Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perkembangan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Dunia


dan di Indonesia
Voluntary Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan oleh

World Health Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th Regional Health

Ministers’ Conference di Seychelles. Kemudian penerapannya sendiri di

Indonesia dilakukan tidak lama setelah itu. Namun perundangan secara jelas yang

mengatur tentang pemberlakuan VCT baru dicanangkan pemerintah Indonesia

melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1507 Tahun 2005 tentang Pedoman

Pelayanan dan Tseting HIV/AIDS secara Sukarela (Depkes RI, 2005). Kini

layanan VCT telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia baik itu oleh

pihak pemerintah maupun pihak swasta, dimana pelayanan VCT oleh pihak

swasta telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 04 Tahun 2002

tentang Laboratorium Klinik Swasta (LKS) (Depkes RI, 2002). Selain itu aturan

lain mengenai Tim Pelatih Konseling dan Testing HIV Secara Sukarela diatur

dalam Keputusan Menkes RI No. 060 tahun 2009 (Depkes RI, 2009).

Provinsi Bali sendiri telah memiliki beberapa fasilitas layanan VCT yang

tersebar di 9 kabupaten/kota, salah satu layanan VCT yang terdapat di kota

Denpasar adalah layanan VCT di Yayasan Kerti Praja (YKP). YKP merupakan

organisasi swasta non-profit yang bergerak di bidang promosi kesehatan

komunitas, deteksi dini penyakit dan prompt treatment, pelayanan kesehatan,

rehabilitasi, serta riset dan pengembangan komunitas utamanya berfokus pada

infeksi HIV dan infeksi menular seksual (IMS). Sejak tahun 2000 YKP telah

7
8

membuka klinik VCT terakreditasi pertama di Indonesia. Klinik VCT ini terbuka

untuk umum dan mengajak seluruh individu dengan tingakt risiko tinggi HIV

(utamanya pekerja seks) untuk melakukan test HIV reguler dan konseling setiap

2-3 bulan. (www.kertiprajafoundation.com).

Hingga saat ini layanan VCT di Klinik Amertha YKP telah melayani total

17.010 klien dengan jumlah kasus negatif sebanyak 15.549 dan kasus positif

sebanyak 1.461 (www.kertiprajafoundation.com)

2.2 Gambaran Umum Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah suatu proses konseling

terhadap suatu individu sehingga individu tersebut memperoleh informasi dan

dapat memutuskan untuk melakukan tes HIV atau tidak, dimana keputusan yang

diambil oleh individu tersebut merupakan keinginan dari dalam dirinya sendiri

tanpa paksaan dan hasil tes sepenuhnya dirahasiakan dari pihak lain. Konseling

dalam VCT merupakan kegiatan konseling yang menyediakan dukungan

psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,

mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan

antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan

HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat

dan lebih aman (CDC, 2014).

Proses konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki

keterampilan konseling serta pemahaman akan HIV. Adapun pihak-pihak yang

membutuhkan VCT antara lain: mereka yang ingin mengetahui status HIVnya

karena merasa telah melakukan tindakan yang berisiko untuk tertular HIV, mereka

yang telah tertular HIV dan keluarganya, mereka yang membutuhkan VCT untuk
9

kepentingan dinas atau pekerjaan, serta mereka yang termasuk ke dalam

kelompok berisiko tinggi. (UNAIDS, 2000).

Penerimaan
terhadap
status HIV
positif Memotivasi
Perencanaan perubahan
masa depan perilaku

Pencegahan
Normalisasi transmisi
dari stigma ibu-anak
HIV
VCT
Dukungan Pencegahan,
sosial dan skrining, dan
komunitas penanganan
(grup HIV) IMS

Penanganan
Akses untuk awal infeksi
kondom Akses ke oportunistik
pelayanan
kesehatan (ARV,
anti TB)

Gambar 2.2 Peranan layanan VCT pada berbagai aspek layanan


kesehatan (UNAIDS, 2000)

Tahapan VCT harus meliputi tiga tahapan berikut yakni:


a. Konseling Pre Test
Merupakan diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk

menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien

tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi

pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan

pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi

hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak,

mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman.


10

b. Tes HIV
Secara konvensional tes HIV dilakukan dengan mendeteksi antibodi HIV.

Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini

berarti orang itu telah terinfeksi HIV. Kini berbagai varian tes antibodi

HIV telah tersedia antara lain Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay

(ELISA), Western Blot dan tes lainnya yang prinsip penggunaannya lebih

mudah dan harga lebih terjangkau. Hasil test HIV dapat digolongkan ke

dalam 3 hasil yakni:

1. Non Reaktif
Hasil tes non reaktif menunjukkan bahwa tidak terdeteksi antibodi di

dalam darah. Hasil ini dapat mempunyai beberapa arti yakni individu

tersebut tidak terinfeksi HIV atau individu tersebut mungkin terinfeksi

HIV tetapi tubuhnya belum dapat memproduksi antibodi HIV dimana

dalam kondisi ini individu tersebut berada dalam status window period

sehingga untuk memastikannya dapat dilakukan kembali tes HIV 3

atau 6 berikutnya.

2. Reaktif
Hasil tes reaktif menunjukkan bahwa antibodi HIV terdeteksi di dalam

darah. Hasil ini menunjukkan bahwa individu dengan hasil tes HIV

reaktif berarti telah terinfeksi HIV, tetapi belum tentu individu tersebut

telah mengidap AIDS. Untuk hasil tes reaktif konselor akan

menjelaskan makna hasil tes reaktif dan menanyakan kepada klien

siapa saja yang boleh mengetahui hasil tes. Sedangkan untuk hasil tes

non reaktif dan intermediate konselor menjelaskan makna hasil tes

dimana klien juga diberikan konseling mengenai perubahan perilaku.


11

3. Intermediate
Hasil tes intermediate menunjukkan hal sebagai berikut: individu

tersebut mungkin terinfeksi HIV dan sedang dalam proses membentuk

antibodi (serokonversi akut), atau individu tersebut mempunyai

antibodi dalam darah yang mirip dengan antibodi HIV

c. Konseling Post Test


Konseling post-test merupakan diskusi antara konselor dengan klien yang

bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi

dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman

mental emosional klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain

yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana

tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku

berisiko dan membuat perencanaan dukungan (UNAIDS, 2000)

2.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Status HIV Positif

Salah satu teori mengenai status kesehatan dicetuskan oleh Hendrik L.

Blum, dimana Blum dalam Sudarma menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi status kesehatan masyarakat atau perorangan ditentukan oleh

empat faktor. Faktor pertama yakni faktor lingkungan yang memiliki pengaruh

terbesar yakni sebesar 45%. Yang kedua yakni faktor perilaku berpengaruh

sebesar 30%, karena sehat atau tidaknya lingkungan kesehatan individu, keluarga,

dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Pelayanan

kesehatan merupakan faktor ketiga yang berpengaruh terhadap status kesehatan

masyarakat sebesar 20%. Faktor pelayanan kesehatan berpengaruh karena

keberadaan sarana dan prasarana kesehatan sangat menentukan pelayanan

pemulihan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan perawatan


12

masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Faktor yang terakhir dan

sekaligus memberikan pengaruh paling kecil yakni keturunan (genetik) yang

merupakan faktor yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir berperan sebesar 5%

saja (Sudarma, 2008). Bila status HIV positif dihubungkan dengan teori Blum,

maka beberapa faktor yang berpengaruh terhadap status HIV seseorang adalah

sebagai berikut:

1. Faktor Lingkungan
Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor lingkungan dan berhubungan dengan

status HIV positif seseorang, meliputi individu itu sendiri dan karakteristik

lingkungannya atau bisa kita golongkan sebagai karakteristik sosiodemografi.

Karakteristik sosiodemografi seseorang yakni antara lain: usia, jenis kelamin,

status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat penghasilan,

wilayah tempat tinggal dan suku atau asal seseorang. Penjelasan lebih lanjut

mengenai hubungan karakteristik sosiodemografi tersebut dengan status HIV

positif seseorang adalah sebagai berikut:

a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tertentu memiliki

angka prevalensi untuk kejadian HIV di masyarakat. Seperti penelitian yang

dilakukan oleh Jilia Roza pada klien VCT di RSUD Mandau Riau

menyebutkan bahwa dari total 38 klien VCT dengan status HIV 36 orang atau

94% tergolong ke dalam usia produktif (15-65 tahun) (Roza, 2013).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Hutapea dkk pada pasien dengan status

HIV/AIDS positif di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Baliage

menyatakan bahwa proporsi tertinggi pasien dengan status HIV/AIDS berada

pada kelompok umur 30-39 tahun yakni sebesar 58,6% (Hutapea dkk, 2012).
13

Sejalan dengan kedua penelitian tersebut, berdasarkan WHO dan UNAIDS

pada tahun 2006 mengestimasi bahwa kasus global HIV/AIDS sampai

dengan tahun 2006 jumlah orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) pada

kelompok umur 15-49 tahun (dewasa) adalah sebesar 37,2 juta atau 94,2%

dari jumlah total 39,5 juta. Data-data tersebut menunjukkan bahwa proporsi

klien VCT dengan status HIV positif terbanyak berada pada kelompok usia

produktif hal ini berarti usia produktif memiliki peran besar dalam penularan

atau sebagai pihak yang ditularkan HIV (UNAIDS, 2006).

b. Jenis kelamin
Jenis kelamin atau gender menjadi isu yang sangat sensitif terhadap kejadian

HIV/AIDS. Proporsi penderita HIV/AIDS antara laki-laki dan perempuan

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan melihat hasil-hasil penelitian

sebelumnya yang tidak condong terhadap salah satu gender seperti misalnya

penelitian oleh Hutapea dkk pada klien VCT di RSU HKBP Baliage

menunjukkan bahwa dari 145 sampel klien dengan status HIV positif

ditemukan bahwa sebanyak 109 orang atau 75,2% berjenis kelamin laki-laki

(Hutapea dkk, 2012). Sedangkan menurut WHO proporsi antara laki-laki dan

perempuan yang terjangkit HIVAIDS sebanding yakni sebesar 48-53% untuk

jenis kelamin perempuan (WHO, 2011). Sedangkan UNICEF Indonesia

menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 39% kasus baru HIV/AIDS

untuk perempuan dan sebesar 61% untuk laki-laki. Namun hingga Desember

2011, kasus baru HIV/AIDS pada perempuan dilaporkan sebanyak 44%

sedangkan pada laki-laki sebanyak 56%. Dimana hal ini menunjukkan,

meskipun proporsi tetap lebih banyak pada jenis kelamin pria namun terdapat

peningkatan kasus baru pada jenis kelamin wanita dari semula 39% menjadi
14

44% dimana perempuan lebih rentan untuk terjangkit HIV karena peran

tradisional mereka dalam masyarakat utamanya dalam umah tangga (Unicef

Indonesia, 2012).

c. Status Perkawinan
Perkawinan merupakan hubungan Berdasarkan penelitian Roza pada klien

VCT RSUD Mandau Riau pada tahun 2012 dimana dari 38 klien dengan

status HIV positif klien dengan status perkawinan menikah memiliki proporsi

terbanyak untuk status HIV positif yakni sebesar 4,4% (Roza, 2013).

Penelitian lainnya adalah oleh Hutapea pada klien VCT RSUD Baliage

menunjukkan bahwa dari 145 sampel dengan status HIV positif dari tahun

2008-2012 sebanyak 77% dengan status perkawinan menikah (Hutapea,

2012). Faktor risiko HIV terkait dengan status perkawinan adalah masalah

kesetiaan terhadap pasangan (faithful), dimana seringkali ditemukan kasus

istri yang mendapat transmisi dari suaminya, akibat suami yang tidak setia

pada satu pasangan sehingga berpengaruh pada meningkatnya angka HIV

pada istri dan Kemetrian Kesehatan Indonesia memproyeksikan terdapatnya

peningkatan kasus baru HIV pada anak seiring dengan meningkatnya kasus

HIV pada perempuan (Unicef Indonesia, 2012).

d. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang,

idealnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin banyak

pengetahuan atau ilmu yang dimilikinya, begitu pula dengan pengetahuan

tentang HIV. Studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di

distrik Rakai, Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan

bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan dengan status HIV
15

dimana dari 389 sampel dengan status HIV positif sebanyak 203 sampel

tergolong ke dalam sampel dengan tingkat pendidikan rendah (tidak

menyelesaikan pendidikan dasar) (Kirunga&Notzi, 1997).

e. Pekerjaan
Munadhir menyebutkan bahwa kelompok yang rentan tertular HIV/AIDS

merupakan mereka dengan mobilitas tinggi karena pekerjaan (Munadhir,

2011) Hal ini menguatkan hasil penelitian oleh Suarmiartha (dalam Gunawan,

2001) di Bali dimana ditemukan 120 pengemudi truk dengan trayek

Denpasar-Surabaya sebanyak 68% sering mencari pekerja seks di tempat-

tempat peristirahatan selama dalam perjalanan dimana 87% dari mereka

berganti-ganti pasangan pekerja seks sedangkan sisanya memiliki pasangan

tetap (Gunawan, 2001). Studi lainnya yakni oleh Hutapea dkk pada klien

VCT RSUD Baliage menunjukkan dari 145 sampe dengan HIV positif

proporsi stertinggi terdapat pada kelompok wiraswasta yakni sebesar 36,6%

(Hutapea dkk, 2012).

f. Tingkat Penghasilan
Menurut studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di distrik

Rakai, Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan bahwa

terdapat korelasi positif antara tingkat penghasilan dengan status HIV dimana

dari 389 sampel dengan status HIV positif sebanyak 199 sampel tergolong ke

dalam kelompok dengan tingkat penghasilan sedang dan 120 sampel

tergolong ke dalam kelompok dengan tingkat penghasilan tinggi

(Kirunga&Notzi, 1997).
16

g. Wilayah tempat tinggal


Wilayah tempat tinggal berkaitan dengan status HIV positif dikarenakan

norma-norma yang dianut oleh masyarakat perkotaan telah semakin memudar

bila dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan yang masih kental dan kuat

dalam menganut norma dan etika, sehingga hal ini berhubungan dengan

perilaku seks bebas yang semakin banyak dianut masyarakat perkotaan

(Roza, 2014)

2. Faktor Perilaku
Perilaku merupakan suatu kegiatan aktifitas organisme atau makhluk hidup

yang bersangkutan. Dimana menurut UNAIDS terdapat 70% penularan

HIV/AIDS yang disebaarkan melalui perilaku seksual. Faktor perilaku yang

berhubungan status HIV positif seseorang merupakan perilaku individu yang

tergolong ke dalam perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Perilaku berisiko

tersebut dapat kita bagi sebagai berikut:

a. Kelompok Risiko Tinggi


Kelompok risiko tinggi merupakan kelompok masyarakat yang tergolong ke

dalam subjek-subjek rentan untuk tertular HIV seperti contoh pekerja seks,

waria, gay, gigolo, laki-laki pembeli seks maupun istri dengan pasangan yang

telah terinfeksi HIV. Data oleh Unicef Indonesia menunjukkan bahwa pada

tahun 2011, sepertiga perempuan pekerja seks menyatakan tidak

menggunakan kondom dengan pelanggan terakhir mereka. Terdapat kurang

dari setengah pengguna narkoba suntik yakni 41% yang secara konsisten

menggunakan kondom dengan pasangan tidak tetap. Kira-kira 39% laki-laki

pelanggan perempuan pekerja seks tidak menggunakan kondom dalam

hubungan seksual komersial terakhir mereka. Sekitar 40% laki-laki usia subur
17

yang berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan menyatakan tidak

menggunakan kondom dalam hubungan seksual terakhir mereka. Dimana hal

ini menunjukkan kelompok dengan risiko tinggi tidak diikuti dengan perilaku

untuk melakukan seks yang aman (dengan menggunakan kondom) dan hal ini

berpengaruh terhadap peningkatan infeksi HIV (Unicef Indonesia, 2012).

b. Transmisi Penularan
Transmisi penularan HIV berkaitan erat dengan etiologi seseorang terinfeksi

HIV. Berdasarkan studi literatur disebutkan beberapa transmisi penularan

HIV yakni: melakukan seks vaginal berisiko, melakukan seks anal berisiko,

transfusi darah berisiko, penggunaan jarum suntik berisiko, serta transmisi

perinatal dari ibu ke anak. Penelitian oleh Hutapea dkk pada klien VCT di

RSUD Baliage menunjukkan dari 145 sampel positif HIV AIDS proporsi

tertinggi terdapat pada kelompok dengan transmisi penularan melalui seks

vaginal berisiko yakni sebesar 66,6% (Hutapea dkk, 2012). Sedangkan

berdasarkan data Ditjen PP&PL Depkes RI menunjukkan dari seluruh

presentase kasus kumulatif HIV/IDS menurut faktor risiko sampai dengan

Desember 2007 terdapat 49,86% merupakan penggunanarkoba dengan jarum

suntik (Injecting Drug User), 41,86% melalui hubungan heteroseksual, 3,90%

melalui hubungan homoseksual, 2,59% transmisi perinatal, 1,70% melalui

transfusi darah, dan 2,59% tidak diketahui sebabnya (Ditjen PP&PL Depkes

RI, 2006). Data lainnya yakni dari Unicef Indonesia menunjukkan pada tahun

2011 menunjukkan terdapat prevalensi HIV sebesar 36% pada pengguna

narkoba suntik, 22% pada waria transgender, 10% pada perempuan pekerja

seks dan 8,5% pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki

(Unicef Indonesia, 2012).


18

c. Orientasi seksual
Orientasi seksual merupakan pola ketertarikan seksual emosional terhadap

laki-laki, wanita, keduanya, atau bahkan tidak kepada keduanya. Orientasi

seksual biasanya dikelompokkan menurut gender atau jenis kelamin yang

dianggap menarik dan dibagi atas heteroseksual, homoseksual, dan biseksual

(American Psychological Association, 2003). Penelitian oleh Hutapea dkk

menunjukkan dari 145 sampel positif HIV sebanyak 66,9% memiliki orientasi

heteroseksual (Hutapea dkk, 2012). Penelitian lainnya dilakukan oleh

Gangamma dkk mengenai risiko HIV pada pemuda pemudi gay, lesbian,

biseksual, dan heteroseksual yang tunawisma didapatkan data bahwa risiko

tertinggi HIV ditemukan pada kelompok lesbian dan wanita biseksual

(Gangamma dkk, 2008). Penelitian lainnya dilakukan oleh Laksana dan

Lestari yang membandingkan faktor risiko penularan HIV antara laki-laki

homoseksual dan heteroseksual didapatkan data diantara responden yang

pernah melakukan hubungan seksual, sebagian besar laki-laki homoseksual

memiliki partner hubungan seks lebih dari satu orang, yaitu 72,0% memiliki

lebih dari 1 partner. Pada kelompok laki-laki heteroseksual, sebagian besar

yakni 68,3% hanya memiliki satu orang partner hubungan seksual. Hal ini

berkaitan dengan lebih tingginya risiko pada kelompok laki-laki homoseksual

utnuk terkena HIV akibat kebiasaan berganti-ganti pasangan yang merupakan

faktor risiko untuk transmisi penularan HIV (Laksana&Lestari, 2010).

3. Faktor Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan merupakan hal mutlak yang harus tersedia di suatu di

negara. Karena tingkat pelayanan kesehatan berbanding lurus dengan derajat

kesehatan masyarakat dan memiliki pengaruh sebesar 20% terhadap derajat


19

kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan terdiri atas empat hal yakni dari

segi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Layanan kesehatan untuk

kasus HIV/AIDS sendiri telah dicanangkan pemerintah melalui Program

Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV dimana telah

mencakup keempat lini layanan kesehatan yakni promotif, preventif, kuratif,

dan rehabilitatif terdiri atas: kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor

risiko, layanan VCT, pencegahan penularan dari Ibu ke anak (PPIA),

pengurangan dampak buruk NAPZA, pencegahan penularan melalui donor

darah serta monitoring dan evaluasi surveilans epidemiologi di Puskesmas

(Harahap, www.kebijakanaidsindonesia.net). Melalui layanan kesehatan yang

memadai dan menyasar seluruh komponen masyarakat diharapkan dapat

mengurangi transmisi HIV/AIDS maupun untuk mengurangi stigma ODHA di

masyarakat.

4. Faktor Genetik
Faktor genetik berperan penting dalam transmisi HIV/AIDS sebab salah satu

etiologi dari infeksi HIV adalah transmisi perinatal yakni dari ibu ke anak,

dimana apabila seorang ibu telah terjangkit virus HIV dan kemudian

melahirkan bayi secara normal serta terjadi kontak cairan tubuh maka anak

tersebut juga akan terkena infeksi HIV (Saspriyana, 2013).

Anda mungkin juga menyukai