Anda di halaman 1dari 49

KEGIATAN 2

A. Judul
“Identifikasi Vektor Nyamuk dan Pengendalian Vektor Nyamuk Dengan
Insektisida Nabati”
B. Tujuan
1. Mengenal dan mengindentifikasi jentik dan nyamuk dewasa sebagai vektor
penyakit.
2. Mengetahui teknik pengendalian vektor nyamuk menggunakan insektisida
nabati.
C. Dasar Teori
1. Vektor dan Pengendalian Vektor
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan,
memindahkah dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga
keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor
di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga
penularan penyakit tular vektor dapat dicegah.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Tujuan upaya pengendalian vektor adalah untuk mencegah
atau membatasi terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah,
sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Pengendalian vektor
dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis,
penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat
perkembangbiakannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternatif.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Penyakit tular vektor merupakan penyakit yang menular
melalui hewan perantara (vektor). Penyakit tular vektor meliputi malaria,
arbovirosis seperti Dengue, Chikungunya, Japanese B Encephalitis (radang otak),
filariasis limfatik (kaki gajah), PES (sampar) dan demam semak (Scrub Typhus).
Penyakit tersebut hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi dan berpotensi
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Penyakit tular vektor merupakan satu diantara penyakit
yang berbasis lingkungan yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologi dan
sosial budaya. Ketiga faktor tersebut akan saling mempengaruhi kejadian penyakit
tular vektor di daerah penyebarannya. Beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya angka kesakitan penyakit bersumber binatang antara lain adanya
perubahan iklim dapat, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat.
Perubahan iklim dapat meningkatkan resiko kejadian penyakit tular vektor. Faktor
resiko lainnya adalah keadaan rumah dan sanitasi yang buruk, pelayanan
kesehatan yang belum memadai, perpindahan penduduk yang non-imun ke daerah
endemis.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh
lingkungan fisik, biologis dan sosial budaya, maka pengendaliannya tidak hanya
menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan kerjasama lintas
sektor dan program. Pengendalian vektor dilakukan dengan memakai metode
pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metoda pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya
serta dengan mempertimbangkan kesinambungannya.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan
Pengendalian Vektor menggunakan prinsip-prinsip dasar manajemen dan
pertimbangan terhadap penularan dan pengendalian penyakit.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah:
a. dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi berbagai metode/cara
pengendalian.
b. dapat meningkatkan program pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit
tular vektor.
c. melalui kerjasama lintas sektor hasil yang dicapai lebih optimal dan saling
menguntungkan.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Metode Pengendalian Vektor Terpadu merupakan kegiatan
terpadu dalam pengendalian vektor sesuai dengan langkah kegiatan menggunakan
satu atau kombinasi beberapa metode.
Menurut PERMENKES NOMOR: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor, Beberapa metode pengendalian vektor sebagai berikut :
a. Metode pengendalian fisik dan mekanis adalah upaya-upaya untuk mencegah,
mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor
secara fisik dan mekanik. Contohnya : Modifikasi dan manipulasi lingkungan
tempat perindukan (3M, pembersihan lumut, penanaman bakau, pengeringan,
pengaliran/drainase, dan lain-lain), Pemasangan kelambu, Memakai baju
lengan panjang, Penggunaan hewan sebagai umpan nyamuk (cattle barrier),
serta Pemasangan kawat kasa.
b. Metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik, contohnya yaitu:
Predator pemakan jentik (ikan, mina padi dan lain-lain), Bakteri, virus, fungi-
Manipulasi gen (penggunaan jantan mandul, dll).
c. Metode pengendalian secara kimia, contohnya yaitu: Surface spray (IRS),
Kelambu berinsektisida, Larvasida, Space spray (pengkabutan panas/fogging
dan dingin/ULV), serta Insektisida rumah tangga (penggunaan repelen, anti
nyamuk bakar, liquid vaporizer, paper vaporizer, mat, aerosol dan lain-lain).
2. Pengertian Nyamuk
Nyamuk merupakan salah satu contoh dari kelas insekta. Kelas insekta di kenal
sebagai serangga yang memiliki beberapa ciri-ciri seperti, tubuhnya terdiri dari
tiga bagian yaitu kepala (cephala), dada (thorax), dan perut (abdomen), (Hidayati,
2017).
Nyamuk merupakan serangga terbang yang bertubuh kecil dan termasuk ke
dalam ordo diptera yang memiliki dua sayap. Ordo diptera yaitu salah satu ordo-
ordo terbesar yang menyusun kelas Heksapoda (serangga). Terdapat hampir 3000
spesies dan sub spesies nyamuk yang tersebar di seluruh bagian dunia, yakni
mulai dari gurun, daratan dibawah permukaan laut atau bahkan di pegunungan
yang mencapai ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Selain itu nyamuk
merupakan salah satu serangga yang sangat menggangu bagi manusia maupun
hewan melalui gigitannya. Selain menyebabkan rasa gatal nyamuk juga
dapatberperan sebagai vektor penyakit. Jumlah jenis nyamuk yang pernah
dilaporkan ada di Indonesia diperkirakan lebih dari 457 jenis nyamuk dan 18
marga. Jenis-jenis tersebut didominasi oleh marga Aedes, Anopheles dan Culex
yang mencapai 287 jenis. Kondisi lain yang menyebabkan terganggunya
kesehatan masyarakat salah satu penyebabnya yaitu disebabkan oleh
keanekaragaman, distribusi, dan banyaknya spesies nyamuk yang berperan
sebagai pengganggu dan vektor penyakit, sehingga nyamuk yang paling banyak
menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, (Mutmainnah, 2017).
Nyamuk dalam perkembangan hidupnya mengalami berbagai fase dimulai dari
fase telur, larva, pupa, dan dewasa. Pada saat stadium telur, larva, dan pupa
nyamuk hidup di dalam air, sedangkan pada saat dewasa nyamuk hidup di udara.
Stadium larva merupakan stadium penting karena gambaran jumlah larva akan
menunjukan populasi dewasa, selain itu stadium larva juga mudah diamati dan
dikendalikan karena berada di tempat perindukan (air), (Mutmainnah, 2017).
3. Taksonomi Dan Morfologi Nyamuk
Nyamuk termasuk family Culicidae dan merupakan family yang sangat besar
yang terdiri atas 31 genus dan ratusan spesies, genus terbesar yang penting untuk
ilmu kedokteran adalah Anopheles, Culex, Aedes dan Mansonia. Nyamuk
mempunyai bagian mulut yang panjang dan hanya betina yang mengisap darah.
Telur diletakkan diatas air atau ditempat lembab. Larva dan pupa keduanya-
duanya hidup didalam air, nyamuk dewasa keluar dari pupadan kawin padsa umur
1 sampai 2 hari, yang betina mengisap darah setiap 4 sampai 5 hari untuk kemudia
bertelur, (Team Teaching, 2019).
a. Klasifikasi (Taksonomi) Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Hidayati (2017), klasifikasi atau taksonomi dari nyamuk Ae. aegypti
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum :
Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicinae
Genus : Aedes
Spesies : Ae.
aegypti
b. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri ciri diantaranya, berukuran sedang,
warna hitam dan terdapat garis-garis dan titik-titik putih pada badan dan kaki.
Nyamuk betina mempunyai antena dengan bulu yang tidak lebat, sikap hinggap
sejajar sama dengan culex maupun mansonia, (Team Teaching, 2019).
1) Siklus Hidup
Nyamuk betina meletakkan telurnya diatas permukaan air, menempel pada
dinding tempat perindukan, tempat perindukan yang disenangi nyamuk biasanya
berupa barang-barang buatan manusia / perkakas keperluan manusia misalnya bak
mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil bekas, tempurung tunggak
bambu, dan lain-lain, setiap bertelur dapat mencapai 100 butir, telur berukuran
kecil, berwarna hitam berbentuk lonjong. Setelah menetas, jentik mengalami tiga
kali pelupasan kulit, atau mempunyai 4 (empat) instar. Jentik instar keempat
mempunyaiukuran 7 x 4 mm, mempunyai pelana terbuka dan satu pasang bulu
siphon, selanjutnya jentik menjadi pupa (kepompong). Dari pupa akan muncul
nyamuk dewasa. Nyamuk jantan dan nyamuk betina akan berkopulasi (kawin),
maka nyamuk betina mencari/menghisap darah manusia untuk pematangan
telurnya. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa memerlukan
waktu kira-kira 9 hari, (Hidayati, 2017).
2) Telur
Telur nyamuk Aedes berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam,
ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, telur diletakkan satu persatu pada
permukaan yang basah tepat di atas batas permukaan air/tempat penampungan air
(TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Perkembangan embrio
biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu
proses embrio nasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama
(lebih dari satu tahun). Telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2hari
setelah telur terendam air, tetapi tidak semua telur akan menetas pada waktu yang
sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu
mempertahankan kelangsungan spesies ini. Telur Aedes sp, (Sona, 2018).
3) Larva
Larva Ae. aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri
lateral, (Hidayati, 2017).
Larva nyamuk Aedes sp. Tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu
sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan
perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (Ecdysis), dan larva yang
terbentuk berturut-turut disebut larvain starI, II, III dan IV. Larva instar I,
tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada
dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasannya (siphon) belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duridada belum
jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap
struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal),
dada (thorax), dan perut, (Sona, 2018).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa
duri-duri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak
paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas
perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong
pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada seberkas bulu-bulu (tuft).
Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian
ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam
1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini
tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat foto taktis negatif dan
waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan
air, (Sona, 2018).
4) Pupa
Pupa nyamuk Aedes sp. Bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-
dada (Cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada
terdapat alat bernafas seperti terompet, (Sona, 2018).
Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk
berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu dinomor 7 pada
ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak
gerakannya lebih lincah bila dibandingkan larva. Waktu istirahat posisi pupa
sejajar dengan bidang permukaan air, (Sona, 2018).
5) Nyamuk Dewasa
Ukuran tubuh nyamuk dewasa sedang serta dihiasi segmen-segmen, noda-noda
atau garis-garis dengan Scale (sisik) berwarna yang mencolok, sehingga nampak
warna dasar hitam dengan belang-belang putih terdapat ada bagian-bagian
badannya terutama tampak pada kaki seperti berpita putih. Pada tarsi terdapat dua
atau lebih gelang putih yang lebar setidaknya pada satu pasang kakinya. Probosis
(belalainya) secara keseluruhan berwarna gelap berbentuk agak silinderdan lurus,
(Hidayati, 2017).
Ae.aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran
nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam
dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada kakinya
dan dikenal daribentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai
gambaran lira (lire-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum), yaitu
adadua garis 27 melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan. Nyamuk jantan
umumnya lebih kecil dari betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena
nyamuk jantan, (Hidayati, 2017).
6) Perilaku Menggigit
Ae. aegypti bersifat diurnal yaitu aktif pada pagi dan siang hari. Nyamuk Ae.
aegypti betina memiliki kebiasaan menghisap darah pada pagi dan sore hari yaitu
antara pukul 08.00 hingga 12.00 dan 15.00 hingga 17.00. Jenis darah yang Ae.
aegypti bersifat diurnal yaitu aktif pada pagi dan siang hari. Nyamuk Ae. aegypti
betina memiliki kebiasaan menghisap darah pada pagi dan sore hari yaitu antara
pukul 08.00 hingga 12.00 dan 15.00 hingga 17.00. Jenis darah yang disukai oleh
nyamuk ini ialah darah manusia, (Sari, 2017).
Setelah menghisap darah, nyamuk betina akan mencari tempat beristirahat
yang aman untuk mengubah darah menjadi telur. Nyamuk betina biasanya
beristirahat di tempat-tempat dengan vegetasi yang padat, lubang-lubang pohon,
kandang hewan, atau bebatuan selama 2 sampai 4 hari hingga telur berkembang
secara utuh. Setelah itu nyamuk betina akan terbang dari tempat peristirahatannya
pada sore atau malam hari untuk mencari tempat untuk meletakkan telur,
kemudian nyamuk betina akan menghisap darah lagi untuk mengulang siklus,
(Sari, 2017).
Waktu nyamuk mulai mengisap darah sampai telur dikeluarkan, biasanya
bervariasi antara 3-4 hari jangka waktu tersebut disebut dengan satu siklus
gonotropik (Gonotropic Cycle), (Sari, 2017).
Nyamuk betina ini mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali
(multiple bites) dalam satu siklus gonotropik yang bertujuan untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Namun nyamuk betina ini bersifat antropofilik yaitu
lebih menyukai darah manusia dibandingkan darah hewan, (Sari, 2017).
Menurut Sari (2017), Siklus gonotropik ada beberapa macam yaitu:
a) Gonotropik concordance yaitu waktu nyamuk mulai mengisap darah yang
pertama kali sampai bertelur.
b) Gonitropik discordance yaitu waktu nyamuk mulai mengisap darah untuk yang
pertama kali, kemudian darah dicerna dahulu lalu nyamuk menghisap darah
lagi berkali-kali sampai bertelur.
c) Gonotropik association yaitu nyamuk menghisap darah namun tidak bertelur
sampai musim hujan terdapat genangan air untuk tempat bertelur,dan selama
itu nyamuk tidak menghisap darah lagi.
d) Gonotropik dissociation yaitu nyamuk tetap menghisap darah selama musim
kering namun tidak bertelur dan akan bertelur setelah musim hujan datang
7) Penyakit Akibat Nyamuk Aedes aegypti
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau, DEN-4 yang masuk ke peredaran
darah melalui gigitan vektor nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti
dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari
penderita DBD lainnya, (Rohim, 2017).
Nyamuk Ae.aegypti saat ini masih menjadi vektor atau pembawa penyakit
penyakit demam berdarah yang utama. Vektor dari penyakit DBD adalah nyamuk
Ae.aegypti betina. Nyamuk ini memiliki ciri khusus ditandai dengan pita atau
garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam, ukuran nyamuk A.aegypti berkisar
sekitar 3-4 mm dengan ring putih pada bagian kakinya, (Agustin, 2017).
Seperti yang banyak diketahui Ae.aegypti memiliki sifat menyukai air bersih
sebagai tempat peletakan telur dan tempat perkembang biakannya. Beberapa
faktor yang mempengaruhi nyamuk betina memilih tempat untuk bertelur adalah,
temperatur, pH, kadar ammonia, ntrat, sulfat serta kelembapan dan biasanya
nyamuk memilih tempat yang letaknya tidak terpapar matahari secara langsung,
(Agustin, 2017).
Keberadaan telur, jentik dan pupa Aedes aegypty biasanya dapat ditemukan
pada genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana. Secara teoritis
juga menyebutkan bahwa nyamuk Ae.aegypti berkembang biak pada air bersih
yang tidak bersentuhan dengan air tanah. Keberadaan vektor nyamuk Ae.aegypty
dari fase telur sampai dengan imago dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
biotik ataupun abiotiknya. Pertumbuhan nyamuk dari telur hingga nyamuk dewasa
dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti curah hujan temperatur dan evaporasi.
Demikian pula faktor biotik seperti predator, kompetitor dan makanan di tempat
perindukan, baik bahan organik, mikroba dan serangga air berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup pradewasa nyamuk, (Agustin, 2017).
Menurut Rohim (2017), Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan
tanda-tanda berikut :
a) Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
b) Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leesde (+), mulai dari ptekie (+)
sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah-
hitam.
c) Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 μl),
hematocrit meningkat (normal: pria < 45, wanita <40).
d) Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).
c. Klasifikasi (Taksonomi) Nyamuk Anopheles sp.
Indonesia memiliki 80 spesies Anopheles tetapi hanya 24 spesies yang terbukti
membawa parasit malaria, (Lestari, 2016).
Nyamuk An. subpictus berkembang biak di zona pantai yang berair payau yang
memiliki ganggang ataupun lumut. Walaupun pada penelitian ini An. subpictus
ditemukan pada semua jenis tempat perindukan tetapi kolam bekas kurungan ikan
dan lagoon merupakan tempat perindukannya yang memiliki rata-rata kepadatan
larva tertinggi. Pada umumnya tempat perindukan An. subpictus merupakan
tempat terbuka yang terkena sinar matahari, (Lestari, 2016).
Menurut Lestari (2016), Klasifikasi nyamuk Anopheles sp. adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum :
Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Sub family : Anophelini
Genus : Anopheles
Spesies : Anopheles
sp.
d. Morfologi Nyamuk Anopheles sp.
Nyamuk Anopheles sp. Lebih banyak ditemukan menggigit diluar rumah,
tempat perindukan adalah sawah atau saluran irigasi, kolam, rawa, mata air dan
sumur serta berkembang biak dengan baik di air yang jernih/agak keruh, air
berhenti/sedikit mengalir, ditempat teduh atau terkena sinar matahari langsung,
(Team Teaching, 2019).
1) Siklus Hidup
Nyamuk Anopheles mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur,
larva, kepompong, dan dewasa yang berlangsung selama 7-14 hari. Tahapan ini
dibagi ke dalam 2 (dua) perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air (aquatik) dan
di daratan (terrestrial). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan aquatik ke
lingkungan terresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya. Oleh sebab itu,
keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyamuk, terutama
masa larva dan pupa. Nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur
satu persatu di dalam air atau bergerombol tetapi saling lepas. Telur Anopheles
mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2
sampai 3 hari, atau 2 sampai 3 minggu pada iklim-iklim lebih dingin.
Pertumbuhan larva dipengaruhi faktor suhu, nutrien, ada tidaknya binatang
predator yang berlangsung sekitar 7 sampai 20 hari bergantung pada suhu.
Kepompong (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan aquatik dan tidak
memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat
tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada
nyamuk jantan antara 1 sampai 2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina,
disebabkan nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada
nyamuk betina yang berasal darisatu kelompok telur. Stadium pupa ini memakan
waktu lebih kurang 2 sampai dengan 4 hari, (Mutmainnah, 2017).
2) Telur
Telur Nyamuk Anopheles sp berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya
konveks dan bagian atasnya konkaf dan diletakkan satu per satu di atas
permukaan air serta memiliki sepasang pelampung yang terletak di bagian lateral.
Di tempat perindukan, tidak tahan keringdan menetas dalam waktu 2-3 hari,
(Mutmainnah, 2017).
3) Larva
Kemudian pada stadium larva nyamuk Anopheles tampak mengapung sejajar
dengan permukaan air, tidak memiliki siphon pernapasan, terdapat spirakel untuk
bernapas pada bagian posterior abdomen yang terletak pada segmen ke delapan,
pada bagian tengah setelah dorsal abdomen terdapat tergal plate, pada bagian
lateral abdomen terdapat bulu palma dan memiliki mouth brushes yang digunakan
untuk makan. Larva berkembang melalui empat tahapan atau instar, pada tahap
instar akhir eksoskeletan akan mengelupas untuk memungkinkan perkembangan
lebih lanjut, (Mutmainnah, 2017).
4) Pupa
Stadium pupa, pada stadium pupa nyamuk Anopheles memiliki tabung
pernafasan yang disebut respiratory trumpet yang berbentuk lebar dan pendek
yang berfungsi untuk mengambil O2 dari udara, (Mutmainnah, 2017).
5) Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa Anopheles sp, nyamuk jantan dan betina mempunyai palpi
yang panjangnya hampir sama dengan probosisnya, pada nyamuk jantan palpi
pada bagian apikal berbentuk gada yang disebut club form sedangkan pada
nyamuk betina ruas itu akan mengecil. Sayap nyamuk pada bagian pinggir yaitu
kosta dan vena I, membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih serta
ditumbuhi oleh sisik-sisik sayap yang berkelompok. Selain itu, bagian ujung sisik
sayap membentuk lengkung putih. Bagian posterior abdomen nyamuk Anopheles
sp. agak sedikit lancip, bentuknya tidak seruncing nyamuk Aedes dan tidak
setumpul nyamuk Mansonia, (Mutmainnah, 2017).
6) Perilaku Menggigit Nyamuk Anopheles
Nyamuk betina merupakan nyamuk yang aktif menggigit karena memerlukan
darah untuk perkembangan telurnya. Pada saat nyamuk aktif mencari darah maka
nyamuk akan terbang berkeliling untuk mencari rangsangan dari hospes yang
cocok. Beberapa faktor seperti keberadaan hospes, tempat menggigit, frekuensi
menggigit dan waktu menggigit merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pengamatan perilaku nyamuk menghisap darah, (Lestari, 2017).
Berdasarkan obyek yang digigit (hospes), nyamuk dibedakan menjadi antrofilik,
zoofilik, dan indiscriminate biter. Nyamuk antrofilik adalah nyamuk yang lebih
suka menghisap darah manusia, dan dikategorikan zoofilik apabila nyamuk lebih
suka menghisap darah hewan. Apabila nyamuk menghisap darah tanpa kesukaan
tertentu terhadap hospes disebut indiscriminate biter. Nyamuk akan menghisap
darah dari hospes lain yang tersedia apabila darah hospes yang disukai tidak ada.
Hal ini disebabkan adanya suhu dan kelembaban yang dapat menyebabkan
nyamuk berorientasi terhadap hospes tertentu dengan jarak yang
cukup jauh dan adanya bau spesifik dari hospes, (Lestari, 2017).
Selain berdasarkan objek yang digigit, berdasarkan tempat menggigitnya
nyamuk juga dapat dibedakan menjadi eksofagik dan endofagik. Nyamuk
dikatakan eksofagik apabila nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah dan
dikatakan endofagik apabila nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah.
Namun nyamuk yang bersifat eksofagik dapat bersifat endofagik apabila terdapat
hospes yang cocok di dalam rumah, (Lestari, 2017).
Frekuensi menggigit nyamuk dipengaruhi oleh siklus gonotropik dan waktu
menggigit. Nyamuk dengan siklus gonotropik dua hari akan lebih efisien untuk
menjadi vektor dibandingkan dengan nyamuk yang mempunyai siklus gonotropik
tiga hari. Nyamuk yang menggigit beberapa kali untuk satu siklus gonotropik
akan menjadi vektor yang lebih efisien dari pada nyamuk yang hanya menggigit
satu kali untuk satu siklus gonotropiknya. Siklus gonotropik juga dipengaruhi oleh
suhu dan tersedianya genangan air untuk tempat bertelur. Waktu menggigit harus
diperhatikan, seperti nyamuk Anopheles yang menggigit pada malam hari. Pada
waktu malam hari pada umumnya manusia sedang beristirahat atau sedang tidur,
mungkin satu kali menggigit sudah cukup untuk satu siklus gonotropik, (Lestari,
2017).
7) Penyakit Akibat Nyamuk Anopheles
Malaria ialah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang sebagian siklus
hidupnya berada di dalam tubuh manusia dan sebagian di dalam tubuh nyamuk.
Parasit tersebut berkembang biak dalam hati manusia dan kemudian menginfeksi
sel darah merah. Malaria terjadi bila eritrosit diinvasi oleh salah satu dari empat
spesies parasit ptotozoa dari genus Plasmodium. Spesies yang paling banyak
dijumpai ialah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Plasmodium
Malariae dijumpai di Indonesia bagian Timur sedangkan Plasmodium ovale
pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur, (Atikoh, 2015).
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam
yang intermiten, anemia, sekunder dan splenomegal. Gejala di dahului oleh
keluhan prodomal berupa malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot,
anoreksia, mual, diare ringan dan kadangkadang merasa dingin dipunggung.
Keluhan ini sering terjadi pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
sedangkan Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae keluhan prodromal
tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak, (Kurniasih, 2018).
e. Klasifikasi (Taksonomi) Nyamuk Culex sp.
Menurut Shidqon (2016), Klasifikasi nyamuk Culex sp. adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Subclassis : Pterygota
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culianeae
Genus : Culex
Spesies : Culex quinquefasciatus
f. Morfologi Nyamuk Culex sp.
Pada umumnya nyamuk Culex sp. Mengisap darah hanya pada malam hari,
memiliki metamorphosis sempurna, biasanya tempat perindukan pada rawa,
daerah pantai dan air payau, memiliki kebiasaan menggigit didalam rumah
maupun diluar rumah, (Team Teaching, 2019).
Nyamuk Culex sp mempunyai ukuran kecil sekitar 4-13 mm dan tubuhnya
rapuh. Pada kepala terdapat probosis yang halus dan panjangnya melebihi panjang
kepala. Probosis pada nyamuk betina digunakan sebagai alat untuk menghisap
darah, sedangkan pada nyamuk jantan digunakan untuk menghisap zat-zat seperti
cairan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan juga keringat. Terdapat palpus yang
mempunyai 5 ruas dan sepasang antena dengan jumlah ruas 15 yang terletak di
kanan dan kiri probosis. Pada nyamuk jantan terdapat rambut yang lebat
(plumose) pada antenanya, sedangkan pada nyamuk betina jarang terdapat rambut
(pilose), (Shidqon, 2016).
Sebagian besar thoraks yang terlihat (mesonotum) dilingkupi bulu-bulu halus.
Bagian belakang dari mesonotum ada skutelum yang terdiri dari tiga lengkungan
(trilobus). Sayap nyamuk berbentuk panjang akan tetapi ramping, pada
permukaannya mempunyai vena yang dilengkapi sisik-sisik sayap (wing scales)
yang letaknya menyesuaikan vena. Terdapat barisan rambut atau yang biasa
disebut fringe terletak pada pinggir sayap. Abdomen memiliki 10 ruas dan
bentuknya menyerupai tabung dimana dua ruas terakhir mengalami perubahan
fungsi sebagai alat kelamin. Kaki nyamuk berjumlah 3 pasang, letaknya
menempel pada toraks, setiap kaki terdiri atas 5 ruas tarsus 1 ruas femur dan 1
ruas tibia, (Shidqon, 2016).
1) Skilus Hidup
Siklus hidup nyamuk berawal dari peletakkan telur oleh nyamuk betina. Dari
telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva (jamak
larvae), yang berkembang melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran
hingga mencapai tahap akhir yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu
pupa (jamak pupae). Di dalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai
betina atau jantan, dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di bagian
belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin, dan nyamuk betina
memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Mereka
sangat bergantung pada iklim dan dari kondisi lingkungan lokal, terutama suhu
dan curah hujan, (Widiastuti, 2015).
2) Telur
Seekor nyamuk betina dapat menempatkan 100-400 butir telur pada tempat
peindukan. Sekali bertelur menghasilkan 100 telur dan biasanya dapat bertahan
selama 6 bulan. Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari. Masing-masing
spesies nyamuk memiliki perilaku dan kebiasaan yang berbeda satu sama lain. Di
atas permukaan air, nyamuk Culex sp menempatkan telurnya secara
menggerombol dan berkelompok untuk membentuk rakit. Oleh karena itu mereka
dapat mengapung di atas permukaan air, (Shidqon, 2016).
3) Larva
Telur akan mengalami penetasan dalam jangka waktu 2-3 hari sesudah terjadi
kontak dengan air. Faktor temperatur, tempat perkembangbiakan, dan keberadaan
hewan pemangsa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan larva. Lama
waktu yang diperlukan pada keadaan optimum untuk tumbuh dan berkembang
mulai dari penetasan sampai menjadi dewasa kurang lebih 7-14 hari, (Shidqon,
2016).
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon. Siphon dengan
beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan permukaan air, (Shidqon,
2016).
Menurut Shidqon (2016), Nyamuk Culex mempunyai 4 tingkatan atau instar
sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu :
a) Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah
menetas. Duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada
siphon belum jelas.
b) Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas.
Duri-duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam.
c) Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4 hari setelah telur menetas.
Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman.
d) Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur
menetas, dengan warna kepal.
4) Pupa
Stadium paling akhir dari metamorfosis nyamuk yang bertempat di dalam air
adalah pupa. Tubuh pupa berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Sebagian kecil
tubuh pupa kontak dengan permukaan air, berbentuk terompet panjang dan
ramping, setelah 1 – 2 hari akan menjadi nyamuk Culex, (Shidqon, 2016).
Pada stadium ini tidak membutuhkan nutrisi dan berlangsung proses
pembentukan sayap sampai mampu terbang. Stadium kepompong terjadi dalam
jangka waktu mulai satu sampai dua hari. Pada saat pupa menjalani fase ini pupa
tidak melakukan aktivitas konsumsi sama sekali dan kemudian akan keluar dari
larva dan menjadi nyamuk yang sudah bisa terbang dan meninggalkan air.
Nyamuk memerlukan waktu 2-5 hari untuk menjalani fase ini sampai menjadi
nyamuk dewasa, (Shidqon, 2016).
5) Nyamuk Dewasa
Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah berwarna hitam belang-belang putih,
kepala berwarna hitam dengan putih pada ujungnya. Pada bagian thorak terdapat 2
garis putih berbentuk kurva, (Shidqon, 2016).
Nyamuk jantan dan betina akan melakukan perkawinan setelah keluar dari
pupa. Seekor nyamuk betina akan melakukan aktivitas menghisap darah dalam
waktu 24-36 jam setelah dibuahi oleh nyamuk jantan. Untuk proses pematangan
telur sumber protein yang paling penting adalah darah. Perkembangan nyamuk
mulai dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 12 hari,
(Shidqon, 2016).
6) Perilaku Menggigit
Nyamuk Culex sp senang menghisap darah manusia dan hewan khususnya
pada malam hari. Unggas, kambing, kerbau, dan sapi adalah binatang peliharaan
yang sering menjadi sasaran gigitan nyamuk Culex sp. Culex adalah spesies
nyamuk yang mempunyai sifat antropofilik dan zoofilik, karena suka melakukan
aktivitas menghisap darah di malam hari baik di dalam maupun di luar rumah,
(Shidqon, 2016).
Nyamuk Culex sp disebut nocturnal atau memiliki kebiasaan menggigit
manusia dan hewan utamanya pada malam hari. Waktu yang biasanya digunakan
oleh nyamuk Culex sp untuk menghisap darah adalah beberapa jam sesudah
terbenamnya matahari hingga sebelum matahari terbit. Pada pukul 01.00-02.00
merupakan puncak dari aktivitas menggigit nyamuk Culex sp, (Shidqon, 2016).
Kebiasaan cara makan nyamuk cukup unik, karena hanya betina dewasa yang
menghisap darah manusia dan hewan. Nyamuk jantan tidak menghisap darah,
tetapi menghisap madu tanaman. Nyamuk betina memerlukan darah yang cukup
untuk bertelur. Sebagian besar spesies domestik terbang cukup dekat dengan titik
asal. Jarak terbang betina biasanya lebih jauh daripada jantan, (Shidqon, 2016).
Kekuatan dan arah angin berpengaruh dalam penyebaran atau migrasi nyamuk.
Kebanyakan nyamuk tetap dalam satu atau dua kilometer dari sumber makan
mereka. Nyamuk tidak dapat terbang cepat, hanya sekitar 4 kilometer per jam.
Frekuensi menghisap darah dipengaruhi oleh suhu serta kelembaban yang disebut
dengan siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung
sekitar 48 – 96 jam, (Shidqon, 2016).
Nyamuk Culex memiliki kepadatan 5,25 ekor/orang/jam di dalam rumah.
Kepadatan di luar rumah adalah 5,64 ekor/orang/jam. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap 1 jam terdapat sekitar 5-6 nyamuk yang mengigit manusia baik di dalam
maupun di luar rumah, (Shidqon, 2016).
Berbagai petunjuk memungkinkan nyamuk untuk menghisap darah manusia
atau hewan. Mereka dapat mendeteksi karbon dioksida yang dihembuskan oleh
tuan rumah mereka walaupun berada jauh. Nyamuk juga merasakan bahan kimia
tubuh, seperti asam laktat dalam keringat. Beberapa orang lebih menarik perhatian
nyamuk dibandingkan yang lain. Seseorang tidur di ruangan yang dipenuhi
nyamuk mungkin bangun dengan puluhan gigitan nyamuk, sementara orang tidur
di samping mereka tidak ada. Demikian pula, orang bereaksi berbeda terhadap
gigitan nyamuk, beberapa menunjukkan tanda yang sangat sedikit digigit,
sementara yang lain menunjukkan kemerahan besar, bengkak, dan gatal. Ini
adalah reaksi alergi terhadap air liur nyamuk Setiap orang mempunyai reaksi
berbeda terhadap gigitan nyamuk. Nyamuk terbang lebih dekat dengan target yang
gelap. Setelah menemukan mangsa, nyamuk menyuntikkan air liur ke luka,
(Shidqon, 2016).
7) Penyakit Akibat Nyamuk Culex
Filariasis adalah penyakit tropis menular yang disebabkan oleh cacing filaria
yang ditularkan oleh nyamuk. Spesies cacing yang menyebabkan filariasis
limfatik yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyakit
ini berdampak secara sosial dan ekonomi, (Widiastuti, 2015).
Menurut Widiastuti (2015), Terdapat gejala klinis akut dan klinis kronis
maupun mikrofilaremia tanpa gejala pada penyakit filariasis:
a) Mikrofilaremia tanpa gejala
Orang dengan mikrofilaremia yang asimtomatik.
b) Gejala klinis akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang
disertai demam, sakit kepala, rasa lemah, dan timbulnya abses. Abses dapat pecah
dan kemudian sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut dilipat paha dan
ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi dan B.timori, (Widiastuti,
2015).
c) Gejala klinis kronik
Gejala kronis terdiri dari limfa edema, lymp scortum, kiluria, dan hidrokel.
Limfaedema pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan di seluruh kaki,
lengan, skortum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan infeksi Brugia
terjadi di kaki bawah lutut. Lymph scortum adalah pelebaran saluran limfe
superfisial pada kulit scortum, kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah
dan cairan limfe mengalir keluar membasahi pakaian. Kiluria adalah pelebaran
kantung buah zakar karena terkumpulya cairan limfe di dalam tunica vaginalis
testis, (Widiastuti, 2015).
Tabel Fase Metamorfosis Nyamuk
Fase
Aedes aeghypti Anopheles sp. Culex sp.
Jenis

Telur
Larva

Pupa

Dewasa

Sumber : Dikutip Dari Berbagai Sumber


4. Tindakan Pencegahan
Menurut Ernawati (2018), tindakan pencegahan agar terhindar dari gigitan
vektor nyamuk pembawa penyakit :
a. Menutup tempat penampungan air.
b. Memiliki penutup tempat penampungan air.
c. Membersihkan jentik nyamuk di tempat penampungan air.
d. Memeriksa jentik nyamuk pada vas bunga.
e. Mengganti air pada pot tanaman setiap minggu.
f. Membuang air di bagian bawah pot tanaman.
g. Membuang air di bagian bawah pot tanaman.
h. Membuang barang bekas.
i. Memeriksa jentik nyamuk di penampungan air kamar mandi.
j. Memeriksa & membersihkan talang atap rumah saat musim hujan.
k. Menggunakan kelambu atau obat nyamuk.
l. Berpartisipasi melakukan fogging.
m. Berpartisipasi dalam kampanye pencegahan DBD di lingkungan.
5. Insektisida Nabati
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa
mematikan semua jenis serangga. Untuk membunuh serangga, insektisida masuk
dalam tubuh serangga melalui lambung, kontak, dan alat pernapasan, (Ranti,
2018).
Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal dari
tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung
beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder
lainnya. Senyawa bioaktif ini juga dapat digunakan untuk mengendalikan
serangga yang terdapat di lingkungan rumah, (Ranti, 2018).
Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang dan sebagainya
dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi (dengan air, atau
senyawa pelarut organik). Insektisida nabati merupakan bahan alami bersifat
mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan
relatif aman bagi manusia maupun ternak karena residunya mudah hilang, (Ranti,
2018).
Penggunaan insektisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan
menganggap tabu penggunaan insektisida sintetis, tetapi hanya merupakan suatu
cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada
insektisida sintetis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan insektisida sintetis
dapat diminimalkan sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun
diharapkan dapat dikurangi pula, (Ranti, 2018).
a. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati
Menurut Ranti (2018), Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan
kelemahan yaitu sebagai berikut:
1) Keunggulan
a) Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada
komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman
daripada insektisida sintetis/kimia.
b) Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga
tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.
c) Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.
d) Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah.
e) Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.
2) Kelemahan
Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat
mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut,
(Ranti, 2018).
Menurut Ranti (2018), Kelemahannya antara lain :
a) Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan
insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida nabati adalah
karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering
diaplikasikan
b) Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active
ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi
c) Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang berbeda,
iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan waktu panen
yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.
6. Daun Salam (Syzygium polyanthum) Sebagai Insektisida/Larvasida Nabati
Hasil penelitian diketahui konsentrasi bubuk daun salam yang paling efektif
dalam membunuh larva Aedes sp adalah pada konsentrasi 6,0 gr/ 100 ml. Namun
penggunaan bubuk dapat meninggalkan residu/kotor pada air. Senyawa yang
terkandung dalam daun salam yaitu alkaloid, minyak atsiri, dan tanin diduga dapat
memberikan efek larvasida. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya
penelitian daya bunuh ekstrak air daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap
larva Aedes sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya bunuh ekstrak air
daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap larva Aedes sp, (Fitrah, 2015).
Ekstrak air daun salam (Syzygium polyanthum) konsentrasi 8,0 ml/100 ml, 16,0
ml/100 ml, dan 32 ml/100 ml mempunyai daya bunuh terhadap larva Aedes sp
berdasarkan hasil uji Kruskall-wallis dengan nilai sig 0,001. Konsentrasi daya
bunuh ekstrak air daun salam terhadap larva Aedes sp yaitu: Konsentrasi terkecil
dari ekstrak air daun salam dalam membunuh larva Aedes sp adalah 8,0 ml/100 ml
dengan persentase kematian sebesar 2,5%. Konsentrasi terbesar dari ekstrak air
daun salam dalam membunuh larva Aedes sp adalah 32,0 ml/100 ml dengan
persentase kematian sebesar 55%, (Dwiyanti, 2017).
Kematian larva kemungkinan disebabkan karena adanya zat aktif yang terdapat
pada daun salam (Syzygium polyanthum) yaitu alkaloid, minyak atsiri, dan tannin,
(Dwiyanti, 2017).
Alkaloid bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim asetylcholinesterase
yang mempengaruhi transmisi impuls saraf sehingga menyebabkan enzim tersebut
mengalami fosforilasi dan menjadi tidak aktif, (Dwiyanti, 2017).
Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tanin
akan mengikat protein dalam sistem pencernaan, sehingga proses penyerapan
protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu, (Dwiyanti, 2017).
Minyak atsiri yang dipakai akan menguap ke udara. Bau ini akan terdeteksi
oleh reseptor kimia (Chemoreceptor) yang terdapat pada antena nyamuk dan
diteruskan ke impuls saraf. Bau dari minyak atsiri tidak disukai nyamuk,
(Dwiyanti, 2017).
D. Alat dan Bahan
1. Alat (Identifikasi Larva/Jentik)

No. Nama Fungsi Gambar

Mikroskop Untuk mengamti


(biological suatu objek yang
1.
mikroskop akan diuji dalam
series H-900) bentuk kecil.

Untuk
Cawan
menempatkan
2. Petridish/Wadah
sampel (larva) yang
Alumunium
akan di uji.
Untuk mengambil
larva yang akan
3. Pipet Plastik
dipindahkan ke
wadah.

Untuk
Slides Mikroskop menempatkan larva
4.
(object glass) yang sudah mati
dan akan diamati

Untuk
memindahkan larva
5. Jarum (pentul)
dari wadah ke
slides mikroskop.

Untuk
6. Gelas Plastik menempatkan
larva.
Untuk menyaring
Saringan (Kain
7. sari daun salam saat
Flanel)
diperas.

2. Bahan (Identifikasi Larva/Jentik)


No. Nama Fungsi Gambar

Untuk menjadi
1. Jentik atau Larva
sampel yang akan
Nyamuk
di uji.

Untuk mematikan
larva sebelum di uji
2. Formalin10%
mikroskopik.

3. Alat (Identifikasi Nyamuk Dewasa)


No. Nama Fungsi Gambar

Untuk menempatkan
1. Gelas Plastik nyamuk yang akan
diuji.
Untuk
memindahkan
nyamuk yang ada
2. Jarum Pentul
pada
gelas plastik ke
wadah.

Untuk menempatkan
nyamuk setelah di
3. Kapas
tangkap agar tidak
rusak

Untuk menempatkan
sampel nyamuk
Kaca Objek
4. dewasa yang akan
(objek glass)
diamatai di bawah
mikroskop

4. Bahan (Identifikasi Nyamuk Dewasa)


No. Nama Fungsi Gambar

Untuk di
Sampel Nyamuk
1. identifikasi
Dewasa
dibawah
mikroskop.
Untuk membunuh
2. Formalin 10% nyamuk yang masih
hidup.

5. Alat (Pengendalian Vektor Larva Dan Nyamuk)


No. Nama Fungsi Gambar

Untuk menghaluskan
1. Blender daun yang akan di
gunakan.

Gelas
Untuk mengumpulkan
2. Beaker/Gelas
hasil perasan daun.
plastik

Untuk menakar
konsentrasi daun
3. Gelas Ukur salam yang akan
digunakan sebagai
insektisida.
Untuk
4. Gunting/Pisau
menggunting/memoto
ng daun-daun.

Untuk menimbang
Neraca Analitik/ berat daun salam
5.
Timbangan sebelum diambil
sarinya

Untuk memisahkan
jentik dari genangan
6. Pipet Volume air sebelum di
masukkan dalam sari
daun

Untuk mempermudah
Funnel Kaca dalam menuangkan
7.
(Corong Kaca) larutan kedalam gelas
ukur
6. Bahan (Pengendalian Vektor Larva Dan Nyamuk)
No. Nama Fungsi Gambar

Untuk dijadikan
1. Larva Nyamuk
sampel uji.

Untuk dicampurkan
pada perasan daun
2. Aquadest
salam untuk membuat
konsentrasi.

Daun - Daun Untuk dijadikan


(Daun sebagai perasan yang
3.
Salam/Syzygiu akan diujikan pada
m polyanthum) larva.

Untuk memisahkan
4. Tisu Penyaring ampas dari sari daun
salam
E. Cara Kerja
1. Identifikasi Larva/Jentik
a. Tahap I
Mengumpulkan sampel berupa
larva/jentik nyamuk salah satunya
dari selokan kotor dengan
menggunakan pipet dan saringan.

Memasukkan larva/jentik kedalam


gelas plastik/botol plastik yang
berisi air, menutup gelas plastik
dengan sesuatu yang berlubang
(tidak tertutup rapat).
b. Tahap II
Memindahkan larva/jentik yang
berada di dalam gelas plastik/botol
plastik kedalam cawan petrisidsh
atau wadah alumunium dengan
menggunakan pipet plastik.

Mematikkan larva/jentik dengan


menyemprotkan formalin 10%.

Memindahkan larva/jentik keatas


kaca preparat dengan
menggunakan jarum kemudian
menetesinya dengan Aquadest.
c. Tahap III
Mengidentifikasi larva/jentik
beserta bagian – bagiannya
dibawah mikroskop dengan
perbesarn 4X.

2. Identifikasi Nyamuk Dewasa

Menyiapkan sampel nyamuk


dewasa dan menaruhnya di dalam
gelas plastik/wadah plastik.

Meletakkan sampel nyamuk


dewasa di atas kaca preparat.
Mengidentifikasi nyamuk beserta
bagian – bagiannya dibawah
mikroskop dengan perbesaran 4X.

3. Pengendalian Vektor Dengan Insektisida Nabati (Daun Salam)


a. Tahap Persiapan
Menyiapkan daun segar yang akan
digunakan dalam praktikum.

Mencuci bersih daun dengan air


mengalir lalu mengeringkannya.
Menggunting tipis daun – daun
tanpa megambil tulang daun.

Memasukkan potongan – potongan


daun kedalam blender lalu
menghaluskan daun sampai halus.

Memeras daun yang sudah halus


dengan menggunakan kain flanel,
tanpa mengambil apasnya.
Menyaring hasil perasan dan
membuang ampas.

Membuat konsentrasi dengan


mencampurkan 75 ml sari daun
salam dengan pelarut aquadest 25
ml.

b. Tahap Pengujian
Menyiapakan konsentasi yang
sudah jadi kedalam wadah plastik.
Memasukkan larva/jentik sebanyak
30 ekor ke dalam larutan
konsentrasi daun salam.

Mengamati jumlah kematian


nyamuk setelah 6 jam, 12 jam, 18
jam hingga 24 jam pemberian
perlakukan.

Mencatat hasil pengamatan.


F. Hasil Praktikum
1. Identifikasi Larva/Jentik Nyamuk Instar 3 (Culex sp.)
No. Gambar Mikroskop Keterangan

Mata
Bulu Sikat Mulut
Antena
1.

Kepala (Head) dan Dada (Thorax)

Abdominal Segments

2.
Buku Lateral

Badan (Abdomen)

Shipon

3. Dorsal
Brush
Saddle
Bulu Ekor
Anal Gills

Ekor (Tail)
2. Indetifikasi Nyamuk Dewasa Jantan (Culex sp.)
No. Gambar Mikroskop Keterangan

Probosis

Antena
Bulu Antena

1.

Palps

Mata Majemuk

Kepala (Head)

Anterpronotum

3. Scutum
Postnotu
m

Dada (Thorax)
Cercus
Abdominal Segments

4.

Badan (Abdomen)

Costa

Sub Costa
Cross
Veins
5. Media
Cubitus
Anal

Sayap (Wing)

Tibia

6. Femur

Kaki Belakang (Hind Leg)


3. Pengendalian Vektor (Insektisida/Larvasida Nabati)
a. Penentuan Konsentrasi Sari Daun Salam (Syzygium polyanthum)

Rumus :
Persen Volume % v/v = ml zat terlarut x 100%
ml zat terlarut + ml zat pelarut
= 75 ml x 100%
75 ml + 25 ml
= 75 ml x 100%
100 ml
= 0,75 x 100%
= 75%

b. Hasil Pengamatan Pengendalian Vektor Dengan Insektisida/Larvasida Nabati


Jumlah Larva/Jentik yang diujikan dengan sari daun salam 75% (pencampuran
75 ml sari daun salam dan 25 ml aquadest), sejumlah 30 ekor Larva/Jentik pada
fase Instar 2 dan Instar 3.
Hasil pengamatan pola mortalitas dari larva/jentik selama 24 jam disajikan
dalam tabel berikut ini :
Tabel Hasil Pengujian Insektisida/Larvasida Pada Larva/Jentik (Pengamatan Pola Mortalitas)
Waktu Konsentrasi A (40%) Konsentrasi B (50%) Konsentrasi C (60%) Konsentrasi D (75%)
Pengamatan I II I II I II I II
(Jam) n % n % n % n % n % n % n % n %

6 2 10 2 8,69 5 27,78 4 18,18 4 22,22 4 16,67 8 30,76 4 16

12 2 10 2 8,69 2 11,11 4 18,18 6 33,33 8 33,33 2 7,69 8 32

18 8 40 9 39,13 3 16,67 5 22,73 6 33,33 2 8,33 11 42,30 5 20

24 8 40 10 43,47 8 44,44 9 40,91 2 11,11 10 41,67 5 19,23 8 32

Total 20 100 23 100 18 100 22 100 18 100 24 100 26 100 25 100


G. Pembahasan
1. Identifikasi Larva/Jentik
Untuk kegiatan pertama yang dilakukan pada parktikum kali ini yaitu
identifikasi larva, masing – masing kelompok dihimbau untuk membawa larva
nyamuk jenis apapun yang di ambil secara random (acak). Untuk kelompok 2,
larva di ambil dari selokan kotor yang dipenuhi tumpukkan sampah dengan larva
ditangkap menggunakan saringan dan pipet tetes. Adapun larva yang di ambil
mencakup dari larva instar 1 sampai instar 4.
Sebelum melakukan pemeriksaan, terlebih dahulu dilakukan
penyortiran/pemilihan larva/jentik yang akan di amati, dimana larva yang
diinstruksikan untuk di amati dibawah mikroskop yaitu larva dalam tingkatan
instar 3 yang ditandai dengan ciri larva yang memiliki bentuk tubuh lebih jelas
dan ukuran yang sedikit lebih besar namun tidak sebesar instar 4. Selanjutnya
larva yang telah dipilih dimatikan dengan menyemprot larva dengan formalin
10% dan menunggu sampai larva benar – benar mati. Setelah itu, agar
mempermudah pengamatan struktur tubuh larva, maka larva di tetesi dengan
aquadest di atas kaca preparat dan kemudian dapat langsung di amati di bawah
mirkroskop. Adapun perbesaran yang digunakan dalam pengamatan larva/jentik
yaitu perbesaran 4X agar larva dapat di amati dengan jelas.
Pengamatan dan pengidentifikasian larva di mulai bagian per bagian, dimana
dimulai dari bgain kepala, thorax hingga keseluruhan abdomen. Secara
keseluruhan struktur tubuh larva (morfologi) yang nampak dapat dilihat dengan
jelas seperti yang telah di jabarkan dalam tabel hasil pengamatan. Sehingga dari
pengidentifikasian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa larva instar 3 yang
diamati merupakan jenis larva nyamuk Culex sp karena ditinjau dari ciri – ciri
larva nyamuk Culec sp. yiatu memiliki ukuran kurang lebih 4 – 5 mm, memiliki
uri-duri pada dada (thorax) yang mulai jelas, berwarna kecoklatan, pada corong
(siphon) terdapat sepasang rambut serta jumbai serta corong pernafasan berwarna
coklat kehitaman.
Bukan hanya itu saja, ciri – ciri lain yang nampak terlihat yaitu pada saat di
dalam air terlihat posisi larva Culex sp saat istirahat yaitu dalam posisi
menggantung dipermukaan air tetapi lebih lancip dari larva Aedes. Di tambah lagi
larva ini berasal dari perairan selokan kotor, dimana merupakan habitat bertelur
nyamuk Culex sp.
2. Identifikasi Nyamuk Dewasa
Kegiatan berikutnya yaitu pengidentifikasi nyamuk dewasa ditinjau dari
morfologi nyamuk yang nampak di bawah mikroskop. Setiap kelompok dihimbau
untuk membawa 5 sampel nyamuk dewasa yang di tangkap seacara acak dengan
menggunakan piring yang dilumuri minyak kelapa, dan kemudian di kibas –
kibaskan di area yang banyak beterbangan nyamuk. Untuk nyamuk yang diamati
dipilih hanya 1 nyamuk dewasa yang di ambil (ditangkap) yang sudah mati namun
bagian – bagian tubuhnya masih utuh tanpa ada yang hilang.
Selnjutnya nyamuk yang sudah mati diletakkan diatas kaca preparat dan
kemudian ditetesi dengan aquadest agar mempermudah pengamatan dibawah
mikroskop. Sama seperti kagiatan pengamatan larva sebelumnya, sampel nyamuk
dewasa pun diamati bagian per bagian agar struktur tubuh nyamuk dewasa terlihat
dengan jelas. Perbesaran yang digunakan tetap sama seperti perbesaran untuk
pengamatan larva yaitu perbesaran 4X.
Pengamatan struktur tubuh nyamuk dimulai dari bagian kepala, bagian dada
(thorax), bagian abdomen hingga kaki serta sayap dari nyamuk dan dijabarkan
satu per satu morfologinya seperti yang sudah di tuliskan dalam tabel hasil
pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa nyamuk yang di amati merupakan jenis nyamuk Culex sp karena dilihat
dari ciri – ciri yang ada yaitu nyamuk Culex sp berwarna hitam agak kecoklatan
dan memiliki belang-belang putih dan badannya yang penuh dengan sisik-sisik.
Di tanbah lagi sampel nyamuk di tangkap di area sekitar saluran air limbah yang
kotor dipenuhi dengan sampah. Tempat – tempat seperti ini biasanya merupakan
habitat hunian nyamuk Culex sp. Sedangakn untuk jenis kelamin dari nyamuk
Culex sp yang diamati, berdasarkan hasil identifikasi maka dapat di katakan
bahwa nyamuk ini berjenis kelamin betina karena ditandai dengan ciri pada
nyamuk betina jarang terdapat rambut (pilose) pada antenna, dan pada bagian
palps (Palpus maksila), nyamuk betina memiliki palps lebih pendek dari pada
probosisnya.
3. Pengendalian Vektor (Insektisida/Larvasida Nabati)
Pada kegiatan ini di lakukan pengujian insektisida/larvasida nabati untuk
mematikan larva/jentik nyamuk. Jentik yang diujikan merupakan jentik pada fase
instar 2 dan instar 3. Dujikan pada 2 fase instar larva karena ingin diamati
perbedaan besar pengaruh insektisida pada setiap instar larva.
Adapun untuk bahan insektisisda yang digunakan adalah Daun Salam
(Syzygium polyanthum) yang masih segar. Setelah itu, daun salam yang sudah
dicuci bersih kemudian digunting kecil – kecil tanpa mengambil tulang daunnya.
Daun salam yang sudah digunting tipis, kemudian dihaluskan untuk diambil
sarinya tanpa mengambil ampas daunnya.
Sebelum dilakukan pengujian insektisida/larvasida dengan menggunakan daun
salam pada larva, terlebih dahulu ditentukkan konsentrasi yang akan digunakan
oleh masing – masing kelompok dengan membagi sesuai dengan jumlah hasil
keseluruhan perasan yang diperoleh. Adapun pembagian masing – masing
konsentrasi bervariasi, mulai dari 40%, 50%, 60% hingga konsetrasi tertinggi
75%. Digunakan daun salam sebagai insektisida/larvasida karena didalamnya
terkandung zat – zat atau senyawa aktif yang dapat mamatikan larva nyamuk
yaitu alkaloid, tannin dan minyak atsiri.
Alkaloid dapat menghambat aktifitas enzim asetylcholinesterase yang
mempengaruhi transmisi impuls saraf sehingga menyebabkan enzim tersebut
mengalami fosforilasi dan menjadi tidak aktif. Tanin sendiri dapat mengganggu
serangga dalam mencerna makanan karena tanin akan mengikat protein dalam
sistem pencernaan, sehingga proses penyerapan protein dalam sistem pencernaan
menjadi terganggu sedangkan minyak atsiri yang terkandung dalam daun salam
akan menguap. Bau dari minyak atsiri tidak disukai nyamuk maupun larva. Untuk
kelompok 2 sendiri digunakan konsentrasi tertinggi yaitu 75% yang didalamnya
sudah dicampurkan dengan 25 ml aquadest sebagai zat pelarut. Diharapkan dari
pembagian konsentrasi ini dapat diketahui efektifitas dari dari masing – masing
konsentrasi sari daun salam.
Dari hasil yang diperoleh setelah kegiatan pengamatan selama 24 jam,
konsentrasi daun salam yang dapat efektif mematikan larva yaitu daun salam
dengan konsentrasi tertinggi yaitu 75% dengan kefektifan mematikan larva pada
percobaan I yaitu 26 ekor dan yang tersisa hidup hanya 4 ekor larva (instar 3 : 3
ekor sedangkan instar 2 : 1 ekor) dan pada percobaan II larva yang mati sebanyak
25 ekor dan yang tersisa hidup hanya 5 ekor saja (instar 3 : 4 ekor sedangkan
instar 2: 1 ekor). Maka dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa larva instar 3 lebih
mampu bertahan hidup dibanding instar 2 karena secara umum, memang larva
instar 3 dari segi struktur penyusun tubuhnya sudah lebih aktif dan mendekati
sempurna dibanding instar 2. Sehingga kemampuan bertahan hidupnya didukung
oleh keadaan sistem dalam tubuhnya.
Jika dibandingkan dengan konsetrasi lainnya yang lebih rendah diantaranya
konsetrasi daun salam 40%, 50% serta 60%, tentu hasil yang diperoleh berbeda di
banding dengan konsentrasi daun salam 75%, karena saat pembuatan konsentrasi,
untuk konsentrasi 75% lebih dominan jumlah sari daun salamnya dibanding
dengan zat pelarutnya yaitu aquadest yang hanya 25 ml dan sari daun salam 75
ml, sehingga zat – zat pembunuh larva yang terkandung di dalam sari daun salam
konsentrasi 75% lebih tinggi kadarnya karena tidak terlarut sempurna oleh
aquadest (25 ml). Sedangkan untuk konsentrasi yang lebih rendah seperti salah
satu contoh yaitu konsentrasi 50% (campuran sari daun salam 50 ml dan aquadest
50 ml), larva yang mati lebih sedikit dibanding dengan konsentrasi 75%, hal ini
disebabkan sari daun salam terlarut sempurna karena perbandingan antara sari
daun salam dan zat pelarut aquadest yang seimbang kadarnya.
Adapun faktor yang dapat mempengaruhi kematian larva selain kadar
konsetrasi insektisida/larvasida, salah satunya yaitu sistem imun dari masing –
masing larva. Dimana sistem imun dari masing masing larva (instar 2 dan instar 3)
tentunya berbeda. Sitem imun yang dimaksud merupakan kemampuan bertahan
larva/jentik dari faktor internal seperti kebutuhan (kekurangan) akan asupan zat
gizi bersumber dari makanan serta dari faktor eksternal seperti keadaan
lingkungan habitat.
Faktor makanan/zat gizi turut mempengaruhi kematian larva, dimana larva
membutuhkan zat gizi esensial untuk perkemabangannya, seperti protein, lipid,
karbohidrat, vitamin B kompleks dan elektrolit. Zat – zat tersebut terdapat pada
mikroorganisme yang ada pada habitatnya yaitu alga, protozoa, bakteri, spora
jamur, dan partokel koloid. Bakteri dan protozoa merupakan mikroorganisme
terpenting untuk perkembangan larva, jadi larva hanya bisa hidup di tempat yang
mengandung mikroorganisme tersebut. Larva yang digunakan pada parktikum ini
memang sebelumnya tidak diberi makan sama sekali setalah di tangkap dan
dipindahkan dari habitat perkembangannya yaitu selokan, sehingga yang dapat
mempengaruhi kematian larva tersebut juga akibat kelaparan.
Selain faktor makanan/zat gizi, tempat perkembangbiakan larva/jentik tersebut
juga dapat mempengaruhi perkembangan larva. Seperti contohnya kadar oksigen,
dimana karena saat pengamatan wadah yang digunakan tertutup, tentu oksigen
yang masuk pun lebih sedikit sehingga larva/jentik susah untuk bernafas akibat
habitatnya yang tidak sesuai karena tertutup.
Terlepas dari hal – hal diatas, hal yang menjadi kendala utama dalam
memperoleh hasil pengamatan yang akurat yaitu kesalahan pengamat/human
error yang bisa terjadi saat perhitungan larva yang mati akibat pemberian
insektisida/larvasida sari daun salam (Syzygium polyanthum).
H. Kesimpulan
Berdasarakan kegiatan parktikum identifikasi vektor larva/jentik dan nyamuk
dewasa, serta pengendalian vektor dengan insektisida/larvasida nabati, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Larva yang diidentifikasi dibawah mikroskop dengan perbesaran 4X yaitu jenis
larva Culex sp dengan tingkatan larva instar 3.
2. Nyamuk yang diidentifikasi di bawah mikroskop dengan perbesaran 4X
merupakan jenis nyamuk Culex sp berjenis kelamin betina.
3. Konsentrasi sari daun salam yang efektif membunuh larva/jentik nyamuk yaitu
pada tingkat konsentrasi 75% dengan nyamuk yang tersisa hidup pada
percobaan 1 yaitu 4 ekor dan pada percobaan 2 sebanyak 5 ekor dari jumlah 30
ekor larva/jentik yang diujikan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, I dkk. 2017. Perilaku Bertelur Dan Siklus Hidup Aedes Aegypti Pada
Berbagai Media Air. [Jurnal]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Atikoh, I, A. 2015. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria Di Desa
Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga Tahun
2014. [Skripsi]. Lampung: Universitas Lampung.
Dwiyanti, R, D dkk. 2017. Daya Bunuh Ekstrak Air Daun Salam (Syzygium
polyanthum) Terhadap Larva Aedes sp. [Jurnal]. Banjarmasin: Poltekkes
KEMENKES Banjarmasin.
Ernawati dkk. 2018. Gambaran Praktik Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Wilayah Endemik DBD. [Jurnal]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Sint Carolus Jakarta
Fitrah. 2015. Efektifitas Bubuk Daun Salam Sebagai Larvasida Terhadap Larva
Nyamuk Aedes spp. [Jurnal]. Kendari: Universitas Halu Oleo.
Hidayati, Y. 2017. Hubungan Antara Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes
aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Rajabasa
Bandar Lampung. [Skripsi]. Lampung: Institut Agama Islam Negeri Raden
Intan Lampung.
Kurniasih, Y dan Reskiani Mulyani. 2018. Gambaran Eritrosit Pada Sediaan
Darah Tepi Pasien Malaria Di Puskesmas Sungai Pancur. [Jurnal]. Padang:
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI).
Lestari, E, E. 2017. Karakteristik Tambak Terlantar Sebagai Tempat Perindukan
Larva Anopheles sp. Di Wilayah Kerja Puskesmas Hanura Kecamatan
Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran. [Skripsi]. Lampung: Universitas
Lampung.
Lestari, S dkk. 2016. Identifikasi Nyamuk Anopheles Sebagai Vektor Malaria dari
Survei Larva di Kenagarian Sungai Pinang Kecamatan Koto XI Tarusan
Kabupaten Pesisir Selatan. [Jurnal]. Sumatera Barat: Universitas Andalas
Padang.
Mutmainnah, S. 2017. Pemetaan Sebaran Vektor Malaria Berbasis Geographic
Information System (GIS), Di Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. [Skripsi]. Mataram: Universitas Islam
Negeri Mataram.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR:
374/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta:
KEMENKES.
Ranti, 2018. Efektivitas Ekstrak Daun Seledri (Apium graveolens l.) Sebagai
Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes aegypti. [Skripsi].
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Rohim, A. 2017. Gambaran Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan
Faktor Lingkungan & Host di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2015. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Sari, M. 2017. Perkembangan Dan Ketahanan Hidup Larva Aedes aegypti pada
Beberapa Media Air Yang Berbeda. [Skripsi]. Lampung: Universitas
Lampung.
Shidqon, M, A. 2016. Bionomik Nyamuk Culex sp Sebagai Vektor Penyakit
Filariasis Wuchereria Bancrofti (Studi Di Kelurahan Banyurip Kecamatan
Pekalongan Selatan Kota Pekalongan Tahun 2015). [Skripsi]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Sona, B. 2018. Analisis Maya Index Nyamuk Aedes spp. Di Kecamatan Metro
Timur. [Skripsi]. Lampung: Universitas Lampung.
Team Teaching. 2019. Penuntun Praktikum Kesmas Dasar. Gorontalo:
Universitas Negeri Gorontalo.
Widiastuti, P. 2015. Karakteristik Host Dan Lingkungan Penderita Filariasis Di
Kabupaten Tangerang Tahun 2015. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai