Anda di halaman 1dari 4

“ZARATHUSTRA SCHOOL”

(Dialektika pencerahan: Jalan Pinggir Menuju Kebenaran)

 Sebuah Alasan

Dewasa ini, kehidupan sosial mengalami kevakuman dialektika yang berisi bernas. Dunia
kampus kini seolah serentak mengalami kesunyian. Sudut-sudut kampus, ruang-ruang kelas kini
hening dari diskusi-diskusi keilmuan sebagai ciri khas mahasiswa. Keheningan ini mungkin saja
menjadi keuntungan bagi pihak-pihak tertentu, birokrat kampus contohnya atau bahkan
pemerintah dalam sekala luas. Padahal kampus sebagai perguruan tinggi “memiliki peran
strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan”
(Konsiderans UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi). Maka selayaknya masyarakat
kampus dibiasakan dengan dialektika keilmuan dengan berbagai macam warna dan corak,
sehingga kelak ia tidak menjadi orang yang memiliki pandangan simplistik dan picik.

Pada beberapa fenomena lainnya, mahasiswa kini beralih pada kajian-kajian yang non
akademis, sehingga membatasi gerak pikiran lalu menutup kemungkinan dialog dengan pihak
lainnya. Nalar ini kian menganggu sebab beberapa anak muda mulai memfinalkan kebenaran,
lalu memandang sinis terhadap pihak lainnya yang tidak sepaham dengan mereka. Ruang
akademik yang penuh kebebasan kini mulai membentuk pagar-pagar besi atau ranjau disana sini
untuk menjebak mereka yang membahayakan (kritis). Teringat ungkapan Feuerbach yang
dikutip oleh Budi Hardiman dalam bukunya Filsafat Modern. “Taka da yang lebih tajam menilai
daripada orang yang tidak terdidik, dia tak tahu argumen maupun argumen kontra, namun selalu
percaya bahwa dirinya benar”.

Ungkapan tersebut hari ini tidak hanya untuk masyarakat awam yang tidak terdidik, bahkan
menyasar pula masyarakat yang terdidik sekalipun. Diwilayah kampus beberapa mahasiswa
seringkali menolak dialog demi menjaga kebenaran yang dia yakini, sebab menurutnya bila
keyakinan ini kerapkali dibenturkan akan berakibat hilangnya keimanan. Tidak heran bila
masyarakat awam umumnya menjadi semakin terkotak-kotak dan reaktif bila berhadapan dengan
keyakinan yang berbeda.
Disisi lain, masyarakat umumpun seringkali ikut terlibat dengan diskursus yang diadakan
kampus. Keterlibatan mereka tidak dengan bentuk dukungan melainkan dengan tindakan anarkis,
demonstrasi dan segala macamnya. Padahal kampus memang selayaknya melakukan diskusi
yang luas, dengan tema-tema yang problematis, namun hal itu tidak mampu dibendung akibat
didalam kampus-pun telah mengalami stagnasi pikiran. Sehingga fenomena reaksioner dan
anarkis semakin hari semakin mengkhawatirkan, contoh pada 9 Mei 2017, DEMA IAIN
Surakarta mengadakan bedah buku Islam Tuhan Islam Manusia yang diisi langsung oleh
penulisnya. Diskusi tersebut mendapat respon yang negatif dari masyarakat, termasuk ANNAS
(Aliansi Nasional Anti Syiah). Meskipun diskusi tersebut tetap berjalan dengan penjagaan ketat
dari pihak Polisi dan TNI.

Pada zaman Orde Baru, mahasiswa begitu aktif membentuk forum-forum diskusi kecil
sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme Suharto. Bahkan tak jarang mahasiswa kala
itu diburu oleh aparat karena mengancam stabilitas negara. Mahasiswa pada masa itu tumbuh
dibawah tekanan dan ancaman, sehingga pikiran mereka terlatih untuk menganalisis peristiwa
dengan tanggap dan cepat, tidak dengan hari ini. Kemegahan mahasiswa pada masa itu kini
hanya menjadi cerita, mengutip ungkpan KH. Zawawi Imron mungkin kita hanya mendapatkan
‘abu’ sejarah bukan ‘api’nya.

 Sebuah Ikhtiar

Kini kita membutuhkan sebuah lingkungan yang memiliki perhatian yang sama sehingga
tercipta sebuah gerakan yang rill terhadap diri peribadi atau masyarakat luas pada umumnya.
Zarathustra School ini dilahirkan melalui sebuah diskusi yang panjang, dari pikiran pikiran yang
gelisah dengan berbagai fenomena yang terjadi sebagaiman yang telah disebutkan diatas.
Gerakan ini diniatkan untuk menajamkan pikiran dan membiasakan perbedaan pendapat dengan
berbagai argumen yang berbeda bukan dengan sentimen personal, ras atau golongan.

Zarathustra yang dimaksudkan adalah tokoh imajinatif didalam buku akbar Friedrich
Nietzsche yaitu Thus Spoke Zarathustra. Pada awalnya, Zarathustra adalah orang suci diantara
manusia pada saat itu, banyak kalangan yang menyebutnya sebagai Nabi. Namun ia sendiri tidak
pernah menganggap dirinya suci bahkan Nabi. Namun para pengikutnya mengagungkan
ketinggian dirinya, dan dikemudian hari muncul gerakan ekstreem dan membuat institusi
keagamaan yang diberi nama Zoroaster.

Zoroaster membawa sebuah ajaran bahwa alam semesta terbagi dari dua kekuatan yang terus
menerus saling tarik menarik, siang dan malam, hitam dan putih, baik dan buruk, gelap dan
terang serta banyak kekuatan lainnya. Sedangkan manusia berada diantara keduanya. Zarathustra
memahami itu sebagai kekuatan para dewa yaitu Ahura mazda yang mewakili kebaikan dan
ahriman mewakili prinsip kejahatan. Yang kelak disimbolkan kedalam Api yang
merepresentasikan dua kekuatan tersebut.

Begitulah Zarathustra pada mulanya yang nantinya dijadikan tokoh imajinatif oleh Nietzsche
didalam menjelaskan dan mengkampanyekan filsafatanya, melalui Zarathustra, seorang petapa,
ia berbicara pada manusia untuk mewujudkan seorang Adimanusi (Ubermansh). Dalam Ecce
Homo Zarathustra menyebutkan sebua alasan filosofis dari tokoh tersebut. Bahwa menurutnya
zarathustralah yang pertama kali melihat bahwa pertempuran antara baik dan jahat itu adalah
roda yang menggerakkan segalanya.

Pada Zarathustra kita ingin bercermin bagaiman ia menciptakan sebuah kesalahan maut,
menurut Nietzsche. Karena ia memperlihatkan ketidakwajaran pada dunia, namun yang
terpenting bahwa ia telah berbuat jujur, karena moralitas menampakkan dirinya melalui
kejujuran dengan menjadi kebalikannya, menjadi aku. “Dunia adalah kehendak untuk berkuasa
dan tidak ada yang lainnya! Kaulah kehendak untuk berkuasa ini dan tidak ada yang lainnya”.

Nietzsche ingin menciptakan manusia yang merdeka, bebas tanpa memakan hak orang lain.
Ia mengajarkan perdamaiaan dan interaksi sosial tanpa memakan hak orang lain, seperti seorang
seniman. Untuk bebas dan eksis, kita harus memiliki pengetahuan. Jika tidak maka kita akan
rentan untuk dimanipulasi dan diperbudak oleh orang lain. Melalui Zarathustra kita juga
diajarkan untuk mencintai kehidupan, bagaimanapun bentuk hidup kita, seperti Nietzsche dengan
dalilnya Amor Fati.

Realitas seringkali diselimuti oleh kabut kebohongan, tidak banyak orang sadar, kalaupun
ada orang yang tersadar munkin ia diam. Begitulah zarathustra hadir menjadi seseorang yang
meretas kebohongan, membuka mata yang selama ini tertutup rapat. Pada salah satu aforismanya
di dalam buku Berhala dan Anti Krist iya meneriakkan bahwa didinuia ini lebih banyak berhala
dibandingkan realitas. Sehingga tidak heran kita menjadi manusia yang tidak otentika, ragu-ragu
dan penuh ketakutan hingga ia dengan tegas mendeklarasikan terbunuhnya Tuhan oleh tangan
kita sendiri. Sebab bila Tuhan ada manusia harus mati dan jika manusia ada Tuhan haruslah mati
juga. Sebab salah satu akan menjadi kehilangan otentisitas jika keduanya hidup.

 Sebuah Tujuan Bukan Akhir

Sebuah dermaga terakhir yang diinginkan oleh Nietzsche adalah terlahirnya seorang
Adimanusia, yang merdeka, yang berkuasa atas dirinya sendiri. Kurang lebih itulah yang kita
inginkan melalui Limitid Group ini. Sebagaimana ungkpan Tan Malaka yang populer ‘Terbentur
Terbentur Terbentuk’. Membentuk seorang individu tidak akan pernah mudah, akan melewati
perjuangan dan pertarungan yang amat panjang. Baik itu perlawanan terhadap dirinya maupun
diluar dirinya. Manusia adalah sebuah proses untuk menjadi, menjadi manusia di atas manusia
yaitu Adimanusia (Ubermansch), atau insan Kamil dalam term Ibnu Arabi dan Kholifatullah fil
ard didalam al-Quran.

Diskusi ini tidak memiliki tujuan yang terinstitusikan saat ini, melainkan masih tertanam dan
terbenam didalam jiwa pesertanya masing-masing, yang kelak seiring berjalannya waktu tidak
menutup kemungkinan akan menentukan tujuan yang jelas. Yang pasti bahwa dari wadah kecil
ini nantinya akan melahirkan orang-orang yang serius memikirkan kepentingan Persyarikatan
(IMM dan Muhammadiyah) Ummat (Manusia) dan Negara. Menjadi intelektual organik
sebagaimana yang diungkapkan oleh Gramsci adalah salah satu dari tujuan, bahwa komunitas
intelektual yang tidak berada dan tinggal dimenara gading yang hanya berpikir untuk Scince For
Science.

Selanjutnya satu hal terpenting adalah dapat melahirkan para penulis yang handal, tidak
hanya tajam didalam berpikir tetapi juga tajam didalam tulisan. Teringat ungkapan almarhum
Hardjono WS, “Ciri seorang manusia itu menulis, kalau tidak menulis bukanlah manusia”.
Namun kita ketahui menulis bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, karena itulah perlu belajar
dengan tekun, ‘Menulis juga adalah sebuah keberanian’ tutur Pramoedya Ananta Toer, karena
menulis bentuk sebuah perlawanan.

Anda mungkin juga menyukai