Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Inkontinensia Alvi


Menurut Bharucha A.E., Blandon R.E. (2007), kontinensia adalah kemampuan untuk
menahan keluarnya luaran tubuh (bodily discharge) secara sadar/volunter. Kata kontinensia
berasal dari kata latin continere atau tenere yang berarti “menahan”. Anorektal adalah akhir
kaudal dari traktus gastrointestinal, yang bertanggung jawab pada kontinensia fekal dan
proses defekasi.
Rao S.S.C. (2007) menyatakan bahwa inkontinensia fekal adalah keluarnya feces atau
gas secara involunter atau ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feces atau gas melalui
anus. Sedangkan menurut U.S. Departement of Health and Human Services (2009) dan
Junizaf (2011), inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan dalam menahan keinginan
buang air besar sampai mencapai toilet, juga diartikan sebagai ketidakmampuan menahan
gas, feces cair, maupun feces padat.
Inkontinensia fecal lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Defekasi,
seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf,
respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat
buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia, tetapi inkontinensia fecal bukan merupakan sesuatu yang normal pada lanjut
usia.
Inkontinensia alvi (inkontinensia feses) adalah ketidakmampuan untuk mengontrol
buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur/rektum.
Inkontinensia tinja juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi
sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.

B. Etiologi Inkontinensia Alvi


Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Penyebab
inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987; Kane
dkk,1989):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
a. Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari
massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan
menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya
sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan
antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar
(broklehurst dkk, 1987).
b. Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi
produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses yang
impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar.
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam – macam
kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah
dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrolyang
rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus
bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara lain
yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987:
Robert – Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik).
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks
serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui
reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum
akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi
kontraksi intrinsik dari rectum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau
hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan
otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip
oleh broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi
motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan
hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus.
Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan
prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli
progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

C. Gejala Inkontinensia Alvi


Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas dari
dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses. Umumnya
,orang dewasa tidak mengalami “kecelakaan buang air besar” ini kecuali mungkin sesekali
ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi orang yang mengalami
inkontinensia tinja,kejadian BAB di celana itu berulang-ulang dan kronis.
Gejalanya antara lain :
1. Tidak dapat mengendalikan gas atau feses yang mungkin cair atau padat dari perut
2. Mungkin tidak sempat ke toilet untuk BAB Bagi beberapa orang termasuk anak-anak
inkontinensia tinja adalah masalah yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori
pakaian mereka.bagi yang lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena kurangnya
control usus.
Secara klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum
berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau
tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-
beda, antara lain inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik
(berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi
(neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus.

D. Patofisiologi
Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul membantu
mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler terdiri dari
lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya.
Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir
bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah tabung
muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuksudut dengan sumbu
rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah sekitar 90 derajat, saat berkontraksi
secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi
menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130 derajat.
Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna,
yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani
interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler
rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari
otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan heterogen.
Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu
penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama 24
jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna pada
saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk,
berbangkis dan sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas,
karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani
interna dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah
dengan tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada posterior
dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan penting untuk
mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter ani interna,
berperan penting untuk mengontrol feces yang cair. Bantalan anus yang dapat memberikan
sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah yang mengalir pada
arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus. Kerjasama antara sfingter anal
yang komplek dengan fungsi rektal yang normal dibutuhkan untuk mempertahankan
kontinen yang wajar. Dinding rectum mengembung untuk menampung feces selama feces
masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan
tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi untuk menampung feces yang padat dan
menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat. Suatu kenyataan kontinensia tergantung
atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta
kontrol dari susunan saraf pusat. Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan
dibawah sadar (sub consious), tetapi control volunter juga mempunyai peranan penting
dalam penundaan pengeluran feces selama keadaan tak menyenangkan.
Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier
tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan
mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat penutupan
dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk
katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan meningkatkan
kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.
Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis maupun
oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral
kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding
anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami
cidera regangan, terutama pada saat melahirkan pervaginam. Tampaknya isi rektum secara
periodik dirasakan oleh proses "ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh
relaksasi transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus
dari rektum ke dalam anal kanal bagian atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak
end organ end organ sensorik khusus seperti Krause end-bulbs, Golgi–Mazzoni bodies dan
genital corpuscles, serta the relatively sparse Meissner’s corpuscles dan Pacinian corpuscles.
Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani ujung
saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan individu
untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum tersebut,
sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan predisposisi
untuk terjadinya inkontinensia. Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf
yang terorganisir. Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin
berada berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf
tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk relaksasi
serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal. Sensasi dari distensi rectum berjalan sepanjang
sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf ssakralis sangat besar
peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom anorektum, serta dalam
mempertahankan kontinensia.
E. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain:
1. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet
2. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
3. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat.
4. Faktor psikologik
5. Kebiasaan
6. Posisi
7. Nyeri
8. Kehamilan : menekan rectum
9. Operasi & anestesi
10. Obat-obatan
11. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
12. Kondisi patologis
13. Iritan

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain:
1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan
lunak dan otot pelvis.
2. Ultrasound, yakni anal endosonography merupakan metode pemeriksaan terhadap
morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis
dan septum rektovaginal.
3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal
endosonography namun memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan
fistula anal.

G. Penatalaksanaan Penderita dengan Inkontinensia Fekal


Tujuan terapi untuk penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk
mengembalikan kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup.
1. Upaya-Upaya Suportif
Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif, membiasakan
buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit, dan melakukan
perubahan gaya hidup dapat bermanfaat dalam penatalaksanaan inkontinensia fekal. Pada
manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan inkontinensia fekal,
ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi inkontinensia fekal, pengenalan
yang tepat waktu untuk defekasi, dan pembersihan segera kulit perianal merupakan hal
yang penting. Upaya-upaya kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah,
membersihkan kulit perianal segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu
basah (tisu bayi), dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya
zinc oxide dan calamine lotion (Calmoseptine®, Calmoseptine Inc: Huntington Beach,
CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit.
Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya mengurangi
asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein meningkatkan respons gastro-
kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan menginduksi sekresi cairan pada usus
halus. Karenanya, mengurangi konsumsi kafein, terutama setelah makan dapat membantu
mengurangi urgensi postprandial dan diare.

2. Terapi Spesifik
Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai
berikut:
a. Terapi Farmakologis:
Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan perbaikan sedang
pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme
kerja yang berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen
antidiare misalnya loperamide hydrochloride (Imodium®—Janssen Pharmaceuticals:
Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil®, Searle, Chicago, IL)
tetap menjadi obat pilihan yang utama.
Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4 mg tiga kali
sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan
meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani
istirahat dan mengurangi berat feces.

b. Terapi Biofeedback
Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif. Terapi ini
memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal, mengembalikan kualitas hidup, dan
memperbaiki parameterparameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada
penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.
Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal adalah:
1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;
2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal, dan sfingter ani selama
berkontraksi secara volunter dan setelah persepsi rektum;
3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.

c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik


Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau stimulasi listrik harus
bersifat eksperimental dan memerlukan studi-studi klinis terkontrol. Sumbat anus sekali
pakai yang inovatif telah dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini
ditempelkan pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah diambil.
Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak mampu mentolerir
penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat ini berguna bagi penderita-penderita
dengan gangguan sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan
mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada beberapa
penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang terbuat dari wol kapas
terbukti bermanfaat.
Stimulasi Listrik
Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi otot. Pada satu
studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari. Terdapat sejumlah peningkatan pada 10
dari 15 penderita dan ini berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter.
Pada studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari selama 12
minggu, tetapi perbaikan hanya diamati pada 2 dari 10 penderita dan tidak ada perubahan
pada tekanan sfingter. Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang dilakukan
pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis, dilaporkan bahwa tidak terdapat
cukup data untuk menarik kesimpulan yang bermakna terkait efikasi terapi ini.

d. Tindakan Bedah
Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita tertentu yang gagal
ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau terapi biofeedback. Pada sebagian besar
penderita dengan inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter
secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul otot sfingter yang
robek ditautkan. Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh Parks
dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal kanal dengan mobilisasi
sfingter ani eksterna, membebaskannya dari jaringan parut, preservasi jaringan parut
untuk menautkan jahitan, dan overlapping repair menggunakan dua baris jahitan. Jika
defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari sfingter ani interna
juga dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan gejala pada 70–80% penderita, meskipun
satu studi melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-penderita
dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi utuh, repair postanal telah
dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari pendekatan ini memiliki rentang antara 20%

Anda mungkin juga menyukai