Anda di halaman 1dari 30

Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Dakwah Najdiyah,

Ekstrimisme dan Takfir (excommunication)


Alright people hold your horses! I know you can already tell from the title that this is a highly
controversial subject, but please bear with me for the moment…

Tujuan dari artikel bukanlah untuk menebarkan fitnah ataupun mencemari pergerakan dakwah
manapun melainkan hanya untuk mengedukasi masyarakat dengan fakta tertulis yang otentik
mengenai sejarah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (MIAW) rahimahullah dan kemunculan
negara Saudi yang pertama dari awal hingga akhir, setelah ditumpasnya negara Saudi pertama
oleh Muhammad Ali Pasha. Dikarenakan saya melihat banyak sekali informasi-informasi bias
(and red herring if I may say) yang disebarkan oleh pihak pro dakwah Najdi kepada kalangan
masyarakat ketika berbicara soal biografi Syaikh MIAW dan dakwahnya. Dalam artikel ini kita
akan melihat langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan dakwah Najdi di
masa Syaikh MIAW yang dituliskan atas perintah langsung Syaikh MIAW sendiri.
So remember : We are taking these pieces of information from their own primary sources
Sehingga setelah membaca artikel ini saya berharap para pembaca (khususnya bagi teman-teman
saya yang terlibat aktif dalam dakwah ini) dapat memahami mengapa dakwah Syaikh MIAW pada
masa itu dianggap sebagai dakwah yang kontroversial oleh ulama-ulama semasanya, mengapa
dakwah Najdiyah dinilai sangat mudah mengkafirkan, dan terlebih lagi, mengapa dakwah
tersebut selalu dianggap erat kaitanya dengan kelompok-kelompok ekstrimis sepertis ISIS dan
Boko Haram. Kita akan melihat bahwa faktor pendorong dakwah Najdi saat itu adalah faktor
politik untuk dapat memperluas daerah kekuasaan Ibn Saud.
Dan saya ingin mempertegaskan di awal bahwa artikel ini bukanlah kritikkan terhadap isi dari
dakwah tawhid Syaikh MIAW (not yet anyway, that part comes later Insha Allah) melainkan
hanyalah fakta sejarah atas pernyataan dan aksi Syaikh MIAW dan dakwah Najdi terhadap kaum
muslimin pada masa itu.
Saya sengaja menggunakan istilah “Dakwah Najdiyah” dan bukan Wahhabi ataupun Salafi karena
pertama: Istilah Wahhabi dinilai sebagai istilah yang derogatory (merendahkan) dan umumnya
mereka (pro Najdi) akan mengatakan bahwa istilah Wahhabi merujuk kepada Abdul Wahhab bin
Rustum, seorang khawarij pada abad kedua Hijriah, bukan merujuk kepada Syaikh Muhammad
ibn Abdul Wahhab (MIAW).
(They were so desperate defending the Shaykh up to the point they have to result in such poor
mental gymnastics of genetic fallacy. Just because A happened to have a similar name or
history with B, it doesn’t mean someone must be referring to A when in fact they know exactly
who are they referring to, its B! But for the sake of argument we’ll use the term “Najdi” instead
)
Kedua: Istilah Salafi ataupun Salafiyah dapat merujuk kepada pergerakan dakwah ulama mesir
abad 19 seperti Syaikh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan (ulama
kontemporer dakwah Salafi yang terkenal) Yusuf al-Qardhawi, yang sebenarnya memiliki metode
(or manhaj) yang berbeda dengan dakwah “Salafiyah” (Najdi) yang kita kenal di Indonesia
sekarang.
Dalam artikel ini saya membedakan istilah Salafi (yang berawal di mesir) dengan Salafi-Wahhabi
(A.K.A Wahhabi, berawal dari dakwah Syaikh MIAW pada abad 18 yang pada abad 20 diadopsi
oleh ulama Salafi terkemuka saat itu, Rasyid Ridha, dan hasil pernanakkanya dijadikkan state
ideology oleh kerajaan Saudi hingga sekarang. Sejarah perkembangan Wahhabi menjadi Salafi-
Wahhabi ini memerlukan artikel terpisah untuk dijelaskan).
Nevertheless…
I have many close friends and family who are actively involved in this da’wah (Najdi). I am
fully aware that this truth might hurt them and damage our relationship, but as Mufti Ismail
Menk used to say :
“A word of truth that may hurt for a while is better than a lie that will later hurt for a
lifetime”
Okay now, let us delve into the issue!
First and foremost : Siapakah Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab (MIAW) ?
Beliau adalah seorang Syaikh yang lahir pada tahun 1703 M (1115 H) di negeri ‘Uyaynah (utara
Riyadh) dengan nama lengkap Muhammad ibn ‘Abdul wahhab ibn Sulaiman ibn ‘Ali ibn Musyarraf
At-Tamimi An-Najdi. Beliau terlahir dari keluarga ulama, Ayah beliau adalah seorang Qadhi
(hakim), Kakek beliau seorang Mufti, seluruh paman beliau dan juga saudara beliau, Sulaiman Ibn
Abdul Wahhab (Remember his name, He’ll play an important part later) juga adalah seorang
ulama. Sebelum usia 10 tahun, beliau telah menghafal Al-Quran dan mahir membaca kitab-kitab
tafsir. Beliau menyelesaikan pendidikanya di Madinah kepada para ulama Madinah seperti
Shaykh ‘Abdullah Ibn Ibrahim, Shaykh Muhammad Hayah As-Sindi, Abdullah Ibn Abdul Lathif AL-
Ahsai, dan Muhammad Ibn Fairuz. Masa ini disebut masa rihlah.
Pada tahun 1736, di Iran, Beliau mulai mengajarkan ajaranya yang menentang doktrin-doktrin
sufisme. Setelah itu Beliau kembali pulang ke kota ‘Uyaynah dan menulis buku (the infamous)
Kitab at-tawhid, yang merupakan teks utama dalam doktrin dakwah Najdi. Meskipun pemimpin
‘Uyaynah, Ibn Mu’ammar, saat itu sangat mendukung dakwah MIAW, sayangnya dakwah beliau
tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat sehingga Beliau terpaksa diusir dari ‘Uyaynah
pada tahun 1744 lalu pergi ke Ad-Diriyah (Riyadh). Di Riyadh, Beliau disambut dengan baik oleh
Muhammad Ibn Saud (pemimpin Riyadh saat itu) dan mereka berdua sepakat untuk
menyebarkan dakwah MIAW ke seluruh jazirah arab sehingga terbentuklah pakta (bay’ah) antara
MIAW dan Ibn Saud. (baca selengkapnya : Madawi al-Rasheed, A History of Saudi Arabia).
Beliau sangat serius dengan dakwahnya dalam memberantas praktek-praktek kemusyrikkan
dan menegakkan pemahaman tawhid yang sesungguhnya di Jazirah Arab.
Sampai disini timbul pertanyaan: seberapa parahkah pemahaman tawhid kamu muslimin di
jazirah arab saat itu menurut MIAW sehingga beliau harus berkoalisi dengan Ibn Saud untuk
menyebarkan konsep tawhid-nya?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan mengutip pernyataan MIAW pada kitab ad-durar as-
saniyyah yang merupakan kumpulan fatwa-fatwa dan kutipan pendapat ulama-ulama najdi pada
dakwah Najdi gelombang pertama (masa Syaikh MIAW).
Kitab ini merupakan kitab yang sangat terkenal di kalangan dakwah Najdi (Salafi/Wahhabi)
meskipun mungkin mereka jarang melakukan pengajian ataupun mengutip isi kitab tersebut
(We’ll see why).

There… Ad-Durur-As-Saniyyah…
Mari kita lihat pernyataan Syaikh MIAW pada volume 10 halaman 51 tentang seberapa
parahnya pemahaman tawhid kaum muslimin pada masa itu.
Beliau mengatakan :
“dan aku menceritakan tentang diriku, Aku bersumpah kepada Allah yang tidak ada yang
layak disembah kecuali Dia, bahwa Aku telah menuntut ilmu dan orang-orang yang
mengenalku percaya bahwa aku telah berilmu, sedangkan pada waktu itu aku tidak mengerti
arti kalimat “Laa ilaha illallah” dan juga agama islam, sebelum Allah memberikan kebaikan ini
kepadaku (meaning : the knowledge), begitu juga guru-guruku, tidak ada satupun dari mereka
maupun orang-orang disekitar mereka yang memahaminya (agama Islam dan kalimat “Laa
ilaha illallah”).
Maka dari itu siapapun dari kalangan ulama al-aridh (Riyadh) yang mengatakan: Aku
mengetahui makna “Laa ilaha illallah” atau mengetahui Islam sebelum masa ini (masa dimana
MIAW telah memahaminya), atau mengatakan gurunya ataupun seseorang yang dia kenal
memahami makna ini, maka dia telah berbohong, menyalahartikan dan menipu orang-orang,
dan membanggakan dirinya dengan sesuatu yang ia tidak miliki.”
Seperti yang bisa kita lihat pada kutipan diatas, kondisi keislaman kaum muslimin menurut Syaikh
MIAW pada masa itu begitu parah sampai-sampai tidak ada satupun guru dari Syaikh MIAW yang
memahami agama Islam dan kalimat Laa ilaha illallah
Seperti yang kita ketahui kalimat Laa ilaha illallah adalah satu dari dua kalimat syahadat yang
merupakan syarat wajibnya seseorang untuk menjadi muslim. Jika seseorang mengucapkan dua
kalimat syahadat tanpa mengetahui makna salah satu atau kedua kalimat tersebut maka apa
yang akan terjadi dengan status keislamanya? Apakah ini berarti Syaikh MIAW melakukan takfir
terhadap ulama-ulama pada masa tersebut?
FYI : Takfir adalah sebuah tuduhan atau gugatan yang dilemparkan kepada seseorang yang
dinilai telah murtad atau keluar dari ajaran Islam.
Pada tahap ini pendukung Syaikh MIAW pasti akan berdalih dengan kutipan-kutipan perkataan
Syaikh MIAW yang dapat menutupi kencenderungan takfirnya.
Beliau berkata:
“Mengenai apa yang dikatakan oleh mereka (penentang dakwah tawhid) bahwa aku
melakukan takfir secara umum (takfir bi’l-‘umum), maka ini adalah kebohongan yang
dilontarkan oleh musuh-musuh kita”
“Bagaimana mungkin kita bisa melakukan takfir kepada orang yang tidak melakukan
kesyirikan sedangkan mereka tidak datang kepada kita, tidak melakukan takfir kepada kita,
dan tidak memerangi kita?”
Beliau juga berkata :

“Mengenai takfir, Aku hanya melakukan takfir kepada siapa saja yang mengetahui agama
Rasulullah ‫ ﷺ‬lalu setelah itu ia menghinanya, melarang orang-orang dari agamanya, dan
memusuhi orang-orang yang melaksanakanya. Kepada orang-orang seperti itulah aku
melakukan takfir. Dan kebanyakan dari ummat, dan alhamdulillah, tidak seperti demikian.”
Pernyataan-pernyataan tersebut tertulis dalam kitab Ad-Durar al-Saniyyah dan Mu’allafat dan
seringkali digunakan oleh pendukung Syaikh MIAW sebagai argumen bahwa Syaikh MIAW tidak
suka melakukan takfir tanpa ada “bukti” yang jelas.
But here comes the second surprise…
Dalam kitab yang sama dapat kita temukan suatu riwayat dimana Syaikh MIAW menjelaskan
tentang kekafiran, bahwa kekafiran adalah saat seseorang menyembah sesuatu selain Allah, tidak
menjauhkan diri dari kemusyrikan dan memisahkan diri dari apa saja yang disembah oleh orang-
orang saat itu selain Allah.
Lalu Beliau mengatakan:

“Maka barangsiapa yang tidak melakukan takfir terhadap kaum musyrikin daulah Turki
(khilafah Utsmaniyah), dan penyembah kuburan, seperti orang-orang Mekkah dan yang
lainnya, yang menyembah orang-orang salih (salihin), dan orang-orang yang merusak tawhid
Allah dengan kesyirikkan, dan merubah sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan bid’ah (inovasi)…

‫فهو كافر مثلهم‬


Maka ia telah kafir seperti mereka......”
Dari kutipan di atas dapat kita simpulkan bahwa secara tidak langsung Syaikh MIAW melakukan
takfir terhadap daulah Turki (Utsmaniyah) dan orang-orang Mekkah. Dimana Syaikh menganggap
bahwa orang-orang Mekkah pada saat itu adalah penyembah kuburan orang-orang Salih. Namun
yang menjadi permasalahan adalah Beliau juga melakukan takfir terhadap orang-orang yang
tidak mau melakukan takfir terhadap daulah Turki dan orang-orang Mekkah.
Let’s do a thought experiment: kita bisa saja menjadi orang yang memegang teguh tawhid, tidak
melakukan bid’ah, istighatsah, tabarruk, etc, mengkritik dan memusuhi daulah Utsmaniyyah
serta orang-orang yang melakukan bid’ah dan kemusyrikan. Akan tetapi kita tidak mau
mengatakan bahwa orang-orang yang telah kritik tersebut telah kafir.
Maka menurut Syaikh MIAW kita telah menjadi kafir juga.
Well…
Clearly this is a takfiri tendency
Namun kita masih memerlukkan bukti yang lebih jelas untuk memahami maksud dari Syaikh
MIAW apakah beliau benar-benar melakukan takfir terhadap orang-orang yang tidak mau
mengatakan bahwa daulah Utsmani adalah kafir?
Maybe his great-great grandson can elaborate what did he mean by this statement
Great-great grandson (cicit) yang saya maksud disini adalah Syaikh Abdullah Ibn Abdul Lathif.
Masih dalam kitab ad-durur-as-saniyyah:

Beliau (Syaikh Abdullah) ditanya tentang orang-orang yang tidak mau melakukan takfir terhadap
Khilafah Utsmani dan mengatakan bahwa mereka (Utsmani) adalah penguasa yang zalim namun
harta rampasanya tetaplah haram karena mereka masih muslim.

“Beliau menjawab (fa ajaba) : mereka yang tidak dapat melihat kekafiran dari daulah
(Utsmani), dan tidak dapat membedakan pemberontak (bughat) di antara muslim, mereka
tidak mengetahui makna “Laa ilaha Illallah”, jika mereka berkeyakinan demikian: bahwa
pemimpin daulah (Utsmaniyah) adalah muslim, maka mereka jauh lebih parah (dari daulah
Utsmani) dan lebih besar (kejahatanya), dan inilah yang dimaksud dengan meragukan
kekufuran orang-orang yang melakukan kufr terhadap Allah, dan barangsiapa yang
membantu mereka dalam melawan kaum muslimin (meaning : the najdi) dengan segala
bentuk dukungan apapun, maka ini adalah kemurtadan yang jelas”

Dengan segala bentuk dukungan apapun, ‫إعانة‬ ‫ بأي‬.


Dukungan disini bisa diartikan dalam bentuk dukungan moral, memberikan makanan, berbisnis,
dan lain sebagainya.
Sehingga dapat kita lihat bahwa pemahaman kita soal perkataan Syaikh MIAW mengenai
kekafiran daulah Utsmani sangatlah sesuai dengan pemahaman Syaikh Abdullah bahwa Syaikh
MIAW memang menganggap daulah Utsmaniyah sebagai kuffar dan orang-orang yang tidak mau
menerima kenyataan tersebut juga termasuk sebagai golongan orang yang kafir.
Just a word of advice
Seperti yang dikatakan Syaikh Abdullah, segala macam bentuk dukungan yang kita berikan
kepada daulah Utsmaniyyah merupakan bentuk kemurtadan. Termasuk di dalamnya menonton
serial televisi tentang sejarah kesultanan Utsmaniyyah juga merupakan bentuk dukungan berupa
propaganda dan legitimasi kekuasaan kesultanan Utsmaniyyah sehingga dapat menyebabkan
kita menjadi murtad! naudzubillah…

So no more Ertugrul people!


Now let us move on to the next book,
Kutipan-kutipan pada Ad-Durur-As-Saniyyah yang telah kita kutip sebelumnya hanyalah sebuah
pendapat saja. Kita masih perlu mencari tahu apakah Syaikh MIAW benar-benar melakukan hal
yang sesuai dengan pendapat Beliau.
Dan kita akan melihat apa implikasi dari pernyataan-pernyataan Syaikh MIAW sebelumnya
dimana semua orang yang membantu daulah Utsmaniyyah dianggap sebagai kafir. Oleh sebab
itu akan banyak suku-suku arab yang dikatakan telah murtad sehingga halal untuk diperangi.
Untuk itu, selanjutnya kita akan menelusuri Kitab Tarikh an-Najd karya Ibn Ghannam,
Ibn Ghannam adalah saksi langsung dari dakwah Najdiyah pada masa Syaikh MIAW dan beliau
menuliskan kitab ini atas perintah dari Syaikh MIAW sendiri. Dari kitab ini kita akan melihat
sejarah dakwah Najdi pada masa Syaikh MIAW masih hidup dan aktif mengeluarkan fatwa.
Dapat kita lihat dari kutipan di atas bahwa kitab Tarikh an-najd memiliki nama asli rawdhatul
afkar wal afhar, dan kitab ini dituliskan atas permintaan Syaikh MIAW sendiri
‫هذا الكتاب بطلب من اإلمام نفسه‬
Dan juga
‫فجاء أكثر ما ورد فيه عن مشاهدة وعيان‬
Banyak dari narasi yang didokumentasikan dalam kitab ini adalah saksi langsung (eye witness
testimony) atas apa yang terjadi. Dan Ibn Ghannam juga merupakan saksi langsung dari dakwah
Najdiyah pada masa itu.
Pada kitab ini kita akan focus mengutip riwayat-riwayat di dalam Bab

‫الغزوات‬
Yang berarti “Penaklukkan”
Spoiler alert : the whole chapter is full with stories of the atrocities committed by the early
Da’watun Najdiyah
Singkat cerita, ada dua suku yang ingin masuk Islam (which is weird, bukankah Rasulullah ‫ ﷺ‬telah
mengislamkan seluruh suku-suku di jazirah arab?) lalu mereka pergi ke seseorang bernama Rabi’
Ibn Zaid dan beliau memberikan perjanjian kepada mereka, lalu beliau mengirimkan delegasi
bersama mereka kepada Syaikh MIAW dan amir Abdul Aziz (anak Muhammad Ibn Saud) dan
menginformasikan Syaikh MIAW tentang keinginan mereka. Syaikh MIAW pun sangat senang dan
memuji mereka lalu mengirimkan mereka delegasi Abdullah ibn Fadhil untuk mengajarkan
mereka tawhid dan hukum.

Namun enam bulan kemudian kedua suku tersebut murtad (‫)ارتدوا‬


Yes, murtad… hanya dalam kurun waktu enam bulan mereka murtad, apa yang membuat
mereka murtad? Allah Knows Best!
Dan ketika Abdul Aziz mengetahui hal tersebut beliau menyiapkan tentara untuk kaum muslimin
(the Najdi) memerangi kedua suku ini yang telah murtad (‫)المرتدين‬. Lalu ia berangkat bersama
balatentaranya dan dia menghukum mereka dengan ‫ العذاب‬atau siksaan, dan dia membunuh
banyak sekali dari mereka, sampai mereka dipermalukan dan ditaklukkan akhirnya kedua suku
tersebut memohon untuk masuk Islam kembali. Maka Abdul Aziz mengirimkan delegasinya,
Sulaiman, dan Sulaiman mengirimkan perjanjian dari Abdul Aziz bahwa mereka boleh masuk
Islam kembali dengan syarat mereka harus membayar tiga ribu riyal (‫)ثالثة االف لاير‬
Dan mereka harus membayar seribu riyal sebagai uang muka (DP).
And they accepted it…

Lalu mereka pergi ke al-khurmah, dan mengatakan bahwa Allah menanamkan rasa takut kedalam
hati pasukan Syarif dan pasukan muslim (the Najd of course, since they were the only muslim on
the planet) memenangkan pertempuran tersebut, dan mereka mengambil rampasan (ghanimah)
dan membunuh banyak orang, yaitu sekitar 1220 orang.
Dari membaca riwayat ini kita bisa melihat bahwa mereka merasa jika seseorang tidak sepakat
dengan mereka maka dia tidak sepakat dengan Islam. Suku-suku arab yang tidak mendukung
dakwah mereka akan diperlakukan seperti musuh Allah, murtadin, dan sebagainya… mereka
merasa diberikan hak oleh Allah untuk menghukum suku-suku arab lainnya.
Atau dapat simpulkan :
Basically They were the epitome of Islam… They are Islam and Islam is Them.
Kejadian-kejadian serupa juga didokumentasikan dalam beberapa riwayat berikut:

Pada akhir tahun 1166 Hijri, penduduk manfuhah ) ‫ )اهل منفوحة‬telah murtad dan melanggar
perjanjian dengan muslim dan mengusir imam mereka Muhammad ibn Salih.
Pada tahun ini seseorang bernama al-ghafili telah murtad…

Tahun 1169 Abdul Aziz mengirim balatentara untuk menyerang orang-orang manfuhah (yang
sebelumnya dikatakan telah murtad), dan dia membunuh dan mengalahkan orang-orang
manfuhah.
Mereka menyerang orang-orang Jabilah yang sesat (mereka disebut : ‫ ( أهل الضالل‬pada siang hari,
dan mereka memerangi mereka beberapa hari, dan mereka mengepung kaum musyrikin,
sehingga mereka melarikan diri, dan 60 orang terbunuh dalam pertempuran tersebut.

Tahun 1173 orang-orang tawhid ( Najdi = ‫ )أهل التوحيد‬melakukan ekspedisi militer kembali dan
membunuh Ali ibn dukhan dan empat orang lainnya, lalu mereka melukai banyak hewan…

‫ثم ارت ّد أهل بلدة‬


Again… Another tribe apostated… disebut nama suku tersebut adalah hurmah.
Dikarenakan orang-orang hurmah menghianati orang-orang beriman dan membunuh beberapa
orang beriman.
Dan Tahun 1164, ada seseorang bernama Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Abdurrahman yang telah
melanggar perjanjian, and… guess what?
Yes! Murtad!
Sepertinya sangat mudah untuk menjadi murtad di masa ini. Alasan mengapa mereka dianggap
murtad umumnya karena mereka melanggar perjanian. And to be fair, juga tertulis disana bahwa
Ibrahim Ibn Muhammad dikatakan membunuh beberapa orang pendakwah tawhid.
Namun sejak kapan membunuh ataupun melanggar perjanjian membuat seseorang menjadi
murtad?

“Pada tahun ini SEMUA penduduk Qasim )‫ )اهل القصيم‬menjadi murtad kecuali orang-orang
buraidah dan ar-rus karena mereka telah melanggar perjanjian”
What kind of agreement did they violate?? Seriously… banyak suku-suku arab yang dikatakan
murtad hanya karena melanggar perjanjian. Mungkin perjanjian yang dimaksud disini adalah
perjanjian untuk tidak membantu Khilafah Utsmani. Karena ingat: Syaikh MIAW dan Syaikh Abdul
Lathif mengatakan bahwa orang yang membantu Khilafah Utsmani adalah kafir wal murtadin!
and this one is kinda shocking to read

Singkat cerita mereka (pasukan muslimun/the Najdi) pergi ke al-ahsa (‫ ) أألحساء‬dan mereka
mengepung dan mengalahkan orang-orang kota ini dan mengontrol semua jalur di al-ahsa
sehingga orang-orang al-ahsa tidak dapat melarikan diri dari kota tersebut sehingga mereka
harus melindungi di dalam rumah dan benteng. Dan ketika pasukan muslim (the Najdi) memasuki
kota tersebut, mereka memasuki rumah-rumah dan benteng mereka dan membantai sekitar 300
orang di dalamnya.

‫وكانوا ثالثمائة رجل قتلوا جميعا‬


Just like that…. 300 people
Dan terlebih lagi mereka juga merampas senjata, makanan, hewan, semua yang terdapat pada
kota tersebut.
Semua ini karena suku-suku disekitar mereka dianggap telah murtad atau keluar dari agama
Islam sehingga halal untuk diperangi.
Coba bayangkan jika kita hidup di jazirah arab pada saat itu… mungkin akan serasa tinggal di
daerah yang dekat dengan ISIS, or worse…

Now we will get to the climax


Agar dapat memahami lebih dalam pola pikir mereka dalam menyatakan suatu suku telah
murtad, mari kita perhatikan narasi dari Ibn Ghannam berikut

Pada tahun 1160 Hijri, bulan rabiul awwal,


Muhammad Ibn Saud melakukan ekspedisi militer dengan orang-orang huraymilla dan al-
uyaynah dan kedua suku tersebut membuat perjanjian untuk melakukan jihad dan memberikan
kemenangan bagi agama Islam.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa orang-orang Huraymilla pada saat ini mendukung dakwah
Syaikh MIAW dan melakukan ekspedisi bersama Muhammad Ibn Saud.
But then five years later….

Pada bulan Syawal tahun 1165 orang-orang Huraymilla menjadi murtad.


No surprise?
Inilah alasanya mengapa dakwah Najdi selalu dikaitkan dengan fenomena takfir.
Suku huraymilla yang sebelumnya mendukung Muhammad Ibn Saud dalam ekspedisi militernya
dan membuat perjanjian untuk melakukan jihad, dalam kurun waktu tahun dianggap telah
menjadi murtad. With no reason given…
Dan parahnya lagi :

‫ أخا الثيخ محمد بن عبد الوهاب‬,‫وكان قاضيها سليمان بن عبد الوهاب‬


Qadi (judge/hakim) dari orang-orang huraymilla yang dikatakan murtad adalah Sulaiman Ibn
Abdul Wahhab, kakak kandung dari Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
Syaikh MIAW menganggap saudaranya sendiri telah murtad, Beliau melakukan takfir
terhadap Syaikh Sulaiman dan semua penduduk huraymilla.
Can you believe that?

Syaikh MIAW mengatakan bahwa saudaranya telah menyebarkan syubuhat (keraguan) lalu ia
mengirim surat ke saudaranya (Syaikh Sulaiman) yang berisikan nasihat dan
(‫) ويح ًذره العقبة‬memperingatinya dengan ancaman. Lalu Syaikh Sulaiman memberikan surat
balasan ke Syaikh MIAW dan mengatakan bahwa ia masih menghargai perjanjian yang
dibuatnya dengan Muhammad Ibn Saud (Orang-orang Huraymilla tidak melanggar perjanjian
yang mereka buat) dan beliau berkata :

‫وذكر له أنه لن يقيم في حريميال يوما واحدا إن ظهر من أهلها ارتداد‬


“Jika aku melihat ada kemurtadan dari orang-orang Huraymilla maka aku tidak akan tinggal
bersama mereka meskipun hanya satu haripun”
Sangat jelas dapat kita lihat bahwa Syaikh Sulaiman, kakak kandung dari Syaikh MIAW, tidak
setuju dengan tindakanya yang mengkafirkan penduduk Huraymilla. Beliau mengatakan bahwa
penduduk Huraymillah tidak melakukan segala bentuk tindak kemurtadan dan mereka masih
menghargai perjanjian dengan Ibn Saud. Meskipun sebelumnya memang Syaikh Sulaiman pernah
menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan tindakan Syaikh MIAW yang mengafirkan beberapa
suku arab sehingga beliau menulis buku dan artikel tentang kesalahan Syaikh MIAW dalam
melakukan takfir dan artikel tersebut disebarkan kepada penduduk huraymilla dan al-uyayna.
Syaikh MIAW tidak senang dengan hal ini sehingga beliau menulis sebuah buku berjudul mufid
al mustafid.
Pada bagian kata pengantar dapat kita lihat:

Bahwa Syaikh MIAW menuliskan buku ini sebagai respon terhadap “kemurtadan” orang-orang
Huraymilla.
And this one basically sum it up…

Setelah menjelaskan tentang pengertian syirik akbar Syaikh MIAW berargumen bahwa murtad
atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari apakah dia membenci pelaku kemusyrikan atau tidak.
Lalu beliau mengklaim bahwa ini adalah pendapat Ibn Taymiyyah di bukunya, al-Iqna’ :
“Barangsiapa yang memanggil/tawassul (‫ )دعا‬Ali ibn abi thalib maka ia telah kafir,
barangsiapa yang meragukan kekafiran orang tersebut (yang telah memanggil Ali) maka ia
juga kafir….”
Sehingga dapat kita pahami sekarang mengapa banyak sekali suku-suku arab yang murtad di
zaman Syaikh MIAW, karena mereka dapat dengan mudah dikatakan murtad hanya jika mereka
dirasa tidak memusuhi dan membenci orang-orang yang telah dianggap kafir (dalam hal ini bisa
jadi daulah Utsmaniyyah).
A little disclaimer here : Ibn Taymiyyah tidak berkata seperti demikian di al-Iqna, yang dikatakan
kafir oleh Ibn Taymiyyah adalah orang menuhankan Ali Ibn Abi Thalib, bukan sekedar memanggil
(tawassul).
Jadi, Jika masih ada orang yang mengatakan :
“Dakwah salafiyah(Najdiyah) sejatinya tidak mengafirkan seorang pun dari kaum Muslim,
kecuali bila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.”
Please… You can’t use your rhetorical gymnastics forever mate.
Tolong tanyakan kepada orang tersebut apa alasanya Syaikh MIAW mengafirkan penduduk
huraymilla, al-ahsa, qasim, manfuhah, orang-orang mekkah (yang disebut sebagai penyembah
kuburan) dan seluruh kesultanan Utsmaniyyah dan bahkan orang-orang yang tidak mau atau
tidak setuju dengan takfir Syaikh MIAW?
Apakah karena :
1. Mereka melanggar Perjanjian dengan Ibn Saud
2. Mereka membunuh anggota dakwah Najdi
3. Mereka melakukan kekufuran dan kemusyrikan yang dapat dijadikan Iqamatul Hujjah
yang tidak disebutkan oleh Ibn Ghannam dalam tarikhnya.
Kita tahu poin 1 dan 2 tidak mungkin menyebabkan seseorang menjadi murtad, sehingga hanya
tersisa poin 3. Sehingga pertanyaan selanjutnya adalah apa yang sebenarnya mereka lakukan
sehingga dikatakan murtad oleh Syaikh MIAW? Istighatsah kepada mayit? Tabarruk? Tawassul?
Ibn Taymiyyah pernah menulis sebuah buku berjudul AL-ISTIGHATHAH FIL-RAD 'ALA AL-BAKRI
yang berisi bantahan terhadap Al-Bakri karena Al-Bakri mempromosikan praktik istighatsah.
Ingat : Ibn Taymiyyah sedang berbicara tentang orang yang jelas-jelas mempromosikan
istighatsah

Namun dalam buku tersebut, tidak ada satu pun pernyataan Ibn Taymiyyah yang mengafirkan
Al-Bakri!
Padahal dalam buku itu Ibn Taymiyyah membantah kutipan langsung dari al-Bakri yang jelas
mempromosikan istighatsah. Disinilah bedanya Ibn Taymiyyah dengan Syaikh MIAW, beliau
tidak mudah mengatakan seseorang telah murtad meskipun orang tersebut jelas-jelas
mempromosikan bid’ah dan kesyrikkan.
Sedangkan Syaikh MIAW dengan mudahnya mengatakan seluruh penduduk kota bahkan negara
(Utsmaniyyah) telah murtad.
If this is not extremism then tell me, what is it?
Sekarang kita akan melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang dakwah Najdi setelah Syaikh
MIAW meninggal. Syaikh MIAW meninggal pada tahun 1207 Hijri atau 1792 Masehi. Pemimpin
Riyadh pada masa ini adalah Saud Ibn Abdul Aziz Ibn Muhammad Ibn Saud. Beliau adalah cucu
dari Muhammad Ibn Saud dan anak dari Abdul Aziz, dua tokoh yang telah kita bahas sebelumnya.
Dan perlu digarisbawahi disini bahwa Saud Ibn Abdul Aziz adalah murid dari Syaikh MIAW.
Oke, sekarang kita akan masuk pada kitab :

Kitab ini ditulis oleh Ibn Bishr, sejarawan yang juga hidup pada masa awal pergerakkan dakwah
Najdi.
Dapat kita lihat pada tahun 1795, 1210 H, tiga tahun setelah Syaikh MIAW meninggal, kita
kembali dapat melihat kekejaman yang dialami oleh penduduk al-ahsa

“Sebelum matahari terbit, pasukan muslim (baca : Najdi) menembakkan senapan mereka
sehingga bumi berguncang dan langit menjadi gelap dan dipenuhi asap, dan banyak wanita-
wanita hamil di al ahsa yang mengalami keguguran karena ketakutan.”
Dan perlu diingat bahwa al-Ahsa pada masa ini adalah bagian dari kesultanan Utsmaniyya

Saud Ibn Abdul Aziz menetap disana dalam beberapa bulan, membunuh siapa saja yang ingin dia
bunuh, mengusir siapa saja yang ingin dia usir, dan memenjarakan siapa saja yang ingin dia
penjarakan, mengambil harta mereka, dan menghancurkan tempat-tempat dan rumah-rumah,
membangun benteng, dan meminta dan merampas ribuan dirham dari mereka.
Great….
Sekarang , Tahun 1797 atau 1212 Hijriah di Basra, Iraq (juga bagian dari daulah Utsmaniyyah)

Pada bulan Ramadan Saud melakukan ekspedisi dengan balatentara yang Berjaya dan kuda-kuda
ternama dari seluruh area Najd dan suku-suku arab, dan beliau berniat pergi ke utara (Iraq,
Basra). Beliau menyerang sebuah pasar bernama “As-Syuyukh” dan membunuh banyak orang
sampai orang-orang panik melarikan diri dan mati tenggelam (‫ )وغرقوا‬di sungai.
Oke, sejauh ini mungkin kita sudah terbiasa melihat mereka melakukan pembantaian seperti
itu, but what worse is………
In case you didn’t notice :

‫وفيها في رمضان‬
They did this in Ramadhan!!!
Sekarang memasuki tahun 1220 Hijriah
Disebut disini bahwa pada tahun ini daerah arab sedang mengalami kekeringan

Peristiwa kekeringan ini dimanfaatkan oleh pasukan Najdi untuk mengepung Mekkah (masih
dalam kekuasaan Utsamaniyyah), mereka menutup jalur dari yaman, tihamah dan hijaz dan
najd. Hal ini membuat kondisi orang-orang di mekkah semakin parah sehingga mereka :

ً ‫ ومات خلق كثير منهم جو‬,‫وأكلت الكالب وبلغ رطل الدهن ريالين‬
‫غا‬
Yes… mereka terpaksa memakan anjing-anjing dan banyak dari mereka yang mati kelaparan.
Tahun 1224 Hijri, Saud Ibn Abdul Aziz menunaikan ibadah haji ke mekah…

“Pada tahun tersebut tidak ada satupun pengunjung dari syams, mesir, Istanbul dan Iraq
yang bisa menunaikan ibadah haji tanpa persetujuan dari saud (ibn abdul aziz).”
Sangat jelas dapat kita lihat bahwa mereka meragukan keislaman daerah-daerah yang dikuasai
daulah Utsmaniyyah sehingga orang-orang dari daerah tersebut harus meminta izin kepada Saud
terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah haji.
Tahun 1225 di negeri syams….

Pasukan Najdi merampas harta-harta masyarakat syams dan menyebabkan banyak orang
melarikan diri dari tempat yang mereka serang, dan mereka menyebabkan kepanikan massal
pada masyarakat as-syams.
Riwayat berikut ini merupakan bukti lainnya bahwa mereka menganggap orang-orang yang
mereka perangi telah murtad, masih di tahun 1225 Hijriah di Oman
Pasukan Najdi mengalahkan pasukan Oman dan mereka membunuh banyak orang, dan mereka
mengambil Meriam dan peralatan mereka, dan mereka mengambil banyak ghanimah (harta
rampasan perang.
Bukan hanya Oman, ternyata mereka juga sempat menyerang Bahrain…

Pasukan Najdi memerangi orang-orang Bahrain dan mereka membakar kapal-kapal Bahrain.
Pertempuran ini menyebabkan kematian 1400 orang Bahrain dan 200 orang dari pasukan Saud.
Pada tahun 1226, Saud Ibn Abdul Aziz kembali menunaikan haji dan orang-orang Istanbul,
mesir, dan syam kembali harus meminta izin agar bisa menunaikan haji di mekkah.
Setidaknya sudah tiga kali masyarakat mekkah mengalami terror dari Saud, bagaimana dengan
masyarakat Madinah?

Saud bersama pasukanya berangkat ke Madinah dan selama perjalanan kesana mereka
mengambil banyak ghanimah (rampasan perang). Lalu mereka berpapasan dengan pasukan
Utsmaniyyah di dekat gunung uhud dan terjadi pertempuran singkat. Mereka berhasil
membunuh 30 pasukan berkuda. Namun mereka (pasukan Saud) akhirnya kabur dari
pertempuran tersebut.

Lalu mereka sampai pada suatu area di Madinah, dan mereka membakar pohon-pohon kurma
dan membantai orang-orang disana.
Pada tahun 1232 Hijri

Kesultanan Utsmaniyyah akhirnya melakukan tindakan dengan mengirimkan Muhammad Ali


Pasha untuk menyerang Saud Ibn Abdul Aziz.
Muhammad Ali Pasha memerangi Saud hingga sampai kota Riyadh. Akhirnya pasukan Najdi pun
menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan kesultanan Utsmaniyyah pada tahun
1233 Hijriah.
Setelah itu Saud Ibn Abdul Aziz dibawa ke Istanbul, disiksa (dan dicabuti giginya), dan akhirnya
dieksekusi di Istanbul.
And that was the end of the first Saudi state
Kehidupan Saud Ibn Abdul Aziz berakhir dengan tragis... Namun, setelah melihat semua
kejahatan yang dia lakukan di seluruh jazirah arab… honestly, I lost my sympathy
Saud telah menyerang, merampas, dan membantai banyak orang orang di Oman, Bahrain, Iraq,
Syams, bahkan mekkah dan madinah. Dan semua ini dicatat oleh sejarawan mereka sendiri
seakan-seakan ini adalah sesuatu yang membanggakan untuk dicatat. Akan tetapi kita tidak
dapat menyalahkan seluruhnya kepada Saud Ibn Abdul Aziz. Telah kita ketahui sebelumnya
bahwa tindakkan Saud Ibn Abdul Aziz ini dipengaruhi oleh ayahnya (Abdul Aziz), kakeknya
(Muhammad ibn Saud), serta Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang menanamkan doktrin
bahwa seluruh kesultanan Utsmaniyyah adalah kafir dan juga orang-orang yang tidak mau
mengakui bahwa mereka telah kafir. Sehingga mereka dengan mudahnya menyerang,
membunuh, dan merampas penduduk-penduduk di daerah tersebut atas nama dakwah tawhid
dalam melawan orang-orang musyrik.

Anda mungkin juga menyukai