Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan isu global yang paling penting saat ini

dimana sekarang banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang

terjadi pada pasien. Keselamatan pasien rumah sakit membuat asuhan pasien

lebih aman meliputi identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari

insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya di ambil

(Permemenkes, 2011).

Pelayanan kepada pasien di rumah sakit sudah selayaknya merupakan

pelayanan yang Holistic, pelayanan yang paripurna. Mulai pasien datang,

melakukan pendaftaran, pemeriksaan hingga pasien pulang, akan tetapi

beberapa kejadian di rumah sakit kadang tidak diperhatikan, yaitu pasien

jatuh pada saat mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Pasien di sini dapat

sebagai pesien rawat jalan, maupun sebagai pasien rawat inap (Sanjoto,

2012). Rumah sakit memiliki fungsi penting dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat Rumah sakit memiliki fungsi penting dalam

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga dituntut selalu

meningkatkan mutu pelayanan pelayanan yang diberikan. Untuk

1
meningkatkan mutu pelayanan tersebut salah satu yang harus diperhatikan

oleh pihak rumah sakit adalah sistem keselamatan pasien (Patient Safety).

Dalam hal ini rumah sakit di haruskan untuk lebih meningkatkan patient

safety (Ganibula, 2015).

Patient safety rumah sakit merupakan suatu sistem yang mencegah

terjadinya Kejadian tidak diharapkan (KTD) akibat tindakan yang dilakukan

atau bahkan tidak dilakukan oleh tenaga medis ataupun Non Medis.sistem

tersebut meliputi : Assement risiko, identifikasi pasien dan pengelolaan hal

yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi

solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko (Depkes, 2008).

World Health Organitation (WHO) pada tahun 2004 mengumpulkan

angka-angka penelitian dari berbagai rumah sakit dari berbagai negara :

Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia ditemukan KTD dengan rentang

3,2%-16,6%. Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan

penelitian dan mengembangkan patient safety (Depkes, 2006).

Pada tahun 2000, institude of medicine (IOM) di Amerika Serikat

menerbitkan laporan yang mengguncang dunia berjudul “TO ERR IS

HUMAN, Building a safer Health System.” Laporan itu mengemukankan

hasil penelitian besar di Utah dan Colorado yang menemukan kasus KTD

sebesar 2,9% dimana 6,6% meninggal dunia serta di Amerika ditemukan

kasus KTD mencapai 3,9% di maa 13,6% meninggal. Di Indonesia, Data

tentang medical Eror secara pasti belum ada. Namun, pada data laporan

insiden keselamtan tahun 2010, sebanyak 46,1% dari 105 kasus terjadi di unit

2
keperawatan di rumah sakit. Infeksi nasokomial erat kaitannya dengan patient

safety dan dampaknya dapat membahayakan pasien bahkan kematian.

Menurut dewan penasehat aliansi dunia untuk keselmatan pasien, infeksi

nasokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di seluruh dunia.

(Geriwandi, 2015)

Di wilayah Sulawesi selatan data dari RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

sendiri yang merupakan rumah sakit rujukan di Makassar menyebutkan

bahwa kejadian infeksi nasokomial pada trimester III tahun 2009 sebesar

4,4%. Untuk jenis infeksi nasokomial yang banyak di derita adalah jenis

plebitis sebesar 5,20% pada bulan Januari – Juni di tanhun 2009. Infeksi

saluran kemih merupakan kejadian infeksi nasokomial tersering. Sekitar 30-

40% dari infeksi nasokomial merupakan infeksi sluran kemih yang di

hubungkan dengan penggunaan kateter urin (Patra, 2015).

Di RSUD Lakipadada Tana Toraja Data yang diperoleh dari Komite PPI,

jumlah KTD seperti Infeksi Nasokomial pada bulan januari 4,33 %, Februari

1,843%, maret 3,286 %, April 1,35%, dan Mei 1,66%. Jadi jumlah total

keseluruhan infeksi nasokomial untuk januari-mei 2016 sebanyak 12,465%.

Untuk jenis Infeksi Nasokomial yang banyak di derita adalah jenis plebitis.

Sedangkan untuk untuk jenis KTD yang lain belum ada pencatatan medikal

record atau pelaporan. Dengan adanya data tersebut di atas menunjukkan

bahwa penerapan program patient safety belum optimal.di tandai dengan

kejadia infeksi nasokomial yang melebihi batas (<1,5%) (kepmenkes, 2008).

Hal ini mungkin di sebabkan oleh karena belum matangnya sistem penerapan

program patient safety. Oleh karena itu perlu program untuk memperbaiki

3
proses pelayanan yang komprehensif. KTD dapat dan mungkin terjadi karena

begitu banyaknya prosedur yang dilakukan di rumah sakit, begitu banyaknya

SDM yang terlibat, begitu banyaknya pemeriksaan medis, keterlambatan

penenganan pelayanan, waktu tunggu yang lama, pemberian obat yang harus

diberikan. Setiap proses tersebut dapat terjadi eror. Belum lagi di tambah

twkanan tuntutan waktu dalam menangani kasus emergency. Beban pekerjaan

yang tinggi dan lingkungan kerja yang penuh dengan stress dan mendebarkan

menciptakan situasi dan kondisi yang beresiko.

Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu

organisasi yang sangat kompleks yang di dalamnya sangat padat modal, padat

tekhnologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta

resiko sehingga tidak mengejutkan bila Kejadian Tidak Diinginkan (Adverse

Eevent) akan sering terjadi dan akan berakibat terjadinya injuri atau kematian

pada pasien (Depkes RI, 2006).

Keperawatan sebagai pelayanan yang profesional harus bertindak sebagai

pelayanan yang profesional harus bertindak dengan didasari oleh ilmu

pengetahuan tentang patient safety, sehingga asuhan keperawatan yang

diberikan berkualitas dan bermanfaat dalam mencegah insiden kejadian tidak

diinginkan. Perawat juga merupakan pelayan kesehatan rumah sakit yang

bertugas langsung di garis depan yang paling banyak berhadapan dengan

pasien. Oleh karena itu perawat harus menyadari perannya sehingga harus

berpartisipasi aktif dalam mewujudkan patient safety.

Rumah sakit umum daerah (RSUD) Lakipadada Tana Toraja merupakan

rumah sakit pemerintah yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan di Tana

4
Toraja. Dengan visi terwujudnya pelayanan bermutu dan terjangkau, RSUD

Lakipadada Tana Toraja dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan

yang paripurna yang berkualitas tanpa mnegesampingkan aspek keselamatan

pasien (Patien Safety).

Tingginya angka pelaporan pelanggaran patient safety perlu menjadi

perhatian karena hal ini menggambarkan bahwa pelaksanaan asuhan

keperawatan kepada pasien secara aman yang merujuk pada Patien Safety

belum optimal, hal ini di sebabkan kekurangtahuan perawat dalam

melaksanakan prosedur Patient Safety dan juga perawat yang kurang patuh

dalam melaksanakan patien safety (Ngalgola, 2012). Oleh karena itu tujuan

dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengetahuan dan sikap

perawat terhadap patient safety di Kabupaten Tana Toraja, yakni di rumah

sakit umum daerah lakipadada tana toraja, serta untuk mengetahui sikap

paling baik perawat terhadap prinsip patient safety.

Berdasarkan data di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan suatu

penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

pelaksanaan patient safety di RSUD Lakipadada Tana Toraja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah

dari penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan pengetahuan dan sikap

perawat dengan pelaksanaan Patient Safety di RSUD Lakipadada Tana

Toraja?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

5
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

pelaksanaan patient safety di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan

pelaksanaan patien safety di RSUD Lakipadada Tana Toraja.

b. Untuk mengetahui hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan

patien safety di RSUD Lakipadada Tana Toraja.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan gambaran dan masukan serta dijadikan

sebagai bahan wacana dan pertimbangan dalam meningkatkan derajat

kesehatan khususnya Pelaksanaan Patien Safety di setiap Rumah Sakit.

2. Secara Praktis

a. Manfaat Bagi tenaga kesehatan

Diharapkan penelitian ini dijadikan acuan bagi tenaga kesehatan

dalam memperhatikan program pelaksanaan keselamatan pasien

(Patient Safety) dalam melakukan setiap tindakan keperawatan.

b. Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan dalam upaya meningkatkan pengembangan

keperawatan dalam upaya program pelaksanaan patient safety.

c. Bagi Institusi

Penelitian ini dapat di jadikan tambahan kepustakaan institusi, agar

mahasiswa/mahasiswi dapat menjadikan sebuah referensi unutk

penelitian-penelitian selanjutnya.

6
d. Bagi peneliti

Peneliti dapat menerapkan ilmu atau teori pada waktu kuliah yang

digunakan untuk penelitian ini. Disamping itu penelitian ini

menambah wawasan bagi peneliti tentang faktor pengetahuan dan

sikap perawat dalam mendukung penerapan program patient safety.

e. Bagi peneliti selanjutnya.

Penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian

baik itu penelitian mengenai Patient Safety atau yang lebih

berkembang dengan variabel-variabel yang berbeda.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pengetahuan

1. Definisi

Menurut Notoatmojo (2009) “pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini

terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu”.

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang.

2. Tingkatan pengetahuan

Naoadtmodjo mnegemukakan 6 tingkatan pengetahuan adalah sebagai

berikut :

a. Tahu (Know)

Tahu artinya kemampuan untuk meningkatkan suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk diantaranya mengingat kembali (recall)

terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami artinya menjelaskan dengan benar objek yang diketahui dan

dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil, yaitu penggunaan oknum-oknum,

8
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

lain.

d. Analisis (analyssis)

Artinya kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih ada kaitan satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Artinya kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-

bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Artinya kemampuan untuk melakukan suatu penilaian terhadap suatu

materi atau objek, penilaian-penilaian berdasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri atau kriteria-kriteria yang sudah ada.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2009), mengatakan bahwa pengetahuan

seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untul

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang di hadapi

masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan

memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman

belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan

9
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan

menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam

bidang kerjanya.

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.

Pengalamanyang telah diperoleh dapat menambah wawasan dan

memperluas pengetahuan seseorang.

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan

seseorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.

Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk

mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula

pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat

kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi maka orang tersebut akan semakin luas

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang

berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh pada pendidikan non

formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga mengandung

dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang

akhirnya menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin

10
banyak objek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan

sikap makin positif terhadap objek tersebut.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun dan tanpa adanya

pembukuan terlebih dahulu. Keyakinan ini biasanya dapat mempengaruhi

keyakinan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

d. Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang, misalnya: radio, televisi, koran, dan buku.

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang

berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan

atau membeli fasilitas-fasilitas sumbger informasi.

f. Sosial budaya

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukam orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu

fasilitas yang diperlukam untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial

ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

g. Informasi media massa

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)

sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

11
Majunya tekhnologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.

Sebgai sarana komunikasi, berbgai bentuk media massa seperti televisi,

radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

h. Ligkungan

Lingkungan adalah sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan

fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses

masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungaj

tersebut. Hal ini terjadi karena adanya infeksi timbal balik ataupun tidak

yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

i. Usia.

Usia mempengaruhi terhaadap daya tangkap dan pola fikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap

dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam

masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan

demi suksenya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang

usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk

membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan

verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap

tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup :

12
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang

dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga

menambah pengetahuannya.

2) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah

tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat

diperkirakan bahwa intelligence quotient (IQ) akajn menurun sejalan

dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan

yang lain seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum.

Beberapa teori berpendapat ternyata intelligence quotient (IQ)

seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya

usia (Mubarak, Chayatin & Rozikin, 2007).

4. Pengetahuan perawat dalam pelaksanaan patient safety

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting

terbentuknya tindakan seseorang (Overt behavior). Perilaku yang disadari

oleh pengetahuan akan lebih bertahan dari pada perilaku yang tidak disadari

oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2009).

Keperawatan sebagai pelayanan yang profesional harus betindak

dengan disadari oleh ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang

patien safety, sehingga asuhan keperawatanyang diberikan berkualitas dan

bermanfaat dalam mencegah insiden kejadian tidak diinginkan (KTD). Joint

Comission Internasional (JCI) membuat standar pelaksanaan patien safety di

rumah sakit yang disebut dengan National Patient Safety Goals for Hospital

yang mendukung prinsip patient safety, yaitu tidentify patients correctly

13
(identifikasi pasien dengan benar), improve staff communication

(meningkatkan komunikasi antar staf), use medicines safely (menggunakan

obat-obatan secara aman), reduce the risks of health care associated

infections (menurunkan resiko infeksi berhubungan dengan

tenagakesehatan), check patient medicines (cek obat-obatanpasien) dan

identify patient safety risks (identifikasi resiko keselamatan pasien).

(Arumaningrum, 2014).

Mengingat pelayanan kesehatan yang begitu penting bagi setiap

penduduk, menjadikan sebuah rumah sakit mempunyai peranan yang

penting dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan

(Tomey, 2006). Namun ada aspek yang juga berpengaruh terhadap mutu

pelayan di rumah sakit. Dan seharusnya menjadi perhatian besar bagi pihak

rumah sakit sebagai penyedia pelayanan. Aspek tersebut adalah

Keselamatan Pasien (Patient Safety). Pasien bukan hanya membutuhkan

pelayanan yang berkualitas tetapi juga suatu juga kondisi yang meyakinkan

mereka bahwa pelayanan yang diberikan adalah pelayanan yang aman dan

tidak membahayakan diri mereka (Permenkes, 2011).

Seorang peneliti profesional yang telah dibekali dengan pengetahuan

dan keterampilan klinis yang memadai akan mampu mengorganisasi dan

menyesuaikan antara pekerjaan yang akan dilaksanakan, sarana yang

tersedia dan kemapuan tenaga medisnya mempunyai pengetahuan yang

memadai tentang kondisi penyakitnya. Sehngga paramedis mampu

mengatasi setiap keluhan yang di alami individual (Patra, 2015).

14
Akhirnya pengetahuan yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya

akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan

(action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus yang ada.Namun

demikian di dalam kenyataan stimulus atau objek dapat langsung

menimbulkan tindakan, artinya seseorang dapat bertindak dan berperilaku

baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus yang diterimanya

(Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau

disadari oleh seseorang (Melino, 2007). Aplikasi pengetahuan dibidang

kesehatan yakni hubungan antara fakta dan interpretasi informasi mengenai

penyebab dan pencegahan penyakit serta keterampilan dalam perbaikan

kesehtan. Pengetahuan perawat tentang patient safety sangatlah penting ,

karena jika pengetahuan perawat tentang patient safety kurang maka jelas

ini akan berpengaruh terhadap kinerja perawat itu senderi dalam

menerapkan Patien Safety di Rumah Sakit (Gunibala, 2015). Notoatmodjo

(2009) juga mengemukakan bahwa perilaku yang disadari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak di sadari oleh pengetahuan.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang kita ketahui atau

kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas

(Notoatmodjo, 2009).

15
Sp
N= x 100 %
Sm

16
Keterangan :

N = Nilai pengetahuan

Sp = Skor yang di dapat

Sm = Skor tertinggi maksimum

Selanjutnya presentase jawaban diinterpretasikan dalam kalimat

kualitatif dengan acuan sebagai berikut :

a. Baik : Nilai ≥ 75%

b. Kurang : Nilai < 75%

B. Tinjauan Tentang Sikap

1. Definisi

Sikap merupakan konsep penting dalam psikologi sosial. Konsep

tentang sikap diri telah melahirkan berbagai macam pengertian di antara

para ahli psikologi. Pembahasan berkaitan dengan psikologis sosial hampir

selalu menyertakan unsur sikap baik setiap individu atau kelompok sebagai

salah satu bagian dari pembahasannya. Sikap pada awalnya diartikan

sebagai unsur untuk munculnya suatu tindakan dan cenderung merupakan

tingkah laku.

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan

pelaksana motif tertentu. Sikap belum tentu suatu tindakan atau aktivitas,

akan tetapi adalah merupakan Pre-disposisi tindakan atau reaksi terbuka

tingkah laku yang terbuka. Lebi dapat dijelaskan lagi bahwa sikap

merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

17
penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2009). Sedangkan menurut

Secord dan Backaman dalam Geriwandi (2015) sikap adalah keteraturan

tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran Kognisi, dan predisposisi

tindakan (Konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Definisi-definisi yang telah di jelaskan di atas dapat di ambil

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sikap merupakan suatu bentuk

reaksi atau tingkah laku seseorang atau respon seseorang terhadap

interpretasi suatu objek tertentu, baik berupa orang, lembaga atau persoalan

tertentu yang didalamnya terdapat tiga komponen, yaitu komponen kognitif,

komponen afektif, serta komponen tingkah laku. Sikap juga dapat

mempengaruhi emosi seseorang untuk menentukan sesuatu yang

dianggapnya benar. Evaluasi perasaan ini dapat berupa perasaan positif-

negatif, memihak-tidak memihak, senang-tidak senang, dan lain-lainnya.

2. Unsur-unsur sikap

Sikap mengandung unsur-unsur, yaitu :

a. Adanya objek : tanpa adanya objek sikap tidak akan terbentuk.

b. Bentuk sikap berupa pandangan, perasaan, kecenderungan untuk

bertindak (respon terhadap objek).

c. Tanpa adanya individu suatu sikap tidak akan terjadi walau adanya

objek, begitu pula sebaliknya.

3. Struktur Sikap

Ada tiga komponen yang membentuk struktur sikap yaitu :

a. Komponen kognitif (Komponen Perseptual)

18
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang

berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

b. Komponen Afektif (Komponen emosional)

Komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang

terhadap suatu objek sikap. Komponen afektif ini berhubungan dengan

rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang

merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senag adalah hal yang

negatif.

c. Komponen Konatif (Komponen perilaku atau action component)

Komponen konatif ini berhubungan dengan kecenderunagn bertindak

atau berperilaku terhadap objek sikap yang dihadapinya. Menurut

Baltus, sikap kadang-kadang bisa diungkapkan secara terbuka melalui

berbagai wacana atau percakapan, namun sering sikap ditunjukkan

secara tidak langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa

juga merupakan akibat dari perilaku sebelumnya.

Ketiga komponen ini saling terikat erat. Dengan mengetahui kognisi

atau perasaan seseorang terhadap suatu objek tertentu, maka akan dapat

pula diketahui pila kencenderungan perilakunya. Namun, dalam

kenyataannya tidak selalu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang

sesuai dengan sikap. Dan ketiga komponen dari sikap menyangkut

kecenderungan berperilaku.

4. Bentuk Sikap

Selanjutnya sikap dapat dibedakan atas bentuknya dalam sikap positif

dan sikap negatif, yaitu:

19
a. Sikap positif

Merupakan perwujudan nyata dari intensitas perasaan yang

memperhatikan hal-hal yang positif. Suasana jiwa yang lebih

mengutamakan kegiatan kreatif daripada kegiatan yang menjemuan,

kegembiraan daripada kesedihan, harapan daripada keputusasaan. Untuk

menyatakan sikap yang positif, seseorang tidak hanya mengekpresikan

hanya melalui wajah, tetapi juga dapat melalui bagaimana cara ia

berbicara, berjumpa dengan orang lain, dan cara menghadapi masalah.

b. Sikap Negatif.

Sikap negatif harus dihindari, karena hal ini mengarahkan seseorang

pada kesulitan diri dan kegagalan. Sikap ini tercermin pada muka yang

muram, sedih, suara parau, penampilan diri yang tidak bersahabat.

5. Ciri-Ciri Sikap

Seperti yang telah kita ketahui, sikap merupakan keadaan sikap,

bertingkah laku, atau respon yang diberikan atas apa yang terjadi, serta

bereaksi dengan cara tertentu yang dipengaruhi oleh keadaan emosional

terhadap objek, baik berupa orang, lembaga atau persoalan tertentu. Adapun

ciri sikap, yaitu :

a. Attitude ini bukan dibawa orang sejak ia lahir melainkan dibentuk atau

dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan

objeknya.

b. Attitude itu dapat berubah-ubah.

c. Attitude itu tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung relasi

tertentu terhadap objek.

20
d. Objek attitude kumpulan dari hal-hal tertentu.

e. Attitude tidak mempunyai segi-segi motivasi dan segi perasaan, sifat

inilah yang membedakan attitude dari pada kecakapan-kecakapan atau

pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

6. Fungsi Sikap

Ada empat fungsi sikap menurut Katz dalam Geriwandi (2015:12), yaitu :

a. Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat

b. Fungsi bertahan ego

c. Fungsi pernyataan nilai

d. Fungsi pengetahuan

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan pengertiannya sebagai

berikut :

a. Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat yang menunjukkan bahwa

individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang

diinginkannya. Dengan demikian, maka individu akan membentuk sikap

positif terhadap hal-hal yang disarankan akan mendatangkan keuntungan

dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang merugikannya.

b. Fungsi pertahanan ego yang menunjukkan keinginan individu untuk

menghindarkan diri serta melindungi dari hal-hal yang mengancam

egonya atau apabila ia mengetahui fakta yang tidak mengenakkan, maka

sikap dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan

melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut.

21
c. Fungsi pernyataan Nilai, menunjukkan keinginan individu untuk

memperoleh kepuasan dalam menyatakan suatu nilai yang dianutnya

sesuai dengan penilaian probadi dan konsep dirinya.

d. Fungsi Pengetahuan, menunjukkan keinginan individu untuk

mengekpresikan rasa ingin tahunya, mencari pengalaman dan untuk

mengorganisasikan pengalamannya.

Menurut Walgiti (2010) terdapat empat fungsi sikap, Antara lain :

a. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

b. Sikap berfungsi sebagai pengantar tingkah laku

c. Sikap berfungsi sebagai alat ukur pengalaman-pengalaman.

d. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian.

Berdasarkan pendapat diatas, disimpulkan bahwa fungsi sikap

merupakan alat yang digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap

lingkungan, dan sikap merupakan hasil dari cerminan perilaku seseorang,

baik ataupun buruk, serta merupakan alat pengatur tingkah laku dan

perekam pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam diri pribadi

seseorang.

7. Perubahan sikap

Menurut Davidoff dalam Geriwandi (2015) sikap dapat berubah dan

berkembang karena hasil dari proses belajar, proses sosialisasi, arus

informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalaman-pengalaman baru

yang dialami oleh individu. Sedangakan menurut Sarlito W. Sarwono

(2009), sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat cara yaitu :

22
a. Adopsi

b. Diferensiasi

c. Integrasi

d. Trauma

Menurut Kelman dalam Azwar S (2012) ada tiga proses yang berperan

dalam proses perubahan sikap yaitu :

a. Kesedihan (Compliance)

b. Identifikasi(Identification)

c. Internalisasi(Internalaization)

8. Sikap Perawat dalam Pelaksanaan Patien safety

Definisi sikap menurut Thurstone (2000) yang dikutip Patra (2015)

adalah derajat efek positid atau negatif yang dikaitkan dengan suatu objek

psikologis. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang

diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah

terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan

dengannya. Dari sini sikap dapat digambarkan sebagai kecenderungan

subyek merespon suka atau tidak suka terhadap suatu obyek.

Menurut Notoatmodjo (2009) semua petugas kesehatan, baik di lihat

dari jenis maupun tingkatannya, pada dasarnya adalah pendidikan kesehatan

(health education). Ditengah-tengah masyarakat petugas kesehatan menjadi

toko panutan di bidang kesehatan. Untuk itu petugas kesehatan harus

mempunyai sikap dan periaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatn, yaitu

sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, yaitu sikap dan

perilaku positif yang merupakan pendorong atau penganut perilaku sehat.

23
Seseorang mempunyai sikap aktif selalu berusaha untuk hidup dengan

lebih baik, akan tetapi seseorang yang sikapnya apatis akan menerima apa

adanya dan tidak mempunyai pilihan dan pertimbangan, sikap seperti itu

sangat rendah motivasinya untuk berkembang dan ingin maju. Asuhan

Keperawatan yang bermutu diberikan oleh paramedis yang mempunyai

kemampuan serta memperlihatkan sikap caring yang sesuai dengan tuntutan

profesi keperawatan. Sikap ini diberikan melalui kejujuran, kepercayaan dan

niat aik. Perilaku caring menolong meningkatkan perubahan positif dalam

aspek fisik, psikologi spiritual dan sosial (Sitorus, 2006).

Perilaku yang nampak terhadap suatu objek tertentu setidaknya bisa

diramalkan melalui sikap yang diungkapkan oleh seseorang. Dalam arti

bahwa sikap seseorang bisa menentukan tindakan dan perilakunya. Menurut

Baltus, sikap kadang-kadang bisa diungkapkan secara terbuka melalui

berbagai wacana atau percakapan, namun sering sikap ditunjukkan secara

tidak langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa juga

merupakan akibat dari perilaku sebelumnya. Sikap seseorang yang baik

dapat memberikan gambaran perilaku seseorang pun baik (Walgito, 2010).

Seperti halnya pada sikap perawat dalam pelaksanaan program Patien

Safety, dimana semakin baik sikap perawat tersebut maka dalam tindakan

pelaksanaan program patien safety dapat pula dilakukan dengan baik.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert

summated ratings. Skala ini merupakan tekhnik self report bagi pengukuran

sikap dimana subjek diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau

ketidaksetujuan mereka terhadap masing-masing pernyataan.

24
Skala likert adalah salah satu tekhnik pengukuran sikap yang paling

sering digunakan dalam riset pemasaran. Dalam pembuatan skala likert,

perisert membuat beberapa pernyataan yang berhubungan dengan suatu isu

objek, lalu subjek atau responden diminta untuk mengindikasikan tingkat

kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap masing-masing

pernyataan.

Rumus yang digunakan :

Sp Keterangan :
N= x 100 %
Sm
N = Nilai pengetahuan

Sp = Skor yang di dapat

Sm = Skor tertinggi
maksimum

Menurut Sugiyono (2010), sikap seseorang dapat diketahui dan

diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

a. Positif, hasil presentase ≥ 63%

b. Negatif, hasil presentase < 63%

C. Tinjauan Tentang Pelaksanaan Patient Safety

1. Definisi Patien Safety

Keselamatan pasien (Patient Safety) Rumah sakit adalah suatu sistem

dimana rumah sakit membut asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut

meliputy Assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implemewntasi

solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. sistem tersebut diharapkan

25
dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan (Depkes, 2006)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 691/MEN

KES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit, definisi

keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit

membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,

pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak

lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko

dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil.

Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah

setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau

berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri

dari kejadian tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak cedera

dan kejadian potensial cedera.

Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden

yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera,

selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai

terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC

adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.

26
Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang

sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.

Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau

cedera yang serius. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya

disebut pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan

laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran.

Dari beberapa definisi dari diatas dapat di simpulkan secara garis besar

keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem rumah sakit yang

membuat asuhan pasien lebih aman dengan pencegahan cidera terhadap

pasien.

2. Kebijakan Depkes tentang keselamatan pasien rumah sakit

Kebijakan DepKes tentang keselamatan pasien rumah sakit antara lain :

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).

d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan

KTD

3. Kebijakan Patient safety di rumah Sakit

a. Rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien

b. Rumah sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien

c. Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien

d. Evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui

program akreditasi rumah sakit.

27
4. Sistem keselamatan pasien di rumah sakit

Sistem keselamatan pasien di rumah sakit, mencakup :

a. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia

b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy

c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evavluasi

d. Penetapan panduan, pedoman, SOP, standart indikator keselamatan

pasien berdasarkan pengetahuan dan riset

e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya

5. Standar patien safety (DepKes, 2006)

Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada

“Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision

on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang

disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia.

Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu :

a. Hak pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

f. Mendidik staf tentang keselamtan pasien

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

pasien.

28
Adapun uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut :

a. Hak pasien

Standar :

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan

informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan

terjadinya Kejadian Tidak diharapkan.

Kriteria :

a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana

pelayanan

c. Dokter penanggung jawab wajib memberikan penjelasan secara jelas

dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil

pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termsuk

kemungkinan KTD

b. Mendidik pasien dan keluarga

Standar :

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria :

keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatakan

dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses

pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme

29
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab

pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan

pasien dan keluarga dapat :

1) Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

2) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga

3) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dimengerti

4) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan

5) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit

6) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa

7) Memenuhi kewajiban finansial yang telah disepakati.

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Standar :

Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan

pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit

pelayanan.

Kriteria :

1) Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat

pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, peencanaan pelayanan,

tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

2) Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga

pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat

berjalan dengnan baik dan lancar.

30
3) Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan

komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan

keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan

kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.

4) Terdapat komunikasai dan transfer informasi antar profesi kesehatan

sehingga dapat tercapainya proses koordinaso tanpa hambatan, aman

dan efektif.

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.

Standar :

Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses

yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan

data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan

untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria :

1) Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang

baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit kebutuhan

pasien, petugas pelayan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktis bisnis

yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien

sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan pasien Di

Rumah Sakit”.

31
2) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang

antara lain terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen

risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keunangan.

3) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan

semua kejadian tidak diharapkan, dan secara proaktif melakukan

evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.

4) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi

hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan,

agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standar :

1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui

penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah

Sakit”.

2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau

mengurangi insiden.

3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi

antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan

tentang keselamatan pasien.

4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta

meningkatkan keselamatan pasien.

32
5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria :

1) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamtan

pasien.

2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamtan dan

program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian

yang memerlukan perhatian, mulai dari “Kejadian Nyaris Cedera”

(Near Miss) sampai dengan kejadian tidak diharapkan” (Adverse

event).

3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen

dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program

keselamatan pasien.

4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang

lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk

kepentingan analisis.

5) Tersedia mekanisme pelaporan interal dan eksternal berkaitan dengan

insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang

analisis akar masalah (RCA) “Kejadian Nyaris Cidera” (Near miss)

dan “Kejadian sentinel” pada saat program keselamatan pasien mulai

diaksanakan.

33
6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden,

misalnya menangani “kejadian sentinel” (setinel event) atau kegiatan

proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk

mendukung staf dalam kaitan denagan “kejadian sentinel”.

7) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secra sukarela antar unit

dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan

pendekatan antar disiplin.

8) Tersedia sumber daya dan sistem nformasi yang dibutuhkan dalam

kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan

pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya

tersebut.

9) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan

kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja

rumah sakit dan keselamtan pasien, termasuk rencana tindak lanjut

dan implementasinya.

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standar :

1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi

untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan

keselamatan pasien secara jelas.

2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf

serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien.

34
Kriteria :

1) Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, penelitian dan

orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai

dengan tugasnya masing-masing.

2) Setiap rumah sakit harus mengitegrasikan topik keselamatan pasien

dalam setiap kegiatan inservice training dan memberikan pedoman

yang jelas tentang pelaporan insiden.

3) Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang

kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan

interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

pasien.

Standar :

1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen

informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi

internal dan eksternal.

2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria :

1) Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses

manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan

informasi internal dan eksternal.

2) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi

untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

35
6. Langkah penerapan patient safety (Depkes RI, 2006)

Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah sakit harus

mendesain (merancang) proses baru atau memperbaiki proses yang ada,

memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), dan

melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan

rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis

terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi

risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Keselamatan Pasien

Rumah Sakit” yaitu :

a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien

Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

Langkah penerapan:

1) Bagi Rumah Sakit :

a) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa

yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana

langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan

apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga

b) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran

dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden

c) Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi

di rumah sakit.

36
d) Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian

keselamatan pasien.

2) Bagi Unit/Tim :

a) Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara

mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada

insiden

b) Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di

rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara

terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan

tindakan/solusi yang tepat.

b. Pimpin dan dukung staf anda

Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang

Keselamatan Pasien di rumah sakit anda. Langkah penerapan:

1) Untuk Rumah Sakit :

a) Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab

atas Keselamatan Pasien

b) Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat

diandalkan untuk menjadi ”penggerak” dalam gerakan Keselamatan

Pasien

c) Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat

Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit

d) Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf

rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur

efektivitasnya.

37
2) Untuk Unit/Tim :

a) Nominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin

Gerakan Keselamatan Pasien

b) Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat

bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien

c) Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.

c. Integrasikan aktivitas pengelolaan resiko

Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan

identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah

penerapan:

a. Untuk Rumah Sakit :

a) Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen

risiko klinis dan non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan

terintegrasi dengan Keselamatan Pasien dan Staf

b)Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan

risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Pimpinan rumah sakit

c) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem

pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif

meningkatkan kepedulian terhadap pasien.

2) Untuk Unit/Tim :

a) Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu

Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik kepada

manajemen yang terkait

38
b)Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses

asesmen risiko rumah sakit

c) Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan

akseptabilitas setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat

untuk memperkecil risiko tersebut

d)Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke

proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit.

d. Kembangkan sistem pelaporan

Pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/

insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). Langkah penerapan :

1) Untuk Rumah Sakit :

Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam

maupun ke luar, yang harus dilaporkan ke KPPRS - PERSI.

2) Untuk Unit/Tim :

Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif

melaporkan setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah

tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang

penting.

e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien

Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. Langkah

penerapan :

1)Untuk Rumah Sakit :

39
a) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas

menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka tentang insiden dengan

para pasien dan keluarganya

b) Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar

dan jelas bilamana terjadi insiden

c) Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar

selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.

2) Untuk Unit/Tim :

a) Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien

dan keluarganya bila telah terjadi insiden

b) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana

terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang

jelas dan benar secara tepat

c) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada

pasien dan keluarganya.

f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien

Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar

bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. Langkah penerapan:

1) Untuk Rumah Sakit :

a) Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian

insiden secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

penyebab

40
b) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria

pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA)

atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) atau metoda

analisis lain, yang harus mencakup semua insiden yang telah terjadi

dan minimum satu kali per tahun untuk proses risiko tinggi.

2) Untuk Unit/Tim :

a) Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden

b) Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di

masa depan dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.

g. Cegah cedera melalui implementasi keselamatan pasien

Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan

perubahan pada sistem pelayanan. Langkah penerapan:

1) Untuk Rumah Sakit :

a) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem

pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis,

untuk menentukan solusi setempat

b) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (struktur

dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis,

termasuk penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan

pasien.

c) Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan

d) Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS - PERSI

41
e) Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil

atas insiden yang dilaporkan

2) Untuk Unit/Tim :

a) Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk

membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.

b) Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan

pastikan pelaksanaannya.

a) Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut

tentang insiden yang dilaporkan.

7. Sembilan Solusi live saving patient safety di RS (KKPRS, 2007)

a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-

alike medication names).

b. Pastikan identifikasi pasien.

c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan pasien

d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.

e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.

g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).

h. Gunakan alat injeksi sekali pakai.

i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan

lnfeksi nosokomial.

42
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan patient safety

Faktor-faktor yang mempengaruhi performa dan penerapan

patient safety di rumah sakit adalah sebagai berikut :

a. Kepemimpinan

Kuntoro (2010) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu seni

dan proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain

supaya mereka memiliki motivasi untuk mencapai tujuan yang

hendak dicapai dalam situasi tertentu, sehingga sangat berperan

dalam menentukan arah organisasi, mengembangkan budaya,

memastikan pelayanan dan mempertahankan organisasi yang

efektif.

b. Individu

Patient safety merupakan tantangan global yang memerlukan

pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai area, mencakup

faktor manusia dan system perencanaan. Menurut Jones (2007)

pemberian layanan kesehatan adalah aktivitas tim, serta para

professional dan anggota tanpa lisensi dari berbagai disiplin.

Berdasarkan model manajemen tradisional, penekanan adalah

pada individu dalam tempat kerja, dan lebih menghargai

pencapaian individu. Dalam hal keselamatan pasien, pemimpin

harus memastikan bahwa menempatkan pekerja yang dimiliki

mempunyai keterampilan untuk menjalankan fungsinya sehingga

pelayanan yang diberikan bermutu dan safety. Rumah sakit harus

43
dapat mengadakan pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan

keterampilan dan pengetahuan para staf, karena pengetahuan para

staf akan menentukan sikap mereka dalam mendukung

keselamatan pasien.

c. Budaya

Jones (2007) berpendapat the organizational culture affects the

outcomes of quality for the organization. Budaya organisasi

mempengaruhi hasil dari mutu organisasi. Perubahan budaya

adalah semboyan baru dalam patient safety. Menurut Whithebead,

Weiss & Tappen (2010) suatu kultur keselamatan

mempromosikan kepercayaan, kejujuran, keterbukaan, dan

ketransparanan. Organisasi dan kepemimpinan senior harus

melakukan perubahan arah untuk mengembangkan budaya

keselamatan, suatu lingkungan yang tidak menyalahkan di mana

pelaporan kesalahan dipromosikan dan dihadiahi.

d. Infrastruktur

Dua elemen penting untuk peningkatan safety dan mutu adalah

disain proses pelayanan dan ketersediaan infrastruktur informasi.

Menurut Hughes (2008) temuan riset menunjukkan bahwa IT

aplikasi dapat tingkatkan keselamatan pasien dengan

standardisasi, kesalahan , dan mengengurangi data tulis tangan,

diantara fungsi lain.

44
e. Lingkungan

Tidak mungkin untuk mempertimbangkan konsep perawatan yang

aman dan efektif yang diberikan oleh tenaga kesehatan

profesional dalam isolasi dari lingkungan fisik dan pengaturan di

mana perawatan diberikan. Hughes (2008) berpendapat bahwa

lingkungan kerja adalah tempat dimana perawat menyediakan

perawatan pada pasien yang bisa menentukan kualitas dan

keselamatan pelayanan.

9. Dasar hukum Patient Safety

Aspek hukum terhadap “Patient safety” atau keselamatan pasien

adalah sebagai berikut:

a. Pasal 53 (3) UUNo.36/2009 tentang kesehatan

Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien

dibanding kepentingan lainnya.

b. Pasal 32n UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap pasien mempunyai hak memperoleh keamanan dan

keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit

c. Pasal 29b UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif

45
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar

pelayanan rumah sakit.

d. Pasal 45 (1) UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien

dan atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang

dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis

yang komprehensif.

e. Pasal 32d UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang

bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional.

f. Pasal 32e UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif

dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.

g. Pasal 32j UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap pasien mempunyai hak mendapat informasi yang meliputi

diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis,

alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi,

dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan

biaya pengobatan.

46
h. Pasal 32q UU No.44/2009 tentang rumah sakit

Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut rumah

sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak

sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.

i. Pasal 43 UU No.44/2009

1) Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.

2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan

menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan

angka kejadian yang tidak diharapkan.

3) Rumah sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien

yang ditetapkan oleh menteri.

4) Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk

mengkoreksi sistem dalam angka meningkatkan keselamatan

pasien.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan

peraturan menteri.

j. Permenkes RI no.1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang

keselamatan pasien rumah sakit.

47
Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system

dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem

tersebut meliputi:

a. Assessment risiko

b. Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien

c. Pelaporan dan analisis insiden

d. Kemampuan belajar dari insiden

e. Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan risiko.

48
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan

penelitia atau untuk menguji kesalahan hipotesis (Sastroasmoro dan Ismael,

2008)

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu

untuk menegetahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

pelaksanaan patien safety.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel independen

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel

dependen.

Variabel independennya adalah pengetahuan dan sikap perawat

2. Variabel dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas

atau independen.

Variabel dependennya adalah Pelaksanaan Patient Safety.

49
C. Alur Penelitian

Populasi : Semua perawat pelaksana di ruang perawatan Anak, bedah,


dan interna RSUD Lakipadada N = 73

Sampel : Semua perawat Pelaksana yang bekerja di ruang perawatan


Anak, bedah, dan interna RSUD Lakipadada n = 73

Informed concent dengan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian

Metode pengumpulan data dengan kusionerdan observasi 1 kali dalam


1 shift

Variabel Dependen : Variabel Independen :

Pelaksanaan Patient Safety Pengetahuan dan Sikap


perawat

Pengelolaan Data : editing, coding, tabulating

Analisa data : analisa Univarat dan Bivarat

Hasil dan Pembahasan

kesimpulan

Gambar 4.1 : Kerangka Kerja

50
D. Defenisi Operasional

Defenisi operasional

Variabel Defenisi Operasional Kriteria objektif Alat ukur Skala


Independen : Merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh Baik : jika skor kusioner ordinal

perawat tentang pelaksanaan keselamatan pasien jawaban ≥75%

Pengetahuan Perawat (Patient Safety). Kurang : Jika Skor


Dengan indikator sbb : jawaban < 75%
1. Defenisi Patient Safety

2. Tujuan Patient Safety

3. Manfaat patient safety.

4. Prinsip patien safety.

5. Standar Patient Safety

6. Faktor – faktor yang mempengaruhi

Pelaksanaan Patient Safety

7. Dasar-dasar hukum patient saf

51
Merupakan reaksi atau respon perawat untuk Positif : Jika skor Kusioner Ordinal

melakukan suatu tindakan atau aktifitas baik yang jawaban ≥ 63%.

dapat diamati secara langsung maupun tidak Negatif : Jika skor

Sikap Perawat langsung yang mempunyai maksud mendukung jawaban < 63%.
pelaksanaan Patien Safety.

Dengan indikator Sbb :

1. Menerapkan standar keselamatan pasien

2. Melaksanakan 6 prinsip patient safety


Dependen : Tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam Baik : Jika skor Kusioner Ordinal

pelaksanaan program patient safety. jawaban ≥ 75%.

Pelaksanaan Patien Dengan Indikator Sbb : Kurang : Jika

safety 1. Melaksanakan 7 langkah menuju jawaban < 75%.


keselamatan pasien di rumah sakit
Tabel 5.1

52
E. LOKASI DAN WAKTU

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksan di ruangan anak, Bedah, dan Interna RSUD

lakipadada, Kabupaten Tana Toraja.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan juni – juli 2016

F. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Yang dimaksud dengan Populasi atau juga dengan istilah Universe atau

universun atau keseluruhan, adalah sekelompok individu atau obyek yang

memiliki karakteristik yang sama, yang mungkin diselidiki/diamati

(Amron & Munif, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah semua

perawat pelaksana yang bertugas di ruangan Anak, Bedah dan Interna

RSUD Lakipadada Tana Toraja Berjumlah 73 orang.

2. Sampel

Sampel disini diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi obyek

penelitian (Amron & Munif, 2010). Sampel pada penelitian ini adalah

semua perawat pelaksana yang bertugas di Ruangan Anak, bedah, dan

interna RSUD Lakipadada Tana Toraja berjumlah 73 Orang

3. Tekhnik pengambilan sampling

Tekhnik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya

sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya

dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh

53
sampel dan representatif (Margono, 2009). Oleh karena itu jumlah

populasi yang diteliti pada penelitian ini sedikit, maka peneliti menjadikan

semua populasi menjadi sampel penelitian “Sampling Jenuh”(total

sampling), yaitu responden yang diambil adalah yang bersedia ikut serta

dalam penelitian. Besar sampel adalah 73 orang.

G. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data di rancang oleh peneliti di sesuaikan dengan

kerangka konsep yang telah dibuat. Instrumen yang digunakan adalah dengan

membagikan kusioner kepada responden dan menjelaskan tentang prosedur

pengisian kusioner kepada responden dan lembar observasi (Cheklist).

Instrumen pernyataan ada 3 :

1. Untuk mengukur pengetahuan perawat tentang pelaksanaan patien safety

dikumpulkan dengan cara menyebarkan angket kusioner dan menjelaskan

tentang cara pengisiannya. Pernyataan pengetahuan perawat tentang patien

safety dengan menggunakan skala ordinal terdiri dari 15 item pernyataan

dengan menggunakan tes objektif multiple choice dengan pemberian skor

pada tiap jawaban, dimana skor jawaban = 2 dan salah = 1, dengan kriteria

objektif baik jika skor jawaban ≥ 75% dan kurang jika skor jawaban <

75%.

2. Untuk mengukur sikap perawat terhadap Pelaksanaan Patient Safetty

dikumpulkan dengan cara menyebarkan angket dan menjelaskan tentang

cara pengisiannya. Pernyataan sikap perawat tentang pelaksanaan patient

safety dengan menggunakan skala ordinal terdiri dari 10 item pernyataan

54
dengan bentuk pernyataan ada dua yaitu dengan pernyataan positife dan

negatife. Dengan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak

Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS) di mana nilai dari setiap jawaban

adalah jika pernyaan positif maka perhitungan skor mulai dari Sangat

Setuju (SS) = 4, Setuju (S) = 3, Tidak Setuju (TS) = 2, Sangat Tidak

Setuju (STS) = 1. Namun jika pernyataan negatif maka perhitungan skor

kebalikan dari pernyataan positif. Dengan kriteria objektif positif jika skor

jawaban ≥ 63% dan negatif jika < 63%.

3. Untuk mengukur pelaksanaan patient Safety dikumpulkan dengan cara

melakukan observasi langsung terhadap responden yang sedang

melakukan tindakan keperawatan yang dikembangkan oleh peneliti dengan

skala ordinal yang terdiri dari 12 item pernyataan. Dengan pemberian skor

melakukan tindakan = 2 dan tidak melakukan tindakan = 1. Dengan

kriteria objektif baik jika skor jawaban ≥ 75%, dan kurang jika skor

jawaban < 75%.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan di RSUD Lakipadada Tana Toraja

dengan Prosedur berikut :

1. Mengidentifikasi tempat penelitian dan populasi target

2. Mengajukan surat permohonan izin untuk mengadakan penelitian dari

institusi RSUD Lakipadada.

3. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan Kusioner sebagai

Subjek penelitian tanpa diberi nama tetapi dieri kode khusus.

I. Pengelolaan Data

55
Pengolahan data sering disebut juga dengan kegiatan proses

penataan data, karena data hasil pengumpulan dalam rangkaian kegiatan

penelitian, masih merupakan data kasar atau data dasar (raw data).

Pengelolaan data digunakan agar data kasar atau data dasar tersebut dapat

diorganisir, disajikan serta dianalisa untuk kemudian ditarik kesimpulan.

Kusioner yang telah terkumpul diperiksa ulang untuk mengetahui

kelengkapan isi datanya setelah data lengkap atau dikelompokkan dan

ditabulasi berdasarkan sub variabel yang diteliti kemudian dilakukan

penilaian masing-masing sub variabel sebagai berikut :

1. Editing ( memeriksa data)

Dimaksud dengan memeriksa data atau proses editing adalah

memeriksa data hasil pengumpulan data, yang berupa daftar

pertanyaan, kartu, buku register dan lain-lain (Amron & Munif 2010).

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua isian pada

semua item pertanyaan dalam kusioner untuk mengetahui hubungan

pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaan patient safety.

2. Coding (memberi kode)

Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawabamn atau data

hasil penelitian dianggap sangat perlu untuk disederhanakan agar

supaya pada saat pengelolaan data dapat dilakukan dengan mudah.

Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisa data

menggunakan komputer. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara

pemberian kode berbentuk pada masing-masing jawaban. Kegiatan

56
tahap ini adalah mengubah informasi dengan menggunakan kunci

jawaban yang telah disusun dalam angka untuk memudahkan proses

pengolahan selanjutnya mengenai isi kusioner yang meliputi :

pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaan patient safety.

3. Tabulating (tabulasi)

Yang di maksud dengan tabulating yakni menyusun dan mengorganisir

data sedemikian rupa, sehingga akan dapat dengan mudah untuk

dilakukan penjumlahan, disusun dan disajikan dalam bentuk tabel atau

grafik. Memasukkan data hasil survey hubungan pengetahuan dan

sikap perawat dengan pelaksanaan Patient Safety ke dalam tabel-tabel

sesuai dengan kriteria kegiatan memasukkan data (entery data)

dilakukan melalui bantuan komputer terhadap semua data pada

kusioner.

J. Analisa Data

a. Analisa Univarat

Tekhnik ini dilakukan terhadap setiap variabel hasil dari penelitian, hasil

dari analisis ini berupa distribusi frekuensi, tendensi sentral, ukuran

penyebaran maupun presentase dari setiap variabel, ataupun dengan

melihat gambaran histogram dari variabel tersebut. Dengan menggunakan

analisis univarat ini dapat diketahui apakah konsep yang kita ukur tersebut

sudah siap untuk dianalisis serta dapat dilihat gambaran secara rinci.

Untuk kemudian disiapkan kembali ukuran dan bentuk konsep yang akan

digunakan dalam analisis berikutnya.

57
b. Analisis Bivarat

Model analisis ini digunakan untuk melihat apakah ada hubungan antar

variabel. Hubungan tersebut yang terjadi mempunyai 3 kemungkinan,

yaitu :

1. Ada hubungan tetapi sifatnya simetris, tidak saling mempengaruhi.

2. Saling mempengaruhi antara dua variabel

3. Sebuah variabel mempengaruhi variabel yang lain.

Untuk mengetahui hubungan variabel dependen dan independen

digunakan uji statistic chi-square.

K. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah suatu sistem yang harus dipatuhi oleh peneliti saat

melakukan penelitian yang melibatkan manusia sebagai responden

meliputi kebebasan dan ancaman, kebebasan dari eksplpoitasi, keuntungan

dari penelitian tersebut dan resiko yang didapatkan (Polit & Beck, 2012).

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan meminta izin

institusi STIKES Lakipadada dan Rumah Sakit Umum daerah

Lakipadada. Setelah mendapat persetujuan, peneliti melakukan penelitian

dengan berpegang pada beberapa prinsip etik yaitu self determination,

anonymity atau confidentiality, protection from discoomfort, benefivience

and justince(Polit & Beck, 2012).

1. Prinsip Self determination artinya peneliti menghargai otonomi

individu untuk membut keputusan terhadap dirinya sendiri. Prinsip ini

58
berdasarkan pada prinsip etik respect for autonomy. Prinsip ini

diaplikasikan peneliti melalui informed consent.

2. Prinsip anonymity atau confidentiality prinsip ini di aplikasikan dalam

kegiatan penelitian ini dengan cara tidak mencantumkan nama

responden.

3. Prinsip protection from discomfort yaitu peneliti melindungi hak

responden untuk mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan

selama kegiatan penelitian.

4. Prinsip beneficence yaitu pada prinsip ini peneliti berusaha untuk

selalu melakukan penelitian yang memberikan manfaat.

5. Prinsp Justince yaitu berdasarkan prinsip ini peneliti menerapkan

keadilan dan tidak melakukan diskriminasi.

59

Anda mungkin juga menyukai