Anda di halaman 1dari 6

PERTUSIS

1.1 Definisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah Tussis quinta, Whooping
cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000). Pertusis adalah
penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang menimbulkan
serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising.
(Ramali, 2003)
Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Serangan batuk
terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam
paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat nafas berikutnya pasien pertusis telah
kekurangan udara sehingga nafas dengan cepat, suara pernafasan berbunyi seperti
pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa
bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga
muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.
1.2 Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. Pertusis, B.
Parapertusis, B. Bronkiseptika, dan B. Avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan
oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe 1,2,3 dan 5).
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri
gram negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer,
2000)
1.3 Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang
tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat
penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat
ditularkan melalui udara secara:
a. Droplet.
b. Bahan droplet.
c. Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.
Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis
tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun
menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi
menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999,
diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di
seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun
disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Usia dari
tahun 1999 – 2002, dari semua pasien pertusis:
a. 29% berusia kurang dari 1 tahun.
b. 12% berusia 1-4 tahun.
c. 10% berusia 5-9 tahun.
d. 29% berusia 10-19 tahun.
e. 20% berusia lebih dari 20 tahun.
1.4 Patofisiologis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melaui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan Protein 69-Kd
berperan pada perletakan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan
epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toksin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub
unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan
sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Cara penularan pertusis, melalui:
a. Droplet infection
b. Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c. Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
d. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut.
1.5 Manifestasi klinik
Periode inkubasi pertusis berkisar antara 3-12 hari. Pertussis merupakan
penyakit 6 minggu (a 6-week disease) yang dibagi menjadi: stadium catarrhal,
paroxysmal, dan convalescent.
a. Stadium 1
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga catarrhal
phase, stadium kataralis, stadium prodromal, stadium pre-paroksismal.
Menurut Rampengan (2008), masa inkubasi pertusis 6-10 hari (rata-rata 7
hari), perjalanan penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih.
Adapun manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu dengan
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih.
2) Infeksi konjungtiva, lakrimasi.
3) Batuk dan panas yang ringan.
4) Kongesti nasalis
5) Anoreksia
Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan
menjadi semakin hebat. Sekret banyak, menjadi kental dan lengket. Pada
bayi, lendir mukoid sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas, dimana
bayi terlihat sakit berat dan iritabel.
b. Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga
paroxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal,
stadium spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang
tiba-tiba dan tak terkontrol (paroxysms of intense coughing) yang
berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia kurang dari 6
bulan tidak disertai whoop yang khas namun dapat disertai episode
apnea (henti nafas sementara) dan berisiko kelelahan (exhaustion).
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat
penderita menarik nafas di akhir serangan batuk.
2) Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas, dan di
akhir serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam
sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan
muntah.
3) Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau
sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan
gelisah.
4) Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lendir kental.
5) Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat
c. Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium
konvalesens. Pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun.
Namun batuk yang terjadi merupakan batuk kronis yang dapat
berlangsung selama berminggu-minggu.
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1) Whoop dan muntah berhenti.
2) Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3
minggu.
3) Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali    dengan whoop dan muntah-muntah.
1.6 Penatalaksanaan
a) Suportif
1) Isolasi (1-2 minggu).
2) Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
3) Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
4) Oksigen bila sesak nafas.
5) Pengisapan lendir.
6) Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b) Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
1) Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
2) Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari.
3) Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5
hari.
4) Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis,
selama 14 hari.
5) Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari.
c) Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance) infeksi.
Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan specific
protective properties. Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah
menerima vaksin pertusis. Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular
direkomendasikan dan biasanya dikombinasikan dengan diphtheria and
tetanus toxoids (DTaP). Vaksin tidak dapat mencegah pertusis
seluruhnya, namun terbukti dapat memperingan durasi dan tingkat
keparahan pertusis.
a. DtaP
 Nama Dagang di Amerika: Tripedia, Certiva, Infanrix.
 Dosis Dewasa:
0,5 mL IM toksoid tetanus dan difteri (Td) dan dosis menurut
riwayat vaksin.
 Dosis anak-anak
0,5 mL IM pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun.
7-18 tahun jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM Td
untuk 3 dosis. Berilah jarak 4 minggu di antara dosis pertama dan
kedua, dan 6 bulan di antara dosis kedua dan ketiga; ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga (boleh mengganti Tdap
untuk dosis jika usia sesuai)
 Dosis booster remaja (10-18 tahun): Tdap 0,5 mL IM sekali, dosis
tunggal.
b. Tdap
o Nama Dagang di Amerika: Adacel, Boostrix.
o Dosis dewasa:
0,5 mL IM sekali sebagai dosis tunggal, diberikan melalui
musculus deltoideus. Booster dengan Td direkomendasikan q10y
Lebih dari 65 tahun: tidak diindikasikan.
o Dosis anak-anak
<10 tahun: tidak diindikasikan.
10-18 tahun: diberikan sesuai dengan dosis dewasa.

Anda mungkin juga menyukai