Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Hilangnya sebagian alat gerak akan menyebabkan ketidakmampuan seseorang dalam


derajat yang bervariasi, tergantung dari luas hilangnya alat gerak, usia pasien, ketepatan operasi
dan manajemen paska operasi. Satu atau seluruh faktor ini bertanggung jawab atas kondisi
ketidakmampuan pasien untuk kembali ke kemampuan fungsional seperti sebelumnya.

Adanya inovasi baru teknik amputasi, perawatan sebelum dan setelah operasi, terutama
dengan pendekatan rigid dressing, teknik prostetik yang lebih baru serta pemahaman yang lebih
baik tentang implikasi hilangnya alat gerak terhadap factor psikososial pasien, telah banyak
merubah pendekatan tindakan operasi dan rehabilitasi saat ini.

Berdasarkan penelitian pada saat ini amputasi pada pada alat gerak bawah mencapai
85%-90% dari seluruh amputasi dan amputasi bawah lutut (transtibialamputation) merupakan
jenis operasi amputasi yang paling sering dilakukan. Sedikitnya 90% dari seluruh pasien dengan
amputasi bawah lutut berhasil mempergunakan prostetik dibandingkan dengan amputasi di atas
lutut (25%). Burgess menyatakan adanya keberhasilan pada amputasi bawah lutut karena
penyakit vaskuler perifer mempergunakan teknik immediate rigid dressing dan prostetik dalam
hal proses penyembuhan luka.
BAB II
KAJIAN TEORI

1.OSTEO SARKOMA
1.1 Definisi
Ada yang beranggapan kanker tulang merupakan penyakit yang diturunkan. Ada pula
yang menganggap kanker tulang ini sebagai penyakit kutukan, mungkin karena kasusnya relatif
jarang terjadi. Tetapi bagaimanapun, sangat lebih baik jika kita sedikit banyak mengetahui
perihal kanker tulang ini.
Kanker tulang adalah kanker yang terjadi akibat adanya kelainan sel yang membentuk
tulang. Kanker yang dimulai di tulang jarang terjadi, tapi kanker yang telah menyebar ke tulang
dari bagian lain dari tubuh lebih umum terjadi.
Adalah tumor tulang ganas yang berhubungan dengan periode kecepatan pertumbuhan
pada masa remaja. Osteosarkoma (Sarkoma Osteogenik) adalah tumor tulang ganas primer,
dimana tumor ganas ini memproduksi tulang dan sel-selnya berasal dari sel mesenkimal primitif.
Berdasarkan WHO definisi osteosarkoma adalah:
Primary high grade malignant tumour in which the neoplastic cells produce osteoid
(Christopher D.M., 2002: 264).
Berdasarkan penilaian klinis, radiologis dan histopatologis yang cermat dari masing-
masing tumor tulang, maka dapat ditentukan staging tumor tersebut. Staging berlaku untuk tumor
jinak dan tumor ganas tulang. Sistem staging yang dipakai untuk tumor tulang ialah Surgical
Staging System dari Enneking. Untuk tumor ganas ada 3 tingkat stadium, yaitu:
1. Stadium I, bila derajat keganasannya rendah.
2. Stadium II, artinya tumor mempunyai derajat keganasan tinggi.
3. Stadium III, yang berarti tumor sudah menyebar.
Secara garis besar kanker tulang dipecah menjadi dua jenis:

1. Kanker tulang metastatik atau lebih sering disebut juga sebagai kanker tulang
sekunder. Kanker tulang jenis ini disebabkan oleh kanker yang sudah ada di organ
tubh yang lain sebelum akhirnya menyebar ke tulang. Jadi kankernya bukan dari
tulang. Contohnya adalah kanker paru-paru yang menyebar ke tulang dimana sel-sel
kankernya menyerupai sel-sel paru-paru namun berada pada tulang yang diserang.
2. Kanker tulang primer. Kanker yang satu ini memang berasal dari tulang itu sendiri.
Yang termasuk dalam kategori kanker tulang ini adalah: Mieloma Multipel,
Osteosarkoma, Fobrosarkoma, dan Histiositoma Fobrosa Maligna, Kondrosarkoma,
Tumor Ewing, dan  Limfoma Tulang Maligna.

1.2 Gejala

Yang paling sering dialami adalah nyeri. Sejalan dengan pertumbuhan tumor, bisa juga
terjadi pembengkakkan, dan pergerakan yang terbatas. Tumor di tungkai akan menyebabkan
penderita berjalan timpang. Sedangkan tumor di lengan akan menyebabkan nyeri ketika lengan
dipakai untuk mengangkat sesuatu. Pembengkakkan pada tumor mungkin akan berasa hangat
dan terlihat agak memerah. Tanda awal dari penyakit ini bisa merupakan patah tulang yang
selanjutnya menjadi tumor. Patah tulang di tempat tumbuhnya tumor ini disebut fraktur
patologis dan sering terjadi setelah tulang mengalami gerakan rutin. Berdasarkan Jess H.
Lonner, tanda osteosarkoma adalah : Paint and swelling, decreased range of motion, localized
warmth and pathological fracture. (Jess H. Lonner, 1999: 243).
Penemuan pada pemeriksaan fisik biasanya terbatas pada tempat utama tumor:

1. Massa: massa yang dapat dipalpasi dapat ada atau tidak, dapat nyeri tekan dan hangat
pada palpasi, meskipun gejala ini sukar dibedakan dengan osteomielitis. Pada
inspeksi dapat terlihat peningkatan vaskularitas pada kulit.
2. Penurunan range of motion: keterlibatan sendi dapat diperhatikan pada pemeriksaan
fisik.
3. Lymphadenopathy: keterlibatan kelenjar limfa merupakan hal yang sangat jarang
terjadi.
1.3 Faktor Resiko

Penyebab pasti dari osteosarkoma tidak diketahui, namun terdapat berbagai


faktor resiko untuk terjadinya osteosarkoma yaitu:

1. Pertumbuhan tulang yang cepat : pertumbuhan tulang yang cepat terlihat sebagai
predisposisi osteosarkoma, seperti yang terlihat bahwa insidennya meningkat pada
saat pertumbuhan remaja. Lokasi osteosarkoma paling sering pada metafisis,
dimana area ini merupakan area pertumbuhan dari tulang panjang.
2. Faktor lingkungan: satu satunya faktor lingkungan yang diketahui adalah paparan
terhadap radiasi.
3. Predisposisi genetik: displasia tulang, termasuk penyakit paget, fibrous dysplasia,
enchondromatosis, dan hereditary multiple exostoses and retinoblastoma (germ-line
form). Kombinasi dari mutasi RB gene (germline retinoblastoma) dan terapi radiasi
berhubungan dengan resiko tinggi untuk osteosarkoma, Li-Fraumeni syndrome
(germline p53 mutation), dan Rothmund-Thomson syndrome (autosomal resesif
yang berhubungan dengan defek tulang kongenital, displasia rambut dan tulang,
hypogonadism, dan katarak).

2 Metastase

Bukti radiologis dari deposit metastase pada paru dan tempat lainnya ditemukan
pada 10% sampai 20% pasien pada saat diagnosis, dengan 85% sampai 90% metastase
berada pada paru-paru. Tempat metastase lainnya yang paling sering adalah pada
tulang, metastase pada tulang lainnya dapat soliter atau multipel. Sindrom dari
osteosarkoma multipel ditujukan pada adanya multipel tumor pada berbagai tulang,
dengan keterlibatan metafisis yang simetris.

3 Pendeteksian penyakit ini adalah dengan pemeriksaan:


1. Rontgen tulang yang terkena untuk melihat luasnya kerusakan tulang
2. CT Scan tulang yang terkena. CT scan (CAT scan atau computed tomography)
adalah tes yang lebih canggih yang dapat memberikan gambar penampang silang
tulang Anda. Tes ini memberikan detail yang sangat bagus dari tulang Anda dan
lebih mampu mengidentifikasi kemungkinan tumor. Hal ini juga memberi informasi
tambahan pada ukuran dan lokasi tumor.
3. Pemeriksaan darah (termsuk kimia serum) yaitu alkaline phosphatase serum.
4. CT Scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru
5. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan tes lanjutan lain yang juga dapat
memberikan pencitraan penampang silang dari tubuh Anda. MRI memberikan detail
jaringan lunak termasuk otot, tendon, ligamen, saraf, dan pembuluh darah yang
lebih baik daripada CT scan. Tes ini dapat memberikan detail yang lebih baik ada
atau tidaknya tumor tulang yang melibatkan jaringan lunak di sekitarnya.
6. Biopsi. Biopsi tumor yaitu mengambil sampel kecil dari tumor yang dapat diperiksa
di laboratorium untuk menentukan jenis tumor itu. Biopsi dapat diperoleh baik
melalui jarum kecil (jarum biopsi) atau melalui sayatan kecil (insisional biopsi).
Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi jarum dan biopsi terbuka
7. Scanning keseluruhan tulang untuk melihat penyebaran kanker-nya.
Sebelum dilakukan pembedahan, dilakukan kemoterapi supaya tumor mengecil.
Kemoterapi ini lumayan manjur untuk membunuh sel tumor yang sudah mulai
menyebar. Jika belum terjadi penyebaran ke paru-paru, maka angka harapan
hidupnya mencapai 60%. Sekitar 75% penderita bisa bertahan hidup sekitar 5 tahun
setelah kanker tulangnya terdiagnosis.
1.4 Stadium

Stadium konvensional yang biasa digunakan untuk tumor keras lainnya tidak
tepat untuk digunakan pada tumor skeletal, karena tumor ini sangat jarang untuk
bermetastase ke kelenjar limfa. Pada tahun 1980 Enneking memperkenalkan sistem
stadium berdasarkan derajat, penyebaran ekstrakompartemen, dan ada tidaknya
metastase. Sistem ini dapat digunakan pada semua tumor muskuloskeletal (tumor
tulang dan jaringan lunak). Komponen utama dari sistem stadium berdasarkan derajat
histologi (derajat tinggi atau rendah), lokasi anatomi dari tumor (intrakompartemen dan
ekstrakompartemen), dan adanya metastase.

Untuk menjadi intra kompartemen, osteosarkoma harus berada diantara periosteum.


Lesi tersebut mempunyai derajat IIA pada sistem Enneking. Jika osteosarkoma telah
menyebar keluar dari periosteum maka derajatnya menjadi IIB. Untuk kepentingan
secara praktis maka pasien digolongkan menjadi dua yaitu pasien tanpa metastase
(localized osteosarkoma) dan pasien dengan metastse (metastatic osteosarkoma).

1.5 Penatalaksanaan
 Medikamentosa

Sebelum penggunaan kemoterapi (dimulai tahun 1970), osteosarkoma ditangani


secara primer hanya dengan pembedahan (biasanya amputasi). Meskipun dapat
mengontrol tumor secara lokal dengan baik, lebih dari 80% pasien menderita rekurensi
tumor yang biasanya berada pada paru-paru. Tingginya tingkat rekurensi
mengindikasikan bahwa pada saat diagnosis pasien mempunyai mikrometastase. Oleh
karena hal tersebut maka penggunaan adjuvant kemoterapi sangat penting pada
penanganan pasien dengan osteosarkoma. Pada penelitian terlihat bahwa adjuvant
kemoterapi efektif dalam mencegah rekurensi pada pasien dengan tumor primer lokal
yang dapat direseksi. Penggunaan neoadjuvant kemoterapi terlihat tidak hanya
mempermudah pengangkatan tumor karena ukuran tumor telah mengecil, namun juga
dapat memberikan parameter faktor prognosa. Obat yang efektif adalah doxorubicin,
ifosfamide, cisplatin, dan methotrexate dosis tinggi dengan leucovorin. Terapi
kemoterapi tetap dilanjutkan satu tahun setelah dilakukan pembedahan tumor.

 Pembedahan

Tujuan utama dari reseksi adalah keselamatan pasien. Menurut Prof. Errol,
operasi ini dibagi menjadi dua:

1. Limb salvage yaitu tulang yang terkena tumor ganas disambung dengan bekas kaki
pasien lain yang baru saja meninggal dunia atau tulang yang terkena tumor pada
stadium dini dimatikan dulu dengan radiasi kemudian dipasang lagi.
2. Limb ablation yaitu tulang yang terkena tumor ganas di amputasi.
(Errol, 2005: 29).

Reseksi harus sampai batas bebas tumor. Semua pasien dengan osteosarkoma
harus menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor prmer. Tipe dari
pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor yang harus dievaluasi
dari pasien secara individual. Batas radikal, didefinisikan sebagai pengangkatan seluruh
kompartemen yang terlibat (tulang, sendi, otot) biasanya tidak diperlukan. Hasil dari
kombinasi kemoterapi dengan reseksi terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan
amputasi radikal tanpa terapi adjuvant, dengan tingkat 5-year survival rates sebesar 50-
70% dan sebesar 20% pada penanganan dengan hanya radikal amputasi. Fraktur
patologis, dengan kontaminasi semua kompartemen dapat mengeksklusikan
penggunaan terapi pembedahan limb salvage, namun jika dapat dilakukan pembedahan
dengan reseksi batas bebas tumor maka pembedahan limb salvage dapat dilakukan.
Pada beberapa keadaan amputasi mungkin merupakan pilihan terapi, namun lebih dari
80% pasien dengan osteosarkoma pada eksrimitas dapat ditangani dengan pembedahan
limb salvage dan tidak membutuhkan amputasi. Jika memungkinkan, maka dapat
dilakukan rekonstruksi limb-salvage yang harus dipilih berdasarkan konsiderasi
individual, sebagai berikut :
1. Autologous bone graft: hal ini dapat dengan atau tanpa vaskularisasi. Penolakan
tidak muncul pada tipe graft ini dan tingkat infeksi rendah. Pada pasien yang
mempunyai lempeng pertumbuhan yang imatur mempunyai pilihan yang terbatas
untuk fiksasi tulang yang stabil (osteosynthesis).
2. Allograft: penyembuhan graft dan infeksi dapat menjadi permasalahan, terutama
selama kemoterapi. Dapat pula muncul penolakan graft.
3. Prosthesis: rekonstruksi sendi dengan menggunakan prostesis dapat soliter atau
expandable, namun hal ini membutuhkan biaya yang besar. Durabilitas merupakan
permasalahan tersendiri pada pemasangan implant untuk pasien remaja.
4. Rotationplasty: tehnik ini biasanya sesuai untuk pasien dengan tumor yang berada
pada distal femur dan proximal tibia, terutama bila ukuran tumor yang besar
sehingga alternatif pembedahan hanya amputasi.

o Selama reseksi tumor, pembuluh darah diperbaiki dengan cara end-to-end


anastomosis untuk mempertahankan patensi dari pembuluh darah. Kemudian
bagian distal dari kaki dirotasi 180º dan disatukan dengan bagian proksimal
dari reseksi. Rotasi ini dapat membuat sendi ankle menjadi sendi knee yang
fungsional.

o Sebelum keputusan diambil lebih baik untuk keluarga dan pasien melihat video
dari pasien yang telah menjalani prosedur tersebut.

5. Resection of pulmonary nodules: nodul metastase pada paru-paru dapat


disembuhkan secara total dengan reseksi pembedahan. Reseksi lobar atau
pneumonectomy biasanya diperlukan untuk mendapatkan batas bebas tumor.
Prosedur ini dilakukan pada saat yang sama dengan pembedahan tumor primer.
Meskipun nodul yang bilateral dapat direseksi melalui median sternotomy, namun
lapangan pembedahan lebih baik jika menggunakan lateral thoracotomy. Oleh
karena itu direkomendasikan untuk melakukan bilateral thoracotomies untuk
metastase yang bilateral (masing-masing dilakukan terpisah selama beberapa
minggu).

 Prognosis (Ramalan Hasil Akhir Perjalanan Penyakit)


Pada permulaannya prognosis osteosarkoma adalah buruk, five years survival rate-
nya hanya berkisar antara 10-20%, belakangan ini dengan terapi ajuvan berupa kemoterapi
yang intensif, maka five years survival rate menjadi lebih baik, mencapai 60-70%, bahkan
ada yang mencapai 100%. Berkat kemoterapi pra bedah maka tindakan amputasi juga
sudah jauh berkurang. Sekarang di pusat-pusat pengobatan kanker tulang yang lengkap,
lebih sering dilakukan tindakan limb salvage.

2. AMPUTASI

2.1 Definisi

Secara definisi amputasi adalah hilangnya bagian tubuh seseorang. Operasi amputasi
sendiri merupakan suatu teknik operasi rekonstruksi dan plastik yang akanmembentuk sebuah
alat gerak yang sesuai untuk fitting sebuah prostetik yang nyaman dan fungsional.

2.2 Prevalensi dan Etiologi Amputasi

Angka insidensi dan prevalensi amputasi yang pasti tidak diketahui, tetapi di Amerika
Serikat saat ini terjadi 43.000 amputasi per tahun. Penyebab amputasi dan kondisi medis yang
berhubungan dengannya sering merupakan pertimbangan yang penting untuk mengembangkan
program manajemen pasien dengan amputasi. Penyebab amputasi sendiri secara umum dapat
dibedakan menjadi :

Defek lahir kongenital (5%)


Mayoritas tampak pada usia dari lahir hingga 16 tahun.

Didapat (95%), terdiri dari :

(1) Penyakit oklusi arterial (Occlusive Arterial Disease) – 60%.

Sering dihubungkan dengan diabetes mellitus. Mempunyai insidensi pada usia


sekitar 60-70 tahun. 90% kasus melibatkan alat gerak bawah; 5% partial foot and
ankle amputations, 50% below knee amputation, 35% above knee amputation dan 7-
10% hip amputation).

(2) Trauma - 30%.

Paling sering terjadi pada usia antara 17-55 tahun (71% pria). Lebih banyak mengenai
alat gerak bawah, dengan ratio 10 : 1 dibandingkan dengan alat gerak atas.

(3) Tumor – 5%

Biasanya tampak pada usia sekitar 10-20 tahun.

2.3 Indikasi dan Tujuan Operasi Amputasi

Indikasi amputasi :

(1) Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang mengancam jiwa
(perdarahan dan infeksi).

(2) Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara maksimal), seperti
pada kelainan kongenital dan keganasan. Tujuan operasi amputasi bawah lutut adalah untuk
menghasilkan sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas dari jaringan parut yang
sensitif dengan tulang yang cukup baik ditutupi oleh otot dan jaringan subkutan yang sesuai
dengan panjangnya. Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh jaringan kulit, subkutan, fasia dan
otot yang sehat dan tidak melekat. Garis sutura sebaiknya berlokasi sejauh mungkin dari area
tekanan prostetik.

2.4 Level Amputasi


Prinsip penentuan level amputasi adalah menyelamatkan alat gerak sepanjang mungkin,
konsisten dengan proses penyembuhan dan fungsi yang paling baik.Penentuan level yang
optimum untuk amputasi secara akurat sulit dilakukan hanya berdasarkan pemeriksaan klinis
(tidak adanya denyut nadi) dan viabilitas (vaskularisasi) jaringan saja selama operasi. Saat ini,
penilaian selain dilakukan secara klinis dan pada saat operasi juga diperkuat dengan sejumlah
metode-metode uji pra operasi seperti; arteriografi pra amputasi, pengukuran tekanan darah
segmental dengan mempergunakan ultrasound Doppler dan teknik lainnya, penentuan aliran
darah ke kulit yang diukur oleh xenon radioactive clearance, dan pengukuran tekanan oksigen
secara transcutaneous.

Seluruh hal tersebut bila dilakukan akan memberikan hasil yang baik untuk menilai
keberhasilan penyembuhan luka. Level amputasi alat gerak bawah dapat diklasifikasikan
berdasarkan klasifikasi anatomi atau prostetiknya.

2.5 Kebutuhan Energi (Energy Expenditure)

Determinan paling penting untuk penggunaan prostetik alat gerak bawah fungsional
adalah apakah seorang pasien amputasi dapat atau tidak dapat secara aman menggunakan energi
yang diperlukan untuk ambulasinya. Banyak pasien amputasi lanjut usia yang telah difitted
dengan prostetik hanya dapat mempergunakannyasecara terbatas karena cadangan
kardiovaskularnya tidak cukup untuk mentolerasi peningkatan kebutuhan energi yang diperlukan
untuk penggunaan prostetik saat berjalan sehingga ia lebih nyaman mempergunakan kursi roda.

2.6 Patofisiologi

Dilakukan sebagian kecil sampai dengan sebagian besar dari tubuh, dengan dua metode :

1. Metode terbuka (guillotine amputasi).

Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-
benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak
terinfeksi.

2. Metode tertutup (flap amputasi)


Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang
diamputasi.

3. Tidak semua amputasi dioperasi dengan terencana, klasifikasi yang lain adalah karena
trauma amputasi.

2.7 Tingkatan Amputasi

1. Ekstremitas atas

Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan
aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.

2. Ekstremitas bawah

Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari kaki
yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.

Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak
amputasi yaitu :

Amputasi dibawah lutut (below knee amputation). Ada 2 metode pada amputasi jenis ini
yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb.

Amputasi diatas lutut, amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien
dengan penyakit vaskuler perifer.

2.8 Amputasi bawah lutut

Amputasi bawah lutut secara statistik merupakan amputasi utama yang paling sering
dikerjakan pada alat gerak bawah. Luka amputasi pada level ini akan sembuh dengan baik pada
sebagian besar pasien dengan iskemia yang memerlukan ablasi alat gerak.

Fungsi lutut sendiri bersifat sangat penting pada manajemen rehabilitasi dengan
penggunaan prostetik sehingga setiap usaha selalu dibuat untuk menyelamatkan lutut. Amputasi
bawah lutut merupakan suatu prosedur rekonstruktif yang memerlukan perhatian yang cermat
terhadap detail tekniknya. Level ini dipilih berdasarkan ketersediaan jaringan yang sehat
termasuk pemahaman potensi penyembuhan dari alat gerak yang iskemi. Sisi pemotongan adalah
level dimana terdapat cukup jaringan lunak untuk menghasilkan puntung yang dapat sembuh
dengan baik dan mempunyai toleransi terhadap prostetik. Panjang puntung sebaiknya
dipertahankan setinggi hingga pertemuan 1/3 tengah dan bawah tibia -fibula.

Amputasi diantara bagian ini dan sendi pergelangan kaki dihindari karena adanya kesulitan
penutupan jaringan lunak yang baik. Jika disfungsi lutut yang signifikan timbul, amputasi very
short below knee merupakan kontraindikasi dan lebih disarankan untuk dilakukan amputasi
dengan level knee disarticulation atau amputasi dengan level yang lebih tinggi.

2.9 Komplikasi Amputasi dan Penatalaksanaannya

2.9.1 Masalah Kulit

Perawatan kulit merupakan hal yang penting karena adanya beberapa lapisan jaringan
yang berdekatan di ujung akhir tulang seperti jaringan parut, termasuk kulit dan lapisan
subkutan, yang mudah melekat pada tulang. Sehingga perlu diperhatikan adanya mobilisasi
jaringan parut.

Sebelum luka insisi sembuh sempurna, sebuah whirlpool sering membantu pada
penyembuhan luka yang lambat atau pada luka yang sedang didraining. Hidroterapi dapat
dilakukan selama 20-30 menit satu atau dua kali sehari. Setelah insisi sembuh, lunakkan kulit
dengan sebuah krim yang larut air atau preparat lanolin tiga kali sehari. Massage secara lembut
pada jaringan lunak bagian distal akan membantu mempertahankan mobilitasnya di atas
permukaan atau ujung tulang. Tapping jaringan parut dan bagian distal jaringan lunak sebanyak
4 kali sehari sering membantu untuk mendesensitasi area tersebut sebelum penggunaan
prosthesis. Tapping dilakukan dengan ujung jari, dimulai dengan sentuhan ringan dan kemudian
tekanan ditingkatkan sekitar 5 menit hingga timbul rasa tidak nyaman yang ringan. Cara
membersihkan kulit yang baik juga harus diajarkan, misalnya dengan mempergunakan sabun
yang bersifat ringan, cuci kulit hingga berbusa lalu basuh dengan air hangat. Kulit dikeringkan
dengan cara ditekan dengan lembut, tidak digosok. Pembersihan ini dilakukan setiap hari
terutama pada sore hari.

2.9.2 Infeksi

Jika terjadi infeksi pada puntung, jika sifatnya terbuka, memerlukan terapi antibiotik. Jika
sifatnya tertutup, harus dilakukan insisi serta terapi antibiotik.
2.9.3 Masalah tulang

 Osteoporosis.

Bisa disebabkan karena penggunaan prostetik tidak memberikan pembebanan pada


sistem skeletal (by passing weight bearing).

 Bone spurs (pertumbuhan tulang yang berlebihan yang dapat menimbulkan tekanan pada
kulit).

 Skoliosis, timbul biasanya pada pasien dengan panjang kaki yang tidak sama. Diterapi
dengan mengkoreksi panjang prosthesis.

2.9.4 Perubahan berat badan

Pasien dengan amputasi sering mengalami penurunan berat badan sebelum dan atau
setelah menjalani amputasi. Karena bentuk socket prostetik tetap konstan sementara alat gerak
yang tersisa dapat berfluktuasi, maka perubahan berat badan 5 lb saja dapat menyebabkan
perubahan dari fitting yang tepat untuk sebuah prostetik dan akan menyebabkan timbulnya
masalah kulit.

2.9.5 Kontraktur sendi/deformitas

Pada alat gerak bawah, adanya kontraktur panggul sangat mengganggu karena membuat
pasien kesulitan untuk mengekstensikan panggulnya dan mempertahankan pusat gravitasi di
lokasi normalnya. Sementara itu jika pusat gravitasi mengalami perubahan, maka akan semakin
banyak energi yang diperlukan untuk melakukan ambulasi.

Adanya tendensi kontraktur fleksi lutut terdapat pada amputasi bawah lutut yang dapat
membatasi keberhasilan fitting sebuah prostetik. Deformitas ini dapat timbul karena nyeri, kerja
otot dan pasien yang duduk untuk jangka waktu lama dalam kursi roda.

Hal tersebut diatas dapat dicegah dengan cara :

A. Positioning

Di tempat tidur puntung diletakkan paralel terhadap alat gerak bawah yang tidak
diamputasi tanpa bersandar pada bantal. Pasien berbaring selurus mungkin untuk jangka waktu
yang singkat selama satu hari dan mulai secara bertahap berbaring telungkup saat drain telah
diangkat bila kondisinya memungkinkan. Posisi ini mula-mula dipertahankan selama 10 menit
yang kemudian ditingkatkan menjadi 30 menit selama 3 kali per hari. Jika pasien mempunyai
masalah jantung dan pernafasan atau jika posisi telungkup terasa tidak nyaman, pertahankan
posisi telentang selama mungkin.

Pada pasien dengan amputasi di bawah lutut yang mempergunakan kurs roda maka
puntung harus disandarkan pada sebuah stump board saat pasien duduk. Fleksi lutut yang lama
harus dihindari.

B. Latihan

Latihan luas gerak sendi dilakukan sedini mungkin pada sendi di bagian proksimal alat
gerak yang diamputasi. Latihan isometrik pada bagian otot quadriceps dapat dilakukan untuk
mencegah deformitas pada amputasi di bawah lutut. Latihan ini dimulai saat drain telah dilepas
dalam 2-3 hari paska operasi. Tingkatkan latihan mejadi aktif secara bertahap, dari latihan tanpa
tekanan kemudian menjadi latihan dengan tahanan pada puntung. Pada awalnya puntung sangat
sensitif dan pasien didorong untuk berusaha mengurangi sensitifitasnya. Hal ini juga akan
membantu pasien untuk mulai mengatasi keterkejutan menghadapi kenyataan bahwa alat
geraknya sudah tidak ada.

2.9.6 Neuroma

Setiap syaraf yang terpotong akan membentuk distal neuroma bila menyembuh. Pada
beberapa kasus, nodular bundles dari akson ini di jaringan ikat akan menyebabkan nyeri saat
prostetik memberikan tekanan. Pada awalnya, nyeri dapat dihilangkan dengan memodifikasi
socket. Neuroma dapat pula diinjeksi secara lokal dengan 50 mg lidocaine hydrochloride
(xylocaine) dan 40 mg triamcinolone actonide (Kenalog). Injeksi ini dapat dikombinasikan
dengan terapi ultrasound. Phenolisasi neuroma dapat menghilangkan nyeri untuk jangka waktu

yang lama. Desensitasi neuroma dapat dilakukan juga dengan melakukan tapping dan vibrasi.
Eksisi dengan phenolisasi dan silicone capping telah disarankan untuk beberapa kasus.

2.9.7 Phantom Sensation

Normal terjadi setelah amputasi alat gerak. Didefinisikan sebagai suatu sensasi yang
timbul tentang keberadaan bagian yang diamputasi. Pasien mengalami sensasi seperti dari alat
gerak yang intak, yang saat ini telah hilang. Kondisi ini dapat disertai dengan perasaan tingling
atau rasa baal yang tidak menyenangkan. Phantom sensation dapat juga terasa sangat nyata
sehingga pasien dapat mencoba untuk berjalan dengan kaki yang telah diamputasi. Dengan
berlalunya waktu, phantom sensation cenderung menghilang tetapi juga terkadang akan menetap
untuk beberapa dekade. Biasanya sensasi terakhir yang hilang adalah yang berasal dari jari, jari
telunjuk atau ibu jari, yang terasa seolah-olah masih menempel pada puntung.

Sejumlah teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Salah satunya adalah teori
yang menyatakan bahwa karena alat gerak merupakan bagian integral dari tubuh, maka akan
secara berkelanjutan memberikan sensory cortex rasa taktil, propriosepsi, dan terkadang stimuli
nyeri yang diingat sebagian besar dibawah sadar sebagai bagian dari body image. Setelah
amputasi, persepsi yang diingat tersebut akan menimbulkan phantom sensation.

2.9.8 Phantom Pain

Dapat timbul lebih lambat dibandingkan dengan phantom sensation. Sebagian besar
phantom pain bersifat temporer dan akan berkurang intensitasnya secara bertahap serta
menghilang dalam beberapa minggu hingga kurang lebih satu tahun. Bagaimanapun juga
sejumlah ketidamampuan dapat timbul menyertai rasa nyeri pada beberapa pasien amputasi.

Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat memori bagian yang diamputasi dalam korteks
dan impuls syaraf yang tetap menyebar karena hilangnya pengaruh inhibisi yang secara normal
diinisiasi melalui impuls afferent dari alat gerak ke pusat. Sering dihubungkan dengan gangguan
emosional, tetapi sulit menentukan apakan gangguan emosional mendahului atau merupakan
akibat darinya.

Phantom pain dapat dipresipitasi atau ditingkatkan oleh setiap kontak, tidak perlu dengan
rasa nyeri saja, tetapi dapat juga dalam bentuk kontak dengan punting atau dengan suatu “trigger
area” pada batang tubuh, kontak dengan alat gerak kontralateral, atau kepala. Selain itu juga
dapat dipicu oleh suatu fungsi otonomik seperti miksi, defekasi, ejakulasi, angina pectoris, atau
merokok sigaret. Phantom pain secara bervariasi digambarkan sebagai nyeri yang berbentuk
seperti cramping, electric shock like discomfort, crushing, burning, atau shooting dan dapat
bersifat intermitten, berkelanjutan, hilang timbul dalam suatu siklus yang berdurasi beberapa
menit. Sering pula digambarkan sebagai rasa nyeri seperti diputar atau distorsi dari bagian tubuh,
contohnya seperti menggenggam tangan dengan kuku menekan ke dalam telapak tangan.
Phantom pain berat yang menetap dapat dikurangi dengan terapi non invasif. Pasien
sebaiknya diberikan analgesik yang adekuat preoperatif dan didorong untuk merawat puntungnya
paska operasi untuk mengurangi sensitivitasnya. Sejumlah modalitas dan cara telah dicoba untuk
mengurangi nyerinya seperti penggunaan prostetik, injeksi lokal pada trigger points, penggunaan
transcutaneous nerve stimulation (TNS), interferential, akupunktur, ultrasound, perkusi secara
manual ataupun elektris, operasi dan penggunaan bahan kimia untuk simpatektomi, modifikasi
tingkah laku serta konseling psikososial.

2.9.9 Edema

Edema pada puntung akan menyebabkan proses penyembuhan yang lambat

dan akan membuat fitting prostetik menjadi sulit. Edema dapat dicegah dengan berbagai macam
cara seperti mempergunakan total-contact sockets, terutama jika sifatnya inelastik, dengan
penggunaan elastic bandaging, plaster cast, air bags atau Unna dressing (dibuat seperti cast
dengan mempergunakan impregnated gauzed yang tersedia secara komersial) atau dapat pula
dengan cara immediate fit rigid dressing.

Latihan pada daerah puntung, penggunaan stump board serta peninggian ujung tempat
tidur hingga bersudut kurang lebih 300 juga akan membantu mengontrol edema.

Dibawah ini beberapa cara untuk mengontrol edema pada puntung:

a. Bandaging

Bandaging merupakan suatu cara yang kontroversial terutama pada pasien

dengan penyakit vaskuler, karena bandaging yang buruk akan menyebabkan

kerusakan pada puntung.

Elastic bandages selain membantu mengontrol edema tetapi juga akan mengecilkan dan
membentuk alat gerak yang tersisa untuk prosthetic casting. Sebuah balutan selebar 4 inchi
biasanya dipergunakan untuk puntung di bawah lutut. Untuk mempertahankan bandage, sebuah
balutan berbentuk angka delapan biasanya membalut sendi proksimal yang terdekat dengan
puntung. Langkah-langkah sebagai berikut :

1) Balutan dimulai dari proksimal

2) lalu dibawa ke ujung distal puntung


3) Balutan lalu dibawa lagi ke proksimal

4) dan dibalutkan membungkus sisa ujung distal (langkah 4). Tekanan yang diberikan
sebaiknya sama rata dan menurun ke arah lipat paha. Putaran harus dilakukan secara
diagonal, hindari putaran sirkuler untuk menghindari efek tourniquet yang dapat
menimbulkan edema di bagian distal.

b. Massage puntung

Centripetal massage membantu mengurangi edema, memperbaiki sirkulasi dan


mencegah adhesi serta mengurangi ketakutan pasien untuk melatih puntungnya.

2.9.10 Respirasi dan Sirkulasi

Latihan pernafasan dan kaki (brisk foot exercise) untuk bagian yang tidak diamputasi
dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi pada fungsi respirasi dan sirkulasinya. Diberikan
pada hari-hari pertama paska operasi dan dilanjutkan sampai tidak terdapat dahak dan pasien
dapat berambulasi.

3. MANAJEMEN REHABILITASI AMPUTASI

Rehabilitasi amputasi alat gerak memerlukan keterampilan dari banyak tenaga kesehatan
profesional, yang secara idealnya bergabung dalam satu tim yang terintegrasi. Rehabilitasi
sendiri merupakan suatu proses berkelanjutan yang dimulai sebelum adanya keputusan amputasi
hingga tercapainya tingkat fungsional pasien sebelum menjalani amputasi.

Program rehabilitasi pasien amputasi harus dirancang untuk memfokuskan pada adaptasi
pasien terhadap hilangnya alat gerak dan tidak hanya memusatkan perhatian pada penggunaan
prostetik sebagai substitusinya.

Aspek paling penting dalam manajemen rehabilitasi adalah anatomi alat gerak yang

tersisa dan bagian alat gerak yang tersisa setelah amputasi. Pertimbangan tersebut meliputi
struktur skeletal yang tersisa; jaringan “penutup”, seperti kulit, otot, dan jaringan subkutan;
rentang luas gerak sendi, kekuatan alat gerak serta bagaimana struktur anatomi tersebut
berhubungan dengan fungsi residual dari alat gerak. Pada amputasi alat gerak bawah, puntung
dan prostetiknya harus dapat mengambil alih fungsi berjalan dan weight bearing dari alat gerak
yang diamputasi sehingga pasien dapat kembali ke fungsinya semula secara maksimal.

Manajemen rehabilitasi amputasi dalam penjelasannya lebih lanjut dibawah akan

dibagi menjadi :

1. Periode pra operasi (pre operatif)

2. Periode paska operasi :

2.1 Pre-prosthetic stage

2.2 Prosthetic stage

Pada kondisi yang ideal, setiap fase akan mengikuti urutan tersebut dan fungsi prostetik
dicapai dalam 1-2 bulan amputasi. Manajemennya memerlukan kerjasama yang erat dan
komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan yang terlibat.

3.1 Periode Preoperatif

Manajemen preoperatif dimulai saat terdapat keputusan untuk melakukan amputasi atau
saat anak lahir dengan congenital skeletal deficiency. Jika pasien dapat dievalusi sebelum
dilakukannya amputasi, perawatan yang optimum dapat diberikan. Penting untuk diingat bahwa
seorang pasien yang baru menjalani amputasi akan mengalami kondisi depresi terutama jika ia
tidak mengetahui pilihan prostetik untuk fungsi dan ambulasinya di kemudian hari. Pada periode
ini dilakukan penilaian kondisi tubuh, edukasi, mendiskusikan level operasi dan rencana paska
operasi. Evaluasi pada saat ini sebaiknya meliputi penilaian sebagai berikut :

Penilaian status fisik secara keseluruhan

1) Fungsi kardiorespirasi

2) Kekuatan otot alat gerak atas, batang tubuh dan alat gerak bawah yang normal dan di
bawah level amputasi (sebagai contoh amputasi di bawah lutut memerlukan ekstensi lutut
yang kuat untuk fungsi prostetik yang memuaskan).

3) Mobilitas sendi, terutama sendi di daerah proksimal level amputasi. Rentang luas gerak
sendi yang normal atau mendekati normal, dengan mempertahankan ektensi pinggul dan
lutut, juga merupakan hal yang penting untuk fungsi prostetik yang baik.
4) Kondisi pasien sehubungan dengan penyebab amputasi, contoh jika amputasi
dikarenakan iskemi, mungkin terdapat masalah yang sama di alat gerak yang lainnya.

5) Kelainan fisik yang lain, seperti kebutaan, arthritis berat, stroke atau penyakit renal tahap
akhir (end stage) dapat mempengaruhi kapasitas fungsional pasien.

6) Aktivitas hidup sehari-hari

7) Keterampilan rawat diri

8) Keseimbangan saat duduk dan berdiri serta koordinasi

9) Kemampuan fungsional

Penilaian Status Sosial - Vokasional

1) Sokongan keluarga dan teman

2) Akomodasi hidup (seperti tangga, lebar pintu, kemungkinan penggunaan kursi roda)

3) Jarak dengan tempat pembuatan dan perbaikan ortotik prostetik

4) Keinginan dan kebutuhan pasien akan aktivitas kekaryaan dan avokasional setelah
operasi amputasi.

Penilaian Status Psikologis

1) Pendekatan psikologis pasien terhadap amputasi

2) Kemampuan pasien untuk mempelajari tugas-tugas baru termasuk memakai dan


melepaskan prostetik, kemampuan untuk mengamati kulit untuk menghindari cedera di
dalam socket prostetik, dan merawat alat.

3) Motivasi untuk berjalan

Seluruh pemeriksaan yang dilakukan dicatat agar dapat dibandingkan pada periode

rehabilitasi berikutnya.

Program terapi pada periode ini meliputi :

1. Latihan luas gerak sendi


2. Positioning yang tepat untuk alat gerak

3. Latihan pernafasan untuk membersihkan sekret paru karena banyak pasien dengan
penyakit vaskuler biasanya perokok

4. Latihan penguatan untuk ekstensor dan adduktor bahu, ekstensor siku, hand grip,
ekstensor abdominal dan batang tubuh, ekstensor panggul, adduktor dan abductor (dan
quadriceps untuk level amputasi dibawah lutut).

5. Latihan mobilisasi untuk ekstensi panggul dan fleksi serta ekstensi lutut untuk amputasi
di bawah lutut.

6. Mobilitas di tempat tidur- bridging, bergerak ke atas dan ke bawah tempat tidur,
berguling untuk telungkup dan kembali telentang.

7. Transfer dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya.

8. Mobilitas dengan kursi roda – kemampuan untuk berhenti, memulai, berbalik dan
mengontrol kursi roda.

9. Ambulasi dengan alat bantu jalan.

10. Stabilisasi batang tubuh saat duduk dan berdiri.

11. Melatih teknik relaksasi dan aktivitas hidup sehari-hari

2.2 Periode Paska Operasi

Pada periode ini anamnesa yang diperlukan sebelum dilakukannya terapi mencakup
penilaian kembali status fisik, sosial-vokasional dan psikologis (dibandingkan dengan yang
dahulu bila pasien telah dikelola sejak periode pre operatif), kapan dan sebab dilakukannya
amputasi, tanggal revisi, status ambulasi sebelumnya, prosedur operasi sebelumnya, nyeri pada
puntung, dan phantom sensation..

Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi penglihatan dan status mental. Selain itu

juga dilakukan penilaian :

 Panjang ujung akhir puntung dari titik yang telah ditetapkan (panjang dari tulang dan
jaringan lunak dapat berbeda)

 Status perdarahan perifer, luka insisi dan drainase luka operasi.


 Penampilan dan mobilitas kulit dan jaringan parut, serta kondisi penyembuhan jaringan
parut

 Jaringan lunak yang meliputi alat gerak yang tersisa, terutama pada tulang distal

 Integritas kulit dari alat gerak yang tersisa (adakah lesi pada kulit)

 Derajat proriosepsi / kinesthetik dan sensasi pada alat gerak yang tersisa.

 Bentuk keseluruhan dari punting

 Adakah terdapat edema dan indurasi

 Stabilitas sendi

 Rentang luas gerak sendi, baik aktif maupun pasif pada sendi dari alat gerak yang tersisa

 Kekuatan otot-otot alat gerak yang tersisa.

 Tipe prostetik yang akan dipergunakan atau yang akan direncanakan.

Amputasi alat gerak bawah akan memberikan suatu gambaran perubahan dari pola
pergerakan motorik kasar. Pola seperti itu biasanya timbul secara otomatis atau tida disadari;
diintegrasikan ke dalam sistem syaraf pusat pada batang otak dan medulla spinalis. Pergerakan
yang dilakukan alat gerak bawah dilakukan oleh sekelompok otot besar yang direpresentasikan
dalam korteks motorik dengan relatif sejumlah kecil neuronneuron. Untuk berfungsi, otot-otot ini
memerlukan kekuatan, propriosepsi, koordinasi, respon keseimbangan dan ketahanan yang perlu
dilatih kembali.

Program latihan yang akan diberikan dilakukan secara bertahap mencakup latihan
isometrik, isotonik (baik eksentrik dan konsentrik), isokinetik (dengan tahanan manual ataupun
mekanik), weightbearing exercise, dan pergerakan fungsional serta keterampilan. Fokus program
latihan adalah pada : alat gerak yang tersisa, latihan batang tubuh dan tangan, fungsi puntung
(yang akan menghasilkan mobilitas dan stabilitas prostetik) dan latihan pada puntung seperti
memposisikan langkah pada permulaan proses berjalan dan ambulasi. Pendekatan ini membantu
pasien dengan amputasi alat gerak bawah untuk memperoleh kembali keterampilan berjalannnya.

2.2.1. Fase akut paska operasi


Paska operasi, pasien biasanya memerlukan analgesik yang adekuat dan regular untuk
mengatasi rasa nyeri yang dapat timbul dari tempat lukanya atau karena adanya phantom limb.
Nyeri yang tidak terkontrol dapat membatasi program rehabilitasi. Sementara sutura tetap ada di
tempatnya, pasien melakukan latihan luas gerak sendi secara aktif pada sendi di proksimal
tempat amputasi. Puntung digerakkan dengan rentang luas gerak sendi yang penuh sedikitnya
empat kali sehari. Kontraktur fleksi pada panggul dan lutut dapat dicegah dengan cara pasien
berbaring telungkup sedikitnya 4 jam sehari dan jangan meletakkan bantal di bawah atau di
antara kaki. Dorong pasien untuk melakukan latihan secara aktif pada otot-otot kaki yang masih
tersisa.

2.2.2 Preprosthetic Phase

Fase ini biasanya mengikuti pengangkatan sutura, sementara pasien menunggu maturasi jaringan
parut, dan berencana akan mempergunakan prostetik.Fase ini terbagi menjadi dua bagian utama,
yaitu merehabilitasi pasien untuk kembali ke kondisi mandiri tanpa sebuah prostetik dalam
seluruh aspek aktivitas kehidupan sehari-harinya dan mempersiapkan alat gerak yang tersisa
untuk aplikasi prostetik.

Tujuan manajemen rehabilitasi pada fase ini adalah untuk :

1. Penyembuhan luka bekas operasi

2. Mengontrol nyeri

3. Mencegah dan mengatasi komplikasi paska amputasi

4. Mempertahankan kekuatan seluruh tubuh dan meningkatkan kekuatan otot yang mengontrol
puntung

3.1 Latihan Alat Gerak Bawah di Sisi yang Tidak Diamputasi

Foot and Leg Exercises

Alat gerak yang tersisa dilatih untuk berfungsi sebagai bagian yang dominan. Latihan
harus mencakup latihan kekuatan dan koordinasi otot-otot kaki, lutut dan panggul. Untuk
mengontrol keseimbangan, weightbearing, akselerasi dan ground clearance selama swing phase,
kaki harus mampu melakukan kontrol saat plantar fleksi, dorsifleksi, eversi dan inversi. Seluruh
pergerakan kaki dan alat gerak bawah harus diuji dan dilatih secara individual dan jika intak,
harus dipusatkan pada aktivitas berdiri secepat mungkin, sehingga otot-otot kaki dapat berkerja

secara fungsional.

Latihan harus mempersiapkan alat gerak bawah untuk berfungsi sehingga dapat terlibat
dalam transfers, berdiri dan berjalan secepat mungkin. Stabilitas awal dapat dilatih dengan
menggunakan parallel bars, walking frame, dan crutches Latihan dimulai pada hari pertama
paska operasi dan secara bertahap ditingkatkan dengan menambahkan tahanan secara manual
atau meningkatkan tahanan dari spring.

Knee dan Hip Exercises

Latihan dimulai dari tingkat yang sederhana kemudian ditingkatkan secara progresif
sesuai kebutuhan. Tahan setiap latihan sebanyak lima hitungan lambat. Sebaiknya dikerjakan
setiap beberapa jam dengan pengulangan sebanyak 10 kali.

1. Ekstensi lutut (Quadriceps setting)

Untuk pasien amputasi yang lemah, kontraksi quadriceps isometrik harus mulai dilatih
dengan seluruh kaki disokong pada posisi yang netral dan pasien menekankan bagian posterior
lutut melawan tangan terapis. Kontraksi quadriceps lebih lanjut kemudian diperkuat dengan
secara simultan melatih dorsifleksi pergelangan kaki. Pergerakan ekstensi lutut secara isotonik
dan isokinetik dikontrol paling baik pada posisi pasien duduk dengan paha disokong, kaki bagian
bawah diekstensikan melawan gravitasi dan beban dapat diberikan untuk meningkatkan kerja
otot.

2. Fleksi lutut pada alat gerak bawah yang tidak diamputasi

Dilatih dengan posisi miring ke satu sisi (sling suspended) atau telungkup, dilakukan
latihan menekuk dan meluruskan lutut. Kerja otot yang lebih besar dari otot agonis dan antagonis
akan terjadi saat pasien berlatih dalam posisi berdiri, menekukkan lutut kemudian meluruskan
kembali kakinya dan menahan posisi sendi pada suatu sudut rentang luas gerak sendi tertentu.

3.Ekstensi Panggul (Gluteal Setting)


Gluteus maksimus bekerja sebagai prime mover dari ekstensi panggul. Kontraksinya
dilakukan dalam posisi telungkup atau duduk kemudian pasien melakukan ekstensi panggul
dengan lutut ekstensi, membungkuk ke depan dan meluruskan batang tubuh melawan tahanan.

4.Fleksi Panggul

Dapat dilatih dengan pergerakan alat gerak bawah atau batang tubuh. Pada posisi
telentang, pasien dapat memfleksikan hip dan lutut (leg-initiated motion) atau menggerakan
batang tubuh dari telentang ke duduk (trunk-initiated motion). Latihan terakhir ini lebih sulit dan
terapis harus menstabilisasi alat gerak bawah yang tersisa dan puntung.

5. Adduksi dan Abduksi Panggul

Untuk melatihnya, pasien harus berbaring telentang atau tengkurap. Tujuannya adalah
menjauhkan kaki dan puntung serta membawanya kembali mendekat. Tahanan manual diberikan
pada kedua arah pergerakan. Latihan penguatan abduksi panggul memerlukan perhatian khusus,
karena selama proses berjalan dengan menggunakan prostetik, alat gerak di sisi yang tidak
diamputasi akan mengalami stance phase yang memanjang untuk mengakomodasi prosthetic
swing phase.

6.Rotasi eksternal dan internal panggul

Karena melakukan suatu fungsi sinergi, pergerakannya sulit untuk diisolasi. Dapat dilatih
dengan menggunakan pola proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF), seperti ekstensi
panggul, abduksi dan rotasi internal yang dilakukan dengan lutut ekstensi dan fleksi serta
melakukan fleksi panggul, adduksi dan rotasi eksternal juga dengan lutut ektensi dan fleksi.

3.2 Latihan mobilitas batang tubuh

Mobilitas batang tubuh (ekstensi, fleksi, fleksi ke satu sisi dan rotasi) memberikan
kontribusi pada keseimbangan tubuh dan kontrol postural dengan mempertahankan pusat
gravitasi diatas dasar penyokong individual saat duduk, berdiri atau berjalan. Mobilitas batang
tubuh juga mempengaruhi ritme gait dengan mengakomodasikan pergerakan sebaliknya dari
tangan dan kaki.

1. Ekstensi Batang Tubuh


Untuk memulai, pasien berbaring pada posisi telentang, dengan kepala, bahu, lutut dan
tumit menekan pada matras, dan mengencangkan otot gluteus. Terapis dapat meningkatkan
latihan ini dengan cara memerintahkan pasien berganti posisi menjadi telungkup serta tangan di
samping batang tubuh. Sebuah bantal diletakan dibawah pelvis. Pasien dengan amputasi
selanjutnya diinstruksikan untuk :

 Mengangkat kepala dan menoleh ke samping

 Mengangkat bahu

 Mengangkat kaki dan puntung secara bergantian dan bersamaan

 Tangan dibawa ke depan, mengangkat salah satu tangan pada saat yang bersamaan.

 Mengangkat kaki dan tangan kontralateral

 Mengangkat puntung dan tangan kontralateral; dan

 Mengangkat kepala dan seluruh ekstremitas.

2. Fleksi Batang Tubuh

Pasien dalam posisi telentang, lutut menekuk dan kaki disokong, meletakkan

tangan disamping batang tubuh lalu melakukan pelvic tilt. Pasien diinstruksikan

untuk :

 Mengangkat kepala dan bahu

 Menyentuhkan tangan ke lutut dan

 Meletakkan tangan dibelakang leher, membungkuk ke depan dan duduk, lalu biarkan
batang tubuh kembali ke posisi telentang.

 Fleksi Batang Tubuh ke Samping

Pasien duduk di kursi, siku difleksikan dan diinstruksikan untuk :

 Fleksi ke samping kanan dan ke kiri

 Meregangkan tangan diatas kepala dan

 Fleksi kembali ke samping kanan dan ke kiri.


4. Rotasi Batang Tubuh

Pasien amputasi diinstruksikan untuk melakukan posisi yang sama dengan posisi saat
melakukan fleksi batang tubuh ke samping lalu :

 Memutar bahu kanan sejauh yang mungkin ke belakang

 Lakukan sebaliknya dan putar ke arah kiri

 Abduksikan lengan hingga 900 dan ayunkan batang tubuh ke kedua arah.

3.3 Latihan Alat Gerak Atas

Pasien memerlukan alat gerak atas untuk mencapai mobilitas di tempat tidur yang
mandiri, transfer yang aman serta mampu untuk berjalan dengan alat bantu. Aktivitas ini
memerlukan kekuatan dari grip, kekuatan pergeralangan tangan dan siku serta stabilitasnya.
Meremas suatu benda yang kenyal merupakan satu cara untuk memperbaiki kekuatan grip, dan
penggunaan springs akan membantu memperkua stabilisasi pergelangan tangan dan ekstensi
siku, sehingga akan membantu memperbaiki kontrol tangan yang fungsional. Pasien juga dapat
mempergunakan exercise blocks untuk melatih ekstensi siku. Exercise blocks mempunyai dasar
berbentuk persegi, tinggi batang ditentukan dari rentang tubuh yang dapat mengangkatnya. Otot-
otot tangan yang kuat penting untuk crutch walking.

Sebuah overhead trapeze direkomendasikan untuk amputasi bilateral alat gerak bawah,
sehingga dapat menyebabkan pasien bergerak dari tempat tidur ke kursi dengan melakukan
metode “push-pull”. Secara bergantian, satu tangan menggenggam trapeze dan tangan lain
mendorong ke bawah, kedua pergerakan membatu pengangkatan batang tubuh untuk transfer.

Beberapa contoh latihan yang dapat dikerjakan seperti :

1. Grasp stretch lying ; ekstensi dan adduksi sendi bahu (melawan springs atau beban)

2. Grasp lying (menekuk siku); meluruskan siku (melawan springs)

3. Duduk : kedua tangan didorong ke bawah, angkat bokong

3.4 Latihan Puntung

Maturasi puntung menjadikan puntung suatu motor dan sensory end organ. Hal tersebut
menyebabkan puntung mampu mengaktivasi prostetik saat menerima feedback dari dinding
socket tentang posisi prosthesis dan pergerakan prostetik di setiap fase siklus berjalan. Seluruh
latihan puntung dihubungkan dengan penggunaan prostetik selama fase berjalan yang spesifik.

Latihan puntung dimulai saat drain telah diangkat dan secara bertahap ditingkatkan

dari latihan statik ke latihan yang lebih aktif dan dengan tahanan.

1.Fleksi dan Ekstensi Puntung Lutut

Jika lutut tetap intak, lebih mudah bagi pasien amputasi untuk mencapai suatu pola
berjalan dengan pola prosthetic gait yang baik. Ekstensi puntung lutut merupakan penggerak
dominan dari kedua kelompok otot, dapat mengontrol kecepatan berjalan, juga membantu
mempertahankan sendi lutut agar tetap stabil sepanjang stance phase. Otot hamstring akan
berdeselerasi di akhir swing phase dan bersama dengan otot quadriceps mempunyai peranan
dalam mengontrol impact prosthetic saat heel contact. Kelemahan quadriceps akan
menyebabkan langkah menjadi lebih pendek dan flat footed, dengan lutut dipertahankan dalam
posisi fleksi (heel contact hilang); stabilitas lutut berkurang, karena otot tidak mampu untuk
melawan momen fleksi lutut (suatu momen yang menghasilkan pergerakan pada axis atau titik
perputaran). Pasien dengan amputasi akan berkompensasi dengan menginisiasi fleksi ke depan
batang tubuh yang akan membawa pusat gravitasi ke depan lutut, jadi membantu menstabilisasi
lutut saat dilakukan weightbearing.

Jika otot hamstring yang lemah, pasien dengan amputasi mungkin mempergunakan
fleksi panggul secara berlebihan. Adanya fleksi panggul menyebabkan pengangkatan lutut
prostetik yang berlebihan, mengurangi dan memperpanjang langkah prostetik. Pasien amputasi
dapat juga berjalan dengan kaki yang kaku untuk menghindari fleksi lutut, tetapi kemudian
melakukan hip hiking dan atau sebuah abducted gait untuk mengakomodasi fase swing dengan
prostetik.

Otot hamstring, dipergunakan untuk memfleksikan lutut dan membantu ekstensi panggul.
Pada awalnya dapat dilatih dengan posisi pasien berbaring ke samping dengan sling suspended.
Fleksi puntung lutut lalu dapat dilakukan dengan panggul ekstensi dan fleksi. Fleksi puntung
lutut yang dilakukan pasien dalam posisi telungkup akan mengurangi fleksi panggul; yang
selanjutnya dapat distimulasi oleh terapis dengan memberikan tahanan melawanan fleksi lutut
pada posisi tersebut. Sekali lagi, peningkatan beban dan spring dapat dipergunakan untuk
meningkatkan kekuatan otot puntung, koordinasi dan ketahananJika perlengkapan latihan
isokinetik dipergunakan untuk latihan otot puntung, disarankan agar puntung menggunakan
socket selama latihan. Pasien dengan amputasi akan lebih nyaman dengan kondisi tersebut
karena distribusi tahanan lebih merata padaseluruh permukaan puntung.

4. Mengembalikan kemandirian fungsional

Dimulai sejak hari pertama paska operasi dengan dorongan agar pasien melakukan
bridging dengan puntung pada posisi ekstensi dan berguling secara bersamaan untuk mobilisasi
di tempat tidur. Pasien diajarkan untuk bergerak ke atas dan ke arah bawah tempat tidur dengan
menekan pada telapak kaki yang tidak diamputasi, dimana pada amputasi yang disebabkan oleh
karena penyakit vaskuler maka kaki tersebut memerlukan perlindungan sebuah sepatu boot
terbuat dari kulit sapi. Duduk dari berbaring dengan mendorong tangan ke arah bawah dapat
dimulai saat drips diangkat. Rotasi batang tubuh yang baik akan membuat fungsi ini lebih
mudah.

Bila pasien sudah dapat melakukan kegiatan diatas, latihan fungsional dilakukan 4-6 hari
paska operasi di bagian rehabilitasi. Pasien diajarkan untuk memakai baju sendiri setiap hari dan
menggerakkan kursi rodanya sendiri menuju ruang terapi. Setelah itu program latihan dapat
berbentuk resisted pulley work, mat exercise, slow reversal dan repeated contractions otot-otot
batang tubuh dan alat gerak, spring resistance. Selama waktu tersebut okupasi terapis membantu
pasien bila terdapat kesulitan dalam hal berpakaian, mengajarkannya untuk melakukan bath
transfer dan melatihnya memasak.

Pasien harus didorong untuk menjadi semandiri mungkin baik untuk mobilisas ataupun
untuk merawat diri serta dalam aktivitas hidup sehari-harinya sejauh yang pasien dapat lakukan.

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

KASUS III
Nama : Aman
Umur : 57 tahun
Diagnosa : Osteo sarcoma post amputasi RPS
Kaki kiri bengkak pada daerah pedis sinistra, sakit skala 5-6 , kaki sulit untuk digerakkan,
K/U lemah BB 45 kg, TB 150 cm, suhu 36 o c , nadi 88 x/ menit, T/D 120/ 80 mmhg.
Nafsu makan klien baik, albumin 2,64 globulin 3,55, Hb 8 gr % , Leuko 15000, Eritrosit
3,93, HT 24
Terapy Ceftriaxon 2x 2 gr
Metronidazol 500 mg
Post amputasi BK
Pertanyaan
1. Lengkapi pengkajian keperawatan
2. Buat diagnosa keperawatan
3. Buat rencana tindakan
4. Evaluasi
5. Apa dischart plannya.

Jawaban :

1. Pengkajian

Penilaian status fisik secara keseluruhan

1) Fungsi kardiorespirasi

2) Kekuatan otot alat gerak atas, batang tubuh dan alat gerak bawah yang normal dan di
bawah level amputasi (sebagai contoh amputasi di bawah lutut memerlukan ekstensi
lutut yang kuat untuk fungsi prostetik yang memuaskan).

3) Mobilitas sendi, terutama sendi di daerah proksimal level amputasi. Rentang luas
gerak sendi yang normal atau mendekati normal, dengan mempertahankan ektensi
pinggul dan lutut, juga merupakan hal yang penting untuk fungsi prostetik yang baik.

4) Kondisi pasien sehubungan dengan penyebab amputasi, contoh jika amputasi


dikarenakan iskemi, mungkin terdapat masalah yang sama di alat gerak yang lainnya.

5) Kelainan fisik yang lain, seperti kebutaan, arthritis berat, stroke atau penyakit renal
tahap akhir (end stage) dapat mempengaruhi kapasitas fungsional pasien.

6) Aktivitas hidup sehari-hari.


7) Keterampilan rawat diri

8) Keseimbangan saat duduk dan berdiri serta koordinasi

9) Kemampuan fungsional

Penilaian Status Sosial - Vokasional

1) Sokongan keluarga dan teman

2) Akomodasi hidup (seperti tangga, lebar pintu, kemungkinan penggunaan kursi


roda)

3) Jarak dengan tempat pembuatan dan perbaikan ortotik prostetik

4) Keinginan dan kebutuhan pasien akan aktivitas kekaryaan dan avokasional setelah
operasi amputasi.

Penilaian Status Psikologis

1) Pendekatan psikologis pasien terhadap amputasi

2) Kemampuan pasien untuk mempelajari tugas-tugas baru termasuk memakai dan


melepaskan prostetik, kemampuan untuk mengamati kulit untuk menghindari
cedera di dalam socket prostetik, dan merawat alat.

3) Motivasi untuk berjalan

Data Fokus

Data Subjektif Data Objektif

Klien mengatakan : Dari hasil pengkajian di dapatkan data :

 Sakit pada kaki kiri skala 5-6  K/U lemah


 BB 45 kg,
 Kaki sulit digerakkan
 TB 150 cm,

 Suhu 360C ,
 nadi 88 x/ menit,
 T/D 120/ 80 mmhg.
 RR : 22x/menit
 Nafsu makan klien baik,
 albumin 2,64
 globulin 3,55,
 Hb 8 gr % ,
 Leuko 15000,
 Eritrosit 3,93
 Ht 24

Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah ke
jaringan yang dimanifestasikan dengan keadaan umum lemah, Hb: 8, Ht : 24, Albumin :
2,64 , globulin: 3,55.

2. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kehilangan anggota tubuh.

3. Gangguan konsep diri ; body image berhubungan dengan perubahan fisik.

4. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan


tulang dan otot.

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keadaan pasien post amputasi

6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama

7. Resiko tinggi kontraktur berhubungan dengan immobilisasi.

8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka post amputasi.

Intervensi Keperawatan berdasarkan Skala Prioritas

1. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah
ke jaingan yang dimanifestassikan dengan keadaan umum lemah, Hb: 8, Ht : 24,
Albumin : 2,64 , globulin: 3,55.
Tujuan :

Jangka Panjang : gangguan perfusi jaringan tidak terjadi

Jangka Pendek :

o Keadaan umum membaik

o Hb, Ht, Albumin dan globulin dalam rentang normal

o TTV normal

Intervensi :

1) Awasi TTV, kaji pengisian kapiler, warna kulit, membrane mukosa, dasar
kuku.

Rasional : memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan perfusi


jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.

2) Awasi upaya pernafasan, aukultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.

Rasional : dispneu, gemericik menunjukkan karena regangan jantung


lama/peningkatan kompensasi curah jantung.

3) Kaji untuk respon verbal melamba, mudah terangsang,agitasi, gangguan


memori, bingung.

Rasional : dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia


atau defisiensi vitamin B12.

4) Inspeksi balutan /drainase , perhatikan jumlah dan karakteristik balutan.

Rasional : kehilangan darah terus menerus mengindikasikan kebutuhan untuk


tambahan penggantian cairan dan evaluasi untuk gangguan koagulasi atau
intervensi bedah untuk ligasi perdarahan.

5) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat
sesuai indikasi.

Rasional : vasokontriksi (ke organ lain) menurunkan sirkulasi perifer.


Kenyamanan pasien/ kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan
kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi
(penurunan perfusi organ).

Kolaborasi:

1) Awasi pemeriksaan laboratorium, mis Hb/Ht dan jumlah SDM, GDA.

Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons


terhadap terapi.

2) Berikan SDM darah lengkap/packed, produk darah sesuai indikasi. Awasi


ketat umtuk komplikasi transfuse.

Rasional : meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaiki


defisiensi untuk menurunkan resiko perdarahan.

3) Gunakan kaus kaki antiembolitik/pengurut untuk kaki yang tak dioperasi.

Rasional : dapat meningkatkan aliran darah balik vena menurunkan


penggumpalan vena dan resiko tromboflebitis.

2. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kehilangan anggota tubuh.

Tujuan :

Jangka Panjang : Mobilisasi fisik terpenuhi.

Jangka Pendek :

 Klien dapat menggerakkan anggota tubuhnya yang lainnya yang masih ada.

 Klien dapat merubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk.

 ROM, tonus dan kekuatan otot terpelihara.

 Klien dapat melakukan ambulasi.

Intervensi :

1.) Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan
dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.
Rasional : Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan
persepsi klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan
aktivitas mana saja yang perlu dilakukan.

2.) Latih klien untuk menggerakkan anggota badan yang masih ada.

Rasional : Pergerakan dapat meningkatkan aliran darah ke otot, memelihara


pergerakan sendi dan mencegah kontraktur, atropi.

3.) Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi
roda.

Rasional : Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan


menggunakan alat-alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga
untuk memenuhi aktivitas klien.

4.) Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodik

Rasional : Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya


kontraktur.

5.) Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.

Rasional : Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk


dan turun dari tempat tidur.

Kolaborasi :

1) Berikan obat sesuai indikasi, contoh analgesic, relaksan otot.

Rasional : menurunkan nyrei/spasme otot . catatan : ADP menentukan obat


yang tepat waktu yang mencegah fluktuasi nyeri sehunungan dengan
tegangan /spasme.

3. Resiko gangguan konsep diri ; body image berhubungan dengan perubahan fisik.

Tujuan :

Jangka Panjang : Klien dapat menerima keadaan fisiknya.


Jangka Pendek :

 Klien dapat meningkatkan body image dan harga dirinya.

 Klien dapat berperan serta aktif selama rehabilitasi dan self care.

Intervensi:

1) Dorong ekspresi ketakutan perasaan negative, dan kehilangan bagian tubuh.

Rasional : ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan


realitas hidup tanpa tungkai.

2) Beri penguatan informasi termasuk tipe/lokasi amputasi, tipe prostese bila


tepat (segera, lambat), harapan tindakan pascaoperasi, termasuk control nyeri
dan rehabilitasi.

Rasional : memberikan kesempatan menanyakan dan mengasimilasi informasi


dan mulai menerima perubahan gambaran diri dan fungsi, yang dapat
membantu penyembuhan.

3) Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien.

Rasional : dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat
membantu proses rehabilitasi.

4) Diskusikan persepsi pasien tentang diri dan hubungannya dengan perubahan


dan bagaimana pasien melihat dirinya dalam pola/peran fungsi yang biasanya.

Rasional : membantu mengartikan masalah sehubungan dengan pola hidup


sebelumnya dan membantu pemecahan masalah, sebagai contoh, takut
kehilangan kemandirian, kemampuan bekerja dan sebagainya.

5) Perhatikan perilaku menarik diri, membicarakan diri tentang hal negative,


penggunaan penyangkalan atau terus- menerus melihat perubahan nyata/yang
diterima.

Rasional : mengidentifikasi tahap berduka/kebutuhan untuk intervensi.

Kolaborasi :
1) Diskusikan tersedianya barbagai sumber , contoh konseling psikiatrik/seksual,
terapi kejuruan.

Rasional : dibutuhkan pada masalah ini untuk membantu adaptasi lanjut yang
optimal dan rehabilitasi.

4. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan otot.

Tujuan :

Jangka Panjang : Nyeri berkurang atau hilang

Jangka Pendek :

 Ekspresi wajah klien tidak meringis kesakitan

 menyatakan nyerinya berkurang

 Klien mampu beraktivitas tanpa mengeluh nyeri.

Intervensi :

1.) Tinggikan posisi stump

Rasional : Posisi stump lebih tinggi akan meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema dan nyeri.

2.) Evaluasi derajat nyeri, catat lokasi, karakteristik dan intensitasnya, catat
perubahan tanda-tanda vital dan emosi.

Rasional : Merupakan intervensi monitoring yang efektif. Tingkat


kegelisahan mempengaruhi persepsi reaksi nyeri.

3.) Berikan teknik penanganan stress seperti relaksasi, latihan nafas dalam atau
massase dan distraksi.

Rasional : Distraksi untuk mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri


karena perhatian klien dialihkan pada hal-hal lain, teknik
relaksasi akan mengurangi ketegangan pada otot yang
menurunkan rangsang nyeri pada saraf-saraf nyeri.

4.) Kolaborasi pemberian analgetik

Rasional : Analgetik dapat meningkatkan ambang nyeri pada pusat nyeri di


otak atau dapat membloking rangsang nyeri sehingga tidak
sampai ke susunan saraf pusat.

5. Gangguan pemenuhan ADL; personal hygiene kurang berhubungan dengan kurangnya


kemampuan dalam merawat diri.

Tujuan :

Jangka Panjang : Klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri.

Jangka Pendek :

 Tubuh, mulut dan gigi bersih serta tidak berbau.

 Kuku pendek dan bersih.

 Rambut bersih dan rapih

 Pakaian, tempat tidur dan meja klien bersih dan rapih.

 Klien mengatakan merasa nyaman.

Intervensi :

1.) Bantu klien dalam hal mandi dan gosok gigi dengan cara mendekatkan alat-alat
mandi, dan menyediakan air di pinggirnya, jika klien mampu.

Rasional : Dengan menyediakan air dan mendekatkan alat-alat mandi maka


akan mendorong kemandirian klien dalam hal perawatan dan
melakukan aktivitas.

2.) Bantu klien dalam mencuci rambut dan potong kuku.

Rasional : Dengan membantu klien dalam mencuci rambut dan memotong


kuku maka kebersihan rambut dan kuku terpenuhi.
3.) Anjurkan klien untuk senantiasa merapikan rambut dan mengganti pakaiannya
setiap hari.

Rasional : Dengan membersihkan dan merapihkan lingkungan akan


memberikan rasa nyaman klien.

6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.

Tujuan :

Jangka Panjang : Klien dapat sembuh tanpa komplikasi seperti infeksi.

Jangka Pendek :

 Kulit bersih dan kelembaban cukup.

 Kulit tidak berwarna merah.

 Kulit pada bokong tidak terasa ngilu.

Intervensi :

1.) Kerjasama dengan keluarga untuk selalu menyediakan sabun mandi saat mandi.

Rasional : Sabun mengandung antiseptik yang dapat menghilangkan kuman


dan kotoran pada kulit sehingga kulit bersih dan tetap lembab.

2.) Pelihara kebersihan dan kerapihan alat tenun setiap hari.

Rasional : Alat tenun yang bersih dan rapih mengurangi resiko kerusakan
kulit dan mencegah masuknya mikroorganisme.

3.) Anjurkan pada klien untuk merubah posisi tidurnya setiap 3 – 4 jam sekali

Rasional : Untuk mencegah penekanan yang terlalu lama yang dapat


menyebabkan iritasi.

7. Resiko tinggi terhadap kontraktur berhubungan dengan immobilisasi.


Tujuan :

Jangka Panjang : Kontraktur tidak terjadi.

Jangka Pendek :

 Klien dapat melakukan latihan rentang gerak.

 Setiap persendian dapat digerakkan dengan baik.

 Tidak terjadi tanda-tanda kontraktur seperti kaku pada persendian.

Intervensi :

1.) Pertahankan peningkatan kontinyu dari puntung selama 24 – 48 jam sesuai


pesanan. Jangan menekuk lutut, tempat tidur atau menempatkan bantal dibawah
sisa tungkai, tinggikan kaku tempat tidur melalui blok untuk meninggikan
puntung.

Rasional : Peninggian menurunkan edema dan menurunkan resiko


kontraktur fleksi dari panggul.

2.) Tempatkan klien pada posisi telungkup selama 30 menit 3 – 4 kali setiap hari
setelah periode yang ditentukan dari peninggian kontinyu.

Rasional : Otot normalnya berkontraksi waktu dipotong. Posisi telungkup


membantu mempertahankan tungkai sisa pada ekstensi penuh.

3.) Tempatkan rol trokanter disamping paha untuk mempertahankan tungkai


adduksi.

Rasional : Kontraktur adduksi dapat terjadi karena otot fleksor lebih kuat
dari pada otot ekstensor.

4.) Mulai latihan rentang gerak pada puntung 2 – 3 kali sehari mulai pada hari
pertama pasca operasi. Konsul terapist fisik untuk latihan yang tepat.

Rasional : Latihan rentang gerak membantu mempertahankan fleksibilitas


dan tonus otot.

8. Potensial infeksi berhubungan dengan adanya luka yang terbuka.


Tujuan :

Jangka Panjang : Infeksi tidak terjadi

Jangka Pendek :

 Luka bersih dan kering

 Daerah sekitar luka tidak kemerahan dan tidak bengkak.

 Tanda-tanda vital normal

 Nilai leukosit normal (5000 – 10.000/mm3)

Intervensi :

1.) Observasi keadaan luka

Rasional : Untuk memonitor bila ada tanda-tanda infeksi sehingga akan


cepat ditanggulangi.

2.) Gunakan teknik aseptik dan antiseptik dalam melakukan setiap tindakan
keperawatan

Rasional : Tehnik aseptik dan antiseptik untuk mencegah pertumbuhan atau


membunuh kuman sehingga infeksi tidak terjadi.

3.) Ganti balutan 2 kali sehari dengan alat yang steril.

Rasional : Mengganti balutan untuk menjaga agar luka tetap bersih dan
dengan menggunakan peralatan yang steril agar luka tidak
terkontaminasi oleh kuman dari luar.

Implementasi
DX Paraf/
Tanggal Tindakan keperawatan
No. nama

14-04- Mengkaji TTV :


2010  TD : 120/80 mmHg
 N : 88 x/menit
 P : 22 x/menit
 S : 36°C
Keadaan Umum : Lemah
14-04- Mengkaji data pasien
2010
- Nyeri : skala 5-6, pada pedis sinistra, dikaji kembali daerah yang
terasa nyeri (nyeri atau hanya phantom pain)
- Hasil laboratorium :
Hb & Ht mengalami penurunan, albumin mengalami penurunan
merupakan tanda terjadinya perdarahan dan resiko terjadi gangguan
perfusi jaringan.
14-04-  Mengkaji luka post amputasi
2010
Etiologi : post amputasi
WB ; merah segar
Area sekitar luka : edema +, nyeri +
 Mengganti balutan luka dengan prinsip
aseptic dan alat steril
14-04-  Melatih rentang gerak pasif dan aktif post
2010
operasi
14-04-  Melakukan bed making
2010
 Mengubah posisi tidur pasien tiap 4 jam
sekali
14-04-  Membantu dan mengajarkan klien/ keluarga
2010
dalam perawatan diri
 Mandi
 Mengganti pakaian
 Menggunting kuku
 Eliminasi
14-04- Memberikan Obat :
2010
 Ceftriaxon
Dosis : 2 x 2 gr/ hari
Rute : IM/ IV
Frekuensi : 2x/ hari

 Metronidazol

Dosis : 500 mg

Rute : IV

Frekuensi : tiap 8 jam


14-04- Mendorong pasien untuk mengekspresikan ketakutannya akibat
2010
kehilangan bagian tubuh
- pasien mengatakan masih bingung dengan keadaannya saat
ini, jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
- pasien tampak murung dan seperti memikirkan sesuatu

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai normal/


rujukan
DARAH LENGKAP
Hemoglobin Automatic 8 g/dl 13 – 18
Hematrokit Automatic 24 % 40 – 52
Leukosit Automatic 15 Ribu/dl 5 – 10
Eritrosit Automatic 3,93 Juta/ cu.mm 4,6 – 6,2
Albumin Automatic 2,64 gm./ dl 3,5 – 5
Globulin Automatic 3,55 gm./ dl 1,5 – 3

Daftar Obat

Nama, dosis, rute, Indikasi Efek samping Perhatian


frekuensi

Ceftriaxon Pengobatan infeksi Gangguan GI, reaksi Hamil, laktasi,


Dosis : 2 x 2 gr/ hari saluran nafas bawah, hipersensitif, sakit hipersensitif
Rute : IM/ IV saluran kemih, kepala, pusing, nyeri terhadap penisilin,
Frekuensi : 2x/ hari kelamin, tulang & ditempat suntik, gangguan fungsi
sendi, kulit, infeksi peningkatan ginjal dan hati
intra abdomen, sementara BUN,
profilaksis selama op SGOT,SGPT

Metronidazol Pengobatan infeksi Mual, muntah, Gangguan hati,


karena bakteri anaerob, gangguan GI, ruam laktasi, hamil, lansia,
Dosis : 500 mg
amubiasis kulit, gangguan anak2, gangguan
Rute : IV
pengecapan, diare SSP
Frekuensi : tiap 8 jam

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Kanker tulang adalah kanker yang terjadi akibat adanya kelainan sel yang membentuk
tulang. Kanker yang dimulai di tulang jarang terjadi, tapi kanker yang telah menyebar ke tulang
dari bagian lain dari tubuh lebih umum terjadi. Semua pasien dengan osteosarkoma harus
menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor primer. Tipe dari pembedahan
yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor yang harus dievaluasi dari pasien secara
individual. Dalam kasus ini, Tn.Aman dilakukan prosedur pembedahan dengan cara di lakukan
amputasi sampai batas kanker terjadi.

Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan
kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar
ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya. Tindakan amputasi
merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan
keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk mencapai tingkat homeostatis
maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegakkan untuk membantu klien
mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi.
Oleh karena itu, perawatan rehabilitasi pasien dengan post amputasi harus segera diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Merilyn, Doengoes. 2005. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi. 6.
Vol. 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi. 8. Vol. 3. Jakarta: EGC.
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/06/askep-amputasi/

http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/amputation

http://www.cahayausaha.com/kanker/kanker_tulang.htm
http://gspotcom.blogspot.com/2009/04/hubungan-antara-amputasi-dan-prostetik.html

Anda mungkin juga menyukai