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami
penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya
mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian
besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi,
dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan
sebelumnya.
Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap
kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap
penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan
pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan
sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang
selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan
perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang
tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke
pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan
ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang
kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk simbolisme
harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang walaupun
sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan
upacara “mipit”. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri
Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi. Suatu
jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah “mipit” amit
ngala menta”. Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin
terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan
sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja,
kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono
(sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu
ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada orang yang
dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun
kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah
penebusanatas kesalahannya.
Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum melaksaakan
akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya
untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin
mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera minta
izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat itu.
Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh,
danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan
menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan
sebagainya.
Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan bentuk sumbolisme atas harapan adanya
ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya
tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan respon atas hancurnya
idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu
dan hancur.
Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian terjadi
hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda hanya cukup
dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil. Rumah
tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping,
Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana
semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam penjara,
bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah
kualitasnya.
Kondisi Pendidikan
Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin melarat dan
terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara. Guna
mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program
politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat
mendudung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata program
tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal ini terjadi, karena yang bisa
menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di
kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).
Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini.
Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan
sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit, dengan
alasan bermacam-macam.
Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk menyiapkan
calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar rakyat bumi putra
hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi, yang
penting asal bertenaga kuat.
Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh para Kyai
secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala keterbatasannya, baik
dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman
dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak penjajah beranggapan bahwa
kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih mengundang semangat anti
kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api pembe-rontakan terhadap pemerintah
penjajah.
Berdirinya Madrasah Pertama
Keadaan tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada
gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para pejuang terdahulu.
Oleh karenanya orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau mukim di
Mekkah yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat menarik
perhatian bagi masyarakat Banten.
Di tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang dilanda
kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kabut kegelapan dan
kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang diharapkan akan membawa perubahan di
hari kemudian.
Tersebutlah K.H.E. Moh. Yasin yang baru kembali dari menghadiri rapat yang diselenggarakan
di Bogor oleh para ulama yang mendambakan kahidupan umat yang lebih baik. Gerakan ini
dipelopori oleh Haji Samanhudi dalam rangka mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada
tahun 1908 M. Beliau mendatangi rekan-rekan ulama yang ada disekitar Menes, antara
lain Kyai H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa orang kyai lainnya. Tujuan
pertemuan tersebut adalah untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran, yang akhirnya melahirkan
kata sepakat untuk membentuk suatu majelis pengajian yang diasuh bersama. Pengajian ini juga
dijadikan lembaga muzakarah dan musyawarah dalam me-nanggulangi dan memerangi situasi
gelap itu ialah dengan harapan muncul seberkas sinar, yang kemudian menjadi
nama MATHLA’UL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya cahaya).
Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar dalam
keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan. Beliau menghendaki kemajuan umat
hanya mungkin melalui pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa
yang menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat haruslah
dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan ilmu”. Dan
hadits yang lain : “Ilmu itu adalah cahaya”.
Beranjak dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara jama’ah dengan
mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan
kebutuhan yang mendesak.
Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan kemiskinan yang
menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi generasi
tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu lahirnya generasi berikutnya yang
justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al zhulumati ila
al nur).
B. Sejarah Perkembangan Lembaga Mathla’ul Anwar
Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang fakih,
dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Siapakah pemuda itu ?
Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung
Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten.
K.H Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910 M.
Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan
pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawa
umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-
Qur’an “Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur”.
Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para Kyai
mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam bentuk madrasah
yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334 H/9 Agustus
1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan
Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh
sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes. Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul
Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga pengajar
agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig
ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan
Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan
kemiskinan.
Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin,
yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-
royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi
sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-
kanak Mathla’ul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan Islam Mathla’ul
Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9 (sembilan) tahun,
yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk menda’wahkan ajaran Islam
dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, dengan diantar
oleh Pengurus Mathla’ul Anwar Menes. Mereka diberi bisluit atau Surat Tugas mengajar dari
Presiden of Bestur Mathla’ul Anwar dengan semangat iman dan keyakinan terhadap janji Allah
yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum. Artinya, jika engkau menolong agama Allah,
pasti Allah akan menolongmu. Maka tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai
dengan tahun 1930-an, di Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan
tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, hanya diizinkan
menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk kelas V, VI dan VII
harus belajar di Menes.
Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi
pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah. Disamping
kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis
setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di masjid
Soreang, Menes. Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian
pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam. Dengan cara
itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak
mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama saja.
Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar, diusahakan dengan cara
gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh
jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jama’ah Majlis Ta’lim
ibu-ibu. Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang
akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri.
Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda iskin dengan
mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para janda miskin ini kemudian
menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada setiap hari Kamis yang
menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathla’ul Anwar. Usaha yang tidak terasa namun
nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara sekian tanda
bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah yang dibeli dari hasil
pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan “Kebon remeh”,
milik Mathla’ul Anwar. Bukti ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Pada tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus memberi pelajaran
bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari Salatiga yaitu KH. Humaedi disamping itu
beberapa pemuda dikirim ke Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-calon guru. Untuk
mempelajari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH. Syabrawi dan diadakan kursus
ilmu falak bagi guru-guru Mathla’ul Anwar).
Untuk mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang diikuti para
santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda. Disamping adanya kursus mubalig bagi
murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada tiap-tiap kenaikan
kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka pandai pidato dan
tablig.
Untuk menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok
pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang dipimpin oleh KH.
Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathla’ul Anwar. Para santri yang mondok
di Kananga datang dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain, sampai ratusan jumlahnya.
Kananga adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal bakal Mathla’ul
Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH. Mas Abdurrahman dari
Makkah tinggal di Kananga dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh, dan
selanjutnya pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren. KH. E.
Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang putra dari
seorang jaksa.
Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di
tujuh daerah tersebut di atas. Pada waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi
terbatas dari kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena itu,
dan sesuai pula perkembangan Mathla’ul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan untuk
meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis pedagogis,
maupun adsministratif organisasi dan keanggotaannya.
VISI
Misi
POKOK-POKOK PROGRAM
1. Pembinaan Kader
-Menetapkan konsepsi yang jelas dan tegas pembinaan dan pengembangan kaderisasi Mathla’ul
Anwar.
-Melaksanakan usaha-usaha kaderisasi organisasi dan mengembangkan kemampuan seluruh
aparat organisasi sesuai dengan peranan, fungsi hak dan kewajiban yang dikehendaki AD/ART.
-Melaksanakan penataran atau latihan kemampuan berorganisasi dari tingkat Ranting, cabang,
tingkat daerah, tingkat wilayah dan tingkat pusat.
-Menampilkan kader-kader yang menghayati dan setia kepada cita-cita Mathla’ul Anwar,
mempunyai integritas dan kemampuan memimpin organisasi dalam kepengurusan Mathla’ul
Anwar.
2. Pengembangan organisasi
-Mengupayakan pembentukan pengurus baru organisasi tingkat Wilayah, Daerah, Cabang, dan
ranting di seluruh Indonesia secara bertahap.
-Membina dan mengembangkan Badan-Badan Otonom di lingkungan Mathla’ul Anwar.
POLA PELAKSANAAN
Strategi Pelaksanaan
1. Program Umum Mathla’ul Anwar periode 2015-2020 dalam pelaksanaannya secara lebih
operasional dijabarkan dan dikembangkan lebih lanjut.
2. Pola pelaksanaan Program Kerja 5 (lima) tahun, program kerja tahunan dan agenda
kegiatan organisasi dengan pendekatan utama program kegiatan berdasarkan bagian yang
dimiliki serta diputuskan melalui rapat pleno organisasi yang khusus dijadikan untuk itu.
3. Rapat kerja organisasi berkewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap program-
program kegiatan organisasi serta menetapkan kesepakatan baru untuk pelaksanaan program-
program/kegiatan selanjutnya.
4. Program kerja pola pelaksanaan 5 (lima) tahun, program kerja tahunan dan agenda
kegiatan diputuskan melalui rapat pleno masing-masing serta dievaluasi dan disusun kembali
pelaksanaan selanjutnya melalui rapat kerja pada tingkat masing-masing.
Pelaksana/Penanggung Jawab
1. Pengurus Besar Mathla’ul Anwar bertanggung jawab atas program umum Mathla’ul
Anwar periode 2015-2020 serta program kegiatan lainnya yang ditetapkan Muktamar dan
Rakernas.
2. Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Cabang, ber-tanggung jawab atas
program kerja yang bersangkutan serta program kerja lainnya yang ditetapkan oleh
kepengurusan Mathla’ul Anwar di tingkat yang lebih atas, musyawarah dan rapat kerja
wilayah/daerah, cabang masing-masing.
Pembiayaan
Program kegiatan Mathla’ul Anwar pada masing-masing tingkat dibiayai oleh:
Pengendalian
1. Pengurus Wilayah, Daerah dan Cabang memberikan laporan kegiatan dan pelaksanaan
program kerja pada Pengurus Mathla’ul Anwar yang setingkat lebih tinggi dengan menggunakan
sistem dan methode yang seragam secara berkala.
2. Personil dan atau penyelenggaraan kegiatan dari program yang telah ditetapkan
mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan kepada kepengurusan Mathla’ul Anwar yang telah
menunjuk/mengangkatnya.
Sejak munculnya kesadaran akan pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas dari keterpurukan
akibat kolonialisme, para pendiri yang notabene kiyai lokal Menes telah sepakat untuk
menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka juga bersepakat
untuk menjadikan sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai alternatif terbaik bagi lembaga
pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan modern sebenarnya sama sekali baru bagi
komunitas Muslim nusantara, mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua
abad ke 20 ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti Normal School
dan Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo. Aplikasi model pendidikan Islam ini
merupakan terobosan sekaligus keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu
telah lama diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan
pesantren merupakan model pendidikan yang paling sesuai dan “islami”. Terkait dengan MA,
tentunya patut dicatat secara khusus jika melihat latar belakang pendiri MA yang justru
pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap terbuka mereka akan
gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari pernyataan salah seorang tokoh
pendiri, K.H. Muhammad Sholeh. Beliau menyatakan bahwa dirinya bukan hanya tidak mampu
mengelola lembaga pendidikan tersebut tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena
itu, lembaga ini harus diserahkan kepada seseorang yang mengetahui dan mampu mengelola
lembaga pendidikan baru tersebut. Keterbukaan ini merupakan fondasi utama berdirinya
madrasah modern MA pertama di Menes, bahkan di Banten, sebelum kemudian berdiri Al-
Khairiyah pada tahun 1920-an. Kesadaran akan pentingnya sistem pendidikan Islam alternatif ini
juga tidak lepas dari beberapa kenyataan yang terjadi saat itu. Diantara yang paling menonjol dan
sering kali digarisbawahi adalah gagalnya sistem pendidikan Islam lama untuk menarik minat
anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren dan gagalnya pesantren untuk
“memproduk” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor lainnya
adalah intensifnya gerakan sekularisasi dan westernisasi oleh pemerintah kolonial melalui
pendirian sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai objek pelajarannya.
Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting dalam proses penerimaan
sistem pendidikan baru oleh para kiyai.
Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem pendidikan Islam pada
masa selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar Menes bahkan Banten. Para aktifis dan
tokoh pendidikan MA di Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten
mendirikan madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah
pusat MA. Hasilnya sungguh spektakuler. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki
lebih dari 40 madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti
halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini memfokuskan pada
masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini termasuk pada kategori a rural-based
movement (gerakan berbasis desa). Semangat modernisasi sistem pendidikan Islam juga terjadi
pada wilayah kurikulum dengan diperkenalkannya beberapa materi umum seperti ilmu bumi,
ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman.
K.H. Uwes Abu Bakar kemudian mempertahankan semangat ini pada saat menerima aturan
pemerintah Indonesia merdeka yang menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (6
tahun), MTs (3 tahun), MA (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Berdasarkan aturan tersebut, MA
memutuskan untuk membagi sembilan tingkatan kelas ke dalam tingkatan Ibtidaiyah (MI) dan
Tsanawiyah (MTs) untuk membagi sembilan kelas madrasah ke dalam dua level pendidikan
(Ibtidaiyah dan Tsanawiyah). Kiyai Uwes juga menerima aturan untuk memasukkan materi-
materi umum lainnya termasuk bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes
berinisiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah
Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi umum sebelum
kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Ketika
Kementrian Agama meluncurkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk
mengintensifikasi pengajaran materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang
paling mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi program
ini. Keberhasilan untuk menyebarkan pengaruhnya melebihi dua provinsi dan adanya pengakuan
secara legal dari pemerintah terhadap status madrasah dan status organisasi, MA berhasil
memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk program subsidi pendidikan. Pencapaian ini
telah menjadikan MA sebagai salah satu organisasi yang telah banyak menerima proposal
penggabungan dari sekolah/madrasah lokal yang berasal dari berbagai daerah bahkan pulau
seperti Al-Iman dari Magelang, Nahdlatul Wathan dari NTB dan lain-lain. Sebagai dampak
langsung dari fusi madrasah/sekolah ini, MA pada awal tahun 1960-an tercatat sebagai
organisasi massa Islam terbesar ketiga dibawah NU dan Muhammadiyah. Perkembangan
progressif ini bukan berarti tanpa tantangan, terutama ketika terjadi perubahan kepemimpinan
dimana para pendirinya telah banyak meninggal dunia dan munculnya pemimpin-pemimpin baru
yang memiliki sumber legitimasi yang berbeda-beda. Munculnya kiyai Uwes yang bukan
berdarah “biru” keturunan para pendiri telah menciptakan perpecahan internal dengan
munculnya madrasah Maslahul Anwar yang didirikan oleh kiyai Junaedi, putra kiyai Yasin, di
Kaduhauk yang terpisah dari struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik
mula munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di beberapa
wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah menjadi Ahlussunnah
Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah, MALNU, MALINU dan Nurul Amal.
Selain faktor kepemimpinan pada tingkat elit, kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut
merupakan akibat dari adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok dalam
MA. Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Latif, K.H.
Asrori dan K.H. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik antara apakah harus
mempertahankan ikatan politik dan agama dengan NU atau Masyumi. Selain karena perbedaan
afiliasi politik, penolakan para kiyai senior terhadap upaya modernisasi sekolah dengan
memasukkan materi-materi umum, khususnya Bahasa Inggris, mendorong para kiyai dan
pengikutnya yang ada di madrasah keluar. Yang menarik dari peristiwa ini adalah bagaimana
madrasah tidak hanya berfungsi secara konvensional sebagai tempat mentransfer ilmu
pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas politik sekaligus
alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda ketika pada tahun 1980-an dan
1990-an ketika muncul madrasah-madrasah baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.
Melihat realitas di atas, kita bisa mengatakan bahwa meskipun madrasah dalam MA tidak hanya
sebagai tempat mendidik generasi-generasi baru Muslim tetapi juga sebagai media memoblisasi
politik, sepak terjang MA sangat erat kaitannya dengan gerakan pembaharuan pendidikan Islam
di Indonesia. Tentunya untuk masa yang akan datang, identitas MA sebagai pembaharu
pendidikan Islam harus terus dipertahankan, apalagi ketika bangsa Indonesia masih terpuruk
dalam hal kualitas pendidikan apalagi menyangkut pendidikan Islam.