D. Patofisiologi
Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul membantu
mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler terdiri dari
lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya.
Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir
bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah tabung
muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuksudut dengan sumbu
rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah sekitar 90 derajat, saat berkontraksi
secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi
menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130 derajat.
Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna,
yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani
interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler
rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari
otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan heterogen.
Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu
penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama 24
jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna pada
saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk,
berbangkis dan sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas,
karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani
interna dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah
dengan tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada posterior
dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan penting untuk
mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter ani interna,
berperan penting untuk mengontrol feces yang cair. Bantalan anus yang dapat memberikan
sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah yang mengalir pada
arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus. Kerjasama antara sfingter anal
yang komplek dengan fungsi rektal yang normal dibutuhkan untuk mempertahankan
kontinen yang wajar. Dinding rectum mengembung untuk menampung feces selama feces
masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan
tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi untuk menampung feces yang padat dan
menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat. Suatu kenyataan kontinensia tergantung
atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta
kontrol dari susunan saraf pusat. Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan
dibawah sadar (sub consious), tetapi control volunter juga mempunyai peranan penting
dalam penundaan pengeluran feces selama keadaan tak menyenangkan.
Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier
tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan
mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat penutupan
dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk
katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan meningkatkan
kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.
Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis maupun
oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral
kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding
anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami
cidera regangan, terutama pada saat melahirkan pervaginam. Tampaknya isi rektum secara
periodik dirasakan oleh proses "ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh
relaksasi transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus
dari rektum ke dalam anal kanal bagian atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak
end organ end organ sensorik khusus seperti Krause end-bulbs, Golgi–Mazzoni bodies dan
genital corpuscles, serta the relatively sparse Meissner’s corpuscles dan Pacinian corpuscles.
Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani ujung
saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan individu
untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum tersebut,
sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan predisposisi
untuk terjadinya inkontinensia. Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf
yang terorganisir. Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin
berada berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf
tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk relaksasi
serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal. Sensasi dari distensi rectum berjalan sepanjang
sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf ssakralis sangat besar
peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom anorektum, serta dalam
mempertahankan kontinensia.
E. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain:
1. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet
2. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
3. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat.
4. Faktor psikologik
5. Kebiasaan
6. Posisi
7. Nyeri
8. Kehamilan : menekan rectum
9. Operasi & anestesi
10. Obat-obatan
11. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
12. Kondisi patologis
13. Iritan
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain:
1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan
lunak dan otot pelvis.
2. Ultrasound, yakni anal endosonography merupakan metode pemeriksaan terhadap
morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis
dan septum rektovaginal.
3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal
endosonography namun memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan
fistula anal.
2. Terapi Spesifik
Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai
berikut:
a. Terapi Farmakologis:
Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan perbaikan sedang
pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme
kerja yang berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen
antidiare misalnya loperamide hydrochloride (Imodium®—Janssen Pharmaceuticals:
Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil®, Searle, Chicago, IL)
tetap menjadi obat pilihan yang utama.
Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4 mg tiga kali
sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan
meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani
istirahat dan mengurangi berat feces.
b. Terapi Biofeedback
Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif. Terapi ini
memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal, mengembalikan kualitas hidup, dan
memperbaiki parameterparameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada
penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.
Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal adalah:
1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;
2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal, dan sfingter ani selama
berkontraksi secara volunter dan setelah persepsi rektum;
3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.
d. Tindakan Bedah
Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita tertentu yang gagal
ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau terapi biofeedback. Pada sebagian besar
penderita dengan inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter
secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul otot sfingter yang
robek ditautkan. Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh Parks
dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal kanal dengan mobilisasi
sfingter ani eksterna, membebaskannya dari jaringan parut, preservasi jaringan parut
untuk menautkan jahitan, dan overlapping repair menggunakan dua baris jahitan. Jika
defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari sfingter ani interna
juga dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan gejala pada 70–80% penderita, meskipun
satu studi melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-penderita
dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi utuh, repair postanal telah
dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari pendekatan ini memiliki rentang antara 20%