Anda di halaman 1dari 12

KELOMPOK 8

Analisa Kebijakan Moneter di Indonesia


Nama Dosen : Dr. I Gede Wardana, S.E, M.Si.
Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia

Disusun Oleh
Nama NIM
Marlina Elisabeth Hasibuan 1707531043
Anak Agung Istri Mita Suryani 1707531046
Galatia Mega Hasian 1707531095
Bernhard Patria Gomgom 1707531098

KELAS EKU 307 B1


PROGRAM STUDI AKUNTANSI REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN AJARAN 2019/2020

I. Analisa Kebijakan Moneter Di Indonesia


1.1. Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi


makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang
yang beredar dalam perekonomian. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:

a. Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy) adalah suatu kebijakan


dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk
mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat)
pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.

b. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy) adalah suatu kebijakan


dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat
perekonomian mengalami inflasi.

Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar.

a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) adalah cara mengendalikan uang yang
beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities).

b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate) adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan
memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. dari bank sentral, sehingga
pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan.

c) Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) adalah mengatur jumlah uang
yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada
pemerintah.

d) Imbauan Moral (Moral Persuasion) adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah
uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi.

II. Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi
inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument
utama yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh
Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut
adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di
Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai
hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah
dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah.

III. Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya

Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987)


yang mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari
negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal
tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena
pada umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar
dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya
menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi.

Hampir tidak mungkin memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama
bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Oleh karena itu, metode yang lebih
tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan
melakukan estimasi. Adapun untuk melakukan estimasi mengenai capital flight dapat
dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:

a. Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran

b. Pendekatan Residual

c. Pendekatan Deposito Bank

Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh,
keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan
estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah
diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Dari penelitian tersebut, diketahui
bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998
dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian capital flight kembali
terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan juga kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus
capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena
adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar
capital flight dapat diredam di Indonesia. Cara yang dapat dilakukan adalah:

1. Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin
kepemilikan modal dan aset milik orang asing.
2. Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum.
(inflasi yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan nilai tukar yang stabil).
3. Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4. Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang

IV. Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang

Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang
terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter
yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila
rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya
dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang
tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.

Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan
inflasi kedua negara. Adapun tujuan dari devaluasi adalah

1. Mendorong ekspor dan membatasi impor.


2. Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
3. Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat
menjadi relatif stabil.

Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi aktivitas


perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam
jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching
dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri. Pergeseran
konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri.
Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat
cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong
terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi.

Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi balance of


payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan
ekspor dan impor sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga
memperbaiki posisi BOP melalui mekanisme moneter.

Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek
dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran
konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah.
Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik
yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.

Devaluasi adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang
asing. Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada
tanggal 15 November 1978). Sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata
uang dalam negeri atas mata uang asing. Perlu di cacat bahwa penurunan nilai rupiah
terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter di Indonesia (sejak 1997) tidaklah
termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat
tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar
internasional dan nasional.

V. Analisa Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde


Lama dan Orde Baru

5.1. Kebijakan Moneter Orde Lama

Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan
pembersihan semua factor dari unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham
komunis. Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat
inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/-
650% menjadi hanya +/- 10% saja. Kebijakan di bidang moneter dengan tujuan untuk
menaikkan hasil produksi nasional,serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang
pada masa ini menjadi lemah karena :
1. Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia
menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk
sejenis dari Negara lain.
2. Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.

5.2. Kebjiakan Moneter Masa Orde Baru

Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto
pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,”
kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.

Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda
jauh dengan kebijakan Soekarno. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor
ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan


Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat
kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.

1. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang


menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak
efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi
kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi
impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:

1. Mengadakan operasi pajak.


2. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
3. Memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya
penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu
banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan
hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi
pada kebutuhan prasarana
4. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
5. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :

1. Mengadakan operasi pajak.


2. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Jadi pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Kebijakan moneter pada dasarnya
merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal
(pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan
keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai
untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

VI. Analisa Mengenai Krisis Moneter di Indonesia dan Cara Mengatasinya

1. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)

Saat awal merdeka, Indonesia mengalami inflasi (kenaikan harga barang) yang sangat
tinggi karena kondisi mata uang tidak terkendali. Salah satu faktor penyebabnya yaitu belum
adanya mata uang tunggal yang berlaku. Saat itu, terdapat tiga mata uang yang dipakai,
sehingga menyebabkan jumlah uang beredar menjadi banyak dan akhirnya terjadi inflasi.

Beberapa kebijakan moneter diterapkan untuk menanggulangi krisis ini, di antaranya


dengan melakukan kegiatan diplomasi beras ke India dan membentuk planning board untuk
penanggulangan inflasi. Selain itu, diterbitkan pula ORI (Oeang Republik Indonesia) agar
hanya ada satu mata uang resmi, dan penetapan Kasimo Plan sebagai upaya swasembada
pangan.
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Pada masa ini, ekonomi diserahkan kepada rakyat yang belum lama merdeka dan masih
lemah ekonominya. Usaha-usaha kecil banyak yang mati karena tidak mampu bersaing.
Upaya yang diambil untuk menanggulanginya antara lain: penetapan Gunting Syafruddin
untuk memotong nilai uang NICA dan de Javasche Bank menjadi setengahnya saja yang
berlaku.

Pada saat itu pecahan Rp5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Guntingan bagian kiri
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula, sedangkan
bagian kanan tidak berlaku sebagai alat pembayaran. Selain itu pemerintah juga melakukan
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, dan penetapan sistem ekonomi Ali
Baba untuk membangun kerjasama antara pengusaha asing dan pengusaha lokal.

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Masa inflasi terus terjadi hingga masa Demokrasi Terpimpin. Sejak dekrit presiden 5
Juli 1959, berbagai upaya terus dilakukan untuk menekan inflasi, namun upaya ini belum
berhasil. Salah satunya adalah upaya devaluasi nilai rupiah. Apakah itu? Devaluasi adalah
penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pada saat itu rupiah didevaluasi dari 1
USD = Rp11.40 menjadi 1 USD = Rp45.

Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan sanering yang merupakan upaya
pembatasan daya beli masyarakat, dengan cara memotong nilai uang tanpa menurunkan harga
komoditas di pasar. Contohnya, pemerintah Indonesia melakukan sanering dari Rp4.000,00
menjadi Rp400,00. Namun, harga gula tetap sebesar Rp4.000,00/kg dengan kata lain hal ini
membatasi kemampuan masyarakat untuk membeli suatu barang. Pada saat itu, ekspektasi
dan realita devaluasi tidak berjalan sesuai dengan rencana pemerintah, sehingga
memperparah inflasi yang ada.

4. Masa Tahun 1997 - 1999

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi
dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar
biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI
harus membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam,
pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat
tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan
anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang
melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank
kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan
mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi penarikan dana perbankan secara
besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem
perbankan. Akibatnya sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi
nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk
membantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI
pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan
akan menjamin pembayaran kembali kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi
semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut
disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang
dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan
Mei 1998.

 Kebijakan Devisa di Indonesia 1997-1999

Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1
tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut
masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan
Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap penduduk bebas memiliki dan
menggunakan devisa, namun wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu
lintas devisa yang dilakukannya. Atas dasar pengaturan tersebut maka Bank Indonesia
mewajibkan bank-bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi
devisa maupun dalam pengelolaannya. Sementara itu, pemilikan dan penggunaan devisa oleh
masyarakat umum belum diatur system pelaporannya. Berbagai kebijakan pada periode
sebelumnya, khususnya dalam rangka pengembangan Penanaman Modal Asing (PMA)
maupun pinjaman luar negeri, telah meningkatkan cadangan devisa di awal tahun 1997,
apalagi investor asing semakin tertarik menanamkan dana di Indonesia. Akan tetapi krisis
nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, terutama dollar Amerika sejak Juli 1997, telah
mengakibatkan pembelian devisa oleh sektor swasta meningkat tajam sehingga cadangan
devisa Indonesia nyaris deficit, padahal jumlah pinjaman luar negeri saat itu cukup besar. Di
pihak lain, terdepresiasinya Rupiah yang sangat dalam telah memperlemah daya beli devisa
untuk pembayaran utang luar negeri.

 Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1997-1999

Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing,
terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga
menimbulkan kepanikan pasar. Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah
terdepresiasi terhadap valuta asing, terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan
Rupiah tersebut terjadi sehingga menimbulkan kepanikan pasar. Berbagai kebijakan yang
ditempuh Bank Indonesia tidak berhasil menghentikan laju penurunan nilai tukar tersebut,
baik dalam bentuk pelebaran band intervensi, pengetatan likuiditas perbankan maupun moral
suasi kepada para pelaku pasar. Untuk menyelamatkan cadangan devisa maka pada tanggal
14 Agustus 1997 band intervensi dilepas dan selanjutnya Indonesia menerapkan kebijakan
nilai tukar mengambang hingga sekarang. Sistem ini kemudian dikukuhkan dengan
Undangundang No.23 dan 24 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa
sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi
dari Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas,
tidak saja terhadap kegiatan bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan
ekonomi riil.

 Kebijakan hutang luar Negeri 1997-1999

Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran


hutang luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian hutang
luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka pendek untuk
pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri yang dipergunakan untuk
pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Melemahnya nilai tukar rupiah yang
berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran hutang luar negeri meningkat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian hutang luar negeri swasta tidak dilindungi
nilai, penggunaan hutang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta
hutang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik.
Di samping itu, melemahnya nilai tukar juga menurunkan kepercayaan kreditur terhadap
kemampuan debitur untuk membayar kembali hutang-hutangnya. Akibatnya, sektor swasta
mengalami kesulitan mendapatkan roll over bagi utang yang jatuh tempo dan mengakibatkan
krisis hutang swasta. Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri
swasta, tim penyelesaian hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah
melakukan serangkaian perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank
Steering Committee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 mencapai
kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman perusahaan swasta dan
pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan melalui program
pertukaran hutang antarbank (exchange offer). Pada tahap pertama pinjaman yang
dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai dengan 31 Maret 1999 yang
dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan maksimum jatuh waktu 4 tahun. Jumlah
pinjaman bank nasional kepada kreditur luar negeri yang sudah dipertukarkan mencapai
USD3 miliar dengan melibatkan 41 bank peserta. Dari jumlah tersebut, yang dijadwalkan
kembali dengan jatuh waktu 1 tahun sebesar 13,3%, 2 tahun 26,6%, 3 tahun 48,0%, dan 4
tahun 12,1%. Berkaitan dengan penyelesaian hutang luar negeri jangka pendek perusahaan
swasta, Pemerintah membentuk INDRA yang berfungsi sebagai lembaga perantara antara
perusahaan debitur dan kreditur luar negeri. Dalam perkembangannya, INDRA melakukan
penyesuaian atas skim-skim kredit tersebut. Berkaitan dengan program INDRA, Pemerintah
membentuk Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang berfungsi sebagai fasilitator bagi
perusahaan-perusahaan yang menghadapi masalah dalam menyelesaikan pinjamannya
sehingga debitur dapat memilih untuk mengikuti program INDRA atau memilih cara lain,
seperti debt to equity swap dan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Dalam
pelaksanaannya sampai dengan akhir tahun 1998 satuan tugas tersebut telah menangani 122
kasus dengan nilai utang sebesar USD15,5 milyar. Dalam hal hutang luar negeri sektor
pemerintah, dilakukan upaya restrukturisasi melalui penandatanganan MOU Paris Club pada
23 September 1998 dengan kreditur yang diwakili oleh 17 negara donor. Perjanjian tersebut
menandai adanya Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia 8
penjadwalan kembali kewajiban pembayaran utang pokok yang jatuh tempo dalam masa
konsolidasi, yakni terhitung sejak awal Agustus 1998 hingga akhir Maret 2000. Berdasarkan
MOU Paris Club, pinjaman yang akan direstrukturisasi berjumlah USD4,2 milyar, terdiri dari
pinjaman lunak sebesar USD1,2 milyar dan fasilitas kredit ekspor sebesar USD3 milyar.
Pinjaman lunak dijadwalkan kembali atau dibiayai dengan pinjaman baru berjangka waktu 20
tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun dengan tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman
lunak. Fasilitas kredit ekspor dibiayai kembali atau dijadwalkan dengan jangka waktu 11
tahun, termasuk masa tenggang 3 tahun dengan tingkat bunga pasar.
Daftar Pustaka

 Nehen, K. (n.d.). Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press.

 Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia : Moneter Periode 1997 - 1998

Anda mungkin juga menyukai