Anda di halaman 1dari 12

BAB I

KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik pada manusia yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun
dan disebabkan oleh kuman kusta ( mycobacterium leprae ) yang menyerang syaraf
tepi, kulit, mukosa mulut, sistem endotelial, mata, otot, tulang dan testis dan jaringan
tubuh lainnya (Depkes RI ).
Menurut World Health Organization(WHO) Morbus Hansen merupakan salah
satu dari tujuh belas penyakit tropis yang terabaikan dan membutuhkan perhatian
khusus.
B. ETIOLOGI
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler,
menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian
atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M.
leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau
kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana
dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya
ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman
ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
C. PATOFISIOLOGI
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah
tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasiyang sedikit.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila

1
kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit
darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak
mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan
kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak
bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak
segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitar. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas
infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk
bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan
(erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan ( paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada
penderita yang meragukan dapat dilakukan.pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita
yang dicurigai.

2
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai
berikut:
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan
bilaperlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
1) Tidak menyenangkan pasien
2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
3) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
i. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan
BTA dalam sediaan hapus.IB digunakan untuk menentukan tipe kusta

3
dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut
skala logaritma RIDLEYsebagai berikut :0 : Bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan
pandang2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang3 : Bila 1-10
BTA dalam ratarata 1 lapangan pandang4 : Bila 11-100 BTA dalam
rata-rata 1 lapangan pandang5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang.
j. Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh
terhadap seluruh BTA. IMdigunakan untuk mengetahui daya
penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat.
F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan
mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln
diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi
dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln
diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan

4
petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.
DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif
dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan
dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c. Dosis untuk anak  Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
d. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
2. Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu
keadaan reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
1) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
2) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
3) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa

5
1) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
2) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
3) Keadaan basah diolesi minyak
4) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
5) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
6) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
1) Penderita memeriksa kaki tiap hari
2) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
3) Masih basah diolesi minyak
4) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
5) Jari-jari bengkok diurut lurus
6) Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
1) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
2) Luka dibalut agar bersih
3) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
4) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

a. Kulit halus dan berminyak


b. Tidak ada kulit tebal dan keras
c. Luka dibungkus dan bersih
d. Jari-jari bengkak menjadi kaku

6
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

KASUS

Tn.J umur 55 tahun, datang kerumah sakit mengeluh adanya benjolan kemerahan pada
bagian tubuh dan mengeluh tangan dan kakinya mati rasa serta mengalami kelemahan otot
yang diawali rasa sedikit nyeri pada lokasi-lokasi yang saat ini mati rasa. Hal ini telah
dirasakan sejak satu bulan terakhir. Pada bagian tubuh Tn. J terdapat lesi serta benjolan-
benjolan kemerahan di bagian wajah, badan, tangan, dan kaki. Setalah dilakukan kultur
jaringan kulit, ternyata ditemukan kuman tahan asam (BTA Positif), kulit terasa kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Selain itu saat melakukan aktivitas klien harus dibantu oleh
keluarganya, dan perawatan diri klien dibantu oleh orang lain karena sulit untuk bergerak.
Dokter mendiagnosa terkena penyakit morbus hensen. Didapatkan tanda vital TD :
120/80mmHg, Nadi : 85x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,5℃.

A. Pengkajian
Analisa Data

Symtom Etiologi Problem


Ds : Morbus hansen (kusta) Kerusakan integrasi kulit
- Klien mengatakan ada
Neuropati perifer
benjolan-benjolan
Kerusakan jaringan tubuh
kemerahan dibagian tubuh
Do : Inflamasi pada kulit
- Terdapat lesi,serta benjolan-
Terdapat lesi, kulit kering, dan
benjolan kemerahan di pecah-pecah.
bagian wajah, badan,
Kerusakan jaringan barrier
tangan, dan kaki. kulit
- kulit terasa kering, tebal,
tebal, mengeras, dan pecah-
pecah.
- kultur jaringan kulit,
ditemukan kuman tahan
asam (BTA Positif).
- tanda vital TD :

7
120/80mmHg, Nadi :
85x/menit, RR : 20x/menit,
Suhu : 36,5℃.
Ds : Morbus hansen (kusta) Intoleransi Aktivitas
- mengeluh tangan dan
Saraf Motorik
kakinya mati rasa serta
Kelemahan otot
mengalami kelemahan otot
yang diawali rasa sedikit Kontraktur otot dan sendi
nyeri pada lokasi-lokasi yang
Gangguan aktivitas
saat ini mati rasa.
Do :
- Selain itu saat melakukan
aktivitas klien harus dibantu
oleh keluarganya,
- Perawatan diri klien dibantu
oleh orang lain karena sulit
untuk bergerak.
- Tanda vital TD :
120/80mmHg, Nadi :
85x/menit, RR : 20x/menit,
Suhu : 36,5℃.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer ditandai dengan :
Ds : Klien mengatakan ada benjolan-benjolan kemerahan dibagian wajah, badan,
tangan dan kaki.

Do : Terdapat lesi, kulit terasa kering, tebal, mengeras, dan pecah-pecah. kultur
jaringan kulit, ditemukan kuman tahan asam (BTA Positif). Tanda vital TD :
120/80mmHg, Nadi : 85x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,5℃.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot ditandai dengan :


Ds : mengeluh tangan dan kakinya mati rasa serta mengalami kelemahan otot yang
diawali rasa sedikit nyeri pada lokasi-lokasi yang saat ini mati rasa.

8
Do : Selain itu saat melakukan aktivitas klien harus dibantu oleh keluarganya,
Perawatan diri klien dibantu oleh orang lain karena sulit untuk bergerak. Tanda vital
TD : 120/80mmHg, Nadi : 85x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,5℃.

C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Kep Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


Kerusakan integritas setelah dilakukan asuhan keperawatan Perawatan Kulit :
kulit berhubungan 3 X 24 jam diharapkan kerusakan Pengobatan Topikal
dengan neuropati integritas kulit dapat berkurang a. Bersihkan dengan sabun
perifer ditandai dengan kriteria hasil : antibakteri dengan tepat
dengan ds,do. integritas jaringan : kulit & b. Pakaikan pasien pakaian
membran mukosa yang longgar
indikator Awal Hasil c. Jangan menggunakan alas
Lesi pada Sangat Cukup kasur yang bertekstur kasar
kulit terganggu terganggu
Integritas Sangat Cukup d. Jaga alas kasur tetap bersih,
kulit terganggu terganggu dan kering
Eritema Sangat Cukup
terganggu terganggu e. Mobilisasi pasien setidaknya
setiap 2 jam atau menurut
jadwal tertentu
f. Berikan anti inflamasi topikal
untuk kulit dengan tepat.
g. Periksa kulit setiap hari bagi
pasien yang berisiko
mengalami kerusakan kulit
Kontrol Infeksi
a. Anjurkan pasien dan
pengunjung untuk mencuci
tangan dengan tepat.
b. Gunakan sabun antimikroba
unuk cuci tangan yang sesuai
c. Pastikan perawatan luka yang
tepat.
d. Ajarkan pasien dan angggota
keluarga pasien mengenai

9
bagaimana cara menghindari
infeksi.
Pemberian obat ; kulit
a. Ikuti prinsip 5 benar
pemberian obat.
b. Catat riwayat medis dan
riwayat alergi pasien
c. Tentukan kondisi kulit pasien
di area yang akan diberikan
obat.
d. Monito adanya efek samping
lokal dan sistemik dari
penobatan
e. Ajarkan dan monitor teknik
pemberian mandiri, sesuai
kebutuhan.
Intoleransi aktivitas setelah dilakukan asuhan keperawatan Terapi latihan : kontrol oto
berhubungan dengan 3 X 24 jam diharapkan dapat a. Tentukan kesiapan pasien
kelemahan otot melakukan aktivitas harian dan untuk terlibat dalam aktivitas
ditandai dengan kelemahan oto berkurang dengan atau protokol latihan
kriteria hasil ; b. Kolaborasi dengan ahli terpi
Toleransi Terhadap aktivitas fisik, okupasional, dan
indikator Awal Hasil rekreasional dalam
Kemudahan Sangat Cukup mengembangkan dan
dalam tergangg terganggu
melakukan u menerapkan program latihan
Aktivitas sesuai program
Hidup
harian c. Jelaskan protokol dan
(ADL) rasionalisasi latihan pada
pasien dan keluarga.
Daya tahan
d. Urutkan aktivitas perawatan
indikator Awal Hasil
Aktivitas Sangat Cukup harian untuk meningkatkan
fisik terganggu terganggu efek dari terapi latihan
Daya tahan Sangat Cukup
otot terganggu terganggu e. Latih pasien untuk melihat
bagian yang sakit ketika

10
melakukan ADL atau
lataihan.
f. Berikan petunjuk langkah
demi langkah untuk setiap
aktivitas motorik selama
latihan atau ADL
g. Masukan kegiatan sehari-hari
dalam protokol latihan
h. Dorong pasien untuk
mempraktikan latihan secara
mandiri, sesuai indikasi
i. Evaluasi perkembangan
pasien terhadap peningkatan
atau restorasi fungsi dan
pergerakan tubuh.
Manajemen Energi
a. Monitor intake/ asupan
energi untuk mengetahui
sumber energi yang adekuat
b. Kolaborasi dengan ahli gizi
mengenai cara peningkatan
energi melalui makanan
c. Lakukan ROM pasif/ aktif
untuk menghilangkan
ketegangan otot.
d. Bantu pasien untuk
menjadwalkan periode
istirahat.
e. Evaluasi secara bertahap
kenaikan level aktivitas
pasiien

DAFTAR PUSTAKA

11
Herdman T. Heather, Kamitsuru Shigemi. 2017 “NANDA-I Diagnosa Keperawatan
Definisi dan klasifikasi 2018-2020 Ed. XI” EGC : Indonesia
Mayasari,Reza,dkk. 2019.Diagnosis Klinis Morbus Hansen Tipe Mid Borderline (BB)
dengan Gambaran Histopatologis Morbus Hansen Tipe Borderline Tuberculoid
(BT):.Volume 6. No.3
Mansjoer, Arif, 2000, “Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III” media Aeuscualpius :
Jakarta.
Nurarif Amin Huda, Kusuma hardhi. 2015 “ Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosis medis NANDA & NOC-NIC Jilid 2 “ Media Action : Jogjakarta
Nurjannah Intisari, Tumanggor Roxsana Devi. 2016 “Nursing Outcomes Classification
(NOC) Ed. V “ Elsevier : Indonesia
Nurjannah Intisari, Tumanggor Roxsana Devi. 2016 “Nursing Interventions
Classification (NOC) Ed. VI “ Elsevier : Indonesia

12

Anda mungkin juga menyukai