MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Etika Bisnis dan Profesi yang
dibina oleh Prof. Dr. H. Heri Pratikto, M.Si.
Oleh :
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
Februari 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri atau biasa disebut
manusia merupakan makhluk sosial, karena segala sesuatu dari hal terkecil setiap
individu pasti memerlukan individu yang lain untuk saling memenuhi
kebutuhannya, dalam hal ini manusia diberi kebebasan dan diberi hak asasi
manusia, namun setiap tindakan manusia selalu didasari oleh etika, norma atau
aturan dengan tujuan membatasi perilaku manusia agar tidak melewati batas yang
sudah ada dimasyarakat atau adat istiadat dan bisa saling menghargai hak asasi
manusia.
Namun, dalam fakta yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, masih
sering dijumpai seseorang yang beretika tidak baik dan dianggap tidak wajar di
masyarakat. Keinginan lebih unggul daripada yang lain bisa dianggap merupakan
salah satu faktor seseorang melakukan etika yang kurang bisa diterima di
lingkunannya, hal ini terjadi karena seseorang tersebut ingin terlihat menjadi
yang terbaik diantara yang lain, dan hal ini sangat sering terjadi baik dibidang
pendidikan maupun di dunia bisnis. Didalam dunia pendidikan peserta didik
selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang berprestasi diantara peserta didik yang
lain dan keinginan seperti ini terkadang melampaui batas sehingga menyebabkan
seseorang melakukan segala cara bahkan yang tidak beretika untuk menjadi yang
paling berprestasi.
Dalam bidang bisnis, setiap orang berbisnis selalu ingin mendapatkan
keuntungan atau laba yang besar, dan dalam dunia bisnis tidak bisa dipungkiri
bahwa persaingan pasti ada, oleh karena itu pula memicu etika enterpreneur yang
kurang baik untuk menghadapi persaingan yang ada. Tidak hanya tentang
persaingan melainkan melakukan kecurangan dalam dunia bisnis dengan modal
sedikit mungkin untuk mendapatkan laba sebesar mungkin, sering kali terjadi
kecurangan ini dibidang makanan dengan mengganti bahan-bahan yang
seharusnya berkualitas dengan bahan yang berkualitas rendah namun memiliki
harga yang rendah. Selain itu, faktor internal bisa mempengaruhi seseorang
memiliki etika yang kurang baik yakni faktor dari keluarga, karena pengetahuan
sedini mungkin bisa didapatkan di dalam keluarga. Faktor yang lain adalah faktor
lingkungan. Lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi terbentukya etika dan
karakter seseorang, karena setiap manusia pasti membutuhkan seseorang yang lain
(makhluk sosial), lingkungan masyarakat yang kurang baik akan mencerminkan
kepribadian bahwa seseorang itu juga memiliki etika, perilaku yang kurang baik
dan begitu juga sebaliknya.
Dari berita yang dilansir oleh Detik.com (2008) yang memaparkan bahwa PT
Nabico memproduksi makanan kemasan yang tidak asing dan banyak diminati
oleh masyarakat-masyarakat yakni oreo, bahkan jajanan yang khas dikenal dengan
semboyan “diputer,dijilat dan dicelupin” ini sudah banyak beredar dimasyarakat
Indonesia, namun BPOM dan Dinas Kesehatan mengatakan bahwa oreo adalah
produksi luar negeri yang mengandung melamin dan tidak layak untuk
dikonsumsi karena berbahaya bagi kesehatan maka harus ditarik peredarannya dan
menyebabkan tingkat penjualan yang menurun dratis. Dari kasus tersebut
menjelaskan bahwa PT Nabico melanggar prinsip etika yang baik dalam bisnis
yaitu kejujuran bahkan perusahaan besar pun berani untuk melakukan kecurangan
untuk menekan biaya. Tujuan mereka hanya untuk mendapatkan laba yang besar
dan ongkos produksi yang minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan
konsumen dan membiarkan pengguaan zat berbahaya dalam produknya.
Menurut H. A Mustafa dengan beretika kita mendapatkan hasil yakni berupa
ilmu yang menyelediki, yang baik dan yang buruk untuk mengamati tindakan
manusia sejauh bisa diketahui oleh pikiran. Hal ini menunjukkan dengan beretika
didunia bisnis, pendidikan, maupun di bidang lainnya dapat memperlihatkan
bagaimana karakter asli yang dimiliki oleh seseorang tersebut dan tidak menutup
kemungkinan beretika bisa dijadika dasar untuk dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan.
2.2 Pendidikan
Hal ini adalah salah satu etika yang tetap sakral selama berabad-abad. Guru
adalah sebagai orangtua. Katakanlah guru tersebut mungkin orang udik yang tak
tertahankan, atau seorang guru yang sangat galak tapi selama kamu jadi murid
mereka, mereka selalu benar. Siswa yang paling bijaksana akan tetap baik dan
rendah hati
Sama seperti profesi lainnya, guru juga mempunyai kode etiknya sendiri.
Dengan kode etik tersebut, profesi guru menetapkan aturan yang bertujuan untuk
mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki dan hal ini tidak dapat
dipaksakan dari luar. Etika profesi dirumuskan atas kesepakatan anggota profesi
yang bersangkutan dengan mengacu pada sumber-sumber dasar nilai dan moral.
Rumusan etika profesi yang teah disepakati bersama itulah yang disebut kode etik.
Kode etik akan menjadi acuan untuk mewujudkan perilaku etika dalam
melaksanakan tugas-tugas pekerjaan dsn mengontrol etika para angota profesi.
Semua anggota harus menghormati, menghayati, mentaati dan menjalankan isi
dari kode etik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian setiap anggota
akan merasa aman dan tenteram dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Menurut Sardiman yang dikutip oleh Zulhimma, kode etik berarti sumber etik.
Jadi kode etik di artikan aturan tata susila keguruan. Kode etik guru menurut
Keputusan Kongres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia adalah pedoman
perilaku guru Indonesia dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Undang-
undang Nomor 8 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 28
menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman
sikap, tingkah laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan”. Dalam penjelasan
Undang-undang tersebut dinyatakan dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai
Negeri Sipil sebagai aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat
mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan
tugas dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dalam Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang
pelaksanaan tugas dan tanggungjawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita
simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan
perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.
Rumusan Kode Etik Guru Indonesia ini disempurnakan dalam kongres PGRI
XVI tahun 1989 di Jakarta, menjadi sebagai berikut:
Sumber https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3957152/cerita-pelajar-soal-
kepala-sman-2-malang-yang-didemo-dan-dicop
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Peran Pendidikan dalam Internalisasi Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan mata kuliah yang diajarkan diperguruan tinggi yang
menawarkan program pendidikan bisnis dan manajeman namun terjadi beberapa
prespektif yang menjadi kendala dalam hal ini. Pertama, kekeliruan persepsi
masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program
manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai
mencetak pengusaha. Persepsi demikian tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan /
program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu
harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam
melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders,
termasuk tentunya karyawan.
Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan
dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan karyawan dalam
menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua,
pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai
mata kuliah tersendiri dan tidak terintegrasi dengan pembelajaran pada mata
kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif,
psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran harus diutamakan. Sehingga
masuk akal apabila etika bisnis aspek afektif sikap dalam hal ini disisipkan di
berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan
pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton. Pengajaran lebih banyak
menggunakan metode ceramah langsung.
Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan
pemecahan masalah dari kasus-kasus yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi
materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung
abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam
menilai etis atau tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan
sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian?
Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron
di Amerika Serikat. Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum
pendidikan dasar dan menengah.
Nilai-nilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif
diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak, yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu,
pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru
bisa mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi
Muhammad SAW berdagang dengan tidak mengambil keuntungan setinggi langit.
Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan
anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan
sempit ini dilandasi pemahaman bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.
Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita
sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis di lingkungan
keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak atas
kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD,
game software, dan produk bajakan lain dengan alasan yang penting murah.
Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran etika
bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi
hadiah kepada gurunya pada saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa
terima kasih dan ikhlas.
Pada saat kita berperan sebagai konsumen, sebaiknya memahami betul hak
dan kewajiban dalam menghargai karya orang lain. Orangtua harus menjadi model
panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada anak
sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul
arti penting etika bisnis. Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan
mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya pemerintah
mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah. Peran aktif para pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan
dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.
Dalam hal tersebut memang sangat saling terkait, karena dunia bisnis harus
diawali dari dunia pendidikan (formal atau non formal), materi yang tawarkan
atau diberikan oleh bangku pendidikan memang sangat variatif dalam hal
penyampaiannya ada yang monoton dan ada yang mengeksplor materi tersebut.
Tetapi yang jadi pembahasan kita adalah efek apa yang ditimbulkan oleh
pendidikan etika bisnis dan pendidikan dibangku pendidikan formal maupun non
formal. Bahwa pendidikan etika bisnis haruslah perlu dipikirkan oleh pemerintah
dari proses sampai dengan hasil yang diperoleh, dengan sistem tersebut etika
bisnis sudah tentu dikenal oleh anak cucu bangsa sejak dini (dari bangku Sekolah
Dasar sampai dengan Perkuliahan) karena penanaman moral pada anak didik
haruslah dari usia dini.
4.2 Analisis Peluang
1. Peluang terjadinya kasus tersebut bisa terjadi karena kepala sekolah memiliki
kekuasaan atau wewenang untuk melakkukan tindakan yang tidak terpuji
tersebut. Dikarenakan jabatan kepala sekolah itu tertinggi di suatu sekolah
tidak akan ada yang berani menentang aturan yang dibuatnya karena yang
berani menentang maupun mengecam tindakan kepala tersebut bisa dipastikan
penentang akan terancaam dalam pekerjaannya. Keadaan tersebut yang
membuat kepala sekolah tersebut bisa berbuat semena-mena dalam waktu
yang cukup lama.
2. Kendala
Kendala yang ada adalah semakin lama banyaknya korban dari tindakan
semena-mena kepala sekolah menyebabkan banyak korban yang menutut
keadilan dengan melakukan aksi demo untuk melengserkan kepala sekolah
dari jabatannya. Tidak hanya para siswa yang telah menjadi korban tindakan
semena-mena dari kepala sekolah tapi juga banyak para guru yang telah
menjadi korban atas tindakan kepala sekolah tersebut. Atas dukungan dari
berbagai pihak akhirnya para siswa berani untuk melakukan aksi demo untuk
melengserkan kepala sekolah dari jabatannya.