Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT

A. DEFINISI
Otitis media adalah infeksi telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (Otitis
Eksternal), saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan telinga bagian
dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi
telinga tengah. (Rahajoe, 2012)
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002).
Otitis media akut ialah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi
atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (Schwartz 2004,
h.141).

B. ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak
diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat edema yang
terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga menjadi faktor
penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi karena
mekanisme pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan terjadinya
infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan memudahkan
terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid yang menghambat
pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan horisontal, perkembangan
saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii terbuka lebih awal.
           

C. EPIDEMIOLOGI
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. pada penelitian Zackzouk dan kawan-kawan di Arab Saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien infeksi saluran pernapasan atas (6-35 bulan), didapatkan 30% mengalami
otitis media akit dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis berusia 1
tahun sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun  sekitar 83%. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun
dan hampir setengah dari mereka mengalami tiga kali atau lebih. Insiden Otitis Media Akut
(OMA) tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu
berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami otitis Media Akut (OMA) di dapatkan pertengahan
tahun pertama sekolah, di Swedia mendapatkan 16.611 anak penderita Otitis Media Akut
(OMA) dan didapatkan usia 7 tahun dengan prevalensi terbanyak. resiko kekambuhan otitis
media terjadi pada beberapa faktor, antara lain usia < 5 tahun, otitis prone (pasien yang
mengalami otitis pertama kali pada usia < 6 bulan, 3 kali dalam 6 bulan terakhir), infeksi
pernapasan, perokok dan laki-laki.
Indonesia sebagai  negara berkembang perlu memperhatikan masalah kesehatan ini,
namun hal ini tidak didukung dengan pendataan yang jelas tentang insidensi otitis Media
Akut (OMA) itu sendiri. data yang didapat dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota
bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada 20 besar penyakit dengan insidensi
tersering.

D. PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang
mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut
memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah dan
memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar. Drainase
yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah. Udara, tidak dapat ke
luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke dalam sirkulasi yang menyebabkan
tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka, perbedaan tekanan ini
menyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat organisme cepat berproliferasi
dan menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944)

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1.      Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2.      Otalgia (sakit telinga)
3.      Demam
4.      Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.

Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :


1.      Menangis
2.      Rewel, gelisah, sensitif
3.      Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
4.      Menggeleng-gelengkan kepala
5.      Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
6.      Kehilangan nafsu makan

Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :


1.        Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
2.        Iritabilitas
3.        Letargi
4.        Kehilangan nafsu makan
5.        Limfadenopati servikal anterior
6.        Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak merah terang dan
menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220 ialah :
1.      Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani.
2.      Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi
jarum dari telinga tengah melalui membran timpani). Uji sensitivitas dan kultur dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi organisme pada sekret telinga.
3.      Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan
pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.

G. PENATALAKSANAAN
1.      Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya :
a.       Stadium oklusi tuba
1)      Berikan antibiotik selama 7 hari :
        Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
        Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
        Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2)      Obat tetes hidung nasal dekongestan
3)      Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4)      Antipiretik
b.      Stadium hiperemis
1)      Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
        Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
        Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
        Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2)      Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3)      Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4)      Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c.       Stadium supurasi
1)      Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2)      Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama 3 hari. Apabila
ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik peroral selama 14 hari.
3)      Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan
miringotomi.
2.      Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a.       Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang mungkin
terjadi.
b.      Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas pakainan anak
yang berlebihan.
c.       Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan makanan lunak pada
anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan, dan berikan kompres panas atau
kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
d.      Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit tergantung.
e.       Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f.       Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
1)      Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping obat.
2)      Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan antibiotik
3)      Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan pentingnya uji audiologik,
jika diperlukan.
4)      Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak posisi tegak pada waktu
makan, menghembus udara hidung dengan perlahan, permainan meniup.
5)      Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah menyelesaikan terapi antibiotik
untuk memeriksa adanya infeksi persisten.

  

H. NURSING CARE PLAN


1.      Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada telinga tengah dan rupturnya membrane
tympani.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, rasa nyeri dapat terkontrol dengan
kriteria hasil :
a.    Skala nyeri 1-3 (0-10)
b.    Ekspresi wajah rileks

INTERVENSI RASIONAL
 Kaji karakteristik nyeri  Menentukan tingkat
keparahan dan intervensi
lebih lanjut.
 Dapat memperoleh
 Anjurkan klien untuk tidak
infeksi/rupture membrane
mengorek telinga
tympani
 Kompres dapat mengurangi
rasa nyeri.
 Kompres dingin pada
bagian mastoid.

2.      Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien menyatakan tidak demam lagi
dengan kriteria hasil :
a.         Suhu 36,7C-37C
b.         Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi.

INTERVENSI RASIONAL
 Ukur suhu 6 jam sekali  Mengetahui perubahan suhu
sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi
 Kompres pada lipatan,
 Kompres hangat pada lipatan-
contohnya : ketiak, lebih cepat
lipatan dan kening
menurunkan panas karena pori-
pori di daerah tersebut besar.
 Menceah dehidrasi sebagai efek
demam.
 Anjurkan pasien untuk minum
lebih ± 2,5-3 L/hari

3.      Gangguan persepsi sensori auditori berhubungan dengan gangguan hantaran bunyi
pada organ pendengaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam fungsi indera pendengaran klien
kembali normal dengan kriteria hasil :
a.       Gangguan pendengaran dapat teratasi
b.      Klien tidak mengalami hambatan komunikasi.

INTERVENSI RASIONAL
 Kaji tingkat gangguan  Mengetahui tingkat gangguan
pendengaran dan menentukan intervensi
 Ketika berkomunikasi dengan  Dengan komunikasi keras tapi
klien usahakan dnegan suara pelan diharapkan dapat lebih
keras tapi pelan. diterima klien.
 Kolaborasi dalam melakukan  Timpanotomi bertujuan untuk
miringotomi/timpanotomi. melakukan drainase secret dari
telinga tengah ke telinga luar.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI:
Jakarta.
Betz, CL. 2002.  Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.

Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.

Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.

Wong, DL et al. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai