Anda di halaman 1dari 2

F.

Pertimbangan Pendidikan
a. Kebutuhan-kebutuhan dalam Belajar Anak Retardasi Mental
Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005 : 120-124) menjelaskan kebutuhan
belajar anak tunagrahita sebagai berikut
1. Kebutuhan untuk mengembangkan aspek kognitif didalamnya terdapat kebutuhan
dalam mengembangkan keterampilan berbahasa, kebutuhan untuk
mengembangkan kemampuan persepsi, kebutuhan untuk mengembangkan
perhatian dan konsentrasi serta kebutuhan mengembangkan memori.
2. Kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan motorik meliputi
mengembangkan motorik kasar dan motorik halus
3. Kebutuhan untuk mengembangkan perilaku adaptif meliputi :
- Memerlukan banyak situasi yang sesungguhnya pada anak dengan
memberikan banyak kesempatan mengenal banyak orang, sehingga
memunculkan keberanian dalam berkomunikasi, memahami situasi dan aturan
atau tata tertib dimana ia berada.
- Memberi peluang lebih besar pada anak tunagrahita untuk mencoba
melakukan suatu pekerjaan bersifat praktis
- Bermakna dan fungsional yaitu apa yang diajarkan kepada mereka benar-benar
memiliki arti dalam kehidupan nyata sehar-hari

b. Pilihan Pendidikan untuk Anak Retardasi Mental


1. Sekolah Inklusi
Kemendiknas mengeluarkan peraturan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa. Melalui peraturan ini, maka anak-anak yang
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum yang ditunjuk oleh
Pemkot atau Pemkab. Kurikulum yang diterapkan di sekolah tersebut juga
disesuaikan dengan anak-anak berkebutuhan khusus berdasarkan minat dan
bakatnya serta akan disediakan tenaga pengajar terlatih yang akan membantu.
2. Sekolah Luar Biasa (SLB-C)
Pada sekolah luar biasa ini staf pengajar memiliki penguasaan materi dan
memahami pendekatan-pendekatan yang baik dalam mengajar peserta didik yang
berkebutuhan khusus.
3. Pendidikan Informal
Selain dua pilihan sekolah diatas dapat pula menjadi pilihan yaitu lembaga
informal seperti Center of Hope yang sebelumnya mendirikan Ikatan Sindroma
Down Indonesia (ISDI). Melalui lembaga tersebut maka anak-anak diberikan
materi yang diracik dan dikreasikan ke Kemendiknas sampai materi tersebut
disahkan dan diberi izin untuk diberikan. Pada lembaga ini anak-anak juga bisa
melatih otot-otot mereka.

G. Intervensi / Terapi
Terapi yang dapat digunakan untuk anak dengan retardasi mental yaitu
menggunakan terapi bermain dengan puzzle untuk meningkatkan sosialisasi pada anak.
Anak yang diintervensi yaitu dengan kriteria siswa yang sakit fisik dan siswa retardasi
mental, dimana anak-anak tersebut nantinya akan dibagi menjadi kelompok kecil yang
terdiri dari 3 anggota. Puzzle yang digunakan untuk intervensi ini adalah puzzle
sederhana yang menggunakan tema-tema berbeda tiap minggunya. Minggu pertama
dengan tema buah-buahan, minggu kedua yaitu dengan tema hewan dan minggu ketiga
dengan tema alat transportasi.
Terdapat indikator sosialisasi yang dapat dilihat yaitu dari kontak mata, membalas
senyuman, menjawab pertanyaan, menunjukkan barang miliknya kepada orang lain,
bermain dengan teman sebaya, mengikuti permainan sesuai peraturan, tetap bermain
dengan teman walaupun tidak ada guru / pengasuh, berpartisipasi aktif, saling bertanya /
meminta satu sama lain dan bekerjasama. Melalui intervensi dengan bermain puzzle
tersebut maka anak-anak dengan retardasi mental dapat mulai bersosialisasi dengan
teman-temannya, jika dilakukan secara rutin pula maka kemampuan sosialisasi pada
anak retardasi mental akan semakin meningkat pula.

Sumber :
Wardhani, S.H., Terapi bermain : cooperative play dengan puzzle meningkatkan kemampuan
sosialisasi anak retardasi mental

Anda mungkin juga menyukai