Anda di halaman 1dari 14

PAPER STUDIY CASE VIROLOGI

EFEKTIFITAS PENGGUNAN VAKSIN HEPATITIS B (HBV)


UNTUK MENURUNKAN PENYAKIT HEPATITIS

Oleh:

Nama : BIMA JUANDA SURBAKTI


NIM : 170602015

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SAMUDRA
2020

1
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan wilayah dengan penyakit tinggi hepatitis B, maka


vaksinasi hepatitis B merupakan solusi terbaik untuk mencegah penyakit ini. Kombinasi
hep B dengan DPwT (pertusis whole cell) = sel utuh dalam satu kemasan, memberikan
kenyamanan pada pasien dan memudahkan pelayanan kesehatan. Di samping
keuntungan ini, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) vaksin ini sangat perlu di
perhitungkan. Untuk mengetahui KIPI vaksin ini, dilakukan studi prospektif pada 74
bayi berumur 2-6 bulan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Jakarta antara Juli 2000 sampai
dengan Maret 2001. Bayi-bayi tersebut diberi 3 dosis vaksin kombinasi DPT dan hep B
(DPwT/hep B) dengan selang waktu beberapa minggu . Kartu observasi harian terhadap
gejala yang timbul selama 5 minggu pasca imunisasi diisi orangtua dan data
dikumpulkan pada kunjungan berikutnya. Umumnya KIPI timbul kurang dalam 72 jam
setelah pemberian vaksin. Frekuensi KIPI tersering adalah demam (58,8%) diikuti oleh
rewel (31,7%) dan demam tinggi (16,2%). Kejang umum timbul pada 1 kasus setelah
pemberian dosis pertama dan pada 1 kasus lain kejang disertai demam tinggi. Setelah
pemberian dosis ketiga pada kedua kasus tersebut, pasien mendapat antipiretik dan
kejang berhenti tanpa pengobatan anti kejang. Tidak ditemukan KIPI pada vaksin
DPwT/hep B yang memerlukan perawatan di rumah sakit. KIPI yang didapatkan
umumnya hanya bersifat sedang dan ringan. Penyakit hepatitis merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia.1
Hepatititis B kronik juga merupakan masalah kesehatan yang besar di Asia, dimana
terdapat sedikitnya 75% dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif menetap di
seluruh dunia.2 Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia
dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus hepatitis B kronis. Di Indonesia,
hepatitis B merupakan jenis hepatitis yang paling banyak menginfeksi (21,8%)
dibandingkan dengan jenis hepatitis lain tetapi orang-orang yang juga HBeAg positif
lebih infeksius karena darah mereka mengandung titer virus hepatitis B yang tinggi
(biasanya 10-109 virion / mL). Meskipun telah terdeteksi di beberapa cairan tubuh,
hanya serum, semen, dan air liur telah dibuktikan dapat menularkan. Virus hepatitis B
2
relatif stabil apa bila di lingkungan dan tetap dapat hidup >7 hari pada permukaan
lingkungan pada suhu kamar. Virus hepatitis B pada konsentrasi 102-3 virion / mL
dapat muncul pada permukaan lingkungan walaupun tidak terlihat adanya darah dan
masih dapat menyebabkan penularan.

Tingkat tertinggi HBsAg carrier dapat ditemukan di negara-negara berkembang


dengan fasilitas medis terbatas. Di daerah Afrika dan Asia, infeksi yang luas dapat
terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak. Tingkat HBsAg carrier keseluruhan mungkin
10 sampai 15%. Prevalensi adalah terendah di negaranegara dengan standar hidup
tinggi, seperti Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Skandinavia, dan beberapa negara
eropa lainnya. Di Amerika Serikat dan Kanada, bukti serologis infeksi sebelumnya
bervariasi tergantung pada usia dan kelas sosial ekonomi.7 Prevalensi hepatitis di
Indonesia pada 2013 adalah 1,2%, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007.8 Sebagai
perbandingan, prevalensi hepatitis B di Amerika Serikat berada pada angka 0,3%.

Vaksinasi merupakan salah satu cara paling efektif sebagai pencegahan terhadap
penyakit infeksi.13HBsAg adalah antigen yang digunakan untuk vaksinasi hepatitis B.
Vaksin antigen dapat dimurnikan dari plasma orang dengan infeksi virus hepatitis B
kronis atau diproduksi oleh teknologi DNA rekombinan. Vaksin yang tersedia di
Amerika Serikat menggunakan teknologi DNA rekombinan untuk mengekspresikan
HBsAg dalam ragi, yang kemudian dimurnikan dari sel-sel dengan teknik pemisahan
biokimia dan biofisik. Vaksin hepatitis B berlisensi di Amerika Serikat diformulasikan
untuk mengandung 10-40 mg protein HBsAg / mL. Sejak Maret 2000, vaksin hepatitis
B yang diproduksi untuk distribusi di Amerika Serikat tidak mengandung thimerosal
sebagai pengawet atau hanya mengandung komponen sisa.

Berdasarkan rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practice


(ACPI), vaksin hepatitis B dapat diberikan sebagai formulasi tunggal antigen dan juga
dalam kombinasi tetap dengan vaksin lainnya. Dua vaksin tunggal-antigen yang tersedia
di Amerika Serikat. Dari tiga vaksin kombinasi berlisensi, digunakan untuk vaksinasi
dari orang dewasa, dan digunakan untuk vaksinasi bayi dan anak-anak.

Vaksinasi hepatitis B menggunakan antigen HBsAg melalui teknologi DNA


rekombinan. Vaksin hepatitis dapat diberikan sebagai formulasi tunggal antigen dan

3
juga dalam kombinasi tetap dengan vaksin lainnya. Vaksinasi hepatitis B universal yang
dicantumkan ke dalam program imunisasi wajib nasional di beberapa negara
menunjukkan bahwa pemberian vaksin virus hepatitis B dapat secara efektif
menurunkan prevalensi hepatitis B di negara-negara tersebut pada 1-2 dekade
pascavaksinasi.

Berikut adalah PENGGUNAN VAKSIN HEPATITIS B (HBV) UNTUK


MENURUNKAN PENYAKIT HEPATITIS :

1. Pencegahan Transmisi secara Vertikal Hepatitis B: pada


Penggunaan Antivirus yang Antenatal

1.1 PENDAHULUAN

Pola transmisi hepatitis B bervariasi menurut prevalensi karier. Pada daerah


endemis seperti Asia Tenggara, Asia Timur dan Subsahara Afrika, metode transmisi
yang paling umum ditemukan adalah transmisi dari ibu ke bayi. Pada daerah endemis
ini, transmisi ibu ke bayi mencapai 25-30% dengan risiko infeksi mencapai 60% selama
kehidupan. Salah satu strategi pencegahan transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi adalah
imunoprofilaksis menggunakan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) dan vaksinasi
hepatitis B. Keberhasilan dari protokol imunoprofilaksis ini sangat baik, yaitu mencapai
95%. Namun, sekitar lima persen sisanya akan mengalami kegagalan imunoprofilaksis
dan akan menambah populasi hepatitis B kronik di Asia.1 Dengan demikian, usaha-
usaha yang bertujuan menurunkan jumlah virus hepatitis B ibu sebelum melahirkan
perlu dilakukan untuk mencegah transmisi vertikal hepatitis B terutama pada populasi
yang rentan terhadap kegagalan imunoprofilaksis.

1.1.1 PREVALENSI DAN MEKANISME TRANSMISI VERTIKAL


HEPATITIS B

4
Cheung, dkk.2 membagi mekanisme transmisi vertikal hepatitis B dalam tiga masa
kehamilan, yaitu: 1) saat konsepsi yang mana terjadi infeksi germ-line; 2) saat
kehamilan melalui kontaminasi darah materna maupun transmisi transplasenta; dan 3)
saat kelahiran melalui ruptur membran dan persalinan per vagina. Tingkat transmisi
melalui ketiga mekanisme tersebut berkaitan dengan status HBeAg positif dan kadar
Hepatitis B Virus (HBV) DNA yang tinggi (Cheung, 2000).

Korban yang transmisi perinatal mencapai 70-90% pada ibu dengan HBsAg positif
dan HBeAg positif tanpa adanya imunoprofilaksis.3,4 Transmisi ini terjadi karena
proses kelahiran, yaitu ketika terjadi mikrotransfusi atau terdapat kontak antara darah
ibu dan mukosa bayi saat kontraksi. Korioamnionitis, ancaman persalinan preterm dan
penggunaan alat bantu persalinan juga dapat meningkatkan risiko transmisi hepatitis B.2
Sementara itu, transmisi transplasenta jarang terjadi dan diperkirakan hanya berkisar 5-
15% dari seluruh kehamilan dengan hepatitis B. Hepatitis B e antigent (HbeAg)
merupakan struktur virus hepatitis B satu-satunya yang dapat menembus sawar darah
plasenta karena memiliki berat molekul yang kecil. Oleh karena terdapat reaksi silang
terhadap antigen e dan antigen c dalam pengenalan antigen, maka transfer HBeAg
melalui plasenta akan menyebabkan imunotoleransi fetus terhadap Hepatitis B core
Antigent (HbcAg). Hal inilah yang dapat menyebabkan infeksi hepatitis B kronik
setelah kelahiran (Law, 2001).

1.1.2 UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN TRANSMISI VERTIKAL

Pada pasangan serodiskordan, pasangan dengan HBsAg seronegatif harus


diberikan vaksin hepatitis B. Fertilisasi diinisiasi saat titer anti-HBs sudah terdeteksi
dalam jumlah yang cukup. Upaya untuk mengurangi kadar HBV DNA dengan mencuci
sperma tidak dibutuhkan bila pasangan sudah memiliki antibodi terhadap hepatitis B.
Bila wanita dengan HBsAg positif, maka neonatus harus menjalani protokol
imunoprofilaksis yang terdiri dari imunoglobulin hepatitis B yang diikuti vaksinasi
hepatitis B. Sekuens DNA hepatitis B dapat ditemukan pada sel spermatogoni,
spermatosit, spermatid dan sel sertoli. DNA virus juga dapat ditemukan pada cairan
ejakulat, baik dalam plasma atau sebagai DNA yang terintegrasi oleh leukosit yang
ditemukan dalam ejakulat. Hal ini masih memungkinkan terjadinya transmisi
paternofetal hepatitis B walaupun fertilisasi dilakukan dengan assisted procreation.

5
1.1.3 PERANAN ANTIVIRUS berupa Vaksin DALAM PENCEGAHAN
TRANSMISI VERTIKAL Hepatitis B

Buku pedoman European Association for the Study of the Liver (EASL) 25
menyebutkan bahwa pencegahan transmisi vertikal ditujukan terutama pada ibu hamil
dengan HBeAg atau dengan kadar HBV DNA sangat tinggi. EASL merekomendasikan
penggunaan lamivudin, tenofovir dan telbivudin pada trimester ketiga dan dihentikan
pada tiga bulan post partum. The Asian Pacific Association for the Study of the Liver
(APASL) 26 merekomendasikan lamivudin dan telbivudin pada trimester ketiga
kehamilan untuk mencegah transmisi vertikal hepatitis B pada ibu hamil dengan serum
HBV DNA tinggi. Pada konsensus penatalaksanaan hepatitis B yang diterbitkan oleh
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)27 disebutkan bahwa penggunaan antivirus
pada wanita hamil harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari terapi
tersebut. PPHI merekomendasikan pemberian antivirus pada ibu hamil dengan serum
HBV DNA lebih dari 106 IU/mL pada trimester ketiga untuk mencegah transmisi
vertikal atau pada kondisis dekompensasi hati berat.

1.2 KESIMPULAN

Pada daerah endemis diantaranya Asia Tenggara, transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi
mencapai 25-30% dengan risiko infeksi mencapai 60% selama kehidupan. Dengan
demikian, diperlukan upaya pencegahan transmisi tersebut dengan memperhatikan
kemungkinan kegagalan imunoprofilaksis. Imunoprofilaksis dinilai sebagai bagian
terpenting dalam pencegahan transmisi vertikal hepatitis B dan konsekuensinya.
Beberapa antivirus yang dapat digunakan dalam upaya pencegahan tersebut diantaraya
yatu lamivudin, telbivudin dan tenofovir.

1.2 PENGUJIAN Efektivitas Vaksinasi Hepatitis B untuk Menurunkan


Prevalensi Hepatitis B Secara bertahap

1.2.1 PENDAHULUAN

6
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat di negara
berkembang dan maju di dunia, termasuk di Indonesia. Hepatititis B kronik juga
merupakan masalah kesehatan yang besar di Asia, dimana terdapat sedikitnya 75% dari
seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif menetap di seluruh dunia. Virus hepatitis B
telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan
pengidap virus hepatitis B kronis. Di Indonesia, hepatitis B merupakan jenis hepatitis
yang paling banyak menginfeksi (21,8%) dibandingkan dengan jenis hepatitis lain tetapi
orang-orang yang juga HBeAg positif lebih infeksius karena darah mereka mengandung
titer virus hepatitis B yang tinggi (biasanya 10-109 virion / mL).

Infeksi virus hepatitis B ditularkan melalui penularan horizontal dan vertikal.4 Virus
hepatitis B dapat ditularkan melalui perkutan (misal, tusukan yang melalui kulit) atau
mukosa (misal, kontak langsung dengan membran mukosa) paparan darah infeksius
atau cairan tubuh yang mengandung darah.

Vaksinasi merupakan salah satu cara paling efektif sebagai pencegahan terhadap
penyakit infeksi.13 HBsAg adalah antigen yang digunakan untuk vaksinasi hepatitis B.
Vaksin antigen dapat dimurnikan dari plasma orang dengan infeksi virus hepatitis B
kronis atau diproduksi oleh teknologi DNA rekombinan. Vaksin yang tersedia di
Amerika Serikat menggunakan teknologi DNA rekombinan untuk mengekspresikan
HBsAg dalam ragi, yang kemudian dimurnikan dari sel-sel dengan teknik pemisahan
biokimia dan biofisik. Vaksin hepatitis B berlisensi di Amerika Serikat diformulasikan
untuk mengandung 10-40 mg protein HBsAg / mL. Sejak Maret 2000.

Vaksin hepatitis dapat diberikan sebagai formulasi tunggal antigen dan juga dalam
kombinasi tetap dengan vaksin lainnya. Vaksinasi hepatitis B universal yang
dicantumkan ke dalam program imunisasi wajib nasional di beberapa negara
menunjukkan bahwa pemberian vaksin virus hepatitis B dapat secara efektif
menurunkan prevalensi hepatitis B di negara-negara tersebut pada 1-2 dekade
pascavaksinasi yang terkena hepatitis

1.3 Biosintesis dengan menggunakan Antigen Permukaan Hepatitis B


“HBsAg100” pada bakteri Escherichia coli dalam Rangka Memproduksi

7
Protein Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan
Antibodi Rekombinan

1.3.1 PENDAHULUAN

Biosintesis protein rekombinan melalui Escherichia coli memberikan alternatif


untuk menghasilkan protein antigen yang bermanfaan bagi kepentingan kesehatan yang
bebas dari protein manusia. Penelitian ini menggabungkan fragmen DNA dari antigen
permukaan virus Hepatitis B dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase
(GST) di dalam plasmid p GEX-4T-2 yang di ekspresikan di dalam sel-sel Escherichia
coli. Polypeptida dengan berat molekul sekitar 34,8 kDa telah diproduksi dan
diidentifikasi sebagai protein gabungan GST-HB100. Protein gabungan tersebut
kemudian dimurnikan menggunakan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum
HiTrap. Selanjutnya, protein hasil pemurnian tersebut diharapkan bisa digunakan
sebagai bahan vaksin atau untuk menghasilkan antibodi.

Prevalensi infeksi Virus Hepatitis B di Indonesia, seperti halnya Negara-negara


berkembang pada umumnya, adalah termasuk sedang sampai tinggi (Soewignjo dan
Mulyanto, 1984). WHO telah menghimbau segera melaksanakan usaha pencegahan.
Pengobatan terhadap penderita penyakit hepatitis B pencegahan melalui vaksinasi
merupakan tindakan yang lebih tepat. Vaksinasi secara besar-besaran dinilai efektif
untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia
menjadikan Pulau Lombok sebagai model immunisasi massal hepatitis B pertama di
dunia. Hal ini disebabkan karena tingkat endemik penyakit tersebut di Pulau Lombok
paling tinggi. Hasil proyek percontohan tersebut cukup menggembirakan sehingga
pemerintah mulai memperluas program immunisasi ke 4 propinsi yang lain di tahun
1999 dan kemudian ke 6 propinsi yang lainnya lagi pada tahun 2000. Saat ini
pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan vaksinasi hepatitis B untuk balita ke
dalam Program Pengembangan Imunisasi (Extended Program of Immunization).
Vaksin konvensional tersebut berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak
mampu menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik yang mampu
melawan virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia (Joung et al., 2004). Selain itu,
keberhasilan program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang akan menjadi
sumber vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada semakin terbatasnya

8
darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin. Sehingga produksi vaksin hepatitis
B dengan menggunakan plasma semakin sulit dilakukan. Kekhawatiran terhadap adanya
kontaminan pada darah terutama oleh virus berbahaya seperti HIV, menimbulkan
kekhawatiran tersendiri untuk menggunakan vaksin yang bersumber dari plasma
tersebut (Joung et al., 2004).

1.3.1 HASIL

Hasil ekspresi protein dari E. coli inang dapat dilihat pada Penampakan pita protein
target diperjelas dengan melakukan pengenceran sampel 10x. Hasil SDS-PAGE
menunjukkan bahwa protein rekombinan diproduksi paling banyak oleh E. coli BL21.
Hal ini terlihat dari pita protein target pada penggunaan inang tersebut paling tebal.
Pemisahan terhadap hasil sonikasi untuk mengetahui bahwa protein rekombinan yang
dihasilkan dalam bentuk terlarut (soluble), menggunakan sentrifugasi dan filterisasi
dengan filter ukuran 0,22 µm. Kelarutan protein rekombinan ini sangat penting untuk
mempermudah proses pemurnian. Hasil yang diperoleh baik larutan maupun pelet
dimasukkan ke dalam gel akrilamid. Kelarutan dari protein rekombinan yang dihasilkan
diperlihatkan oleh adanya pita-pita protein target pada bagian supernatan. Sebaliknya
dengan hasil SDSPAGE dari pelet bakteri yang tidak memperlihatkan adanya pita-pita
dari protein target menjadi indikator bahwa protein rekombinan tersebut berada dalam
bentuk tak larut (insoluble). Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan
dengan menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri
inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak plasmid,
sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum terlihat intensitas pita protein
cukup tinggi. Hal ini antara lain disebabkan oleh fusi dengan gluthathion-S-transferase
(GST). Maeng et al. (2001) yang melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara
parsial diikuti dengan menggabungkan gen tersebut (fusi) dengan gen penyandi enzim
gluthation-Stransferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi dan kelarutan antigen
permukaan hepatitis B pre-S2 pada E. coli menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang digabung dengan GST. Berbagai macam affinity
tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan untuk meningkatkan ekspresi dan
memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan. Hasil pemurnian fusi HB-100 dan GST
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah

9
pemurnian relatif murni dan dalam jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam
aplikasi (assay) selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Plasmid pGEX-HB100 berhasil diekspresi baik pada bakteri E. coli BL21 maupun E.
coli DH5α. Namun ekspresi pada bakteri E. coli BL21 menghasilkan protein
rekombinan lebih tinggi. Protein rekombinan GST-HB100 yang telah diekspresikan
oleh E. coli tersebut berhasil dipurifikasi.

1.4 HUBUNGAN POLIMORFISME GEN TLR 9 (RS5743836) DAN TLR 2


(RS3804099 DAN RS3804100) UNTUK PEMBENTUKAN ANTI-HBS
PADA ANAK PASCA TERKENA VAKSINASI HEPATITIS B

1.4.1 PENDAHULUAN

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus sampai tinggi (3-17%), dan menjadi
negara ke 3 Asia hepatitis B (VHB) sampai saat ini masih merupakan yang penderita
hepatitis B kroniknya paling banyak. masalah kesehatan dunia, karena dapat
mengakibat- Vaksinasi merupakan strategi paling efektif dan kan penyakit hati serius
mulai dari hepatitis fulminan aman untuk mengendalikan serta eradikasi infeksi VHB.
sampai karsinoma hepatoselular. Diperkirakan sekitar 2 Indonesia telah melaksanakan
pemberian vaksinasi miliar penduduk dunia pernah terinfeksi virus hepatitis hepatitis B
secara rutin dalam Program Pengembangan B, dan 360 juta orang sebagai pengidap
(carier) HBsAg Imunisasi (PPI) sejak tahun 1992. dan 220 juta (78%) diantaranya
terdapat di Asia. Lima Vaksin Hepatitis B yang digunakan saat ini berasal ratus ribu
hingga 750 ribu orang diduga akan meninggal.

Penelitian Yuwono di Bandung, melaporkan setelah mendapat vaksinasi hepatitis


B 3 kali pemberian, serokonversi terhadap anti-HBs pada bayi yang lahir dari ibu
nonkarier sekitar 60,6%, dan serokonversinya meningkat sekitar 63,2% pada bayi yang
lahir dari ibu karier dan nonkarier. Penyebab terjadinya kegagalan terbentuknya respon
imun atau nonrespons pascavaksinasi hepatitis B, dapat berasal dari faktor
kualitas/kuantitas vaksin atau dari faktor penjamunya sendiri. Faktor yang berhubungan
dengan vaksin seperti cara penyimpanan, dosis, jadwal dan cara/lokasi pemberian serta
adjuvan yang dipakai. Faktor penjamu seperti penyakit imunodefisiensi, malnutrisi,
10
sedang mengkonsumsi obat kortikosteroid, mutasi dari virus, bahkan ditemukan adanya
kelainan faktor genetik atau kegagalan respon imun penjamu. Antigen (vaksin HB atau
VHB) yang masuk tubuh akan dipresentasikan oleh antigen precenting cells (APC)
kepada sel T helper (CD4) spesifik yang mengenali kompleks molekul HLA II dan
peptida HbsAg pada permukaan APC.11 Hasil penelitian Jafarzadeh, dkk 2003, bahwa
kegagalan terbentuknya respon antibodi terhadap vaksin hep B karena adanya disfungsi
dari APC dan defek pada sel T. Penelitian Ryckman, dkk, respon imun terhadap
vaksinasi hepatitis B berhubungan dengan haplotype 3 SNP (rs353644,
rs353630,rs7937602) lebih signifikan dari pada dihubungkan dengan lokus tunggal, dan
menjelaskan bahwa haplotype merupakan prediksi terbaik untuk melihat hubungan
dengan titer anti-HBs daripada marker genotype. Dikatakan bahwa analisis haplotype
dapat melihat hubungan antar gen yang tidak dapat ditemukan dengan analisis genotip.

1.5 Penggunan Vaksinisasi HBV terhadap penyakit Hepatitis

Penyakit hepatitis B merupakan penyakit terkena pada organ hati atau liver yang
diakibatkan oleh adanya infeksi virus hepatitis B. Penularan virus hepatitis B dapat
terjadi melalui kontak cairan tubuh penderita seperti darah dan kontak seksual tanpa
pengaman.  Kontak darah bisa terjadi melalui  penggunaan jarum suntik bergantian,
terkontaminasi dengan darah pada luka terbuka, ketika melakukan tatto dengan alat
tidak steril, alat cukur, dan transfusi darah yang tidak steril. Termasuk pula penularan
dari ibu yang terinfeksi hepatitis B kepada anak saat persalinan (penularan vertikal).
Hepatitis B tidak ditularkan melalui air liur.

Ketika seseorang terinfeksi hepatitis B untuk pertama kali, gejala baru bisa muncul
setelah 2 hingga 5 bulan (masa inkubasi). Gejala awal hepatitis B termasuk demam,
lemas, kehilangan nafsu makan, diare, mual, dan perut terasa tidak nyaman. Gejala bisa
berlanjut dengan kulit dan selaput mata  berwarna lebih kekuningan, dan air kencing
berwarna seperti teh. Berbeda dengan hepatitis A yang pada umumnya akan sembuh
dengan baik dan tidak menyebabkan komplikasi penyakit hati kronis, penyakit hepatitis
B menjadi permasalahan yang sangat serius. Virus hepatitis B dapat berkembang

11
menjadi penyakit kronis dan sangat berpotensi untuk menyebabkan penyakit sirosis
(pengerasan hati) dan kanker hati.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, diperkirakan sejumlah 28


juta masyarakat Indonesia terkena hepatitis B dan C. Dari yang terinfeksi hepatitis B
dan C, 14 juta orang diperkirakan berpotensi berlanjut menjadi penderita kronis dan 1.4
juta berpotensi menjadi pengidap kanker hati. Dari tahun 2007 hingga 2013, dikatakan
terjadi peningkatan 2 kali lipat kejadian hepatitis B maupun C yang dapat menjadi
permasalahan serius akibat komplikasi yang ditimbulkan.

Vaksin hepatitis B menjadi salah satu jenis vaksin wajib dari pemerintah yang
dicanangkan dalam program imunisasi dasar lengkap. Diawali pada tahun 1987,
pemerintah Indonesia memulai membuat sebuah pilot project selama 10 tahun (1987-
1997) untuk melakukan vaksinasi hepatitis B pada bayi yang dimulai dari provinsi NTB
dan kemudian berlanjut ke provinsi lainnya. Pada April 1997, pemerintah menetapkan
agar vaksinasi hepatitis B termasuk dalam imunisasi dasar lengkap dan menjadi
program imunisasi nasional.

Melihat dari sejarah vaksinasi hepatitis B di Indonesia, tahun pertama kali diadakan
program imunisasi hepatitis B secara nasional adalah pada tahun 1997. Kelahiran
sebelum tahun tersebut mungkin saja sudah mendapatkan vaksin hepatitis B, namun
mungkin saja juga belum.  Dr. Wirajaya SpPd menyarankan agar Anda dan orang tua
Anda yang tidak mengetahui secara pasti mengenai hal ini, untuk memeriksakan darah
Anda dan berkonsultasi dengan dokter Anda agar dapat mengetahui dengan pasti
apakah telah memiliki kekebalan tubuh terhadap hepatitis B.

Selain itu, sangat disarankan bagi Anda yang berisiko tinggi tertular virus hepatitis B
untuk melakukan vaksin hepatitis B. Berikut ini adalah orang dengan risiko tinggi untuk
tertular hepatitis B:

 Seseorang yang dapat secara aktif seksual (multipartner)

 Dalam masa pengobatan penyakit menular seksual

 Homoseksual/biseksual

12
 Pengguna obat-obatan terlarang dengan jarum suntik

 Tinggal bersama dengan seseorang yang terinfeksi hepatitis B

 Bekerja di fasilitas kesehatan

 Penderita penyakit ginjal kronis dengan pengobatan hemodialisis (cuci darah)

 Wisatawan yang berkunjung ke daerah dengan angka infeksi hepatitis B yang


tinggi

 Penderita penyakit hati kronis

 Penderita infeksi HIV AIDS

 Penderita diabetes usia 19- 59 tahun, dan dipertimbangkan pada usia 60 tahun ke
atas

 Seluruh orang yang belum mendapatkan vaksin hepatitis B 

Dengan pemberian vaksin hepatitis B sebanyak 3 kali (suntikan pertama kali pada usia
berapapun dan dilanjutkan pada 4 minggu kemudian dan bulan ke-6 dari awal
pemberian suntikan), akan menghasilkan proteksi terhadap hepatitis B sebanyak lebih
dari 90% pada orang dewasa sehat.

Terinfeksi penyakit hepatitis B menjadi permasalahan yang sangat serius. Penderita


hepatitis B memiliki risiko berkembangnya penyakit ini menjadi penyakit hati kronis
yang menyebabkan penyakit sirosis (pengerasan hati) dan kanker hati sehingga
membahayakan nyawa dan terancam kematian. Anda dapat mencegahnya dengan cara
yang mudah: Lakukanlah vaksinasi secara bertahap yang terkena secara rutin
melakukan vaksinisasi

13
14

Anda mungkin juga menyukai