Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PNEUMONIA

1.1 Defenisi Pneumonia

Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan pada parenkim paru, yaitu mulai

dari bagian alveoli sampai bronkus atau bronkiolus, yang dapat menular dan

ditandai dengan konsolidasi. Konsolidasi adalah proses patologis, ketika alveoli

terisi dengan campuran inflamatori eksudat, bakteri dan sel-sel darah putih. Saat

disinari dengan x-ray akan muncul bayangan putih yang biasanya nampak jelas

pada paruparu. Berbagai macam organisme dapat menyebabkan pneumonia

sehingga perlu adanya penerapan beberapa jenis sistem klasifikasi, setidaknya

sampai ditentukan etiologi kasus tertentu (Walker dan Whittlesea, 2012).

Pneumonia sering diklasifikasikan secara klinis menjadi pneumonia lobus,

bronkopneumonia atau atipikal pneumonia, tapi ini tidak berkorelasi sepenuhnya

dengan penyebab bakteriologis dan perbedaan di setiap kasus sering menjadi

kurang jelas. Pengklasifikasian yang lebih praktis untuk pneumonia adalah

menurut sifat akuisisinya. Istilah yang biasa digunakan yaitu Community

Acquired Pneumonia (CAP), Hospital Acquired Pneumonia (HAP), dan

Ventilator Acquired Pneumonia (VAP) (Walker dan Whittlesea, 2012).

1.2 Etiologi Pneumonia (Depkes, 2005)

Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus, mycoplasma,

chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak dijumpai pada pasien

immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus yang menginfeksi adalah virus

saluran napas seperti RSV, Influenza type A, parainfluenza, adenovirus . Ditinjau


dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang berbeda

penatalaksanaannya.

1. Community acquired pneumonia (CAP)

Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo.

Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H.

influenzae, bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV).

Pada anak-anak patogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya

keterlibatan Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping

bakteri pada pasien dewasa.

2. Nosokomial Pneumonia

Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit.

Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap

antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri enterik golongan

gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang

sudah lebih dulu mendapat terapi cephalosporin generasi ke-tiga, biasanya

dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp.,

Enterobacter sp. Pseudomonas aeruginosa merupakan pathogen yang kurang

umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang fulminan.

Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali

dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.

3. Pneumonia Aspirasi

Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal dan

cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status
mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen

yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah

kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi

Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae

bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S. aureus +

anaerob

1.3 Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama

kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian

terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai

Pembunuh Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara

berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada

anak, terutama bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara

berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan

tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara

tersebut (Narsiti dkk, 2008).

Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun adalah

12 kasus setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita pneumonia komuniti yang

membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan sekitar 7 - 14%, dan

meningkat pada populasi tertentu seperti pada penderita Comunity Acquired

Pneumonia (CAP) dengan bakterimia, dan penderita yang memerlukan perawatan

di Intensive Care Unit (ICU). Angka mortalitas juga lebih tinggi ditemukan pada
negara berkembang, pada usia muda, dan pada usia lanjut, bervariasi dari 10 – 40

orang tiap 1000 penduduk di negara-negara barat (Marchelinus, 2013).

1.4 Patogenesis Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang,

mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu

sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari

pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara

empiris serta prognosis dari pasien. Patogenesis dari pneumonia akibat dari

bakteri pneumokokus merupakan yang paling banyak diselidiki. Pneumokokus

umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian

bawah paru-paru paling sering terkena karena efek gravitasi. Setelah mencapai

alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang khas terdiri dari empat

tahap yang berurutan yaitu :

1. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya

protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang

berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa

dan berwarna merah.

2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang

berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masih dalam ruang

alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel darah

merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang menutupi

diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna 17 kemerahan, padat


tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati yang masih segar dan

bergranula (hepatisasi = seperti hepar).

3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi

fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah

merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin

mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.

4. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan

direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan

mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan

kembali pada strukturnya semula (Dahlan, 2014).

1.5 Manifestasi Klinis Pneumonia

Menurut Kemenkes RI (2010), secara umum gambaran klinis pneumonia

diklasifikasi menjadi 2 kelompok yaitu :

1. Gejala Umum :

Misalnya demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan kurang, gejala

gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare.

2. Gejala Respiratorik

seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing), napas sesak (retraksi

dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis.

Tanda atau gejala balita yang mengalami pneumonia adalah terjadi

peningkatan frekuensi napas yang membuat anak tampak sesak, selain itu pada

daerah dada tampak retraksi atau tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali

anak menarik napas. Napas cepat disebut takipneu merupakan tanda pneumonia
pada anak yang penting, batasan frekuensi napas cepat pada bayi kurang dari 2

bulan adalah lebih/sama dengan 60 kali/menit, pada bayi 2-12 bulan adalah 50

kali/menit, sedangkan usia 1-5 tahun adalah 40 kali/menit, balita dengan

pneumonia mengalami perburukan gejala ditandai dengan gelisah, tidak mau

makan/minum, kejang atau sianosis (kebiruan pada bibir) bahkan penurunan

kesadaran (IDAI, 2016).

1.6 Penatalaksaan Pneumonia (Depkes, 2005)

Penatalaksanaan pneumonia terbagi sebagai berikut :

1. Penatalaksaan Terapi Empiris

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti

infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara

empiris dengan antibiotik spektrum luas menunggu hasil kultur. Setelah bakteri

pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum

sempit sesuai pathogen.

a. Community-Acquired Pneumonia (CAP)

Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang

berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan

antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan makrolida atau

doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru.1,19 Namun untuk dewasa muda yang

berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup

mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus

pneumoniae yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi


beralih ke derivat fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan

oleh aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat.

Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin

serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling ekonomis, namun

harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan

hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi

pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat

menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14

hari.

Tabel 1. Antibiotika pada terapi Pneumonia.

Kondisi Dosis Ped Dosis


Patogen Terapi
Klinik (mg/kg/hari) Dws
(dosis
total/hari)
Sebelumnya Pneumococcus, Eritromisin 30-50 1-2g
Sehat Mycoplasma Klaritromisin 15 0,5-1g
Pneumoniae Azitromisin 10 pada
Hari 1,diikuti
5mg
Selama 4
Hari
Komorbiditas S.pneumoniae, Cefuroksim
(manula, Hemophilus Cefotaksim
DM, gagal influenzae, Ceftriakson 50-75 1-2g
ginjal, gagal Moraxella
jantung, catarrhalis,
keganasan) Mycoplasma,
Chlamydia
pneumoniae
dan Legionella
Aspirasi Anaerob mulut Ampi/Amox 100-200 2-6g
Community Klindamisin 8-20 1,2-1,8g
Hospital Anaerob mulut, Klindamisin s.d.a. s.d.a.
S. aureus, +aminoglikosid
gram(-) enterik a
(Nosokomial) K pneumoniae, Cefuroksim s.d.a. s.d.a.
P. aeruginosa, Cefotaksim s.d.a. s.d.a.
Enterobacter Ceftriakson s.d.a. s.d.a
Pneumonia ringan spp. Ampicilin- 100-200 4-8g.
onset <5 S. aureus, Sulbaktam
hari,Risiko rendah Tikarcilin-klav 200-300 12g
Gatifloksasin 0,4g

Levofloksasin 0,5-0,75g
Klinda+azitro

Pneumonia K. pneumoniae, (Gentamicin/To 7,5 4-6 mg/kg


berat**, Onset > 5 P. aeruginosa, bramicin atau
hari, Risiko Enterobacter Ciprofloksasin) -
Tinggi spp. * + Ceftazidime 150 0,5-1,5g
S. aureus, atau Cefepime 100-150 2-6g
atau Tikarcilin- 2-4g
klav/Meronem/
Aztreonam
Keterangan :

*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika

yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama.

**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,

gagal ginjal.

Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan

pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih

luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya


terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab

pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma

pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin. Beberapa pneumonia masih

menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada karena telah

terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses paru yang

kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi.

b. Pneumonia Nosokomial

Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan kejelian,

karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro maupun in vivo

di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak heran bila

berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun secara umum

antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel 1.

2. Penatalaksanaan Terapi Pendukung

Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :

• Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan

tanda sesak, hipoksemia.

• Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme

• Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum

• Nutrisi

• Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral

• Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam

• Nutrisi yang memadai


3. Penatalaksanaan Terapi Pneumonia pada Anak

Penatalaksanaan medis secara umum untuk pneumonia menurut WHO (2010) :

1. Pneumonia Ringan

a) Anak di rawat jalan

b) Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama

3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

c) Tindak lanjut Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk

membawa kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan

anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusui. Ketika anak kembali:

Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan

membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.

2. Pneumonia Berat

a) Anak dirawat di rumah sakit

b) Terapi Antibiotik

1) Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6

jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila

anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari.

Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan

amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari

berikutnya.

2) Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan

yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau

memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,


distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25

mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

3) Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen

dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-

gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM

atau IV sekali sehari).

4) Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan

buat foto dada.

5) Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk

pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5

mg/kg BB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV

setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian).

Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin)

secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3

minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

c) Terapi Oksigen

1) Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat

2) Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi

oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila

tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa

oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian

oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah

saat ini tidak berguna.


3) Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk

menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau 24

masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia

secara terus-menerus setiap waktu.

4) Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti

tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas

> 70/menit) tidak ditemukan lagi. d) Pemantauan Anak harus

diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan oleh dokter

minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari

akan tampak perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya

tarikan dinding dada, bebas demam dan anak dapat makan dan

minum).

4. Penatalaksanaan Pneumonia pada Usia Lanjut

Pneumonia merupakan infeksi yang sering ditemukan pada usia lanjut.

Berbagai faktor dapat meningkatkan risiko usia lanjut mengalami pneumonia,

diantaranya perubahan sistem imun, multipatologi, dan penurunan status

fungsional. Dalam memilih antibiotika bagi pasien usia lanjut dengan pneumonia,

diperlukan berbagai pertimbangan diantaranya jenis pneumonia apakah di

komunitas atau nosokomial, beratnya pneumonia yang dideritanya, dan status

frailty pasien usia lanjut. Pilihan antibiotika awal yang diberikan tergantung jenis

dan berat pneumonia, status frailty, dan faktor risiko yang mendasari penderita
mengalami infeksi organisme tertentu. Dosis antibiotika yang diberikan

disesuaikan dengan laju filtrasi glomerulus.

a. Pneumonia Komunitas (Community Acquired Pneumonia)

Pneumonia komunitas adalah infeksi pneumonia yang didapat di luar rumah

sakit atau fasilitas kesehatan. Untuk menentukan kriteria pasien yang dirawat atau

dapat menjalani rawat jalan dapat digunakan sistem skor CURB-65. Pada

penilaian menggunakan CURB-65 terdapat 5 item penilaian di antaranya

confusion (perubahan kesadaran), kadar ureum yang meningkat, frekuensi

pernapasan yang meningkat (≥30 kali/menit), tekanan darah sistolik <90 mmHg

atau diastolik ≤60 mmHg, dan usia (usia ≥65 tahun). Masing-masing mempunyai

nilai satu. Apabila didapatkan nilai 0 atau 1 pasiennya dapat berobat jalan, apabila

didapatkan skor 2 dianjurkan untuk dirawat. Jika skor 3 harus dirawat, sedangkan

bila skor 4 atau 5 disarankan untuk dirawat di ruangan intensif (Castillo JG et al,

2017)

Terapi awal untuk pneumonia diberikan secara empiris. Pemilihan antibiotika

empiris pada usia lanjut dipengaruhi oleh derajat kerentaan (frailty), sumber

infeksi, adanya faktor risiko infeksi terhadap mikroorganisme resisten, serta

tingkat keparahan pneumonia

Pasien tanpa atau dengan frailty memiliki pilihan antibiotika awal yang

berbeda. Untuk menilai status frailty dapat digunakan instrumen clinical frailty

scale (CFS). Instrumen ini dapat dipakai untuk mendeteksi usia lanjut yang

berisiko tinggi mengalami komplikasi dan pemanjangan lama rawat (Juma S et

al,2016).
Pilihan antibiotika berbeda bagi pasien rawat jalan dan rawat inap. Dosis

pertama antibiotika harus diberikan segera. Besarnya dosis dan frekuensi

pemberian disesuaikan dengan berat badan dan fungsi ginjal. Potensi interaksi

obat juga harus diperhitungkan.(Juma S et al, 2016).

Tabel 2. Pilihan antibiotika pada pneumonia komunitas usia lanjut (Castillo JG et


al, 2017;Castillo JG et al, 2014)

Pasien Pilihan antibiotik

Tanpa frailty
Amoksisilin/Klavulanat atau Sefalosporin generasi kedua
Rawat jalan +
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Amoksisilin/Klavulanat atau Seftriakson atau Sefotaksim atau
Rawat inap Seftarolin
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Pneumonia Seftriakson atau Sefotaksim atau Seftarolin atau Ertapenem
berat +
Azitromisin atau Fluorokuinolon
± Linezolid atau Vankomisin
± ß Laktam Antipseudomonas
± Oseltamivir

Frailty
Amoksisilin/Klavulanat atau Seftriakson atau Sefotaksim
Prefrailty atau Seftarolin
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Ertapenem atau
Frail Amoksisilin/Klavulanat atau
Seftriakson + Klindamisin

b. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia)

Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia = HAP) adalah

pneumonia yang timbul setelah dua hari rawatan di rumah sakit atau selama 10-14

hari setelah pasien pulang rawat.10 Pilihan antibiotika untuk pneumonia yang

didapat di rumah sakit bergantung kepada waktu timbulnya pneumonia

nosokomial. Pasien dengan pneumonia yang timbul sebelum 5 hari dan tanpa

faktor risiko dapat diberikan Seftriakson atau Sefotaksim atau Seftarolin atau

Fluorokuinolon (Castillo JG et al, 2017).

Tabel 3. Terapi antibiotika empiris untuk pneumonia nosocomial (Castillo JG et


al, 2017)

Kelompok pasien Pilihan antibiotika

Early HAP (<5 Seftriakson atau Sefotaksim atau Seftarolin


hari) tanpa faktor atau
Fluorokuinolon
risiko
Late HAP (≥5 Seftazidim atau Sefepim atau Imipenem atau
hari) atau dengan Meropenem atau Piperasilin/Tazobaktam
faktor risiko +
Siprofloksasin atau Levofloksasin atau Amikasin atau
Tobramisin
±
Linezolid atau Vankomisin
Pada Tabel 4 disajikan dosis antibiotika serta penyesuaian dosis pada gangguan

fungsi ginjal. Antibiotika Azitromisin, Linezolid dan Moksifloksasin tidak

memerlukan penyesuaian dosis pada penurunan laju filtrasi glomerulus.

Tabel 4. Dosis antibiotika untuk pneumonia berdasarkan fungsi ginjal (Castillo


JG et al, 2014).

Antibiotika Dosis Dosis pada gangguan fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus
dalam ml/menit)
Amikasin 15-20 mg/kg/24 60-80: 9-12 mg/kg/24 jam 40-60: 6-9 mg/kg/24 jam
jam 30-40: 4,5-6 mg/kg/24 jam 20-30: 3-4,5 mg/kg/24
10-20: 1,5-3 mg/kg/24 jam jam
<10: 1-1,5 mg/kg/24 jam
Amoksisilin- 2 g/6-8 jam 30-50: 1 g/8 jam 10-30: 500 mg/12 jam
Klavulanat IV <10: 500 mg/24 jam
Amoksisilin- 2/0,125g/12 jam 30-50: 500 mg/8 jam 10-30: 500 mg/12 jam
Klavulanat PO <10: 500 mg/24 jam
Azitromisin 500 mg/24 jam Tidak diperlukan penyesuaian
IV/PO
Sefditoren PO 400 mg/12 jam 30-50: 200 mg/12 jam <30: 200 mg/24 jam
Sefepim IV 2 g/8 jam 30-50: 2 g/12 jam 10-30: 2 g/24 jam
<10: 1 g/24 jam
Seftriakson IV 1-2 g/12-24 jam >10: tidak diperlukan <10: max 2 g/24 jam
Siprofloksasin 400 mg/12 jam 30-50: tidak diperlukan <30: 200 mg/12 jam
IV
Siprofloksasin 500 mg/12 jam 30-50: tidak diperlukan <30: 250 mg/12 jam
PO

Ertapenem 1 g/24 jam <30: 500 mg/24 jam


IV/IM
Imipenem IV 1 g/6-8 jam 30-50: 250-500 mg/6-8 jam <30: 250-500 mg/12 jam
Levofloksasin 500 mg/12-24 jam 20-50: 250 mg/12-24 jam 10-20: 125 mg/12-24 jam
<10: 125 mg/24 jam
Linezolid 600 mg/12 jam Tidak diperlukan penyesuaian
IV/PO Dosis
Meropenem IV 1 g/8 jam 30-50: 1 g/12 jam 10-30: 500 mg/12 jam
<10: 500 mg/24 jam
Moksifloksasin 400 mg/24 jam Tidak diperlukan penyesuaian
IV/PO Dosis
Piperasilin/tazo 4/0,5 g/6-8 jam 20-50: 2/0,25 g/6 jam <20: 2/0,25 g/ 8 jam
baktam IV
Tobramisin IV 4-7 mg/kg/24 jam 60-80: 4 mg/kg/24 jam 40-60: 3,5 mg/kg/24 jam
30-40:2,5 mg/kg/24 jam 20-30: 2 mg/kg/24 jam
10-20: 1,5 mg/kg/24 jam

DAFTAR PUSTAKA

Castillo JG, Sanchez FJ, Llinares P, Menendez R, Mujal A, Navas E, et al.


Guidelines for the management of community-acquired pneumonia in the
elderly patient. Rev Esp Quimioter. 2014; 27 (1):69-86.
Castillo JG, Sanchez FJ. Pneumonia. Hazzard’s geriatric medicine and
gerontology. Edisi ke-7. New York: The McGraw-Hill Companies Inc;
2017. hlm. 1957-70.
Dahlan Z., 2014. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing, hal 1608-19.
Depkes., 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Saluran Pernafasan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Memperingati Hari Pneumonia Dunia., 2016.
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/memperingati-
haripneumonia-dunia
Juma S, Taabazuing M, Montero-Odasso M., 2016. Clinical frailty scale in an
acute medicine unit: a simple tool that predicts length of stay. Can Geriatr
J. ;19(2):34-9.
Kemenkes RI, Pneumonia Balita, Buletin Jendela Epidemiologi., 2010; 3.
Available from:http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/buletin/buletin-pneumonia.pdf.
Rahajoe, Narsiti N, et al., 2013 , Buku Ajar Respirologi Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta
Walker R, Whittlesea C., 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics : Fifth
Edition. London: Churchill Livingstone Elsevier.
WHO. 2010. Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia
(GAPP). Avenue Appia 20, 1211 Geneva. Switzerland

Anda mungkin juga menyukai