Anda di halaman 1dari 5

BRONKIOLITIS

A. Definisi
Bronkitis adalah infeksi akut saluran pernapasan bawah pada bayi yang
ditandai oleh mengi dan hiperekspansi, yang disebabkan oleh saluran pernapasan
kecil yang tersumbat dan meradang (Mandal et al., 2008). Bronkiolitis akut lebih
banyak mengenai anak laki-laki. Hal ini dihubungkan dengan kaliber saluran
respiratorik yang relatif lebih sempit pada anak laki-laki dibanding perempuan
(Subanada et al., 2009).
Bronkiolitis paling sering terjadi pada usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia
2–8 bulan. Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah 2
tahun. Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama kali
sedangkan pada asma selain tanpa disertai demam kejadian seperti ini merupakan
kejadian yang berulang (Supriyanto, 2006).
B. Etiologi
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV (Respiratory Syncytial
Virus). Sekitar 75,000 – 125,000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika
Serikat akibat infeksi RSV setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan
oleh RSV pada 22,4 dari 100 anak pada tahun pertama kehidupan. Dari semua
infeksi RSV pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti penyakit
saluran napas bawah. Meskipun tingkat serangan RSV menurun seiring dengan
bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada anak terinfeksi
RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun (Junawanto et al., 2016). Kemungkinan
kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu perokok lebih tinggi dibandingkan
pada anak dengan ibu yang tidak merokok.
Tabel 1. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak

C. Patofisiologi
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang
disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai obstruksi
bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan lendir, serta debris-debris
seluler. Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di
dalam paru. Ventilasi yang makin menurun pada alveolus akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia dini (Junawanto et al., 2016).
D. Manifestasi Klinis
Karakteristik bronkiolitis adalah (Mandal et al., 2008):
1) Demam, pilek, dan batuk mendahului terjadinya gawat napas selama 1-2 hari
2) Pucat, takipnea, takikardia, dan kegelisahan yang berlebihan
3) Retraksi jaringan lunak supraklavikular interkostal, dan subkostal saat
inspirasi yang berkaitan dengan mengi ekspirasi
4) Pada auskultasi terdengar mengi dengan atau tanpa ronki difus
5) Sianosis yang diperberat oleh batuk atau oleh usaha saat diberi makan, terjadi
pada kasus berat
6) Demam bersifat intermiten dan jarang dan jarang melampaui 39℃
7) Penyakit berlangsung selama 3-7 hari dengan pemulihan bertahap dalam 1-2
minggu.
E. Penatalaksanaan Penyakit
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan
biasanya hanya suportif.
Prinsip Pengobatan Bronkiolitis (Junawanto et al., 2016):
1) Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres
pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs,
kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 – 40%.
Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan
kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) untuk
mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen diteruskan sampai tanda
hipoksia hilang.
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu
memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah
untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang
mengganggu perfusi ventilasi paru. Transient oxygen desaturation pada anak
umum terjadi saat anak tertidur, durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada
kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam hitungan jam sampai hari.
2) Cairan Pemberian
Cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan respiratorik yang
mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui
mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan
kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa
melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat
menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke
paru oleh lambung yang terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik
atau intravena perlu pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.
3) Bronkodilator dan Kortikosteroid
Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan.
Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di Amerika menemukan
bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi
penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga
dapat disimpulkan tidak ada keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia
dan tremor dapat lebih merugikan.
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009
menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak
dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di
rumah sakit, dan durasi penyakit.
Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat.
Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk
membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran
pernapasan
4) Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih
kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of
Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang
diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan
kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada
bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20
mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3- 7 hari.
5) Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh virus,
kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan
berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal
hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten
terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan hanya
berdasarkan indikasi. Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas,
namun untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin.
6) Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun perkusi
(5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain pengurangan durasi
pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah nasofaring untuk meredakan
sementara kongesti nasal atau obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi
retrospektif menyatakan deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap
lebih lama pada anak usia 2 – 12 bulan.
F. Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan
meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan
sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu
yang berdekatan dengan pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta
polusi udara serta pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian
bronkiolitis (Junawanto et al., 2016).

Anda mungkin juga menyukai