Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB II. ANATOMI HIDUNG ........................................................................................ 2
BAB III FISIOLOGI HIDUNG .......................................................................................
BAB IV RHINITIS ALERGI ..........................................................................................
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensititasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan, dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita
dari seluruh etnis dan usia.2
Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rinitis alergi. Rinitis alergi
pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan
pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40%
dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di
Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%). 2
Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit
yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas
sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun
akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.
BAB II
ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1


1. Pangkal hidung (bridge),
2. Dorsum nasi,
3. Puncak hidung,
4. Ala nasi,
5. Kolumela dan
6. Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: 1
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.1
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 1

Perdarahan
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. 1
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak. 1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 1

Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina. 1
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 1
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.1
BAB III
FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik local.
2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi static dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala.
5. Reflex nasal.

Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.1
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
- Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
- Silia
- Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.

Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. 1
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam
jawa. 1

Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). 1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 1

Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.1
BAB IV
RHINITIS ALERGI

Definisi
Rhinitis alergi adalah rinitis dengan gejala bersin paroksismal, pilek encer dan
obstruksi nasi. Timbul pada orang yang berbakat atopi jika terpapar ulang dengan alergen
spesifik yang pada orang normal tidak menimbulkan reaksi Pasien dengan rhinitis alergi juga
dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang
ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering
berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.4

Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita
dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rinitis
alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan
perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis
alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka
yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup
tinggi (5,8%).2

Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi.5 Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban
yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.6.
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi.
Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.7
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.

Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction
atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators)
terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi
alergi fase cepat (RAFC).1
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan
sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik
(allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler dan
penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung.1
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1

Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :1
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen),
rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau
terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan dan alergen ingestan.

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi : 1
1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).8,9
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau
palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. 8 Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan
lakrimasi.3,8 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.8

Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).10
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau
palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. 8,10 Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan
lakrimasi.3,8 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.6,8
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala
lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya
gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau
sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk
mengaitkan awitan gejala. 3,4

Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum
nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan
banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit
yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).1

Pemeriksaan Penunjang
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total seringkali menunjukkan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk
allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food
Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

Diagnosis Banding
Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:11
1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan
oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik
serum).
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara
lain:
- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal
2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)
Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia) ditandai
oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar (PKS). Manifestasi
klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan
otosalpingitis yang umum di masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung
dan agenesis sinus frontalis.

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 1
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 1
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1
(klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini
antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 1
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 1
Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi12

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin12


b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat
topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu
lama.12
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30
mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam.
Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan
iritabilitas. 12
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
sel efektor. 1
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 1
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 1
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa
pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi
gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien.11

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat1
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual.1

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip Hidung
Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.13.

Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan
imunoterapi. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi
seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka
panjang.10

BAB V
KESIMPULAN

Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel
kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-
kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu
ditanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada
pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak.
Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan allergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang sering
terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis
paranasal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. H.118
– 22, 128 – 33.
2. Sudiro M, Madiadipoera, T, Purwanto, B. Eosinofil kerokan mukosa hidung sebagai
diagnostik rinitis alergi. MKB 2010; 42 (1): 6-11.
3. Sheikh, J. Allergic Rhinitis treatment and management. Update on 2015 February.
Available from: http://emedicine.medscape. com/article/134825. Accessed on 3 April
2015.
4. Meltzer, EO. Evaluation of the oral antihistamine for patients with allergic rhinitis.
Updated on 2005. Available from: http://highwire.stanford.edu/. Accessed on 2015
April 3.
5. Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of
otolaryngology). Ed 6. Jakarta: EGC; 1997.
6. Department of Pediatrics and Otolaryngology, University of Pittsburgh School of
Medicine, and Children's Hospital of Pittsburgh. Allergic rhinitis: definition,
epidemiology, pathophysiology, detection, and diagnosis. J Allergy Clin Immunol
2001; 108 (1 Suppl): 2-8.
7. Li J, Zhang Y. Zhang L. Discovering suspectibility genes for allergic rhinitis and
allergic using genome-wide association study strategy. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2015; 15(1): 33-40.
8. Rondon C. Fernandez J. Canto G. Blanca M. Local allergic rhinitis: concept, clinical
manifestations, and diagnostic approach. Updated on 2010. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20945601. Accessed on 2015 April 3.
9. Mabry, R., Marple, B. Allergic rhinitis. In: Cumming’s Otolaryngologi Head Neck
Surgery. 4th Ed. USA: Elsevier; 2005; 982-988.
10. Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of Rhinitis: Allergic and Non Allergic.
2011 May 20. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3121056/. Accesed on 2015 April 3.
11. Bachert C. Allergic rhinitis: pathophysiology, diagnosis, differential diagnosis and the
therapy. Updated on 2011 September 9. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9441024. Accessed on 2013 April 3.
12. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Available from : http://highwire.stanford.edu/. Accessed on 2013 April 3.
13. Settipane RA. Complications of allergic. Updated on : 2014 July 20. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10476318. Accessed on 2015 April 3.

Anda mungkin juga menyukai