Disusun Oleh
Nama NIM
Marlina Elisabeth Hasibuan 1707531043
Anak Agung Istri Mita Suryani 1707531046
Galatia Mega Hasian 1707531095
Bernhard Patria Gomgom 1707531098
Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar.
a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) adalah cara mengendalikan uang yang
beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities).
b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate) adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan
memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. dari bank sentral, sehingga
pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan.
c) Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) adalah mengatur jumlah uang
yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada
pemerintah.
d) Imbauan Moral (Moral Persuasion) adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah
uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi.
Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi
inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument
utama yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh
Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut
adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di
Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai
hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah
dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah.
Hampir tidak mungkin memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama
bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Oleh karena itu, metode yang lebih
tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan
melakukan estimasi. Adapun untuk melakukan estimasi mengenai capital flight dapat
dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
b. Pendekatan Residual
Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh,
keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan
estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah
diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Dari penelitian tersebut, diketahui
bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998
dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian capital flight kembali
terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan juga kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus
capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena
adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar
capital flight dapat diredam di Indonesia. Cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin
kepemilikan modal dan aset milik orang asing.
2. Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum.
(inflasi yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan nilai tukar yang stabil).
3. Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4. Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang
Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang
terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter
yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila
rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya
dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang
tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan
inflasi kedua negara. Adapun tujuan dari devaluasi adalah
Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek
dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran
konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah.
Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik
yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Devaluasi adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang
asing. Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada
tanggal 15 November 1978). Sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata
uang dalam negeri atas mata uang asing. Perlu di cacat bahwa penurunan nilai rupiah
terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter di Indonesia (sejak 1997) tidaklah
termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat
tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar
internasional dan nasional.
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan
pembersihan semua factor dari unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham
komunis. Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat
inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/-
650% menjadi hanya +/- 10% saja. Kebijakan di bidang moneter dengan tujuan untuk
menaikkan hasil produksi nasional,serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang
pada masa ini menjadi lemah karena :
1. Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia
menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk
sejenis dari Negara lain.
2. Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.
Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto
pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,”
kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda
jauh dengan kebijakan Soekarno. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor
ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Jadi pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Kebijakan moneter pada dasarnya
merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal
(pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan
keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai
untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Saat awal merdeka, Indonesia mengalami inflasi (kenaikan harga barang) yang sangat
tinggi karena kondisi mata uang tidak terkendali. Salah satu faktor penyebabnya yaitu belum
adanya mata uang tunggal yang berlaku. Saat itu, terdapat tiga mata uang yang dipakai,
sehingga menyebabkan jumlah uang beredar menjadi banyak dan akhirnya terjadi inflasi.
Pada masa ini, ekonomi diserahkan kepada rakyat yang belum lama merdeka dan masih
lemah ekonominya. Usaha-usaha kecil banyak yang mati karena tidak mampu bersaing.
Upaya yang diambil untuk menanggulanginya antara lain: penetapan Gunting Syafruddin
untuk memotong nilai uang NICA dan de Javasche Bank menjadi setengahnya saja yang
berlaku.
Pada saat itu pecahan Rp5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Guntingan bagian kiri
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula, sedangkan
bagian kanan tidak berlaku sebagai alat pembayaran. Selain itu pemerintah juga melakukan
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, dan penetapan sistem ekonomi Ali
Baba untuk membangun kerjasama antara pengusaha asing dan pengusaha lokal.
Masa inflasi terus terjadi hingga masa Demokrasi Terpimpin. Sejak dekrit presiden 5
Juli 1959, berbagai upaya terus dilakukan untuk menekan inflasi, namun upaya ini belum
berhasil. Salah satunya adalah upaya devaluasi nilai rupiah. Apakah itu? Devaluasi adalah
penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pada saat itu rupiah didevaluasi dari 1
USD = Rp11.40 menjadi 1 USD = Rp45.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan sanering yang merupakan upaya
pembatasan daya beli masyarakat, dengan cara memotong nilai uang tanpa menurunkan harga
komoditas di pasar. Contohnya, pemerintah Indonesia melakukan sanering dari Rp4.000,00
menjadi Rp400,00. Namun, harga gula tetap sebesar Rp4.000,00/kg dengan kata lain hal ini
membatasi kemampuan masyarakat untuk membeli suatu barang. Pada saat itu, ekspektasi
dan realita devaluasi tidak berjalan sesuai dengan rencana pemerintah, sehingga
memperparah inflasi yang ada.
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi
dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar
biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI
harus membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam,
pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat
tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan
anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang
melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank
kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan
mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi penarikan dana perbankan secara
besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem
perbankan. Akibatnya sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi
nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk
membantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI
pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan
akan menjamin pembayaran kembali kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi
semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut
disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang
dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan
Mei 1998.
Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1
tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut
masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan
Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap penduduk bebas memiliki dan
menggunakan devisa, namun wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu
lintas devisa yang dilakukannya. Atas dasar pengaturan tersebut maka Bank Indonesia
mewajibkan bank-bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi
devisa maupun dalam pengelolaannya. Sementara itu, pemilikan dan penggunaan devisa oleh
masyarakat umum belum diatur system pelaporannya. Berbagai kebijakan pada periode
sebelumnya, khususnya dalam rangka pengembangan Penanaman Modal Asing (PMA)
maupun pinjaman luar negeri, telah meningkatkan cadangan devisa di awal tahun 1997,
apalagi investor asing semakin tertarik menanamkan dana di Indonesia. Akan tetapi krisis
nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, terutama dollar Amerika sejak Juli 1997, telah
mengakibatkan pembelian devisa oleh sektor swasta meningkat tajam sehingga cadangan
devisa Indonesia nyaris deficit, padahal jumlah pinjaman luar negeri saat itu cukup besar. Di
pihak lain, terdepresiasinya Rupiah yang sangat dalam telah memperlemah daya beli devisa
untuk pembayaran utang luar negeri.
Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing,
terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga
menimbulkan kepanikan pasar. Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah
terdepresiasi terhadap valuta asing, terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan
Rupiah tersebut terjadi sehingga menimbulkan kepanikan pasar. Berbagai kebijakan yang
ditempuh Bank Indonesia tidak berhasil menghentikan laju penurunan nilai tukar tersebut,
baik dalam bentuk pelebaran band intervensi, pengetatan likuiditas perbankan maupun moral
suasi kepada para pelaku pasar. Untuk menyelamatkan cadangan devisa maka pada tanggal
14 Agustus 1997 band intervensi dilepas dan selanjutnya Indonesia menerapkan kebijakan
nilai tukar mengambang hingga sekarang. Sistem ini kemudian dikukuhkan dengan
Undangundang No.23 dan 24 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa
sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi
dari Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas,
tidak saja terhadap kegiatan bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan
ekonomi riil.
Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia : Moneter Periode 1997 - 1998