Anda di halaman 1dari 17

JIWA DALAM TELAAH TASAWUF DAN FILSAFAT

Oleh: Saeful Anwar

“Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam
sangkar,merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali
dengan alam ruhani, yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam
asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.” (Ibn Sina)

A. Latar pemikiran
Dari zaman dulu kala manusia selalu heran dan tercenung di rimba semesta, maka ia
selalu merasa tidak tahu apa-apa dan penasaran dengan dirinya sendiri. Kemudian ia
melontarkan pertanyaan yang menelisik jatidirinya. Apa itu hakikat manusia? Apakah yang
dimaksud dengan manusia sempurna (insan kamil) dan bagaimana cara meraihnya? Mengapa
alam semesta tertata denga teratur? Kemudian apakah di dalam tubuh manusia terdapat jiwa?
Dalam tulisan ini hanya memfokuskan pada permasalahan tentang jiwa, sebab Pertanyaan-
pertanyaan itu sampai hari ini masih ramai diperbincangkan. Di setiap lipatan zaman,
mengenai hakikat jiwa itu selalu di rumuskan dan diberi penjelasan, namun tidak dapat
memuaskan manusia karena penjelasannya berbeda-beda bahkan saling bertentangan.
Manusia adalah makhluk sempurna yang keberadaannya menjadi tanda tanya besar
bagi berbagai kalangan, terutama para ilmuan dan filsuf. Jasad, akal, indera ruh dan nafs
(diri) yaitu komponen utama manusia yang paling sering dibahas dalam kajian keilmuan.
Umumnya penelitian ilmiah hingga saat ini hanya mampu mengetahui unsur-unsur fisik yang
ada pada manusia. Namun unsur dibalik fisik terutama nafs masih menjadi ‘misterius’ dan
perdebatan yang panjang dikalangan ilmuan dan para filosof. Karena kebenaran tetang hal
tersebut masih sulit dibuktikan secara jelas.
Dalam tradisi keilmuan Barat persolaan jiwa oleh sebahagian ilmuan tidak menjadi
perhatian utama, karena kebenarannya masih dianggap spekulatif dan cenderung subjektif.
Ilmu psikologi modern yang menjadi referensi dalam kajian kejiwaan  saat ini secara umum
belum mampu mengurai secara jelas hakikat dari diri manusia. Kajiannya hanya mampu
mengurai prinsip-prinsip umum dan gejala dari jiwa manusia yang teraktualisasikan melalui
jasad. Umumnya masih berupa kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya hipotesis dari
pengalaman seorang ilmuan atau peneliti.
Frithjof Schuon melalui karyanya Transfiguration of Man mengatakan ada semacam

kegagalan dari sistem epistemologi yang dibangun oleh paradigma modern.

Secara umum, filsafat modern merupakan suatu kodifikasi pemikiran yang memiliki banyak
kelemahan. Filsafat modern ini merupakan sebuah pertumbuhan intelektual manusia yang
akan diakhiri dengan “kejatuhannya” akibat dari pertumbuhan intelektual yang tidak
terkendali, meledaknya ilmu-ilmu fisik dan munculnya pseudo-ilmu seperti sosiologi dan
psikologi.1

Manusia nasibnya terpuruk sebab menurut Frithjof Schuon karena raibnya hakikat
manusia dengan mendominasinya ilmu-ilmu palsu. World-view Modernitas dipahami sebagai
suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan (newness) karena itu merupakan kunci
kesadaran modern, dicirikan oleh; subjektivitas, kritik, dan kemajuan.2
Apa yang disimpulkan Sigmunt Freud tersebut hanya berdasarkan pengalaman
individu dan analisis umum dari kondisi jiwa manusia yang ia pahami dari pengalaman
hidup. Dalam hal ini keakuratan analisisnya masih debathable. Makanya setelah itu
bermunculan aliran-aliran psikologi lainnya seperti psikoalitis  Carl Gustav Jung dan
Behaviorisme yang membantah teori yang digagas oleh Sigmund Freud. Ini menandakan
bahwa ilmu jiwa dalam kajian Barat masih sulit untuk ditemukan kebenarannya, tanpa
menafikan beberapa sisi positif. Alasannya, selain karena terlalu mengagungkan pada 
supremasi rasio dan empiris, juga karena tidak memiliki pedoman kebenaran pasti (wahyu).
Karena sumber kebenaran dalam epistemologi Barat masih bertumpu pada kebenaran akal
dan indera. Hal ini yang sangat berbeda dengan Islam yang mengunakan akal, indera, intuisi
sekaligus disamping wahyu sebagai referensi kebenaran pasti. Semua sumber pengetahuan
tersebut dalam Islam berjalan secara sinergis, tanpa pemisahan.
Dalam tradisi keilmuan Islam kajian jiwa justru mendapat perhatian penting.  Hampir
semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya

1
Frithjof Schuon, Transfigurasi Manusia (Jogjakarta: Qalam, 2002), hlm. 5.
2
Kesadaran modern berpangkal pada akal budi, manusia mencari jati dirinya melalui gerakan-gerakan seperti
renaisance, antroposentrisme dan pencerahan (enlightenment, aufklarung). Dalam semangat zaman (zeitgeist)
peradaban modern dibangun, manusia modern seakan-akan terlahir kembali setelah mengalami tidur panjang
rentang abad kegelapan: The Dark Ages. Dalam suasana zeitgeist seperti itu, manusia modern memberontak
terhadap cara berpikir metafisis ataupun teologis. Mereka menganggap segenap nilai moral yang dibangun
tradisi, terutama yang berasal dari agama, sebagai belenggu kebebasan dan kreativitas mereka dalam
berpetualangan itu. Dengan berpegang pada semboyan Horatius “sapere aude!” (beranilah berpikir sendiri!),
manusia berkehendak otonom dan bebas dari segala otoritas dan tradisi. Lihat, F. Budi Hardiman. Filsafat
Modern, hlm. 3.
sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena dimensi jiwa
dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik karena jiwa merupakan bagian metafisika.
Ia sebagai penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. Meskipun saling membutuhkan
antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak
mempengaruhi jasad. 3

B. Definisi Jiwa
Menurut etimologi bahasa Inggris istilah “jiwa” diturunkan dari kata “sáwol atau
“sáwel”.4 Istilah serupa terdapat dalam bahasa Jerman tua seperti “sêula atau sela” dan
bahasa Prancis yaitu “sela atau sila”. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, santo Paulus dari
Tarsus menggunakan istilah jiwa (ψυχή atau πνεῦμα) dalam arti khusus untuk membedakan
antara gagasan “nephesh” Yahudi dan “ruah / roh” (dalam Septuaginta (LXX), misalnya
dalam kitab Kejadian 1:2: “Spiritus Dei” atau "Roh Allah" (πνεῦμα θεοῦ). Dalam Authorized
versi King James (KJV), kata “jiwa” digunakan sehubungan dengan memelihara tubuh dan
jiwa, bandingkan teks berikut: .. "Dan tidak takut mereka yang membunuh tubuh, tetapi tidak
mampu membunuh jiwa: agak takut akan Dia yang dapat menghancurkan jiwa dan tubuh di
neraka”.5
Sedangkan jiwa di maknai dalam bahasa arab ‘nafs’ yang secara harfiah bisa
diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa, 6
Secara istilah kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filsuf muslim.
Para filsuf muslim terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina, umumnya sepakat
mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik dan memiliki kehidupan yang energik.”7
3
Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, ( London , Oxford University, 1952), h. 199-200.
4
Jiwa (ruh) dalam bahasa Inggris “soul”, istilah ini mengacu pada pelaku pengendali, pusat pengaturan, atau
prinsif vital pada manusia. Kata Yunaninya “psyche” atau “pneuma”, dan kata latinnya “anima” dan dalam
bahasa sangsakerta disebut “jiva”. Dalam bahasa Inggris kata soul dan psyche dua-duannya dipakai. Yang jelas
soul lebih banyak dipandang sebagai unggul terhadapatau dapat dipisahkan dari tubuh dibandingkan psyche.
Jiwa pada manusia mengacu pada substansi immaterial yang selalu tetap ada di tengah-tengah perubahan
kehidupan yang menghasilkan dan mendukung kegiatan-kegiatan psikis, dan menghidupkan organisme.
Aristoteles menganggap jiwa sebagai forma tubuh sambil membedakan di dalamnya aspek rasional maupun
irasional. Kedua aspek tersebut bersama-sama membuat pembedaan tiga tingkat, yaitu: fungsi vegetatif
(tanaman), sensitif (binatang) dan rasional (manusia). Sedangkan Ibnu sina percaya bahwa jiwa meskipun
diciptakan bersamaan dalam tubuh, immortal, sedang tubuh tidak. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:
Gramedia, 2000), h. 379.
5
Ben Joseph, Simon Blackburn dalam Oxford dictionary of philosophy etimologi; dari noos Yunani (nous atau
pikiran, intelek dan akal sehat). http://www.answers.com/topic/nous. date: November 4, 2013. 10.00.
6
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya,
Pustaka Progressif, 2007), h. 366.
7
Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat.., h. 56. Lihat juga Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-
Falsafi fil Islam, (al-iskandariyah, Dar al-Jami’at al-Mishriyah, 1984), h. 337.
Secara lebih rinci yang dimaksudkan ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat
alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang
bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi
fisik material. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya
melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang bermacam-macam. Sedangkan
makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung
kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.8
Nampaknya definisi jiwa di atas sedikit berbeda dengan Ibn Hazm9 yang
mendefinisikan jiwa bukan substansi tapi ia adalah non-fisik. Jiwa mempersepsikan semua
hal, mengatur tubuh, bersifat efektif, rasional, memiliki kemampuan membedakan, memiliki
kemampuan dialog dan terbebani. Jiwa adalah letak munculnya berbagai perasaan, kesedihan,
kebahagiaan, kemarahan, dan sebagainya.10 Lebih jauh Ikhwan ash-Shafa mendefiniskan jiwa
sebagai substansi ruhaniah yang mengandung unsur langit dan nuraniyah, hidup dengan
zatnya, mengetahui dengan daya, efektif secara tabiat, mengalami proses belajar, aktif di
dalam tubuh, memanfaatkan tubuh serta memahami bentuk segala sesuatu.11
Dalam karyanya Ahwal an-Nafs, Ibnu Sina tidak membantah pendapat di atas. Ia
membenarkan pendapat –disertai dengan argumen yang panjang- yang mengatakan bahwa
jiwa adalah substansi ruhani yang memancar kepada raga dan menghidupkannya lalu
menjadikannya alat untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu, sehingga dengan keduanya ia
bisa menyempurnakan dirinya dan mengenal Tuhannya.12
Jika merujuk pada pendapat kalangan sufi, akan terlihat definisi yang sangat kontras
dari apa yang dipahami oleh para filosof muslim. Hampir seluruh sufi sepakat bahwa jiwa
adalah sumber segala keburukan dan dosa. Sebab ia adalah sumber syahwat dan keinginan
meraih kesenangan. Al-Qusyairi mempertegas bahwa jiwa  itu berwujud sendiri. Ia
merupakan unsur halus yang dititipkan dalam raga manusia. Unsur halus ini merupakan
tempat akhlak yang sakit.  Jika diperhatikan dari penjelasan tersebut barangkali jiwa yang
dimaksudkan kaum sufi lebih mengarah pada istilah hawa nafsu. Jika jiwa dalam makna itu

8
Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV, (Kairo, Maktabah al-Injilu
al-Mishriyah, 1969), 73-74.
9
Ibn Hazm (348 H/994 M) adalah salah seorang ulama yang mengikut mazhab Zahiriyah. Ia menguasai ilmu-
ilmu keislaman, logika, sastra, dan filsafat. Ada 400 karya yang telah ia tulis. Namun dalam kajian jiwa hanya
ada tiga buku,  al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nahl, Thuq al-Hamamah Fi al-Ulfah wa al-Alaf dan Al-
Akhlaq wa as-Sair Fi Mudawat an-Nafs. Lihat, Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat.., h. 147-148.
10
Ibid., h. 149.
11
Ibid., h. 98.
12
Ibn Sina, Psikologi Ibn Sina, (Bandung, Pustaka Hidayah, 2009), h. 182.
yang dimaksudkan, maka jelas berbeda dengan pandangan filosof muslim yang menganggap
jiwa adalah ruh yang berupa zat dan substansi.
            Mendefinisakan jiwa bukanlah perkara yang mudah bahkan lebih sukar daripada
membuktikan adanya. Maka, wajar ketika ditemukan ada perbedaan dalam memahami arti
dari jiwa, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang
berbeda antara para filosof dan kalangan Sufi. Metode analisis filosof lebih mengedepankan
pada akal dan logika, sedangkan sufi lebih mengedepankan pada intuisi, sehingga
menimbulkan kesimpulan berbeda. Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu
pada substansi utama yang ada pada diri manusia, yang memiliki peran sentral mengatur
gerak dari tubuh dan memiliki daya dan cara kerjanya sendiri. Tentu akan jauh lebih luas dari
sekedar definisi jika melihat bagaimana al-Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang
keberadaan jiwa.

C. Jiwa Menurut Filsuf Muslim


            Seperti yang dikemukakan di atas bahwa para filosof muslim memasukkan persoalan
jiwa adalah persoalan yang sangat penting. Hampir semua filosof muslim tidak mungkin
mengabaikan persoalan jiwa. Karena jiwa merupakan bagian dari pembahasan metafisika.
Dalam hal ini Ibnu Bajjah mengatakan bahwa “ilmu tentang jiwa harus lebih utama dipelajari
dan ia merupakan ilmu yang paling mulia. Ia mendahului ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
luhur lainnya, dan setiap ilmu terpaksa untuk mempelajari psikologi. Sebab, kita tidak
mungkin mengetahui berbagai prinsip ilmu jika belum mengetahui jiwa dan hakikatnya.” 13
Pendapat ini sama halnya dengan al-Ghazali yang juga menganggap mengetahui persoalan
jiwa lebih utama. Beberapa pandangan filosof muslim mengenai jiwa justru memperkaya
konsep jiwa dalam Islam.
a. Hakikat Jiwa
Di antara filosof muslim lainnya, barangkali Ibnu Sina yang secara komplit
menjelasakan tentang esensi dan hakikat jiwa. Meskipun diketahui bahwa Ibnu Sina memiliki
pemahaman  yang tidak jauh berbeda dengan Aristoteles dan filosof Muslim sebelumnya
terutama al-Kindi dan al-Farabi mengenai jiwa. Namun, Ibnu Sina lebih detail membahas
persoalan ini.14 Ibnu Sina mengatakan bahwa jiwa merupakan hakikat manusia sebenarnya. Ia
13
Ibn Bajjah, Kitab an-Nafs, (Damaskus, Matbu’at al-Jami’ al-‘Ilmi al-‘Arabi, 1960), h. 29-30.
14
Ibrahim Madkur bahkan mengatakan bahwa kecintaan Ibnu Sina pada persolan jiwa tidak ada tandingannya
dalam sejarah, baik di abad pertengahan maupun sebelumnya. Ia mempelajari berbagai macam masalah
psikologi.  Ia mendalami dan membahas teori jiwa dari Plato, Aristoteles, Galien dan Plotinus sejak dari masa
mudanya. Lihat, Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h. 134.
adalah substansi yang berdiri sendiri yang berbeda dengan jasad (fisik).15 Pendapat ini
berdasarkan argumentasinya yang memandang bahwa atom atau esensi (jauhar) dan aksiden
(‘aradh) itu berlawanan bahkan bertentangan walaupun pertentangannya tidak jelas. Itu
karena semua yang bukan atom adalah aksiden. Bila kita dapat membuktikan bahwa jiwa
bukan salah satu aksiden, maka pasti ia adalah substansi (jism).16
Jiwa tidak bisa dianggap aksiden pertama, karena betul-betul bebas dari tubuh.
Sedang tubuh itu sangat membutuhkan pada jiwa sementara jiwa sedikitpun tidak
membutuhkannya. Belum ada ketentuan dan kejelasan bagi tubuh sebelum ia berhubungan
dengan jiwa tertentu, sementara jiwa akan tetap sama, baik ketika berhubungan dengan tubuh
atau tidak. Tidak mungkin ada tubuh tanpa jiwa, sebab jiwa merupakan sumber hidup dan
sumber geraknya, tapi sebaliknya jiwa bisa tetap hidup tanpa tubuh. Bukti yang paling jelas
untuk ini, adalah bila jiwa berpisah dari tubuh, maka tubuh akan menjadi benda mati,
sementara jiwa ketika berpisah dengan tubuh dan naik ke ‘alam atas’ ia akan hidup bahagia.
Dengan demikian jiwa merupakan substansi yang berdiri sendiri, bukan salah satu aksiden
(‘aradh) tubuh.17

Ibnu Sina, dalam bukuny Al-Syifâ pada bagian metafisika mengatakan, “Shûrah
(bentuk) adakalanya diterapkan untuk menunjukan semua konfigurasi dan tindakan suatu
objek, baik yang bersifat tunggal ataupun tersusun, sedemikian sehingga segenap gerakan dan
aksiden (‘aradh, accident) objek itu disebut dengan Shûrah. Shûrah (bentuk) juga dipakai
untuk menunjukan unsur yang mempertahankan keutuhan sesuatu secara aktual, sehingga
pelbagai substansi intrlektual dan aksiden tidak bisa disebut sebagai Shûrah. Istilah Shûrah
juga terkadang diterapkan untuk unsur yang menyempurnakan materi (mâddah), sekalipun
unsur itu tidak mesti bersifat aktual, seperti halnya kesehatan atau tujuan yang diinginkan
oleh sesuatu secara alamiah. Shûrah juga dipakai untuk merujuk pada spesies (nau’), jenis
(genus), differentia (faktor pembeda pada suatu species) atau pada semua makna itu secara
univokal. Keuniversalan konsep universal yang terdapat pada Shûrah (bentuk) contoh-contoh
partikular juga adakalanya disebut dengan Shûrah (bentuk).18
Pendapat tentang jiwa sebagai substansi ini bukan Ibn Sina yang pertama kali
mengetengahkannya, tetapi Plato telah mendahuulinya yang kemudian dikembangkan oleh
15
Ibn Sina, Asy-Syifa’; ath-Thabi’iyyat, an-Nafs,  (Kairo, Haiah Mishriyah al-‘Ammah lil Kitabah, 1975), h.
285. Sepertinya Ibn Sina dalam hal ini mengikuti pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa itu benar-benar
berbeda dengan tubuh. Lihat, Ibrahim Madkur, Aliran Filsafat., h. 163.
16
Ibn Sina, Asy-Syifa’…, h. 285.
17
Ibid., h. 285.
18
Imam Khomeini, 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung: Mizan, ed. Revisi. Cet. 2,
2009), h. 778.
aliran Iskandariah. Selama jiwa sebagai substansi, maka tidak mungkin ia sebagai bentuk
(form) tubuh. Akan tetapi Ibnu Sina, sebagaimana al-Farabi, berpendapat bahwa jiwa adalah
substansi sekaligus berupa bentuk. Artinya substansi dalam dirinya dan bentuk dalam
hubungannya dengan tubuh. Seakan pendapat ini hendak mengkompromikan antara Plato dan
Aristoteles. Ia mengambil teori substansi dari Plato dan teori bentuk dari Aristoteles dan
keduanya diterapkan pada jiwa. Meskipun pemahaman ini sedikit sulit dipahami.19
Dalam teorinya Platon mengungkapkan bahwa jiwa terlebih dahulu diciptakan dari
tubuh. Jiwa kemudian menempel pada tubuh. Jadi jiwa itu seperti burung yang bersarang di
dalam tubuh manusia untuk beberapa lama, ketika sarangnya pecah maka maka jiwapun
terbang ketempat lain. Menurut Platon jiwa itu tidak dapat mati, sebagaimana yang tertuang
dalam dialog Phaedrus yang menekankan hakikat jiwa.
Jiwa itu tidak mengalami kematian karena yang senantiasa bergerak itu tidak mati. Sesuatu
yang menggerakkan sesuatu yang lain atau yang digerakan oleh sesuatu yang lain akan
berhenti bergerak apabila gerakan itu berhenti. Hanya yang digerakan oleh dirinya sendirilah
yang tidak pernah berhenti bergerak, karena ia tidak dapat dipisahkan dari dirinya.
Sebaliknya, jiwa itu merupakan sumber dan asal mula (arche) gerakan dari sesuatu yang lain
yang digerakan.20

Aristoteles kemudian menuntaskan perbedaan antara ruh dengan tubuh yang diyakini
oeleh gurunya (Platon). Menurutnya hubungan antara ruh dengan tubuh itu lebih tinggi dari
sekedar hubungan antara burung dengan sangkarnya. Ia menyimpulkan antara hubungan ruh
dengan badan seperti hubungan bentuk dengan materi. Forma dan aktualisasi materinya itu
dilakukan oleh ruh atau jiwa.
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan
yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih melekat pada
badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan
antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu
pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal.
Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda,
tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan
19
Ibrahim Madkur, Aliran Filsafat., h. 163.
20
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, 130
yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah
cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku
bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain
segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.21
Pendapat Ibn Sina dan para filosof di atas dibatah secara tegas oleh Ibn Hazm. Ia
mengatakan bahwa jiwa bukan substansi dan bukan fisik yang berbentuk, tapi ia bersifat fisik
yang bersifat non-fisik. Atau dengan kata lain fisik yang luhur, bersifat falaki dan sangat
lembut. Bahkan ia lebih lembut dari udara. Jiwa memiliki wujud yang menyatu dengan fisik.
Ia bergerak dengan usahanya sendiri. Ketika ia menyatu dengan fisik, maka jiwa menjadi
tersiksa seakan-akan ia terjerumus dalam lumpur kotor, sehingga ia menjadi lupa dengan
masa lalunya karena kesibukannya dengan tubuh.22 Padangan Ibn Hazm tersebut sama
dengan hakikat jiwa yang dipahami oleh kalangan sufi. Sedangkan ar-Razi mengatakan
bahwa, keterlibatan jiwa dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal itu merupakan
kenikmatan pada hari ini dan kebahagiaan pada hari yang akan dating (akhirat). Ini
disebabkanotoritas jiwa terhadap dunia jasadiyah dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan
tubuh.23 Jadi diantara keduanya memiliki keterkaitan yang tak bias dipisahkan.
b. Fakultas Jiwa
Para filosof muslim umumnya memiliki kesamaan dalam membagi fakultas (daya)
jiwa. Namun gambaran daya jiwa yang lebih kongkrit bisa kita temukan dalam penjelasan al-
Farabi dan Ibnu Sina. Dua tokoh ini agaknya sama dalam menjelaskan pembagian fakultas
jiwa. Awalnya al-Farabi menjelaskan bahwa sesungguhnya fakultas jiwa terbagi menjadi daya
penggerak dan daya pemahaman. Daya penggerak mencakup daya nutrisi, daya tumbuh dan
daya hasrat. Sedangkan daya pemahaman mencakup tiga daya, yaitu daya perasa baik yang
bersifat nayata maupun tidak nyata, daya fantasi, serta daya akal atau rasional. Daya-daya
tersebut terpecah menjadi daya yang bersifat praktis dan daya yang bersifat teoritis atau
ilmiah.24 Namun selanjutnya kita akan menemukan klasifikasi fakultas jiwa yang lebih jelas
menurut al-Farabi dan Ibn Sina.

21
Akal Kesepuluh dimaksud adalah akal Mustafad (al’aklu mustafad), yaitu akal yang telah  sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal
yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima
limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (aklul fa’al). Lihat, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam
Islam …, hlm. 37.
22
Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat.., h. 149.
23
Imam ar-Razi, Ruh dan Jiwa (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), h.85
24
Ibid., h. 57.
Berdasarkan dalam beberapa penjelasannya tentang daya jiwa, maka dapat
disimpulkan bahwa fakultas jiwa terbagi pada tiga yaitu, jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa
rasional.25
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs  an-nabatiyah)
Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah) mencakup daya-daya yang ada pada
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ibnu Sina telah mendefinisikan jiwa tumbuh-
tumbuhan sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik
dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya,
yaitu:26
a) Daya nutrisi (al-quwwah al-ghadziyah), yaitu daya yang berfungsi mengubah
makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya tersebut ada di dalamnya.
b) Daya penumbuh (al-quwwah al-munammiyah), yaitu daya yang melaksanakan
fungsi pertumbuhan, yaitu yang mengantarkan tubuh kepada kesempurnaan dan
perkembangannya.
c) Daya generatif atau reproduktif (al-quwwah al-muwallidah), yaitu daya yang
menjalankan fungsi generatif atau melahirkan, agar generasi manusia tetap bertahan.
2. Jiwa hewan (an-nafs al-hayawaniyah)
Jiwa hewani mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan, sedangkan
pada tumbuh-tumbuhan tidak ada sama sekali. Ibn Sina mendefinisikan jiwa hewani sebagai
sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta
merangkap berbagai parsilitas dan bergerak karena keinginan. Jiwa hewani memiliki dua
daya, yaitu daya penggerak dan daya persepsi.27
a) Daya penggerak (al-quwwah al-Muharrikah), yaitu terdiri dari dua bagian, pertama,
pengerak (gerak fisik) sebagai pemicu dan penggerak pelaku. Kedua, Daya tarik
(hasrat) yaitu daya yang terbentuk di dalam khayalan suatu bentuk yang diinginkan
atau yang tidak diinginkan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk
menggerakkan. Pada Daya tarik (hasrat) ini terbagi menjadi dua sub bagian yaitu
Daya Syahwat dan Daya Emosi.
b) Daya persepsi terbagi menjadi dua bagian, pertama daya yang mempersepsi dari
luar, yaitu pancaindera eksternal seperti mata (penglihat), telinga (pendengar),
25
Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: MIzan, 1995), h. 148-176.
26
Ibid., h. 57-58. Lihat juga, Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan,
2002), h. 225.
27
Ibn Sina, Psikologi.., h. 63-67.
hidung (pencium), lidah (pengecap) dan kulit (peraba). Kedua, daya yang
mempersepsi dari dalam yaitu indera batin semisal indera kolektif, daya konsepsi,
daya fantasi, daya imajinasi (waham) dan memori.
3. Jiwa rasional (an-nafs an-nathiqah)
Jiwa rasional mencakup daya-daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional
melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa rasional
sebagai kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada
suatu sisi ia melakukan berbagai prilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan
kesimpulan ide, namun pada sisi yang lain ia mempersepsi semua persoalan universal. 28 Pada
jiwa rasional mempunyai dua daya, yaitu daya akal praktis dan daya akal teoritis.29
a) Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia untuk memutuskan
perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, di mana kita bisa menyebutnya
perilaku moral.
b) Daya akal teoritis, yaitu: akal potensial (akal hayulani), akal bakat (habitual), akal
aktual dan akal perolehan.
Fakultas-fakultas jiwa ini bukanlah entitas berpisah yang masing-masing bertindak
secara berbeda terpisah dari jiwa itu sendiri, tetapi mereka bekerja sama dan saling
membutuhkan. Masing-masing memiliki fungsi dan sistem kerja sendiri melalui organ, waktu
dan kondisi yang berbeda. Dalam hal ini, fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya
merupakan jiwa itu sendiri (jiwa yang satu) yang mewujudkan dirinya berdasarkan berbagai
kondisi yang dihadapinya.30
Ikhwan al-Shafa memberikan daftar hubungan analogis antara hewan dan ciri-ciri
watak manusia, yang dikutip oleh Sachiko Murata:
Hewan-hewan itu ada banyak jenisnya, dan mereka masing-masing memiliki ciri yang
berbeda dari yang lain. Manusia memiliki ciri-ciri yang sama dengan mereka. Tetapi hewan
mempunyai dua ciri yang mencangkup semua yang lain, selalu mencari keuntungan dan lari
dari hal-hal yang membahayakan dirinya.

Namun, beberapa hewan mencari keuntungan melalui kekejaman dan dominasi, seperti para
hewan pemangsa. Sebagian mencari melalui bujukan, seperti anjing dan kucing. Sebagian
mencari melalui kecerdasan, seperti laba-laba. Dan semua ini ada pada manusia. Para raja dan
sultan mendapatkan keuntungan melalui dominasi, para pengemis melalui permintaan dan
kerendahan hati, para seniman dan pedagang melalui kecerdasan dan persahabatan. 31
28
Ibid., h. 68.
29
Ibid., h. 68-72.
30
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains., h. 155.
31
Sachiko Murata, the Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S Nasrullah, (Bandung, Mizan, cet. 6, 1998),
hlm. 362.
D. Jiwa dalam Pandangan Sufi
            Tidak hanya filosof, kalangan sufi juga salah satu yang menaruh perhatian penting
para persoalan jiwa. Mereka berbicara banyak hal tentang jiwa. Bahkan di satu sisi mereka
mampu melampaui apa yang disimpulkan para filosof mengenai jiwa. Perhatian kaum sufi
terhadap jiwa lebih banyak melihat dari tuntunan dan dalil agama sehingga penjelasannya
lebih mengarah pada amalan jiwa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kaum sufi memiliki
perspektif yang berbeda dalam mengkaji jiwa. Jika filosof banyak berbicara tentang
eksistensi jiwa yang menjadi unsur dari diri manusia, maka kaum sufi lebih banyak berbicara
tabiat, karakter dan aktifitas jiwa manusia yang lebih bersifat praktis.
a.       Jiwa dan Tabiatnya
Bagi kaum sufi jiwa adalah musuh yang paling berbahaya bagi manusia yang ada
pada dua sisi badan. Oleh karena itu, semestinyalah musuh tersebut di atasi dengan cara
diikat dengan ‘rantai-rantai yang tangguh’ supaya tidak liar dan tidak banyak melakukan
kekeliruan dan kesalahan. Al-Hakim at-Tirmidzi menggambarkan bahwa jiwa merupakan
tunggangan para setan dalam menggoda manusia. unsur esensial yang ada pada jiwa adalah
udara panas-semacam asap- berwana hitam yang buruk karakternya. Pada dasarnya jiwa
memiliki sifat cahaya. Ia hanya akan bisa bertambah baik dengan taufik Allah swt., interaksi
yang baik, dan rendah hati. Jiwa bisa bertambah baik dengan cara seseorang menentang hawa
nafsunya, tidak menghiraukan ajakannya, serta melatihnya dengan lapar dan amalan-amalan
berat.32
Jiwa sering melakukan tipuan terhadap manusia. Hakim At-Tirmidzi menjelaskan
bahwa jiwa -kepada pemiliknya- suka memoles kebatilan seolah-olah kebenaran, dan
menjadikan buta dari kebenaran. Jiwa suka mengecoh pemiliknya sehingga sering terjebak
dalam tipuannya. Menghadapi cobaan jiwa, seluruh orang akan mengalaminya, baik kalangan
orang tulus (shiddiqin), orang-orang yang zuhud (zahidin), ahli ibadah (‘abidin), orang-orang
takwa (muttaqin) dan para ulama sekalipun. Ketika cobaan jiwa menghampiri, jarang
seseorang bisa selamat. Kalau orang-orang yang disebut tadi –padahal mereka adalah
tonggaknya agama- tidak bisa selamat dari tipuan jiwa, apalagi orang-orang biasa (awam).
Jiwa sering menipu pemiliknya dengan cara dipoles ketulusannya, ketaatannya, ibadah,
ketakwaan dan ilmunya.33
32
Al-Hakim at-Tirmidzi, Bayan al-Firaq baina ash-Shadr wa wa al-Qalb wa al-Fuad wa Lubb, (Kairo, Dar
Ihya al-Kitab al-Arbi, 1958), h. 83.
33
Amin an-Najar, Tasawuf…, h. 22.
Di antara contoh tipuan jiwa, misalkan dalam shalat. Jiwa menipu seseorang dengan
menyuruhnya untuk menaruh perhatian pada shalat sunnat, tapi mereka menyia-nyiakan
shalat fardhu. Kadang-kadang mereka bangun malam untuk shalat sunnat, tapi diri mereka
teledor dalam melakukan shalat fardhu. Al-Hakim at-Tirmidzi berkata:
“orang tertipu (oleh jiwa) jika berdiri untuk shalat, dirinya lupa menjaga hatinya bersama
Allah, lupa terhadap apa yang ada di hadapannya, dan lupa menjaga anggota badannya.
Dengan demikian, dia tidak termasuk orang yang menghadap untuk shalat. Lintasan-lintasan
dan wawas yang dibisikkan jiwa menjadikan dirinya lalai memelihara hati, lalai memelihara
ayat-ayat yang dibacanya dan lalai memahami apa yang sedang dibacanya. Sebab, ia secara
total ia melupakan semuanya. Setelah selesai melakukan shalat, dia pergi dalam keadaan
tenang hati karena sudah melakukan shalat malam, shalat dhuha, dan shalat-shalat sunnat
lainnya. Orang-orang ini benar-benar tertipu, sebab dia telah menyia-nyiakan yang fardhu dan
mengunggulkan yang sunnat. Kemudian seraya ia memuji-muji jiwanya karena telah
melakukan amalan sunnat tersebut.”34
 
Selanjutnya al-Muhasibi juga menjelaskan bagaimana jiwa itu melakukan tipuannya.
Beliau berkata:
“Terkadang suatu saat seorang manusia sedang melakukan suatu amal atau sudah berniat
melakukannya. Tapi, jiwa kemudian memprovokasi untuk memutuskan atau
membatalkannya, karena ada syahwat maksiat yang ditawarkannya. Sebagai contoh, ada
seseorang yang sedang melakukan zikir lisan, atau dia telah niat untuk tidak banyak bicara
demi mencari selamat. Tapi, tiba-tiba muncul tawaran untuk mengunjing orang yang sangat
dibenci, atau mengunjing perkara yang menakjubkan darinya atau menakjubkan orang lain.
maka, orang tersebut keluar dari taat menuju maksiat. Begitu juga terkadang seseorang yang
sedang melakukan zikir atau shalat, lalu dia mendengar atau melihat sesuatu yang tidak halal,
maka ia menghentikan kegiatan yang sedang dijalaninya dan menuju kepada maksiat. Atau
bisa saja dia bertahan dalam kegiatan (amal) yang sedang dijalaninya, namun ia
mencampuradukkan antara ketaatan dan kemaksiatan.” 35

Sebenarnya supaya tipuan jiwa dapat dihindari,  maka keharusan kita untuk
mengetahui ilmu tentangnya. Karena ketidaktahuan kita tentang persoalan jiwa akan
mempersulit langkah kita menuju Allah. Al-Kalabadzi mengatakan bahwa semestinya bekal
utama yang harus diketahui oleh setiap orang yang ingin menuju Tuhannya yaitu ia harus
memiliki pengetahuan tentang bahaya hawa nafsunya (jiwa), mengenalnya, melatihnya dan
mendidik akhlaknya.36 Karena itu, perhatian sufi terhadap jiwa tersebut (ma’rifatun nafs)
-dengan mengetahui tabiat, karakter, jenis jiwa dan aktivitasnya- merupakan salah satu tangga
mengenal Allah.

34
Ibid., h. 23.
35
Ibid., h. 33.
36
At-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Histrois dan Perkembangannya, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2008), h.
123.
Selain itu, dalam menjelaskan tentang tabiat, sifat dan jenis jiwa, Kaum sufi
memahami nya berdasarkan apa yang terdapat Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt.
membagi jiwa kepada tiga sifat (karakter), yaitu nafs al-muthmainnah, nafs al-lawwamah
dan  nafs amarah bi-su’.
                Pertama, jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah)  adalah jiwa yang sempurna
yang tersinari oleh cahaya hati,37 sehingga ia tersterilkan dari karakter-karakternya yang
buruk, berakhlak dengan akhlak terpuji, menghadap ke arah hati total, melangkah terus
menuju ke arah yang benar, menjauh dari posisi yang  kotor, terus menerus melakukan
ketaatan, berjalan menuju tempat yang luhur, sehingga Tuhannya mengatakan kepadanya,
“wahai jiwa yang tenang (muthmainnah), kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam
keadaan rida dan diridhai, masuklah engkau ke dalam jajaran hamba-hamba-Ku dan
masuklah engkau ke surge-Ku.”38
Kedua, jiwa yang sadar (nafs al-lawwamah) adalah jiwa yang tersinari oleh cahaya
hati –sesuai dengan kadarnya sadarnya ia dari kelalaian- lalu ia sadar. Dia memulai dengan
memperbaiki kondisinya dalam keadaan ragu diantara posisi ketuhanan dan posisi
makhluknya. Jiwa ini berada di sanubari. Ia ibarat pertahanan yang menghalau setiap dosa
yang menyerang dan memperkukuh kekuatan kebaikan. Jika seseorang melakukan sebagian
dosa, maka kekuatan spiritual atau sanubari (nafs al-lawwamah) segera memperingatkannya,
mencela dirinya sendiri, lalu bertobat dan kembali kepada Allah memohon keampunan
dariNya. Sebagaimana Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an, “Aku bersumpah dengan jiwa
yang banyak mencela diri (nafs al-lawwamah).”39
Ketiga, jiwa amarah (nafs al-amarah bi su’) –menurut al-Jurjani- adalah jiwa yang
cenderung kepada tabiat fisik (thabi’ah badaniyyah) dan memaksa hati untuk menuju posisi
kerendahan. Jiwa amarah merupakan tempat keburukan dan sumber akhlak tercela dan
perbuatan-perbuatn buruk. Allah Swt. berfirman, “sesungguhnya jiwa suka menyuruh kepada
keburukan,“40
Karakter ketiga jiwa tersebut –menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah- berada dalam satu
jiwa dan menyebar dalam sifat jiwa manusia.41 Namun sebagian menganggap bahwa
kecenderungan kepada keburukan itu adalah tabiatnya jiwa, sedang kecenderungan kepada
kebaikan itu adalah tabiatnya ruh. Terkadang dalam hal ini terjadi benturan antar
37
Asy-Syarif al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Mesir, al-Halabi, 1938), h. 217-218.
38
QS. Al-Fajr: 27.
39
QS. Al-Qiyamah: 2.
40
QS. Yusuf: 53.
41
Lihat,  Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kitab ar-Ruh, cet. VI, (Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986), h. 330-340.
kecenderungan. Jika kecenderungan kepada kebaikan menang, maka ruh berada dalam
kemenangan, serta taufiq dan dukungan Allah teraih oleh manusia. sebaliknya jika
kecenderungan keburukan menang, maka jiwa dalam kemenangan, serta setan dan
penghinaan Allah mengena pada orang yang dikehendaki oleh-Nya untuk hina. Di sini
terlihat ada perbedaan antara ruh dan jiwa.

E. Korelasi Perbuatan dan Struktur Jiwa


Ibnu Sina dalam penjelasannya tentang pengaruh perbuatan dalam jiwa dan ruh
manusia, mengatakan,
“Seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan serangkaian aksi dan kualitas
yang bergabung dengan jiwa manusia, karena ruh dan jiwa manusia “berada” di sisi badan
dan pengaruh gerakan dan perbuatan lahiriah badan terhadap jiwa merupakan sebuah
persoalan yang pasti. Sekarang, apabila aksi dan kualitas prilaku tersebut telah terserap di
dalam jiwa manusia, maka jiwa setelah berpisah dengan badan, tetap memiliki karakteristik
dan sifatnya semula persis seperti ketika dia masih berada bersama badan. Akan tetapi
karakteristik dan sifat dari perbuatan-perbuatan buruk badan yang telah menjadi bagian dari
ruh, akan muncul sebagaimana sebuah penyakit parah yang terjadi sebagai pengaruh dari
kelalaian jiwa dalam mengatur badan, yang hal ini kemudian menyebabkannya terkena
siksaan, terazab dengan api barzakh yang panasnya melebihi api jasmani.” 42

Jadi, setiap perbuatan dan prilaku yang dilakukan oleh manusia akan memberikan
dampak dan pengaruh pada jiwa dan ruhnya, yang kemudian secara bertahap hal ini akan
memberi bentuk dan karakteristik pada jiwa tersebut. yang telah terbukti secara ilmiah.
Untuk pertama kalinya seorang anak yang terlibat dalam kasus pencurian kecil-
kecilan, dengan secara sembunyi-sembunyi dan sangat hati-hati dia telah mengambil
sejumlah uang dari dompet seseorang. Apabila kita amati tingkah laku anak ini dengan
seksama, maka kita akan menemukan wajah, tingkah dan gerakan-gerakan tidak wajar yang
menghikayahkan gejolak yang terjadi di dalam jiwanya. Akan tetapi, apabila dia melakukan
hal ini untuk kedua kalinya, gejolak jiwa yang semula tetap senantiasa ada, akan tetapi
dengan kualitas yang lebih rendah, tidak separah pada kejadian pertama.
Demikian seterusnya, apabila dia secara terus menerus mengulangi perbuatannya,
secara bertahap perbuatan mencuri sudah merupakan hal yang biasa baginya, dia akan
melakukannya tanpa sedikitpun memiliki rasa takut ataupun gelisah. Semakin banyak dia
melakukan aksi pencurian, yang berarti akan semakin menambah keahliannya dalam bidang
ini, dia akan mendapatkan hasil yang semakin banyak pula, lama-kelamaan perbuatannya
akan mengarahkannya pada perampokan bank dan pembunuhan, sedemikian sehingga ketika

42
Khawjah Nashiruddin Thusi, Syarh Isyarat wa Tanbihat, Bab delapan, hal. 350.
tidak berhasil melakukan pembunuhan dia akan merasa gelisah dan gagal. Sekarang yang
harus diperhatikan, “pencabut nyawa” ini yang tidak lain adalah si anak yang ketika mencuri
beberapa ratus rupiah diliputi dengan ketakutan dan gejolak jiwa yang luar biasa, tetapi
sekarang, dia telah berubah menjadi sosok yang mampu membunuh dan merenggut nyawa
orang lain dengan perasaan yang sangat tenang.
Perubahan yang sangat ajaib ini, merupakan sebuah hasil dari perbuatan dosa,
maksiat, dan pelanggaran-pelanggaran moral yang dia lakukan secara berulang-ulang.
Jadi, amal dan perbuatan manusia, secara bertahap dan alami akan memberikan
bentuk kepribadian baginya. Sebenarnya, setiap manusia akan membentuk dirinya dengan
amal dan perbuatannya. Imam Shadiq pernah berkata, di dalam hati setiap mukmin terdapat
sebuah titik putih yang secara bertahap karena pengaruh amal dan perbuatannya, akan
berubah menjadi gelap dan menghitam. Ketika warna hitam telah melingkupi dirinya, maka
manusia tersebut akan menjadi bagian dari ayat, “Allah telah mengunci-mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang Amat
berat”.43
Al-Qunawi Melalui karyanya al-Nafayat al-Illahiyyah menyatakan bahwa malaikat
berhubungan dengan daya-daya spiritual manusia sempurna, yang menjadi prototip utama
umat manusia dan juga alam semesta:
Manusia hewani [yaitu manusia yang belum mencapai kesempurnaan spiritual] adalah
bentuk-bentuk yang memanifestasikan isi keseluruhan realitas manusia-ilahi (pada tempat lain
disebut manusia sempurna) dilihat dari manifestasi lahiriah realitasnya. Para malaikat—
dengan berbagai tingkatan mereka—adalah bentuk-bentuk yang memanifestasi-kan isi daya
dan sifat-sifat batin. Dengan demikian, malaikat tertinggi dan penyangga singgasana
dihubungkan dengan manusia sempurna seperti halnya organ-organ utama berhubungan
dengan daya-daya yang tersimpan di dalam setiap anggota (tubuh manusia). 44

F. Sekedar Penutup
Sesungguhnya Islam memiliki sebuah konsep yang utuh mengenai jiwa. Setiap para
ulama memiliki sebuah pandangan yang mengakar kuat pada tradisi Islam. Meskipun kita
melihat kecenderungan para filosof muslim mengutip banyak pemahaman jiwa dari para
filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Galien, Platonis dan lainnya. Namun sejatinya
konsep yang  dikembangkan berdasarkan cara pandang seorang muslim sehingga apa yang
dikemukakan tidak keluar dari world view Islam. Pemahaman yang beragam dalam

43
Qs. Al-Baqarah: 7.
44
Al-Qunawi, al-Nafahat al-Illahiyyah (Tehran: Ahmad Syirazi, 1316H/1898-9M), h. 85. Dikutip dari, Sachiko
Murata, “Malaikat-malaikat , dalam Sayyed Hossein Nasr (ed), “Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam”,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 450
memahami eksistensi jiwa ini juga dalam rangka memahami kebenaran Mutlak yaitu Sang
Pencipta. Maka ketika seseorang memahami dirinya –yaitu jiwa beserta seluruh yang ada
pada diri manusia- maka ia  akan mengenal TuhanNya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya (jiwa), maka ia akan
mengenal Tuhannya.
Baik para sufi dan filosof muslim yang memiliki perbedaan dalam mengkaji persoalan
jiwasebenarnya memiliki titik temu yaitu bahwa jiwa merupakan unsur yang tidak tampak
yang menggerakkan jasad manusia, ia berasal dari Allah yang semestinya harus selalu dijaga
agar senantiasa berada dalam kondisi yang bersih. Ketika jiwa yang ada pada diri manusia
tidak dibimbing dengan cahaya kebaikan maka seperti yang digambarkan Ibn Sina ia
‘menjerit’ dan mengharap kembali kepada Tuhannya. []
REFERENCE

Frithjof Schuon, Transfigurasi Manusia (Jogjakarta: Qalam, 2002).


F. Budi Hardiman. Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2006)
Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, ( London , Oxford University, 1952)
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 379.
Ben Joseph, Simon Blackburn dalam Oxford dictionary of philosophy etimologi; dari
noos Yunani (nous atau pikiran, intelek dan akal sehat). http://www.answers.com/topic/nous.
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab,
cet. I, (Surabaya, Pustaka Progressif, 2007)
Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fil Islam, (al-iskandariyah, Dar
al-Jami’at al-Mishriyah, 1984)
Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV,
(Kairo, Maktabah al-Injilu al-Mishriyah, 1969)
Ibn Sina, Psikologi Ibn Sina, (Bandung, Pustaka Hidayah, 2009)
Ibn Bajjah, Kitab an-Nafs, (Damaskus, Matbu’at al-Jami’ al-‘Ilmi al-‘Arabi, 1960)
Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Ibn Sina, Asy-Syifa’; ath-Thabi’iyyat, an-Nafs,  (Kairo, Haiah Mishriyah al-‘Ammah
lil Kitabah, 1975)
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, 130
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2008)
Imam ar-Razi, Ruh dan Jiwa (Surabaya: Risalah Gusti, 2005)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: MIzan, 1995)
Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan,
2002),
Al-Hakim at-Tirmidzi, Bayan al-Firaq baina ash-Shadr wa wa al-Qalb wa al-Fuad
wa Lubb, (Kairo, Dar Ihya al-Kitab al-Arbi, 1958)
At-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Histrois dan Perkembangannya, (Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2008)
Asy-Syarif al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Mesir, al-Halabi, 1938)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kitab ar-Ruh, cet. VI, (Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1986)
Khawjah Nashiruddin Thusi, Syarh Isyarat wa Tanbihat,
Sachiko Murata, “Malaikat-malaikat , dalam Sayyed Hossein Nasr (ed), “Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam”, (Bandung: Mizan, 2003)
Sachiko Murata, the Tao of Islam, (Bandung, Mizan, cet. 6, 1998)
Imam Khomeini, 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung:
Mizan, ed. Revisi. Cet. 2, 2009)

Anda mungkin juga menyukai